Anda di halaman 1dari 4

Gereja Santo Yusuf atau St.

Yoseph atau Gerja Gedangan di Jalan Ronggowarsito


merupakan cikal bakal gereja Katolik di Indonesia. Sebelumnya, sekitar tahun 1808,
Gubernur Jenderal Deandels yang saat itu menjadi penguasa di Hindia Belanda (Indonesia)
mengangkat dua orang imam praja dari Belanda untuk melayani umat Katolik bangsa Eropa
di Indonesia. Tepatnya 8 Mei 1807 Prefektur Apostolik Batavia berdiri[2]. Tahun 1808
datang ke Indonesia 2 imam praja dari Belanda. Tanggal 27 Desember 1808, Gubernur
General Deandels memutuskan dengan beslit bahwa Pastor Lambertus Prinsen Pr, menjadi
pastoor di Semarang. Esoknya, 28 Desember 1808, Pastor Prinsen tiba di Semarang. Sejak
itu Semarang menjadi stasi. Wilayahnya meliputi Jateng, Jatim, dam Jabar. Ketika itu,
umat Katolik belum memiliki tempat ibadah sendiri dan masih menumpang melakukan
ibadah di Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Immanuel atau Gereja Blenduk di dekat
Taman Srigunting, kawasan (Kota Lama), misa selalu diselenggarakan di gereja Protestan
tersebut. Sehubungan dengan itu, pada 29 Januari 1809 dibentuklah suatu “Kerkeraad”
(sekarang PGPM). Baru pada tahun 1815, dibangun sebuah Gereja Katolik, yakni Paroki
Santo Yusup Semarang (Gereja Gedangan).

Baptisan pertama terjadi pada 9 Maret 1809. Selama tahun 1809 tercatat 14 orang yang
dibabtis. Tahun-tahun berikutnya baptisan mengalami perkembangan: tahun 1810
sebanyak 31 orang, tahun 1811 dibaptis 17 orang. Bahkan pada tahun 1812 sebanyak 133
orang dibaptis di beberapa tempat, seperti di Semarang, Salatiga, Klaten, Yogyakarta[3].
Tahun 1813 tercatat ada di Rembang, Jepara, Tegal, Pemalang. Tahun 1815 mulai ada
warga katolik yang menyediakan rumahnya untuk misa. Tanggal 7 Agustus 1815 untuk
pertama kalinya Misa dapat dilakukan di rumah sendiri. Sejak itu misa dirayakan di rumah
warga tersebut. Tahun 1822 Pastoor Prinsen membeli rumah besar. Rumah itu digunakan
sebagai gereja dan tingkat atas digunakan untuk pastoran. Tepat 1 Agustus 1824
diselenggarakan pertama kali misa di “gereja” sendiri[4].

Namun, perjalanan Gereja Katolik sempat mengalami hambatan. Selama 1845-1847 semua
pastor Belanda di Indonesia diusir, termasuk Uskup Groff, oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda saat itu, Rochussen. Berkat perundingan dengan takhta suci (Vatikan) pada 1848,
campur tangan Pemerintah Belanda diperlunak dan Gereja Katolik di Indonesia bisa terus
berkembang.

Semenjak kedatangan 2 imam tersebut, selama 50 tahun lebih lamanya imam-imam sekulir
dari Belanda bekerja di seluruh Indonesia. Jumlah mereka tidak pernah lebih dari 10,
seringnya 3 – 4. Melihat situasi tersebut, Mgr. Vrancken mengundang imam-imam dari
tarekat-tarekat. Ordo Jesuit menerima undangan misi tersebut dan tahun 1859 datanglah
2 pastor Jesuit. Mereka ditempatkan di Surabaya. Dalam usaha memiliki gereja sendiri,
bulan Oktober 1859 Pastor J. Lijnen Pr, memulai pengumpulan dana[5]. Melihat situasi
tersebut, tahun 1860 pemerintah memberi Gereja Misi sebidang tanah.

