Anda di halaman 1dari 15

Nama : Julianto Oloan Napitupulu

Kristian Sinaga

Ririn Juliana Simbolon

Tingkat/jurusan : IIIC/Teologi

Mata Kuliah : Sejarah Gereja Indonesia II

Dosen Pengampu : Berthalyna Br. Tarigan, MTh Kelompok 2

GEREJA DI MINAHASA

I. Pendahuluan
II. Pembahasan
II.1. Latar Geografis Minahasa
Minahasa adalah tanah wilayah yang terletak di bagian Pulau Sulawesi.
Jika dilihat dalam peta Dunia, daerah ini berukuran kecil saja dengan latak
Geografis 1.32 LU dan 124.55 BT dan daerah ini tidak besar dari Kabupaten
Bogor yang berada di Kepulauan Jawa Barat jika diamati lewat peta Indonesia.
Daerah ini, walaupun memiliki wilayah yang kecil namun ada keunggulan besar
yang dimiliki, bila dilihat dari aspek sosial, budaya, historis, antropologis,
etnografis, filosofi, psikologia, geopolitik dan geostrategic yang masing-masing
aspek ini memiliki daya tarik tersendiri dan merupakan potensi yang pantas untuk
diperhitungkan.1
Pada abad ke-17 sekitar tahun 1693 nama Minahasa diciptakan oleh orang
pribumi Minahasa yang terdiri dari dasar kata Esa yang artinya satu, kemudian
ditambah dengan awalan kata Minaha. Kata Minaha dan Esa dalam pelafalanya
menjadi Minahasa atau Minaesa yang terdapat diartikan telah bersatu. Minahasa
barulah diresmi digunakan sejak abad ke-19.2 Satu keunikan yang juga dimiliki

