Anda di halaman 1dari 10

Memurnikan istilah inkulturasi dan akulturasi Selama beberapa dekade terakhir, inkulturasi menjadi suatu kata yang cukup

sering didengar dalam gugus vokabuler teologi, misiologi, dan studi liturgis. Namun, dalam dokumen-dokumen resmi Gereja, kata yang sering digunakan merujuk pada inkulturasi adalah kata adaptasi. SC sendiri tidak menggunakan kata inkulturasi secara langsung. Di beberapa bagian, terdapat kata dalam bahasa Latin, aptatio dan accomodatio, yang merujuk pada inkulturasi. Kata aptatio sebagaimana digunakan dalam SC berarti penyesuaian. Sementara dengan kata accomodatio, ingin ditunjukkan usaha mengakomodasi unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat. Keduanya merupakan kata yang dipakai saling melengkapi sehingga tidak dimaksudkan satu sama lain saling mengeksklusikan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kata accomodatio, diskursus inkulturasi sampai pada simpulan sifat kompromi Gereja atas unsur-unsur kultural masyarakat setempat. Sementara dengan kata aptatio, diskursus inkulturasi merangkum dinamika aggiornamento Gereja. Oleh karena itulah aptatio secara kultural lebih bersifat netral. Dibutuhkan akulturasi, inkulturasi, dan kreativitas dalam pendekatan-pendekatan, metode-metode, atau cara-cara konkret mengaktualisasikan pembaruan yang diserukan Konsili Vatikan II. Semunya dimaksudkan demi partisipasi aktif umat yang merayakan imannya. Mengingat pemahaman Konsili Vatikan II sebagaimana telah dideskripsikan, dapatlah dipahami bahwa akulturasi pun adalah suatu metode yang mendorong dibakukannya suatu bentuk Liturgi tertentu. Dengan kata akulturasi, ditunjukkanlah dinamika interaksi kultural yang lebih bersifat mulai-mengenal-engkau dan belum sampai pada kedalaman pemahaman unsur-unsur kultural masyarakat yang dijumpai. Dengan demikian, akulturasi merupakan suatu langkah awal kepada pemahaman yang lebih mendalam dan hal ini ditempatkan dalam kerangka inkulturasi. Apa yang dimaksud dengan inkulturasi tidaklah sebatas korelasi pembicaraan tentang budaya semata. Diskursus tentang inkulturasi tidak saja memberi tempat penting pada dimensi antropologis, melainkan dimensi teologis pun diberi tempat semestinya. Artinya, dengan kata inkulturasi, yang pertama-tama diekspresikan adalah elemen-elemen penting misteri inkarnasi, yaitu relasi antara Allah dan umat-Nya. Dengan demikian, inkulturasi liturgis dapat dideskripsikan sebagai suatu proses, di mana teks-teks dan ritus-ritus dalam perayaan Gereja lokal, dimasukkan dalam suatu lanskap budaya, seraya tetap memberi tempat pada pemikiran, bahasa, dan pola-pola budaya setempat. Dinamika inkulturasi tidak berhenti sebatas pada proses ini semata. Selain hendak dikatakan perlunya resiprositas dan sikap saling menghormati antara liturgi dan budaya, inkulturasi pun hendak menunjuk bahwa di dalam korelasi Liturgi dan budaya tersebut, terdapat suatu proses transkulturasi. Artinya, terdapat dua budaya yang saling memperkaya. Yang patut digarisbawahi adalah bahwa iman Kristiani mendorong masing-masing pribadi berani memandang nilai-nilai kultural bangsanya, berani mengangkat aspek-aspek positif, dan berani melihat bahwa dalam budayanya pun terdapat nilai-nilai yang mematikan. Nilai-nilai positif inilah yang perlu dikembangkan dan nilai-nilai yang mematikan sedikit demi sedikit tidak lagi diindahkan. IMPERATIF INKULTURASI: MENJADI ORANG SAMARIA YANG MURAH HATI Dalam konteks Indonesia, titik mula diskursus inkulturasi perlu ditempatkan dalam kerangka pluralitas agama dan agama Kristiani merupakan agama minoritas di tengah masyarakat yang memeluk agama Islam dan kemiskinan. Dengan demikian, pembicaraan tentang inkulturasi tidak dapat tidak bergerak dalam kerangka dua titik polaritas, sifat ke-Dunia Ketiga-an yang dicirikan dengan kemiskinan yang bertumpah ruah dan ke-Asia-an khas yang dicirikan dengan

