Anda di halaman 1dari 34

BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

BAB VIII
TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

Umat manusia dalam milenium ketiga, hidup dalam zaman yang mengalami perubahan besar
di segala bidang: “Dewasa ini umat manusia berada dalam periode baru sejarahnya, masa
perubahan-perubahan yang mendalam dan pesat berangsur-angsur meluas ke seluruh dunia.
Perubahan-perubahan itu timbul dari kecerdasan dan usaha kreatif manusia, dan kembali
mempengaruhi manusia sendiri, cara-cara menilai serta keinginan-keinginannya yang bersifat
perorangan maupun kolektif, caranya berpikir dan bertindak terhadap benda-benda maupun
sesama manusia. Demikianlah kita sudah dapat berbicara tentang perombakan sosial dan budaya
yang sesungguhnya, serta berdampak juga atas hidup keagamaan” (GS 4).
Transformasi dan perubahan-perubahan tentu saja memberikan kepada Gereja tantangan-
tantangan baru dan membawa tugas-tugas baru pula. Paling tidak ada dua tantangan utama dan
paling mendesak, yaitu: evangelisasi baru dan inkulturasi Gereja dan Injil.
Evangelisasi baru itu merupakan kebutuhan mendesak yang harus dikerjakan di dalam
bangsa-bangsa dan masyarakatnya, baik yang telah menerima Kabar Injil maupun yang belum
mengenal dan menerimanya. Inkulturasi iman (Gereja dan Injil) merupakan tuntutan mendasar
terutama bagi Gereja-gereja lokal yang baru di tanah-tanah misi. Iman hendaknya diwartakan
dalam humus budaya suatu bangsa sendiri agar mendalam dan mengakar, sehingga menjadi Gereja
lokal yang otentik.

8.1. EVANGELISASI BARU

Selama masa kepausan Yohanes Paulus II, kiranya sejarah perkembangan Gereja dapat
dibedakan dalam dua masa, dan sebagai titik demarkasinya adalah tahun 1989, tahun yang cukup
penting bagi sejarah manusia.
Periode pertama, adalah sebelum tahun 1989, yang memiliki tema dominan kemanusiaan
kristiani; dan kedua adalah periode setelah tahun 1989, yang memiliki tema dominan evangelisasi
baru.
Ada beberapa kecemasan sekaligus kemendesakan pada masa itu menyangkut umat manusia
dan Gereja. Kemendesakan pertama adalah perlindungan terhadap martabat manusia: martabat
manusia, pribadi, nilai, hak-haknya, pendidikannya adalah tema-tema yang terus menerus
direfleksikan dalam sebagian besar Ensiklik Yohanes Paulus II: dari Ensiklik programatis
Redemptor Hominis tentang Penebusan Manusia hingga Mulieris Dignitatem tentang Martabat dan
Panggilan Kaum Wanita (1988).
Kemudian kemendesakan kedua adalah soal tugas Gereja. Pada titik ini Gereja dituntut untuk
kembali kepada tugasnya yang utama: pewartaan Injil, evangelisasi baru. Tema ini hadir atau
diungkapkan dalam banyak diskursus atau ajaran Yohanes Paulus II, terutama dalam beberapa
Ensikliknya yang terakhir: Ensiklik Redemptoris Missio tentang Amanat Misioner Gereja (1990)
dan Ensiklik Centesimus Annus tentang Ajaran Sosial Gereja Masa Kini (1991). Dan atas inisiatif
Paus pada waktu itu, tema di atas juga menjadi tema utama Konferensi para Uskup Amerika Latin:
“Evangelisasi baru, pewartaan kemanusiaan dan budaya kristiani”.
164
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

Hal pertama yang dilakukan menyangkut evangelisasi baru adalah menjernihkan konsep.
Kemudian tugas berikutnya adalah menjabarkan kemendesakannya, tujuan-tujuannya, metode dan
strateginya. Istilah evangelisasi baru memaksudkan “pewartaan Injil yang kedua”, kepada mereka
yang telah mengenal dan menerima Injil tetapi lantas meninggalkannya. Dan kasus ini terjadi
hampir di seluruh belahan dunia dewasa ini.
Pemaknaan yang paling tepat tentang konsep evangelisasi baru adalah seperti yang ditegaskan
dalam Konferensi Umum para Uskup Amerika Latin IV (Santo Domingo, 1992), yang dipilih
sebagai tujuan utama karya Gereja, yaitu menguji kedalaman dan kesungguhan evangelisasi di
dunia selama ini dan menyadari tantangan-tantangan baru yang muncul dalam upaya evangelisasi
di dunia modern dan post-modern.
Tema evangelisasi baru telah digarisbawahi dengan jelas oleh Paus dalam diskursus atau
pidato Konferensi tersebut, yang menyumbangkan suatu orientasi yang pasti atau jelas terhadap
Konferensi itu sendiri, menyatukannya sebagai tujuan teologis dan pastoral yang tepat dalam
melihat “tanda-tanda zaman”.
Dalam Konferensi itu juga dimunculkan beberapa kritik terhadap konsep yang mengaburkan
atau memalsukan konsep evangelisasi baru, sehingga membelokkan sentralitas Kristus dan
pesanNya. Konsep yang mengaburkan evangelisasi baru adalah suatu usaha pewartaan “injil
baru” dengan menghindari atau membuang pesan Injil yang dianggap tidak cocok atau sulit
diterima oleh mentalitas modern atau post-modern. Paus memberi penegasan bahwa evangelisasi
baru tidak bisa hanya melihat isi, melainkan juga sikap atau cara, gaya, model, kesungguhan,
program, metode kerasulan, bahasa, yang harus ada agar “jawaban (Injil) bagi manusia sekarang
ini, mampu atau bisa diterima, meyakinkan, dan mendalam tanpa sama sekali memalsukan atau
memodifikasi isi pesan Injil”. Kecuali hal tersebut di atas, masih menurut Yohanes Paulus II
“evangelisasi baru harus menyumbang suatu jawaban yang integral, siap sedia, dan tanggap,
yang memperteguh atau menguatkan iman orang beriman, dalam kebenaran fundamentalnya,
dalam dimensi individualnya, dalam keluarga dan sosial”.
Akhirnya, para Uskup Amerika Latin, dalam Dokumen Santo Domingo no. 24 menyepakati
suatu definisi evangelisasi baru: “Evangelisasi baru adalah sarana yang kompleks, aksi dan sikap
atau perilaku yang berguna untuk mewartakan Injil dalam dialog aktif dengan modernisme dan
post-modernisme. Tetapi juga upaya untuk menginkulturasi Injil dalam situasi aktual budaya-
budaya sekitar kita”. Isi dari evangelisasi baru tetap sama sepanjang masa, yaitu: “Yesus
Kristus, Injil (Kabar Gembira) Allah Bapa”. Sasaran evangelisasi baru adalah “kelompok,
masyarakat, lingkungan hidup dan kerja, yang bercirikan ilmu pengetahuan dan teknik dan oleh
sarana-sarana komunikasi sosial”.1 Tujuan evangelisasi baru adalah untuk “membentuk
manusia dan komunitas yang matang dan dewasa dalam iman dan memberi jawaban kepada
situasi baru yang sedang kita hidupi, yang diakibatkan oleh perubahan sosial dan budaya
modernisme”. Di antara jalan-jalan mendesak, di samping tugas atau kewajiban personal
(perorangan) dan dengan kesaksian, juga dengan pengkajian ekspresi-ekspresi baru, yang paling
dekat dengan realitas kultural dewasa ini: “perlu mencari ekspresi atau ungkapan baru dalam
berevangelisasi (menginjil) yang sesuai dengan lingkungan atau masyarakat yang dicirikan
kultur urban (perubahan masyarakat desa ke kota) dan menginkulturasi Injil dalam bentuk-bentuk
baru dengan budaya yang dihidupi masyarakat setempat”.

1
Bdk. Tema Hari Komunikasi Sosial sedunia ke-44 (16 Mei 2010): “Imam dan Pelayanan Pastoral di Dunia Digital:
Media Baru demi Pelayanan Sabda”.
165
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

8.1.1. Umat Kristiani dalam Misi

Hal pertama yang harus dilakukan, untuk memberi jalan kepada evangelisasi baru adalah
menyadari bahwa secara tradisional ada beberapa tempat yang telah memiliki dasar kristiani,
praktisnya seluruh Eropa dan Amerika (Latin). Tetapi harus disadari pula bahwa di benua lain,
terutama di Asia maupun di Afrika masih tetap merupakan tanah atau zona misi. Tetapi sekarang
banyak tempat yang disebut Kristen hanya tinggal nama: dalam mayoritas besar penduduknya
iman dalam Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan Penyelamat, dan dalam Gereja sebagai satu-
satunya sarana keselamatan, secara tragis menghilang. Perlahan-lahan tetapi pasti, budaya yang
mendominasi bukanlah budaya Kristen melainkan budaya “kekafiran” atau pagan.
Dari kenyataan ini, Gereja perlu mencari tahu secara serius sebab-sebab mengapa iman akan
Kristus, yang telah berabad-abad mengakar dan meragi di setiap aktivitas pribadi dan sosial
lambat laun memudar. Penyebabnya tentu saja sangat kompleks dan secara substansial erat
berhubungan dengan mentalitas atau paham-paham tertentu, misalnya ateisme, di mana telah
dikatakan secara gamblang oleh Konsili Vatikan II, terutama dalam Konstitusi pastoral Gaudium
et Spes tentang Gereja dalam Dunia Modern (art. 19-20): “Mereka yang dengan sengaja berusaha
menjauhkan Allah dari hatinya serta menghindari soal-soal keagamaan, tidak mengikuti suara
hati nurani, maka bukannya tanpa kesalahan. Akan tetapi kaum beriman sendiri pun sering
memikul tanggung jawab atas kenyataan itu. Sebab ateisme, dipandang secara keseluruhan,
bukanlah sesuatu yang asali, melainkan lebih tepat dikatakan timbul karena pelbagai sebab,
antara lain juga karena reaksi kritis terhadap agama-agama, itu pun diberbagai daerah terutama
terhadap agama kristiani. Oleh karena itu dalam timbulnya ateisme itu umat beriman dapat juga
tidak kecil peran sertanya, yakni sejauh mereka – dengan melalaikan pembinaan iman atau
dengan cara memaparkan ajaran sesat atau juga karena cacat cela mereka dalam kehidupan
keagamaan, moral dan kemasyarakatan – harus dikatakan lebih menyelubungi dari pada
menyingkap wajah Allah yang sejati maupun wajah agama yang sesungguhnya” (GS 19).
Kecuali karena sebab-sebab pendangkalan iman dalam komunitas Kristen tersebut yang sudah
terjadi, maka perlu diperhatikan agar upaya evangelisasi baru melihat kembali mengenai kondisi
spiritual, moral dan kultural, “religiusitas” manusia pada zaman kita dewasa ini. Siapa manusia
itu, yang meskipun dikelilingi oleh aneka bentuk budaya dan sejarah, oleh banyak monumen seni
dan tulisan-tuisan sastra yang membicarakan Kristus dan Injil, tetap tidak memahami lagi makna,
nilai, penting dan kebenarannya? Dapat dikatakan bahwa manusia-manusia ini telah mengalami
de-kristianisasi, tidak mau tahu (acuh tak acuh) dan tidak jarang menjadi seteru pesan Injil. Apa
saja keyakinan dan keraguan mereka, penantian dan frustasi mereka, pengharapan dan kegelisahan
atau kekecewaan mereka yang menjadikan jauh dari Kristus. Para misionaris ad gentes (kepada
para bangsa) sebelum memulai kerja mereka di tanah-tanah misi harus mengerti bahasa, adat
istiadat, kebudayaan, nilai-nilai, harus mengenal budaya dan kepercayaan (religiusitas) masyarakat
yang hendak diinjilinya.

8.1.2. Karakter Manusia Dewasa Ini (Modern dan Post-Modern)

166
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

Kita kiranya dapat menyebut beberapa ciri atau karakter manusia (dan masyarakat) modern
atau post-modern sebagai berikut:

a. Manusia sekular. Dunia sekarang telah diresapi udara sekularisasi: udara yang tidak
mengecualikan siapa saja, yang meracuni kesadaran, dengan tidak hanya menghapus iman
akan Kristus, tetapi juga jejak atau benih-benih Allah: semboyan paham sekularisasi adalah:
menghilangkan segala hipotesis adanya Allah dan seandainya ada Allah tidak akan memberi
sesuatu; ini adalah semboyan yang selalu menginspirasi manusia post-modern. Proses
“sekularisasi ini, yaitu pembuangan setiap motivasi dan finalitas religius dari setiap tindakan
hidup manusia, berlangsung secara cepat”.2
Dalam majalah Teologi, yakni Concilium, yang terbit 1980, ada suatu studi tentang pengaruh
sekularisasi bagi hidup religius di Eropa, terutama di Prancis. Seorang sosiolog Prancis, J.
Audinet menulis demikian:
“Prancis adalah negara di mana agama bukan merupakan kewajiban bagi penduduknya.
Institusi, identitas individu atau tindakan sosial, setiap referensi religius dikecualikan dari
hidup kolektif. Dunia politik, usaha atau pendidikan tertutup dari setiap intervensi religius
(keagamaan). Orang beriman senang dianggap sebagai anggota suatu masyarakat non-
religius (awam). Demikianlah, agama tidak mempunyai tempat dalam setiap keputusan
dan dalam inisiatif kolektif”.3

Setiap agama, termasuk kristianisme telah dipinggirkan oleh societas (masyarakat) dan dari
kebudayaannya dan telah menjadi suatu hal yang melulu privat, personal, urusan masing-
masing pribadi. Kita dapat mendaftar pilar-pilar penting yang mendukung pembentukan
budaya bagi suatu masyarakat, yakni: simbol-simbol, struktur-struktur, adat-istiadat, nilai-
nilai, institusi. Dan lantas kita dapat mengamati nilai-nilai kekristenan apa, yang masih
tinggal dalam pilar-pilar masyarakat sekular seperti yang kita hidupi.

Dalam dimensi simbolis, yaitu bahasa (filsafat, sastra, puisi dll), kristianisme telah hilang.
Bahasa masyarakat kita, baik resmi maupun umum, tidak lagi bahasa kekristenan, yang
mengungkapkan konsep-konsep dan hukum-hukum atau nilai-nilai kekristenan. Terutama
dalam sarana-sarana komunikasi massa, yang mengontrol dimensi simbolis, kehadiran
kekristenan sangat minim. Kristianisme juga lenyap dari institusi-institusi politik, ekonomi,
yuridis dan pendidikan. Dasar perundang-undangan yang mengatur perilaku dan menuntun
kebiasaan-kebiasaan masyarakat sipil tidak lagi mandatum novum Kristus: “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal
budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri”(Mrk 12: 30-31). Sehingga manusia tidak lagi menjaga
perintah dasar dari setiap etika: “Jangan membunuh”. Misalnya, semakin maraknya aborsi,
eutanasia, pembunuhan dll.

Terutama kristianisme telah lenyap dari dimensi axiology, dimensi akan nilai, yang
menunjukkan jiwa dari suatu masyarakat. Nilai-nilai khas kristiani: cinta kasih, kepercayaan,
2
Yohanes Paulus II, “Pidato kepada para Uskup di Emilia Romagna”, dalam Obsservatore Romano, 2 Maret 1991,
hlm. 5.
3
J. Audinet, “Francia: una cultura senza religione”, dalam Concilium 6, 1980, hlm. 76.
167
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

pengharapan, doa, kerendahan hati, pengampunan, penghargaan terhadap martabat pribadi


dan hidup, bukan lagi menjadi sumber inspirasi dan tuntunan manusia post-modern sekarang
ini. Nilai-nilai yang dikejar-kejar dengan berbagai jalan dan sarana oleh masyarakat kita,
sekarang ini adalah kesehatan, kesenangan, uang, kekuasaan, ilmu pengetahuan, efisiensi,
kecantikan, perkembangan dll. Tentu saja itu bukan merupakan nilai-nilai yang buruk dari
dirinya sendiri, dapat juga merupakan nilai-nilai yang baik, tetapi akan menjadi jauh dari nilai
kekristenan dan dengan sendirinya buruk jika diyakini sebagai nilai-nilai yang absolut
(mutlak).

