PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari hadist diatas nabi berpesan agar kita tidak mengada-ada dalam urusan
agama, baik dalam bentuk ibadah maupun amalan-amalan lainnya yang dianggap
sebagai ibadah tapi nabi sendiri tidak pernah melakukan dan menganjurkan
kepada umatnya. Karena setiap amalan yang dilakukan itu jika tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW maka amalan itu akan tertolak (sia-sia).
Sesuatu yang baru dalam urusan agama disebut sebagai bid’ah. Dan bid’ah itu
sendiri dapat mengantarkan seseorang kedalam kesesatan yang akan berakhir
kedalam neraka.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
A. Pengertian
Tahlilan secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata تَ ْهلِيْال -ُيُهَلِّل -هَلَّل
ً yang artinya mengucapkan lafal ُالَ إلهَ إالّ هللا. Sedangkan secara terminologi adalah
acara ritual (seremonial) memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh
umumnya masyarakat Indonesia. Acara tersebut diselenggarakan ketika salah
seorang anggota keluarga telah meninggal dunia. Secara bersama-sama setelah
proses penguburan selesai dilakukan. Seluruh keluarga, handai taulan serta
masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga si mayit hendak
menyelenggarakan acara pembacaan ayat al-Qur’an, dzikir dan do’a-do’a yang
ditujukan untuk si mayit di alam “sana”. Karena dari sekian materi bacaannya
terdapat kalimat tahlil (ُهَ إالَّ هللاQ )الَ إل yang diulang-ulang ratusan kali maka acara
tersebut biasa dikenal dengan istilah “tahlilan”.
Yasinan dilakukan dalam waktu waktu tertentu misalnya malam Jumat yang
dilaksanakan di masjid atau dirumah rumah warga secara bergiliran setiap
minggunya. Selain pada malam Jum’at yasinan juga dilaksanakan untuk
memperingati dan “mengirim” doa bagi keluarga yang telah meninggal pada
malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseribu. Masyarakat
mempercayai bahwa dengan membaca surat Yasin maka pahala atas pembacaan
itu akan sampai pada si mayat. Ada pula acara Yasinan ini dilakukan untuk
meminta hajat kepada Tuhan agar dipermudah dalam mencari rizki maupun
meminta hajat agar orang yang sakit dan sudah tidak ada harapan lagi untuk
sembuh karena tanda-tanda akan diakhirinya ke hidupan ini sudah jelas, maka
surat Yasin menjadi pengantar kepulangannya ke hadirat Allah. Masyarakat
melaksanakan tradisi ini karena turun temurun. Artinya tradisi ini merupakan
peninggalan dari nenek moyang mereka, dimana Islam mengadopsinya sebagai
bagian dari ritual keagamaan. Dari pelaksanaan tradisi ini maka ada makna yang
lain selain dari arti ayat ayat yang dibaca secara bersama sama.
Sudah menjadi hal yang umum jika tradisi Yasinan digunakan sebagai Majelis
taklim dan dzikir mingguan masyarakat dan sebagai media dakwah agar
masyarakat menjadi lebih dekat dengan Tuhannya. Namun di sisi lain tradisi
Yasinan bisa dimaknai sebagai forum silaturahmi warga, yang tadinya tidak kenal
menjadi kenal, yang tadinya tidak akrab menjadi lebih akrab. Kegotong royongan,
solidaritas sosial, tolong menolong, rasa simpati dan empati juga merupakan sisi
lain dari adanya tradisi Yasinan. Kegotong royongan ketika mengadakan acara.
Tolong menolong agar acaranya berjalan sesuai yang diharapkan. Rasa empati dan
simpati ketika ada seseorang kerabatnya yang kesusahan atau kerababnya yang
meninggal. Semua itu merupakan makna lain yang terkandung dalam tradisi
Yasinan.
Makna lain ialah nilai ekonomis, dimana dalam yasinan terkadang ada
suguhan makanan baik berupa snack, makan, dan berkat yang dibawa pulang.