kereligiusan yang majemuk. Kata kemiskinan tidaklah pertama-tama direduksi pada kategori ekonomis semata, melainkan terjalin dalam suatu korelasi kultural-sosio-politis. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila strategi dan program-program ideologis untuk memerangi kemiskinan mengesampingkan sifat kereligiusannya, pun pula upaya-upaya teologis untuk berjumpa dengan pluralitas agama-agama yang diimani oleh masyarakat, tanpa keprihatinan radikal akan kemiskinannya. Dengan kata lain, penanganan problem kemiskinan hanya dapat berlangsung dengan tepat jika dilakukan dalam konteks dialog dengan agama-agama lain. Sementara itu, dialog yang autentik dan berhasil antara agama-agama itu hanya mungkin kalau didasari oleh keprihatinan terhadap kaum miskin. Hal ini tentu tidaklah mudah. Baik kenyataan kemiskinan maupun kenyataan keagamaan, keduanya bersifat kompleks. Oleh karena itu, diperlukan suatu paradigma baru yang lahir dari situasinya masyarakat sendiri. Paradigma inilah yang merangkum tiga pemahaman penting. Pertama, Gereja harus berani masuk dalam ungkapan-ungkapan soteriologis agama-agama kultural dan menemukan intisarinya yang memerdekakan. Inti soteriologis inilah pintu masuk satu-satunya bagi Yesus di dalam kehidupan masyarakat. Kedua, apa yang mutlak dan unik dalam Yesus tidak harus ditemukan dalam gelar-gelar seperti Kristus atau Putera Allah, tetapi dalam misteri penyelamatan yang oleh Yesus disalurkan dalam amanat dan pribadi-Nya, dan yang diterima juga oleh agama-agama lain meskipun dituangkan dalam terminologi yang berbeda. Bukan gelarlah yang menyelamatkan, melainkan Sang Pengantar itu sendiri yang menyelamatkan. Ketiga, bagaimana dapat berbicara tentang Putera Allah dalam konteks inklusivitas yang tetap terbuka pada pluralisme religius, tetapi sekaligus tidak tergelincir ke dalam relativisme, tergantung pada ditemukannya suatu tempat yang sensitif dalam lubuk hati masyarakat, tempat Yesus akan menemukan ungkapan yang pantas untuk mengkomunikasikan identitas-Nya yang unik. Tempat ini dapat ditemukan dengan menapak tilas upaya Yesus sendiri untuk mewahyukan diri-Nya ke dalam konteks kereligiusan dan kemiskinan masyarakat sezaman-Nya, tampil dalam terminologi teknis, benaman pembaptisan ke dalam realitas masyarakat (bdk. Mrk 1:9-11, 10:35-40, Luk 12:50). Kisah orang Samaria yang murah hati, kiranya menjadi gambaran ideal misi Gereja. Misi Gereja selalu berarti mengabdi kepada seluruh eksistensi manusia, terutama mereka yang digambarkan dalam perumpamaan itu sebagai orang yang jatuh ke tangan penyamun (Luk 10:30). Berangkat dari kenyataan ini, misi Yesus pun dinyatakan secara lugas, untuk membebaskan mereka yang terbelenggu (Luk 4:17-21, 7:23; Mat 9:35, Mrk 7:37; Kis 10:38), menyembuhkan yang sakit (Luk 5:26), dan mengampuni para pendosa (Mat 9:13). Dengan kata lain, seluruh hidup Yesus hadir demi mengabdi kepada kehidupan manusia (Mat 20:28). Ia datang supaya seluruh umat manusia memiliki hidup dalam kelimpahannya (Yoh 10:10b). Pertanyaan mendasar yang tepat untuk digali dalam rancang bangun imperatif inkulturasi menjadi orang Samaria yang murah hati adalah redefinisi titik tolak misi Gereja yang dimulai justru dari mereka yang terpinggirkan dan dilupakan dalam perjalanan sejarah kehidupan umat manusia, mereka yang tertindas, dan mereka yang adalah korban. Penulis hendak mengafirmasi bahwa imperatif pewartaan adalah Gereja yang mendekati para korban ini dengan sikap belarasa-suka-duka (bdk. Luk 10:37). Kenyataan ini tidaklah tanpa alasan. Pewartaan Kerajaan Allah tidaklah mungkin dirasakan manfaatnya jika tidak berarti pembebasan penuh dan total bagi semua ciptaan, kosmos dan manusia, dari keterbelengguan yang disebabkan justru oleh manusia sendiri. Hal ini berarti pula bahwa Kerajaan Allah itu diterjemahkan dengan kehadiran Gereja yang menunjukkan pertama-tama dan terutama kenyataan komunitas yang hidup bersama Bapa, Putera dan Roh Kudus, serentak terkait erat dengan kenyataan komunitas persaudaraan universal