Di tahun (2 Agustus) 1859 tersebut, bagian tenggara stasi Semarang mulai dipisah.
Berdirilah Gereja Ambarawa yang menjangkau wilayah; Ambarawa, Salatiga, Solo, Madiun,
Pacitan[6]. Pada tahun 1862 sudah ada Jesuit (Yohannes F van der Hagen, SJ) yang
ditempatkan bertugas di Ambarawa dan Yogyakarta. Tahun 1865 stasi kedua dipisahkan
dari Semarang. Berdirilah Gereja Yogyakarta dengan wilayah Yogyakarta, Kedu, Bagelen,
Banyumas. Tahun 1865 pastoor J. Lijnen Pr pergi ke negeri Belanda untuk mencari tenaga
bantuan dan 2 tahun kemudian kembali ke Semarang bersama-sama suster Fransiskanes[7].
Pada awalnya, suster-suster tersebut menangani panti asuhan Gedangan.
Tanggal 1 Oktober 1870, Pastoor J. Lijnen melakukan peletakkan batu pertama guna
mengawali pembangunan gedung gereja St. Yusup di atas tanah pemberian pemerintah.
Menjelang selesainya pembangunan, bulan Mei 1873 gereja yang sudah setengah jadi tiba-
tiba roboh. Selanjutnya dilakukan perbaikan[8]. Tanggal 12 Desember 1875 bangunan
gereja tersebut diberkati Pastoor. J. Lijnen. Tahun 1876 sudah ada Jesuit yang
ditempatkan bertugas di Semarang untuk membantu pastoor diosesan.

Tanggal 10 Juni 1882 Pastor Lijnen meninggal dunia dan digantikan oleh Pastor J. De Ories
SJ. Maka sejak tahun 1882 stasi semarang diserahkan pada paderi-paderi Jesuit. Pastor J.
De Ories SJ kemudian ditunjuk sebagai Superior para Jesuit, dengan demikian pusat
pimpinan para Jesuit pindah ke Semarang.

Tahun 1888 suster-suster Fransiskanes mendirikan sekolah SD St. Maria di Gedangan. Tahun
1894, 2 orang Protestan, Pak Johanes dan Pak Andreas Martaatmadja, menjadi Katolik[9].
Karena mahir berbahasa Melayu dan Jawa, mereka menjadi guru bahasa antara paderi-
paderi Belanda dengan bangsa Jawa. Tak lama kemudian kepala kampung dan beberapa
guru Protestan menjadi Katolik. Di Ambarawa, Pati, Kudus, Purwodadi, dsb juga ada
orang-orang yang masuk menjadi Katolik. Hingga tahun 1895 di Semarang dan sekitarnya
sudah ada 235 orang Katolik. Di tahun 1896 datanglah Pastoor F. Van Lith dan Pastoor
Petrus Hoevenaars ke Gedangan. Beberapa lama di Gedangan, Pastoor Van Lith sibuk
dengan belajar bahasa Jawa. Mulai 1899 mereka berkarya di Mendut dan Muntilan[10].
Tanggl 22 Desember 1897 berdiri MC atau Konggregasi Maria.

Menginjak Tahun 1900

Tanggal 14 Desember 1903 dipermandikanlah 171 orang pribumi Sendangsono dan


Kalibawang oleh Pastoor Van Lith[11]. 21 Juni 1911 datang 4 bruder dari St. Louis untuk
mengasuh anak yatim piatu yang laki-laki, mereka adalah bruder-bruder St. Aloysius.
Tahun 1911 suster-suster Fransiskanes membuka sekolah baru di Bangkong. 15 Juni 1915
para bruder dan anak laki yatim piatu pindah ke Candi[12]. Tahun 1918 Pastoor Van Lith SJ
mendirikan Yayasan Canisius di Muntilan, yang saat itu sudah mengelola 270 sekolah. 30
Oktober 1921 di Bangkong berdiri kapel kompleks susteran. Sejak itu kapel diresmikan dan
dibuka sebagai gereja pembantu. Beberapa tahun kemudian bruder-bruder St. Aloysius
mengelola/memelihara anak-anak laki yatim piatu di Candi lama.