1
Phill. M. Sulu, Quo Vadis Tou Minahasa? (Goresan Peristiwa Melintas Masa) Dari Keunggulan
Sampai Kelengahan, (Yogyakarta: Graha Cendikia, 2006), hal 1
2
Beatrix B. B. Leongkong, The Cristian Evangelical Church In Minahasa Durung The Japanese
Occupation (Jakarta, 1987), hal 4
oleh daerah Minahasa yakni Primordialisme yang tumbuh dikalangan
masayarakat setempat tanpa arogansi, dibandingkan dengan subetnis lain yang
ada di Nusantara.
II.2. Latar Belakang Masuknya Kekristenan di Minahasa
Dalam tahun 1560-an agama Kristen mendapat tempat berpijak di
Sulawesi Utara dan kepulauan Sangir-Talaud. Di sini pula, penyebaran
Kekristenan jalin-menjalin dengan persaingan antara orang-orang Portugis dan
Ternate, kemudian orang-orang Spanyol dan orang-orang Belanda. Pada tahun
1536, Sultan Hairun bermaksud hendak mengirimkan pasukan-pasukan tentara ke
Sulawesi Utara untuk menaklukkan daerah itu. Rencana itu tercium oleh orang-
orang Portugis, dan mereka tidak suka akan perluasan kekuasaan sultan yang akan
menjadi akibatnya. Oleh karena itu mereka berusaha mendahului sultan. Dua
korakora Portugis berlayar ke Sulawesi, dan tentu saja seorang misionaris ikut-
serta dalam ekspedisi itu. Mereka sampai di Menado pada bulan Mei 1563.
“Menado” itu adalah Menado lama, yang terletak di suatu pulau kecil lepas pantai
Minahasa. Pulau ini tampaknya lebih banyak mempunnyai hubungan dengan
dunia luar daripada daratan Minahasa dan organisasi politisnya sudah berupa
kerajaan, padahal daerah-daerah Minahasa lainnya masih teratur secara
tradisionil. Sesampai di Menado, sang misionaris, Pater Magelhaes, disambut
dengan gembira. Penduduk ingin sekali menerima agama orang-orang Portugis.
Pater Magelhaes menggunakan waktu dua minggu dalam mengajar mereka
tentang pokok-pokok agama Kristen, “disesuaikan dengan daya pengertian
mereka”.3
Seperti halnya dengan gereja-gereja di Maluku, di Timor dan di Sangir
Talaud, maka gereja di Minahasa berasal dari zaman VOC, bahkan sebenarnya
sudah dari zaman Portugis. Di daerah Minahasan injil diperdengarkan untuk
pertama kalinya pada tahun 1563. Seorang padri yang bernama Magelhaes
membaptis seorang raja beserta dengan kira-kira 1500 orang penduduk. 4 Orang-
orang Minahasa masuk Kristen secara massal. 75% penduduk Tondano telah
dibaptis setelah zending bekerja disana 25 tahun lamanya. Setelah setengah abad
3
Van Den End, Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1,80.
4
Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 105.
(1880) ada 80.000 orang Kristen di seluruh Minahasa, disamping 17.000 orang
yang masih menganut agama nenek-moyang. Kemajuan itu terjadi tanpa adanya
tekanan dari pihak pemerintah Belanda. Cukup banyak orang yang bersedia
menanggung beban tambahan, yakni katekisasi-sidi. 5
II.3. Kekristenan di Minahasa pada masa Hindia Belanda
Selama abad ke-19 dan sampai reorganisasi tahun 1935, GPI merupakan
wadah kesatuan yang mencakup orang-orang Kristen Eropa dan sebagian besar
orang Kristen Indonesia. Dalam ppasal ini akan dibahas sejarah wadah kesatuan
itu sendiri Bersama sejarah golongan Eropa yang termasuk di dalamnya.
II.3.1. Pertumbuhan
Usaha penginjilan di Minahasa mengalami perkembangan setelah
terbentuknya suatu lembaga utusan Injil negeri Belanda yang dikenal
dengan nama Nederland Zendeling Genootschap (NZG). Bertujuan
untuk meningkatkan pekabaran Injil dan mengurus jemaat-jemaatnya.
Alasan didirikannya lembaga ini adalah karena pada zaman VOC
belum ada tenaga pendeta yang tetap, semuanya dilakukan dengan
perjuangan yang tidak tetap. Penginjil NZG pertama yang
mengunjungi Minahasa adalah Josep Kam yang tiba di Manado pada
tahun 1817. Ia mengusulkan kepada pemimpin NZG yang berpusat di
Nederland untuk menjadikan Minahasa sebagai salah satu daerah
penginjilan.6
II.3.2. Perkembangan
Setelah Minahasa dijadikan sebagai wilayah pekabaran Injil oleh
NZG. Maka pada tahun 1829 di Minahasa terdapat 10 wilayah
pekabaran Injil yaitu: Tondano, Langowan, Amurang, Tomohon,
Kema, Sonder, Kumelembuai, Sonder, Ratahan dan Talawaan. 7 Bahwa
usaha penginjilan di Minahasa tidak dilakukan oleh Gereja Belanda
melainkan oleh NZG atau Yayasan Penginjilan Nederland, didirikan
oleh orang-orang Kristen yang dipengaruhi oleh Pietisme. Pietisme
5
Th. Van Den End, Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2021), 175-176.
6
Th. Van Den End, Ragi cerita I, (Jakarata: BPK-GM, 1980), 86.
7
Th. Kruger Muller, Sejarah Gereja di Indonesia, 107.
adalah satu aliran teologi yang memusatkan perhatian pada
pertumbuhan dan perkembangan iman dalam kehidupan pribadi,
cenderung mengabaikan dimensi lain daripada iman seperti penciptaan
dan pemeliharaan alam, juga memberikan perhatian pada pengalaman
subjektif atau pengalaman spiritual.8. Pada abad ke-19, Badan Zending
di Belanda yaitu NZG, mengutus para pekabar Injil untuk bersaksi dan
melayani ditanah Minahasa. Sejak itu Injil berakar ditanah
Manado/Minahasa.
II.3.3. Pergumulan
Pelayanan zending di bidang persekolahan dipersulit oleh
kebijakan pemerintah. Dalam hal pendidikan, pemerintah Belanda
menganut dua asas yaitu pendidikan seharusnya diselenggarakan oleh
Negara, dan pendidikan itu bersifat Netral. lain ialah bahwa di sekolah
negeri itu sistem pendidikan sama sekali bersifat kebarat-baratan.
Dalam hal ini NZG menganut asas yang sama sekali lain (bnd. di atas),
tetapi sekolah-sekolahnya yang sederhana dipandang remeh oleh
masyarakat, sehingga jenis pendidikan yang diberikan di dalamya pun
dicap "rendah" saja. Barang siapa mau maju dalam masyarakat, ia
harus mengikuti pendidikan ala Barat dan sebaiknya belajar bahasa
Belanda. Sikap ini begitu berpengaruh, sehingga para pelayan gereja
mengeluh tentang adanya golongan pemuda yang tidak sanggup lagi
berdoa dan membaca Alkitab dalam bahasa Melayu, tetapi yang tidak
juga menguasai bahasa Belanda sedemikian rupa, hingga mereka dapat
melakukannya dalam bahasa itu. Pada waktu penyerahan jemaat-
jemaat kepada GPI, 80% penduduk perlu Minahasa telah menjadi
Kristen. Dalam tahun 1890-an, kelompok besar yang terakhir yang
masih berpegang pada agama suku, yaitu orang Bantik, beralih pula ke
agama Kristen. Dalam abad ke-19, para zendeling di Minahasa telah
mencoba masuk ke daerah Bolaang Mongondow, tetapi pemerintah
Hindia-Belanda terus-menerus merintangi pelaksanaan niat itu. Baru