dalam solidaritas satu dengan yang lainnya. Demikianlah kenyataan Kabar Gembira yang diwartakan Yesus dapat dialami dalam penghayatan atas Sabda Allah, pun pula dalam karya kehidupan yang memampukan masing-masing umat Allah bekerja sebagai perpanjangan rahmat keselamatan. Aspek-aspek inilah yang inhern tercakup dalam terminologi teknis inkulturasi. Contoh konkret yang dapat dihadirkan di sini adalah pengalaman penulis sewaktu tinggal di Seminari Menengah Mertoyudan, yaitu mengikuti ibadat Jumat Agung yang diselenggarakan di paroki Sumber, tepat di lereng gunung Merapi. Bagi penulis, Rm. Kirdjito sebagai pastor paroki setempat dengan tepat memasukkan aspek inkulturasi dalam dua sudut pandang berikut. Pertama, kekayaan khasanah Jawa. Romo Kirdjito tidak hanya berhenti dengan memakai pakaian adat setempat, pun pula sarana prasarana lain; gamelan, wayang orang. Ia justru beranjak dari kekayaan khasanah Jawa tersebut untuk membantu umat menyadari bahwa kekayaan khasanah Jawa tersebut seharusnya mendorong umat untuk makin mencintai lingkungan, tempat mereka tinggal. Hal ini disebabkan oleh maraknya penambangan pasir di daerah tersebut. Oleh karena itulah Romo Kirdjito memulai ibadat Jumat Agung justru dengan napak tilas, melihat dari dekat kerusakan-kerusakan yang telah ditimbulkan dengan penambangan pasir tersebut. Dengan demikian, liturgi yang dirayakan menyapa umat setempat dan mendorong perwujudan iman. Kedua, teologi kontekstual. Teologi lahir sebagai refleksi iman dinamika kehidupan Kristiani jemaat. Dengan demikian, teologi memiliki dua dimensi aktif, pewahyuan Allah dan tanggapan iman umat atas pewahyuan itu. Dalam hal ini, pengalaman penulis tadi memperlihatkan bahwa perhatian tidak ditempatkan dalam khasanah budaya Jawa semata, melainkan pada korelasi khasanah budaya Jawa, kearifan lokal, dan dinamika inkarnatif iman Katolik. Dalam hal ini, aspek inkarnatif ditunjukkan dengan mengangkat pengalaman hidup sehari-hari dalam terang iman Kristiani. Di sinilah umat didorong untuk mengadakan diskresi dan kontra-budaya, menantang praktik-praktik kehidupan yang mematikan, yaitu penambangan pasir yang justru merusak lingkungan. Oleh karena itulah, liturgi sebagai perayaan iman umat tidak berhenti pada perayaan semata, melainkan lebih merupakan perayaan kehidupan. Dalam perayaan inilah, umat dibantu dan didorong untuk mengenali khasanah kehidupan, kearifan lokal, dan tumbuh dalam iman Kristiani yang makin dewasa.
Inkulturasi Kehidupan bersama antara paham kristiani dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya telah bermula sejak zaman perasulan. Seperti yang tertulis di dalam injil Markus 28:28, Yesus memerintahkan muridmuridnya untuk mewartakan Kerajaan Allah ke seluruh penjuru dunia. Berdasarkan perintah tersebut, para murid pergi berdua-dua untuk mewartakan Kerajaan Allah. Bagaimana hasilnya ? Hasilnya sekarang bisa terlihat oleh mata kepala kita sendiri. Ajaran Yesus kini berkembang pesat hampir di seluruh dunia. Pastinya hal ini tidak mudah, dalam melakukan penyebaran ajaran, ajaran yang disebarkan pastinya akan bentrok dengan budaya-budaya lain yang terdapat di suatu daerah. Untuk meminimalisir kesulitan tersebut, Gereja melakukan suatu cara yang diberi nama inkulturasi. Inkulturasi[1] adalah suatu istilah yang digunakan di dalam paham Kristiani yang merujuk pada adaptasi dari ajaran-ajaran Gereja pada saat diajukan pada kebudayaan-kebudayaan non-kristiani, dan untuk mempengaruhi kebudayaankebudayaan tersebut pada evolusi ajaran-ajaran Gereja. Inkulturasi berasal dari kata kultur atau culture, yang artinya dalam Bahasa Indonesia yaitu budaya. Inkulturasi merupakan cara yang paling efektif bagi Gereja untuk menyebarkan ajarannya. Inkulturasi dilakukan dengan tujuan agar ajaran Gereja mudah dipahami oleh khalayak ramai melalui budaya-