Tahun 1925 Pastoor Simon Beekman SJ tiba di Gedangan dan mulai berkarya di antara
masyarakat Tionghoa[13]. Tahun 1926 membeli tanah dan bangunan di Randusari. Tahun
1927 dibuka menjadi gereja dan pasturan, sedangkan peresmian sebagai gereja ditunda
sampai tahun 1930 dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1927[14]. Tahun 1928 stasi-stasi
pembantu sebelah timur kota Pati dioper oleh Prefektur Surabaya. 4 tahun kemudian stasi-
stasi sebelah barat Weleri dioperkan pada Prefektur Purwokerto. Tahun 1928 gereja
Bangkong dan stasi-stasi Kudus, Pati, Juana diserahkan kepada para romo MSF[15]. Tahun
1930 didirikan pusat gereja di Kebon Dalem[16]. Tanggal 22 Maret 1931 diresmikan rumah
retret di daerah Giri Sonta. Tanggal 23 Januari 1938 datang 6 suster PI ke Semarang. Mulai
saat itu, mereka berkarya di Kebon Dalem.

Memasuki Masa Vikariat Apostolik

Tgl 9 Agustus 1940 Jawa Tengah menjadi Vikariat Apostolik dan gereja Randusari diangkat
sebagai Katedral[17]. Berikutnya pada 30 September 1940 Mgr. A. Soegijapranata SJ
ditahbiskan sebagai uskup. Menimbang situasi yang ada, maka Vikariat Apostolik Semarang
sejak 1940 masih menumpang di halaman gereja Gedangan. Tanggal 26 Juli 1942 di Gereja
Bintaran ditahbiskan Romo-romo Diosesan Indonesia yang pertama.

Pada masa pendudukan Jepang, gereja Randusari dipelihara oleh seorang pamong Jiwa
bangsa Jawa, sedangkan Gedangan dipelihara oleh Uskupnya yang berturut-turut tiap pagi
mempersembahkan misa berganti-ganti di gereja Gedangan, Susteran Gedangan, Kebon
Dalem, Atmodirono dan Karangpanas. 1954 lahir Ikatan Buruh Pancasila di Gedangan
dibawah bimbingan Pater Jan Dijkstra yang menjadi Romo paroki. Selanjutnya muncul juga
Serikat Nelayan Pancasila dan Serikat Tani Pancasila.

1956 Kebon Dalem menjadi Gereja yang terpisah dari Gedangan. Tahun 1952 Purwodadi
menjadi Gereja yang terpisah, 1954 daerah Weleri dengan gereja St. Martinus menjadi
Gereja terpisah dan 1963 Sukorejo dengan gereja St. Isidorus juga mulai terpisah dari
Gedangan[18].

Tahun 1950 Pater Jan Van Waijenburg SJ mendirikan sekolah Loyola. Tanggal 20
September 1953 Kolese Loyola diresmikan. Tahun 1953 pula Bruder Haiken mendirikan
Kebon Kayu, yang pada tahun 1970 berkembang menjadi PIKA. Pada tahun 1956 Jesuit
Indonesia mendapat status Vice Propinsi. Tanggal 8 September 1971 menjadi propinsi
penuh.

Setelah tempat memungkinkan, pada 20 Agustus 1961 Mgr. Soegijapranata pindah ke


wisma keuskupan. Kemudian pada 3 Januari 1962 Vikariat Apostolik Semarang diputuskan
menjadi Keuskupan Agung Semarang.

Thn 1955 Legio Maria mulai dikenal di Semarang berkat Rm Chang Peng Tu Pr. Tahun 1975
muncul kelompok Christian Life Community (CLC, atau KHK, Komunitas Hidup Kristiani)
sebagai pembaharuan dari kelompok MC. Tahun 1978 mulai berkembang gerakan
kharismatik di Gedangan. Tahun 1980 muncul Persekutuan Karismatik sebagai hasil
pembaharuan yang lain dari MC[19]. Mengingat perkembangan umat dan kota Semarang,
tahun 1991 Rm Anton Mulder SJ memulai niat untuk membangun gereja di daerah bagian
Timur gereja Gedangan. Tanggal 9 Mei 1991 dibentuklah PGPM St. Ignatius. Tahun 1998
PGPM membeli tanah di Banjardowo dengan maksud sebagai lokasi berdirinya gereja.
Tanggal 3 Juli 2005 gereja St. Ignatius Banjardowo Semarang diberkati. Meski begitu
gereja Banjardowo belum terpisah dan belum menjadi paroki tersendiri.

