Anda di halaman 1dari 6

Outilne Penelitian Sejarah Indonesia Tematis

FX Nathanael Setiawan

214314017

Peran Konregasi Imam – Imam Hati Kudus Yesus (SCJ) dalam Penyebaran Agama Katolik di
Lampung dan Kepada Komunitas Transmigran Jawa beragama Katolik di Pringsewu - Metro
Tahun 1926-1940

Latar Belakang

Gereja Katolik di Indonesia, dimulai dengan kedatangan misi Portugis pada abad ke-
16, yang pertama kali mendarat di Maluku pada tahun 1512. Mereka kemudian menetap di
beberapa pulau di Maluku, seperti Ternate, Banda, Seram, Ambon, dan Timor, sambil
memperluas pengaruh Portugis. Di sini, mereka bersaing dengan Spanyol untuk menguasai
wilayah tersebut, meskipun sebelumnya telah ada Perjanjian Tordesillas pada tahun 1494
yang seharusnya mengatur pembagian wilayah antara kedua negara, dengan Portugis
menguasai bagian timur dan Spanyol menguasai bagian barat. Namun, perjanjian tersebut
tidak diindahkan oleh kedua belah pihak, dan pada tahun 1529, Perjanjian Zaragoza yang
diadakan oleh Paus Alexander VI memastikan hak wilayah bagi kedua negara. Perkembangan
ajaran Katolik di Maluku terhalang oleh beberapa pejabat Portugis yang menghambat
aktivitas para rahib, tetapi pada tahun 1536, Simon Vaz menjadi martir pertama di Maluku.
Kemudian, dengan kedatangan misionaris Jesuit, seperti St. Fransiskus Xaverius, usaha misi
Katolik mulai berkembang.

Babak baru dalam perkembangan Gereja Katolik di Indonesia terjadi setelah


kedatangan Belanda. Prefektur Apostolik Batavia didirikan pada tahun 1807 dan ditingkatkan
menjadi Vikariat Apostolik pada tahun 1842, yang meliputi wilayah Hindia Belanda. Vikaris
Apostolik pertama, Mgr. Jacobus Grooff, dilantik pada tahun 1842. Pada tahun 1866, Mgr.
Petrus Maria Vrancken mengirim laporan ke Roma yang mencatat delapan stasi di wilayah
vikariat tersebut, dengan jumlah umat Katolik sekitar 23.534 orang. Stasi terbesar adalah
Larantuka dengan 11.200 orang. Namun, jumlah tenaga pelayan yang terbatas, yaitu 12
pastor, 4 bruder dari kongregasi Aloysius, dan 30 suster Ursulin, tidak sebanding dengan
luasnya wilayah yang harus dilayani. Oleh karena itu, Mgr. Petrus Maria Vrancken meminta
lebih banyak lagi tenaga pelayan kepada Paus Pius IX.
Pada tanggal 30 Juni 1911, wilayah Sumatera yang sebelumnya merupakan bagian
dari wilayah Apostolik Batavia dipisahkan dan menjadi wilayah Apostolik Sumatera dengan
pelayanan yang diberikan oleh Ordo Kapusin. Kemudian, pada tahun 1923, wilayah Sumatera
bagian selatan mengalami pemekaran dengan Tanjung Sakti sebagai pusat pelayanan yang
diberi nama Prefektur Apostolik Bengkulu. Wilayah ini meliputi Palembang, Lampung, dan
Jambi, dan pelayanannya diserahkan kepada Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus
(SCJ).

Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus (SCJ) didirikan pada tanggal 13 Juli 1877
oleh Pater Leo Dehon. Awalnya, institusi ini disebut Institusi Oblat Hati Kudus Yesus, tetapi
pada tahun 1884, institusi ini harus dibubarkan karena perwahyuan yang masih bersifat
subjektif dan tidak dapat dipastikan keasliannya. Ini menunjukkan kompleksitas dalam
tafsiran dan pemahaman terhadap pengalaman spiritualitas.

Dokumen yang ditandatangani pada tanggal 3 Februari 1888 mengizinkan perubahan


nama Serikat Hati Kudus Yesus menjadi "Serikat Imam-Imam Hati Kudus Yesus Yang Maha
Kudus" dengan tambahan "Imam-Imam." Ini memberikan societas baru ini wewenang untuk
membuka karya misi di tempat-tempat baru. Awalnya, pada tahun 1878, mereka memulai
karya pertama di St. Quentin, Prancis, dan pada tahun 1883 membuka Seminari Apostolik di
Sittard, Belanda. Ekspansi mereka meluas ke berbagai negara, termasuk pembukaan rumah di
Luxemburg pada tahun 1895, Denmark pada tahun 1903, dan Bohemia pada tahun 1904.
Pada tahun 1888, mereka membuka karya misi di Amerika Latin, diikuti oleh kehadiran di
Afrika pada tahun 1897, termasuk Kongo. Pada tahun 1898, mereka melebarkan misi ke
Tunisia, tahun 1912 ke Kamerun, dan tahun 1923 memimpin Prefektur Apostolik Gariep di
Afrika Selatan. Di Asia, tiga anggota Serikat Imam-Imam Hati Kudus Yesus tiba di Sumatera
pada tahun 1923, dan setahun kemudian membuka misi di Filipina.

Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus (SCJ) dalam penyebaran agama Katolik di
Pringsewu - Metro antara tahun 1926 hingga 1940 sangat signifikan dalam menghadapi
dinamika perkembangan dan perubahan. Awalnya, Gereja Katolik di Lampung dimulai
dengan transmigran Katolik dari Jawa yang mendiami daerah ini. Ini terjadi seiring dengan
program kolonisasi Hindia Belanda pada awal abad ke-20 untuk mengatasi masalah
kepadatan penduduk di Jawa dan meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin.

Koloni awal di Lampung dibangun dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda, dan
para migran ini mendirikan Desa Bagelen sebagai tempat tinggal mereka. Pemerintah
mendukung migrasi ini dengan memberikan bantuan makanan, peralatan rumah tangga, dan
alat pertanian kepada keluarga-keluarga migran. Program kolonisasi ini adalah bukti dari
perhatian Kerajaan Belanda terhadap wilayah jajahannya, khususnya Hindia Belanda.

Dalam konteks ini, peran SCJ menjadi penting dalam memberikan dukungan rohani
dan pembinaan kepada umat Katolik di wilayah ini. Mereka membantu dalam pembentukan
komunitas Katolik yang kuat dan memfasilitasi pertumbuhan Gereja Katolik di Pringsewu -
Metro. Ini mencerminkan bagaimana agama Katolik mengakar dan berkembang di
lingkungan yang beragam seperti wilayah Lampung pada periode tersebut.

Refleksi

1. Sejarah Panjang: Gereja Katolik di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, dimulai
dari kedatangan misi Portugis pada abad ke-16. Misi Katolik berkembang dan
beradaptasi dengan lingkungan serta dinamika politik di wilayah ini.
2. Perjuangan Misi: Misi Katolik di Indonesia tidak selalu mulus. Terdapat persaingan
antara Portugis dan Spanyol dalam upaya menguasai wilayah-wilayah di Indonesia,
meskipun seharusnya sudah ada perjanjian pembagian wilayah.
3. Perkembangan di Bawah Belanda: Setelah kedatangan Belanda, Gereja Katolik di
Indonesia mengalami perkembangan baru. Didirikannya Prefektur Apostolik Batavia
pada tahun 1807 dan pemekaran wilayah menjadi Vikariat Apostolik serta peran SCJ
dalam pengembangan gereja di wilayah ini mencerminkan komitmen gereja dalam
mengakar dan tumbuh di Indonesia.
4. Pemekaran Wilayah: Pemekaran wilayah gereja menjadi Penting untuk menyediakan
pelayanan rohani yang lebih efektif di wilayah yang luas dan beragam. Pemekaran
menjadi salah satu langkah dalam memenuhi kebutuhan umat Katolik.
5. Peran SCJ: Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus (SCJ) memainkan peran
penting dalam pengembangan dan penyebaran agama Katolik di Indonesia, termasuk
wilayah Pringsewu - Metro. Mereka membantu dalam pembentukan komunitas
Katolik yang kuat dan memfasilitasi pertumbuhan gereja di lingkungan yang
beragam.
6. Kolonisasi dan Migrasi: Artikel ini juga mencerminkan bagaimana kolonisasi dan
migrasi memengaruhi perkembangan Gereja Katolik di wilayah Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda mendukung migrasi penduduk untuk mengatasi masalah
kepadatan penduduk di Jawa dan meningkatkan kesejahteraan.
7. Kompleksitas Spiritualitas: Artikel ini menyoroti kompleksitas dalam pemahaman dan
tafsiran terhadap pengalaman spiritualitas dalam gereja, termasuk perubahan nama
dan struktur organisasi dalam Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus.

Gereja Katolik di Indonesia mengalami sejarah yang beragam dan kompleks, dengan
peran penting yang dimainkan oleh berbagai aktor, termasuk misi asing dan kongregasi
gereja. Gereja Katolik terus beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan politik, sambil
berupaya mengakar di tengah masyarakat Indonesia yang beragam.