8
Th. Van Den End, Ragi cerita I, 141.
pada tahun 1904 NZG mendapat izin untuk menempatkan seorang
zendeling di sana. la ini melayani pula para petani Minahasa yang
merantau ke daerah yang berbatasan dengannya. Pun di Gorontalo dan
Donggala terdapat sebuah jemaat Minahasa, yang dilayani scorang
pendeta pribumi. Sesudah beberapa waktu, di kedua daerah itu dijalin
hubungan dengan penduduk yang menganut agama suku dan pada
tahun 1936 daerah Gorontalo dan Donggala menjadi lapangan pl
GMIM yang sudah berdiri sendir. Di samping itu ada ratusan guru
Minahasa yang keluar dari daerah mereka, menjadi pekerja NZG atau
badan pl yang lain di daerah Poso, Toraja, Kendari, dan sampai di
Tanah Karo (Sumut). Di daerah Toraja (wilayah kerja GZB) saja,
selama masa 1915-1942 terdapat paling sedikit 40 orang guru
Minahasa. Salah seorang di antara mereka dipilih oleh jemaat Toraja
menjadi pendeta gereja Toraja yang pertama sekali. Di daerah-daerah
tersebut, pekerjaan yang dilakukan guru-guru Minahasa itu tidak kalah
pentingnya dibandingkan dengan yang dilakukan orang Ambon di luar
Maluku Tengah. Dalam tahun 1870-an, NZG ternyata tidak sanggup
lagi membiaya usaha zending di Minahasa. Menyatakan bahwa jemaat
disitu berdiri sendiri, NZG tidak berani. Akibat kebijakan zending
sendiri, belum ada organisasi gereja yang teratur, belum ada
sekelompok tokoh pemimpin yang terlatih dengan baik dan jemaat
belum bisa menanggung sendiri biaya kehidupan gerejawi. Maka
tinggal menyerahkan jemaat-jemaat di Minahasa kepada GPI.
Disepakati bahwa tenaga NZG akan dioper oleh gereja protestan.
Proses penyerahan dijalankan pada tahun 1874 dan pada tahun 1882
semua utusan zending telah menjadi pendeta bantu, sedangkan para
penolong mendapat status pendeta pribumi. Rata-rata anggota jemaat
di Minahasa hampir-hampir tidak menyadari adanya penyerahan itu,
adapula golongan lain yang memprotes penyerahan itu, walaupun lama
sesudah peristiwa. Bagi kekeristenan di Minahasa penyerahan jemaat-
jemaat kepada Indische Kerk membawa beberapa akibat yang kurang
menguntungkan, kalau dilihat dari sudut persiapan jemaat agar belajar
sendiri. Usaha mendidik jemaat, agar belajar menanggung biaya
kehidupan gerejawi, tidak usah dilakukan oleh gereja-gereja negara
itu, maka bagi orang Minahasa lebih sulit lagi merasa gereja sebagai
urusan mereka sendiri. Disamping itu cara penyerahan ini
diselenggarakan membawa akibat kerugian yang lain lagi.
Pertentangan anatar zending dengan GPI dibawa masuk kedalam
kekristenan Minahasa, pertentangan itu menjadi alasan perselisihan
antara dua kelompok orang Minahasa.9
II.4. Kekristenan Minahasa masa Gerakan nasionalisme di Indonesia
II.4.1. Pertumbuhan dan Perkembangan

