Anda di halaman 1dari 3

Konsili Vatikan II membuka pintu Gereja untuk mengakui keberagaman budaya dan

agama. Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja menegaskan bahwa hanya Gerejalah yang
menyelamatkan manusia. Hal ini nyata dalam adagium Extra ecclesiam nulla salus, di luar
Gereja tidak ada keselamatan. Namun, Gereja kini telah berusaha keluar dari kesalapahaman
Gereja sendiri yang mengidentikan dirinya dengan Kerajaan Allah. Angin segar perubahan ini
memantik semangat Gereja untuk menggalakkan suatu pengungkapan dan penghayatan akan
Injil Kristus seturut konteks budaya dalamnya warta Injil diterima dan hidup. 1 Dengan begitu,
Gereja yang universal menjadi lebih lokal tanpa harus kehilangan identitas dirinya sebagai
pewarta kabar gembira.
Gereja mengakui pewahyuan diri Allah dalam dan melalui budaya dan agama lain. Gereja
juga yakin bahwa dalam budaya dan agama lain benih Sabda Allah tertanam. Gereja mengajak
putra-putrinya untuk mengembangkan dialog dan kerja sama. Bahkan, Gereja secara tegas dalam
Sacrosanctum Concilium menyatakan bahwa … (SC No. 37). Ensiklik Redemtoris Missio artikel
28-29 juga menyatakan bahwa Gereja menyadari tindak penyelamatan Allah telah hadir dan
senantiasa hadir sepanjang sejarah di dalam beragam kebudayaan dan agama dari semua bangsa.
Keterbukaan Gereja ini mendorong usaha keberakaran Gereja dalam konteks budaya
setempat. Gereja mau membangun dirinya sebagai sebagai gereja lokal yang hadir, terlibat dan
berakar dalam konteks lokal.2

Ritus bau lolon merupakan ritus sentral dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.
Dikatakan demikian karena pelaksanaan suatu upacara adat selalui didahului dengan pelaksanaan
ritus bau lolon. Setiap upacara adat selalu melibatkan anggota klan (suku lango), bahkan dalam
ritus adat tertentu melibatkan seluruh masyarakat (lew’ho tan’ha). Upacara adat yang melibatkan
sekelompok kecil orang (anggota klan), seperti perjamuan keluarga (bu’a hira), pemberian nama
anak (paken naran). Sementara itu, upacara adat yang melibatkan seluruh masyarakat, seperti
pembangun rumah adat (lango bele/koke bale), pemulihan dosa (soga tube-ikit madak),
pendinginan rumah (gelete pelumut uma lango), pembangunan rumah baru (tula uma lango),

Silvester Manca, “Perbandingan Antara Konsep Pertobatan dalam Ritus Oke Saki Orang Lelak-Manggarai
1

dengan Konsep Pertobatan Kristen dan Implikasi Pastoralnya”, dalam BERBAGI, 2:2 (Juli 2013), hlm. 50.
2
R. Wahara Weihh, Pewartaan Iman Kontekstual. Menimba Pengalaman Misi di Cina (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm. 9.
perdamaian (buno gewayo). Dalam setiap upacara adat yang dilaksanakan, semua peserta yang
hadir dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan secara bersama-sama mengarahkan diri
kepada Wujud Tertinggi. Karena itu, secara tidak langsung ritus bau lolon dapat mempersatukan
masyarakat Tuawolo.

Devosi kepada para kudus merupakan kegiatan yang lebih bersifat personal karena
dilaksanakan oleh pribadi atau sekelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama untuk
melaksanakannya. Meskipun bersifat personal, praktik devosional ini menjadi sangat populer dan
mengumat karena menyentuh perasaan dan hati para devosioner. Karena itu, tidak mengherankan
jika muncul banyak kelompok-kelompok umat yang berkumpul bersama-sama untuk
melaksanakan kegiatan devosional.3

Karena itu, agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ritus bau lolon dan devosi
merupakan sarana yang mempertemukan Allah, manusia dan sesamanya. Ia menghubungkan
semua manusia pada satu titik sentral yaitu kasih Allah dan serentak menjadi tanda persatuan
Gereja yang universal. Keduanya menjadi sarana yang berdayaguna menghadirkan Kerajaan
Allah di dunia ini. Ritus bau lolon merupakan sarana bagi masyarakat Tuawolo untuk
mendekatkan diri dengan Wujud Tertinggi lewat perantaraan para leluhur. Demikian juga devosi
merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan Allah lewat perantaraan para kudus.

3
J. Darminta, “Pengantar”, dalam Frans Harjawiyata (ed.), Kehidupan Devosional (Yogyakarta: Kanisius,
1993), hlm. 12.
The term ancestor worship designates rites and beliefs concerning deceased kinsman.
Rites of ancestor worship include personal devotions, domestic rites, the ancestral rites of a
kinship group such as a lineage, periodic rites on the death day of the deceased and anunual rites
for collectivity of ancestors. Generally excluded from the category are rites for the dead having
no specific reference to kinsmen, and beliefs about the dead in general that lack any special
reference to kinship.

Anda mungkin juga menyukai