Kadang juga ada yang memberikan sajadah dan diberi tulisan bahwa yasinan ini
sebagai peringatan kematian anggota keluarga. Tentunya bagi warga ini
merupakan kesempatan untuk mendapatkan pendapatan bagi keluarganya. Yang
lebih unik lagi bagi yang mengadakan acara Yasinan, terkadang bila tidak ada
uang untuk melaksanakan hal tersebut mereka rela menjual harta yang ada misal
sawah, perhiasan atau ternak. Untuk memberi hidangan pun ada yang sampai
menyembelih sapi walau saat hari raya qurban malah tidak pernah berqurban.
Gotong royong dalam penyajian makanan pun menjani nilai ekonomis bagi
masyarakat karena dapat mengurangi pengeluaran tenaga dan waktu.
Disamping itu, konsep theology dan filsafat yang terdapat pada Yasinan turut
serta dalam membentuk mental solidaritas. Misalnya engaruh dari konsep
theology, masyarakat percaya bahwa dosa mereka terhadap sesama manusia itu
dapat tertutupu dengan amalan-amalan yang baik yang dilakukan selama hidup
dibumi dengan bertindak sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan hadits, sehingga
pada konsep filsafat, sebagai manusia yang tidak bisa hidup sendirian yang
membutuhkan orang lain maka haruslah saling tolong menolong sesama manusia
Dinamai yasinan karena diantara bacaannya adalah surat yasin yang menurut
mereka ada berbagai keutamaan lebih dibanding surat-surat yang lain dan dinamai
tahlilan karena termasuk yang dibaca diantara dzikir-dzikirnya adalah kalimat “la
ilaha illalloh”. Sudah menjadi keladziman kalau setiap ada yasinan dan tahlilan
pasti ada aneka hidangan makanan yang biasanya lebih dari sekedarnya. Padahal
Nabi Muhammad SAW menganjurkan supaya para tetangga memberi atau
menyediakan makanan kepada keluarga si mayit. Para tengga dan Sanak famili
supaya datang ikut bela sungkawa dengan membawa sesuatu untuk menyegerakan
si mayit.
Sebagaimana Sabda Nabi SAW: Artinya : Dari Abdullah bin Ja’far berkata :
“…Tatkala datang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi SAW bersabda : Buatlah
makanan untuk keluarga Ja’far. Sesungguhnya mereka tengah ditimpa musibah
yang menyibukkan mereka” (HR. Abu Dawud, Tirmnidzi, Ibnu Majah).
Kata yasinan dan tahlilan seakan telah mendarah daging dihati masyarakat
luas, terutama ditanah air kita Indonesia. Secara umum dapat dipahami bahwa dua
kata tersebut biasanya berkaitan dengan peristiwa kematian. Yang mana dua kata
ini diungkapkan dalam bentuk suatu acara peringatan terhadap kematian. Acara
yang diadakan oleh ahli mayit ini dihadiri oleh para kerabat, para tetangga,
masyarakat sekitar dan terkadang dengan mengundang beberapa orang jauh yang
dianggap penting bagi ahli mayit. Bahkan tidak jarang mendatangkan kyai dan
Dan acara yang banyak dijumpai di pedesaan ternyata dijumpai juga di daerah
perkotaan. Hanya saja kalau didaerah perkotaan biasanya acara ini berlangsung
agak ringkas, dan aneka makanannya dihidangkan lebih praktis yaitu dengan cara
membagi nasi kotak plus minuman didalamnya atau semisalnya. Acara ini tidak
hanya sekali saja diadakan, bahkan biasanya akan diadakan dari hari pertama dan
atau diteruskan sampai hari ketiga atau ketujuh dari hari kematian. Acara ini asal-
usulnya adalah nenek moyang yang sudah berabad-abad lamanya dan entah siapa
pencetusnya, yang jelas acara ini dimaksudkan untuk mengirimkan pahala bacaan-
bacaan khusus buat mayit. Acara ini telah menjadi satu keharusan yang
memberatkan dan terpaksa harus diadakan oleh ahli mayit. Sehingga sulit untuk
dihindarkan, apalagi dihapuskan. Bahkan tidak jarang diantara mereka harus
menghutang kesana-kemari demi hanya untuk mengadakan acara tersebut. Karena
ternyata menurut pengakuan mereka yang telah meninggalkan acara yang
memberatkan ini, alasan yang paling kuat mengapa mereka harus mengadakannya
adalah takut diasingkan, dianggap melawan adat dan tidak bermasyarakat kalau
tidak menyelenggarakan acara itu.