Para Uskup Amerika Latin dalam Dokumen Puebla (1979) mengatakan bahwa penyebab
utama kejahatan yang meracuni masyarakat modern dan post-modern, adalah pemutarbalikan
nilai-nilai, artinya manusia mengganti nilai-nilai spiritual dan moral dengan nilai-nilai
material-duniawi, terutama materialisme, konsumerisme, hedonisme, individualisme,
indiferentisme dan relativisme. “Materialisme individualistis telah menjadi nilai tertinggi
bagi sebagian besar masyarakat sekarang ini, yang mengancam communio dan partisipasi
sehingga menghilangkan solidaritas; dan materialisme kolektivistis yang membawahkan
atau menurunkan persona (pribadi manusia) kepada kekuasan negara. Konsumerisme,
dengan keinginannya untuk selalu memiliki lebih dan lebih lagi, sedang menggerogoti
manusia modern (dan post-modern) sehingga dengan sendirinya menutup nilai-nilai Injili
keugaharian dan kesederhanaan. Hilangnya makna kejujuran publik dan privat, frustrasi dan
hedonisme telah mengakibatkan perilaku-perilaku buruk tertentu, misalnya penyalahgunaan
obat-obat terlarang, korupsi, penyimpangan seksual dll”.4
Ciri atau karakter manusia modern dan post-modern, kurang lebih bersangkut paut secara
langsung dengan sekularisasi.

b. Manusia tanpa prinsip; mempunyai prinsip tetapi tidak jelas. Manusia modern dan post-
modern bukan hanya tidak mengakui prinsip-prinsip agama Kristen, tetapi juga cenderung
menolak setiap prinsip moral keutamaan dan kebenaran. Mereka adalah manusia yang
terjebak dalam agnotisisme, nihilisme, “pemikiran lemah atau dangkal”. Bagi mereka tidak
ada lagi prinsip-prinsip di mana dapat mendasari sebagai suatu pembenaran rasional atau yang
masuk akal. Segala hal yang dapat dibaca adalah opini yang pada akhirnya merupakan opini
massa, dan juga opini kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi. Bercermin dari kenyataan ini
Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan: “Situasi demikian merupakan status tanpa roh
kritis yang mencukupi dan juga tanpa discernment (pembedaan atau pemilahan), dalam suatu
lingkungan hidup yang ditandai apa yang disebut “pemikiran dangkal”, yang menghantar
kepada sikap untuk mereduksi segalanya kepada perbedaan yang sederhana, dan tidak
mampu untuk menilai dan membedakan apa yang benar dan apa yang palsu atau salah.
Keruntuhan yang sama dari ideologi-ideologi dengan sangat mudah membawa, terutama
bagi orang-orang muda, kepada sikap individualisme, menutup diri sendiri, konsumerisme,
ketidakpedulian terhadap hal-hal publik dan perkembangan perjalanan iman yang otentik”.
Manusia modern atau post-modern yang tidak lagi dituntun oleh cahaya iman, dan juga oleh
cahaya akal budi, akan membenarkan: abortus, eutanasia, homoseksualitas, perzinahan,
kebohongan, penipuan, pemerasan, kekerasan, balas dendam dll.
4
Dokumen Puebla, 55-58.
168
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

Paham agnostisisme dan pemikiran dangkal sejak lama telah membawa korban orang-orang
beriman. Hal ini telah diingatkan oleh Paus Paulus VI: “Sekarang ini, - tulis Paulus VI dalam
suatu pidato di depan anggota Komisi Teologi Internasional (1974), - semakin banyak orang
menolak prinsip-prinsip aturan moral objektif. Keadaan demikian datang dari manusia
modern yang selalu mengalami kegelisahan. Mereka tidak tahu lagi mana yang baik dan
mana yang jahat, dan kriteria mana untuk membedakannya; sebagian umat Kristen
mengalami keraguan, telah kehilangan kepercayaan terhadap konsep moral natural, baik
dalam ajaran-ajaran positif Revelasi (Wahyu) maupun Magisterium”.5

c. Manusia yang mementingkan nilai-nilai penunjang dari pada nilai-nilai utama. Manusia
cenderung semakin menjauhkan diri dari Allah. Mereduksi realitas manusiawi sendiri kepada
melulu dimensi somatis (ketubuhan) dengan menerima tesis Nietzsche yang menurutnya
manusia hanya tubuh dan tidak ada lain lagi selain tubuh. Manusia post-modern selalu
melekat dan terjerat kepada harta duniawi dan kepada sesuatu yang dapat membantu untuk
memiliki segala sesuatu. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia post-modern sebagian
besar adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mereka terus percaya teguh kepada hal-hal
penunjang itu, juga ketika hasilnya tidak selalu menguntungkan manusia. Misalnya,
perkembangan teknologi komunikasi dan persenjataan. Manusia cenderung mempercayakan
secara eksklusif kepada hal-hal yang material, “kebudayaan dan ilmu pengetahuan tidak
selalu beriorientasi kepada pencarian kebenaran, tetapi cenderung memberi dasar otonomi,
sampai berpendapat bahwa secara moral itu sah atau baik segala sesuatu yang secara teknik
mungkin: pemikiran terutama tertuju kepada eksperimen embrio manusia dan manipulasi
genetis”.6

d. Manusia yang semakin sadar dan peka akan hak-hak asasi manusia. Meskipun ada
kekeringan atau padang gurun spiritual yang dialami oleh manusia post-modern, kita masih
dapat bertemu dalam jiwa mereka jejak-jejak kristianisme. Antara lain kesadaran atau
sensibilitas akan hak-hak asasi manusia dan solidaritas bagi sesamanya. Kepekaan akan hak-
hak asasi manusia membawa manusia untuk dengan berani ikut terlibat melindungi mereka
yang ditindas. Di antara hak-hak asasi manusia tempat pertama adalah kebebasan dan
otonomi.

Cakrawala solidaritas terus meluas secara positif: manusia post-modern mengerti bahwa
sesama (orang lain) bukan hanya anggota keluarganya, saudara-saudara sedaerah, sebangsa,
satu ras atau suku, melainkan semua keturunan Adam, artinya seluruh penduduk planet
bumi ini tanpa kecuali. Kita dapat melihat, bagaimana sikap solidaritas negara-negara lain,
ketika wilayah atau negara tertentu mengalami bencana alam, gempa bumi, kelaparan,
tekanan politik, penindasan dll. Juga kesadaran akan persoalan ekologi, yang merupakan
ungkapan dalam mencintai alam, dapat diinterpretasikan secara positif sebagai jejak-jejak atau
benih-benih kristianisme, meskipun kadang sikap tersebut dibarengi tujuan atau kepentingan
tertentu, tanpa didasari sama sekali motif religius, kristiani, dan adikodrati. Sensibilitas
5
Bdk. L’Osservatore Romano, 18 Desember 1974, hlm. 2.
6
Yohanes Paulus II, “Pidato kepada para Uskup di Emilia Romagna”, dalam L’Osservatore Romano, 2 Maret 1991,
hlm. 5.
169
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

terhadap nilai-nilai tertentu yang berakar dari kekristenan dan dapat dipandang sebagi suatu
orientasi religius membangun batu loncatan positif bagi karya evangelisasi baru.

8.1.3. Tema-tema dan Bahasa Evangelisasi Baru

Secara substansial, evangelisasi baru tidak berbeda dengan evangelisasi ad gentes (kepada
para bangsa). Seperti diungkapkan dalam Ensiklik Redemptoris Missio tentang Amanat Misioner
Gereja: “Di lain pihak, batas-batas antara reksa pastoral kaum beriman, evangelisasi yang baru
dan kegiatan misioner yang khusus tidak dapat dipisah-pisahkan secara jelas, dan tidak masuk
akallah untuk menciptakan tembok-tembok pemisah di antara mereka ataupun untuk
menempatkan mereka dalam kotak-kotak yang mutlak saling tersekat” (RM 34). Kecuali itu, hal
yang dikatakan oleh Redemptoris Missio berkaitan dengan misi atau perutusan ad gentes (kepada
para bangsa), berlaku juga bagi evangelisasi baru.
Meskipun sama kadar kemendesakannya maupun tujuannya, penerapan evangelisasi baru
tidak bisa sejalan secara penuh dengan apa yang ada dalam misi atau tugas perutusan ad gentes.
Sebenarnya, “situasi-situasi tidaklah sama di mana-mana. Sembari mengakui bahwa pernyataan-
pernyataan tentang tanggung jawab misioner Gereja tidaklah dapat dipercaya, jikalau mereka
tidak didukung oleh suatu komitmen yang serius terhadap evangelisasi baru di negara-negara
secara tradisional Kristen, tampaklah tidak dapat dibenarkan menyamakan situasi dari orang
yang tidak pernah mengenal Yesus Kristus dengan situasi orang yang telah mengenal Dia,
menerima Dia dan yang kemudian menolak Dia, sementara terus tinggal dalam suatau
kebudayaan yang sebagian besarnya telah diresapi oleh asas-asas dan nilai-nilai Injil. Dari sudut
iman, ini adalah dua situasi yang berbeda secara mendasar” (RM 37).
Tujuan dari evangelisasi baru – seperti yang ditegaskan dalam Ensiklik tersebut – bukan
hanya ditemukan dalam “daerah-daerah yang memiliki akar-akar Kristen lama dan kadang-
kadang di Gereja-gereja lebih muda juga, di mana seluruh kelompok yang dibaptis telah
kehilangan makna iman dalam kehidupan, atau bahwa tidak lagi memandang diri mereka sendiri
sebagai anggota Gereja, serta mengarungi suatu kehidupan yang jauh menyimpang dari Kristus
dan InjilNya. Dalam hal ini apa yang diperlukan adalah suatu ‘evangelisasi yang baru’ atau
‘proses penginjilan kembali (re-evangelisasi)’” (RM 33).
Kadar atau tingkat evangelisasi baru identik atau sama dengan misi (tugas perutusan) ad
gentes, yaitu mengikuti Kristus. “Efektivitas hanya dapat ditemukan dalam Kristus, yakni
sebagai batu yang kokoh di mana dibangun atau didirikan hidup dan seluruh masyarakat,
menjadikan kaum beriman supaya tidak takut dari segala bentuk kesulitan dan hambatan. Rumah
itu tidak akan roboh di bawah terpaan hujan, banjir yang menerjang dan angin kencang penuh
ancaman, ketika didirikan di atas batu yang kokoh itu”.7
Tetapi kepada kadar atau tingkat itu (mengikuti Kristus) hanya dapat dicapai setelah
manusia menjalani tahap-tahap penting dan tahap-tahap itu adalah: pembangunan kembali
manusia dan pertobatan.

a. Proto-evangelisasi: pembangunan kembali manusia. Dengan mempelajari kondisi spiritual


manusia dewasa ini (post-modern) tampak bahwa mereka ada dalam situasi kurang memiliki
prinsip atau dasar yang kokoh. Pada akhirnya setelah lama berada dalam proses sekularisasi

7
Yohanes Paulus II, “Pidato kepada para Uskup di Lombardia”, dalam L’Osservatore Romano, 2 Februari 1991.
170
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

manusia tidak hanya “membunuh Allah”, tetapi juga menyebabkan kematian dirinya sendiri:
telah membunuh roh, jiwa dan nilai-nilai absolut. “Dalam dunia modern – tulis Ensiklik
Redemptoris Missio – ada kecenderungan untuk mereduksikan (menyempitkan) manusia
dalam dimensi horisontalnya semata-mata. Tetapi tanpa suatu keterbukaan kepada Yang
Mutlak, apakah jadinya dengan manusia itu? Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan di
dalam sejarah umat manusia, suatu sejarah yang penuh dengan darah yang tertumpah atas
nama ideologi-ideologi atau pun karena rezim-rezim politis yang telah berikhtiar
membangun suatu ‘kemanusiaan yang baru’ tanpa Allah” (RM 8).

Tugas pertama evangelisasi baru adalah membangun kembali manusia, artinya sebelum
mewartakan Kabar Gembira Kristus, perlu memproklamasikan kebenaran penuh manusia.
Perlu kembali kepada manusia, kepada manusia integral; di mana proyek kemanusiaan penuh
yang sudah ada dalam kebijaksanaan purba (Plato, Aristoteles, Plotino) telah dilukiskan
kepada suatu model ilahi. Evangelisasi baru harus merupakan evangelisasi fundamental, yang
artinya tertuju kepada dasar-dasar, akar-akar, pembangunan kembali prinsip-prinsip yang
telah dilemahkan atau diancam oleh agnostisisme, nihilisme dan pemikiran dangkal. Harus
merupakan suatu evangelisasi manusiawi, meliputi manusia dalam seluruh dimensi: fisik,
kultural, spiritual dan religius. Harus merupakan evangelisasi akal budi (rasio) di samping
kesadaran: evangelisasi yang menggarisbawahi hak-hak dan kewajiban akal budi, yaitu
kebenaran. Karena akal budi diberikan kepada manusia untuk menyadari akan kebenaran,
setiap kebenaran, tetapi terutama kebenaran manusia.

Evangelisasi baru itu harus memperjuangkan sungguh-sungguh melawan pelemahan akal


budi. Evangelisasi baru harus membela dengan sungguh-sungguh martabat pribadi manusia,
nilai mutlak dan tidak terbatas, yang selalu meminta perhatian yang besar dan penghormatan
yang pantas. Keberanian dan kekonsistenan Yohanes Paulus II dalam membela hidup dapat
menjadi suatu contoh bentuk proto-evangelisasi: “Sangat mendesak suatu aksi pastoral yang
mencakupi akar-akar paling dalam dari pilihan-pilihan personal dan sosial dan mengantar
kepada pengembalian nilai religius dan sosial akan kehidupan. Di sinilah letak kunci dari
semua: dalam makna dan dalam nilai yang menentukan hidup”.8 Evangelisasi baru harus
menyuarakan dengan lantang “kebenaran proyek atau rencana ilahi akan hidup dan akan
pemeliharaan hidup. Tentang tema ini, sekali lagi Gereja dipanggil untuk menjadi garam
yang memberi rasa dan yang melindungi dari kerusakan. Evangelisasi baru harus
menyampaikan pewartaan kabar baik ini: Allah, Pencipta hidup, mempunyai proyek atau
rencana istimewa demi kebahagiaan dan keabadian bagi setiap orang. Dia hanya meminta
supaya manusia tersangkut akan proyek atau rencana ini, untuk mempercayakan diri kepada
kasihNya, mengarahkan diri kepadaNya, seluruh hidup pribadi dan sosial, dengan menerima
untuk mengenalNya, mencintaiNya dan melayaniNya”.9 Evangelisasi baru harus menekankan
terus menerus mengenai nilai-nilai mendasar (fundamental), yang merupakan nilai-nilai
yang menuntun dan membentuk manusia, nilai yang mempersatukan dan tidak memecahbelah
dan nilai yang langgeng dan tidak sementara. Nilai-nilai itu adalah kebenaran, kehendak baik,
kemurahan hati, kasih, keadilan, perdamaian, solidaritas dll.