budaya mereka sendiri. Jadi, kita tidak perlu bersusah payah memahami ajaran Gereja melalui budaya asal Gereja toh melalui budaya kita, kita bisa mengerti ajaran-ajaran Gereja. Namun, dengan tetap memegang suatu pegangan, yaitu pokok atau dasar inkulturasi[2] adalah Yesus Kristus yang masuk ke dunia menjadi manusia. Inkulturasi juga menjadi persoalan abadi di dalam Gereja. Masalah-masalah yang ada pada Gereja sebagian berhubungan dengan latar belakang Gereja. Sebagian orang beriman menganggap inkulturasi menyangkut unsur-unsur hakiki keagamaan yang tidak boleh ditinggalkan. Hal ini membuat penyebaran agama Kristen di Eropa Utara, apalagi India dan Tiongkok sangat terhambat oleh lambannya inkultrasi. Salah satu contoh inkulturasi yaitu bahasa yang digunakan pada saat melakukan penyebaran ajaran. Dalam perayaan ekaristi contohnya, bahasa yang digunakan sekarang sesuai dengan bahasa setempat, sedangkan pada zaman dahulu bahasa yang digunakan dalam perayaan ekaristi yaitu Bahasa Latin dan Italia (Roma) yang merupakan bahasa asal gereja. Munculnya Inkulturasi Setelah Konsili Vatikan II perutusan olaeh yesus di tafsirkan dalam makna lain, yaitu dengan masuk ke dalam budaya-budaya setempat dan menjadikan budaya setempat sebagai sarana untuk penginjilan yang disebut dengan inkulturasi[3]. Dengan kata lain mulai saat itu Gereja resmi menggunakan cara inkulturasi sebagai cara penyebaran injil. Dalam Ensiklik Rdemptoris Misio[4] (tentang penginjilan), Paus Yohanes Paulus II, a.l. mengatakan : Melalui inkulturasi, Gereja menjelmakan injil dalam budaya yang berbeda-beda dan serentak membawa masuk bangsa-bangsa bersama dengan kebudayaan mereka ke dalam persekutuan Gereja sendiri. Inkulturasi sebetulnya sesuatu yang aneh, seolah-olah ada iman di luar kebudayaan dahulu, yang kemudian mencoba masuk ke dalam suatu kebudayaan tertentu dan mengenakan kebudayaan itu bagaikan pakaian[5]. Kebudayaan Indonesia juga termasuk salah satu daftar kebudayaan yang di inkulturasikan oleh Gereja. Budaya Jawa contohnya, di daerah Jawa sudah banyak diadakan perayaan ekaristi dalam adat Jawa. Perayaan Ekarisi ini memasukkan adat-adat Jawa tanpa menghilangkan tujuan awal perayaan ekaristi. Sinkretisme Inkulturasi [6]Gereja juga tidak asal-asalan melakukan inkulturasi terhadap suatu kebudayaan, jika tidak yang terjadi bukannya inkulturasi melainkan sinkretisme. Sinkretisme[7] disebut dalam kamus Inggris sebagai penyatuan aliran. Sedangkan dalam hal agama, istilah ini oleh Berkhof dan Enklaar disebut mencampur adukkan agama-agama[8]. Kemudian Josh McDowell dalam bukunya menyebutkan bahwa Syncrestic berarti tending to reconcile different beliefs, as philosophy and religion. Dari beberapa kutipan diatas bahwa sinkretisme dalam agama adalah usaha penyatuan dan pencampuradukkan berbagai fahamfaham agama dengan kecenderungan untuk mendamaikan faham-faham itu dan terkadang bertolak belakang dengan asal-usul maknanya[9]. Sinkretisme berbeda dengan inkulturasi. Sinkretisme hanya mencapuradukkan berbagai fahamfaham/kebudayaan-kebudayaan saja tanpa ada sesuatu yang jelas, sedangkan inkulturasi menggunakan kebudayaan-kebudayaan/faham-faham sebagai sarana pewartaan injil Allah. Sebagai contoh dari Sinkretisme yaitu di India Kuno antara aneka kepercayaan suku-suku asli dan

imigran, kemudian di Yunani-Roma pada masa Helenisme, lalu di Tionghoa (kofusianisme-TaoismeBudhisme-Mahayana). Di Indonesia juga terjadi sinketisme, seperti Animisme, Hindhuisme, Budhisme dicampuradukkan dalam kebudayaan Jawa sebelum kedatangan Islam ke Indonesia.