Tidak hanya cukup disitu, bahkan beberapa orang yang gemar mendatangi
acara ini tidak segan-segan mengatakan ini adalah sunnah rasul yang seyogyanya
terus dilestarikan, baik dengan menyitir hadist-hadist Nabi (padahal hadistnya
lemah dan palsu) atau menafsirkan hadist-hadist dengan penafsiran yang jauh dari
kebenaran, atau sekedar mengutip fatwa-fatwa guru mereka.
Sehingga masyarakat pada saat itu ketakutan akan gangguan arwah tersebut
dan membacakan mantra-mantra sesuai keyakinan mereka. Setelah Islam mulai
masuk di bawa oleh para Ulama’ yang berdagang ke tanah air ini, mereka
memandang bahwa ini adalah suatu kebiasaan yang menyelisihi syari’at Islam,
lalu mereka berusaha menghapusnya dengan perlahan, dengan cara memasukkan
bacaan-bacaan berupa kalimat-kalimat thoyyibah sebagai pengganti mantra-
mantra yang tidak dibenarkan menurut ajaran Islam dengan harapan supaya
mereka bisa berubah sedikit dan mininggalkan acara tersebaut menuju ajaran
Islam yang murni. Akan tetapi sebelum tujuan akhir ini terwujud, dan acara
pembacaan kalimat-kalimat thoyibah ini sudah menggantikan bacaan mantra-
mantra yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, para Ulama’ yang bertujuan baik
ini meninggal dunia, sehingga datanglah generasi selanjutnya yang mereka ini
tidak mengetahui tujuan generasi awal yang telah mengadakan acara tersebut
dengan maksud untuk meninggalkan secara perlahan. Perkembangan selanjutnya
datanglah generasi setelah mereka dan demikian selanjutnya, kemudian
pembacaan kalimat-kalimat thoyibah ini mengalami banyak perubahan baik
penambahan atau pengurangan dari generasi ke generasi, sehingga kita jumpai
acara tahlilan di suatu daerah berbeda dengan prosesi tahlilan di tempat lain
sampai hari ini.
Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menanggulangi masalah adat
istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu
ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN. Aliran Giri adalah suatu aliran yang
dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat
(Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain. Aliran ini dalam
masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha,
Hindu, keyakinan Animisme dan Dinamisme. Orang yang dengan suka rela
masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat
lama yang bertentangan dengan syari’at Islam tanpa reseve. Karena murninya
aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut
ISLAM PUTIH.
Adapun aliran Tuban adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid
(Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus,
dan Sunan Gunung Djati. Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu
terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama
yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk
Islam.Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari Syari’at Islam. Maka
para wali aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, Animisme dan
Dinamisme diwarnai keislaman.Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya
jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang radikal. Aliran
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah
mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali ke dunia ada
yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu,
tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup,
dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada
hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah
keluarganya.Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-
sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada
dewa-dewa agar rohnya si pulan menjalani karma menjadi manusia yang baik,
jangan menjadi yang lainnya.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama
(wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat
menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Mendengar usulan Sunan
Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali
pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan
pertanyaan sebagai berikut :
“Apakah tidak dikhawatirkan di kemudian hari, bahwa adat istiadat lama itu
nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah
hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”.
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak
menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan
Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat
itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu
yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban
yang kemudian dikenal dengan nama nelung dina, mitung dina, matang puluh,
nyatus, dan nyewu.
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang
berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-
upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya
Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang
yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang
cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti
itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari
ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi
para raja Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan
syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam
pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga
pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar
terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para
ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi
dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama.
Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka
Trunojoyo Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang
Amangkurat I. Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai
pengganti ayahnya, ia membalas dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang
pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton
dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua
keturunan Sunan Giri dibunuh pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-
ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu
adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan
keadaan masyarakat yang ada.maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang
melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam
upacara kematian. Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala
adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan
tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat
Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib,
kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang
ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk
membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai
keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang
antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan
nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu. Pada
tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang
diberi nama “Nahdhotul Ulama” yang disingkat NU. Pada muktamarnya di
Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain :
“Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil
yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”.
Acara tahlilan paling tidak terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun
secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam. Pada dasarnya, pihak
yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih)
melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan)
dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat
atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun
berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan
hidangan dengan niatan shadaqah.
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan
menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian
semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu
bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada
suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah
dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam.
Ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu
wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan
mengikuti petunjuk Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu
wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa
diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum
(puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai
tuntunan sunnah Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti
peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah
shalAllahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman
Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut
tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
ْ ت الب
ُطالَنُ َحتَّى يَقُوْ َم َدلِ ْي ٌل َعلَى األَ ْم ِر ِ فَاألَصْ ُل فَي ْال ِعبَادَا
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang
memerintahkannya.”
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’
(syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i
tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau
diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan
sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala
(artinya):
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan
perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun
manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik
untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum
tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalAllahu
‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya
radhiAllahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiAllahu ‘anhu–salah seorang sahabat
Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam berkata: “Kami menganggap/ memandang
kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad,
Ibnu Majah dan lainnya)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah
menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al
Muhadzdzab berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah
yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab
(Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa
perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah).
صي ْال َحافِ ُر أَوْ َس َع ِم ْن قَب ِْل ِرجْ لَ ْي ِهَ ْ َوه َُو َعلَى ْالقَب ِْر يُو .م .ْت رسُوْ َل هللا ص ُ فِي َجنَازَ ٍة فَ َراَي .م .َخ َرجْ نَا َم َع َرسُوْ ِل هللا ص
إخ... ُض َع يَدَاه َّ أَوْ َس َع ِم ْن قِبَ ِل َر ْأ ِس ِه فَلَ َّما َر َج َع ا ْستَ ْقبَلَهُ دَا ِع
َ ء بِالطَّ َع ِام فَ َوQَ فَ َجا ا ْم َرأَته ي
Artinya :
Dalil ‘aqliy
Sanggahan terhadap dalil naqliy
صي ْال َحافِ ُر أَوْ َس َع ِم ْن قَب ِْل ِرجْ لَ ْي ِهَ ْ َوه َُو َعلَى ْالقَب ِْر يُو .م .ْت رسُوْ َل هللا ص ُ فِي َجنَازَ ٍة فَ َراَي .م .َخ َرجْ نَا َم َع َرسُوْ ِل هللا ص
إخ... ُض َع يَدَاه َ فَ َجا َء بِالطَّ َع ِام فَ َو ٌا ْم َرأة ي ِ أَوْ َس َع ِم ْن قِبَ ِل َر ْأ ِس ِه فَلَ َّما َر َج َع ا ْستَ ْقبَلَهُ د
َّ َاع
Dengan ini jelaslah sudah bahwa hidangan yang dicicipi oleh Rasulullah
beserta sahabatnya adalah hidangan yang disajikan bukan dari keluarga si mayit,
akan tetapi berasal dari pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan
keluarga si mayit. Apabila demikian, maka sejatinya hadits tersebut tidak ada
hubungannya dengan acara ritual tahlilan. Sebagai konsekwensinya batallah
argumen yang menerima acara ritual tersebut.
Bantahan terhadap dalil ‘aqliy
Ini adalah alasan mereka yang paling umum dan sering digunakan bahwa
mereka menganggap bahwa seluruh apa yang ada di dalam ritual itu adalah baik
dan bermanfaat, seperti membaca al-Qur’an, tahlil, silaturahmi, dll. Mereka
berpandangan bahwa melakukan ibadah-ibadah itu di dalam ritual tersebut adalah
suatu perbuatan baik (mereka menganggap baik) dengan kata lain mereka
menggunakan nalar al-Istihsan yang diterapkan dalam ritual itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan)
keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabut : 45)
B. Saran