Anda di halaman 1dari 5

Materi Katekisasi

Selasa, 02 Juli 2013


Materi Katekisasi #1: SEJARAH KATEKISASI DALAM PENDIDIKAN
AGAMA KRISTEN
SEJARAH KATEKISASI DALAM PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
Penyelenggaraan katekisasi dalam gereja dewasa ini sesungguhnya
berpangkal dari persekutuan umat Tuhan dalam masa Perjanjian
Lama. Keluarga adalah, unit terkecil dalam persekutuan umat Tuhan yang
menjadi wadah di mana pendidikan iman ditumbuh-kembangkan. Setiap
orang tua mempunyai kewajiban untuk mengkomunikasikan iman mereka
dari nenek-moyangnya kepada para keturunannya dari satu generasi ke
generasi berikutnya tentang segala perbuatan TUHAN (Yahwe).
"Yang telah kami dengar dan kami ketahui, dan yang diceritakan kepada
kami oleh nenek moyang kami, kami tidak hendak sembunyikan kepada
anak-anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan yang
kemudian puji-pujian kepada TUHAN dan kekuatan-Nya dan perbuatan
perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya. Telah ditetapkan-Nya peringatan
di Yakub dan hukum Taurat diberi-Nya di Israel; nenek moyang kita
diperintahkan-Nya untuk memperkenalkannya kepada anak-anak mereka,
supaya dikenal oleh angkatan yang kemudian, supaya anak-anak, yang akan
lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak mereka, supaya
mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatanperbuatan Allah, tetapi memegang perintah-perintah-Nya. Mazmur 78 : 3 - 7.
Setiap umat Israel mengungkapkan iman mereka berdasarkan pengakuan
percaya (credo) mereka bahwa, "TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!
Kasihilah TUHAN, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu" (Ulangan 6 : 4 - 6).
Pengkomunikasian iman ini tidak hanya berdasarkantradisi lisan saja
melainkan juga terwujud melalui kehidupan sehari-hari bangsa Israel seperti,
bekerja, mempersiapkan perayaan hari-hari raya (misalnya hari raya utama
adalahSabat sebagai hari yang dikuduskan Allah).
Kemudian hari Pendamaian Agung, pesta Paskah, pesta panen Pentakosta,
hari raya Pondok Daun, pesta Purim) dan lain sebagainya. Tujuan utama dari
usaha ini adalah, umat hanya mengabdi kepada TUHAN saja (ayat 4), dan
bagaimana wujud umat diminta untuk hanya mengabdi pada TUHAN saja,
maka perintah TUHAN jelas bahwa umat diminta untuk mengasihi TUHAN
dengan segenap hati (ayat 5), dengan segenap jiwa (ayat 5), dan
dengan segenap kekuatan (ayat 5).
Beberapa metode yang dipakai dalam proses mengkomunikasikan hal di atas
antara lain: memperhatikan, mengajar berulang-ulang, membicarakan,

