PEMBAHASAN
Sejak abad ke-18, sebagian besar pulau Jawa dikuasai oleh orang-
orang Belanda secara langsung. Setelah VOC bubar (1799), sampai
tahun-tahun 1820-an, keadaan politis adalah tidak tetap: pemerintah-
Belanda yang menganti VOC, diusir oleh orang-orang Inggris (1811),
tetapi lima tahun kemudian orang-orang Belanda kembali lagi (1816).
Penguasa-penguasa yang silih berganti ini membawa-serta cita-cita
yang luhur, yang di Eropa telah dicetuskan oleh Pencerahan .
Beberapa kali terjadi reorganisasi dibidang ekonomi (sistem
perpajakan, soal tanah) dan politik. Gubernur-Jenderal yang pertama
sesuai masa pemerintahan Inggris mempunyai rencana-rencana yang
sangat baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Jawa. Tetapi
negeri Belanda menghadapi peperangan di Jawa (perang Diponegoro,
1825-1830) dan di Eropa (1830-1839). Akibatnya, perbendaharaan
negara Belanda kosong, dan tenaga orang - orang Jawa dikerahkan
untuk mengisinya kembali melalui sistem Tanam Paksa.
Dalam abad ke-16, pedalaman Jawa sudah diislamkan (bnd psl 2).
Di ujung Timurpulau itu, agama Hindu masih bertahan sampai sekitar
tahun 1770. Tetapi Kompeni mengusir orang-orang Bali dari sana,
sehingga daerah itupun dimenangkan bagi Islam. Namun demikian,
ditengah-tengah masyarakat Jawa Islam itu corak berpikir dari zaman
sebelum kedatangan Islam, sempat hidupt terus. Disatu pihak, seluruh
hidup orang-orang Jawa, khususnya di desa-desa, tetap diatur oleh adat.
Dilain pihak, banyak orang Jawa terpengaruh oleh kebatinan. Orang-
orang ini mempersoalkan nilai upacara keagamaan, kunjungan ke
tempat-tempat ibadah, kitab-kitab suci dan sebagainya.
c. Agama Kristen
d. Kegiatan p.I.
g. Kelompok Wiung
Di desa Wiung, yang letaknya tidak jauh dari Surabaya, ada suatu
kelompok orang yang taat beragama. Mereka biasa berkumpul dalam
rumah modin desa itu, yang bernama Pak Dasimah. Pada suatu hari
salah seorang anggota kelompok membawa-serta sebuah buku kecil
dalam bahasa Jawa yang diberikan kepadanya oleh seorang
perempuan keturunan Eropa di Surabaya. Katanya , ia enggan
mengambilnya, tetapi akhirnya dengan setengah terpaksa buku itu
diterimanya juga. Pak Dasimah membukanya dan heran sekali ia
melihat kata-kata yang pertama: “inilah permulaan Injil tentang Yesus
Kristus.......”(Mrk 1:1).
Mereka semua diberi nama baru, yang diambil dari dalam Alkitab.
tetapi Coolen tidak senang mendengar hal itu. Ia memalukan orang
yang sudah dibaptis dan yang berambut pendek itu, dan melarang
mereka untuk tetap tinggal di Ngoro. Namun demikian, dalam tahun-
tahun berikutnya beberapa ratus orang penduduk Ngoro pergi ke
Surabaya untuk dibaptis pula. Dalam hal ini kita amati suatu ironi:
orang Kristen Jawa menolak bentuk agama Kristen yang telah
disesuaikan dengan kebudayaan Jawa dan mereka berpaling kepada
agama Kristen Emde yang justru menolak seluruh kebiasaan Jawa.
i. Mojowarno
Injil datang ke Jawa Tengah melalui dua jalan. Jalan yang satu
ialah melalui usaha beberapa orang kulit putih, dan jalan yang kedua
adalah penyiaran “ilmu” Kristen oleh penduduk Ngoro dan
Mojowarno. Selanjutnya juga riwayat sejarah gereja di Jawa Tengah
mempunyai pola yang mirip dengan yang di Jawa Timur: utusan-
utusan Lembaga Zending datang menetap di tengah-tengah jemaat-
jemaat Kristen Jawa dan mengambil-alih pimpinan. Hanya, di Jawa
Tengah mereka lebih banyak mengalami pertentangan daripada yang
dialami Jellesma atau pengantinya. Penggabungan kedua arus itu,
yaitu kekristenan bercorak Jawa dan kekristenan gaya Barat, disini
baru selesai pada abad ke-20.
l. Bruckner
1
asdfghjksdfghjsdfghjsdfghj
B. PEKABARAN INJIL DAN GEREJA – GEREJA DI JAWA TENGAH
( 1870 – an )
1. Keadaan umum di Jawa Tengah
Meskipun menjadi tiga kerja lembaga Pekabaran Injil, dari segi
bahasa dan kebudayaan, daerah Jawa Tengah merupakan kesatuan.
Dari sudut pandang agama ada penganut islam dan paling kuat di
bagian Utara.
Tradisi kejawen masih kokoh, berakar di bagian Selatan khususnya
Solo – Yogya.
Abad k e – 20, terdapat fasilitas pendidikan dan terus maju dan
berkembang dan juga tanah terebut menjad tanah yang subur bagi
gerakan nasional.
a. Gereja Kristen Jawa ( GKJ )
Setelah perang GKJ bersedia berusaha menerima kembali tenaga pembantu dari
Negeri Belanda tetapi mereka harus membatasi diri dan tidak boleh mencampuri
urusan intern gereja. Tahun 1948 GKJ menjadi anggota Gereja – Gereja
sedunia, turut mendukung STT – Jakarta ( 1954 ).
Penyebaran kristen pada kalangan Tionghoa di mulai dari salah seorang daei
mereka yaitu Khouw Tek San di Purbolinggo, menjadi Kristen setelah mendengar
pemberitaan Gan Kui dan tahun 1966 ia di baptis. Zending Gereformeerd tidak
mau mendirikan jemaat tersendiri bagi orang Tionghoa karena menolak
pemisahan orang kristen menurut ras. Tetapi dalam praktek orang
Tionghoa membentuk kelompok tersendiri berdasarkan asas
bahasa Melayu. Karya pekbaran injil oleh orang – orang Tionghoa
di tanggung jemaat Gereformeerd bangsa Eropa di Jateng. Pada
1945 bergabung dengan kalangan Tionghoa di Jawa Tengan Utara
dan pada tahun 1956 megambil nama “ Gereja Kristen Indonesia
Jawa Tengah “. Di Jawa Tengan bagian Utara terdapat pula
jemaat – jemaat cina yang lahir dari karya DZV ( Mennonite )
gereja itu berdiri sejak permulaan abad ke – 20. 2
2
asdfghjkerytuikoldfghjkldfghjk
Masa pendudukan Jepang di Indonesia (Maret 1942-agustus 1945) bagi greja-
gerja jawa (gereja-gereja berbasis pada masyarakat Jawa, Yaitu: GKJTU,
GITJ,GKJW,dan GKJ) bukan hanya menghancurkan dan melumpuhkan fasilitas
fisik dan kelembagaan, serta keterputusan hubungan jalur structural kelembagaan,
serta keterputusan hubungan dengan Zending. Mereka “dipaksa” mandiri dalam
segala hal oleh karena situasi terisolasi dalam kesendirian di tengah aksi represif
jepang dan kelompok-kelompok muslim. Sedangkan secara mental dan politis,
mereka mengalami degradasi posisi ditengah masyarakatnya, dimana selain oleh
karena mereka harus menanggung beban sejarah sabagai bagian dari “produk”
Zending Baratjuga sedang digugat komitmen nasionalisme mereka terhadap
perjuangan bangsanya. Sehingga identitas denominasional gerejawi yang sebelum
nya mengekspresikan kedekatannya dengan kenyataan sosio-religius Barat
menjadi kendala dalam hubungan antara gereja tetangga dan dengan kompunen-
komponen domestic lain bangsa nya, terutama dengan muslim dan Jepang.
Oleh karena itu, “kesatuan gereja” telah menjadi nilai penting-baik secara
strategis-politis maupun eklesiologis- ekumenis bagi hampir semua gereja-gereja
terutama di jawa ( sebagai pusat berbagai pergerakan sosial-politik masyarakat
Indonesia) dan kemudian di seluruh Indonesia. Suatu nilai yang kemudian
mendorong gereja-gereja bergerak saling mendekat satu dengan yang lain,
mengupayakan kerja sama dan kesatuan mereka, yang kemudian ternyata bukan
hanya berimplikasi pada persoalan teknis organisasional, melainkan juga
persoalan mendasar eklesiologis dan dogmatis mereka.
Berbeda dengan sikap GKJ yang tetap ortodoks pada jati diri gereformeerdnya
tersebut, GKJTU mempunyai harapan yang lebih besar untuk dapat
berkoeksistensi dan bermetamorfose denagn GKJ, GKJTU sendiri lahir Zending
non-konfesionalyang sangat kental denang “pietisme” tertentu, dimana ia tidak
mempunyai basis intelektualnya untuk memikitrkan persoalan dogmanya.
3
Sumardi Y.M. Sejarah Gereja Kristen Jawa. 2007. Yogyakarta : BPK Gunung Mulia hal 21, 46