Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pada dasarnya, pandangan pandangan yang berkaitan dengan mencabut nyawa orang lain
dalam perang ada tiga kategori.

Pertama : Ada aktivisme, yang berpendapat bahwa orang kristen harus berpartisipasi
dalam oerang apapun yang dihadapi pemerintah dilantik oleh Allah.

Kedua : Ada pasifisme, yang berpendapat bahwa orang kristen tidak boleh berpartisipasi
dalam perang jika sampai harus membunuh orang lain karena Allah telah melarang manusia
mencabut nyawa lain.

Ketiga: Ada selektivisme, yang berpendapat bahwa orang kristen harus berpartisipasi
dalam sejumlah perang-yakni perang yang adil.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian tentang perang ?
2. Bagaimana pandangan-pandangan yang berkaitan tentang perang ?
3. Bagaimana Tradisi perang yang benar ?

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
suatu perang dan ingin mengetahui suatu pandangan-pandangan yang berkaitan dengan suatu
perang tersebut, serta untuk mengetahui bagaimana tradisi-tradisi suatu perang yang benar.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian perang

Perang adalah sebuah aksi fisik (dalam arti sempit adalah kondisi permusuhan dengan
menggunakan kekerasan). Antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan
dominasi diwilayah yang ingin dipertentangkan oleh orang-orang untuk berperang. Jika
menolak untuk ikut berperang berarti orang tersebut menolak mengikuti bagian yang adil
yang diperintahkan oleh Allah.

B. Pandangan-pandangan yang berkaitan tentang perang

Pada dasarnya pandangan-pandangan yang berkaitan dengan mencabut nyawa orang lain
dalam perang ada tiga kategori, yaitu : Aktivisme, Pasivisme, Selektivisme.

 Pandangan aktivisme : Berpartisipasi dalam perang selalu benar.


Aktivisme berpendapat bahwa orang kristen terikat oleh kewajiban menaati
pemerintahnya dan berpartisipasi dalam setiap peperangan yang dukungan mereka
adalah dicatat oleh pemerintah. Pandangan ini menawarkan dua jenis pendapat
berbeda berkaitan dengan pandangan mereka yaitu: Alkitabiah dan Filsafat (sosial).
 Argumentasi Alkitabiah: Pemerintah dilantik oleh Allah : Kitab suci
nampaknya tegas pada masalah ini. Pemerintah berasal dari Allah baik dalam
bidang agama atau sipil, Allah adalah Allah yang teratur dan bukan Allah
yang kacau ( kej 9:6 ; 2 Kor 14: 33-40). Allah menetapkan pemerintah
manusia dimana berawal dari adam yang diberi mahkota untuk memerintah
atas bumi. Kemudian kejahatan manusiapun semakin merajalela dan Nuh
diberi pedang untuk memaksakan peraturan untuk berperang. Pemerintah
berasal dari Allah yang baik karena keteraturan berasal dari Allah karena
ketidakteraturan harus diberantas demi Allah. Manusia memiliki hak dari
Allah untuk mencabut nyawa orang lain yang tidak mau patuh yang
menumpahkan darah orang yang tidak bersalah. Pemerintah dikaruniai kuasa
ilahi. Jika pemerintah negara memerintah seseorang untuk pergi berperang,

2
alkitabvisme yang alkitabiah berpendapat bahwa orang harus menanggapi
dengan taat kepada Tuhan, sebab Tuhan telah menetapkan pemerintah dengan
pedang, kuasa untuk mencabut nyawa.

Data perjanjian lama mengenai Allah dan pemerintah : Pedang yang diberikan
kepada Nuh digunakan Abraham ketika ia terlibat dalam perang melawan Raja-raja yang
telah bersepakat menyerang keponakan laki-laki Abraham yaitu Lot ( kej 14 ). Bagian-bagian
ini menunjukan Allah setuju dengn perang-perang yang melindungi orang yang tak bersalah
dan penyerang. Dalam zaman teokrasi yang dipimpin oleh Musa, kuasa pemerintah sangat
gamblang “engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi,
tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak
( kej 21:23-25 ).

Dari penyataan ini ketika Israel membentuk sistem monarkinya yang bertentangan
dengan rencana Allah (1 Sam. 8:22), namun Allah tetap mengurapi raja pilihan yang mereka
pilih yaitu Daud. Sebelum Daud dipilih menjadi rajapun dia juga diperintah oleh Allah untuk
melawan orang-orang Filistin yang merampok Israel (1 Sam. 23:1). Pemerintah diberikan
oleh Allah, maka bila tidak mentaati pemerintah otomatis tidak mentaati Allah. Itu sebanya
jika pemerintah negara memerintahkan seseorang untuk pergi berperang, aktivisme yang
alkitabiah berpendapat bahwa orang harus menanggapi dengan taat kepada Tuhan, sebab
Tuhan telah menetapkan pemerintah dengan pedang kuasa untuk mencabut nyawa.

Data perjanjiaan baru tentang Allah dan pemerintah : Perjanjian baru menegaskan
pandangan dari perjanjian lama bahwa Allah telah menetapkan pemerintah, Yesus
menyatakan bahwa kita harus “memberikan kepada kaisar apa yang wajib diberikan kepada
Kaisar” ( mat 22:21 ). Surat Petrus juga menjelaskan untuk “Tunduklah, karena Allah, kepada
semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi,
maupun kepada wali-wali yang diutusnya” (1 Ptr 2:13-14).

Pemerintah yang berkuasa atas nyawa ditetapkan oleh Allah dan siapapun yang
melawan pemerintahan-Nya berarti melawan Allah. Menurut kaum aktivis alkitabiah, orang
harus menanggapi panggilan pemerintah untuk berperang karena Allah telah memberikan
otoritas pedang kepada para penguasa yang sedang memerintah. Apa yang sangat penting
tetang bagian dari kitab ini merupakan pengulangan Pejanjian Baru menggenai kuasa
pemerintah untuk mencabut nyawa manusia.

3
 Argumentis filsafat : Pemerintah adalah pengawal manusia : Salah stu sikap yang
paling kuat atas sikap ini berasal dari dialog plato, yakni crito. Didalamnya, dia
menyodorkan tiga alasan yang gamblang ( dan dua alasan lain yang lebih tersirat ).
1. Pemerintah adalah orang tua bagi manusia, orang tidak boleh tidak taat bahkan
kepada pemerintahan yang tidak adil “ pertama karena dengan tidak menaatinya
dia tidak menaati orang tuanya “ melalui kalimat itu socrates bermaksud
mengatakan dengan dukungan pemerintahlah setiap orang dibawa masuk kedalam
dunia. Sama seperti orangtua menghabiskan waktu berbulan-bulan dalam
mempersiapkan dan menantikan datangnya seorang anak demikian pula banyak
tahun yang dihabiskan dalam mempertahankan suatu negara yang memungkinkan
kelahiran yang berabad untuk suatu negara membangun pemerintah sehingga
tidak ada yang membuat dirinya berselisih.
2. Pemerintah adalah pendidik manusia, Socrates mengajukan alasan lain tentang
keharusan menaati suatu pemerintah “kedua karena pemerintah adalah pencipta
pendidikannya“. Implikasinya adalah bahwa pendidikan yang menjadikan mereka
sebagaimana adanya (termasuk pengetahuan tentang keadilan dan ketidakadilan)
diberikan kepada mereka oleh pemerintah. Manusia tidak setara dengan
pemerintah. Kita tidak berhak membalas pemerintah tetapi sebaliknya jika
pemerintah mau menghancurkan kita sebagai ganti, kita tak berhak membalas
menghancurkannya.
3. Yang diperintah mempunyai kewajiban menaati pemerintah. Alasan ketiga yang
diberikan socrates agar orang menaati perintah adalah bahwa “dia telah membuat
kesepakatan dengan-Nya bahwa dia akan menaati perintah-perintah-Nya dengan
tepat“ Yaitu: kesepakatan orang untuk diperintah, yang diberikan melalui janji
setia mereka kepada pemerintah, yang mengikat mereka pada hukum-hukumnya.
Jika seseorang menerima hak atas pendidikan dan perlindungan dari pemerintah
maka dengan demikian secara tersirat sudah setuju menerima tanggungjawab
menaati peraturan-peraturan pemerintah, tunduk pada hukum-hukumnya, dan mau
pergi berperang demi pemerintah.
4. Yang diperintah bebas meninggalkan pemerintah, sedikitnya ada dua pendapat
tersirat lainya yang digunakan socrates untuk meyakini bahwa orang tidak boleh
tidak taat pada pemerintahnya. “siapapun yang tidak menyukai pemerintah dan
kotanya, boleh pergi kemana dia suka tetapi dia yang mempunyai pengalaman
akan cara dimana kami (para penguasa) memerintahkan keadilan dan menjalankan

4
negara dan masih tinggal disitu, telah masuk dalam kontrak yang tersiraat bahwa
dia akan melakukan perintah yang kami berikan. Orang yang mengganggap
memperoleh perlindungan dan hak dari suatu negara melalui kehadiran yang tetap
sebagai warga negara tidak harus pergi hanya karrena tuntutan-tuntutan negara
yang tidak menyenangkan.
5. Tanpa pemerintah, akan terjadi kekacauan sosial. Alasan lain adalah seseorang
harus taat pada pemerintahannya terkandung didalam pertanyaan socrates “ dan
siapa yang akan memedulikan suatu negara yang tak berhukum ?”. Hukum yang
tak adil adalah buruk, tetapi ketiadaan hukum bahkan lebih buruk. Bahkan
kerajaan buruk lebih disukai ketimbang anarki, jika orang tidak menaati
pemerintah karena apa yang mereka rasa tidak adil atau tidak menyenangkan,
maka kekacauan sosial akan muncul.
Didalam kelima pendapat ini Plato menyatakan hal-hal utama yang digunakan
sebagai dasar aktivisme orang harus selalu menaati pemerintahanya karena
pemerintah adalah pengawal mereka. Bahkan pemerintah yang kelihatannya tidak
adil harus ditaati akan menjadi lebih baik dari pada orang-orang liar, hidup
didalam keadaan masa bodoh dan anarki.
Persoalan-persoalan besar yang ada dalam sanggahan alkitabiah maupun klasik
yang berkaitan dengan aktivisme disatu pandangan menyeluruh yang tidak secara
gamblang masuk dalam lima pendapat yang dikemukakan Plato adalah bahwa
tidak melawan penyerang yang jahat yang merupakan kejahatan yang besar
daripada melawan. Hal ini menginggatkan pada kalimat “Yang diperlukan agar
kejahatan menang adalah jika orang baik tidak berbuat apa-apa” (Edmund Burke).
Namun ada persoalan yang penting menyangkut sikap kaum aktivis yang cepat
ditunjukkan oleh kaum pasifis yaitu dalam kebanyakan peperangan kedua belah
pihak mengaku pihak yang benar.
Seringkali masing-masing kelompok mengaku pihak lain adalah penyerang.
Musuh adalah pihak yang selalu salah dan kelompok lain adalah musuh. Pada
persoalan ini kaum aktivis total berkewajiban mengakui bahwa kedua pihak dalam
suatu peperangan tidak selalu benar. Tidak menaati pemerintah manapun akan
menyebabkan revolusi dan anarki yang merupakan kejahatan-kejahatan yang lebih
besar daripada ikut berperang.

5
 Pandangan pasifisme : Berpartisipasi dalam perang tidak pernah benar. Ada
banyak alasan mengapa kaum pasifis menolak pendapat aktifis dan alasan alasan ini
dapat berlaku baik sebagai kritik dari aktivisme total maupun sebagai pihak lain
yang berdialog tentang peperangan, yang memaksa orang kristen menyelidiki baik
alkitab maupun hati nuraninya untuk memandunya. Pandangan-pandangan pasifime
terdiri dari dua macam dasar, yaitu : alkitabiah dan sosial.
o Pandangan alkitabiah : perang selalu salah. Pandangan orang kristen pasifis
yang menentang segala bentuk perang melibatkan banyak hal, namun ada
beberapa dasar yang menggaris bawahi semuanya. Salah satu pendapat
dalam perintah alkitab “Jangan membunuh“ ( kel 20:13 ) dan yang lain
dalam perkataan Yesus “janganlah kamu melawan yang berbuat jahat
kepadamu”( mat 5:39 ).
o Pandangan sosial : perang selalu salah. Ada pendapat sosial yang kuat
menentang peperangan. Perang bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan
perselisihan antara manusia. Sepanjang sejarah, sungai darah manusia
mengalir dari darah manusia mengalir akibat peperangan. Segala macam
kejahatan berasal dari perang : kelaparan, kekejaman, wabah penyakit, dan
kematian.

Membunuh selalu salah, jauh didalam lubuk hati pasifisme ada keyakinan bahwa
sengaja mencabut nyawa orang lain selalu salah. Sengaja menghabisi nyawa, khususnya
didalam perang pada dasarnya dan secara radikal salah. Larangan kitab suci “jangan
membunuh“ termasuk perang, karena perang adalah pembunuhan besar-besaran.
Pembunuhan adalah pembunuhan baik itu dilakukan didalam masyarakat sendiri maupun
terhadap orang dalam masyarakat lain.

Perang berdasarkan kejahatan ketamakan. Kembali pada karya plato, republic yang
beranggapan orang mengakui bahwa keinginan pada kemewahan merupakan dasar
peperangan. Dibagian lain dia berkata “semua peperangan dibuat demi mendapatkan uang“.
Yakobus berkata “dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran antara kamu ?... kamu

6
mengiginkan sesuatu tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh, iri hati, tetapi
kamu tidak mencapai tujuanmu” ( yak 4:1-2 ).

Perang mengakibatkan banyak kejahatan. Salah satu gambaran yang paling hidup
ada dalam wahyu 6, dimana yohanes menuliskan demikian “Dan aku melihat : sesungguhnya
ada seekor kuda hijau kuning dan orang yang menungganginya bernama maut dan kerajaan
maut yang mengikutinya”.

Perang menghasilkan perang. Perang dunia 1 dinyatakan sebagai “perang yang


mengakhiri segala perang“ (woodrow wilson dihadapan kongres amerika serikat, 2 april
1917). Banyak perang yang tak pernah benar-benar berakhir, perang itu hanya mereda.
Perang “dingin“ cenderung berubah menjadi “perang panas“ dan perang sebagiannya berubah
menjadi perang bersekala penuh.

 Pandangan selektivisme: Kita boleh berpartisipasi dalam sejumlah perang (perang


yang adil). Satu pandangan yang disebut selektivisme muncul, yang berpendapat
bahwa sejumlah perang bisa dibenarkan dan jumlah lain tidak. Pandangan ini
menawarkan alternatif yang lebih memuaskan bagi etika kristen.
o Selektivisme sebagai tanggapan terhadap aktivisme : sejumlah perang tidak
adil. Satu pandangan yang disebut elektivisme muncul yang berpendapat
bahwa sejumlah perang bisa dibenarkan dan sejumlah lain tidak. Pandangan
menawarkan alternatif yang lebih memuaskan bagi etita kristen.
o Selektivisme sebagai tanggapan terhadap aktivisme : sejumlah perang tidak
adil. Setiap pandangan mewakili sejumlah kebenaran, pasifisme adalah bahwa
sejumlah perang tidak adil dan orang-orang kristen sebaiknya tidak
berpartisipasi didalamnya. Kebenaran dari aktivisme ialah bahwa sejumlah
perang itu adil dan orang kristen harus ikut berjuang didalamnya.
o Selektivisme sebagai tanggapan atas pasifisme : Sebagai perang bersifat adil.
Kaum pasifis kristen mengacu pada kitab suci untuk mendukung sikap mereka
tetapi dalam setiap kasus bagian kitab suci tersebut bisa ditafsirkan berbeda,
jika ditempatkan dalam konteks yang tepat, bagian-bagian ini tidak benar-
benar mendukung pernyataan kaum pasifis.

7
C. Tradisi perang yang benar

Konsep “perang yang benar” berasal dari zaman pra-kristiani dan besar kemungkinan
mempunyai kaitan dengan perang suci perjanjian lama dan beberapa ajaran etika yunani dan
Roma. Namun konsep ini dikristianikan Agustinus pada abad ke-4, disistematiskan oleh
Thomas Aquinas pada abad ke-16, dan diabsahkan oleh kebanyakan gembong Reformasi.
Dewasa ini sebagian besar umat Roma Katolik dan Protestan adalah penganutnya. Namun
akan lebih baik apabila kita jabarkan menjadi tiga, yang masing-masing berkenan dengan
awal jalan dan akhirnya suatu perang itu, menjadi suatu perang yang dianggap benar.

pertama, alasannya dapat dibenarkan, sifatnya harus membela diri, bukan menyerang.
Tujuannya harus untuk menegakkan keadilan atau mengoreksi ketidak adilan untuk
melindungi yang tidak bersalah atau memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

Kedua, caranya harus terkontrol. Tidak boleh ada kekerasan yang sembarangan atau
tidak perlu. Hal ini tercermin dalam dua kata kunci yang dipakai untuk mengungkapkan
keabsahan penggunaan kekerasan dalam suatu perang yang dibenarkan. Yang satu ialah kata
“proposional“ (sepadan) dan yang lain adalah kata “Diskriminatif“ (membedakan).

“Proporsional” berarti : Bahwa perang itu dirasakan sebagai pilihan yang terbaik dari
antara dua hal yang tidak baik. Dan bahwa dampak penggunaan kekerasan itu harus
proporsional. Artinya tidak boleh lebih tidak manusiawi daripada ketidak manusiawian yang
hendak diperangi, bahkan tidak boleh setimpal dengan itu.

“ Diskriminatif “ berarti bahwa perang itu ditujukan terhadap orang-orang militer dan
sasaran-sasaran militer dan bahwa orang-orang sipil adalah nimun. Harus diakui bahwa
imunitas total adalah tidak mungkin. Namun dalam suatu perang yang dibenarkan
diskriminasi itu wajib diperlihatkan dan pembunuhan orang sipil secara sengaja harus
dianggap perbuatan kriminal.

Ketiga, hasilnya harus diperkirakan. Artinya seperti raja dalam perumpamaan Yesus,
yang mempertimbangkan untung ruginya sebelum pergi berperang (lukas 14:31,32),
demikian pula harus ada perhitungan yang matang mengenai harapan akan menang, sehingga

8
sasaran untuk bagaimana perang itu dimulai, benar-benar tercapai. Ringkasnya suatu “perang
yang benar” ialah perang yang diadakan demi suatu tujuan yang sejati, melalui cara dan
sarana yang terkontrol dengan harapan yang baik akan suatu keberhasilan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tiga pandangan dasar mengenai perang : aktivisme, pasifisme, dan selektivisme.


Aktivisme mengklaim bahwa selalu bisa dibenarkan jika pergi berperang dalam rangka
mentaati negara. Pasifisme mengklaim tidak akan pernah dibenarkan jika pergi berperang,
dan selektivisme berpendapat bahwa perang adakalanya benar jika perang tersebut adalah
perang yang adil. Seperti yang sudah dibahas, aktivisme saja tidak cukup karena kita tidak
boleh hanya mentaati pemerintah yang memrintah kita untuk melakukan apa yang secara
moral salah.

Para bidan Ibrani (kel.1), tiga pemuda ibrani (Dan.3), dan Danel (Dan.6) adalah
contoh-contoh yang jelas dimana Alkitab mengganjurkan pembunuhan dalam keadaan-
keadaan tertentu sebagai pembelaan diri (Kel.22), hukuman mati(Kej.9:) dan pembelaan
orang-orang yang tidak bersalah (Kej.14). Tetapi ada kebenaran didalam aktivisame dan
pasifisme. Kaum aktivis benar dalam menunjukkan bahwa Allah telah melantik pemerintah
dan memberinya pedang. Mereka benar karena menekankan ketaatan manusia kepada
pemerintah bahkan sampai harus mencabut nyawa.

Namun disisi lain kaum pasifis juga berpendapat benar dengan mengatakan bahwa kita
harus belajar damai dan berusaha untuk hidup tentram dengan orang lain. Kita harus menjadi
pembawa damai bukan pembawa perang. Dan kita beperang ketika semua upaya damai gagal.
Oleh karena itu,selektivisme degan benar menunjukkan perlunya menempatkan Allah diatas
pemerintah dan mendorong ketaatan kepda pemerintah tetapi mempetahankan hak hati nurani
untuk menolak perintah-petintah untuk menindas.

9
Konsep “perang yang benar” berasal dari zaman pra-kristiani dan besar kemungkinan
mempunyai kaitan dengan perang suci perjanjian lama dan beberapa ajaran etika yunani dan
Roma. Namun konsep ini dikristianikan Agustinus pada abad ke-4, disistematiskan oleh
Thomas Aquinas pada abad ke-16, dan diabsahkan oleh kebanyakan gembong Reformasi.
Dewasa ini sebagian besar umat RomaKatolik dan Protestan adalah penganutnya. Namun
akan lebih baik apabila kita jabarkan menjadi tiga, yang masing-masing berkenan dengan
awal jalan dan akhirnya suatu perang itu, menjadi suatu perang yang dianggap benar.

Pertama : Dengan cara segala alasan dapat dibenarkan melalui sifat dan tujuan harus
untuk menegakkan suatu keadilan.

Kedua : Harus dengan cara terkontrol, yaitu dengan cara proporsional, yang berarti bahwa
perang itu dirasakan sebagai suatu pilihan yang terbaik. Dan dengan cara Diskriminatif, yang
berarti bahwa perang itu ditunjukan terhadap orang-orang militer dan sasaran-sasaran militer.
Dan apabila ada pembunuhan orang sipil secara segaja harus dianggap perbuatan kriminal.

Ketiga : Hasilnya harus diperkirakan. Artinya seperti raja dalam perumpamaan Yesus,
yang mempertimbangkan untung ruginya sebelum pergi berperang ( lukas 14:31,32 ),
demikian pula harus ada perhitungan yang matang mengenai harapan akan menang

B. SARAN

Demikianlah makalah ini dibuat dengan kerja sama kelompok kami adapun saran yang
dapat diberikan kepada pembaca dan penulis mengenai makalah ini adalah :Diharapkan hasil
penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan ilmu pengetahuan . Kami sangat
membutuhkan saran dan masukan dari pembaca mengenai makalah tentang “PERANG” agar
dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi kelompok kami.

10
DAFTAR PUSTAKA

Geisler, Noraman . Etika kristen dan isu-isu Etis . Malang : SAAT . 2005

Stoot, John . Isu-Isu Global . Jakarta : Yayasan Bina Kasih / OMF . 1992

Suseno,Magnis . Etika Dasar . Yogyakarta: Kanasius . 1995

Verkuyl, J . Etika Kristen Bagian Umum . Jakarta: BPK Gunung Mulia . 1964

Van Napel, Henk . Etika PB , Jakarta: BPK Gunung Mulia

11
12

Anda mungkin juga menyukai