membuat
tanda
/
simbol
(mengikatkan
/
menuliskan).
Proses
mengkomunikasikan iman ini dilakukan oleh keluarga baik di rumah maupun
di luar rumah; dengan kata lain setiap tempat dan waktu digunakan untuk
proses pengajaran.
Sejak dini anak-anak Yahudi sudah dibiasakan menaati peraturan agama
yang dilakukan sesuai tahapan usianya. Pada usia sekitar 5 tahun anak-anak
diberi pelajaran dasar membaca Taurat. Usia 10 tahun mulai diberi
pengajaran, yaitu misyna (secara harafiah berarti bahan ulangan yang perlu
dihafalkan). Pada usia 12 - 13 tahun anak-anak wajib menaati sepenuhnya
peraturan hukum Yahudi yaitu,mitswoth. Pada tahap ini anak laki-laki telah
dianggap sebagai "anak-anak hukum Taurat" yaitu, bar-mitswasegera
setelah berusia 13 tahun tambah satu hari.
Perkembangan kemudian yaitu, sesudah masa pembuangan, pendidikan
iman bergeser dari wadah keluarga ke Sinagoge (rumah sembahyang
orang Yahudiyang ada hampir di setiap perkampungan). Sinagoge adalah
wadah berkumpul sekaligus lembaga tempat orang Yahudi membicarakan
berbagai hal menyangkut kehidupan mereka. Dalam wadah ini orang Yahudi
belajar Syemo Esre, harfiah berarti delapan belas. Syemone Esre adalah
doa yang terdiri dari 18 pengucapan dan diucapkan setiap hari (pagi, sore
dan malam) dalam ibadah di sinagoge.
Pembacaan Taurat menduduki posisi penting. Taurat merupakan bagian Kitab
Suci yang sentral dan mendasar bagi orang Yahudi. Iman dan kehidupan
mereka seluruhnya didasarkan atas Taurat. Pengajaran diberikan dengan
cara membaca dan menjelaskan kitab-kitab Musa. Khusus untuk anak-anak
pelajaran yang diberikan adalah Syema Yisraelbagaikan kredo pengakuan
iman dan pengucapan syukur yang dibaca setiap hari (pagi dan malam)
dalam ibadah di sinagoge tersebut.
Pada tahun 75 Sebelum Masehi yakni, sebelum kelahiran Tuhan Yesus,
bangsa Yahudi mengadakan semacamsekolah dasar yang disebut bethha-sefer artinya, rumah sang kitab (bet = rumah; sefer = kitab). Di sekolah
ini pengetahuan tentang Taurat diajarkan kepada anak-anak Yahudi. Taurat
dibaca berulang-ulang dan anak-anak wajib menghafalnya secara seksama
dan harfiah. Sekolah ini bukanlah lembaga tetap yang terdapat di banyak
tempat, melainkan hanya suatu kumpulan murid yang diberi pelajaran oleh
para ahli Taurat. Sejak usia 6 atau 7 tahun seorang anak sudah dibawa
orangtuanya ke sekolah ini. Tujuannya bukanlah untuk memperoleh
pendidikan umum, melainkan khusus mempelajari pengetahuan tentang
Taurat. Selanjutnya, pada tingkat yang lebih tinggi lagi setingkat sekolah
menengah pertama anak-anak yang berusia 10 atau 11 tahun dikirim
ke beth-ha-midrasy(beth = rumah; midrash = pengajaran). Tujuan sekolah
ini bukan hanya untuk mempelajari isi Taurat, tapi yang utama adalah
penelitian mengenai manfaat dan maknanya. Sejalan dengan timbulnya

