Anda di halaman 1dari 52

TINJAUAN TEOLOGIS

MAKNA HEWAN KORBAN DALAM RITUAL TIWAH BAGI


MASYARAKAT DAYAK NGAJU DI DESA BUNTUT BALI

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan Kristen, Jurusan Ilmu


Keagamaan Kristen Program Studi Teologi Untuk Memenuhi salah Satu
Persyaratan Memperoleh gelar Sarjana (S.Th)

OLEH
RUT ANIS APRILIANITA
NIM: 2002120891

PROGRAM STUDI TEOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL KEAGAMAAN KRISTEN
INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI PALANGKA RAYA
2024
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 6
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 7
D. Manfaat penulisan ....................................................................................... 7
E. Batasan Masalah .......................................................................................... 8
F. Alasan Pemilihan Judul ............................................................................... 8
G. Definisi Istilah ............................................................................................. 9
H. Sistematika Penulisan ................................................................................ 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 11
A. Ritual ......................................................................................................... 11
B. Tradisi Korban dalam Iman Kristen .......................................................... 15
C. Perspektif Kristen tentang Kematian dan Ritual ....................................... 18
D. Ritual Tiwah .............................................................................................. 20
E. Penelitian Terdahulu .................................................................................. 37
F. Kerangka Pikir........................................................................................... 39
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 42
A. Pendekatan Penelitian ............................................................................... 42
B. Jenis Penelitian .......................................................................................... 42
C. Tempat Peneitian ....................................................................................... 44
D. Waktu Penelitian........................................................................................ 44
E. Sumber Data Penelitian ............................................................................. 45
F. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 46
G. Teknik Analisis Data ................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 51

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragamanetnis, ras, agama,

tradisi, bahasa, seni, dan lain-lain. Indonesia jugamenjadi rumah bagi berbagai

agama dan kepercayaan. Berbagaikepercayaan tumbuh berkembang sebagai

kepercayaan asli yangsangat lekat dengan budaya Indonesia. Kepercayaan-

kepercayaanini lahir dalam berbagai budaya lokal dalam bentuk

animisme,dinamisme, dan totemisme, jauh sebelum Indonesia menjadi

satunegara. Sampai saat ini, berbagai bentuk kepercayaan tersebutmasih dapat

ditemukan dalam penghargaan terhadap tempat-tempat, pohon, keris, cincin

yang dikeramatkan, yang menjadikhazanah tersendiri dalam studi kepercayaan

dan budayaIndonesia.1 Keberagamaan agama merupakan bentuk kekhasan

masing-masing agama dalam mengimplementasikan ajaran agamanya.

Kepenganutan agama memiliki corak beragam dalam mengekspresikan

agamanya.

Agama-agama di Indonesia memiliki ciri khas dalam budaya-

keberagamaannya, ada kecenderungan untuk bersentuhan dan berpadu dengan

budaya lokal. Masyarkat Indonesia sebagai masyarakat tradisional maka bukan

sesuatu yang mengejutkan apabila kemudian masih banyak ditemukan

1
Tumbol, S. N., & Wainarisi, Y. O. R. Folk Christian Community Pada Jemaat Kristen di
Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Resort Pendahara Katingan. Indonesian Journal of
Theology, 2023), 1-31.

1
3

masyarakat yang tetap konsisten dan tegar mempertahankan identitasnya

melalui tradisi, ritual, kepercayaan dan keyakinan warisan para leluhur,

mengenal asal-usul (nenek moyang), budaya dan sukunya.2

Ritual dipahami sebagai suatu tindakan yang bersifat mengikat, adanya

komunikasi dua arah antara manusia dengan tuhan. Dalam kacamata primal

religion ritual melibatkan individu-individu untuk melakukan suatu proses

pertemuan sakral antara manusia dengan roh leluhur (ancestor) dalam naungan

univers mistisme.3 Ritual dapat dilakukan secara individu maupun secara

komunal di suatu tempat yang disakralkan atau dianggap keramat dengan cara-

cara tertentu. Aktivitas ritual tidak hanya melibatkan objek tertentu tetapi juga

menyelami aspek batiniah, emosi, alam rasa, dan pikiran. Sesuatu yang mampu

menggetarkan hati dan jiwa manusia yang mengantarkan pada sebuah

perjalanan suci nan mistis menuju Tuhan.

Salah satu agama di Indonesia yang menganut kebudayaan lokal adalah

Hindu Kaharingan yang dianut oleh beberapa masyarakat suku Dayak,

khususnya di desa Buntut Bali. Sistem kepercayaan lama yang diperoleh secara

turun temurun dikenal dengan istilah kaharingan, sehingga orang-orang

banyak mengenal agama asli penduduk Kalimantan sebagai agama

Kaharingan..4 Agama Kaharingan merukan agama yang sangat berkaitan erat

dengan tradisi dan berbagai ritual kebudayan suku Dayak Ngaju. Salah satunya

2
Samsul Maaruf, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur Dalam Politik Agama di
Indonesia, (Yogyakarta: Center For Religious and Cross-Cultural Studies, 2017), 37-38.
3
Setiyani, Studi Riual Keagamaan, 25.
4
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian Pada Mayarakat Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah, (Palangka Raya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), 20-21.
4

ritual kematian suku Dayak Ngaju khusunya masyarakat di desa Buntut Bali

yang di kenal dengan istilah Tiwah. Upacara tiwah mengandung arti

penghormatan terakhir terhadap orang yang meninggal.5 Dalam ritual tiwah ini

perlu adanya hewan korban, Hewan korban seperti ayam, babi dan kerbau.

Dalam setiap upacara tiwah kerbau adalah hewan korban yang memiliki .nilai

paling tinggi di antara semua hewan korban lain.6 Hal ini yang menjadi faktor

utama mahalnya biaya upacara tiwah karena sulitnya mencari hewan korban

dan juga setiap tahun harga kerbau ataupun babi semakin mahal.

Beberapa masyarakat di desa Buntut Bali menganut agama Kaharingan

dan selebihnya beragama Kristen dan Islam. Berdasarkan observasi penulis

menemukan bahwa kegiatan ritual Tiwah ini dilakukan dengan gotong-royong

oleh masyarakat desa setempat baik yang beragama Kristen maupun Islam juga

ikut serta membantu. Namun dalam ritual tetap dilakukan oleh tokoh agama

atau Basir. Sehingga banyak masyarakat Kristen yang mengikuti dan

melakukan ritual tiwah, apalagi jika yang meninggal adalah saudara sendiri.

Karena dalam kepercayaan orang Kaharingan bahwa ritual tiwah ini

merupakan suatu kewajiban moral setiap keluarga. Pada dasarnya, korban

merupakan jembatan yang menghubungkan manusia dan yang ilahi. Korban

menjadi sarana ungkapan syukur atau permohonan kepada yang ilahi. Korban

syukur ini dipersembahkan ketika manusia menerima apa yang baik dari yang

5
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian, 37.
6
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian , 60.
5

ilahi misalnya panen yang berlimpah, kemenangan dalam peperangan,

kelahiran anak, pembebasan dari musuh, dan seterusnya.7

Sekarang ini kekristenan tidak lagi mepraktekan ritual korban, namun

gagasan korban tetap hidup dalam iman Kristen hingga saat ini. Ritual korban

dalam Perjanjian Lama digambarkan bahwa persembahan korban diberikan

kepada Allah sebagai bentuk persembahan untuk membangun hubungan

dengan Allah. Korban yang dipersembahkan kepada Allah merupakan bentuk

ungkapan syukur, permohonan, pertobatan, pemulihan hubungan dengan Allah

atau penebusan dosa.8 Dalam Perjanjian Baru, korban hewan yang biasa

dipersembahkan umat kepada Allah seperti yang digambarkan dalam

Perjanjian Lama tidak lagi dilakukan. Peristiwa kematian Yesus merupakan

penggenapan ibadah korban dalam Perjanjian Lama. Yesus adalah Anak

Domba Allah yang menjadi korban pendamaian untuk menghapus dosa dunia.

Yesus memberikan diri-Nya sebagai korban merupakan tanda bahwa Allah

telah mengorbankan diri-Nya untuk keselamatan kekal manusia. Pengorbanan

Yesus mencakup tiga aspek, yaitu: pertama, pembenaran manusia

(justification). Manusia yang berdosa dibenarkan oleh Yesus, sehingga

memperoleh pengampunan dosa dan menjadi manusia baru. Kedua,

pengudusan manusia (sanctification). Manusia dimurnikan dan dibersihkan

dari dosa-dosanya. Ketiga, penugasan manusia (vocation). Allah menugaskan

7
Eko Riyadi, Wacana Biblika: Ritual dan Metafor Penebusan, Vol. 15 No. 1, Januari-Maret
2015, 13.
8
H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuno (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 97.
6

manusia yang sudah dibenarkan dan dikuduskan untuk menjadi saksi dalam

dunia.9

Sama halnya dengan hewan korban dalam ritual Tiwah yang tentunya

memiliki makna tersendiri bagi umat Kaharingan yang mempercayainya.