Pustaka:
[1] Disarikan dari sumber: A. Soegijapranata SJ & C. Sugiri, Satu Setengah Abad Gereja
Katolik di Semarang, Gedangan, 1958; Anonim, Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan,
sampul biru; Panitia, Buku Kenangan 180 th Paroki St. Yusup Semarang, 1988; Panitia,
Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung Gereja,
Gedangan, 2000; Panitia, Kenang-kenangan 125 th Gereja St. Yusup Semarang Malam Tali
Kasih, 2000, kecuali jika ada perbedaan akan diberi keterangan khusus dengan sumber
utama yang dipegang adalah buku pertama.
[2] Jacques Veuger MSF, Permulaan Misi MSF di Jawa, Yogyakarta, 1996. Batavia diangkat
menjadi Vikariat Apostolik tanggal 20 September 1847.
[3] Sumber, Buku Kenangan 180 th Paroki St. Yusup Semarang, Kenang-kenangan Malam
Tali Kasih 125 th Gereja St Yusup.
[4] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung
Gereja, tertulis misa I tanggal 7 Agustus 1822.
[5] Deasy Otavia, Kajian Gaya Arsitektur Gereja St. Yusuf Semarang, Bandung, Skripsi,
2005.
[6] Dalam Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan, sampul biru, tertulis 1862 paroki
Ambarawa berdiri (Sementara masa berkarya pastor de Bruijn (1872-1879; 1882-1900)
status stasi ditingkatkan menjadi paroki > 1896).
[7] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung
Gereja tertulis Pastor J. Lijnen pergi ke Belanda tahun 1868 dan tanggal 5 Februari 1870
tiba di Semarang 11 suster dipimpin Ibu Alphonse.
[8] Deasy Otavia, Kajian Gaya Arsitektur Gereja St. Yusuf Semarang, Bandung, Skripsi,
2005.
[9] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung
Gereja, dituliskan pada tahun yang sama, 1894 seorang pendeta Protestan yang bekerja di
Ambarawa, Mattheus Teffer, ingin menjadi Katolik. Beberapa waktu kemudian ia,
beberapa katekis dan beberapa pengikutnya menjadi Katolik.
[10] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung
Gereja ditulis, menjelang Paskah mereka berangkat ke Muntilan. Tahun 1897 Pastoor Van
Lith sudah di Muntilan.
[11] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung
Gereja tertulis tahun 1904 terjadi baptisan masal 168 orang di Kalibawang, sedangkan
dalam Garis-garis Besar Sejarah Gereja Katolik KAS, tertulis tanggal 14 Desember 1904
dengan jumlah 172.
[12] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung
Gereja, dikatakan 26 September 1915 kompleks panti asuhan dan gereja di Karangpanas
selesai berdiri. Gereja dipakai juga sebagai gereja paroki.
[13] Dalam Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan, sampul biru.
[14] Dari buku: Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th
Gedung Gereja dituliskan bahwa peresmian gereja Randusari dilakukan pada tanggal 9
Oktober 1927.
[15] Sumber buku Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th
Gedung Gereja dituliskan th 1932 MSF mulai berkarya di Bangkong, 1934 berkarya di
Kudus, Demak, Jepara dan 1956 di Purwodadi dan Gubug.
[16] Dalam Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan, sampul biru, tertulis tahun 1936
kompleks Kebon Dalem dibeli Pastoor Beekman SJ. Buku sumber Sejarah Gereja St. Yusup
Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung Gereja tertulis, Pastor Beekman tanggal
26 November 1936 membeli kompleks Yayasan Soli Bei di Kebon Dalem untuk Panti
Asuhan, Sekolahan, Susteran dan Gereja. Baru tgl 16 Desember 1937 bangunan gereja di
resmikan.
[17] Di buku Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung
Gereja, dikatakan pada tanggal 25 Juni 1940 didirikan Vikariat Apostolik Semarang.
[18] Dalam Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan, sampul biru dan Sejarah Gereja St.
Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung Gereja.
[19] Sumber, Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung
Gereja, 12 Desember 1875 – 12 Desember 2000.
Sumber :
http://historiadomus.multiply.com/journal/item/2/001_Sejarah_Gereja_Paroki_Santo_Yu
sup_Gedangan?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Anda mungkin juga menyukai