sekolah, timbul pula pentingnya jabatan guru. Dalam kebudayaan Yahudi,


seorang guru begitu dihormati, sehingga seorang murid patut menunjukkan
pengabdian kepada guru sama seperti budak kepada majikannya, kecuali
dalam satu hal yang sangat rendah yaitu, membuka tali kasut.
Pada abad pertama pada waktu belum ada gedung gereja, orang-orang
Kristen berkumpul dari satu rumah ke rumah lainnya. Kumpulan itu disebut
"Jemaah Rumah" seperti beberapa contohnya dalam surat Roma 16 : 5; I
Korintus 16 :19; Kolose 4 : 15 dan Filemon 2. Setiap hari keluarga-keluarga
Kristen yang berkumpul di salah satu rumah bersama-sama mempelajari
ajaran para rasul, berdoa dan makan bersama. Jemaah rumah juga
merupakan wadah persekutuan berdoa dan belajar.
Dalam kurun masa Gereja Purba atau Gereja mula-mula, baik orang
keturunan dari agama Kristen maupun orang-orang non Kristen yang hendak
menjadi pengikut Yesus Kristus diwajibkan untuk mengikuti pelajaran yang
mempelajari Alkitab dan ajaran para rasul selama 3 tahun lamanya.
Menjelang memasuki masa akhir 3 tahun tersebut setiap calon orang Kristen
wajib menerapkan kehidupan Kristen secara tertib dan disiplin sehingga
mereka benar-benar bertobat dan menyatakan diri sedia memikul salib-Nya.
Setelah masa 3 tahun tersebut barulah dilaksanakan pelayanan Baptisan
Kudus dan selanjutnya diperkenankan untuk mengikuti Sakramen Perjamuan
Kudus. Dalam surat Paulus kepada Jemaat di Efesus, proses pendidikan iman
dalam jemaat-jemaat perdana merupakan persiapan bagi orang dewasa
yang akan dibaptis, dan kemudian menerima sakramen Perjamuan Kudus.
Dan setelah beberapa generasi ketika baptisan untuk anak mulai dilakukan sebagai model dominan dalam gereja - maka proses pembinaan iman
dilakukan setelah baptisan ketika anak itu beranjak dewasa. Sekitar abad
pertengahan fokus pembinaan iman adalah tentang iman bahwa, Yesus
Kristus adalah Juru-selamat, dan kemudian dilengkapi dengan sejumlah
materi seperti:Dasa Titah, Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli.
Periode selanjutnya, dua tokoh reformasi juga memberikan perhatian atas
kegiatan pengajaran iman ini, yaitu : Martin Luther dan Yohanes Calvin.
Bagi Martin Luther, tujuan Pendidikan Agama Kristenadalah:
Melibatkan semua warga jemaat, khususnya yang muda, dalam rangka
belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka serta
bergembira dalam Firman Yesus Kristus yang memerdekakan mereka
disamping memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya
pengalaman berdoa, Firman tertulis, Alkitab, dan rupa-rupa kebudayaan
sehingga mereka mampu melayani sesamanya termasuk masyarakat dan
negera serta mengambil bagian secara bertanggung-jawab dalam
persekutuan Kristen, yaitu Gereja.

Dengan demikian, bagi Luther katekisasi ditujukan kepada semua warga


jemaat, khususnya generasi muda untuk belajar secara teratur dan tertib
agar dapat mengambil bagian secara bertanggung-jawab di dalam lingkup
Gereja maupun masyarakat.
Sedangkan menurut Yohanes Calvin, tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah
:
Pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan Firman
Allah di bawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar
yang dilaksanakan gereja, sehingga dalam diri mereka dihasilkan
pertumbuhan rohani yang bersinambung yang diejawantahkan semakin
mendalam melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus
berupa tindakan-tindakan terhadap sesamanya.
Agak berbeda dengan Martin Luther, Calvin lebih mengutamakan sifat
intelektual dari pengalaman belajar.
Dari uraian sejarah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Katekisasi dilaksanakan dalam lingkup : Keluarga, Lembaga
Keagamaan, Sekolah Umum, Gereja.
2. Peserta katekisasi ialah semua anggota Persekutuan orang percaya.
3. Pengajar katekisasi ialah : Allah sendiri, Orang tua, Imam-imam, Pastor,
Guru- guru, Semua orang percaya.
4. Penekanan isi pengajaran Katekisasi adalah : pada Pengakuan Percaya
(Credo), Iman kepada Yesus Kristus.
5. Metode Pengajaran katekisasi mencakup seluruh gerak kehidupan
sehari-hari manusia. Artinya, berusaha untuk membentuk manusia
seutuhnya (baik segi kognitif,afektif & psikomotoris yang
seimbang / selaras).
Daftar Bacaan Buku :
1. Robert Boehlke, Sejarah Perkembangan Pemikiran Agama Kristen
I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986)
2. Dr. Andar Ismail, Selamat Ribut Rukun - 22 Renungan Tentang
Keluarga (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993)

3. G. Riemer, Ajarlah Mereka - Kualitas Umat Kristiani Esok Ditentukan


Oleh Pembinaan Kini (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,
1998).

Anda mungkin juga menyukai