8
Ibid.
9
Ibid.
171
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

Bagian dari proto-evangelisasi di atas secara langsung merupakan pembangunan kembali


manusia individu atau menyangkut pribadi manusia. Ada bagian lain yang secara khusus
merujuk beberapa aspek dari kelompok manusia, yaitu societas atau masyarakat. Di sini perlu
disadari fakta bahwa hubungan masyarakat sekarang ini telah berkembang dan meluas
(melewati batas-batas): umat manusia telah menjadi bagaikan satu keluarga. Sekarang ini,
Gereja harus menjadi promotor dan pendukung suatu proyek kultural yang berdimensi global
atau mendunia. Masih menyangkut proto-evangelisasi masyarakat (societas), Gereja harus
menjadi penggerak dan pembela konsep pembangunan yang baru, didasarkan atas kebenaran
dan keadilan sehingga dapat menyumbangkan kebaikan bagi semua anggota masyarakat
secara merata. Ensiklik Redemptoris Missio 59 menegaskan bahwa “melalui pesan Injil,
Gereja memberikan suatu daya kekuatan untuk pembebasan yang mendorong memajukan
pembangunan justru karena dia mengarah menuju pertobatan hati dan pertobatan cara
berpikir, membantu memajukan pengakuan akan martabat setiap orang, mendorong
kesetiakawanan, komitmen dan pelayanan akan sesamanya, dan memberikan tempat kepada
setiap orang dalam rencana Allah, yaitu membangun Kerajaan perdamaian dan keadilan,
yang telah dimulai dalam kehidupan ini. [...]. Pembangunan manusia berasal dari Allah,
berasal dari model Yesus Kristus – Allah dan manusia – dan mesti kembali lagi kepada
Allah” (RM 59). Kemudian Ensiklik juga menambahkan bahwa “sumbangan Gereja dan
evangelisasi kepada pembangunan manusia tidak saja menyangkut perjuangan melawan
kemiskinan material dan keterbelakangan di dunia Selatan belaka, melainkan juga mencakup
dunia Utara, yang cenderung terperangkap ke dalam kemiskinan moral dan kemiskinan
spiritual, yang disebabkan oleh ‘kemajuan yang berlebih-lebihan’. Sebuah jalan pikiran
tertentu, yang tidak dipengaruhi oleh suatu pandangan keagamaan dan yang tersebar luas di
beberapa bagian dari dunia dewasa ini, didasarkan pada gagasan bahwa meningkatnya
kekayaan dan kemajuan ekonomi dan pertumbuhan teknik adalah cukup bagi manusia untuk
dapat berkembang pada tataran manusiawi. Namun suatu pembangunan yang tanpa jiwa
semacam itu tidak dapat memuaskan umat manusia dan suatu kemewahan yang berlebih-
lebihan adalah sama berbahayanya seperti kemiskinan yang berlebih-lebihan” (RM 59).

b. Pertobatan. Sementara kita mengupayakan pembangunan manusia dan masyarakat,


evangelisasi baru memberi jalan pada saat yang sama kepada aksi yang pada akhirnya harus
bermuara dalam pertobatan, yaitu kembalinya manusia kepada Kristus. Pertobatan adalah
karya Allah, seperti diajarkan oleh teologi. Tetapi dalam karya Allah memerlukan Gereja dan
para pembawa pesan Injil (pewarta). Dan karena itu, pertobatan merupakan anugerah, tetapi
sekaligus juga suatu keharusan dan tugas bagi semua.

c. Mengikuti Kristus. Bertobat berarti kembali kepada Kristus. Sebagai tema utama, pusat dan
tujuan dari evangelisasi baru, sama seperti evangelisasi ad gentes (kepada para bangsa), tidak
bisa lain selain Kristus. Sebagaimana dikatakan dalam Ensiklik Redemptoris Missio: “Inti
pokok pewartaan adalah Kristus yang disalibkan, wafat dan bangkit: melalui Dia kita benar-
benar dibebaskan secara penuh dari kejahatan, dosa dan kematian; melalui Dia Allah
memberikan ‘hidup yang baru’ yaitu hidup yang ilahi dan abadi. Inilah ‘Kabar Baik’ yang
mengubah manusia dan sejarahnya dan yang semua orang berhak untuk mendengarkannya”.
172
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

Dan sebelumnya telah dikatakan: “Semua bentuk kegiatan misioner diarahkan kepada
pewartaan ini, yang menyingkapkan dan memberikan jalan masuk ke dalam misteri yang
tersembunyi selama berabad-abad dan diperkenalkan dalam Kristus (bdk. Ef 3: 3-9; Kol 1:
25-29), misteri yang ada di inti terdalam dari tugas perutusan dan hidup Gereja, sebagai
tempat bergantung dan kembalinya semua karya penginjilan” (RM 44).

Bertobat kepada Kristus berarti juga mengakui bahwa Dia adalah satu-satunya Penyelamat,
sumber Kasih, sumber hidup dan kedamaian; berarti juga mengenal bahwa hanya Dia yang
memiliki Sabda kehidupan kekal. Bertobat kepada Yesus Kristus berarti mempercayakan diri
untuk mengikutiNya, dengan perlu selalu menyadari bahwa mengikuti Kristus harus dibayar
“dengan harga mahal” (seperti dikatakan oleh Bonhoffer): adalah suatu keikutsertaan yang
meminta penyangkalan diri dan pengurbanan.

Perhatian kepada evangelisasi baru kepada kebudayaan, terutama kebudayaan yang mulai
mengalami krisis iman Kristen di seluruh belahan bumi, diangkat secara hidup dalam Ensiklik
Centesimus Annus tentang Ajaran Sosial Gereja Masa Kini (1 Mei 1991). Dalam Ensiklik ini
ditegaskan bahwa Gereja memiliki kewajiban untuk menyampaikan ajaran sosialnya benar-
benar atas nama evangelisasi baru terhadap kebudayaan dan masyarakat. “’Evangelisasi
baru’, yang dewasa ini sangat dibutuhkan oleh dunia dan yang seringkali kami tekankan, di
antara unsur-unsurnya yang paling pokok harus mencakup pewartaan ajaran sosial
Gereja”(CA 5).

Tetapi sebenarnya meliputi apa saja evangelisasi kebudayaan itu? Secara substansial meliputi
purifikasi (pembersihan) dan pengangkatan kebudayaan masa kini, misalnya “budaya”
materialistik, hedonistik dan egoistik ke arah nilai-nilai kemanusiaan, individual dan sosial,
seperti yang diwartakan dan dijalankan oleh Yesus Kristus: kebenaran, kemurahan hati,
keutamaan, kasih, keadilan, kemiskinan, penghargaan akan hidup, martabat pribadi manusia,
solidaritas dll. Singkatnya suatu kebudayaan kembali kepada kekristenan di mana manusia
menjadi anak Allah dan dicintai sebagai saudara. “Dalam konteks itu, - tulis Paus Yohanes
Paulus II dalam Ensiklik Centesimus Annus, - perlu diingat pula bahwa evangelisasi
(pewartaan Injil) pun meresap dalam kebudayaan bangsa-bangsa, dengan mendukung
kebudayaan dalam perjalanannya menuju kebenaran dan dalam proses penjernihan dan
pengayaannya. Akan tetapi bila kebudayaan mengungkung diri dan berusaha melestarikan
unsur-unsur yang sudah usang, serta menolak segala pertukaran pandangan dan diskusi
mengenai kebenaran tentang manusia, kebudayaan itu mandul dan mulai merosot” (CA 50).

Hal ini tidak berarti bahwa evangelisasi baru yang dilakukan Gereja mau melenyapkan
kebudayaan lokal, kebudayaan nasional atau benua-benua, yang dilestarikan sebagai warisan
paling luhur dari masyarakat, tetapi justru hendak memasukkan atau meresapi kedalamnya
jiwa kristiani yang selalu merupakan jiwa Katolik, artinya universal: ini adalah tantangan
besar dalam evangelisasi baru di dunia. Evangelisasi baru itu juga hendak membuka lebar-
lebar pintu bagi Kristus dari sisi kebudayaan, suatu kebudayaan baru yang tidak lagi sempit,
melainkan bersifat universal.

173
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

8.2. INKULTURASI GEREJA DAN INJIL

Pada Sidang IV Konferensi para Uskup Amerika Latin di Santo Domingo (Republik
Domenikan, 12-18 Oktober 1992), untuk pertama kali tema inkulturasi diangkat sebagai tema
utama. Dalam sidang itu ditekankan prinsip-prinsip inkulturasi iman Kristen dan sambil
menunjukkan bahwa prinsip-prinsip itu perlu ditampakkan dalam seluruh pengungkapan hidup
umat dan menuntun setiap tindakan Gereja.
Gereja menyadari bahwa sekarang ini di mana-mana memerlukan lebih inkulturasi
kristianisme yang sesuai, supaya benih-benih Injil meresapi sampai ke akar dalam jalinan kultural
suatu bangsa, merasuk dalam jiwanya dan tidak hanya tinggal sebagai fakta personal dan privat.
Umat Allah yang baru, yakni Gereja dengan kehadirannya harus menyuburkan dengan kasih
semua orang disekitarnya, menyebarkan kasih bukan hanya dalam pribadi-pribadi, melainkan juga
dalam seluruh struktur dan institusi masyarakat, dengan demikian akan mentransformasi
(mengubah) struktur dan institusi yang penuh kebencian dan dosa ke dalam struktur dan institusi
kasih dan rahmat.
Inkulturasi itu perlu pertama-tama dalam Gereja-gereja partikular untuk menjadikan benar-
benar “partikular” (khusus, khas, istimewa) lokal: menginkarnasi (mendaging) dalam manusia,
bangsa dan supaya bisa mengatakan kepada setiap orang “aku adalah daging dari dagingmu”.
Inkulturasi itu penting agar tidak hanya individu, tetapi juga seluruh bangsa menjadi bagian
“Tubuh Kristus”.
Tema inkulturasi begitu mendesak, baik dalam bidang historis (sejarah) maupun dalam bidang
teoritis. Dalam bidang historis, karena seluruh sejarah kristianisme selalu bergumul dengan
berbagai kebudayaan, menjadi ragi untuk suatu transformasi dan penciptaan. Dalam bidang
teoritis, karena itu inkulturasi berkaitan dengan kemendesakan inkarnasionistik yang merupakan
inti dari kristianisme; tetapi bagaimanapun juga inkarnasi tetap merupakan misteri yang tidak
mudah dipahami dan dihidupi.
Guna mengetahui apa itu inkulturasi dan apa saja prinsip-prinsip dan norma bagi
aktualisasinya, penting terutama diberi penjelasan sekitar konsep kebudayaan dan inkulturasi. Hal
lain yang perlu kita lihat adalah hubungan antara Injil dan iman dengan Gereja di satu pihak dan
hubungan Injil dan iman dengan kebudayaan di lain pihak. Lantas kita akan melihat dasar-dasar
teologis inkulturasi, prinsip-prinsip dan metodenya.

8.2.1. Sejarah dan Pengertian Inkulturasi

Mengapa inkulturasi Gereja dan Injil diyakini sebagai tantangan besar sekarang ini? Jawaban
atas pertanyaan ini dapat ditelusuri dalam fakta bahwa hanya baru-baru ini, berkat para antropolog
kebudayaan, telah dimengerti pentingnya kebudayaan baik dalam hidup masing-masing pribadi
maupun hidup masyarakat yang lebih luas.
Antropologi kebudayaan itu sendiri merupakan ilmu mutakhir di antara ilmu-ilmu
pengetahuan sosial. Ilmu ini mulai berkembang akhir abad XIX, tetapi kehadirannya telah
membuka jalan baru yang sangat penting bagi studi filosofis akan manusia dan masyarakat, yaitu
kebudayaan itu sendiri. Dalam studi filosofis manusia ditemukan bahwa dimensi kultural bagi
manusia sangat esensial: manusia di samping makhluk hidup, rasional, bebas tetapi juga makhluk
174
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

kultural. Kultur itu membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lain. Sama halnya dengan
masyarakat. Berkat studi para antropolog kultural tampak bahwa yang menjadi karakter khas suatu
masyarakat dan bangsa bukan hanya agama, seni, politik, tetapi secara umum adalah kebudayaan
(kultur), karena kebudayaan itu mencakup seluruh struktur suatu masyarakat dan seluruh hasil
karyanya.
Karena menyadari hal itu, Gereja tidak tinggal diam (acuh tak acuh) dengan persoalan ini:
bahwa kebudayaan itu penting baik bagi pribadi maupun masyarakat. Berikut kita akan melihat
dokumen-dokumen yang menyatakan perkembangan dan perubahan baru kultural Gereja:
- Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja di Dunia
Dewasa Ini: dalam Bab II, (art. 53-62) yang berbicara secara khusus mengenai kebudayaan.
“Termasuk ciri pribadi manusia bahwa ia hanya dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya
yang sejati melalui kebudayaan, yakni dengan memelihara apa yang serba baik dan bernilai
pada kodratnya. Maka di manapun dibicarakan hidup manusia, kodrat dan kebudayaan
berhubungan erat sekali” (GS 53).

- Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi dari Paus Paulus VI, suatu magna charta dari
evangelisasi, yang menyatakan bahwa perutusan atau misi Gereja yang mengevangelisasi
(menginjili) kebudayaan-kebudayaan merupakan tugas esensial atau penting.
“Perlu penginjilan (evangelisasi) – bukan dalam cara dekoratif, seperti lapisan superfisial,
tetapi dalam cara yang hidup, mendalam dan sampai ke akar-akarnya – kebudayaan dan
kebudayaan-kebudayaan manusia, dalam arti yang kaya dan menjangkau luas yang istilah-
istilah ini ada dalam Konstitusi Gaudium et Spes, berangkat selalu dari pribadi (persona)
dan selalu kembali kepada hubungan pribadi-pribadi di antara mereka dan dengan Allah.
Injil dengan demikian merupakan evangelisasi, dan tidak mengidentikkan dengan
kebudayaan tertentu, dan lepas bebas atau tidak bergantung dari seluruh kebudayan-
kebudayaan. Terutama Kerajaan, yang diwartakan Injil, telah dihidupi oleh manusia-
manusia yang secara mendalam berhubungan erat dengan suatu kebudayaan, dan bangunan
Kerajaan tidak bisa tidak dapat dipahami dari unsur-unsur kebudayaan dan dari budaya-
budaya manusiawi. Meskipun lepas bebas berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan, Injil
dan evangelisasi tidak perlu bertentangan dengan mereka, tetapi mampu untuk meresapi
semua, tanpa memperalat satu pun. Kerusakan hubungan antara Injil dan kebudayaan tidak
diragukan merupakan drama zaman kita, juga telah terjadi dengan yang lain. Sehingga perlu
melakukan segala upaya menyangkut evangelisasi budaya, lebih tepatnya kebudayaan-
kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan itu harus diperbaharui melalui perjumpaan dengan
Kabar Gembira. Tetapi perjumpaan ini tidak akan menghasilkan, jika Kabar Gembira tidak
diwartakan” (EN 20).

- Ensiklik Redemptoris Missio, terutama art. 52-54 berbicara secara eksplisit dan panjang lebar
tentang inkulturasi, sebagai moment penting bagi aktivitas misioner: “dan perlunya
keterlibatan seperti itu telah menandai ziarah Gereja sepanjang sejarahnya, tetapi dewasa
ini hal itu menjadi lebih penting (mendesak) lagi”. Inkulturasi didefinisikan sebagai “proses
masuknya Gereja ke dalam kebudayaan para bangsa” (art. 52), “suatu ‘proses yang
mendalam dan menyeluruh’, yang mencakup pesan Kristen dan juga refleksi serta praktek
Gereja” (art. 52). Tetapi juga disadari bahwa inkulturasi itu merupakan “proses yang sulit,
175
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

oleh karena ia harus sama sekali tidak boleh membahayakan kekhususan dan keutuhan iman
Kristen” (art. 52).