Ritual tiwah (korban hewan) di desa Buntut Bali diikuti oleh beberapa

masyarakat Kristen, sementara dalam iman Kristen korban persembahan tidak

lagi dilakukan melainkan digambarkan dengan pengorbanan Yesus di kayu

salib untuk menebus dosa manusia. Sehubungan dengan hewan korban dalam

ritual tiwah di desa Buntut Bali, maka akan meninjau secara teologis yang

mengarah kepada iman Kristen serta melihat apakah hewan korban masih

relevan untuk dilaksanan oleh umat Kristen. Karena tidak dapat dipungkiri

bahwa masyarakat di desa Buntut Bali sudah beragama Kristen tetapi tidak

lepas dari ritual budaya yang diwariskan oleh nenek moyang.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin melakukan

penelitian yang berjudul “Tinjauan Teologis Makna Hewan Korban dalam

Ritual Tiwah bagi Masyarakat Dayak Ngaju di Desa Buntut Bali”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, adapun

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa makna hewan korban dalam ritual Tiwah bagi mayarakat Kaharingan

di desa Buntut Bali?

9
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri: Suatu
Upaya Berdogmatika Kontekstual di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 310.
7

2. Apa tinjauan teologis dari makna ritual Tiwah bagi masyarakat Kristen di

desa Buntut Bali?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah berdasarkan

rumusan masalah di atas yaitu sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis apa makna hewan korban dalam ritual

Tiwah bagi masyarakat Kaharingan di desa Buntut Bali.

2. Mendeskripsikan apa tinjauan teologis makna hewan korban dalam ritual

Tiwah bagi masyarakat Kristen di desa Buntut Bali.

D. Manfaat penulisan

Penelitian ini mempunyai manfaat, baik segi teoritis maupun praktis.

Manfaat teoritis merupakan manfaat jangka panjang dalam pengembangan

teori pembelajaran, sedangkan manfaat praktis memberikan dampak secara

langsung terhadap komponen-komponen pembelajaran. Manfaat teoritis dan

manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan ilmiah sebagai pijakan atau referensi pada

penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan ritual Tiwah

dalam Masyarakat Dayak Ngaju.

2. Manfaat Praktis
8

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi acuan serta masukan

dan sumbangan pemikiran masyarakat Dayak Ngaju, terutama dalam

pemaknaan hewan korban dalam ritual Tiwah.

b. Sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah

yaitu Proposal Teologi program studi strata 1 (S1) Prodi Teologi Kristen

di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Palangka Raya.

E. Batasan Masalah

Penelitian ini membahas tentang “Tinjauan Teologis Makna Hewan

Korban dalam Ritual Tiwah bagi masyarkat Dayak Ngaju di desa Buntut Bali”.

Oleh sebab itu, untuk menghindari kesimpangsiuran masalah penelitian ini

maka penulis hanya berfokus pada makna hewab korban dalam ritual Tiwah

bagi masyarakat Dayak Ngaju di desa Buntut Bali.

F. Alasan Pemilihan Judul

Alasan penulis untuk memilih judul ini karena permasalahan dalam

penelitian ini adalah suatu hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Proses

Tiwah sangat sacral bagi umat Kaharingan suku Dayak Ngaju, dan wajib

dilakukan bagi setiap umat yang meninggal. Namun, pelaksananaan biaya

ritual Tiwah sangat mahal dengan berbagai perlengkapannya terutama hewan

korban (ayam, babi dan kerbau). Kemudian kegiatan ritual ini sekaligus diikuti

oleh mayarakat di desa Buntut Bali termasuk masyarakat yang menganut

agama Kristen. Kekristen saat ini tidak melakukan ritual korban lagi melainkan

lebih memaknai pengorbanan Yesus. Penulis tertarik untuk menggali makna


9

hewan korban dalam ritual Tiwah yang dilakukan oleh masyarakat di desa

Butut Bali yang tinjinjau dari segi iman Kristen.

G. Definisi Istilah

1. Tinjauan Teologis adalah suatu pandangan/ pemahaman yang merupakan

hasil dari kegiatan meninjau dengan cara pendekatan yang menekankan

sudut pandang keagamaan/iman Kristen.

2. Makna Makna merupakan arti, maksud atau suatu pengertian yang

dinyatakan dalam suatu kalimat.

3. Korban dasarnya mengacu pada persembahan kurban yang diberikan

manusia kepada Tuhan dengan tujuan melakukan penghormatan,

memenangkan hati, atau mendapatkan pengampunan. Benda yang

dikurbankan biasanya berupa hewan yang disembelih secara ritual

kemudian dipindahkan dari alam manusia ke alam dewa dengan cara

dibakar di atas altar dan lain sebagainya.

4. Ritual merupakan suatu kegiatan dalam keagaman ataupun budaya yang

diwariskan secara turun temurun, kegiatan tersebut berupa gerakan,

nyanyian, dan bacaan ataupun dilengkapi dengan persembahan dan lain-

lain.

5. Tiwah merupakan ritual kematian dengan tujuan menghantarkan roh orang

yang meninggal ke sorga, ritual hanya dilakukan bagi yang beragama

Kaharingan suku Dayak.


10

6. Dayak Ngaju merupakan Suku ngaju merupakan sub etnis dayak terbesar

di Kalimantan tengah yang persebarannya cukup luas dan utamanya

terkonsentrasi di daerah Kota Palangka Raya, Kalimatan Tengah.

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan proposal ini sistematikanya diawali dengan Bab I

sebagai pendahuluan berisi rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, pembatasan masalah, alasan pemilihan judul, definisi istilah dan

sistematika penulisan, Bab ini merupakan bab yang berisi latar belakang

mengenai permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan judul yang dipilih,

yaitu Tinjauan Teologis Makna Hewan Kurban dalam Ritual Tiwah bagi

masyarakat Dayak Ngaju di desa Buntut Bali.

Pada Bab II akan membahas landasan teori yang digunakan yang

tersusun atas teori umum dan teologi yang merupakan dasar-dasar pemikiran,

yang akan penulis gunakan dalam menjawab permasalahan. Teori-teori yang

diuraikan terkait dengan judul penelitian, selain itu juga didukung dengan

bahan dari hasil penelitian sebelumnya.

Selanjutnya pada Bab III akan membahas tentang metode penelitian,

merupakan bab yang berisi pendekatan penelitian, jenis penelitian, tempat

penelitian, waktu penelitian, sumber data penelitian, teknik pengumpulan data,

dan teknik analisis data.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Ritual

1. Makna Ritual

Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama

dengan menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu,

di tempat tertentu halnya dalam ritual upacara kematian, banyak

perlengkapan, benda-benda yang harus disiapkan dan dipakai. Ritual

adalah cara, tanda, simbol, lambang tentang ketuhanan yang dapat

membangkitkan kekuataan kepercayaan. Spiritual lebih merujuk pada

batin, mental dan kejiwaan seorang umat Tuhan dan ritual lebih mengacu

pada kegiatan fisik demi kepentingan ketuhanan. Upacara adalah kesatuan

rangkaian berbagai bentuk dan unsur berkomunikasi atau berelasi dengan

ilah-ilah, roh nenek moyang, dan roh alam. Koentjaningrat

mengidentifikasikan sebelas unsur upacara (ritus), yakni bersaji,

berkurban, berdoa, makan bersama, menari, menyanyi, berprofesi, berseni

drama, berpuasa, intoksinasi, bertapa dan bersemedi.10

Ritual merupakan bagian yang esensial dalam kehidupan manusia.

Ritual hidup seiring dengan kehidupan manusia dan kehidupan manusia

ikut berpengaruh memberikan isi bagi ritual di tengah-tengah kehidupan

10
Malania, I. Ritual Tiwah Sandung Runi Dan Tiwah Sandung Tulang:(Studi Kasus Keluarga
Gi dan Keluarga Ru Di Desa Bangkal Kecamatan Seruyan Raya Kabupaten Seruyan). Journal
SOSIOLOGI, 2(2), 2019: 84.

11
12

lingkungan sosial masyarakat. Dalam bukunya Ritual Theory, Ritual

Practice, Catherine Bell menjelaskan ritual sebagai praktik yang mengacu

kepada sebuah strategi atau cara bertindak yang dibedakan dari cara

bertindak lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Ritual digambarkan

sebagai tindakan yang dilakukan berulang-ulang, kebiasaan dan

merupakan ekspresi dari ide-ide yang dituangkan dalam tindakan.11

Strategi atau cara bertindak tersebut tidak muncul dengan sendirinya,

namun merupakan konstruksi manusia ketika berhadapan dengan berbagai

situasi. Oleh karena itu, ritual terlihat sebagai sebuah aktivitas yang unik

dan berbeda dari aktivitas lainnya.

Ritual merupakan sebuah strategi mengenai cara bertindak dalam

situasi sosial khusus yang disebut dengan istilah ritualisasi.12 Ritualisasi

merupakan strategi atau praktik yang berbeda dengan praktik-praktik

lainnya dalam setiap tindakan budaya. Selain itu, ritualisasi juga dapat

membedakan kegiatan-kegiatan yang bersifat sakral dan profan dengan

tindakan-tindakan lainnya dalam kehidupan masyarakat.13 Bell

menggambarkan bahwa strategi ritualisasi berakar pada bangunan sosial

yaitu konteks atau lingkungannya. Konteks atau lingkungan merupakan

bangunan kehidupan ritual. Menurutnya, bangunan sosial yaitu konteks

atau lingkungan berkaitan erat dengan pengalaman kosmologi masyarakat,

11
Catherine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice (New York: Oxford University Press, 2009),
19.
12
Bell, Ritual Theory, Ritual Practice, 90.
13
Bell, Ritual Theory, Ritual Practice,, 90-91.
13

sehingga ritual memiliki peran dan fungsi dalam membangun tubuh atau

bangunan sosial masyarakat.14

Konteks ritual bervariasi, misalnya konteks adat atau tradisi, konteks

sosial, konteks historis dan konteks ruang dan waktu. Bangunan ritual

bersifat dinamis, karena mengalami perubahan seiring dengan perubahan

konteks. Hal ini berarti, ritual bersifat dinamis dari waktu ke waktu dan

mengalami perubahan jika konteksnya berubah. Ritual berfungsi sebagai

alat yang efektif untuk menjembatani tradisi dan perubahan, yaitu sebagai

media untuk mendukung perubahan yang terjadi dalam masyarakat,

melestarikan tradisi atau budaya, memperkuat keutuhan komunitas dan

membangun identitas suatu komunitas atau masyarakat.