Sama seperti di Maluku, begitu pula di Minahasa nasionalisme


merupakan tanah yang subur buat keinginan berdiri sendiri dalam
lingkungan gereja. Dan minahasa pun, usaha yang nyata bersumber
pada sidang raya GPI tahun 1916. Dalam rangka persiapan sidang itu,
untuk pertama kali utusan jemaat dari seluruh Minahasa sempat
berkumpul. Tindakan nyata ke arah gereja berdiri sendiri baru mulai
diambil pada tahun 1927.10 Dalam peraturan gereja tahun 1934, unsur-
unsur presbiterial digabungkan dengan unsur hierarkis, dengan sistem
presbiterial, sinode terdiri atas utusan utusan klasis dan sidang klasis
terdiri atas utusan-utusan jemaat. Selain itu, status guru jemaat diubah
agar memenuhi syarat sistem presbiteral. Yang memiliki ijazah guru
sekolah diberi hak melayankan sakramen dan mereka tidak lagi
merupakan bawahan pendeta pribumi. Guru jemaat yang tidak
berpendidikan khusus diberi status penatua. Berkat tindakan ini maka
persengketaan antara pendeta pribumi bantu dengan guru jemaat
berhenti, lebih-lebih karena pada tahun 1932 sekolah-sekolah zending
telah diserahkan kepada gereja (GPI, lalu GMIM), hingga semua
pelayan gereja kini termasuk satu organisasi. Yang dihilangkan pula

9
Th. Van Den End, Ragi cerita 2, (Jakarata: BPK-GM, 1998), 86.
10
Th. Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 93.
ialah perbedaan status antara jemaat-pusat (jemaat tempat tinggal
seorang pendeta pribumi) dengan anak-jemaat (yang dilayani seorang
guru jemaat). Di pihak lain, menurut pendapat umum dan juga dalam
praktik kehidupan gereja, diaken tetap lebih rendah daripada penatua
dan penatua lebih rendah daripada pendeta. Majelis jemaat setempat
tidak boleh menggunakan dana jemaat kecuali dengan seizin klasis dan
sinode. Sinode-lah yang harus mengesahkan anggaran belanja dan reke
ning tahunan semua dana jemaat/gereja. Sinode dapat meniadakan
keputusan klasis dan jemaat kalau keputusan itu dianggap
bertentangan dengan kepentingan gereja dalam keseluruhannya, begitu
pula klaus dapat membatalkan keputusan majelis jemaat dengan alasan
yang sama. Untuk sementara, klasis dan sinode belum memilih sendiri
ketuanya, tetapi diketuai secara tetap oleh pendeta ketua/pendeta bantu
Peraturan peraturan yang bersifat hierarkis ini dianggap masih perlu,
sebab perkembangan selama satu abad lebih tak dapat dibelokkan
secara mendadak.

