Anda di halaman 1dari 7

Katekese Temu Kebatinan Katolik Keuskupan Agung Semarang

Menghayati Tuhan dalam Hidupku

1. Bagaimana sejarah Temu Kebatinan Katolik KAS?

Temu kebatinan Katolik Keuskupan Agung Semarang adalah sebuah usaha yang dibuat

oleh Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan keuskupan Agung Semarang (Kom HAK

KAS) untuk membangun kesadaran mengenai perjumpaan iman Katolik dengan Kebatinan Jawa.

Pada tahun 1996, dalam rapat Dewan Karya Pastoral KAS muncul keprihatinan berhubungan

dengan adanya warga katolik yang sungguh beriman masuk dalam kelompok aliran kebatinan

lintas teritorial dan lintas agama-kepercayaan. Mereka adalah umat Katolik yang sungguh

beriman Katolik tetapi masih mencari sreg-nya penghayatan iman menurut citarasa budayanya.1

Maka digagaslah sebuah wadah untuk mengakomodasi para penghayat kebatinan yang beragama

Katolik. Sejak tahun 1998, Kom HAK KAS memfasilitasi Temu Kebatinan ini. Temu Kebatinan

menjadi sebuah wadah yang memberi tempat kepada orang Katolik yang memiliki penghayatan

tertentu dalam hal kebatinan. Di sana berkumpul baik mereka yang menjadi penghayat kebatinan

maupun mereka yang memiliki minat di dalamnya. Dalam tiap pertemuan diadakan dialog yang

dibantu oleh satu atau beberapa narasumber. Dalam perjumpaan itu, yang menjadi narasumber

tidak hanya dari kalangan Katolik (uskup, pastor ataupun awam) tetapi juga dari berbagai

kalangan lain: Sultan dari Kraton Ngayogyakarta, Kyai, akademisi dan sebagainya.

1
Tim KOMHAK-KAS dan Majalah Inspirasi, Lentera yang Membebaskan, Mengalami kehadiran
Tuhan dalam Keheningan Olah Batin dalam Terang Iman Katolik, KOM HAK KAS dan Majalah Inspirasi,
Lentera yang Membebaskan, Semarang, 2010, 61.
Temu Kebatinan adalah satu momen yang mempersatukan umat yang sebagian besar

sudah tergabung dalam kelompok-kelompok kebatinan. Kelompok-kelompok penghayat ini

menjadi komunitas yang mencoba menggali spiritualitas Katolik-Jawa. Sebagai sebuah usaha

untuk menemukan titik temu antara budaya Jawa dengan Kekatolikan, tentulah Temu Kebatinan

ini penting bagi langkah pastoral di kalangan masyarakat Jawa yang menghidupi tradisi

kebatinan. Memang tema-tema yang diangkat sangat luas, tetapi titik utamanya adalah untuk

menemukan spiritualitas khas Katolik-Jawa

2. Mengapa Perlu ada Kebatinan Katolik?

Gereja Katolik tersebar ke berbagai penjuru dunia ini. Di masing-masing tempat tumbuh

Gereja-Gereja baru yang mempunyai kekhasan masing-masing. Kekhasan ini melibatkan

masalah budaya, keprihatinan dan juga masalah sosial yang beraneka ragam. Secara umum,

Gereja-Gereja itu dikenal sebagai Gereja lokal. Berhubungan dengan ini, lahirlah Teologi yang

dikembangkan dalam konteks lokal.

Terkait dengan konteks, yang dimaksud adalah manusia dengan budaya tertentu.

Dokumen Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Se-Asia (FABC) sangat

membantu untuk memahami mengenai budaya ini. Di sana disadari bahwa setiap budaya

menyediakan pendekatan khusus bagi kemanusiaan, sekaligus membuka celah baru untuk

memahami Injil dan kekayaannya. Ketika Injil berjumpa dengan tradisi, pengalaman dan budaya

manusia, keutamaan-keutamaan tertentu yang tersembunyi akan nampak; kekayaan dan makna

yang tersembunyi muncul menjadi terang. Itulah sebabnya amat penting untuk menafsir ulang

Injil berdasar pada sumber-sumber budaya dari setiap manusia; penafsiran ulang ini sungguh

memperkaya tradisi Katolik.2 Kebudayaan mencakup dua aspek mendasar: aspek imanen
2
Theses on Local Church, 20-21, dalam Jonathan Yun-ka Tan, Theologizing at The Service ofLife,
mendalam dan penampilan lahiriah aspek imanen itu. Aspek imanen itu dapat dipandang sebagai

pembinaan batin budi, cara mengalami, berpikir dan merasa. Penampilan lahiriah kebudayaan

berakar pada dasar itu dan mengungkapkan dalam reaksi-reaksi dan kegiatan-kegiatan mental

dan fisik yang membentuk perilaku manusia.3

3. Apa yang ingin dicapai?

Kepekaan terhadap alam sakral termasuk aspek imanen kebudayaan dan berbuah dalam

apa yang disebut “Pengalaman Religius”.4 Kepekaan itu secara mendalam bersifat subyektif dan

sejauh tampil dalam cara-cara yang terstruktur menghasilkan agama dan filsafat hidup.