Konsekuensi dari inkulturasi itu berlangsung timbal balik: dia membentuk secara
mendalam baik bagi Gereja yang berevangelisasi (menginjil) maupun bagi komunitas
masyarakat yang terevangelisasi (diinjili):
“Melalui inkulturasi, Gereja menjelmakan (mendagingkan) Injil dalam kebudayaan-
kebudayaan yang berbeda-beda dan serentak membawa masuk para bangsa bersama dengan
kebudayaan-kebudayaan mereka ke dalam persekutuan Gereja sendiri. Gereja
menyampaikan nilai-nilainya sendiri kepada mereka; serentak pada saat yang sama Gereja
mengambil unsur-unsur yang baik yang sudah ada dalam kebudayaan-kebudayaan itu serta
memperbaharuinya dari dalam. Melalui inkulturasi, Gereja, pada pihaknya, menjadi suatu
tanda yang dapat lebih dimengerti mengenai siapa Gereja itu, dan merupakan sarana tugas
perutusan yang lebih efektif. Karena kegiatan di dalam Gereja-gereja lokal itulah, maka
Gereja universal sendiri diperkaya dengan bentuk-bentuk ungkapan dan nilai-nilai dalam
berbagai sektor kehidupan Kristen, seperti evangelisasi, peribadatan, teologi dan karya-
karya cinta kasih. Gereja akhirnya dapat mengetahui misteri Kristus dan mengungkapkannya
secara lebih baik, sambil terus didorong untuk melakukan upaya pembaharuan yang
berkelanjutan” (RM 52).

Setelah mendefinisikan natura (kodrat) dan tugas-tugas inkulturasi, Ensiklik menegaskan


beberapa instruksi dan prinsip-prinsip di mana penting untuk meneguhkan dalam praktek
inkulturasi: kepada komunitas gerejawi yang sedang berkembang diingatkan supaya: a)
“secara perlahan-lahan mampu mengungkapkan pengalaman Kristen mereka dalam bentuk-
bentuk dan cara-cara yang orisinal yang sesuai dengan tradisi-tradisi kebudayaan mereka
sendiri, asalkan saja bahwa tradisi-tradisi itu selaras dengan tuntutan-tuntutan objektif dari
iman itu sendiri”; b) “bekerja dalam persekutuan atau hubungan yang erat dengan Gereja-
gereja partikular dari wilayah yang sama dan dengan seluruh Gereja, dengan meyakini
bahwa hanya melalui perhatian kepada Gereja semesta dan sekaligus kepada Gereja
partikular mereka akan mampu menerjemahkan harta karun iman ke dalam berbagai bentuk
ungkapan yang sah” (RM 53).

Upaya inkulturasi tersebut harus dituntun oleh dua prinsip: 1) keselarasan atau kesesuaian
dengan Injil; b) communio (persekutuan) dengan Gereja universal. Dengan memperhatikan
dua prinsip ini akan mampu untuk menghindari kesalahan ganda, yaitu “alienasi
(keterasingan) dari kebudayaan” di satu pihak dan “sikap sangat berlebihan menghargai
atau menilai suatu kebudayaan” di lain pihak (bdk. RM 54).

- Dokumen Konferensi Umum para Uskup Amerika Latin IV di Santo Domingo (1992).
Dokumen tersebut secara aktual merupakan Magisterium gerejawi paling sistematis dan
lengkap menyangkut inkulturasi Gereja dan Injil. Dengan mengkonfrontasikan dengan
kebudayaan dan mempertimbangkan kegiatan Gereja dengan unsur-unsur yang berasal dari
dunia kebudayaan. Kita dapat mengamati dari judul atau tema konferensi: “Evangelisasi

176
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

baru, pewartaan kemanusiaan dan kebudayaan kristiani”. Dan lebih jelas lagi dalam sub
temanya: “Suatu kebudayaan baru bagi evangelisasi baru”.

Dalam pidato penutupan Konferensi tersebut, Yohanes Paulus II menegaskan kembali


pentingnya dan begitu mendesaknya inkulturasi: “Sekarang ini semakin disadari pentingnya
upaya keras dan kepekaan istimewa untuk menginkulturasi (menjelmakan) pesan Yesus, agar
memberi keyakinan bahwa nilai-nilai Kristen kiranya dapat mentransformasi benih-benih
berbagai kebudayaan, dengan menyucikannya, jika hal itu memang perlu, dan meresapinya
dengan kebudayaan kristiani yang dapat memperbaharui, memperluas dan mempersatukan
nilai-nilai historis masa lampau dan masa kini agar mampu menjawabi tantangan dunia ini”.
Bagi Yohanes Paulus II, inkulturasi merupakan “pusat, sarana dan tujuan dari evangelisasi
baru”.

Keinginan para Uskup Amerika Latin tentang inkulturasi adalah untuk memasukkan sebagai
semacam pengakuan iman sendiri yang dapat menjadi prolog (pembukaan) dari seluruh
dokumen. Salah satu bagian dari pengakuan iman yang panjang menyatakan: “Yesus Kristus
masuk ke dalam hati manusia dan mengundang semua kebudayaan untuk membiarkan diri
dituntun oleh RohNya menuju kepenuhan, dengan mengangkat apa yang baik dari
kebudayaan-kebudayaan itu dan membersihkan hal-hal yang ditandai dosa. Setiap
evangelisasi harus merupakan inkulturasi Injil. Dengan begitu setiap kebudayaan dapat
memiliki nilai kristiani, artinya selalu merujuk kepada Kristus dan dinspirasikan oleh Dia
dan oleh pesan-pesanNya. Yesus Kristuslah ukuran setiap kebudayaan dan setiap karya atau
perbuatan manusia. Inkulturasi Injil merupakan perintah mengikuti Yesus dan sangat penting
untuk memulihkan wajah dunia yang kabur (bdk. LG 8)”.

Sebagaimana telah dikatakan bahwa dokumen tersebut menguraikan tema inkulturasi secara
sistematis, dengan menjernihkan terutama pengertian atau konsep dan kemudian
menghubungkannya dengan evangelisasi, sarana dan lingkungan evangelisasi. Inkulturasi
tentu saja mengungkapkan beberapa konsep yang berkaitan dengan kultur atau kebudayaan.
Kebudayaan tersebut harus dipahami dalam seluruh kekayaan makna antropologisnya, sebagai
kediaman, tempat khusus bagi keberadaan manusia, sebagai “ladang untuk mengungkapkan
seluruh hal yang manusiawi dalam hubungan dengan alam dan dimensi sosial masyarakat”.

Dalam Dokumen Santo Domingo juga diberikan dasar teologis inkulturasi, yaitu inkarnasi:
“Ketika Yesus dalam inkarnasi menyatakan dan mengungkapkan diri secara manusiawi,
kecuali dosa, pada saat itulah Sabda Allah masuk dalam kultur atau kebudayaan. Dengan
demikian, Yesus Kristus adalah patokan atau ukuran dari semua yang adalah manusiawi,
juga bagi kebudayaan. Dia berinkarnasi (menjelma menjadi daging) dalam kebudayaan
bangsaNya, membawa ke dalam setiap kebudayaan historis anugerah kesucian dan
kepenuhan. Seluruh nilai dan ungkapan kultural yang dapat diarahkan kepada Kristus
meluhurkan hal yang secara otentik manusiawi” (no. 228).

Inkulturasi adalah moment penting dari evangelisasi: “inkulturasi merupakan pusat, sarana
dan tujuan evangelisasi baru” (no. 230). Inkulturasi itu mencakupi semua dimensi Gereja dan
177
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

semua struktur societas (masyarakat), tetapi terutama bersentuhan dengan nilai-nilai:


“merupakan proses yang mendorong pengenalan kembali nilai-nilai Injili” dari satu pihak
dan “pengenalan kembali nilai-nilai baru yang sesuai dengan pesan Kristus”, di pihak lain.
“Melalui inkulturasi tersebut diharapkan masyarakat menemukan karakter Kristen dari nilai-
nilai tersebut, dan dengan demikian menghargai dan memeliharanya”. Agar evangelisasi itu
efektif, maka perlu berinkulturasi baik dalam cara berada maupun dalam cara hidup
kebudayaan-kebudayaan kita, dengan memperhatikan keunikan atau kekhasan suatu
kebudayaan. Dengan demikian, evangelisasi baru akan terus berjalan dalam garis inkarnasi
Sabda (no. 30).

Dengan memahami evangelisasi dalam kerangka inkulturasi dan juga kerangka pembebasan
seperti yang telah dibahas dalam Konferensi Umum para Uskup Amerika Latin sebelumnya
(Medellin dan Puebla), Konferensi di Santo Domingo menekankan evangelisasi secara lebih
luas dan mendalam. Tentu saja tetap aktual tugas-tugas sebelumnya, yakni pembebasan dan
(option for the poor) pilihan kepada kaum miskin, namun sekarang cakrawala diperluas,
karena lingkungan kebudayaan tentu lebih luas dan kompleks dari pada dunia politik dan
kemiskinan. Kebudayaan itu selalu berkaitan dengan kemanusiaan; dan semua hal yang
merupakan buah dari inisiatif dan karya manusia, baik sebagai individu maupun kelompok
sosial. Kebudayaan itu “universal”, karena alasan itu, maka dapat merupakan tanah atau
lahan subur dan ideal untuk penyebaran benih-benih iman kristiani, yaitu Gereja dan Injil.

Konferensi para Uskup Amerika Latin

1. Konferensi Umum I: di Rio de Janeiro (Brasil), 25 Juli - 4 Agustus 1955. Tema: “Panggilan
dan pengajaran Religius”. Atas kehendak Paus Pius XII dibentuk Konferensi para Uskup
Amerika Latin (CELAM).
2. Konferensi Umum II: di Medellin (Kolombia), 28 Agustus – 6 September 1968. Tema:
“Gereja dalam perubahan aktual Amerika Latin dalam terang Konsili Vatikan II”.
Pembukaannya dihadiri Paus Paulus VI, ketika kunjungan apostolik di Amerika Latin.
3. Konferensi Umum III: di Puebla (Meksiko), 27 Januari – 13 Februari 1979. Tema:
“Evangelisasi kini dan yang akan datang di Amerika Latin”. Dihadiri oleh Paus Yohanes
Paulus II.
4. Konferensi Umum IV: di Santo Domingo (Republik Domenikan), 12 – 28 Oktober 1992.
Tema: “Evangelisasi baru, pewartaan kemanusiaan dan kebudayaan kristiani”. Bertepatan
dengan 500 tahun kehadiran Injil di Amerika Latin.
5. Konferensi Umum V: di Aparecida (Brasil), 13 – 31 Mei 2005. Tema yang diusulkan oleh
Paus Benediktus XVI: “Murid dan misionaris Yesus Kristus agar dalam Dia manusia
memiliki hidup. Akulah jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14: 6)”.

8.2.2. Gereja dan Kebudayaan

178
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

Sebelum kita melihat hubungan antara Gereja dan kebudayaan, akan dipaparkan secara
singkat konsep atau pengertian kebudayaan itu. Menurut definisi klasik, yang diberikan oleh
Edward B. Tylor (antropolog Inggris) dalam karya tulisnya Primitive Culture (1871),
kebudayaan atau peradaban adalah “segala sesuatu dalam keseluruhan yang mencakupi ilmu
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiasat, segala kemampuan dan kebiasaan
yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat”. Definisi ini analog dengan
definisi yang diberikan oleh seorang antropolog Amerika, W. D. Wallis: “kebudayaan berarti
segala sesuatu, institusi-institusi, objek-objek material, reaksi khusus terhadap situasi-situasi
yang memberi karakter suatu bangsa dan membedakan dengan yang lain”.10
Di samping definisi-definisi yang mendeskripsikan kebudayaan sebagai struktur global
masyarakat atau suatu bangsa (konsep antropologis), ada juga beraneka definisi esensial, yang
berkonsentrasi kepada aspek atau elemen fundamental (mendasar) dari kebudayaan. Definisi itu
pada umumnya mengidentifikasikan kebudayaan sebagai ethos suatu bangsa atau pandangan
kosmos (Weltanschauung) dan nilai-nilainya. Di sini dapat diberi contoh, definisi dari Bernard
Lonergan, yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan “makna-makna dan nilai-nilai
bersama yang memperlihatkan suatu gaya hidup tertentu”.11 Juga ada definisi dari Ch. Dawson,
yang mengatakan bahwa “kebudayaan adalah forma atau bentuk masyarakat. Suatu masyarakat
tanpa kebudayaan adalah masyarakat tanpa bentuk, suatu tumpukan atau kumpulan individu-
individu yang tinggal bersama hanya karena kebutuhan sesaat; sementara jika kebudayaan itu
tampak dan kuat, dia secara lengkap akan memberi ciri khas masyarakat tertentu dan mengubah
perbedaan material manusia-manusia yang ada di dalamnya”.12
Definisi esensial dari Dawson akan semakin lengkap dengan memberi sifat “spiritual” kepada
“forma” (bentuk), sehingga “kebudayaan adalah forma (bentuk) spiritual dari masyarakat”. Sifat
spiritual ini sangat penting, untuk membedakan forma atau bentuk dari yang lain. Meskipun semua
hasil karya kultural (kebudayaan) memiliki aspek material, pada kenyataannya mereka berguna
untuk menghubungkan dan menyatukan secara spiritual di antara anggota dalam suatu masyarakat.
Kebudayaan sebenarnya merupakan jalinan interior, batin, spiritual dari suatu masyarakat.
Dari kebudayaan (kultur) kita menuju ke inkulturasi. Jelas bahwa inkulturasi berkaitan erat
dengan konsep kebudayaan secara antropologis. Oleh karena itu, inkulturasi bisa berarti “proses
suatu gerakan pemikiran, sistem filosofis dan religius yang sesuai dengan bermacam-macam
komponen kebudayaan yang meliputi bahasa, adat-istiadat, peraturan, institusi, nilai-nilai dll”.13
Inkulturasi juga berarti masuknya anggota masyarakat atau suatu bangsa ke dalam kebudayaan
dari masyarakat atau bangsa itu.
Selanjutnya kita akan melihat persoalan inkulturasi Gereja dan Injil, dengan memperhatikan
definisi atau pengertian inkulturasi: merasuknya atau meresapnya Gereja dan Injil dalam
kebudayaan, seperti yang ditegaskan oleh Ensiklik Redemptoris Missio: “inkulturasi adalah
proses merasuknya Gereja ke dalam kebudayaan para bangsa” (RM 52). Persoalan inkulturasi
menyangkut kata kunci, yaitu: kehadiran. Kehadiran di dalam Gereja dari dua tingkat kultural
(kebudayaan): tingkat transenden atau ilahi dan tingkat imanen atau insani. Ketika kita berbicara
soal inkulturasi selalu merujuk kepada paradigma inkarnasi. Misteri inkarnasi yang mengatakan
10
W. D. Wallis, Culture and Progress, New York, 1930, hlm. 32.
11
Bdk. B. Lonergan, Il Metodo in teologia, Queriniana, Brescia, 1975, hlm. 21.
12
Ch. Dawson, Religion and Culture, London, 1948, hlm. 48.
13
Bdk. Battista Mondin, “Inculturazione”, dalam Dizionario enciclopedico di filosofia, teologia e morale, Massimo,
Milano, 1989, hlm. 376.
179
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