PENGANTAR Pasca Konsili Vatikan II (1962-1965) inkulturasi menjadi salah satu istilah yang populer dalam lingkungan Gereja Katolik. Dan, lebih dari itu, inkulturasi diajukan sebagai suatu Archdiocese tugas bagi Gereja. Di banyak tempat orang berbicara dan of mengupayakan inkulturasi. Khusus untuk Keuskupan kita, Munas IX UNIO Indonesia yang berlangsung di Makassar dan Makassar, Tana Toraja, 4-10 Agustus 2008 yang lalu, menjadi pendorong Indonesia bangkitnya semangat menggumuli upaya inkulturasi secara lebih serius,khususnya di Toraja. Sebagaimana mungkin kita masih ingat, Munas tersebut mengambil tema Menemukan Benih-Benih Sabda di Toraja. Agar upaya tersebut tidak melenceng, sungguh dibutuhkan pemahaman yang tepat mengenai apa itu inkulturasi. Pemahaman yang tepat mengenai inkulturasi akan membantu kita menjalankan upaya tersebut secara benar. I. APA ITU INKULTURASI Asal-Usul dan Arti Istilah Walaupun kata inculturatio tidak terdapat dalam bahasa Latin klasik, jelaslah istilah tersebut berasal-usul dari bahasa Latin. Dibentuk dari kata depan in (menunjukkan di mana sesuatu ada/berlangsung: di(dalam), di(atas) atau menunjukkan ke mana sesuatu bergerak: ke, ke arah, ke dalam, ke atas); dan kata kerja colo, colere, colui, cultum (= menanami, mengolah, mengerjakan, mendiami, memelihara, menghormati, menyembah, beribadat). Dari kata kerja ini berasal kata benda cultura (=pengusahaan, penanaman, tanah pertanian; pendidikan, penggemblengan; pemujaan, penyembahan); tampaknya dari gabungan semua arti tersebutlah kata cultura mendapatkan arti kebudayaan. Maka inculturatio secara harafiah berarti penyisipan ke dalam suatu kebudayaan. Dalam antropologi kebudayaan terdapat dua istilah tehnis yang berakar kata sama, yaitu akulturasi dan enkulturasi. Akulturasi sinonim dengan kontak-budaya, yaitu pertemuan antara dua budaya berbeda dan perubahan yang ditimbulkannya. Sedangkan enkulturasi menunjuk pada proses inisiasi seorang individu ke dalam budayanya. Inkulturasi sebagai proses pengintegrasian pengalaman iman Gereja ke dalam suatu budaya tertentu, tentu saja berbeda dari akulturasi. Perbedaan itu pertama-tama terletak di sini, bahwa hubungan antara Gereja dan sebuah budaya tertentu tidak sama dengan kontak antar-budaya. Sebab Gereja berkaitan dengan misi dan hakekatnya, tidak terikat pada suatu bentuk budaya tertentu (GS, 42). Kecuali itu, proses inkulturasi itu bukan sekedar suatu jenis kontak, melainkan sebuah penyisipan mendalam, yang dengannya Gereja menjadi bagian dari sebuah masyarakat tertentu (bdk. AG, 10). Demikian juga inkulturasi berbeda dari enkulturasi. Sebab yang dimaksud dengan inkulturasi ialah proses yang dengannya Gereja menjadi bagian dari budaya tertentu, dan bukan sekedar inisiasi seorang individu ke dalam budayanya.

Definisi Inkulturasi Inkulturasi ialah: pengintegrasian pengalaman Kristiani sebuah Gereja lokal ke dalam kebudayaan setempat sedemikian rupa sehingga pengalaman tersebut tidak hanya mengungkapkan diri di dalam unsur-unsur kebudayaan bersangkutan, melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan memperbaharui kebudayaan bersangkutan, dan dengan demikian menciptakan suatu kesatuan dan communio baru, tidak hanya di dalam kebudayaan tersebut, melainkan juga sebagai unsur yang memperkaya Gereja sejagat.

