Anda di halaman 1dari 8

MATA KULIAH

SEJARAH GEREJA INDONESIA

LAPORAN BACA

SEJARAH GEREJA DI SULAWESI

DISUSUN OLEH
DEVRIALDO PAAT

TEOLOGI BIBLIKA D SEMESTER 4

A. PENDAHULUAN
Garis Besar Buku
Dalam laporan baca ini, penulis menggunakan 2 buku wajib, yaitu Ragi Carita 1
yang ditulis oleh Dr. Th. van den End dengan 267 halaman dan Ragi Carita 2 yang
juga ditulis oleh Dr. Th. van den End dan Dr. J. Weitjens, SJ dengan 564 halaman.
Kedua buku ini diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia di Jakarta. Buku Ragi Cerita
menuliskan tentang sejarah dari gereja-gereja yang ada di daerah-daerah wilayah
Indonesia. Kedua buku ini ditulis berdasarkan kronologi-kronologi atau urutan-urutan
peristiwa seputar pekabaran Injil di Indonesia, di mana dalam Ragi Carita 1 dimulai
dari periode tahun 1500-1860an dan dilanjutkan dalam buku Ragi Cerita 2 dari tahun
1860an sampai abad 20. Buku-buku ini direkomendasikan terutama kepada
mahasiswa yang mempelajari sejarah gereja, khususnya di Indonesia dan bagi
mereka yang ingin belajar sejarah gereja Indonesia.
Ada 6 pokok bahasan yang diambil penulis dari kedua buku ini, yaitu sejarah dari
gereja-gereja yang ada di pulau Sulawesi. Dari buku Ragi Carita 1, diambil 2 pokok
bahasan mengenai Gereja di Sulawesi Utara dan Sangir-Talaud (hal. 80-86) dan
Gereja di Minahasa sampai penyerahannya kepada GPI (hal. 169-182). Dari buku
Ragi Carita 2, diambil 4 pokok bahasan, yaitu Gereja di Minahasa sejak
penyerahannya kepada GPI (hal.85-103), pekabaran Injil dan Gereja-gereja di daerah
Sulawesi Utara yang di luar Minahasa (hal.143-152), pekabaran Injil dan Gereja-
gereja di Sulawesi Tengah (hal. 153-160) dan pekabaran Injil dan Gereja-gereja di
Sulawesi Selatan dan Tenggara (hal.161-174). Alasan pengambilan topik ini karena
penulis sendiri tinggal di daerah Sulawesi sehingga merasa tertarik untuk mengetahui
bagaimana penyebaran Injil dilakukan di tanah Sulawesi mulai dari latar belakangnya
hingga pertumbuhan dan perkembangan gereja-gereja di Sulawesi serta faktor-faktor
yang mempengaruhi jalannya prose PI di Sulawesi.

B. PENDALAMAN MATERI
1. Gereja di Sulawesi Utara dan Sangir-Talaud (1563-1800)
Awal munculnya kekristenan di Sulawesi Utara dilatarbelakangi oleh persaingan
antara bangsa Portugis dan kesultanan Ternate, hingga bangsa Spanyol dan
Belanda. Bangsa Portugis berhasil berlayar di tanah Minahasa pada Mei 1563.