bahwa dalam Yesus hadir realitas ganda: realitas ilahi (Logos kekal) dan realitas insani (manusia
diangkat dari Sabda yang lahir dari Maria).
Gereja tidak dibangun dari individu tunggal, melainkan oleh communio (persekutuan) pribadi-
pribadi dan berdasarkan ikatan batin dan spiritual atau adikodrati: Yesus Kristus, sebagai Kepala,
Bapa, Roh Kudus dan Rahmat. Namun harus disadari bahwa sebagai kelompok sosial insani-
manusiawi, Gereja juga menerima dari suatu kultur atau kebudayaannya sendiri dan karena itulah
Gereja itu bersifat teandrik. Kultur Gereja itu juga bersifat teandrik: Gereja meliputi tingkat
transenden atau ilahi dan tingkat imanen atau insani.
Dalam pribadi Kristus, kita tahu bahwa unsur ilahi adalah Pribadi kedua dari Tritunggal
Mahakudus, Sabda Allah, Sabda kekal dari Bapa. Karena itu, sebagai umat Allah yang baru,
Gereja sangat penting menerima suatu kulturnya yang istimewa. Di dalam Gereja ada perjumpaan
dalam level kultur bagian ilahi dan bagian insani. Bagi Gereja, sama seperti kelompok sosial
lainnya, kebudayaan membangun jiwa Gereja, jalinan batinnya, forma spiritualnya. Tetapi ada
soal: dimana meletakkan tingkat transenden ilahi dari kultur atau kebudayaan Gereja?
Guna meletakkannya atau memposisikannya perlulah memperhatikan dua hal: pertama, kita
harus melihat di mana tingkat transenden dan ilahi dari kultur atau kebudayaan Israel, umat
terpilih pertama yang menerima secara langsung dari Allah bagian khusus dari kebudayaannya.
Kedua, selanjutnya melihat pembaharuan substansial bahwa Allah sendiri mengangkat kultur atau
kebudayaan dari umat Allah yang baru, Gereja, dengan kedatangan Sang Sabda.
Jika kita kembali kepada pilar-pilar besar dalam kebudayaan, kita menemukan dengan mudah
bahwa dalam kebudayaan (kultur) umat Israel pilar-pilar itu merupakan anugerah dari Allah.
Yahweh yang memberi anugerah kepada Israel nukleus esensial dari pilar simbolis: iman akan
satu Allah; Yahweh yang memberikan anugerah kepada umatNya nukleus fundamental pilar etis:
thora (taurat), hukum; Yahweh yang menyatakan kepada Israel nukleus pertama dari pilar
aksiologis, dengan menunjukkan sebagai nilai utama kesetiaan kepada Allah dan hukum, kasih
kepada sesama, kebenaran, perdamaian, pengharapan, doa dll; dan Yahweh yang memberikan
sendi dari pilar politis: dengan pemberian martabat imamat, nabi dan raja.
Israel meleburkan diri sebagai bangunan besar kultural dengan acuan ilahi dan menyesuaikan
atau menyelaraskan dengan kemampuan, kebiasaan, mentalitas mereka sendiri dan kemudian
berinkarnasi (menjelma) dengan tawaran kultural Allah dalam kebudayaan.
Dengan Gereja, bangunan kultural yang tetap tinggal sama secara fundamental, adalah suatu
bangunan teandrik, yang memiliki tingkat ilahi dan insani. Yang ilahi masih secara sebagian
(parsial) yaitu umat Allah lama; sebagian besar pilar “ilahi” Israel: iman akan Allah, bagian moral
hukum, imamat, kenabian dan rajawi, nilai-nilai kesetiaan, kasih, perdamaian tetap dipelihara juga
oleh umat Allah yang baru. Tetapi unsur-unsur ilahi yang baru diperkaya dalam tingkat transenden
dari kultur Gereja. Kenyataan ini ditegaskan dalam Konstitusi dogmatis Lumen Gentium bahwa:
“Kepala umat mesianik itu Kristus [...]. Kedudukan umat itu ialah martabat dan kebebasan anak-
anak Allah. Roh Kudus diam di hati mereka bagaikan dalam kenisah. Hukumnya perintah baru
untuk mencintai, seperti Kristus sendiri telah mencintai kita (bdk. Yoh 13: 34). Tujuannya
Kerajaan Allah, yang oleh Allah sendiri telah dimulai di dunia, untuk selanjutnya disebarluaskan
hingga pada akhir zaman diselesaikan olehNya juga, bila Kristus, hidup kita, menampakkan diri
(bdk. Kol 3: 4), [...]. Oleh karena itu, umat mesianik meskipun kenyataannya tidak merangkum
semua orang dan tak jarang nampak sebagai kawanan kecil, namun bagi seluruh bangsa manusia
merupakan benih kesatuan, harapan dan keselamatan yang amat kuat. Terbentuk oleh Kristus
180
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

sebagai persekutuan hidup, cinta kasih dan kebenaran, umat itu olehNya diangkat juga menjadi
upaya penebusan bagi semua orang, dan diutus ke seluruh bumi sebagai cahaya dan terang dunia
(bdk. Mat 5: 13-16)” (LG 9).
Katolisitas Gereja secara esensial adalah katolisitas kultural, artinya kesiapsediaannya untuk
“menginkarnasi” diri sendiri dan Injil sehingga bisa diwartakan kepada semua bangsa dalam
beraneka kebudayaan. Sejarah Gereja memperlihatkan secara jelas sikap, pembawaan dan
kesediaan Gereja untuk “melipatgandakan” inkarnasi kultural: “Seraya melaksanakan kegiatan
misioner di antara para bangsa, Gereja berjumpa dengan kebudayaan-kebudayaan yang
berbeda-beda dan terlibat dalam proses inkulturasi. Perlunya keterlibatan seperti itu telah
menandai ziarah Gereja sepanjang sejarahnya, tetapi dewasa ini hal itu menjadi lebih penting
lagi” (RM 52).
Sejarah inkulturasi kristianisme memperlihatkan apa yang dalam pekerjaan tidak mudah ini
harus tetap dilaksanakan terus: tingkat transenden, ilahi dan apa yang dapat harus berbeda-beda:
tingkat imanen atau insani. Dalam inkarnasi menjadikan tingkat transenden tidak mematikan dan
juga tidak menghilangkan tingkat insani, malahan merangkumnya dan mengangkatnya; dan begitu
pula sebaliknya tingkat imanen, insani, tidak mereduksi atau menyempitkan atau memandulkan
tingkat atau dimensi ilahi.
Kristianisme itu akan tetap hidup karena mampu berinkarnasi dalam kebudayaan-kebudayaan;
tetapi ini juga berlaku bagi kebudayaan-kebudayaan: kebudayaan-kebudayaan tersebut hidup jika
mendekatkan diri dan berinkarnasi terhadap kristianisme. Kristianisme tanpa kebudayaan itu
kosong, karena kebudayaan itu bagaikan rahim bagi kristianisme.

8.2.3. Dasar Teologis Inkulturasi

Paradigma inkarnasi, yang hidup terus-menerus digunakan ketika berbicara soal inkulturasi,
memberi pemahaman bahwa dasar utama teologis inkulturasi adalah misteri inkarnasi.
Inkulturasi adalah kebutuhan fundamental dari inkarnasi. Dengan inkarnasi, Putera Allah
mengambil semua hal yang insani bagi diriNya, kecuali dosa, sehingga memasukkan diriNya
dalam kultur bangsa Israel.
Dari inkarnasi Kristus mengalirlah inkarnasi Gereja. Inkarnasi kultural dalam diri Kristus,
akan mengalir menjadi suatu inkarnasi kultural yaitu Gereja, yang tidak lagi dibangun dari satu
anggota, melainkan diperuntukkan untuk merangkul seluruh keluarga manusia dan bangsa. Jadi,
dasar ontologis inkulturasi ditemukan dalam misteri inkarnasi.
Kecuali itu, ada dasar teleologis dan ini diperoleh secara langsung dari misi perutusan Gereja:
misi perutusan Gereja dalam mewartakan Kristus dan menginkorporasikan kepadaNya semua
manusia, semua bangsa. Dan inkorporasi ini tidak menghilangkan dimensi manusiawi mereka,
yang merupakan dimensi kultural atau kebudayaan mereka.
Misi perutusan Gereja adalah pergi ke seluruh dunia dan menjadikan semua bangsa murid
Kristus (bdk. Mat 28: 19). Panggilan universal Gereja ini dapat menjadi suatu realitas dengan
membiarkan setiap kebudayaan untuk menerima Sabda hidup Allah dalam kebebasan. Misi Gereja
adalah untuk menjadi saksi Kristus dan melayani Kerajaan sebagai tanda dan sakramen yang
dikehendaki Allah di dunia. Kesetiaan kepada misi perutusan ini meminta pula suatu kebebasan
Gereja yang menghargai setiap kebudayaan. Karena itu Gereja tidak bisa mengidentifikasi diri
dengan suatu kebudayan secara khusus.
181
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

8.2.4. Pendalaman Konsep Inkulturasi Gereja dan Injil

Inkulturasi sebagai istilah baru, untuk pertama kali dipakai oleh G. L. Barney (1973) dalam
bidang misiologi dengan mengatakan bahwa: “di tanah misi nilai-nilai Injili yang adi budaya
(mengatasi kultur) dan mau diwartakan kepada orang-orang setempat haruslah diinkulturasikan
dalam budaya orang setempat itu sehingga dapat terbentuk satu budaya baru yang bersifat
kristiani”.14 Dan kemudian secara khusus istilah ‘inkulturasi’ ini dipakai dalam bidang
evangelisasi oleh Pedro Arrupe, pemimpin umum Serikat Jesus, dalam Dokumen Kongregasi
Jenderal SJ ke - 32 tahun 1974-1975, yang berjudul “Pesan kepada umat Allah”. Dalam dokumen
tersebut ditegaskan bahwa warta kristiani harus berakar dalam kebudayaan setempat. Inkulturasi
itu terjadi kalau hidup orang beriman digerakkan oleh Roh Kudus untuk menjadi pelayan Injil
dengan mewartakan serta memberi kesaksian bahwa Kristus adalah penyelamat semua orang
bersama kebudayaan mereka. Arrupe memberi definisi bahwa “inkulturasi adalah inkarnasi
hidup dan pesan Kristen dalam area kultural konkret, dengan cara bahwa pengalaman
kekristenan tersebut tidak hanya diungkapkan melalui unsur-unsur kebudayaan tertentu (sehingga
hanya merupakan penyesuaian superfisial), tetapi mentransformasi juga sehingga memberi
inspirasi, dalam norma dan kekuatan yang mempersatukan, mengubah dan menciptakan kembali
kebudayaan tersebut, menjadi “suatu ciptaan baru” yang orisinal”.15
Definisi yang diusulkan Achiel Peelman lebih merupakan suatu sintesis: “inkulturasi Injil
tidak lain merupakan misteri perjumpaan intim Injil dengan bangsa-bangsa dan kelompok
manusia yang menerimanya”.16 Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan dalam Konstitusi
pastoral Gaudium et Spes, bahwa “Gereja di sepanjang zaman dalam pelbagai situasi telah
memanfaatkan sumber-sumber aneka kebudayaan untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan
dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin
menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan
dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka ragam” (GS 58).
Tahun 1979, istilah inkulturasi digunakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran
Apostolik “Catechesi Tradendae” tentang Katekese Masa Kini, dalam konteks katekese
(evangelisasi) dan inkarnasi: “Istilah ‘akkulturasi’ atau ‘inkulturasi’ barangkali suatu
neologisme, tetapi dengan tepat sekali mengungkapkan satu faktor misteri agung inkarnasi” (CT
53). Sebagaimana melalui inkarnasi, Sabda Allah menjadi manusia (menjadi daging), demikian
pula melalui inkulturasi, evangelisasi sebagai bentuk pewartaan Injil, mendapat ungkapan budaya
(kultural). Evangelisasi harus membudaya karena menggunakan metode, sarana dan nilai-nilai dari
adat kebiasaan atau cara hidup setempat untuk menjelaskan, memahami dan menghayati misteri
keselamatan yang dinyatakan dalam Yesus Kristus. Menurut Paus Yohanes Paulus II, dalam
Anjuran Apostoliknya itu, inkulturasi adalah inkarnasi Injil dan pesan-pesannya dalam pelbagai
kebudayaan yang otonom sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam
kehidupan Gereja. Dengan kata lain, inkulturasi dapat didefinisikan sebagai transformasi
mendalam dari nilai-nilai budaya yang otentik yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan
penanaman kristianitas ke dalam aneka kebudayaan manusia yang berbeda-beda. “Katekese,

14
Bdk. Bernardus Boli Ujan, “Inkulturasi Liturgi”, dalam Liturgi, Vol. 19, No. 6, November-Desember 2008, hlm. 4.
15
Surat 14 Mei 1978 kepada anggota Serikat, dalam Ecrits pour évangeliser, DDB, Paris, 1985, hlm. 169-180.
16
Bdk. A. Peelman, L’inculturazione. La Chiesa e le culture, Queriniana, Brescia, 1993, hlm. 6.
182
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

begitu pula pewartaan Injil (evangelisasi) pada umumnya, dipanggil untuk mengantar kekuatan
Injil merasuki inti kebudayaan serta kebudayaan-kebudayaan. Untuk maksud itu katekese akan
mencoba memahami kebudayaan-kebudayaan itu beserta komponen-komponennya yang pokok.
Katekese akan menghormati ungkapan-ungkapannya yang relevan. Katekese akan menghormati
nilai-nilai serta kekayaan khas kebudayaan-kebudayaan. Begitulah katekese akan mampu
menyumbangkan kepada kebudayaan-kebudayaan itu pengertian tentang misteri yang
tersembunyi, serta membantunya memperbuahkan dari tradsi-tradisinya yang hidup ungkapan-
ungkapan asli bagi kehidupan, perayaan dan pemikiran Kristen” (CT 53). Karena itu, ada gerak
ganda dalam inkulturasi: “melalui inkulturasi Gereja membuat Injil dan pesan-pesannya
menjelma dalam aneka kebudayaan, dan sekaligus memasukkan para bangsa, bersama dengan
kebudayaan mereka ke dalam persekutuan Gereja sendiri”.17
Inkulturasi secara esensial merupakan karya linguistik dan menuntut tiga unsur: subjek
(Gereja yang mewartakan Injil), pesan (Injil, Sabda Allah) dan penerima atau pendengar (umat
yang mendengar dan menerima pesan Injil). Struktur inkulturasi adalah komunikasi, sehingga
penting suatu struktur teandris: ada yang berbicara, ada yang mendengar dan ada pesan yang
dibicarakan dan didengar.
Inkulturasi akan terjadi bila Gereja mewartakan Injil dan pesan Injili diterima dan diasimilasi
oleh umat (bukan oleh satu pribadi saja). Gereja misioner pada awalnya memerlukan proses
inkulturasi, karena inkulturasilah yang menyebarkan Injil dan pesan-pesannya.
Struktur fundamental inkulturasi adalah komunikasi linguistik, karena unsur linguistik adalah
unsur primer dari kebudayaan dan juga karena dalam evangelisasi kebudayaan sarana utama
adalah Sabda itu sendiri. Lebih dari itu, karena inkulturasi adalah suatu inkarnasi, maka dalam arti
tertentu, inkulturasi berarti perjumpaan antara kebudayaan transenden (ilahi) dari Gereja dan
kebudayaan insani dari bangsa-bangsa.
Karena itu, inkulturasi berkaitan dengan tiga hal: pertama, inkulturasi adalah suatu proses
yang berlangsung terus menerus dan selalu relevan untuk setiap bangsa atau wilayah di mana iman
kristiani mulai bertumbuh. Kedua, iman kristiani hanya akan ada bila telah memperoleh bentuk
ekspresi kultural (budaya). Ketiga, antara iman kristiani dan kebudayaan harus ada interaksi dan
asimilasi satu sama lain. Jadi, ada hubungan yang kreatif sekaligus dinamis dalam proses
inkulturasi antara iman kristiani (Gereja dan Injil) dan kebudayaan.

8.2.4.1. Inkulturasi dalam Sejarah Keselamatan18

1. Israel umat Perjanjian


Perjanjian Lama merupakan kesaksian tetap pewahyuan Allah yang hidup bagi anggota umat
terpilih. Dalam bentuknya yang tertulis, pewahyuan ini juga memberi jejak dari pengalaman-
pengalaman kultural dan sosial di mana umat dan peradaban berjumpa dalam sejarah. Dalam
Perjanjian Lama, beberapa kebudayaan, menyebar dan ditransformasi, menjadi sarana
bantuan bagi pewahyuan Allah Abraham, yang hidup dalam perjanjian atau persekutuan dan
ditulis dalam Kitab Suci. Ini merupakan persiapan yang unik, dalam tingkat kultural dan
religius, bagi kedatangan Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Baru, Allah Abraham, Ishak dan

17
Bdk. Bernardus Boli Ujan, Op. cit., hlm. 5.
18
Commisione Teologica Internazionale, Documenti 1969-2004: Fede e inculturazione, Edizioni Studio Domenicano,
Bologna, 2006, hlm. 362-369.
183
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

Yakub, lebih kuat dan nyata diwahyukan dan dimanifestasikan dalam kepenuhan Roh,
mengundang seluruh kebudayaan untuk membiarkan diri ditransformasi oleh hidup,
pengajaran, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.