II.4.2. Pergumulan
Dalam peraturan gereja ditetapkan pula asas gereja, semacam
pengakuan iman singkat, yang berbunyi "Asasnya ialah Yesus Kristus"
(1 Kor. 3:11). Asas ini sesuai dengan yang telah ditetapkan rumus
dalam Sidang Raya GPI tahun 1933. Rumus pendek itu untuk
sementara waktu dianggap cukup, karena jemaat belum pernah terlatih
untuk memikirkan dan mengungkapkan imannya sendiri dan
mempertahankannya terhadap segala macam tantangan. Selama itu
para zendeling dan para pelayan GPI yang menjadi pembela iman.
Dalam keadaan itu GMIM bisa saja menerima salah satu rumus
pengakuan iman dari Barat. Tetapi dianggap lebih baik kalau gereja
muda itu mencari dulu jawaban sendiri atas tantangan-tantangan yang
dihadapinya. Persiapan menuju gereja yang berdiri sendiri terutama
dilakukan oleh tokoh-tokoh Belanda, meskipun ada orang Minahasa
yang ikut berbicara. Maka oleh sementara orang upaya mereka itu
dicurigai, kalau kalau maksudnya hendak mengelabui orang Kristen
Minahasa saja. Akibatnya, ada sekelompok orang yang tidak sabar
menunggu berhasil tidaknya persiapan itu. Sebelum GMIM berdiri,
mereka melepaskan diri dari GPI dan membentuk Kerapatan Gereja
Protestan Minahasa (KGPM, 1933, lihat di depan. GMIM adalah
bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI). Diproklamasikan
sebagai gereja yang mandiri pada 30 September 1934, dan selama
delapan tahun pertama dipimpin oleh para pendeta Belanda, seperti:
Pdt. Dr. E. A. A. de Vreede. Kemudian, sejak tahun 1945 kepemimpin
diemban oleh pendeta pribumi dengan terpilihnya Ds. A. C. R. Wenas
sebagai pimpinan gereja. Melalui pemberitaan mereka, atas pimpinan
Roh Kudus maka pada tanggal 30 September 1934 berdirilah sebuah
gereja dengan nama Gereja Masehi Ijili di Minahasa dengan Riedel
dan Scwarz dipandang antara lain sebagai takoh penginjil didaerah ini.
GMIM juga adalah gereja daerah yang pertama didirikan oleh GPI.
Setelah GMIM berdiri ditanah Manado/Minahasa, tercetuslah sebuah
ke inginan mendirikan satu gereja di Bolaang Mongondow. Sebelum
kembali ke Belanda, Pendeta W. dunnebier memprakarsai sebuah
pertemuan besar pemimpin jemaat di Bolaang Mongondow sambil
mempersiapkan berdirinya satu Gereja di Bolaang Mongondow.
Dengan kerja keras bukan hanya dari pemimpin tetapi juga degan kerja
keras jemaat yang ada di Bolaang Mongondow maka diadakanlah
sidang Sinode pertama yang dilaksanakan di Kotamobagu pada 28 –
30 Juni 1950. Dihari pertama pertemuan diputuskanlah berdirinya
Sinode dengan nama Gereja Masehi Injili di Bolaang Mongondow
(GMIBM).11
II.5. Kekristenan Minahasa masa Gerakan nasionalisme Jepang
II.5.1. Pertumbuhan dan Perkembangan
Pada tanggal 11 Januari 1942 pasukan Jepang memasak Minahasa.
Dalam rapat luar biasa BPS pada tanggal 2 Februari 1942, Pdt. AZR
11
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jefs/article/viewFile/6633/6154 diakses pada tanggal 11 Februari 2023,
Pukul 15.03 WIB.
Wenas, Ketua II GMIM, mengambil alih tugas pimpinan Sinode dari
pendeta Belanda yang sudah ditawan, Sementara itu, pihak tentara
Jepang membentuk Kantor Agama. Kantor ini dipimpin seorang
pendeta Jepang, yang bernama Hamazaki; olch GMIM diperbantuk
dua pendeta Minahasa. Lagi Pdt. W.J. Rumambi ditempatkan di kantor
pemerintahan sipil (Minseibu) untuk menjadi pengantara secan umum,
dan Pdt. J.E. Tulung di bagian Pendidikan, Para petugas Kanter
Agama harus memberi kursus-kursus kepada para pemimpin agama,
mengunjungi jemaat-jemaat, memberi keterangan mengenai Jepang,
mengatur ketenangan antar agama/golongan, memberi bantuan
material dan membela/melindungi jemaat-jemaat dan pemimpin-
pemimpinnya kalau itu perlu. Pemerintahan Jepang memberi
kebebasan beribadah, dan malahan menawarkan untuk menanggung
gaji pendeta, yang sebelumnya dibayar oleh pemerintah Hindia-
Belanda. Tetapi gereja menolak tawaran ini, sebab khawatir kalau-
kalau dengan demikian ia kehilangan kebebasan terhadap
pemerintahan duniawi. Di pihak lain, penguasa Jepang mempersulit
kehidupan gereja, dengan melarang menyelenggarkan sekolah di
gedung-gedung gereja dan menempatkan sekolah-sekolah milik gereja
di bawah pengawasan Jepang, dengan menutup sejumlah gedung
gereja, dan dengan menuntut supaya bendera Jepang dibentangkan
disemua gedung gereja serta diberi hormat pada permulaan setiap
kebaktian.
II.5.2. Pergumulan
Rakyat menderita karena dikerahkan secara bergilir untuk bekerja
sebagai romusha, menciptakan berbagai sarana pertahanan untuk tentara
Jepang. Kehidupan gerejawi mengalami halangan juga karena serangan-
serangan Sekutu berupa pemboman yang hebat, yang menyebabkan rakyat
menyingkir ke kebun-kebun. Meskipun demikian, berkat upaya Kantor
Agama, kehidupan gereja dalam keseluruhannya berjalan terus. Keadaan
malah menyebabkan jemaat-jemaat bertambah sadar mengenai tanggung
jawabnya terhadap keuangan sendiri. Dan pimpinan gereja (pendeta Wenas)
berani tidak menaati perintah Jepang yang bertentangan dengan iman Kristen,
misalnya perintah untuk sembahyang pada tanggal 8 Desember mengingat
jiwa-jiwa anggota tentara Jepang yang telah gugur dalam perang. BPH Sinode
mengirim surat keterangan yang isinya sebagai berikut, "Pemerintah Jepang
tidak boleh menuntut sembahyang untuk jiwa-jiwa serdadu, hanyalah kita
akan ingat mereka dengan hormat". Pada akhir masa perang, GMIM menolak
tuntutan Jepang agar dalam ibadahnya didoakan kemenangan Jepang atas
Sekutu. Atas kehendak Penguasa-penguasa Jepang, didirikan Madjelis PM
Persatocan Agama Kristen Selebes Octara (PAKSOE). Orang Jepang dengan
sendirinya berkepentingan atas terbentuknya satu badan gerejawi menurut
corak dan cita-cita Jepang. Di samping GMIM (yang mula-mula ditolak
karena dianggap sebagai gereja Belanda), dalam badan ini terdapat golongan
Katolik Roma, KGPM, Pentakosta, Adventis, dan Bala Keselamatan. Bagi
wakil-wakil GMIM yang ada di dalamnya, ini merupakan kesempatan
pertama untuk mengenal keadaan gereja-gereja lain dan tokoh-tokoh
pemimpinnya, pun untuk belajar bekerja sama dengan gereja lain. Sehabis
perang. PAKSOE tidak dibubarkan secara resmi. Tetapi Gereja Katolik Roma
dan Pentakosta menarik diri, dan gereja-gereja lainnya (kecuali GMIM) tidak
ikut lagi dalam rapat-rapat, sehingga badan itu tidak mempunyai arti lagi.
Dengan didirikannya Dewan Gereja Wilayah dalam tahun 1970-an (yang
kemudian berkem bang menjadi Sinode Am Gereja-gereja Sulutteng, SAG),
barulah ada kembali wadah kerja sama oikumenis di Minahasa. Sesudah tahun
1945 GMIM tidak mau kembali begitu saja kehubungan dengan GPI dan
Pengurusnya di Jakarta yang berlaku sebelum Perang. Wewenang untuk
mengangkat Ketua Sinode serta pendeta pendeta tidaklah dikembalikan
kepada Pengurus Am, tetapi tetap berada di tangan GMIM sendiri. 12
II.6. Kekristenan Minahasa masa Gerakan masa Orde Lama
II.6.1. Perkembangan Kekristenan Minahasa masa Orde Lama

12
Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1860-an- Sekarang Ragi Carita 2,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021), 96-97.
Dimasa orde lama, sewaktu politik menjadi panglima gereja,
sepenuhnya siuman bahwa gereja tidak bisa diidentikkan dengan
segala cita-cita politik. Dengan pengembangan gagasan Nasakom,
sikap pemerintah terhadap gereja memang positif karena pemerintah
berkeinginan kuat untuk menghimpun semua golongan dan kekuatan
tanpa kehilangan identitas masing-masing demi mencapai tujuan
revolusi: masyarakat adil dan makmur. Pada waktu itu gereja tidak
ikut terjebak dalam arus pengkultusan individu.13 Dalam masa 1875-
1935, kekristenan di Minahasa mengalami kemacetan dalam
perkembangannya menuju gereja yang berdiri sendiri. Akan tetapi
berkat perubahan yang terjadi di kalangan orang Minahasa sendiri dan
dalam lingkungan pimpinan gereja berkebangsaan Belanda, maka
akhirnya tujuan itu tercapai juga. Selama masa itu, di Minahasa sering
terjadi suasana tegang antara empat unsur penting: Zending, gereja
(GPI), pemerintah dan tokoh-tokoh Minahasa yang sudah aktif di
bidang politik dan gereja. Ketegangan itu membawa banyak kesulitan,
tetapi sempat menjadi pula pencetus pendobrakan kemacetan tersebut.
Yang penting juga ialah: pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya
Zending dan gereja telah mulai melihat bahwa kemandirian gereja
bukanlah tahap terakhir dalam perkembangan orang Kristen Minahasa
menuju ketingkat kekristenan yang sempurna, melainkan titik tolak
untuk pertumbuhan rohani dalam mengahadapi tantangan-tantangan
dalam lingkungan sendiri. Pada masa Jepang dan pada tahun 1950-an
serta 1960-an, GMIM mengahadapi tantangan yang baru. Dalam
menjawab tantangan itu, tokoh pendeta Wenas memainkan peranan
yang sangat penting. Sama seperti sejumlah besar gereja yang lain,
GMIM ragu-ragu memilih antara sentralisasi dan desentralisasi dalam
hal urusan gereja.14
II.6.2. Pekabaran Kekristenan Minahasa masa Orde Lama