II. DASAR KITAB SUCI DAN AJARAN GEREJA Landasan Biblis Inkulturasi Kekristenan lahir dalam lingkungan budaya Yahudi. Peristiwa Pentakosta (Kis. 2:1-41) dipandang sebagai hari kelahiran Gereja. Para penganut pertama Kekristenan adalah orang-orang Yahudi. Tetapi selanjutnya Kekristenan mulai berkembang di kalangan bangsa-bangsa lain, khususnya berkat kegiatan dua rasul besar, Paulus dan Barnabas. Segera saja Gereja yang baru lahir itu digoncang oleh sebuah persoalan besar. Persoalannya, apakah orang bukan-Yahudi yang menjadi Kristen harus mengikuti adat-istiadat yang diwariskan oleh Musa (budaya Yahudi) atau tidak? Di sini terjadi pro-kontra yang tajam. Untuk membicarakan persoalan ini diadakanlah Konsili para Rasul di Yerusalem (sekitar tahun 50 AD). Konsili ini memutuskan, bahwa peraturan Yahudi tentang kenajisan, sunat dan larangan makanan tertentu bagi orang Kristen keturunan bukan-Yahudi tidaklah diwajibkan (lih. Kis. 15:1-34). Keputusan Konsili Yerusalem ini sangat penting bagi kehidupan dan perkembangan Gereja selanjutnya. Keputusan ini menegaskan, bahwa Gereja tidak terikat pada suatu budaya tertentu. Gereja dapat ber-inkarnasi dalam semua budaya yang baik. Karena itu, seseorang dari budaya manapun, ketika menjadi Kristen, tidak perlu meninggalkan budayanya, sejauh unsur budaya tersebut tidak bertentangan dengan iman Kristiani. Dapat dipahami bahwa permenungan teologis sekitar hal ini belum sangat berkembang dalam Perjanjian Baru. Tetapi Kis. 17:16-34 memberikan landasan teologis yang cukup jelas. Ketika berada di Atena, Paulus pergi berdiri di atas Areopagus dan berkata: Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepadamu (Kis. 17:22-23). Paulus menemukan tanda kehadiran Allah secara tersembunyi dalam budaya-religius Yunani. Ajaran Gereja Penemuan Paulus di atas menjadi salah satu pusat permenungan teologis pada masa selanjutnya, di jaman para Bapa Gereja (abad ke-2 s/d ke-8). Yustinus (meninggal sebagai martir antara 163167 AD) dan Clemens dari Alexandria (meninggal 215 atau 216 AD), misalnya, menemukan hadirnya benih-benih Sabda dalam filsafat Yunani. Dan ini semua, menurut Eusebius dari Kaisarea, benar-benar dapat melandaskan suatu persiapan untuk Injil (praeparatio evangelica). Posisi para Bapa Gereja ini diambil alih dan dikembangkan secara matang dengan

mengetrapkannya pada semua budaya dan agama bukan-Kristiani oleh Konsili Vatikan II (lih. LG,16 dan khususnya Deklarasi Nostra Aetate tentang Hubungan Gereja dengan AgamaAgama Bukan-Kristiani, disingkat NA). Penegasan Konsili Vatikan II sangat jelas, bahwa rencana keselamatan (Allah) juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta; di antara mereka terdapat terutama kaum MusliminPun dari umat lain, yang mencari Allah yang tak mereka kenal dalam bayangan dan gambaran, tidak jauhlah Allah, karena Ia memberi semua kehidupan dan nafas dan segalanya (lih. Kis. 17:25-28), dan sebagai Penyelamat menghendaki keselamatan semua orang (lih. 1 Tim. 2:4) Penyelenggaraan ilahi tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apa pun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan Injil (LG, 16). Atas dasar itu, Konsili Vatikan II mengetengahkan tema inkulturasi sebagai suatu tugas bagi Gereja, khususnya Gereja-Gereja muda. Gereja-Gereja itu meminjam dari adat-istiadat dan tradisi-tradisi para bangsanya, dari kebijaksanaan dan ajaran mereka, dari kesenian dan ilmu pengetahuan mereka, segala sesuatu, yang dapat merupakan sumbangan untuk mengakui kemuliaan Sang Pencipta, untuk memperjelas rahmat Sang Penebus, dan untuk mengatur hidup kristiani dengan saksama (AG, 22). Dengan demikian, apa pun yang baik, yang terdapat tertaburkan dalam hati dan budi orang-orang, atau dalam adat-kebiasaan serta kebudayaankebudayaan yang khas para bangsa, bukan hanya tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi kebahagiaan manusia (AG, 9; lih. juga LG, 17; Agustinus, De Civitate Dei, 19,17: PL 41,646). Dalam Ajakan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Des. 1975), Paus Paulus VI kembali secara tegas menekankan lagi mandat inkulturasi ini dalam tugas pewartaan. Namun, di lain pihak, dengan tidak kurang tegas mengingatkan agar tetap dijaga kesetiaan kepada Injil. Evangelisasi menghadapi risiko kehilangan kekuatannya dan sekaligus lenyap apabila seseorang mengosongkan atau memalsukan isinya dengan dalih menerjemahkannya (EN, 63). Konsili Vatikan II sesungguhnya telah memberi peringatan yang sama dalam kata-kata yang berbeda, yaitu agar dicegah