2. Yesus Kristus Tuhan dan Penyelamat Dunia


a. Transendensi Yesus dalam hubungan dengan setiap kebudayaan. Pewartaan Yesus:
dalam diriNya, dalam SabdaNya dan dalam pribadiNya, Allah nyata tergenapi. Yesus adalah
cahaya kekal dan kebijaksanaan sejati bagi semua bangsa dan bagi semua kebudayaan (bdk.
Mat 11: 19; Luk 7: 35). Dia menunjukkan, dalam karyaNya sendiri, bahwa Allah Abraham,
telah dikenal oleh Israel sebagai pencipta dan Tuhan, bersedia untuk merajai seluruh orang
yang percaya kepada Injil, dan dalam Yesus, Allah telah meraja.

b. Kehadiran Kristus dalam kebudayaan dan dalam kebudayaan-kebudayan. Merupakan


peristiwa yang integral dan konkret, inkarnasi Putera Allah merupakan inkarnas kultural:
“Untuk dapat menyajikan kepada semua orang misteri keselamatan serta kehidupan yang
disediakan oleh Allah, Gereja harus memasuki golongan-golongan itu dengan gerak yang
sama seperti Kristus sendiri, ketika Ia dalam penjelmaanNya (inkarnasi) mengikatkan diri
kepada keadaan-keadaan sosial dan budaya tertentu, pada situasi orang-orang yang sehari-
harian dijumpaiNya” (AG 10). Putera Allah telah menghendaki untuk menjadi seorang
Yahudi di Nazareth, wilayah Galilea, dan berbicara dalam bahasa Aram, dibawah tuntunan
orang tua di Israel, yang menemaniNya pergi ke Bait Allah di Yerusalem, di mana Dia
“duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada mereka” (Luk 2: 46).

3. Gereja para Rasul dan Roh Kudus


a. Dari Yerusalem ke seluruh bangsa: inkulturasi iman awali. Pada hari Pentekosta,
turunnya Roh Kudus menyatakan hubungan iman Kristen dan kebudayaan-kebudayaan
sebagai saat kegenapan dan kepenuhan: janji keselamatan, dilaksanakan oleh Kristus yang
bangkit, memenuhi hati orang beriman dengan pencurahan Roh Kudus sendiri. “Perbuatan-
perbuatan besar yang dilakukan Allah” akan dinyatakan kepada seluruh umat manusia, dari
setiap bahasa dan kebudayaan.19 Sementara umat manusia hidup dalam tanda keterpisahan
Babel, karunia Roh Kudus itu nyata sebagai rahmat, yang transenden dan mempersatukan
hati. Communio ilahi (koinonia) menciptakan kembali suatu komunitas di antara manusia,
merasuk tanpa mengacaukan, dalam tanda keterpisahan mereka, yaitu bahasa-bahasa.

b. Tradisi para Rasul: inkulturasi iman dan keselamatan kebudayaan. Kristus yang bangkit,
diteguhkan dalam peristiwa Pentekosta, masuk dalam sejarah manusia: mulai saat itu makna
sejarah dan juga kebudayaan itu ditandai atau “dimeterai” (bdk. Why 5: 1-5) dan Roh Kudus
menyatakan dan mengkomunikasikan dirinya kepada semua orang. Setiap Gereja lokal atau
partikular mempunyai panggilan untuk menjadi, dalam Roh Kudus, sakramen yang
menampakkan Kristus, yang disalibkan, wafat dan bangkit, dalam daging (meraga, menjelma)
dalam suatu kebudayaan partikular:

19
Bdk. Kis 2: 11
184
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

- Kebudayaan Gereja lokal, baik yang muda maupun tua, berpartisipasi kepada dinamisme
kebudayaan-kebudayaan dan kepada kehidupan mereka.
- Kebaharuan kristiani melahirkan dalam Gereja-gereja lokal ekspresi-ekspresi partikular
(khusus) yang dicirikan kebudayaan (forma ajaran, simbol liturgi, kekudusan). Namun
demikian, communio (persekutuan) antara Gereja-gereja meminta terus menerus bahwa
“daging” kultural dari setiap orang tidak membuat selubung atau mengaburkan pengenalan
akan iman apostolik dan kepada solidaritas dalam cinta kasih.
- Setiap Gereja diundang kepada bangsa-bangsa untuk memberi kesaksian akan Tuhan.
Inkulturasi iman adalah salah satu ekspresi dari Tradisi para Rasul.

8.2.4.2. Peristiwa Inkulturasi

Sebagaimana digarisbawahi oleh Ensiklik Redemptoris Missio, inkulturasi merupakan proses


yang panjang dan tidak mudah: “Proses merasuknya Gereja ke dalam kebudayaan para bangsa
adalah suatu proses yang panjang. Proses ini bukan sekedar soal adaptasi luaran semata-mata,
sebab inkulturasi berarti ‘suatu transformasi nilai-nilai kebudayaan otentik secara mendalam
melalu proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam
berbagai kebudayaan umat manusia’. Maka proses ini adalah suatu proses yang mendalam dan
menyeluruh, yang mencakup pesan Kristen dan juga refleksi serta praktek Gereja. Tetapi pada
saat yang sama proses ini merupakan proses yang sulit, oleh karena ia harus sama sekali tidak
boleh membahayakan kekhususan dan keutuhan iman Kristen”. (RM 52).
Juga pertobatan pribadi adalah satu proses yang panjang dan tidak mudah, tetapi kesulitan
akan lebih besar dan memerlukan waktu yang lebih panjang lagi bila tidak hanya soal pertobatan
pribadi melainkan menyangkut transformasi mendalam suatu masyarakat atau bangsa keseluruhan,
di mana guna menerima Injil memerlukan penyesuaian kebudayaan.
Dalam proses inkulturasi dapat dibedakan tiga tahap, baik dari pihak yang diinkulturasi
maupun pihak yang menginkulturasi:
Tiga tahap menyangkut pihak yang diinkulturasi: 1) secara positif: kesediaan atau
kesanggupan untuk menerima dan membuka diri terhadap Gereja dan Injil; 2) secara negatif:
otokritik dan pembersihan bila kebudayaannya sendiri memiliki ketidaksempurnaan dan
penyimpangan; 3) secara sublimatif: pengangkatan kebudayaannya sendiri melalui rahmat dan
penerimaan Roh.
Tiga tahap menyangkut pihak yang menginkulturasi: 1) sikap positif terhadap pihak yang
diinkulturasi dan penghargaan tehadap nilai-nilai positif kebudayaan mereka; 2) mampu menilai
secara kritis dan tepat terhadap keterbatasan, kesalahan atau ketidaksempurnaan yang dimiliki
oleh suatu masyarakat dan kebudayaannya; 3) penyucian atau pembersihan pihak yang
diinkulturasi melalui sakramen-sakramen Kristus dan anugerah Roh Kudus.
Tahap rangkap tiga tersebut dalam Dokumen Santo Domingo dihubungkan dengan tiga
misteri kekristenan terbesar: Misteri Natal, Misteri Paskah dan Misteri Pentekosta: “Sangat
penting menginkulturasi Injil dalam terang tiga misteri agung penyelamatan: Natal, yang
memperlihatkan perjalanan inkarnasi dan membawa Dia yang mewartakan (menginjili) dan
memberikan hidupNya sendiri kepada mereka yang diinjili; Paskah yang membawa, melalui
penderitaan, kepada penyucian para pendosa, agar mereka diampuni; dan Pentekosta yang

185
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

melalui daya Roh Kudus memungkinkan semua orang mampu mengerti dalam bahasa mereka
sendiri keajaiban Allah” (Santo Domingo, no. 230).
Dari pihak Gereja dan tentu pihak pembawa pesan-pesannya, diperlukan sikap cinta kasih,
penghormatan dan perhatian kepada semua orang yang menerima pewartaan Injil, melalui
kebudayaan mereka. Kasih, penghormatan dan perhatian ini didasari akan keyakinan bahwa semua
orang dalam semua bangsa, berkat tindakan Roh Kudus sebenarnya telah memiliki benih-benih
Sabda (logos spermaticos). Karena itu, tugas pertama dan utama pembawa Injil adalah
menghimpun cahaya-cahaya Roh dan benih-benih Sabda Allah tersebut. Tetapi di sini, diperlukan
sikap kritis dan bijaksana guna membedakan benih yang baik dari yang buruk dan membedakan
karya Roh dengan perbuatan si jahat.
Yesus menjadi manusia guna keselamatan semua orang, tetapi pada kenyataannya hanya
diterima atau diikuti oleh sedikit orang. Gereja adalah tubuh Kristus yang melanjutkan karya
Yesus, karena itu, Gereja harus terus bekerja guna mewartakan keselamatan ini bagi sebanyak
mungkin orang.

8.2.4.3. Strategi Inkulturasi

Inkulturasi tidak bisa dicampuradukkan dengan pertobatan. Pertobatan merupakan perubahan


hidup secara radikal: manusia lama ditinggalkan secara total untuk menjadi manusia baru. Kecuali
itu, pertobatan terutama menyangkut pribadi atau individu, di mana secara radikal mengubah
sikapnya dalam hubungan dengan Allah, Yesus Kristus dan Gereja.
Inkulturasi, pertama-tama tidak menyangkut pribadi individu melainkan suatu masyarakat
atau suatu bangsa, dan memiliki tempat di sana di mana beberapa pribadi telah bertobat dan
beriman kepada Yesus Kristus. Terhadap pribadi-pribadi yang telah membentuk suatu Gereja
baru, komunitas baru kristiani tidak bermaksud untuk mempengaruhi kebudayaan di lain
komunitas, atau di lain masyarakat dan bangsa; sebaliknya memperkembangkan dalam konteks
kebudayaan mereka, sambil tetap memelihara apa yang baik, yang merupakan buah dari karya
Roh dan benih-benih Sabda.
Sekularisasi jelas bukan merupakan strategi yang baik bagi inkulturasi. Sekitar tahun 1960 –
an sangat hangat didiskusikan mengenai istilah sekularisasi Injil dan kristianisme. Pada saat itu
dibicarakan mengenai “makna sekular dari Injil” (P. van Buren), kemudian muncul teori
“kristianisme tanpa Allah” (T. Altizer). Pada saat itu, orang begitu yakin bahwa strategi yang baik
untuk pergi berjumpa dengan dunia modern dan kepada manusia modern, manusia dan dunia yang
telah tersekularisasi, adalah dengan cara Gereja dan Injil disekularkan. Jelas bahwa strategi ini
sangat bertolak belakang dengan pesan Injil itu sendiri.
Pembebasan merupakan tema yang dominan pada tahun 1980 – an; tema ini juga masuk
dalam strategi inkulturasi. Bagaimanapun juga pembebasan tidak menyelesaikan semua tugas
inkulturasi, dia hanya mencakup satu fase penting: fase negatif dan kritis, yaitu perjuangan
melawan: “struktur dosa” yang hadir dalam suatu kebudayaan tertentu dan melawan setiap bentuk
penindasan dan pengasingan.
Dengan menyadari perbedaan besar dan perubahan pesat dari kebudayaan-kebudayaan,
inkulturasi terealisasi secara penting dengan suatu aneka strategi yang istimewa. Bukan menjadi
pusat dari Gereja universal, melainkan komunitas lokal yang memiliki tanggung jawab pertama
memasukkan Gereja dan Injil ke dalam lingkungan kultural. Apa yang ditulis Paus Paulus VI
186
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

kepada Kardinal Maurice Roy (Presiden Dewan Kaum Awam dan Komisi Kepausan untuk
Keadilan dan Perdamaian) mengenai Ajaran Sosial Gereja kiranya berlaku juga bagi inkulturasi
dalam pengertian yang kompleks: “Berhadapan dengan situasi-situasi yang begitu beragam,
tidaklah mudah mengeluarkan suatu pesan yang sama dan seragam serta mengajukan suatu
pemecahan yang bisa berlaku secara universal. Menjadi tugas komunitas-komunitas kristiani
untuk menganalisa secara objektif situasi yang cocok dengan negaranya sendiri, menyinarinya
dengan terang kata-kata Injil yang tidak pernah berubah dan menyusun prinsip-prinsip renungan,
norma-norma pertimbangan serta pedoman-pedoman bertindak...”(OA 4).20
Secara singkat dapat dikatakan bahwa strategi fundamental inkulturasi adalah mendengar
dengan penuh perhatian dan kesabaran, dialog terbuka, tulus dan penuh kepercayaan,
pengosongan diri (kenosis) yang bijaksana dan cerdik, anugerah rahmat, penerimaan sukarela dan
asimilasi yang mendalam.
Setiap Gereja partikular diundang untuk mengenal dan membaca tanda-tanda zaman
partikular dalam lingkungannya, sambil mendengar penuh perhatian nilai-nilai kebudayaannya.
Inkulturasi Gereja dan Injil “terealisasi melalui kesaksian personal dan kehadiran aktif orang-
orang Kristen dalam lingkungan mereka. Komunitas kristiani sebagai tubuh sosial harus memberi
pandangan atau visi yang jelas tentang tempat dan tindakannya sendiri dalam dunia yang
pluralistik ini”.21

8.2.4.4. Inkulturasi sebagai Karya Agape (Kasih)

Gereja merupakan pancaran cinta kasih Allah di antara manusia. InjilNya adalah Injil cinta
kasih. Membawa Injil artinya membawa Kristus sendiri: yang adalah Kasih Allah, yang menjadi
daging, artinya menjadi manusia seperti kita. Allah yang adalah kasih (Deus caritas est) telah
mengasihi manusia sampai mengutus PuteraNya yang tunggal dan mengurbankan hidupNya bagi
kita.
Komunitas agape (cinta kasih), yaitu Gereja lahir dari kasih dan terinkorporasi secara tidak
terpisahkan dalam kasih ilahi di bumi. Aksi penginjilan Gereja bukan merupakan karya
penaklukan atau perebutan, melainkan suatu gerak kasih. Evangelisasi merupakan anugerah
Kristus, anugerah Roh Kudus, sehingga juga merupakan anugerah Bapa. Gereja itu “turun” dari
misteri triniter, yang secara esensial merupakan misteri cinta kasih. Manusia baru yang tampil
secara definitif dalam diri Yesus membawa tanda nyata dari Allah triniter ini. Manusia baru ini
mempersembahkan kepada kita suatu model eksistensi unik: dalam realisasi eksistensi kita,
melalui eksistensi kita dengan dan bagi yang lain. Seperti di dalam Allah: Bapa tidak ada jika
tidak untuk Putera dan Putera tidak ada jika tidak untuk Bapa, dari cinta kasih universalitas total
ini membangun realitas ketiga yaitu Roh – Roh Bapa dan Putera – yang juga merupakan anugerah
yang diberikan kepada Gereja dan disebarkan kepada semua orang.
Dengan inkulturasi Injil, Gereja mencari untuk menanamkan cinta kasih dalam seluruh
struktur societas (masyarakat) dan dalam seluruh ekspresi kebudayaan: mengusahakan peresapan
cinta kasih ke dalam hukum-hukum, institusi-institusi dan nilai-nilai; memberi makna “ilahi” atau
religius dalam seni, sastra, ilmu pengetahuan dan tentu agama itu sendiri. Dalam karya ini

20
Paulus VI, Octogesima Adveniens (Surat Apostolik kepada Kardinal Maurice Roy dalam kesempatan ulang tahun ke
- 80 Rerum Novarum), art. 4.
21
Bdk. A. Peelman, Op. cit., hlm. 89.
187
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

sungguh diperlukan kesabaran yang tabah dan cinta kasih yang tulus, kalau benih-benih Sabda
Injil dalam kebudayaan-kebudayaan yang lain mau dikenali dengan sungguh-sungguh dan kalau
diinginkan agar karya evangelisasi sungguh berhasil. Oleh karena itu, keberanian kenabian dan
semangat merasul harus diiringi dengan kebijaksanaan dalam Roh Kudus.22

8.2.5. Gereja di Asia menurut “Ecclesia in Asia”

Anjuran Apostolik Pasca Sinode “Ecclesia in Asia” (New Delhi, 6 November 1999), sarat
dengan tema-tema misiologis dan pastoral, tanpa melemahkan tema-tema dogmatik dan
teologisnya. Misalnya, tema-tema: pewartaan, evangelisasi, misi, communio, sharing, dialog,
inkulturasi, kesaksian, pertobatan dan penanaman Gereja (EA 23).
Anjuran ini membahas 7 tema pokok: 1) Konteks real Asia; 2) Yesus Kristus Juru Selamat; 3)
Roh Kudus, Tuhan dan Pemberi Hidup; 4) Pewartaan mengenai Yesus di Asia dengan fokus pada
inkulturasi; 5) Komunio dan dialog dengan fokus pada dialog ekumenis dan dialog antar agama;
6) Pelayanan kemanusiaan; 7) Orang-orang Kristen menjadi saksi-saksi Injil.
Paus Yohanes Paulus II bersama para Bapa Sinode, mengundang semua orang Kristen di
benua ini untuk membangun suatu “komitmen baru” bagi misi Gereja dalam milenium ketiga ini
(EA 4). Tema tersebut tetap sejalan dengan Surat Apostolik Tertio Millennio Adveniente (1994)
yang antara lain mencanangkan program menyambut milenum ketiga dengan tantangan-tantangan
bagi evangelisasi baru (EA 2). Kata kunci dalam seluruh Anjuran Apostolik ini adalah pewartaan
Yesus Kristus di Asia (bdk. EN 27; RM 44) – kristosentris.