2. Fungsi Ritual dalam Kehidupan Manusia

Ritual merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan

manusia, karena telah ada ketika adanya kepercayaan yang kemudian

diwariskan nenek moyang. Dalam pandangan Emile Durkheim, ritus

merupakan aturan tentang perilaku yang menentukan bagaimana manusia

harus mengatur hubungan dirinya dengan yang sakral. Menurutnya, istilah

Sakral (The Sacred) merupakan pengalaman kemasyarakatan yang menjadi

lambang kebersatuan transenden yang dimanifestasikan dalam simbol-

simbol masyarakat. Sakral berarti sesuatu yang tinggi, agung, berkuasa,

dihormati dan dalam kondisi profan ia tidak tersentuh atau terjamah. Istilah

Sakral berasal dari ritual-ritual keagamaan yang mengubah nilai-nilai

14
Bell, Ritual Theory, Ritual Practice, 98.
14

moral menjadi simbol-simbol religius yang dimanifestasikan menjadi

sesuatu yang nyata.15 Oleh karena itu melalui ritual menjadi sarana yang

menghubungkan antara manusia dan Sang Pecipta.

Menurut Mercea Eliade, sebagaimana dikutip oleh Mariasusai

Dhavamory, menyatakan bahwa “ritual adalah sesuatu yang

mengakibatkan suatu perubahan ontologis pada manusia dan

mentransformasikannya pada situasi keberadaan yang baru, misalnya;

penempatan-penempatan pada lingkup yang kudus”. Dalam makna

religiusnya, ritual merupakan gambaran yang suci dari pergulatan tingkat

dan tindakan, ritual mengingatkan peristiwa-peristiwa primordial dan juga

memelihara serta menyalur pada masyarakat, para pelaku menjadi setara

dengan masa lampau yang suci dan melanggengkan tradisi suci serta

memperbaharui fungsi-fungsi hidup anggota kelompok tersebut.16 Dalam

kehidupan manusia, ritual dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku

manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan gambaran di atas, ritual dibedakan menjadi empat

macam, yaitu 17 :

a. Tindakan magis, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan

yang bekerja karena daya-daya mistis.

b. Tindakan religius, kultur para leluhur juga bekerja dengan cara ini.

15
George Ritzer, Teori Sosiologi (Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern), diterjemahkan oleh: Saut Pasaribu, Rh. Widada, Eka Adinugraha (university of
Maryland), 168.
16
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 176.
17
Bustanul Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia ( Raja Grafindo Persada, 2006 ), 183.
15

c. Ritual konstitutif, yang mengugkapkan atau mengubah hubungan

sosial dengan merujuk pada pengertian mistis, dengan cara ini

upacara-upacara kehidupan menjadi khas.

d. Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan

pemurnian dan perlindungan atau dengan cara meningkatkan

kesejahteraan materi suatu kelompok.

B. Makna Korban dalam Iman Kristen

Korban merupakan persembahan yang diberikan sebagai ungkapan

syukur, dengan berbagai bentuk seperti uang, hewan, emas ataupun sesajian.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korban berarti pemberian

untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan atau memberikan sesuatu sebagai

korban.18 Pemberian korban biasanya dilakukan oleh manusia kepada kuasa

yang dianggap memiliki kekuatan yang lebih tinggi, yaitu kepada Tuhan dan

juga kepada dewa-dewa maupun roh-roh leluhur. Melalui korban persembahan

tersebut, manusia berupaya untuk membangun komunikasi dengan kekuatan di

luar dirinya untuk memperoleh pertolongan. Ritual korban dilakukan oleh

masyarakat primitif hingga saat ini.

Nenek moyang zaman dahulu memiliki kepercayaan terhadap roh-roh

leluhur. Masyarakat memahami bahwa leluhur memiliki kuasa yang mampu

untuk mempengaruhi kehidupan manusia, misalnya menjaga dan memelihara

kehidupan mereka. Oleh karena itu terdapat berbagai bentuk ritual yang

18
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kamus versi online/daring (Dalam Jaringan). di
akses pada 15 Januari. 2024
16

dinaikkan kepada leluhur dengan cara memberikan persembahan atau korban

sesajian. Kepercayaan terhadap roh-roh leluhur dapat dipahami sebagai sikap,

kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan pendewaan orang-orang

yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan

kekeluargaan. Selain itu, kepercayaan terhadap roh-roh leluhur mengandaikan

bahwa leluhur yang telah meninggal sebenarnya masih hidup dalam wujud

yang efektif dan dianggap masih dapat berhubungan dengan kehidupan

manusia dan diyakini memiliki kuasa yang dapat menolong.19

Ada tiga motif di balik praktik pemujaan leluhur, yaitu:20 pertama,

adanya keyakinan dari pemberi korban bahwa kuasa roh-roh leluhur turut

mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga praktik pemujaan terhadap

leluhur merupakan wujud penghormatan dan respon terhadap leluhur atas

semua yang telah diterima, misalnya perlindungan, kesuburan tanaman dan

lain-lain. Kedua, adanya pemahaman bahwa roh-roh leluhur akan marah jika

tidak diperhatikan, sehingga pemujaan terhadap leluhur menggambarkan rasa

takut. Ketiga, adanya keyakinan bahwa roh-roh leluhur memiliki kuasa yang

dapat menolong kehidupan manusia, sehingga pemujaan yang dilakukan

merupakan bentuk permohonan untuk memperoleh berkat dan perlindungan.

Kekristen juga mengenal adanya korban sebagai persembahan, namun

untuk zaman persembahan lebih mengarah kepada bentuk uang yang

diserahkan kepada gereja. Sejarah alkitab mencatat adanya tradisi korban

19
Dhavamony, Fenomenologi Agama , 32.
20
J. Verkuyl, Etika Kristen Kapita Selekta (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 27-33.
17

seperti korban hewan dalam Perjanjian Lama, berbeda dengan Perjanjian baru

konsep korban lebih kepada kematian Yesus untuk menebus dosa manusia.

Adapun makna korban dalam alkitab sebagai berikut:

Dalam Perjanjian Lama digambarkan bahwa persembahan korban

diberikan kepada Allah sebagai bentuk persembahan untuk membangun

hubungan dengan Allah. Korban yang dipersembahkan kepada Allah

merupakan bentuk ungkapan syukur, permohonan, pertobatan, pemulihan

hubungan dengan Allah atau penebusan dosa.21 Darah hewan yang

dipersembahkan kepada Allah berfungsi sebagai pemurnian atau pembersihan

atas dosa-dosa (Imamat 17:10-16). Beberapa aturan yang harus dilakukan saat

mempersembahkan korban, yaitu: korban harus dipersembahkan oleh imam,

hewan korban haruslah yang tidak bercela, darah korban dipersembahkan

kepada Allah, daging hewan harus dibakar, dan setelah ritual selesai maka

orang yang membakar harus segera pulang untuk mencuci pakaiannya dan

membersihkan diri (Imamat 16:27).

Korban dalam konteks Perjanjian Baru, bukan lagi korban hewan yang

biasa dipersembahkan umat kepada Allah seperti yang digambarkan dalam

Perjanjian Lama tidak lagi dilakukan. Peristiwa kematian Yesus merupakan

penggenapan ibadah korban dalam Perjanjian Lama. Yesus adalah Anak

Domba Allah yang menjadi korban pendamaian untuk menghapus dosa dunia.

Yesus memberikan diri-Nya sebagai korban merupakan tanda bahwa Allah

telah mengorbankan diri-Nya untuk keselamatan kekal manusia. Pengorbanan

21
H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuno (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 97
18

Yesus mencakup tiga aspek, yaitu: pertama, pembenaran manusia

(justification). Manusia yang berdosa dibenarkan oleh Yesus, sehingga

memperoleh pengampunan dosa dan menjadi manusia baru. Kedua,

pengudusan manusia (sanctification). Manusia dimurnikan dan dibersihkan

dari dosa-dosanya. Ketiga, penugasan manusia (vocation). Allah menugaskan

manusia yang sudah dibenarkan dan dikuduskan untuk menjadi saksi dalam

dunia.22

Berdasarkan hal di atas, artinya korban merupakan bagian dari ritual itu

sendiri yang memilki makna tertentu bagi yang mempercayainya. Salah satu

yang populer hingga saat ini yaitu korban hewan sebagai bentuk persembahan

atau penghormatan kepada Sang Pecipta. Korban yang diberikan dengan

berbeagai wujud sesajian, hewan, darah dan lainnya.

C. Perspektif Kristen Tentang Kematian dan Ritual

Tradisi-tradisi kematian ini dilakukan sebagai ucapan terima kasih dan

ungkapan rasa hormat kepada arwah orangtua atau leluhur yang telah

meninggal dunia, meminta berkat-berkat dari nenek moyang dan dijauhkan

dari gangguan jahat dan bencana-bencana yang dapat menimpa dalam rumpun

keluarga, memberi bekal bagi orang yang telah meninggal untuk hidup di alam

baka, atau karena ketakutan mendapat kesialan dari roh leluhur yang sudah

mati jika tidak memberikan penghormatan kepadanya, atau karena ketakutan

diberi label oleh orang lain sebagai orang yang tidak mengasihi atau

22
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri: Suatu
Upaya Berdogmatika Kontekstual di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 310.
19

menghormati orang mati atau leluhur, terutama orang tua, dan agar tidak

dianggap dan dipandang oleh masyarakat sebagai anak yang durhaka.

Paradigma Kristen, orang yang masih hidup tidak dapat berhubungan lagi

dengan orang yang sudah meninggal dunia, seperti tertulis dalam Pengkhotbah

9:5. Orang percaya juga tidak perlu lagi menyembelih atau melakukan tradisi

kurban yang menghabiskan banyak uang seperti yang terjadi dalam tradisi

kematian di dalam budaya yang dilakukan untuk memberi bekal dan

mengharapkan berkat mendapatkan karena Tuhan telah memberikan anak-Nya

sebagai Anak Domba untuk mene-bus dosa manusia, (Yohanes 1:29).23

Segala kurban persembahan yang diminta Allah di dalam Perjanjian

Lama telah disempurnakan dan dituntaskan dalam Perjanjian Baru melalui

pengorbanan Kristus di kayu salib. Terlebih lagi Yesus Kristus menjadi

Pengantara antara orang percaya dengan Allah, Ibrani 7:25-27 . Keselamatan

menurut iman Kristen adalah kembalinya manusia ke dalam hubungan yang

harmonis dengan Allah, seperti pada awal penciptaan. Hubungan antara Tuhan

dengan manusia ciptaan-Nya menjadi rusak karena dosa, namun demikian,

Tuhan telah men-gutus Anak-Nya untuk menjadi jalan pendamaian antara

manusia yang berdosa dengan Tuhan seperti tertulis dalam Roma 3:22-26.24

Atas dasar kebenaran Tuhan ini, orang percaya tidak perlu lagi

melakukan ritual kurban dan tidak memerlukan pengantara antara dunia orang

hidup dan dunia orang mati, seperti roh leluhur, roh orangtua, arwah, untuk

Pranata. Menjawab Tradisi Leluhur dalam paradigma Kristen, 176.


23

Magdalenan Pranata S. Menjawab Tradisi Leluhur dalam paradigma Kristen, (Yogyakarta:


24

PBMR Andi, 2021), 167.


20

berhubungan dengan Allah. Lebih lagi dalam Kisah Para Rasul 17:22-31, rasul

Paulus menjelaskan tentang Allah yang kita sembah dengan jelas. Artinya

kekristen tidak mengimani adanya roh leluhur melainkan percaya kepada

Yesus sebagai korban penebusan bagi umat manusia. Kekristen juga mengenal

adanya ritual namun tidak ada kaitanya dengan roh-roh, Semua momen-

momen besar dan upacara-upacara ritual tersebut juga dirayakan oleh umat

Kristiani. Namun, dalam Kekristenan ritual tidak hanya mengacu pada praktik-

praktik upacara keagamaan, tetapi juga mengacu pada seluruh aktivitas umat.

Penggunaan simbol dan ritual dalam praktik atau upacara keagamaan nampak

dalam sakramen, ritual penahbisan, ritual peneguhan, ibadah-ibadah dan lain-

lain. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, umat diarahkan untuk hidup dalam

penghayatan akan pengorbanan Yesus Kristus. Pengorbanan Yesus membuat

umat bertumbuh dalam iman serta dimampukan untuk menjadi komunitas yang

menghadirkan keadilan dan perdamaian.25 Oleh karena itu, ritual dalam

Kekristenan tidak hanya sekedar mengenang peristiwa kematian dan

kebangkitan Yesus melalui upacara-upacara keagamaan, melainkan nilai-nilai

pengorbanan Kristus harus terwujud dalam tingkah laku sehari-hari untuk

mewartakan karya Yesus di dalam dunia.

D. Ritual Tiwah

1. Konsep Kematian bagi Suku Dayak Ngaju

25
Bernard Cooke & Gary Macy, Christian Symbol and Ritual: An Introduction (New York:
Oxford University Press, 2005), 41-13.
21

Bagi masyarakat Dayak Ngaju yng umumnya memeluk kepercayaan

local yakni Kaharingan, kematian merupakan hal akhir yang dijalani

manusia.. Pada orang Dayak Ngaju konsep mengenai dunia akhirat

memiliki tingkatan tertentu yakni bila orang baru meninggal dunia maka

arwahnya (dalam bahasa Ngaju disebut liau/Liaw) untuk sementara waktu

menetap pada suatu tempat yang diberi nama 'bukit pasahan raung';

kemudian setelah keluarga dari orang yang meninggal ini melaksanakan

upacara penguburan kedua (tiwah) yang bertujuan menyempurnakan dan

menghantarkan arwah ke alam baka yang dianggap serba indah dan

sempurna, barulah arwah dapat masuk ke alam tertinggi yang mereka beri

nama lewu liaw atau lewu tatau.26

Dikalangan orang Ngaju ada kepercayaan bahwa roh orang yang

sudah meninggal yang belum dibuatkan upacara tiwah, maka roh ini dapat

mengganggu manusia yang masih hidup, terutama orang-orang yang

masih mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang meninggal tadi.

Berkenaan dengan kepercayaan di atas orang Ngaju dan orang Dayak pada

umumnya, mengenal tiga tingkatan dalam upacara kematian yakni :

pertama, jenasah orang yang baru meninggal akan dibuatkan upacara dan

tempat pemakaman sementara; kedua,upacara memberi makan arwah,

karena arwah masih dianggap berada di sekifar tempat tinggal manusia

sebelum upacara pemakaman kedua, masa ini dapat berlangsung satu

26
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian, 39.
22

sampai lima tahun, ketiga, upacara pemakaman kedua, di mana tulang

belulang orang yang meninggal digali atau dikumpulkan lagi dan melalui

serangkaian upacara jenazah di tempatkan pada pemakaman yang tetap.

pada orang Dayak.27

Menurut kepercayaan orang Ngaju, manusfa 'yang niasih hidup

mempunyai jiwa yang mereka beri nama hambaruan. Dan bila manusia itu

meriinggal maka roh yang meninggalkan tubuh disebut liau/liaw. Jadi

pada saat orang masih hidup jiwanya disebut hambaruan dan setelah orang

meninggal jiwa tersebut berubah namanya menjadi liaw. Roh orang yang

sudah meninggal (liaw) pada orang Ngaju digolongkan menjadi tigajenis

yaitu :28

1. Salumpuk liaw haring kaharingan, yaitu roh rohani dan jasmani.

2. Salumpuk liaw balawang panjang, yaitu roh tubuh/badan.

3. Salumpuk liaw karahang tulang, yaitu roh tulang belulang.

Ketiga jertis roh tersebut mempunyai kedudukan sendiri-sendiri

dalam sistim kepercayaan orang Ngaju. Dengan adanya perbedaari ini

maka proses pelaksanaan upacara kematian pun ikut terpengaruh oleh

konsep tersebut. Perwujudan dari pengaruh kepercayaan akan ada tiga

macam roh pada orang yang sudah meninggal dapat diketahui sewaktu

diadakan upacara penguburan kedua dimana pemimpin upacara dalam

tuturannya akan membangunkan roh-roh tersebut satu demi satu di tempat

27
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian, 39.
28
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, (Arsip Perpustakaan Daerah, 2022), 18.
23

kediaman mereka masingmasing yang menurut kepercayaan bahwa tempat

kediaman para roh itu pun berbeda-beda pula.

2. Makna Ritual Tiwah Bagi Suku Dayak Ngaju

Upacara kematian adalah salah satu upacara yang dianggap cukup

penting dalam masyarakat. Bahkan ada anggapan bahwa rangkaian

upacara-upacara yang terpenting dalam banyak religi di dunia adalah

upacara kematian. Hal yang menjadi tema utama dalam upacara kematian

umumnya melambangkan suatu proses pemisahan antara orang yang

masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Upacara kematian

merupakan titik puncak dari semua upacara yang dilakukan dalam rangka

perjalanan hidup seseorang, dapat dikatakan akhir dari semua ritus yang

ada.

Pada orang Dayak Ngaju dan orang Dayak pada umumnya, peristiwa

di mana manusia mencapai ajalnya tidak berarti hidup itu akan berhenti

sampai di situ saja, melainkan jiwa kembali ke dunia asal di mana keadaan

kekal abadi dan manusia sampai pada suatu titik kesempurnaan. Kematian

bukan berarti akhir dari hidup, tetapi kematian adalah proses peralihan

masuk dalam dunia baru yakni dunia roh. Kehidupan akan terus

berlangsung sebagaimana hidup yang pernah dijalani di dunia nyata. 29

Dalam masyarakat dayak Ngaju ada semacam kewajiban moral dan

sosial untuk melaksanakan ritual Tiwah. Kata tiwah berasal dari bahasa

29
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian Pada Mayarakat Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah, (Palangka Raya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), 29.
24

Sangiang yang berarti upacara penyucian, pembebasan roh untuk

memperoleh hidup baru, jadi ritual tiwah ini dilaksanakan oleh agama

tersebut karena dipercayai akan menghantar arwah kepada Ranying

Hatalla langit yang akan menyucikan arwah untuk memperoleh hidup

bersama dengan Ranying Hatalla kepada penyempurnaan, atau disebut

penyempurnaan roh liau balawang panjang (unsur bapak) dan roh liau

karahang tulang (unsur ibu). Tujuannya, dengan melaksanakan upacara

tiwah ini kedua roh tersebut akan lebih suci, sehingga memperoleh

penyatuan dengan Allah (Ranying Hatalla).30

Berdasarkan hal di atas, bahwa ritual Tiwah merupakan nama sebuah

upacara penghantar kerangka jenazah ke tempat peristirahatan yang

terakhir. Tradisi ini hanya dilakukan oleh suku dayak yang ada di

Kalimantan Tengah. Upacara Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh

leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan

cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju

sebuah tempat yang bernama Sandung/balai nyahu. Pelaksanaan upaca

tiwah, ritual yang dilakukan suku dayak untuk bertujuan mengantar arwah

menuju tempat asal (lewu tatau/ bisa disebut sorga) bersama Ranying

Hatalla (dewa tertinggi dalam kepercayaan Kaharingan).

Ritual Tiwah ini wajib dilakukan dalam upacara kematian suku

Dayak Ngaju yang berama Kaharingan. Pihak keluarga dari orang yang

30
Diana, R., Budiman, S., & Maharin, M. (2021). Makna Penebusan Dalam Upacara Tiwah
Sebagai Pendekatan Kontekstualisasi Injil. Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia, 2(1), 13-14.
25

meninggal itu merasa wajib mengantarkan arwah.ke dunia roh, dunia yang

menurut alam pikiran mereka adalah serba sempuma. Keadaan yang serba

sempuma tersebut sebenamya pemah manusia alami sebelum mereka

melakukan pelanggaran titah terhadap Yang Kuasa. Sebagai sarana untuk

mencapai alam akhirat harus melalui upacara-upacara, yang

perwujudannya nampak pada upacara tiwah. Orang yang meninggal dan

belum menjalani upacara yang dimaksud menurut kepercayaan orang

Ngaju tidak dapat memasuki dunia arwah yang serba abadi, arwah akan

tetap berada di sekitar lingkungan manusia yang masih hidup dan bahkan

akan mengganggu sanak keluarga .yang masih hidup tersebut. Gangguan

itu dapat berupa kegagalan panen, penyakit, serta bahaya-bahaya lain yang

terus mengancam.31

Upacara Tiwah ini menjadi kewajiban sosial juga bagi masyarakat

dayak Ngaju, maksudnya yakni bila keluarga-keluarga lain mampu

melaksanakan upacara tiwah ketika ada dari anggotanya yang meninggal,

mengapa kita tidak. Nanti dianggap kurang mampu dan tidak tahu

berterima kasih, lebihlebih lagi jika yang. meninggal itu adalah orang tua

seperti ayah, ibu, kakek atau nenek. Upacara tiwah mengandung arti

penghormatan terakhir terhadap orang yang meninggal.32 Ritual upacara

kematian khususnya ritual Tiwah umat Kaharingan wajib dilaksanakan

dan sangat bermakna, tujuan ritual Tiwah itu dilaksanakan agar

31
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian., 30.
32
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian.., 30.
26

masyarakat atau keluarga yang ditinggalkan dapat tenang dan jauh dari

penyakit dan segala sial yang menimpa mereka karena ditinggal dari salah

satu anggota keluarganya yang telah meninggal. Ritual ini juga bertujuan

agar arwah yang meninggal dapat berangkat dan sampai menuju lewu liau

yang dihantarkan melalui upacara Tiwah ini.33

Upacara Tiwah dalam kepercayaan Dayak Ngaju yaitu: pertama,

kreasi seni rupa dan seni patung yang diekspresi pada Sandung (tempat

menyimpan tulang belulang orang sudah di tiwah, Sapundu (patung yang

menggambarkan kehidupan orang tersebut di dunia), Pantar (yang

dipahami sebagai jembatan menuju lewu tatau (surga) yang dihiasi dengan

berbagai ukiran. Kedua, penghormatan terhadap roh-roh leluhur dan bakas

tiwah (pemimpin) jiwa yang biasanya melakukan musyawarah dan

pelaksanaan dan mengambil keputusan dalam penyelenggaraan upacara

tiwah. Ketiga, tertib hukum baik yang berkenaan dengan hubungan sosial

maupun dengan upacara keagamaan karena selama upacara tiwah terdapat

pali dalam kurung pantangan yang tidak boleh dilakukan seperti

perkelahian. Keempat, muncul norma sosial yang mengatur hubungan

kerjasama seperti handep, yaitu kerjasama yang bersifat timbal balik

dalam mengatasi masalah pendanaan untuk melaksanakan upacara tiwah

dan laluhan (dukungan masyarakat yang tidak mengikat). Kelima, tukang

hanteran yang berfungsi sebagai media penghubung antara dunia

33
Malania, I. (2019). Ritual Tiwah Sandung Runi Dan Tiwah Sandung Tulang:(Studi Kasus
Keluarga Gi dan Keluarga Ru Di Desa Bangkal Kecamatan Seruyan Raya Kabupaten
Seruyan). Journal SOSIOLOGI, 2(2), 83.
27

kehidupan manusia dengan dunia roh dan sang penguasa dunia lapisan atas

melalui upacara ritual menabur behas.34

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis memahami bahwa ritual

Tiwah ini merupakan sebuah upacara kematiaan yang bertujuan

menghantarkan roh orang meninggal. Ritual ini wajib dilakukan bagi

masyarakat Dayak Ngaju khususnya yang beragama Kaharingan. Jika

tidak dilakukan maka akan berdampak bagi keluarga yang ditinggalkan

bahkan bisa mendatangkan musibah.

3. Pelaksanaan Ritual Tiwah

Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk Liau Uluh Matei ialah

upacara kematian yang dilakukan oleh suku Dayak Ngaju di Kalimantan

Tengah. Upacara Tiwah sendiri merupakan upacara sakral terbesar dalam

Suku Dayak khususnya bagi para penganut Hindu Kaharingan. Hal ini

dikarenakan upacara Tiwah melibatkan sumber daya yang banyak dan

waktu yang cukup lama. Pada tahun 2014, upacara Tiwah telah dimasukan

ke dalam penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang dilakukan

oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.35

a. Biaya/Anggaran Pelaksanaan Ritual Tiwah

Upacara Tiwah dalam masyakat Dayak Ngaju merupakan acara

besar yang juga membutuhkan biaya sangat besar. Keluarga atau

kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan upacara Tiwah harus

34
Salmon Batuallo, Peranan Nilai Budaya Masyarakat Dayak Ngaju dalam Memelihara
Lingkungan di Provinsi Kalimantan Tengah, ( Pontianak: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Pontianak Wilayah Kalimantan, 2009), 27.
35
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 19.
28

membuat sejumlah keperluan pendukung dan beberapa hewan korban.

Dalam pelaksanaanya, upacara ini biasanya membutuhkan biaya

antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Karena biaya yang besar

tersebut, penyelenggaraan upacara Tiwah dapat menjadi simbol sosial

seseorang atau keluarga. Semakin meriah dan durasi yang lama, maka

status sosial seseorang semakin tinggi.36

Bagi keluarga yang memiliki kekayaan, upacara Tiwah dapat

dilaksanakan secara mandiri yakni hanya dengan keluarganya sendiri

dan dilakukan sesegera mungkin setelah kematian sanak keluarganya.

Sedangkan bagi keluarga yang kekayaannya tidak melimpah, upacara

Tiwah dapat dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong oleh

beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa. Istilah bergotong

royong ini dalam bahasa Ngaju dinamakan handep. Biasanya, mereka

akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian

menyelenggarakan upacara Tiwah.

b. Waktu dan Pelaksaaan ritual Tiwah

Upacara Tiwah umumnya memiliki durasi selama tujuh hingga

empat puluh hari. Sebagai upacara sakral terbesar bagi masyarakat

Dayak Ngaju, penyelenggaran upacara Tiwah harus berjalan secara

sempurna. Penyelenggara harus cermat terhadap segala persiapan dan

pelaksanaannya. Bila dalam pelaksanaan upacara Tiwah terjadi

kekeliruan atau pelaksanaanya tidak sempurna, maka keluarga yang

36
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 20.
29

ditinggalkan dipercaya akan menanggung beban berat seperti

rejekinya tidak lancar dan kesehatannya terganggu.37

Waktu penyelenggaran upacara Tiwah biasanya dilangsungkan

pada saat setelah musim panen padi yakni sekitar bulan Mei, Juni dan

Juli.38 Pemilihan waktu setelah panen dikarenakan pada waktu

tersebut orang-orang memilki cadangan pangan yang cukup bagi

anggota keluarga yang akan menyelanggarakan upacara Tiwah. Selain

itu, masa pascapanen bersamaan dengan masa liburan anak sekolah.

Masyarakat dianggap memiliki waktu yang luang dengan tidak

menyibukkan diri dalam kegiatan pertanian. Dengan begitu,

diharapkan dapat melangsungkan upacara Tiwah tanpa harus

terganggu dengan kekurangan pangan, kegiatan bertani dan hal

lainnya.

c. Tahapan Ritual Tiwah

Secara garis besar, ritual kematian dalam masyarakat Dayak

gaju dapat dibagi menjadi dua yakni, upacar-upacara yang dilakukan

setelah keatian seseorang hingga penguburan sementara dan upacara

Tiwah. Umumnya jeda ini berlangsung selama 1 tahun hingga

beberapa tahun.39 Dalam Masa jeda atau masa upacara kematian

setelah meningal dan peguburan pertama dengan berlangsungnya

upacara tiwah, diadakan ssejumlah upaacara yang bertujuan memberi

37
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 21.
38
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 21.
39
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 22.
30

makan dan sesaji kepada arwah. Adapun upacara tersebut sebagai

berikut:40

1) Meniti yaitu membunyikan gong dengan irama tertentu yang

ertujuan memberi kabar kepada masyarakat sekitar bahwa baru

saja ada orang meninggal dunia. Dengan terdengarnya bunyi

gong yang menandakan adanya kematian tersebut, keluarga yang

mengalami musibah akan segera mendapat pertolongan dari

sanak keluarga dan handai taulan.

2) Mahunjur yaitu upacara membersihkan dan memandikan jenasah.

Kemudian jenasah diberi berpakaian dan diangkat ke rumah

jenasah (pasah hantu) yang terletak di tengah-tengah rumah. Pada

waktu jenasah dimandikan hingga diangkat ke rumah jenasah

orang membunyikan satu gong dengan irama cepat, dengan kata

lain gong dipukul cepat dan berturut-turut.

3) Minih hantu yaitu menjaga jenasah selama satu malarn penuh.

Untuk mengisi waktu orang-orang yang ikut berjaga terlibat

dalam berbagai jenis permainan seperti misalnya main kartu,

berlemparan dengan beras panas, dan sebagainya.

4) Manampa raung yaitu suatu kegiatan membuat peti jenasah di

hutan. Sebelum pohon kayu yang akan digunakan untuk peti

40
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian.., 42-46.
31

jenasah ditebang terlebih dahulu orang memoles atau memerciki

pohon tersebut dengan darah ayam atau darah babi.

5) Manatun yaitu tuturan-tuturan sedih yang mengisahkan riwayat

kehidupan dari orang yang meninggal, biasanya dilakukan oleh

seorang wanita yang sudah berumur (tua).

6) Memalas peti jenasah yaitu semacam upacara pengucapan

syukur, setelah itu orang mengangkat peti jenasah ke luar rumah

diiringi bunyi gong (meniti) serta peti jenasah dipayungi.

7) Tantulak matey yaitu upacara mengusir roh-roh jahat yang datang

pada waktu ada peristiwa kematian.

Beberapa tahap kegiatan yang dilakukan berkenaan dengan

pelalaksanaan upacara tiwih tertulis dalam uraian-uraian berikut :

1) Memilih dan menentukan orang yang akan memimpin upacara,

biasanya terdiri tujuh atau sembilan orang dan salah seorang dari

mereka bertindak sebagai pimpinan (upo).41 Sudah tentu

pimpinan yang ditunjuk adalah orang yang cukup berpengalaman

dan memang telah menguasai bidangnya.

2) Mempersiapkan peralatan upacara, hal-hal yang perlu disediakan

antara lain adalah:

a) Balay tiwah yaitu tempat para balian mengucapkan doa dan

puji syukur agar arwah dapat tiba dengan selamat ke dunia

41
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 23.
32

akhirat (lewu tatau). Balay tiwah semacam rumah kecil yang

berukuran lebih kurang 9 x 12 meter, semua bahan-bahannya

terbuat dari kayu-kayu yang masih utuh (bulat). Digunuanakn

untuk menyimpan gong.

b) Sangkay raya yaitu sejumlah batang bambu yang tersusun rapi,

dan batang-batang bambu tersebut diraut dekat ruas-ruasnya

sehingga terbentuk menjadi rautan-rautan kecil yang

menyerupai bulu-bulu. Sangkay raya didirikan di depan balay

tiwah dan bila upacara tiwah selesai sangkay raya tersebut

kemudian dipindahkan ke dekat tempat penguburan

(sandong).42

c) Sandong/sandung yaitu tempat menyimpan tulang-tulang

manusia setelah upacara tiwah berakhir. Sandong biasanya

terbuat dari kayu besi (ulin) yang sangat kuat dan dapat

bertahan lebih dari 100 tahun lamanya. Pada dinding-

dindingnya biasanya dilukis atau diukir dengan motifmotif

tertentu. Umumnya uk~n sarrlong berkisar 0,5 -1,5 meter

lebar dan tinggi 0,5 meter. 43

d) Sapundu yaitu tiang kayu yang dipahat meajadi bentuk patung

manusia atau patung sejenis hewan tertentu, kera misalnya.

Tiang ini ditanam ke dalam tanah, den8an ketinggian dari

42
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian.., 49.
43
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 23.
33

permukaan tanah ke atas lebih kurang 1,5 - 3 meter dan

bergaris tengah antara 15 -25 cm. Fungsi sapundu untuk

mengikat hewan korban yang akan dibunuh, umumnya hewan

korban yang dimaksud adalah kerbau. Jumlah sapundu yang

dibutuhkan sama dengan jumlah kerbau yangakan

dikorbankan.44

e) Pantar yaitu sebuah tiang yang terbuat dari kayu besi, pada

bagian bawahnya diukir sesuai dengan motif yang umum

berlaku. Pada bagian atas dari tiang ini dipahatkan gambar

burung enggang (tingang). Di ujung atas dari tiang biasanya

orang menusukkan sebuah belanga/guci atau sebuah gong.

Tiang pantar didirikan dekat sandung sebagai pertanda pesta

tiwah telah selesai: Tiang pantar bergaris tengah antara 20 -

30 cm dan tinggi dari permukaan tanah lebih kurang 10

meter.45

f) Bara-bara yaitu semacam pintu gerbang yang didirikan di tepi

sungai, karena umumnya rumah-rumah orang Ngaju terletak

di tepi sungai. Di sebelah menyebelah pintu gerbang orang

memancangkan beberapa buah tiang kayu dengan jumlah

·yang sama dengan jumlah peti jenasah (raung) yang

diikutsertakan dalam upacara tiwah. Tiang-tiang kayu tadi

44
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 24.
45
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian, 51.
34

dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan daun-daunan

kayu tertentu yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut daun

biru.46

g) Pasah pali yaitu sejenis rumah-rumahan tempat meletakkan

saji-sajian. Pasah pali dibuat dari bahan kayu-kayu utuh yang

masih bulat, beratap daun, berada di atas beberapa tiang ·

dengan tinggi kira-kira dua meter. Ukuran panjang dan lebar

lebih kurang 1x1 meter, jadi berbentuk persegi empat.47

h) Garantung (gong) dan kakandin (kain merah). Gong selain

berfungsi sebagai alat bunyi-bunyian, juga dipergunakail

untuk membawa tulang-tulang dari satu tempat ke tempat lain.

Kain merah untuk alat membungkus tulang behilang sebelum

dimuukkan ke dalam sandong.48

i) Pemahay yaitu suatu tempat atau wadah yang disediakan untuk

membakar jenasah.

j) Hewan korban seperti ayam, babi dan kerbau. Dalam setiap

upacara tiwah kerbau adalah hewan korban yang memiliki

nilai paling tinggi di antara semua hewan korban lain. 49

Pelaksanaan upacara Tiwah pada memiliki sejumlah perbedaan di

masing-masing daerah. Penyebabnya adalah tidak adanya pedoman

46
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 24.
47
L. Dyson & Ashari. M, Tiwah Upacara Kematian, 51.
48
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 24.
49
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 25.
35

penyelenggaran yang secara resmi ditulis. Sehingga masing-masing kelompok

masyarakat Dayak yang terdiri dari berbagai sub-suku menafsirkannya

berbeda-beda. Namun, pada dasarnya pelaksanaan upacara Tiwah memiliki

tujuan yang sama yakni mengantarkan arwah ke negeri yang kekal. Adapun

pelaksanaan Inti dari ritual Upacara Tiwah adalah sebagai berikut:50

1) Hari Pertama : Pada hari pertama upacara Tiwah, bangunan berbentuk

rumah yang disebut Balai Pangun Jandau mulai dibuat. Dalam proses

pembuatannya, terdapat syarat yang harus dipenuhi yakni kurban seekor

babi yang disembelih oleh Bakas Tiwah.

2) Hari Kedua: Pada hari kedua, dilakukan prosesi pembuatan sangkaraya

sandung rahung yang diletakkan di depan rumah bakas Tiwah. Bangunan

tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan tulang belulang salumpuk

liaw. Selanjut, darah babi diambil sebagai syarat untuk melakukan

mamalas sangkaraya sandung rahung. Selain itu, pada hari ini berbagai

macam alat musik seperti gandang, garatung kangkanung, katambung,

torol, dan taral mulal dibunyikan. Sebelumnya, semua alat musik tersebut

harus di-palas atau di-saki dengan darah hewan kurban terlebih duhulu.

3) Hari Ketiga: Pada hari ketiga, hewan kurban seperti sapl atau kerbau akan

diikat di sangkaraya. Tiga orang memiliki tugas untuk melakukan

mangajan, yakni sejenis tarian sakral. Saat melakukan mengajan akan

diiringi dengan tabuhan alat musi dan sorakan kegembiran. Selain itu,

50
Sontoe, BJ. H.D, dkk. Dayaklogi, 25-27.
36

dilakukan juga kegiatan melempar beras merah dan beras kuning ke

angkasa. Setelah prosesi mangajan selesai, hewan kurban akan dibunuh

dan darahnya akan dikumpulkan dalam sebuah wadah bernama sangku.

Darah ini akan digunakan untuk menyaki dan memalas semua orang dan

peralatan yang digunakan selama upacara Tiwah. Tujuannya adalah

membersihkan segala kotoran sehingga menjadi suci.

4) Hari Keempat: Pada hari keempat, tidak jauh dari Sangkaraya didirikan

tiang panjang yang disebut Tihang Mandera. Tiang tersebut menjadi tanda

bahwa kampung tersebut tertutup karena sedang berlangsung upacara

Tiwah, Penduduk yang belum di-saki atau di-palas, dilarang masuk ke

dalam kampung. Pada hari ini, ahli waris arwah atau salumpuk liaw mulai

melaksanakan sejumlah pantangan.

5) Hari Kelima: Pada hari kelima, hewan-hewan yang akan dikurbankan

diikat di sapundu. Para tamu yang hadir biasanya akan mengelilingi hewan

kurban tersebut. Selain itu, pada hari ini sandung mulai dibangun.

6) Hari keenam: Pada hari ini, dilaksanakan puncak upacara Tiwah. Para

tamu akan hadir dengan menaiki rakit atau kapal yang berisi sesaji atau

persembahan. Kapal tersebut dinamakan lanting laluhan atau kapal

laluhan.

7) Hari Ketujuh: Pada hari ketujuh yang merupakan hari terakhir pelaksanaan

inti upacara Tiwah, arwah anggota keluarga atau salumpuk liaw akan

melakukan perjalanan menuju Lewu Liaw. Proses ini diawali dengan

proses pengurbanan hewan yang diaikat di sapundu dengan cara ditombak.


37

Selanjutnya, ada prosesi tarian kanjan. Terakhir, tulang belulang yang

telah dibersihkan akan dibungkus menggunakan kain merah dan

dimasukkan ke dalam sandung.

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu bertujuan untuk mendapatkan bahan perbandingan

dan acuan. Selain itu, menghindari anggapan kesamaan dengan penelitian ini.

Maka dalam kajian pustaka ini peneliti mencantumkan hasil-hasil penelitian

terdahulu. Pada penelitian ini penulis mencantumkan tiga hasil penelitian yang

memiliki relevansi atau keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan sebagai

berikut:

1. Hasil penelitian Ina Malania (2019)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ina Malania (2019) dengan

judul “Ritual Tiwah Sandung Runi dan Tiwah Sandung Tulang (Studi

Kasus keluarga Gi dan Keluarga Ru di desa Bangkal Kecamatan Serusan

raya kabupaten Seruyan)”. Jenis penelitian yang digunakan deskriptif

dengan metode kualitatif. Penelitian ini fokus membahas ritual Tiwah

Sandun Runi dan Sandung Tulang dengan studi kasus keluarga. Dalam

penelitian terdahulu peneliti mengunakan teori ritus dan teori sistem religi.

Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan penulis memuat penelitian Ina

Amalia sebagai acuan dalam penulis penelitian ini. Adapun persamaan

penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Metode dan jenis penelitian terdahulu sama dengan penelitian ini

yaitu metode kualitatif deskriptif.


38

b. Teori yang digunakan terkait ritual sama dengan penelitian

sebelumnya.

Selain itu adapun perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini

adalah sebagaiberikut:

a. Subjek dalam penelitian sebeumnya adalah Tiwah Sandung Runi

dan Sandung Tulang di desa Bangkal, sedangkan dalam penelitian

ini yang menjadi subjek adalah Tiwah di desa Buntut Bali.

b. Fokus Penelitian sebelumnya yaitu ritual Tiwah Sandung runi dan

Sandung Tulang dengan studi kasus di desa Bangkal, sedangkan

penelitian ini berfokus pada makna hewan korban dalam ritual

Tiwah di desa Buntut Bali.

c. Teori yang digunakan dalam penelitian sebelumnya terdapat tentang

sistem religi, sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan

teori yang berkaitan dengan Tiwah dan ritual korban dalam

Kekristenan.

2. Hasil Penelitian Rut Diana, Sabda Budiman dan Maharin (2021)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rut Diana, Sabda Budiman dan

Maharin (2021) yang berjudul “Makna Penebusan dalam Upacara tiwah

Sebagai Pendekatan kontektualisasi Injil”. Dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif . Dengan mengamati

pelaksanaan upacara Tiwah melalui wawancara dan literatur yang ada,

penulis mengkaji makna dalam upacara Tiwah tersebut yang kemudian

disaring dengan metode mengadopsi, mengubah, dan membuahdan firman


39

Tuhan sebagai tolak ukurnya. Setelah menemukan makna dalam upacara

Tiwah tersebut, mengkontekstualisasikannya dan menggunakannya untuk

menyampaikan Injil kepada masayarakat yang bersangkutan. Adapun

persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah sebagai

berikut;

a. Metode dan jenis penelitian sama-sama kualitatif deskrptif.

b. Teori yang digunakan sama membahas tentang makna Tiwah.

c. Subjek yan diteliti sama-sama terkait Tiwah.

Berdasarkan persamaan tersebut adapun perbedaan penelitian terdahulu

dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Fokus penelitian sebelumnya yaitu kontektualisi dengan mencari

makna penebusan dalam Tiwah, sedangkan penelitian ini fokus pada

makna hewan korban dalam ritual Tiwah.

b. Lokasi penelitian sebelumnya sangat luas yaitu Kalimantan tengah,

sedangkan penelitian ini dilakukan di desa Buntut Bali.

F. Kerangka Pikir

Maksud dari kerangka berpikir sendiri adalah supaya terbentuknya suatu

alur penelitian yang jelas dan dapat diterima secara akal. Didalam penelitian

kualitatif, dibutuhkan sebuah landasan yang mendasari penelitian agar

penelitian lebih terarah. Oleh karena itu, dibutuhkan kerangka pemikiran untuk

mengembangkan konteks dan konsep penelitian, metodologi, serta penggunaan

teori dalam penelitian. Kerangka berpikir dalam suatu penelitian perlu


40

dikemukakan apabila penelitain tersebut berkaitan dengan fokus Penelitian.51

Sebuah kerangka pemikiran bukanlah sekedar sekumpulan informasi yang

didapat dari berbagai sumber atau juga sekedar sebuah pemahaman. Tetapi,

kerangka pemikiran membutuhkan lebih dari sekedar data-data atau informasi

yang relevan dengan sebuah penelitian, dalam kerangka pemikiran dibutuhkan

sebuah pemahaman yang didapat penulis dari hasil pencarian sumber-sumber

dan kemudian diterapkan dalam sebuah kerangka pemikiran.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di atas, maka tergambar

beberapa konsep yang akan dijadikan sebagai acuan penulis salam

pengaplikasikan penelitian ini. Kerangka pemikiran teoritis di atas akan

diterapkan dalam kerangka konseptual sesuai dengan penelitian yang akan

diteliti yaitu “Tinjauan Teologis Makna Hewan Kurban dalam Ritual Tiwah

bagi masyarakat Dayak Ngaju di desa Buntut Bali”. Adapun kerangka pikir

dalam penelitian ini adalah yang pertama: Mendekripsikan makna hewan

korban dalam ritua Tiwah bagi masyarakat Kaharingan di desa Buntut Bali dan

yang kedua: Mendeskripsikan tinjauan teologis makna hewan korban yang

dalam ritual Tiwah bagi masyarakat Kristen di desa Buntut Bali.

Mempermudah jalannya alur penelitian ini dapat dilihat dari bagan kerangka

berpikir dibawah ini.

51
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta CV, 2019), 92.
41

Ritual Tiwah

Makna Hewan Korban


dalam Ritual Tiwah bagi
Masyarakat Kaharingan
Dayak Ngaju di desa Buntut
Bali

Tinjauan Teologis Makna Hewan


Korban dalam Ritual Tiwah
Masyarakat Kristen di desa Buntut
Bali.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

metode kualitatif, yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan

dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas, sosial, sikap, kepercayaan,

persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.52 Beberapa

deskripsi digunakan untuk menemukan prinsip-prinsip dan penjelasan yang

mengarah pada penyimpulan. Penelitian kualitatif bersifat induktif, peneliti

membiarkan permasalahan-permasalahan muncul dari data atau dibiarkan

terbuka untuk interpretasi. Penggunaan metode penelitian kualitatif

mempunyai tujuan utama, yaitu menggambarkan dan mengungkapkan atau

menjelaskan tentang makna hewan kurban dalam ritual Tiwah bagi masyarakat

Dayak Ngaju di desa Buntut Bali.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif

deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam penelitian status

kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian

deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

52
N.S. Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rodakarya,
2010), 60.

42
44

sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

antar fenomena yang diselidiki.53 Penulis menggunakan jenis penelitian

kualitatif deskriptif karena penulis akan mendeskripsikan yang terjadi

dilapangan.

C. Tempat Peneitian

Penelitian ini dilakukan di desa Butut Bali, Kecamatan Pulau Malan

Kabupatan Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.

D. Waktu Penelitian

Adapun penelitian ini dilakukan selama 3 (tiga) bulan, yang terhitung dari

bulan Februari sapai bulan April 2024.