1
Penduduk menyambut orang-orang Portugis bersama misonaris Peter Magelhaes.
Para warga diajarkan pokok-pokok agama Kristen dan sekitar 1500 orang dibaptis,
termasuk raja pulau Siau, yang diberi nama Portugis, Jeronimo. Di daerah lain,
dilakukan juga pembaptisan massal yang akhirnya para misionaris menyadari cara
tersebut kurang bertanggung jawab sehingga baptisan dilakukan bagi mereka yang
sunguh-sungguh menjadi Kristen dan dengan bimbingan pengajaran. Maka,
Magelhaes tidak bersedia membaptis raja Bolaang Mongondoow dan penduduk
Minahasa lainnya. Misi di Sulawesi Utara memberi harapan baik, sebab para
penduduk sendiri yang meminta para misionaris berkunjung ke daerah mereka.
Namun, usaha misi ini terganggu oleh karena situasi politik sehingga terjadi kekafiran
di berbagai daerah.
Setelah bangsa Spanyol menaklukan Ternate, minat terhadap agama Kristen
bertumbuh lagi. penduduk di pulau Menado sudah masuk Islam sehingga Misi
dilakukan di daerah pegunungan. Para misionaris mempelajari bahasa suku,
mengunjungi kampung-kampung, seperti di Tomohon dan Tondano. Namun, misi
dirintangi oleh kematian para misionaris dan kekalahan Spanyol mengakibatkan
mereka diusir dari Sulawesi Utara oleh Kompeni. Usaha PI di Siau dan Sangir
terhalang oleh situasi politik. Penaklukan para Kompeni dan bangsa Ternate
mengakibatkan tamatnya riwat Misi Katolik di Sulut dan orang-orang Katolik dialihkan
ke Protestan.
Pada masa VOC, mereka membangun benteng di Menado dan mengadakan
perjanjian dengan raja Siau. Di daratan Sulut orang Kristen telah mencapai 2.500
lebih sedangkan di Sangir-Talaud telah mencapai sekitar 10.000 orang. Akibat
singkatnya kunjungan yang dilakukan para pendeta, pembinaan terhadap warga
Kristen kurang hingga abad ke 17-18 jemaat tidak mantap imannya sehingga masih
percaya kepada berhala. Kemerosotan VOC di akhir abad 18 berakibat pada
terlantarnya jemaat dan tidak ada lagi pendeta yang berkunjung. Pada tahun 1817,
kedatangan Joseph Kam di Minahasa membawa semangat baru bagi PI di Sulawesi
Utara.
2. Gereja di Minahasa sampai penyerahannya kepada GPI
Josep Kam yang mengunjungi tanah Minahasa pada 1817 melakukan penginjilan
dan membuka jalan bagi zending baru dengan meminta kepada lembaga zending
Belanda, NZG, untuk mengirimkan para misionaris di tanah Minahasa. Tahun 1822
diutus dua misionaris, tetapi meninggal sebelum melakukan pekerjaan berarti. Tahun

2
1827, diutus Hellendoorn yang menjadi perintis usaha PI di Minahasa. Ia membuka
sekolah yang disambut baik orang-orang Minahasa, pergi ke pedalaman dan
mengajak NZG untuk terus mengirimkan misionaris di tanah Minahasa. Tahun 1831,
diutus Riedel dan Schwarz dan tiba di Minahasa pada 12 Juni 1831 dan tanggal itu
diperingati sebagai hari PI GMIM.
Riedel ditempatkan di Tondano dan Schwarz di Langowan. Riedel bertindak
sedemikian rupa, hingga perbedaan dalam hal pengertian mengenai agama Kristen
tidak disalahartikan oleh orang-orang Tondano. Ia bersikap ramah, bergaul dengan
santai dengan mereka dan mengajarkan agama Kristen secara intensif. Ia mulai
mengadakan kebaktian hari Minggu dalam bahasa Melayu, menjadikan rumahnya
sebagai tempat pengajaran. Jumlah orang Kristen melonjak dan pada tahun 1850,
70% penduduk Tondano sudah dibaptis, walaupun Agama Kristen orang Minahasa
masih dipengaruhi oleh corak agama suku. Dalam organisasi gereja, Schwarz
menggunakan sistem presbiterial dengan membentuk majelis-majelis jemaat. Adapun
pemerintahan gereja yang bersifat hirarkhis , berlangsung dari atas ke bawah, dimana
setiap zendeling menjadi pemimpin di resornya.
NZG juga membuka sekolah-sekolah dan para penginjil, salah satunya Graafland
mengusahakan orang pribumi dididik untuk menjadi guru sekolah dan jemaat dan
membuka sekolah pendidikan (SPG) yang termasyhur di Tanawangko (1851).
Didirikan juga sekolah khusus untuk pendidikan “zendeling-pembantu”.(1868-1879 di
Tomohon, dibuka kembali 1886 sebagai STOVIL). NZG mengalami kesulitan
keuangan sehingga menyerahkan pekerjaan Gereja di Minahasa kepada GPI sebagai
gereja Negara dan waktu itu kekuasaan di Indonesia dipegang pemerintah Belanda.
Namun, pengelolaan sekolah-sekolah tetap dipegang oleh NZG. Sebuah lembaga
zending Inggris menawarkan diri sebagai pengganti NZG, namun dilarang pemerintah
Belanda. Orang Kristen telah bertambah menjadi 80.000 orang. Proses penyerahan
mulai dijalankan pada tahun 1874 dan pada tahun 1882, semua utusan zending telah
menjadi pendeta bantu, sedangkan para penolong mendapat status pendeta pribumi
(inlands leraar).
3. Gereja di Minahasa sejak penyerahannya kepada GPI
Penyerahan jemaat kepada Indische Kerk ini juga membawa pada pertengkaran
di lapangan persekolahan. Guru-guru zending berhadapan dengan sekolah-sekolah
pemerintah yang gurunya berijazah dengan gaji yang lebih tinggi, sedangkan gaji
mereka sangat kecil. Tahun 1915, guru-guru zending mulai bergabung dalam