8.2.5.1. Ikhtisar isi “Ecclesia in Asia”

Pengantar
01. Keajaiban karya Allah di Asia
02. Latarbelakang sidang istimewa
03. Perayaan sidang istimewa
04. Sharing buah-buah dari sidang istimewa

Bab I: Konteks Asia


05. Asia, tempat kelahiran Yesus dan Gereja
06. Kenyataan-kenyataan religius dan kultural
07. Kenyataan-kenyataan ekonomi dan sosial
08. Kenyataan-kenyataan politis
09. Gereja di Asia: masa lampau dan sekarang

Bab II: Yesus Penyelamat, hadiah untuk Asia


10. Hadiah iman
11. Yesus Kristus, Manusia Allah yang menyelamatkan
12. Pribadi dan misi Anak Allah
13. Yesus Kristus, kebenaran kemanusiaan

22
Bdk. Dokpen KWI, Dokumen Sidang Federasi para Uskup Asia (FABC), Gereja-gereja setempat di Asia dan
tugas-tugas misi: inkulturasi, Mardi Yuwana, Bogor, 1995, hlm. 230.
188
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

14. keunikan dan universalitas keselamatan dalam Yesus

Bab III: Roh Kudus, Tuhan dan pemberi hidup


15. Roh Allah dalam ciptaan dan sejarah
16. Roh Kudus dan inkarnasi Sang Sabda
17. Roh Kudus dan Tubuh Kristus
18. Roh Kudus dan misi Gereja di Asia

Bab IV: Yesus Juru Selamat, mewartakan anugerah


19. Prioritas pewartaan
20. Mewartakan Yesus Kristus di Asia
21. Tantangan inkulturasi
22. Wilayah-wilayah kunci inkulturasi
23. Kehidupan kristiani sebagai pewartaan Injil

Bab V: Komunio dan dialog untuk misi


24. Komunio dan misi (perutusan) berjalan bersama
25. Komunio di dalam Gereja
26. Solidaritas antar Gereja
27. Gereja-gereja Katolik Timur
28. Sharing pengharapan dan penderitaan
29. Misi dialog
30. Dialog ekumenis
31. Dialog antar agama

Bab VI: Pelayanan kemanusiaan


32. Ajaran Sosial Gereja
33. Martabat pribadi manusia
34. Mendahulukan kasih orang miskin
35. Injil kehidupan
36. Perawatan/Reksa kesehatan
37. Pendidikan
38. Menciptakan perdamaian
39. Globalisasi
40. Utang luar negeri
41. Lingkungan hidup

Bab VII: Kesaksian-kesaksian Injil


42. Gereja yang bersaksi
43. Para Gembala
44. Hidup bakti dan tarekat-tarekat misioner
45. Kaum Awam
46. Keluarga
47. Kaum muda
189
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

48. Komunikasi sosial


49. Para martir

Kesimpulan
51. Ucapan terima kasih dan dorongan untuk maju
51. Doa kepada Bunda Kristus

8.2.5.2. Beberapa Penekanan

1. Konteks Asia
Gereja Asia diajak untuk mencari kembali jati dirinya. Untuk maksud itu, dokumen ini pertama-
tama bertolak dari konteks konkret Asia (berteologi ‘dari bawah’). Dua hal pokok yang
dibicarakan atau didialogkan: 1) identitas Gereja; dan 2) konteks Asia. Identitas Gereja berarti
‘cara baru’ Gereja memahami dirinya dan melaksanakan misinya, yakni menggereja dan
memasyarakat dalam milenium ketiga ini. Cara baru ini ditentukan bukan hanya oleh doktrin-
doktrin tradisional melainkan pertama-tama oleh ‘konteks Asia’ sendiri yang pada kenyataannya
merupakan suatu realitas yang kompleks menyangkut pluralitas dan diversitasnya (bdk. EA 6-9).
Paus Yohanes Paulus II mengapresiasi banyak nilai positif dalam kebudayaan-kebudayaan Asia,
di samping menunjukkan kenyataan yang sebaliknya (kemiskinan, kekerasan, marginalisasi
kelompok-kelompok tertentu dll.). Dalam kondisi seperti itu, pertanyaan mendasar adalah
bagaimana membangun Gereja yang kontekstual, Gereja yang berwajah Asia?

EA memberikan pengakuan publik akan perlunya dan keabsahan ‘ke-asia-an Gereja-gereja Asia’
(the asianness of the churches of Asia). Artinya, nilai-nilai kultural dan religius Asia yang menjadi
ciri ‘jiwa Asia’ atau being Asian diakui sebagai absah dan perlu menjadi bagian integral dari
Gereja. Lebih tegasnya, adalah kewajiban bagi ‘Gereja di Asia’ untuk menjadi ‘Gereja Asia’.
Anjuran Apostolik EA mencatat nilai-nilai positif Asia yang dimaksudkan itu, seperti “cinta
keheningan dan kontemplasi, kesederhanaan, keselarasan, sikap ikhlas-rela, tanpa kekerasan,
semangat bekerja keras, tata-tertib, hidup yang subur, kehausan akan belajar dan penelitian
falsafi” (EA 6).

Akan tetapi, di banyak tempat di Asia, meskipun tidak di semua tempat, Gereja tetap saja
dianggap asing (EA 21) dan dalam pikiran orang-orang Asia, Gereja diasosiasikan dengan
kekuasaan-kekuasaan kolonial (EA 9). Secara historis, Gereja mempunyai sejarah yang panjang –
Gereja di Asia Barat dan Selatan misalnya, bisa ditelusuri sampai pada zaman para Rasul. Inilah
paradoks Gereja (di) Asia, juga paradoks sejarah: Yesus sebagai orang Asia (EA 1) namun tetap
kurang dikenal oleh orang-orang dari benua ini (EAA 2), bahkan dianggap asing untuk Asia (EA
20).

2. Yesus Kristus, Juru Selamat


Dokumen menggarisbawahi pentingnya tugas pewartaan. Isi pewartaan itu sendiri adalah
mengenai Yesus Kristus, Juru Selamat. Dengan kata lain, Anjuran ini pada dasarnya berpusat
pada “pewartaan mengenai Yesus Kristus di Asia dalam milenium ketiga”. Secara historis, Yesus
adalah orang Asia, namun Ia “sering dianggap seolah-olah asing bagi Asia. Nampak paradoks,
190
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

bahwa kebanyakan orang Asia cenderung menganggap Yesus – padahal lahir di daerah Asia –
seorang Barat lebih dari pada seorang tokoh Asia” (EA 20). Mengapa? Yohanes Paulus II
menegaskan: karena Yesus memang tidak pernah diwartakan secara tepat.

Cara dan metode bagaimanakah yang tepat? Dalam EA 4, Bapa Suci Yohanes Paulus II
memberikan apresiasi yang tinggi terhadap tradisi-tradisi religius dan peradaban kuno, filsafat-
filsafat dan kebijaksanaan Asia yang telah membentuk Asia seperti dewasa ini dan dalam tradisi
besar inilah Gereja harus mewartakan Yesus secara baru dan benar. Dengan kata lain, inilah
persoalan inkulturasi, artinya “menggunakan gambaran-gambaran tentang Yesus, yang kiranya
dapat dimengerti bagi cita rasa dan kebudayaan-kebudayaan Asia, sekaligus juga tetap setia
terhadap Kitab Suci dan Tradisi” (EA 20)

3. Kehadiran dan Karya Roh Kudus


Paus menggarisbawahi juga kehadiran dan karya Roh Kudus di luar batas-batas Gereja yang
kelihatan. Tema ini sejalan dengan Konsili Vatikan II yang menyatakan bahwa Gereja
menghormati nilai-nilai baik, suci dan luhur dalam kebudayaan dan agama-agama lain yang pasti
menunjuk kepada kebenaran yang sejati itu (bdk. NA 2). Seluruh bab III dari Anjuran Apostolik
ini dipersembahkan untuk membahas peran Roh Kudus dalam penciptaan, penebusan dunia dan
misi Gereja (bdk. RM bab III). Roh Kuduslah pelaku utama dialog antara Gereja dengan orang-
orang, kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama Asia (EA 15), Dia pelaku utama inkulturasi
(EA 17, 20) dan Dia pulalah pelaku tugas pewartaan yang diemban oleh Gereja (EA 17, 43).

4. Tema Kerajaan Allah


Titik pusat kehidupan kristiani bukanlah Gereja (eklesiosentris), melainkan Kerajaan Allah
(regnosentris). Misi Gereja bukanlah plantatio ecclesiae, melainkan menjadikan dirinya sebagai
tanda dan sarana yang efektif untuk menegakkan Kerajaan Allah – Kerajaan keadilan,
perdamaian dan kasih – di tengah struktur masyarakat yang dirasuki oleh dosa – mentalitas
materialistis, konsumeristis, hedonistis, persaingan yang keras, keserakahan dan cinta diri dalam
banyak bidang sebagai dampak negatif era globalisasi ini. Sebagai benih Kerajaan, Gereja
sendiri mendapat tugas untuk menjadi saksi Injil yang mengabdi kepada Kristus dan
memperjuangkan keselamatan dunia (EA 17).

8.2.5.3. Cara Baru Menggereja – Memasyarakat di Asia

Ditinjau dari perspektif eklesiologis misioner ada beberapa pokok pikiran mendasar dari
Anjuran Apostolik ini tentang cara baru “menggereja dan memasyarakat” di Asia.

1. Sumber dan Tujuan Misi Gereja


Sumber dan tujuan misi Gereja adalah Allah Tritunggal (EA 12; bdk. AG 2-4). Misi Yesus Kristus
adalah mengungkapkan dan memenuhi rencana Bapa untuk menyelamatkan dunia dan seluruh
umat manusia. Dalam pembicaraan tentang Trinitas, Paus Yohanes Paulus II mengutip atau
menunjuk kepada ketiga Ensikliknya terdahulu: Redemptor Hominis (1979), Dives in
Misericordia (1980) dan Dominum et Vivificantem (1986).

191
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

“Itu semua menunjukkan bagaimana misi Yesus untuk menyelamatkan umat manusia membawa
meterai yang sungguh jelas, menunjukkan kehadiran Roh: hidup, hidup yang baru. Di antara
perutusan Putera dari Bapa dan perutusan Roh dari Bapa beserta Putera, ada kaitan yang dekat
dan vital. Tindakan Roh dalam penciptaan dan sejarah manusiawi beroleh makna yang sama
sekali baru dalam tindakanNya pada hidup dan misi Yesus. ‘Benih-benih Sabda’, yang ditaburkan
oleh Roh menyiapkan seluruh alam tercipta, sejarah dan manusia bagi kematangan yang
sepenuhnya dalam Kristus” (EA 16).

Dengan kata lain, sumber misi Gereja adalah ‘dari atas’ dan bukan ‘dari bawah’, sebab Gereja
sendiri adalah umat Allah yang dikumpulkan dalam satu kesatuan oleh Bapa lewat perutusan
Putera dan Roh Kudus (EA 24; bdk. LG 9). Gereja berakar pada pengalaman akan Allah (EA 23).
Misi Gereja memancar dari sumber Trinitaris ini dan terarah kembali ke communio intim dan di
dalam Trinitas (EA 12). Selanjutnya, sumber misi ini mengandung arah yang jelas. Arah dan
tujuan misi Gereja – sebagaimana juga misi Yesus Kristus – adalah untuk membaharui
persekutuan (restoration of communion) itu sendiri, baik persekutuan vertikal (dengan Allah)
maupun persekutuan horisontal (dengan sesama).23

2. Communio (misi baru ad intra)


a. Gereja adalah suatu persekutuan/paguyuban (communio). Gereja, baik dalam tingkat
lokal maupun dalam universal adalah pertama-tama ‘a communion of communities’ (EA 25)
di mana kaum awam, biarawan-biarawati dan klerus saling mengakui dan menerima sebagai
saudara-saudari satu sama lain dengan cita rasa persekutuan sejati. Nilai-niai yang penting
dalam paguyuban (koinonia) ini adalah:
- pengalaman communio dengan Allah dan dengan umat manusia (EA 24); cita rasa ini
terutama nyata dalam Ekaristi;
- pengakuan kesamaan fundamental semua anggota Gereja sebagai murid-murid Yesus, baik
dalam tingkat Gereja lokal maupun Gereja universal (EA 25);
- solidaritas antar Gereja (EA 26).

b. Semua pelayanan dalam Gereja pada hakekatnya merupakan partisipasi dan kolaborasi.
Ketiga pelayanan dalam Gereja – mengajar, menguduskan dan melayani – bersifat partisipatif
dan kolaboratif (EA 25). Pemahaman ini membawa suatu konsekuensi yang besar, yakni
suatu pembaharuan dalam struktur dan disiplin Gereja:
- Takhta Petrus memiliki keunikan pelayanan, yakni menjamin dan memajukan persatuan
Gereja (bdk. LG 22);
- Pendekatan ‘satu arah’ dari Roma ke Gereja-gereja partikular diganti dengan ‘saling
belajar dan mengajar, saling meneguhkan dan mengoreksi antara Gereja Roma dan Gereja-
gereja lain, termasuk di antara Gereja-gereja lokal’;
- Untuk memajukan communio dan participatio dalam Gereja, EA menggarisbawahi
pentingnya nilai basic ecclesial communities (Komunitas Basis Gerejani) di mana
‘kebudayaan cinta kasih’ dapat terwujud.

23
Bdk. Realitas konflik Asia; EA 24.
192
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

c. Gereja Asia adalah Gereja inkulturatif. Isu inkulturasi berhubungan erat dengan identitas
Gereja sebagai ‘Gereja Asia’ atau ‘orang-orang Kristen Asia’ (EA 5) – ‘kekristenan’ dan ‘ke-
asia-an’, umat beriman kristiani yang menghidupi imannya dalam masyarakat dan budaya
Asia (EA 21). Dokumen ini juga menyebutkan ranah-ranah kunci inkulturasi seperti teologi,
liturgi, formatio klerus dan biarawan-biarawati, katekese dan spiritualitas (EA 22). Inkulturasi
adalah bagian inti dari hidup dan peziarahan Gereja dalam sejarah, karena iman kristiani tidak
dapat dibatasi dalam batas-batas pengertian dan ungkapan satu kebudayaan saja (EA 20).
- dalam inkulturasi teologi secara khusus disebut bidang kristologi;
- dalam liturgi: mempertahankan nilai-nilai budaya, simbol-simbol dan ritual tradisional;
- dalam formatio para misionaris, perlu penyesuaian dengan konteks kebudayaan Asia.
Dalam hal ini peran awam dipandang sangat penting (EA 22), tanpa mengecualikan peran
klerus dan para ahli dalam disiplin ilmu-ilmu profan dan teologi. Pelaku utama inkulturasi
adalah Roh Kudus (EA 21) bersama Gereja lokal.