Tabel 3.1 Waktu Penelitian

Waktu Penelitian
NO Kegiatan Februari Maret April
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Penelitian Proposal Skripsi
2. Revisi Proposal
3. Penelitian Awal/Observasi
4. Meranvang Instrumen
Wawancara dan lembar
observasi
5. Melakukan Wawancara
6. Penyusunan Skripsi
7. Analisi Data
8. Wawancara Kedua

53
Ajat Rukajat, Pendekatan Penelitian Kualitatif. (Yokyakarta, Oktober 2018), 1.
45

9. Pengumpulan Skripsi

E. Sumber Data Penelitian

Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Sumber data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh

penulis dari lokasi penelitian. Menurut Sarwono, data primer atau

penelitian primer adalah penelitian yang membutuhkan data atau informasi

dari sumber pertama yang disebut juga sebagai responden. Data atau

informasi diperoleh melalui pertanyaan tertulis dengan menggunakan

kuesioner atau lisan dengan menggunakan metode wawancara. 54 Sumber

data utama diperoleh langsung dari 12 informan, diantaranya 4 (empat)

orang Basir atau tokoh agama yang memiliki peran penting dalam ritual, 6

(empat) orang dari masyarakat yang ikut serta dalam ritual dan 2 (dua)

orang dari tokoh agama Kristen yang mencakup tokoh agama dan akdemisi.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder, yaitu data yang tidak langsung dikumpulkan

oleh penulis. Data sekunder dapat juga dikatakan data yang tersusun dalam

bentuk dokumen-dokumen. Menurut Sarwono bahwa data sekunder adalah

sebuah penelitian yang menggunakan bahan yang bukan dari sumber

pertama (lapangan) sebagai sarana untuk memperoleh data atau informasi

54
Jonathan Sarwono. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2006), 16.
46

untuk menjawab masalah yang diteliti. Penelitian ini juga dikenal sebagai

penelitian yang menggunakan studi kepustakaan dalam kata lain data yang

diperoleh dari sumber seperti buku-buku, dokumen-dokumen, artikel jurnal

dan lain-lain.55

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian, tujuan utama dari penelitian adalah dalam mendapatkan data. Tanpa

mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan

data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Pada teknik pengumpulan

data yang digunakan dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik

pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.

1. Metode Observasi

Menurut Moh. Nazir, observasi diartikan sebagai “ pengambilan

data dengan menggunakan mata tanpa pertolongan alat standar lain untuk

keperluan tersebut”.56 Observasi ini juga digunakan untuk penelitian yang

telah direncanakan secara sistematik tentang prosesi ritual Tiwah di desa

Buntut Bali. Tujuan untuk menggunakan metode ini untuk mencari hal-hal

perilaku, perkembangan, dan sebagainya tentang ritual Tiwah dan makna

pengorbanan hewan di dalam pelaksaan ritual, di desa Buntut Bali.

Observasi secara langsung juga dapat memperoleh data dari subjek baik

yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal atau yang tak mau

55
Sarwono. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, 17.
56
Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Galia Indonesia, 2010), 212.
47

berkomunikasi secara nonverbal. Melalui observasi peneliti melakukan

pengamatan langsung ke lapangan untuk mengamati situasi interaksi dan

kondisi yang terjadi di lingkungan penelitian ini.

2. Wawancara

Wawancara adalah dalam proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si

penanya dengan si penjawab dengan menggunakan interview guide

(panduan Wawancara). Menurut Moleong Wawancara adalah dalam

percakapan dengan maksud tertentu.57 Untuk mendapatan data peneliti

melakukan wawancara secara langsung dengan 4 (empat) orang tokoh

agama, Basir atau orang yang memeiliki peran penting dalam ritual

Pakanan Sahur LeTiwah, 6 (empat) orang masyarakat desa yang mengikti

ritual dan 2 (orang) tokoh agama Kristen.. Tujuan peneliti menggunakan

metode ini, untuk memperoleh data secara jelas dan konkrit tentang makna

hewan kurban dalam ritual Tiwah. Jadi jumlah orang yang akan

diwawancarai yaitu 12 orang dan akan dilakukan wawancara secara

mendalam terkait penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

3. Dokumentasi

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode dokumentasi

untuk dijadikan alat pengumpul data dari sumber bahan tertulis yang terdiri

dari dokumen resmi. Peneliti mendokumentasikan hal-hal yang menjadi

kelengkapan penelitian, misalnya struktur organisasi dan lain sebagainya.

57
Moelong, Metodeologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2012), 3.
48

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental

dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian,

sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.

Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan

lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat

berupa gambar, patung film, dan lain-lain.58 Dalam hal ini penulis

menganalisis dokumen-dokumen atau gambar yang terkait dalam penelitian

seperti buku-buku tradisi dan budaya Dayak, buku teologi, alkitab, jurnal

tentang ritual-ritual dalam kebudayanan Dayak ataupun jurnal yang

berkaitan dengan judul penelitian.

G. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan tahap dari serangkaian tahap dalam sebuah

penelitian yang mempunyai fungsi sangat penting. 59 Hasil penelitian yang

dihasilkan harus melalui analisis data terlebih dahulu agar dapat

dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Menurut Bogdan dan Biklen,60 analisis data adalah dalam proses mencari

makna atas data dan informasi, yang diperoleh melalui teknik pengumpulan

data, dengan cara menata semua catatan hasil observasi. Wawancara, dan studi

58
Meolong, Metode Penelitian Kualitatif, 314.
59
Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006),
224.
Zaenab, Metodelogi Penelitian Pendidikan Kualitany Perspekut Kekinian (Malang: PT
60

Selaras, 2015). 41.


49

dokumentasi secara sistematis mungkin, untuk selanjutnya dikomunikasikan

sebagai temuan hasil penelitian. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan

pemahaman peneliti tentang kasus yang sedang diteliti. Disamping itu juga

untuk disajikan sebagai bahan kajian yang merupakan proses menelaah dan

penyusunan secara sistematis semua Wawancara, catatan lapangan dan bahan-

bahan himpunan lainnya.

Ada empat tahap analisis data dalam metode penelitian kualitatif menurut

Moleong61 adalah sebagai berikut:

1. Analisis Domain

Analisis domain dilakukan terhadap data yang diperoleh dari

pengamatan berperan serta/wawancara atau pengamatan deskriptif yang

terdapat dalam catatan lapangan yang dapat dilihat di buku lampiran.

2. Analisis Taksonomi

Setelah selesai analisis domain, dilakukan pengamatan dan Wawancara

terfokus berdasarkan fokus yang sebelumnya telah dipilih oleh peneliti Oleh

hasil pengamatan terpilih dimanfaatkan untuk memperdalam data yang

telah ditemukan melalui sejumlah pertanyaan kontras.

3. Analisis Komponen

Setelah selesai analisis taksonomi, dilakukan Wawancara atas

pengamatan terpilih untuk memperdalam data yang telah ditemukan melalui

pengajuan sejumlah pertanyaan kontras.

61
Zaenab. Metode Penelitian., 149-151.
50

4. Analisis Tema

Analisis tema merupakan seperangkat prosedur untuk memahami

secara holistik pemandangan yang sedang diteliti. Sebab setiap kebudayaan

terintegrasi dalam beberapa jenis pola yang lebih jelas.


DAFTAR PUSTAKA

Batuallo, Salmon. Peranan Nilai Budaya Masyarakat Dayak Ngaju dalam


Memelihara Lingkungan di Provinsi Kalimantan Tengah. Pontianak: Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak Wilayah Kalimantan,
2009.
Bell, Catherine. Ritual Theory, Ritual Practice. New York: Oxford University Press,
2009.
Bernard Cooke & Gary Macy, Christian Symbol and Ritual: An Introduction. New
York: Oxford University Press, 2005.
Bustanul Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia. Raja Grafindo Persada, 2006.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Diana, R., Budiman, S., & Maharin, M. Makna Penebusan Dalam Upacara Tiwah
Sebagai Pendekatan Kontekstualisasi Injil. Jurnal Teologi Kontekstual
Indonesia, 2(1), 2021: 13-14.
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri:
Suatu Upaya Berdogmatika Kontekstual di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2015.
H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
J. Verkuyl, Etika Kristen Kapita Selekta. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kamus versi online/daring (Dalam
Jaringan). di akses pada 15 Januari. 2024
L. Dyson & Ashari. M. Tiwah Upacara Kematian Pada Mayarakat Dayak Ngaju
di Kalimantan Tengah. Palangka Raya: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1981.
Maaruf, Samsul. Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur Dalam Politik Agama di
Indonesia. Yogyakarta: Center For Religious and Cross-Cultural Studies,
2017.

51
Malania, I. Ritual Tiwah Sandung Runi Dan Tiwah Sandung Tulang:(Studi Kasus
Keluarga Gi dan Keluarga Ru Di Desa Bangkal Kecamatan Seruyan Raya
Kabupaten Seruyan). Journal SOSIOLOGI, 2(2), 2019: 83.
Moelong, Metodeologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rodakarya,
2012.
Nazir, Metodologi Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia, 2010.
Pranata S, Magdalenan. Menjawab Tradisi Leluhur dalam paradigma Kristen,
Yogyakarta: PBMR Andi, 2021.
Ritzer, George. Teori Sosiologi (Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern), diterjemahkan oleh: Saut Pasaribu, Rh. Widada, Eka
Adinugraha (university of Maryland).
Riyadi, Eko. Wacana Biblika: Ritual dan Metafor Penebusan, Jurnal Vol. 15 No. 1,
Januari-Maret 2015: 13.
Rukajat, Ajat. Pendekatan Penelitian Kualitatif. Yokyakarta, Oktober 2018.
Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006.
Sarwono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2006.
Setiyani, Wiwik. Studi Ritual Keagamaan. Surabaya: Pustaka Idea, 2021.
Sontoe, BJ. H.D. dkk. Dayaklogi. Arsip Perpustakaan Daerah, 2022.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta CV, 2019.
N.S. Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT Remaja
Rodakarya, 2010.
Tumbol, S. N., & Wainarisi, Y. O. R. Folk Christian Community pada Jemaat
Kristen di Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Resort Pendahara
Katingan. Indonesian Journal of Theology, 2023.
Zaenab, Metodelogi Penelitian Pendidikan Kualitany Perspekut Kekinian. Malang:
PT Selaras, 2015.

52

Anda mungkin juga menyukai