Semuanya mencerminkan pengalaman sakral dari budaya yang beragam; itu menjelaskan

keragaman agama-agama dan filsafat-filsafat yang mencoba menguraikan pengertian-pengertian

seperti “keberadaan”, “makna”, dan “kebenaran”. Bila dikatakan bahwa berbagai agama dan

filsafat hidup merupakan obyektifikasi, perlu diingat bahwa semua itu bukan seluruhnya

obyektifikasi. Hal ini mengingat bahwa pelakunya individu atau kelompok sosial yang subyektif.

Oleh karena itu, pengalaman religius, agama dan filsafat hidup dengan sendirinya dan secara

integral bersifat manusiawi.5

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa agama dan budaya mempunyai kedekatan. Dengan

hidup di antara konteks tertentu sesuai “rasa keberimanan yang tumbuh dan bertahan dalam

bimbingan Roh Kebenaran” (LG 2), kaum beriman akan belajar mengekspresikan iman mereka

bukan hanya dari olah kesalehan tradisi para rasul, tetapi juga sekaligus menanggapi situasi

FABC PAPER No 108, 20-21.


3
FABC, Dokumen Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Se-Asia 1992-1995,
Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta 1997, 262.
4
FABC, Dokumen Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Se-Asia 1992-
1995,262.
5
FABC, Dokumen Sidang-sidang Fedrasi Konferensi-konferensi para Uskup se-Asia 1992-
1995,262.
budaya mereka sendiri. Tanggapan ini adalah sebuah tanggung jawab seluruh komunitas kaum

beriman yang mencoba menemukan Sabda Tuhan dan Roh itu dalam budaya dan sejarah mereka

masing-masing. Dalam hal ini diyakini bahwa kebudayaan memberi makna kepada hidup

masyarakat. Kebudayaan itu kenyataan yang dinamis, mencakup segala sesuatu yang ikut

mewujudkan masyarakat. Kebudayaan dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya agama, filsafat,

kesenian, adat-istiadat, dan tradisi6. Pada inti kebudayaan-kebudayaan itu sendiri terdapat

komponen-komponen dasar yang menjamin keutuhan dan keselarasan budaya yang lestari7.

Meminjam penjelasan FABC di atas, disimpulkan bahwa pengalaman religius menjadi

kuat dalam kebudayaan setempat. Ada banyak unsur yang tersimpan di dalamnya. Pertanyaan

kemudian adalah ‘Bagaimana menemukan sintesa antara iman Katolik dengan kebudayaan

tertentu?’

4. Bagaimana prosesnya?

Proses yang dilalui oleh penghayat kebatinan ini secara tepat memberi gambaran

mengenai “Nggoleki Mantebing Ati”, mencari kemantapan dalam beriman. Proses lebih lanjut

dari tradisi yang biasa dalam membaca, merenungkan, dan akhirnya mewujudkan sabda dalam

tindakan harian adalah proses yang dilakukan oleh penghayat Kebatinan Katolik. Pada bagian

terakhir dari proses itu yang dituju adalah kesatuan dengan Bapa di kepenuhan akhir. Proses

menuju kepada kepenuhan akhir inilah yang dialami oleh tiap manusia di dunia ini, termasuk

oleh para penghayat Kebatinan Katolik.

Proses olah batin dibutuhkan dalam hal ini karena petunjuk Yesus Kristus itu sekaligus

6
FABC, Dokumen Sidang-sidang Fedrasi Konferensi-konferensi para Uskup se-Asia 1992-1995,
212.
7
FABC, Dokumen Sidang-sidang Fedrasi Konferensi-konferensi para Uskup se-Asia 1992-
1995,263.
jelas dan tidak jelas. Dikatakan jelas karena mengacu pada ajaran, dan cara hidup yang secara

pasti diajarkan dalam Kitab Suci, khususnya Injil. Dikatakan tidak jelas karena jalan Yesus

Kristus tidak lagi dilewati dalam konteks yang sama dengan pengalaman Yesus Kristus dan para

rasul. Yesus pun saat ini tidak hadir secara fisik sehingga bisa diketahui apa yang menjadi

gerakannya. Pembelajaran mengenai kehidupannya dibuat melalui Kitab Suci, terutama Injil

yang mengkisahkan hidup, karya dan gerakan Yesus Kristus. Kehidupan masing-masing orang

pada masa kini mempunyai konteksnya yang berbeda satu dengan yang lain. Untuk itulah relasi

pribadi dengan Yesus Kristus di dunia ini harus diusahakan agar semakin peka akan jalan mana

yang dikehendaki oleh Allah untuk dilewati. Prosesnya membutuhkan penyangkalan diri. Hal ini

selaras dengan penghayatan Kebatinan Jawa: puasa; matiraga; meditasi; menyepi dan

sebagainya.