3. Missio (misi baru ad extra)


a. Misi pewartaan. Isi pewartaan adalah Yesus Kristus. EA menegaskan bahwa tidak mungkin
ada evangelisasi yang benar bila tidak ada pewartaan eksplisit tentang Yesus sebagai Tuhan
(EA 19), satu-satunya Juru Selamat (EA 10, 16), Kabar Gembira (EA 14, 19). Lantas,
mengapa pewartaan ditekankan? Paus Yohanes Paulus II memberi alasan: karena setiap orang
berhak untuk mendengarkan Kabar Gembira Allah yang mewahyukan dan memberikan
diriNya dalam Kristus (EA 10, 20).

b. Metode pewartaan. Untuk konteks Asia, hal yang dianggap penting adalah cara pewartaan
itu sendiri. Perlu dicari dan didapatkan cara yang menjawab “sensibilitas orang Asia” (EA
20). EA menggarisbawahi cara yang cocok untuk Asia adalah sikap hormat, kesaksian hidup
(EA 42) dan kontak personal (EA 20, 23, 42). Mengenai sikap hormat, yang dimaksudkan
adalah hormat kepada para pendengar. Pertama, dengan menghargai hak dan kebebasan hati
nurani mereka yang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai
hidupnya, dan kedua, hormat kepada karya Roh yang berada dan berkarya dalam diri manusia
(EA 20). Erat dengan metode ini, gambaran-gambaran Yesus Kristus sebagai “Guru
Kebijaksanaan, Sang Penyembuh dan Pembebas, Penuntun Rohani, Dia yang Diterangi,
Sahabat yang berbelarasa bagi rakyat miskin, Orang Samaria yang baik hati, Gembala yang
baik, Dia yang taat” (EA 20) menjadi sangat penting.

c. Misi dengan semangat dialogal. Cara baru menggereja dalam konteks Asia adalah hidup
misioner dengan semangat dialogal dan logika inkarnasi. Tugas utama Gereja Asia – seperti
juga ditegaskan oleh FABC sejak 1974 – adalah tetap pewartaan (kerygma). Cara atau
bagaimana pewartaan itu dijalankan, adalah dengan jalan dialog (EA 29). Ada dialog
rangkap tiga:
- dialog dengan kebudayaan-kebudayaan Asia (misalnya, dengan meneladan Rasul Paulus
(EA 20): inkulturasi;
- dialog dengan agama-agama (di) Asia, yaitu ekumene dan dialog antar umat beragama (EA
30-31): ekumene;

193
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

- dialog dengan orang-orang Asia sendiri, khususnya solidaritas dengan kaum miskin, kaum
migran, penduduk asli, kaum perempuan dan anak-anak; pendek kata dengan kelompok-
kelompok marginal (EA 32-34).
Sejalan dengan dialog terakhir ini dan dengan logika inkarnasi (solidaritas dan pelayanan),
Gereja melibatkan diri dalam perjuangan untuk mempertahankan kehidupan manusia,
pelayanan kesehatan, pendidikan, keadilan, penghapusan hutang luar negeri dan perlindungan
lingkungan hidup (EA 35-41).

d. Gereja yang profetis. Cara baru “menggereja-memasyarakat” di Asia adalah cara kenabian,
sejalan dengan tema Injil “menjadi ragi transformasi dunia” dan “menjadi tanda yang
menunjuk kepada Kerajaan yang akan datang”. Mengingat Gereja tetap (dan barangkali
memang akan terus) sebagai kawanan kecil, tugas utama Gereja Asia tidak lain dari pada
menjadi “tanda profetis yang dapat dipercaya” akan kedatangan Kerajaan Allah – “tempat
istimewa bagi persekutuan Allah dengan manusia, “sakramen keselamatan” (EA 24). Sekali
lagi, Gereja tidak boleh semata-mata disibukkan oleh interese-interese internalnya. Gereja
harus berupaya memajukan pewartaan Injil lewat ketiga bentuk dialog tersebut di atas dan
lewat misi kemanusiaan. Dalam hal ini, eksistensi dan peran Komunitas Basis Gerejani
(KBG) menjadi sangat penting, begitu pula Komunitas Basis Manusiawi.

e. Pelaku pewartaan adalah Roh Kudus (EA 17, 43) dan seluruh umat (EA 42, 43), baik
mereka yang tertahbis (Uskup, Imam) dan anggota Lembaga Hidup Bakti (EA 44), maupun
kaum awam (EA 23, 45). Juga disebutkan secara khusus peran keluarga dan kaum muda
dalam tugas pewartaan ini (EA 46, 47). Artinya, pelaksanaan tugas ini diwujudkan bukan oleh
orang perseorangan, melainkan oleh Gereja seluruhnya sebagai kesatuan umat beriman. Bapa
Suci menegaskan peran Roh Kudus dalam hal memampukan Gereja untuk melaksanakan misi
pewartaan ini.

f. Gereja bukan tujuan dalam dirinya sendiri. Kalau teologi plantatio ecclesiae menegaskan
bahwa Gereja merupakan tujuan karya misi, EA menggarisbawahi bahwa Gereja ada untuk
melayani Kristus dan keselamatan dunia (EA 17), in loving service to the poor and
defenceles (EA 32). Karena itu, tugas pewartaan Gereja terarah bukan untuk mentobatkan
orang menjadi Kristen, melainkan untuk membagikan kepada semua orang rahmat yang
dianugerahkan Allah kepada Gereja. Paus Yohanes Paulus II menulis: “The vocation of every
human being is to receive love and give love in return” (EA 13). Seluruh Bab VI merupakan
ulasan mengenai human promotion.

Dengan kata lain, berbicara tentang cara baru “menggereja dan memasyarakat” di Asia berarti
berusaha menemukan dan merumuskan kembali identitas Gereja Asia. Ada tiga unsur pokok,
yakni membangun communio dan missio dalam konteks Asia. Kalau diungkapkan secara negatif,
bila Gereja Asia tidak memiliki identitas, sudah barang tentu ia tidak memiliki masa depan.
Karena itu, EA mendorong Gereja Asia untuk tetap maju menuju ke tahap kematangan atau
kemandirian yang sesungguhnya. Kemandirian ini umumnya dicirikan oleh empat kriteria: self-
governing (swa-praja), self-supporting (swa-dana), self-propagating (swa-kembang) dan self-
theologizing (swa-teologi) within the universal communion of catholic churches.
194
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

8.2.6. Persoalan Aktual Inkulturasi24

Inkulturasi Gereja dan Injil, baik dilihat secara filosofis (natura, kultur dan rahmat) maupun
secara historis dan dogma (inkulturasi dalam sejarah keselamatan), membawa pesoalan akan
refleksi teologis dan tindakan pastoral. Bagaimana mengharmoniskan dengan iman ekspresi-
ekspresi spontan dari religiusitas rakyat? Bagaimana sikap Gereja terhadap agama-agama bukan
Kristen, dan terutama yang berkaitan erat dengan pertumbuhan kebudayaan?

1. Religiusitas rakyat. Pada umumnya religiusitas rakyat memaksudkan, dalam bangsa yang
telah menerima Injil, kesatuan iman dan cinta kasih Kristen, di satu pihak dengan kebudayaan
mendalam dan di lain pihak dengan bentuk-bentuk agama sebelumnya yang dianut
masyarakat. Hal ini menyangkut bermacam-macam bentuk devosi dan dengan itu beberapa
orang Kristen mengekspresikan perasaan religius (sensus fidei) mereka dalam bahasa yang
sederhana, misalnya: dengan pesta dan ziarah atau dengan tarian dan nyanyian. Dapat
dikatakan sebagai sintesis hidup menyangkut religiusitas, karena itu menyatukan “tubuh dan
roh, communio eklesial dan institusi, individu dan komunitas, iman Kristen dan cinta kepada
tanah air, pengetahuan dan afeksi”.25

Religiusitas rakyat kerap kali memiliki keterbatasan, karena asal-usulnya sangat sederhana,
sumber dari berbagai perubahan bentuk kepercayaan-kepercayaan, juga kadang dari takhyul.
Religiusitas rakyat tetap tinggal dalam level kultural (kebudayaan), bila tanpa ada upaya
untuk menerima iman dan ekspresi iman dalam pelayanan bagi sesama. Bila orientasinya
tidak jelas, religiusitas rakyat dapat menuntun kepada pembentukan sekte dan dengan
demikian dapat membahayakan kesatuan komunitas gerejawi yang benar. Bentuk ini beresiko
dimanipulasi baik oleh kekuasaan politik maupun kekuatan religius di luar iman kristiani.
Dari bahaya-bahaya tersebut, mengundang Gereja untuk menjalankan katekese yang cerdik
dan bijaksana, yakni dengan memanfaatkan hal-hal yang baik dari religiusitas rakyat secara
otentik dan pada saat yang sama mampu memilah-milah (menimbang). Suatu liturgi yang
hidup dan sesuai memiliki peran besar dalam integrasi iman yang benar dan dari bentuk-
bentuk tradisional dari hidup religius masyarakat.

2. Inkulturasi iman dan agama-agama bukan Kristen. Sejak awal mula Gereja telah
berjumpa, dalam berbagai tingkatan, persoalan pluralitas agama-agama. Sebagai contoh di
benua Asia, yang lahir bermacam-macam agama dan kepercayaan dunia. Hinduisme,
Budhisme, Islam, Konfusianisme, Taoisme, Sintoisme dan berbagai aliran kepercayaan atau
kebatinan; setiap sistem religius itu secara mendalam mengakar dalam masyarakat dan hidup
dalam diri para penganutnya. Hidup pribadi dan juga aktivitas sosial dan komuniter ditandai
dan dipengaruhi oleh tradisi religius dan spiritual tertentu. Karena itu, Gereja di Asia memiliki
persoalan penting dan mendesak menyangkut hubungan dengan agama-agama bukan Kristen.
Jembatan hubungan tersebut adalah dengan dialog.

24
Commisione Teologica Internazionale, Op. cit., hlm. 369-377.
25
Konferensi Umum para Uskup Amerika Latin (Puebla 1979), Evangelisasi sekarang dan yang akan datang di
Amerika Latin, Konklusi, 448.
195
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

Dialog dengan agama-agama lain merupakan bagian integral hidup kristiani: melalui
pertukaran, studi dan karya secara bersama, dialog ini menyumbang dalam meningkatkan
pengetahuan agama dan menumbuhkan saling pengertian dan kasih. Bagi iman kristiani,
kesatuan semua dalam asal-usul mereka dan tujuan mereka, itu berarti dalam penciptaan dan
persatuan dengan Allah dalam Yesus Kristus, diteguhkan dengan kehadiran dan tindakan
universal Roh Kudus. Tujuan dialog adalah: pertama, menyapa semua orang dari pelbagai
agama; kedua, terutama menyapa umat kristiani itu sendiri. Dialog antara penganut-penganut
berbagai agama dan ideologi di dunia yang penuh perpecahan dan konflik semakin mendesak
demi keselarasan dan perdamaian. Mereka yang terlibat dalam dialog tersebut ditantang dan
sekaligus diperkaya oleh nilai-nilai yang mereka temukan dalam tradisi-tradisi keagamaan dan
ideologi-ideologi humanistis.26 Gereja dalam dialog mendengar dan belajar – sebagaimana
ditegaskan dalam Pernyataan Nostra Aetate tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama
Bukan Kristen - : “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu
serba benar dan suci. Dengan sikap hormat dan tulus Gereja merenungkan cara-cara
bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal
berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh
memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang” (NA 2).

3. Iman kristiani dan modernitas. Revolusi industri juga merupakan revolusi kultural. Nilai-
nilai yang dahulu dianggap pasti mulai menjadi bahan diskusi, seperti makna kerja pribadi dan
komuniter, hubungan langsung antar manusia dengan alam, kehadiran harta kekayaan bagi
suatu keluarga yang membutuhkan, partisipasi pada ritus, tradisi dan upacara-upacara yang
memberi makna dari keberadaan seseorang. Perkembangan pesat dalam berbagai bidang
kehidupan: pangan, kesehatan, transportasi, bangunan dll. juga mempengaruhi gaya hidup
masyarakat. Inkulturasi Injil dalam masyarakat modern akan menuntut upaya secara metodik
penelitian atau pencarian dan aksi atau tindakan yang terprogram (terencana). Upaya itu
diperlukan terutama bagi penanggungjawab evangelisasi: 1) sikap menerima dan
membedakan (memilah-milah) secara kritis; 2) kemampuan memahami kekayaan spiritual
dan aspirasi manusia dari kebudayaan-kebudayaan baru; 3) kemampuan analisa kultural agar
terjadi perjumpaan efektif dengan dunia modern.

8.2.7. Sikap-sikap dalam Inkulturasi27

a. Inkulturasi merupakan tugas yang tidak mudah dan rumit. Prosesnya dapat mengalami
hambatan sejak awal, oleh sikap-sikap yang kerap muncul karena merasa diri lebih unggul,
seolah-olah inkulturasi itu tidak perlu. Karena kebudayaan-kebudayaan lain tidak dapat
diselaraskan dengan agama kristiani atau sama sekali tidak mempunyai sumbangan apapun
bagi Gereja. Ada yang beranggapan bahwa inkulturasi itu mustahil, karena membahayakan
kesatuan Gereja dan akan menimbulkan pluralisme yang barangkali merugikan isi pewahyuan
itu sendiri. Sikap-sikap tersebut tidak sesuai dengan makna sejati evangelisasi atau pewartaan
Injil. Hambatan lain bagi inkulturasi adalah sikap tergesa-gesa ingin segera melihat hasil
26
Bdk. Dokpen KWI, Dokumen Sidang Federasi para Uskup Asia (FABC), Dialog dengan tradisi-tradisi keagamaan
lain di Asia, Op. cit, hlm. 236.
27
Bdk. Dokpen KWI, Dokumen Sidang Federasi para Uskup Asia (FABC), Gereja-gereja setempat di Asia dan
tugas-tugas misi: inkulturasi 11-16, Op. cit, hlm. 236.
196
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

dengan eksperimen-eksperimen yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan sikap yang


tidak wajar mendesak atau memaksakan sesuatu kepada umat tanpa persiapan yang memadai.

b. Agar inkulturasi berhasil, dari pihak yang melibatkan diri dalam proses itu dibutuhkan
kebebasan yang matang dalam Roh Kudus, yang ditandai dengan kesediaan untuk
mendengarkan dan percaya akan bimbinganNya. Hal ini juga mencakup kesiapsediaan untuk
menerima resiko-resiko dan juga keuntungan dari kekeliruan-kekeliruan, sikap terbuka bagi
koreksi dan kritik serta kesediaan untuk berdialog dengan sesama secara tulus dan terbuka.
Sikap terbuka itu mengandaikan kesediaan menerima kemajemukan sebagai nilai positif,
karena mengakui bahwa kekayaan Kabar Gembira Injil perlu dijajagi dan diungkapkan dalam
keragaman bentuk dan kebudayaan, serta membutuhkan penegasan rohani terus menerus yang
dijalankan oleh segenap umat Allah.

c. Kerjasama yang tulus dan terbuka serta sikap saling menerima dalam menciptakan masa kini
dan masa depan, tanpa mau membatasi kekuatan Roh, juga mencakup sikap bersedia mati
untuk bangkit lagi dalam kenyataan atau dunia baru. Tentu semuanya itu memerlukan
kerendahan hati, yang mengajak orang mengakui kesalahan-kesalahan dan keterbatasannya
sendiri, dan membantunya bersikap memahami terhadap kekeliruan dan keterbatasan sesama.

197

Anda mungkin juga menyukai