semua bentuk sinkretisme (pencampuradukkan) dan partikularisme yang keliru (AG, 22). III. TAHAP-TAHAP INKULTURASI Kembali pada definisi inkulturasi yang sudah diberikan di atas, kita melihat bahwa keseluruhan proses inkulturasi itu merupakan suatu pengintegrasian, yang terjadi pada dua sisi, yaitu: (1) pengintegrasian iman dan hidup Kristiani ke dalam budaya yang bersangkutan, dan (2) pengintegrasian sebuah ungkapan baru pengalaman Kristiani ke dalam kehidupan Gereja semesta. Dalam proses menuju integrasi bersisi-dua tersebut dapatlah dibedakan tiga tahap utama, sebagai berikut: 1.Tahap Terjemahan Ini tahap awal, di mana Gereja, melalui para misionaris asing, berkontak dengan sebuah kebudayaan baru, sambil memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani dalam wujud budaya lain. Walau diupayakan penyesuaian-penyesuaian kecil, terjemahan dipersiapkan, Gereja toh mempunyai pandangan asing, dan menjadi seorang Kristiani seringkali berarti meninggalkan

budayanya sendiri. Pada tahap pertama ini berlangsung proses akulturasi (perjumpaan dua budaya berbeda). Para misionaris dan umat Kristiani setempat mengassimilasikan unsur-unsur budaya satu sama lain. Sejumlah cerita kecil aneh rada lucu, karena salah paham akibat perbedaan budaya, muncul dari tahap awal ini. Misalnya, seorang anak pembantu pastoran suatu malam bukan kepalang terperanjat ketika dihawik marah oleh Pastor, saat beliau tiba kembali di pastoran dari mengunjungi orang sakit. Dengan ramah anak pastoran itu menyambutnya dengan kata-kata, Dari mana, Pastor? Pastor merasa tersinggung, karena sebagai orang Barat beliau menganggap anak itu mau mencampuri urusannya. Padahal di daerah itu, sapaan tersebut sama dengan ucapan Selamat malam, Pastor. Cerita lain, sementara mengajar di kelas sebuah SD, seorang Pastor misionaris meneriaki seorang anak sebagai tolol. Beliau meminta anak itu menunjukkan mana sisi kanan mana sisi kiri dari sebuah lukisan yang tergantung di dinding. Anak itu menunjukkan sisi kanan dan sisi kiri persis terbalik dari yang dipikirkan Pastor. Memang, orang Barat menentukan sisi kanan dan kiri berdasarkan subyek yang memandang, sedang orang Timur berdasarkan obyek yang dipandang. Tidakkah di sini terungkap perbedaan pandangan yang lebih mendalam menyangkut hubungan manusia dan kosmos? Sementara orang Barat cenderung menganut paham antroposentrisme (manusia merupakan pusat dari alam), pandangan asli Timur tidak melihat manusia sebagai pusat melainkan bagian dari alam. Dan ini tentu mempunyai dampak luas dalam kehidupan sosio-religius masyarakat Timur, yang berbeda dari masyarakat Barat. 2. Tahap Asimilasi Ketika semakin banyak penduduk setempat menjadi anggota Gereja, dan khususnya ketika para klerus atau imam pribumi makin berkembang, Gereja dengan sendirinya semakin berasimilasi pada budaya masyarakat sekeliling. Pada tahap ini proses inkulturasi yang sesungguhnya mulai, di mana para pelaku utama adalah mereka yang berasal dari budaya setempat. Gereja semakin mengasimilasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur dari kebudayaan setempat (ritus, upacara atau pesta, kesenian, simbol-simbol, dll) diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Inilah tahap yang kritis. Di sini dibutuhkan kecermatan memadai demi mencegah setiap bentuk sinkretisme dan partikularisme yang keliru, sebagaimana sudah dikemukakan di atas. Karena itu dibutuhkan pedoman umum praksis berikut: a. Metode Tiga Langkah Dalam mengambil alih manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan setempat (ritus, upacara atau pesta, simbol-simbol, dll) ke dalam penggunaan gerejawi, perlulah: (1) pertama-tama diusahakan memurnikan manifestasi-manifestasi tersebut dari unsur-unsur takhyul dan magis; lalu (2) menerima yang baik atau yang sudah dimurnikan; dan dengan demikian (3) memberi makna baru kepadanya, dengan mengangkatnya ke dalam kepenuhan Kristiani. Sebuah contoh klasik demi lebih menjelaskan metode tiga langkah ini, ialah perayaan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus pada 25 Desember. Secara historis tanggal kelahiran Yesus Kristus tidak diketahui. Kitab Suci sendiri tidak mencatat hal itu. Diketahui bahwa pada tanggal 25 Desember itu aslinya dalam kekaisaran Romawi dirayakan sebagai hari besar Mahadewa Terang, yaitu Matahari. Ketika agama Kristen mulai berkembang di wilayah kekaisaran Romawi, orang Kristen tidak mau menerima Matahari sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan Tuhan. Bagi orang Kristen Maha Terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Maka melalui metode 3 langkah di atas hari besar 25 Desember diambil alih ke dalam penggunaan

Gereja: merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang Dunia, kini disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember dibersihkan dari unsur takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah kedua); dan diberi makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga). b. Dibutuhkan Telaah Sosiologis-Antropologis dan Teologis Jelaslah metode 3 langkah di atas harus didukung oleh refleksi teologis yang andal. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa untuk mewujudkan inkulturasi secara benar perlulah, bahwa di setiap kawasan sosio-budaya yang luas, seperti dikatakan, didoronglah refleksi teologis, untuk dalam terang Tradisi Gereja semesta meneliti secara baru peristiwa-peristiwa maupun amanat sabda yang telah diwahyukan oleh Allah, dicantumkan dalam Kitab Suci, dan diuraikan oleh para Bapa serta Wewenang Mengajar Gereja. Demikianlah akan dimengerti lebih jelas, bagaimana iman dengan mengindahkan filsafah serta kebijaksanaan para bangsa dapat mencari pengertian, dan bagaimana adat-kebiasaan, cita-rasa kehidupan dan tertib sosial dapat diserasikan dengan tata-susila yang kita terima berkat perwahyuan ilahi. Begitulah akan terbuka jalan menuju penyesuaian lebih mendalam di seluruh lingkup hidup kristiani. Dengan cara bertindak demikian segala kesan sinkretisme (pencampuradukkan) dan partikularisme yang keliru akan dielakkan, hidup kristiani akan makin sesuai dengan watak perangai serta sifat-sifat setiap kebudayaan, dan tradisi-tradisi khusus beserta bakat-bawaan setiap keluarga bangsabangsa, berkat cahaya Injil, akan ditampung dalam kesatuan Katolik. Akhirnya Gereja-Gereja khusus baru, disemarakkan dengan tradisi-tradisi mereka, akan mendapat tempat mereka dalam persekutuan gerejawi, sementara tetap utuhlah tempat utama Takhta Petrus, yang mengetuai segenap paguyuban cinta kasih (AG, 22). Sebagaimana nyata dari kutipan di atas, refleksi teologis membutuhkan data antropologis dan sosiologis setempat. Data itu terutama menyangkut apa makna asli dari manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan yang ingin diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Oleh karena itulah dibutuhkan penelaahan antropologis dan sosiologis setempat, dalam kerjasama khususnya dengan tokoh-tokoh dan para ahli adat setempat. Perlu jelas pula seberapa jauh nilai-nilai asli itu masih menjiwai hidup masyarakat setempat sekarang ini, bagaimana melestarikannya dan membuatnya tetap relevan di tengah arus perubahan dan perkembangan teknologis yang semakin cepat. Dalam refleksi teologis, manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan, khususnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, harus ditafsirkan dalam terang Kitab Suci dan tradisi Gereja. Tahap Transformasi Apabila proses asimilasi itu berjalan baik, maka lama-kelamaan iman Kristiani akan tertanam dan mulai berfungsi normatif dalam memberi orientasi baru pada kebudayaan bersangkutan. Inilah tahap ke-3 dalam proses inkulturasi, tahap transformasi. Pada tahap ini kita akan menemukan terbentuknya sebuah komunitas Kristiani baru; sebuah communio yang memiliki kekhasan dinamis, terus-menerus berkembang, tidak hanya pada bidang pengungkapan eksternal (seperti bentuk-bentuk liturgi dan ibadat), melainkan juga pada bidang refeleksi iman (teologi) serta pada bidang sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas). Ekspresi khas pengalaman Kristiani ini pada gilirannya memperkaya, baik eksistensi budaya yang bersangkutan sendiri, maupun Gereja Katolik semesta.

PENUTUP Sebagian besar yang dikemukakan dalam tulisan ini bukanlah hal baru. Kebanyakan telah diberikan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, termasuk di KOINONIA. Hanya di sini dicoba disajikan secara lebih runtut, langkah demi langkah, dengan harapan lebih mudah diikuti dan dipahami. Perlu disadari bahwa tugas inkulturasi bukanlah pekerjaan yang sederhana dan mudah. Kita dituntut untuk terus-menerus memperdalam dan memperluas pemahaman kita, antara lain dengan banyak membaca. Semoga lewat upaya inkulturasi, Sang Sabda yang telah menjelma lebih 2000 tahun lalu ke dalam budaya Yahudi, semakin berinkarnasi pula ke dalam budaya kita, demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi kebahagiaan manusia (LG, 17; Agustinus, De Civitate Dei, 19,17, PL 41, 646; AG, 9).

Anda mungkin juga menyukai