3
perhimpunan “Pangkal Setia” di bawah pimpinan Guru J.U. Mangowal yang bersikap
anti GPI dan anti pemerintah dan mengancam akan mendirikan gereja sendiri.
Petugas Indische Kerk memandang mereka sebagai perusuh dan pemberontak.
Meskipun demikian, gereja dan zending juga memberi pelayanan di bidang
pendidikan dan kesehatan. Didirikan universitas, sekolah-sekolah dan rumah sakit
kecil di Sonder pada 1903 yang diurus oleh sebuah kerapatan. Dibuka juga beberapa
rumah sakit dan poliklinik, antara lain di Tondano pada 1928.
Gereja Protestan juga mengalami perluasan, seperti yang terdapat di Gorontalo
dan Donggala. Ada juga ratusan guru yang keluar tanah Minahasa menjadi pekerja
NZG di Poso, Toraja, Kendari dan sampai Tanah Karo (Sumut). Sementara itu, tahun
1860an misi Katolik mulai timbul di Minahasa sehingga gereja protestan di Minahasa
perlu memperhatikan dan berupaya mencegah perkembangan gereja R.K.
Nasionalisme para warga Minahasa membuat keinginan untuk mendirikan lingkungan
gereja yang berdiri sendiri. Setelah melalui peraturan yang dibua Komisi XII dan proto-
sinode, maka pada tanggal 30 September 1934 berdirilah Gereja Masehi Injili di
Minahasa (GMIM). Ketika ternyata GMIM ynag berdiri mandiri itu akan tetap berada di
bawah kuasa Belanda, sejumlah orang Minahasa berjiwa nasionalis memisahkan diri
dan mendirikan gereja baru, KGPM pada 1933.
4. Pekabaran Injil dan Gereja-gereja di daerah Sulawesi Utara yang (di luar
Minahasa)
Sama seperti di Minahasa, bagian-bagian Sulawesi Utara lainnya sudah didatangi
orang Eropa sejak abad ke-16, tetapi kurang mendapat minat dari orang-orang Eropa
seperti Minahasa. Sekitar tahun 1850. Di kepulauan Talaud sudah tidak ada lagi
orang Kristen. Di pulau-pulau sangir tetap ada jemaat-jemaat Kristen, lengkap dengan
gedung gereja dan sekolahnya. Tahun 1857, empat zendeling-tukang mendarat di
pulau-pulau Sangir, dua tahun kemudian empat lagi tiba di Talaud. Yang menjadi
terkenal di antara mereka ialah E.T. Steller yang bekerja di Manganitu, Sangir Besar
pada 1857-1897 yang melakukan pembenahan jemaat supaya memiliki kesalehan.
Mereka memberantas kepercayaan takhayul, miras dan poligami. Beberapa
Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa daerah logat Siau, bahasa Sangir, kebaktian
diperbanyak dan disusul katekisasi dan Sekolah Minggu serta Steller mengunjungi
rumah-rumah anggota jemaat dan ramah. Lahir juga perkebunan “Gunung” sebagai
dasar karya PI di sana. Sempat mendapat tanggapan negatif dari penduduk, namun
dalam waktu relative gereja berhasil dirombak. Jemaat-jemaat memiliki penatua dan

4
diaken serta belajar membiayai sendiri pembangunan dan pemeliharaan gedung
gereja dan sekolah. Jumlah jemaat pada tahun 1855 menjadi 121.000 orang. Jemaat
Manganitu sejak 1865 membiayai tenaga penginjil orang Sangir di kepulauan Talaud.
Tahun 1891 dibuka sekolah pendidikan guru di Siau. Tahun 1921 sudah ditahbiskan
enam belas pendeta pribumi (inlands leraarrs), salah satunya Yahya Salawati, yang
kemudian menjadi Ketua Sinode pertama. Mulai tahun 1930 dibicarakan untuk
meempersiapkan gereha berpola presbiteral hingga pada 25 Mei 1947 berdirilah
Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST). Jumlah anggota jemaat pada 1997
berjumlah 220.000 lebih atau 90% dari seluruh penduduk kepulauan Sangir-Talaud
Dalam abad ke-18 sudah terdapat ratusan orang Kristen di daerah pesisir
Bolaang Mongondow. Pada tahun 1904 raja Cornelis Manoppo, seorang Islam,
meminta zending agar membuka sekolah-sekolah didaerahnya. NZG mengutus
beberapa orang membuka sekolah HIS di Kotamobagu. Di samping memperhatikan
pendidikan, zending menekankan pemeliharaan terhadap orang Minahasa dan Sangir
yang telah merantau ke daerah itu. Para guru dan penghantar jemaat kebanyakan
berasal dari Minahasa. Di antara mereka terdapat guru J. Pandegirot (guru sejak
1906, 1930 ditahbiskan menjadi pendeta pribumi) yang menjadi tokoh pemimpin
waktu Perang Dunia. Namun, ada pula sebagian orang asli Bolaang Mongondow yang
masuk Kristen. Pada tahun 1970 jumlah anggota gereja yang pada waktu itu meliputi
30.000 jiwa lebih. Tahun 1997 anggota GMIBM berjumlah 85.000.
Mulai tahun 1889, seorang asisten-residen Belanda menetap di Gorontalo.
sehingga terdapat sejumlah orang Kristen Indonesia. Penduduk asli sebagian besar
menganut agama Islam. Gorontalo termasuk resort pendeta GPI di Manado, dan
jumlah orang Kristen bertambah terus karena datangnya perantau dari Minahasa.
Pada tahun 1936, GMIM menerima Gorontalo dan Donggala menjadi daerah
pekabaran Injil-nya. pada tahun 1965 berdirilah gereja Protestan Indonesia Gorontalo
(GPIG), yang anggotanya 14.000 lebih. Berdiri pula Gereja Protestan indonesia Buol
Toli-toli (GPIBT) pada tahun 1965, yang anggotanya berjumlah 14.500 lebih (1997).
5. Pekabaran Injil dan Gereja-gereja di Sulawesi Tengah
Sampai akhir abad 19, daerah Sulawesi Tengah belum tersentuh pemerintah
Belanda. Penduduk beragama islam dan agama suku. Zendeling pertama yang diutus
adalah A.C. Kruyt yang tiba di Poso pada 20 Juni 1891. Lembaga Alkitab Belanda
mengutus seorang ahli bahasa N. Adriani. Kruyt mendirikan sekolah, mempelajari
bahasa daerah dan memberi pertolongan medis kepada mereka yang sakit. Ia juga

5
memberi perhatian besar terhadap agama dan kebudayaan asli, upaya untuk sejauh
mungkin menerima unsur-unsur kebudayaan asli itu kedalam tata kehidupan yang
baru. Kruyt mulai menggugah hati orang Poso dan membaptis 167 orang beserta
kepala suku Topebato. Dengan demikian, dalam lingkungan zending Belanda,
Sulawesi Tengah dianggap daerah teladan, dan pasangan tokoh Kruyt dan Adriani
menjadi tokoh yang sangat berpengaruh. Gerakan zending berjalan terus hingga pada
1937, orang Kristen di Sulteng berjumlah 40.000. Mulai diangkat majelis dan
membentuk Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) menjadi mandiri pada Oktober
1947. Jumlah anggotanya mencapai 160.000 orang.Tahun 1966 jemaat Luwuk
Banggai dinyatakan berdiri sendiri dengan jumlah anggota sekitar 70.000 jiwa.
6. Pekabaran Injil dan Gereja-gereja di Sulawesi Selatan dan Tenggara
Sampai permulaan abad ke-20, di wilayah Sulselra agama Kristen merupakan
agama sekelompok kecil para pendatang. Pada tahun 1912, GPI mulai bekerja di
daerah itu. hususnya di bagian utara yang dilayani pendeta bernama R.W.F.
Kijfenbelt, yang memulai usaha PI di sana. Lembaga GZB memulai pekerjaannya di
daerah Palopo dan Rantepao (1913), Makale dan Mamuju (1914). Dua tahun
kemudian NZV memulai pekerjaan di Sulawesi Tenggara. Tahun 1928, daerah
Mamasa diserahkan kepada CGK. A.A. van de Loosdrecht melakukakn pelayanan di
Tana Toraja. Lemabag-lembaga itu agak berbeda pola kerjanya. Dalam hal sikap
terhadap adat, pendekatan Gereja GZB dan CGK lebih banyak meneladani pola
gereja-gereja Gereformeerd di Jateng. Para zendeling menghadapi tokoh-tokoh
feudal yang memeras rakyat dan adat istiadat Menurut jumlah orang yang masuk
Kristen, hasil PI paling besar di Sulawesi Selatan bagian utara, khususnya di
pedalaman, sebab di sana zending masuk mendahului atau bersamaan waktu dengan
agama Islam. Tetapi di pesisir dan di daerah Sulawesi Tenggara pengaruh Islam
sudah terlanjur tertanam. Tahun 1929, terdapat 726 orang Kristen di wilayah kerja
NZV. Gereja Toraja mandiri pada tahun 1937 dengan anggota sekitar 25.000 orang
(10% dari penduduk), Tahun 1966anggota GKSS berjumlah 6.000 orang
C. KESIMPULAN
Dari hasil pembacaan buku Ragi Carita ini, dapat dikatakan bahwa benih-benih
Injil yang ditaburkan di tanah Sulawesi menghasilkan buah yang baik di setiap daerah-
daerah pekabaran Injil. GMIM, GMIST, GKST, GKSS, GT, merupakan hasil dari benih
kasih dan karya Yesus melalui para misionaris yang menyerahkan diri mereka
sepenuhnya pada tugas pemberitaaan Injil di tanah Sulawesi. Berbagai hambatan dan

6
kesulitan dalam proses penginjilan tidak mematahkan semangat para misionaris
melakukan pekerjaannya dengan metode-metode yang dipakai. Kekristenan dapat
menjangkau tanah Sulawesi sampai ke pedalamannya. Tidak hanya memperhatikan
pelayanan dalam gereja, namun aspek-aspek lainnya juga turut diperhatikan, seperti
di bidang pendidikan, dengan mendirikan sekolah-sekolah dan mengutus tenaga-
tenaga pengajar, di bidang kesehatan dengan mendirikan RS, poliklinik serta di
bidang sosial lainnya.
Dapat dipelajari Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan dalam setiap proses dan
dengan adanya kerja keras dan selalu meminta pertolongan Tuhan, usaha yang
dilakukan tidak akan gagal. Proses PI di Sulawesi dapat dijadikan pembelajaran dan
refleksi bagi gereja sekarang untuk menentukan langkah ke depan yang harus
diambil. Setiap orang Kristen harus menghormati dan menghargai proses penginjilan
pada masa lampau dan menjadi tugas sekarang untuk tetap mempertahankan
eksistensi gereja-gereja di Sulawesi, yang merupakan warisan para misionaris yang
harus dijaga dan tetap memelihara dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab
gereja.

Anda mungkin juga menyukai