Daftar Pustaka

Berkhof, Hendrikus. “Perkembangan Injil di Indonesia dai Tahun 1500 Sampai Tahun 1800.”
Dalam Sejarah Gereja, oleh Hendrikus Berkhof, 235. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009.
Dahlan, M. Halwi. “PERPINDAHAN PENDUDUK DALAM TIGA MASA: KOLONISASI,
KOKUMINGGAKARI, DAN TRANSMIGRASI DI PROVINSI LAMPUNG (1905-
1979).” Patanjala , 2014: 338-340.
Hendrowarsito, H.B. Tulisan Tanpa Judul. Buku Permandian, Pringsewu: 32.
Hermelink, Albertus. Kolonisatie in Zuid-Sumata en de misie. 25, KMT 22, 1939.
Hutahaean, Wendy Sepmady. “Hakikat Sejarah Gereja Indonesia.” Dalam Sejarah Gereja
Indonesia, oleh Wendy Sepmady Hutahaean, 1. Malang: Ahlimedia Press, 2017.
M. Winiberta, M adeline. “Kenangan, 2.”.
Miftakhudin. “Hukum Kolonial.” Dalam Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan
Menuju Hegemoni, oleh Miftakhudin, 31-34. Jawa Barat : Jejak Publisher, 2019.
Neilen, M. In Sumatra prionieren in het oerwoud. 62-64, RHH 36, 1937.
Oort, H. J. D Van. Brief van P. van Oort uit Telok Betong. 204-206, RHH, 1926.
Pere, Le. “Surat Le Pere Dehon.” Dalam Dehon et Mere Marie du Scare Coeur de Jesu, oleh
Le Pere, 592. STD, 2003.
Pringsewu, Panitia Perayaan Syukur 75 Tahun Gereja Paroki S. Yosep. Mutiara Di Rumpun
Bambu. Pringsewu: Seksi Publikasi, 2017.
R. Adinda Kesumajati, R.M. Sinaga, Yustina Sri Ekwandari. “Peran Albertus Hermelink
Gentiaras SCJ dalam Pengembangan Agama Katolik di Lampung.” FKIP Universitas
Lampung, 2017: 1.
SCJ, Cees Van Paasen. “Misi SCJ di Pringsewu : Model Misi Kolaboratif.” Dalam Padi
Tumbuh Tak Terdengar (Padi Groeit Geruisloss), oleh Cees Van Paasen SCJ, 252.
Palembang: Rumah Dehonian, 2018.
SCJ, Cees van Paassen. “Metro: Model Misi Di Antara Para Transmigran dari Jawa.” Dalam
Padi Tumbuh Tak Terdengar, oleh Cees van Paassen SCJ, 266. Palembang: Rumah
Dehoniaa, 2018.
SCJ, Cees Van Passen. “Benih Misi dan Penaburnya.” Dalam Padi Tumbuh Tak Terdengar
(Padi Groeit Geruisloss), oleh Cees Van Passen SCJ, 10-23. Palembang: Rumah
Dehonian, 2018.
Sunu, Herman Yosep. “Pendirian Wilayah Gerejani Sumatera Selatan .” Dalam Kawanan
Kecil di Sumatera Selatan 1848-1942, oleh Herman Yosep Sunu, 199-200. Jakarta:
Cahaya Pineleng, 2009.
1. Berfokus pada fakta-fakta esensial yang mencakup kejadian aktual, kecelakaan, politik,
ekonomi, dan isu-isu serius lainnya.

2. Dilaporkan secara objektif tanpa penambahan opini pribadi penulis atau redaksi.
Tujuannya adalah memberikan informasi yang akurat dan netral.

3. Menggunakan bahasa formal, ringkas, dan langsung ke poin tanpa banyak penghiasan
bahasa.

4. Memusatkan perhatian pada isu-isu terkini dan penting bagi masyarakat, seperti kebijakan
pemerintah, peristiwa penting, dan bencana alam.

5. Mengikuti struktur tradisional yang dimulai dengan informasi paling penting dan diikuti
dengan rincian tambahan, sering disebut sebagai "piramida terbalik".

6. Mengandalkan informasi dari sumber yang dapat dipercaya dan diverifikasi, seperti
lembaga pemerintah, ahli, atau organisasi terkemuka.

7. Membatasi atau menghindari pendapat pribadi atau opini penulis, lebih berfokus pada fakta
yang jelas dan terverifikasi.

8. Menyoroti masalah yang relevan bagi masyarakat secara umum, seperti kebijakan publik,
lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
9. Menghindari sensasionalisme dan berfokus pada presentasi berimbang dan akurat dari
peristiwa dan isu-isu yang dilaporkan.

Anda mungkin juga menyukai