Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tahlilan adalah istilah untuk mendoakan orang yang telah meninggal, dengan cara
membacakan ayat-ayat suci Al-Quran secara bersama-sama dengan mengundang sanak
keluarga, tetangga, maupun sanak saudara. Tahlilan diyakini sebagai tradisi yang berasal
dari agama Hindu, namun ada penelitian lain yang menyebut tradisi ini berasal dari ajaran
Syiah. Terlepas dari perbedaan pendapat ini, Tahlillah merupakan kearifan lokal
masyarakat jawa dalam menghormati dan mendoakan arwah orang yag telah meninggal
agar diberi tempat yang layak disisi Allah SWT.
Sebagian mayarakat Muslim mengklaim bahwa budaya Tahlilan merupakan
perbuatan bidah atau menambah-nambahi ajaran agama Islam. Namun, seiring dengan
perkembangan masyarakat dan munculnya aliran-aliran yang mengatasnamakan Islam
yang paling benar, maka tidak sedikit dari masyarakat yang tidak setuju dengan
terselenggaranya budaya ini, karena tidak ada dalam ajaran islam.
Setiap orang tua pasti menginginkan didoakan oleh anaknya. Karena anak yang
sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya adalah amal jariyah bagi orang tua. Sehingga,
menurut sebagian yang lain, tahlilan merupakan kegiatan yang tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Karena tujuan dari tahlilan ini adalah untuk mendoakan arwah orang
yang telah meninggal agar diberi tempat yang layak disisi Allah.

B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memaparkan pengertian dan sejarah Tahlilan sebelum Islam.
2. Memaparkan budaya Tahlilan pada masa Wali Songo.
3. Memaparkan kegiatan Tahlillan di awal abad 20.
4. Memaparkan pro kontra Tahlillan di masyarakat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Tahlilan Sejarah Sebelum Islam


Agama Hindu, Budha, Animisme, dan Dinamisme telah ada di tanah jawa sebelum
Islam, dengan ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Kitab Brahmana. Sebuah kitab
yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-
dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek
moyang) ada aturan yang disebut Yajna Besar dan Yajna Kecil.

Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna.
Somayjna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk
semua orang. Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre
Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat
dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre
Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.

Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati,
sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi
dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-
lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada
dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh
tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus
diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk
memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma menjadi manusia yang
baik, jangan menjadi yang lainnya.

Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci
(membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si fulan yang dituju.
Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan
lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan
mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya
dikabulkan.

2
Gambar kemenyan yang sedang dibakar

B. Tahlillan Saat Masa Wali Songo


Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di
Pulau Jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang populer dengan
sebuatan Wali Songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak, Jawa Tengah.

Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah
Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam
membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama
bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu Aliran Giri dan Aliran
Tuban.

Aliran Giri adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan
para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan
ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela
masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama
yang bertentangan dengan syari'at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam
menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut Islam Putih.

Adapun Aliran Tuban adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan
Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan
Gunung Djati. Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap
pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah
mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka
jangan terlalu jauh menyimpang dari syari'at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha

3
agar adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena
moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut
aliran Giri yang "radikal". aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh
mencampur adukan syari'at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran
Islam abangan.

Gambar prosesi Tahlilan

C. Tahlillan di Awal Abad 20


Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun
yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama
Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama
K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam
dari sumbernya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa
Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak
berasal dari Al Qur'an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan
bid'ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.

Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat
istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga
menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat
yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut
disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut
adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan
Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran
Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang
terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.

Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi
yang diberi nama "Nahdhatul Ulama" yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar
NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain : "Setiap acara yang bersifat

4
keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal
sekarang di masyarakat". Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang
NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil,
termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna
yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.

Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah
tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh
Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa
saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya
diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.

D. Pro Kontra Asal Usul Tahlilan


Selama ini terdapat keyakinan bahwa tradisi tahlilan bagi orang yang sudah
meninggal yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari
sampai dengan haul yang diadakan untuk memperingati setiap tanggal kematian
merupakan tradisi Hindu atau Budha yang kemudian substansinya dirubah oleh para wali
songo dengan mengisi bacaan dan doa dari tradisi Islam, termasuk bacaan tahlil sehingga
akhirnya disebut tahlil.

Pendapat berbeda diungkapkan oleh Agus Sunyoto, penulis buku Syeikh Siti Jenar
tersebut berpendapat bahwa tradisi tahlil sebenarnya merupakan tradisi Syiah yang
kemudian dibawa oleh para musyafir yang menyebarkan Islam di Indonesia. Dalam tradisi
Hindu, tidak ada peringatan 7 hari sampai dengan 1000 hari. Yang ada peringatan 12 tahun
sekali, tandasnya saat berdiskusi di kantor NU Online Selasa malam dengan sejumlah
budayawan dan aktivis Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama (Lesbumi).

Pertanyaan tersebut muncul dalam dirinya ketika diajak salah satu temannya yang
beraliran Syiah untuk tahlil diajak tahlil. Lho ini tradisinya kok sama dengan NU,
fikirnya dalam hati. Selanjutnya ia melakukan penelitian tentang asal usul tradisi ini. Para
musyafir yang berasal dari kerajaan Campa yang kebanyakan beragama Islam dan
memiliki tradisi tasawuf beraliran Syiah lah yang mengembangkan tradisi ini. Makanya
tak heran ketika Imam Khumeini meninggal, juga diadakan tahlil untuk mendoakannya.

5
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tahlilan merupakan salah satu kearifan masyarakat Jawa dalam menghormati dan
mendoakan arwah leluhur agar diberi tempat yang layak disisi Allah SWT. Tahlilan
biasanya diadakan satu sampai tujuh hari pasca kematian, selanjutnya dilanjutkan pada hari
ke 40, 100, sampai 1000, tergantung pada ahli waris. Dalam Tahlilan, doa seorang anak
kepada orang tuanya yang telah wafat merupakan amal jariyah bagi orang tuanya tersebut.
Meskipun tahlilan merupakan budaya Jawa, tetapi mengenai asal usul budaya ini
terjadi perbedaan pendapat, banyak masyarakat yang percaya bahwa Tahlilan merupakan
kebudayaan Hindu yang kemudian dimasuki unsur-unsur Islam, sehingga tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, ada pula yang menganggap bahwa Tahlilan
merupakan tradisi syiah yang dibawa oleh para musafir dari kerajaan Campa. Terlepas dari
pro dan kontra terhadap Tahlilan dalam Islam, tidak ada orang tua yang tidak mau didoakan
oleh anak-anaknya, baik ketika masih hidup, maupun telah tiada.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2016. Sejarah tahlilan beserta keharaman melakukannya. Diakses dari
http://www.ngekul.com/sejarah-tahlilan-dalil-beserta-keharaman-melakukannya/ pada 25
Mei 2017

Anonim. 2005. Benarkah Tahlil dari Tradisi Hindu. Diakses dari

http://www.nu.or.id/post/read/3901/benarkah-tahlil-dari-tradisi-hindu. Diakses pada 25

Mei 2017

Anda mungkin juga menyukai