Yesus melakukan tindakan-tindakan yang menjadi sarana untuk mengabdi Allah. Maka,

setiap manusia yang hendak mengolah batin haruslah mengikuti teladan-Nya. Dalam konteks

Kebatinan Katolik, kalau ada anugerah yang diberikan berupa bermacam-macam karunia untuk

mengusir setan, membantu menyembuhkan penyakit atau karunia lain, semua adalah sarana saja

untuk semakin mewujudkan gerakan Yesus Kristus yang mencintai sesama-Nya. Sama seperti

Yesus Kristus mencintai semua orang, mengusir setan dan menyembuhkan banyak penyakit,

mereka pun dipanggil untuk mencintai sesama dalam cara yang sama. Hal-hal itu adalah sarana

untuk semakin mencintai Allah dan sesama. Perlu diingat pula bahwa anugerah yang didapat dari

Allah harus dibagikan kepada sesama. Yesus melakukan penyembuhan dan membantu banyak

orang terhindar dari segala permasalahan bukan demi mencari keuntungan pribadi, baik berupa

material atau pun ‘nama’ melainkan semata-mata demi membantu sesama mendapatkan kehidu-

pan yang lebih baik. Hal ini dipertegas dengan kata-kata-Nya setiap kali melakukan penyem-
buhan, “Jangan katakan hal ini kepada orang-orang lain”. Proses yang sama perlu dihidupi oleh

penghayat Kebatinan Katolik. Dalam bahasa yang lebih umum bisa dikatakan bahwa, “mereka

diberkati agar bisa menjadi berkat bagi sesama”.

5. Usulan apa untuk Temu Kebatinan Katolik?

Guna mendukung temu kebatinan sebagai usaha untuk menemukan sintesa antara iman

Katolik dan kerohanian dalam budaya Jawa, beberapa usulan berikut bisa menjadi masukan:

a. Mengusahakan pendampingan pemahaman tentang Kitab Suci dan mengenal latar belakang

hidup Yesus. Pengajaran dari mereka yang paham tentang Kitab Suci akan membantu

penghayat Kebatinan Katolik semakin akrab dengan Kitab Suci dan misi kehidupan Yesus

Kristus. Dalam hal ini pengenalan akan hidup Yesus Kristus dan misi kehadiran-Nya untuk

menghadirkan Kerajaan Allah perlu mendapat tekanan. Usaha ini akan membantu

memahami iman bukan sebagai iman yang egois melainkan iman yang terlibat dalam

kehidupan orang-orang di sekitar seperti yang dibuat oleh Yesus Kristus.

b. Mengangkat refleksi olah batin lokal sebagai media untuk semakin mengenal Allah dan

kehendak-Nya. Dalam hal ini penghargaan akan kharisma lokal diangkat agar semakin

ditemukan makna perjumpaan lintas iman dan lintas budaya (interkulturasi dan interreligius)

terjadi. Ungkapan Manunggaling Kawula lan Gusti yang dimaknai lebih lanjut dalam

Manunggaling Gusti lan Kawula menjadi salah satu contoh wacana yang baik dan sudah

dikembangkan di kalangan penghayat kebatinan Katolik. Ke depan usaha ini bisa

berkembang dengan digalakkannya budaya lokal dengan isi iman Katolik. Misalnya saja

dalam budaya sadranan ataupun dalam mati raga Jawa. Puasa dengan ngrowod, mutih atau

ngebleng bisa diperkenalkan kepada sebagai model berpuasa pada masa prapaskah.

c. Temu Kebatinan Katolik bisa diusahakan sebagai sarana berbagi pengolahan batin antar para
penghayat Kebatinan Katolik. Dalam hal ini, mereka menjadi teolog lokal yang mengungkap

penghayatan iman mereka. Sementara imam atau teolog berperan sebagai teolog profesional

yang membantu umat untuk mendekatkan penghayatan iman mereka dengan tradisi iman

Katolik. Dengan demikian, diharapkan semakin banyak kasanah Teologi Kontekstual yang

bisa dibagikan juga bagi mereka yang tidak masuk sebagai penghayat Kebatinan Katolik.

d. Hadirnya para pendengar dalam Temu Kebatinan bisa sekaligus memperluas misi

persaudaraan sehingga kelompok ini tidak ekslusif. Maka, kiranya penting untuk melibatkan

umat di luar penghayat Kebatinan Katolik meskipun hanya sebagai pendengar. Hal ini

penting untuk menyebarkan semangat olah batin itu kepada semakin banyak umat. Mungkin

pengolahannya tidak akan sama, tetapi rohnya adalah satu dan sama.

Rm. Martinus Joko Lelono, Pr

Imam Keuskupan Agung Semarang

Moderator Komisi HAK Kevikepan Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai