Anda di halaman 1dari 7

3 Tugas dan Panggilan gereja yakni

Koinonia (Persekutuan)
Marturia (Kesaksian)
Diakonia (Pelayanan)
Koinonia (Bersekutu)
Koinonia adalah anglikisasi dari kata Yunani () yang berarti
persekutuan dengan partisipasi intim. Kata ini sering digunakan dalam
Perjanjian Baru dari Alkitab untuk menggambarkan hubungan dalam gereja
Kristen perdana serta tindakan memecahkan roti dalam cara yang
ditentukan Kristus selama perjamuan Paskah [John 6:48-69, Matius 26: 2628, 1 Korintus 10:16, 1 Korintus 11:24]. Akibatnya kata tersebut digunakan
dalam Gereja Kristen untuk berpartisipasi, seperti kata Paulus, dalam
Persekutuan - dengan cara ini mengidentifikasi keadaan ideal persekutuan
dan masyarakat yang harus ada Komuni (persekutuan).

Penggunaan pertama dari koinonia dalam Perjanjian Baru Yunani ditemukan


juga dalam Kisah 2:42-47, dimana kita membaca deskripsi mencolok dari
kehidupan bersama bersama oleh orang-orang Kristen awal di Yerusalem:
"Mereka mengabdikan diri untuk mengajar para rasul dan persekutuan,
untuk memecahkan roti dan doa ... Semua orang percaya bersama-sama dan
memiliki segala sesuatu di umum. Menjual harta mereka dan barang-barang,
mereka memberikan kepada siapa pun karena dia perlu ... Mereka
memecahkan roti di rumah mereka dan makan bersama-sama dengan
gembira dan dengan tulus hati, memuji Allah dan menikmati disukai semua
orang. "
Gereja sebagai Koinonia adalah tubuh Kristus. Di dalam tubuh Kristus, semua
orang menjadi satu, dan satu di dalam semua oleh Kristus (1 Kor.12:26).
Persekutuan koinonia itu dialaskan atas dasar Firman Allah, Baptisan dan
Perjamuan Kudus. Dengan dasar itu pulalah anggota gereja saling

memperdulikan dan dikumpulkan bersama dalam Perjamuan Kudus sebagai


komunitas yang kudus secara nyata. Persekutuan koinonia itu bukan hanya
merupakan perkumpulan begitu saja, melainkan persekutuan yang bersifat
soteriologis (keselamatan). Oleh Roh Kudus, gereja bergerak dinamis menuju
akhir, yaitu penggenapan Hari Tuhan (parusia).
Di dalam persekutuan Koinonia ibadah (workship) berperan merefleksikan
kekudusan persekutuan. Ibadah menjadi pusat penyampaian syukur dan
terima kasih kepada Tuhan Allah atas seluruh bekat yang melimpah dalam
seluruh sisi kehidupan komunitas gereja, misalnya perkawinan, pekerjaan,
kesehatan, peningkatan ekonomi, keberhasilan, keselamatan dari mara
bahaya, dsb. Semua berkat ini tentunya meneguhkan iman yang patut kita
syukuri. Oleh sebab itu, ibadah juga harus merefleksikan komitmen hidup
melayani Tuhan dengan perkataan dan tindakan setiap hari.
Mutu persekutuan haruslah senantiasa dipelihara dan ditingkatkan seiring
tantangan dan kecenderungan jaman (nurturing). Iman itu bukanlah sekali
dan untuk seterusnya, nmun merupakan proses dalam kehidupan seluruh
warga gereja sesuai kebutuhan kategori usia masing-masing; anak-anak,
remaja/pemuda, dewasa dan lansia (Ef.4). Bentuk-bentuk diskusi,
Penelaahan Alkitab (PA), retreat dan lain-lain, haruslah dikembangkan secara
kreatif. Semua kegiatan harus bertujuan membantu warga memahami
Alkitab demi pertumbuhan iman yang sehat sehingga mampu menyingkapi
tantangan jaman ditengah realita kehidupan; politik, ekonomi, kekerasan,
hak azasi, gender, ekologi, globalisasi dan sebagainya.
Dengan pemahaman Firman Tuhan dan penghayatan iman yang benar setiap
warga sadar akan dirinya sebagai bagian integral gereja yang memiliki
panggilan untuk mendukung misi gereja melalui talenta dan charisma yang
dimilikinya (imamat am orang-orang percaya). Perlu kita sadari tanpa
mendalami pendidikan Kristen tersebut, persekutuan gereja sebagai tubuh
Kristus (koinonia) akan beralih menjadi komunitas politis (political
community).

Marturia (Bersaksi)
Marturia (dari bahasa Yunani: martyria) adalah salah satu istilah yang
dipakai gereja dalam melakukan aktivitas imannya, sebagai tugas panggilan
gereja, yaitu dalam hal kesaksian iman. Kesaksian iman yang dimaksud
adalah pemberitaan Injil sebagai berita keselamatan bagi manusia. Marturia
biasanya disandingkan dengan tugas gereja yang lain, yaitu koinonia yang
berarti persekutuan dan diakonia atau pelayanan.
Kata "marturia" sendiri sangat dekat dengan kata "martir" (dalam bahasa
Arab: "syahid"), yaitu orang-orang yang mati karena memberitakan Injil pada
zaman sesudah Yesus Kristus.[1] Memang banyak orang Kristen perdana yang
harus mengalami penganiayaan karena kepercayaannya, dan pengorbanan
ini terus berlanjut sampai sekarang. Karenanya, istilah "marturia" dan
"martir" itu banyak kali dirancukan, dan diasosiasikan dengan para
"syuhada", yaitu orang-orang Kristen yang disiksa sampai mati karena

imannya, atau para misionaris yang dibunuh dalam menjalankan tugasnya,


menyampaikan berita Injil ke tempat-tempat yang belum pernah mendengar
berita itu.
Ibadah koinonia yang berpusat atas dasar Baptisan, Firman Tuhan dan
Perjamuan Kudus bukan bertujuan hanya untuk persekutuan itu secara
eksklusif tetapi harus melahirkan komitmen untuk memberitakan dan
menyaksikan berita keselamatan kepada semua mahluk. Pemberitaan dan
kesaksian itu harus dilakukan oleh orang percaya baik secara individu
maupun sebagai persekutuan.
Kita dipanggil oleh Tuhan Yesus secara individu maupun persekutuan untuk
melaksanakan misi Tuhandi bumi ini. Yesus Kristus mati di kayu salib kita
percaya Tuhan Allah dating ke dunia ini di dalam AnakNya Yesus Kristus yang
telah mati untuk menyelamatkan kita dan dunia ini. Oleh sebab itu tugas
pemberitaan (marturia) itu harus dilakukan oleh persekutuan gereja baik
individu maupun persekutuan masing-masing. Setiap orang sadar akan
kemuridannya (discipleship) dalam perjalanan hidupnya. Sekali kita
menyadari hal itu maka kita harus memiliki komitmen dan kesetiaan sebagai
murid Yesus Kristus. Dengan kesadaran sedemikian persekutuan menjadi alat
yang kuat untuk mengkominikasikan berita keselamatan Kristus.

Diakonia (Melayani)
Pemberitaan dan kesaksian itu tidaklah selalu dilaksanakan dengan katakata tetapi juga dengan perbuatan atau pelayanan diakonia. Perlu kita ingat,
ada kalanya suara perbuatan lebih nyaring gaungnya dari pada perkataan.
Dengan tindakan maka Injil juga dapat diberitakan dan di dengar oleh orangorang tuli.
Barangkali di suatu konteks tertentu gereja sulit melakukan pemberitaan
firman Tuhan (khotbah) karena peraturan-peraturan Negara terkait, dengan
tujuan membungkam gereja akan berita keselamatan itu. Akan tetapi
dengan pelayanan diakonia gereja tidak dapat dibungkam sebab
persekutuan koinonia memiliki seluruh berkat dalam kehidupannya yang
dapat dibagi kepada orang lain dalam nam Yesus Kristus.
Perkataan, kehidupan dan tindakan diakonia yang kita berikan kepada orang
lain atas nama Tuhan Yesus Kristus adalah juga marturia. Maka dari itu,
diakonia adalah bagian integral dari misi Gereja. Marturia dan diakonia
adalah dua sisi dari mata uang yang sama dan merupakan misi gereja yang
mendasar.
Pelayanan diakonia sering dipahami hanya sebatas konsep caritas,
membantu para janda, yatim piatu, fakit miskin demi kesejahteraannya.
Sebenarnya, gereja dalam pelayan diakonia harus mencakup : pelayanan
diakonia mencakup upaya pemahaman akar penyebab keprihatinan social
sekaligus mengembangkan prakarsa pemberdayaan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Hanya dengan pemahaman pelayanan diakonia sedemikian gereja dapat
berfungsi sebagai agen transformasi ditengah masyarakat sebagai

pewujudan karya keselamatan Yesus Kristus. Gereja menjadi garam dan


terang dunia.

Seberapa pentingkah diakonia bagi pelayanan gereja ?


Istilah diakonia berasal dari bahasa Yunani, artinya pelayanan,
sedangkan orang yang melakukannya disebut sebagai pelayan ().
J. C. Sikkel pernah mengatakan bahwa The church can live without
buildings, without diakonea the church dies.
Secara teologis ini
berarti , bahwa diakonia adalah nafas gereja. Gereja baru menjadi gereja
sesungguhnya bila melakukan diakonia, oleh karenanya diakonia sangat
penting dalam rangka menunjukan eksistensi gereja pada saat ini.
Misi Gereja adalah mewartakan Firman Allah dalam rangka mewujudkan
kerajaan Allah di dunia. Misi tersebut tidak akan dapat dilakukan tanpa
diakonia sebab diakonia adalah fungsi Gereja yang sebenarnya (Nafas
Gereja). Oleh sebab itu, pelayanan tersebut bukanlah suatu pilihan atau
kekhususan bagi para pelayan tahbisan akan tetapi merupakan tugas dan
tanggung jawab bagi setiap orang yang telah menerima baptisan. Tugas dari
para pelayan adalah membenahi warga jemaat, agar menjadi pelaku
diakonia demi pembangunan tubuh Kristus di dunia ( Efs.4:12). Oleh karena
itu diakonia harus mampu memberdayakan, membangun dan membentuk
persekutuan persaudaraan sehingga dalam mewujudkan persekutuannya
jemaat saling bergantung dan saling melayani antara satu dengan yang lain.

Bentuk bentuk Diakonia


1. Diakonia Karitatif.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan diakonia karitatif adalah bentuk
diakonia yang tradisional. Charity adalah tindakan belas kasihan. Tindakan
yang merefleksikan belas kasihan Allah kepada manusia. Banyak gereja
mendasarkan Matius 25 : 31-46 sebagai bentuk diakonia karitatif. Diakonia
karitatif hanya melihat kondisi yang terjadi saat ini, hanya melihat
penderitaan, kemiskinan, bencana ataupun bentukbantuk lainya tanpa
mencari lebih jauh apa yang menjadi penyebab terjadinya penderitaan
tersebut. Pdt. Mart Erkelina Br Tarigan S. Th dalam bimbingan PJJ
menegaskan bahwa diakonia karitatif hanya bersifat insidental dan
filantropis.
Kongkritnya contoh bentuk diakonia karitatif adalah memberikan sembako
pada korban-korban bencana alam, memberikan santunan kepada fakir
miskin, memberikan bantuan kepada panti asuhan. Jika kita contohkan
dalam program pemerintah maka yang tergolong dengan diakonia karitatif
adalah program BLT. Diakonia bentuk ini di istilahkan dengan memberi ikan.

2. Diakonia Reformatif

Ada perkembangan pemikiran yang terjadi pada diakonia reformatif ini


dimana ketika jemaat kelaparan tidak lagi hanya memeberikan roti atau ikan
namun memberikan kail yang mendidik masyarakat untuk berusaha
menghidupinya atau dengan kata lain memberikan pengetahuan,
keterampilan agar mampu keluar dari kemiskinan dan permasalahan yang
dihadapi. Persolan lain muncul ketika lahan untuk bercocok tanam sudah
tidak ada lagi dan kolam untuk memancing tidak ada lagi maka tetaplah
kemiskinan tidak teratasi.
Pelayanan diakonia ini lebih menekankan pada aspek pembangunan.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan community development

3. Diakonia Transformatif
Diakonia transformatif awalnya dipelopori oleh gereja di Amerika Latin untuk
menjawab kemiskinan yang sangat parah pada waktu itu. Diakonia
transformatif merupakan bentuk kepedulian gereja yang terlibat langsung
dalam persoalan-persoalan sosial kemanusian. Diakonia seharusnya tidak
hanya memberikan belas kasihan kepada korban-korban kemiskinan dengan
cara memberikan bantuan-bantuan sebab jika hanya dengan cara itu besok
mereka akan datang lagi dan akhirnya terciptalah mental-mental
ketergantungan. Namun dengan diakonia transformatif pendekatanm yang
dilakukan adalah dengan pola pendekatan pengorganisasian komunitas agar
mereka dapat merancang dan merencanakan hidup mereka sendiri.
Abraham Kuyper, seorang teolog Calvinis mengatakan bahwa gereja terlalu
lamban dalam bertindak dan telah ketinggalan dalam menghadapai
kemiskinan dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain di luar gereja.
(Matius 9:35-38). Pt. Robert Sinuhaji SE dalam bukunya yang berjudul Gereja
dan Politik secara keras menyatakan tanpa kepedulian terhadap orangorang miskin, maka gereja sesunguhnya telah gagal mengemban misi
kristen Saat ini seharusnya kita sadar bahwa misi Yesus hadir tidak hanya
pada masalah-masalah rohani semata, namun Yesus menyentuh
permasalahan kemanusian (sosial,politik,hukum,ekonomi), (Luk4:18-19).
Yesus bukan hanya menentang aliran kepercayaan yang Ia rasa menyimpang
namun Yesus juga menentang kekuasaan yang menindas kaum miskin yang
disebabkan oleh kebijakan-kebijakan mereka. (Mat 23:1-36).
Yesus disalibkan karena pengusa Romawi pada saat itu merasa terancam
akan keberanian Yesus membela kaum tertindas. Jika dianalogikan Yesus
ingin mencapai sebuah situasi dimana kita butuh nasi, tetapi kita ingin
memperolehnya dengan keadilan (justice). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin
memperolehnya dengan kebebasan (freedom). Kita butuh nasi, tetapi kita
ingin memperolehnya dengan martabat dan pengharapan (dignity and
hope).
Cerita orang samaria yang sering dijadikan bahan contoh akan
kepedulian nya kepada korban perampokan (victim) dibandingkan orang
Lewi yang mengenal hukum taurat nampaknya harus dikaji lebih mendalam
lagi. Benar, bahwa satu sisi ada nilai plus yang dimiliki oleh orang samaria
akan kepedulianya terhadap korban perampokan tersebut namun sudah
seharusnya kita pada tahap pemahan yang lebih tinggi lagi, dimana

kepedulian terhadap korban perampokan sudah harus kita lakukan tetapi


tidak hanya sampai disitu melainkan kita sudah harus sampai kepada tahap
apa yang menjadi latar belakang terjadinya angka kriminalitas dan solusi apa
yang harus kita temukan. Disinilah penekanan diakonia transformatif hadir.
Gereja diharapkan hadir memberikan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat
umum di pedesaan bagaimana cara bercocok tanam yang baik, bertani
dengan kembali ke alam (back to nature) tidak lagi menggunakan pupuk
kimia dan juga mampu membantu pemasaran produk hasil pertanian sampai
kepada konsumen sehingga sampai kepada hasil akhir yang diharapakan
dengan membantu dari awal hingga akhirnya. Gereja diharapkan memiliki
perhatian kepada pendidikan secara ril, hal ini antara lain ditunjukan GBKP
dengan mendirikan Yayasan pendidikan Kristen Neumann Indonesia,
mendirikan PAK Gelora Kasih. Kedepanya GBKP diharapkan mampu
menyiapkan lapangan kerja bagi lulusan-lulusan tersebut sehingga lulusan
tersebut tidak terbentur lagi dengan sulitnya mencari lapangan pekerjaan.
GBKP juga concern terhadap masalah-masalah kesehatan dengan
mendirikan komisi HIV AIDS dan Napza. Program Diakonia GBKP lainya
antara lain mendirikan BPR Pijer Podi kekelengan dimana salah satu tujuan
didirikanya adalah mengatasi kemiskinan dengan melayani masyarakat
pedagang kaki lima agar tidak terjerat oleh para rentenir.
Gereja diharapkan tidak hanya mampu berbuat kepada mereka yang telah
mengenal Kristus tetapi juga kepada masyarakat luas dalam bentuk-bentuk
diakonia yang lebih transformatif, memberikan pemamahan akan kesetaraan
gender, gereja mampu hadir dalam penegakan masalah HAM, gereja mampu
memberikan solusi tentang penanggulangan ilegal loging, gereja
memberikan pembelaan (advocacy) kepada masyarakat lemah. Hal ini dapat
dialakukan gereja dengan membentuk suatu lembaga yang khusus concen
mengurusi masalah-masalah kemanusian.
Namun harus disadari persolan yang lain akan muncul ketika gereja secara
berani dan tegas benar-benar mewujudkan diakonia sebagai tugas panggilan
gereja. Di India ketika ibu Theresa sangat perduli kepada orangorang miskin
bukan respon positif yang beliau dapatkan akan tetapi tuduhan bahwa ibu
Theresa berniat meng Khatolik an India pada saat itu. Masih segar di
ingatan kita juga ketika terjadi bencana tsunami di Aceh dan gempa bumi di
Jogjakarta, banyak dari kita yang turut ambil bagian dalam membantu
korban-korban bencana tersebut namun isu kristenisasi yang berkembang di
masyarakat pada waktu itu. Sadar atau tidak ketika kita memberikan
bantuan dalam bentuk apapapun juga dengan dilatar belakangi oleh gereja
maka akan ada penolakan baik itu secara tersirat ataupun munculnya opini
negatif dikemudian hari bagaiman mungkin diakonia transformatif dapat kita
terapkan
jika
penolakan
yang
akan
kita
hadapi???
Keadaan ini harus diatasi dengan jalan kita menerapakan diakonia
transformatif dengan melepaskan gereja sebagai sebuah organisasi namun
melihat pengertian gereja sebagai individu kita masing masing, bukankah ini
pengertian gereja yang sesungguhya (1 Petrus 2:9). Hati kita sudah
seharusnya memiliki visi penerapan diakonia trsformatif bagaimana hadir

untuk membela kaum-kaum marjinal, hadir dalam kehidupan sosial


pengentasan kemiskinan dan terlibat langsung pada sebuah sistem
kebijakan yang kedepaannya mampu menciptakan kebijakan yang berpihak
pada masyarakat lemah (Mat 5:13-15). Warga Kristen seharusnya hadir
dimanamana, disetiap bidang kemanusiaan dan mampu hadir dengan ideide penanggulangan permasalahan kemanusian yang ada pada saat
sekarang ini. Seorang pengusaha mampu menciptakan lapangan kerja
selaus-luasnya, Politikus mampun menciptakan produk undang-undang yang
berpihak kepada rakyat, ahli hukum berani menegakkan keadilan, jurnalis
tetap menyuarakan suara rakyat (Vox Populi Vox Dei) dan lain sebagainya.
Ketiga model diakonia tersebut membantu gereja untuk segera dapat
melakukan tugas dan panggilannya sebagai gereja yang akan mewujudkan
tanda-tanda Kerajaan Allah dalam praxis pembebasan dan bagi
pelayanannya yang holistik, komprehensif dan memberdayakan!

Sumber :
-

Widyatmadja, Yosep P. Yesus dan Wong Cilik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Diakonia Sebagai Misi Gereja: Praksis dan Refleksi Diakonia Transformatif. Yogyakarta:
Kanisius, 2009.
van Kooij dkk, Rijn. Menguak fakta, Menata Karya Nyata: Sumbangan Teologi Praktis Dalam
Pencarian Model Pembangunan Jemaat Kontekstual. Jakarta: BPK Gunung Mulia
A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, (ed)., Sahetapy, (Jakarta: BPK-Gunung
Mulia,2004),4
J.L.Ch. Abineno, Sekitar Diakonia Gereja, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1976), 53

Anda mungkin juga menyukai