13
F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 370.
14
Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi Carita 2, 99-100.
Orde Baru yang diawali dari digagalkannya G30S/PKI oleh ABRI
di bawah pimpinan Jendral Soeharto berdasarkan surat perintah 11
Maret 1966 (SuPerSeMar). Sejak meletusnya peristiwa kudeta yang
terkenal dengan nama peristiwa G.30.S yang dilakukan oleh PKI.
Ketika kaum komunis kalah, dan yang disebut “Orde Lama” telah
runtuh, dan kemudian muncullah pemerintahan yang bernama “Orde
Baru”.15 pemerintah menganjurkan kepada rakyat agar memilih salah
satu diantara agama dan kepercayaan yang diakui sah oleh pemerintah.
Anjuran ini telah mendorong banyak orang untuk memilih agama yang
sesuai dengan hati nuraninya. Berbeda dengan sikap golongan-
golongan lain, yang menakut-nakuti rakyat, agar supaya memilih
agama mereka masing-masing, gereja sebaliknya membuka diri seluas-
luasnya dan mengabarkan Injil perdamaian yang setia, menjelaskan isi
pengharapannya dengan lebut dan hormat, serta melayani siapa saja
yang memerlukan pertolongan. Sikap ini membuat lebih banyak orang
memilih agama Kristen.16 Dalam periode orde baru, pemerintah sangat
menyadari pentingnya peranan agama terutama untuk memberikan
kekuatan mental bagi rakyat sehingga tidak terpengaruh dengan
paham-paham agama. Dalam keadaan demikian, kerjasama antara
gereja dan pemerintah menunjukan gambaran yang positif dan sehat.
Dengan lahirnya aliran-aliran gereja, juga banyak gereja yang
didirikan membuat kekristenan berkembang pada amsa itu. Juga dalam
iklim pembangunan tambah disadari betapa pentingnya peranan agama
untuk mempersiapkan dan memantapkan mental rohani seluruh
bangsa, sehingga cita-cita pembangunan dapat dilaksanakan secara
wajar dan menyeluruh. Dalam hubungan gereja ini, gereja Indonesia
semakin dewasa dalam sikap teologis positifnya.17
II.6.3. Pergumulan Kekristenan Minahasa masa Orde Lama

15
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 364.
16
F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 519-520.
17
F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 370-371
Pada masa Jepang dan pada tahun 1950-an serta 1960-an, GMIM
menghadapi tantangan yang baru. Dalam menjawab tantangan itu,
tokoh pendeta Wenas memainkan peranan yang sangat penting. Sama
seperti sejumlah besar gereja Indonesia yang lain, GMIM ragu-ragu
memilih antara sentralisasi dan desentralisasi dalam hal urusan gereja.
II.7. Kekristenan Minahasa masa Gerakan masa Orde Baru
II.7.1. Pertumbuhan Minahasa masa Gerakan masa Orde Baru
Dalam periode orde baru, pemerintah sangat menyadari pentingnya
peranan agama terutama untuk memberikan kekuatan mental bagi
rakyat sehingga tidak terpengaruh oleh paham-paham yang menentang
agama. Dalam keadaan demikian kerjasama antara gereja dan
pemerintah menunjukkan gambaran yang positif dan sehat. Juga dalam
iklim pembangunan tambah disadari betapa pentingnya peranan agama
untuk mempersiapkan dan memantapkan kematangan mental rohani
seluruh bangsa, sehingga cita-cita pembangunan dapat dilaksanakan
secara wajar dan menyeluruh. Dalam hubungan ini gereja di Indonesia
semakin dewasa dalam sikap teologis politisnya.18
II.7.2. Perkembangan Minahasa masa Gerakan masa Orde Baru
Setelah terjadi peristiwa G 30 S yang dianggap oleh umum selaku
perbuatan kaum ateis, maka pemerintah menganjurkan kepada rakyat
agar memilih salah satu diantara agama dan kepercayaan yang diakui
sah oleh pemerintah. Anjuran ini telah mendorong banyak orang untuk
memilih agama yang sesuai dengan hati nuraninya. Berbeda dengan
sikap golongan-golongan lain, yang menakut-nakuti rakyat, agar
supaya memilih agama mereka masing-masing, gereja sebaliknya
membuka diri seluas-luasnya dan mengabarkan Injil perdamaian yang
setia, menjelaskan isi pengharapannya dengan lebut dan hormat, serta
melayani siapa saja yang memerlukan pertolongan. Sikap ini membuat
lebih banyak orang memilih agama Kristen.19

18
F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang, 370-371.
19
F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 520.
Pemerintah sangat menyadari pentingnya peranan agama terutama
untuk memberikan kekuatan mental bagi rakyat sehingga tidak
terpengaruh dengan paham-paham agama. Dalam keadaan demikian,
kerjasama antara gereja dan pemerintah menunjukan gambaran yang
positif dan sehat. Juga dalam iklim pembangunan tambah disadari
betapa pentingnya peranan agama untuk mempersiapkan dan
memantapkan mental rohani seluruh bangsa, sehingga cita-cita
pembangunan dapat dilaksanakan secara wajar dan menyeluruh.
Dalam hubungan gereja ini, gereja Indonesia semakin dewasa dalam
sikap teologis positifnya.20
II.7.3. Pergumulan Minahasa masa Gerakan masa Orde Baru
Dalam tahun 1970-an timbul gerakan balik, sehingga wewenang
jemaat kembali dikurangi khusus nya di bidang keuangan. 21 Banyak
gereja mengalami penidasan dikarenakan biaya yang semakin tidak
ada. Kemudian pada masa orde baru di Sulawesi Utara dijelaskan juga
tentang perkembangan kekristenan/gereja yang ada di daerah tersebut.
Dimana, sesudah tahun 1945, GMIM tidak mau kembali begitu saja ke
hubungan dengan GPI dan pengurusnya di Jakarta yang berlaku
sebelum perang. Wewenang untuk mengangkat ketua sinode serta
pendeta-pendeta tidaklah dikembalikan kepada pengurus am, tetapi
tetap berada di tangan GMIM itu sendiri. Hubungan tenaga pendeta
dengan warga gereja berkebangsaan Eropa juga berubah. Sebelum
perang, satu klasis dari jumlah 11 merupakan klasis khusus untuk
warga Eropa: kini klasis itu dihapuskan. Kemudian majelis jemaat-
jemaat tersebut diberi wewenang lebih besar daripada yang dimiliki
oleh majelis jemaat daya lama, misalnya dalam hal keuangan jemaat
dan pemanggilan pendeta
II.8. Kekristenan Minahasa masa Gerakan masa Reformasi
II.9. Bukti kemandirian gereja Minahasa
III. Kesimpulan
20
F. Ukur & F. L. Cooley, Jerih dan Juang, 370-371.
21
Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi Carita 2, 97-98
IV. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai