Anda di halaman 1dari 19

Nama : Andi Syahputra Simanjuntak

Jonihut Andi Pranata Purba


Sonia Sari Br Tarigan
Tingkat/ Jurusan : III-C/ Teologi
Mata Kuliah : Sejarah Gereja Indonesia II
Dosen Pengampu : Bertalyna Br. Tarigan, M. Th

Sejarah Gereja/ Kekristenan di Irian Jaya


Kompetensi: Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah gereja atau kekristenan di Irian Jaya
I. Abstraksi
Kekristenan di Irian Jaya di mulai pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sejarah
kekristenen kekristenan Irian Jaya sendiri sangat unik dan begitu banyak pergumulan. Pada 5
Februari 1855 Ottow dan Geissler menginjakan kakinya ke tandah Papua atau Irian Jaya
tepatnya di depan Kampung Mansiam, pelabuhan Doreh, banyak metode-metode yang di
gunakan oleh misionaris untuk menarik Penduduk Pribumi untuk masuk menjadi Agama Kristen
seperti membangun sekolah-sekolah untuk anak-anak, penebusan budak yang kemudian di ajari
dan di ajak untuk membantu rumah injil, mengajak penduduk setempat untuk beribadah dengan
di beri sirih, gambir dan rokok. Dalam perjalananya kekristenan di Irian Jaya banyak mengalami
tantangan-tantangan mengenai masalah Budaya di Irian Jaya yang sering terjadi perang antar
suku, perang Dunia II, Konflik Indonesia-Belanda dan begitu pula dengan OPM (Operasi Papua
Merdeka), dalam perjalananya akan di bahas pada sajian Berikut ini, semoga menambah
wawasan kita Bersama. Tuhan Yesus Memaberkati.
II. Pembahasan
II.1. Seputar Irian Jaya
Irian Jaya merupakan wilayah ketiga paling luas di seluruh Indonesia, sesudah Kalimantan
dan Sumatra. Luas daerah Irian Jaya ialah 412.781 km² (20,36%) dari luas wilayah Republik
Indonesia. Provinsi Irian Jaya terdiri dari dua bagian: daratan dan ratusan pulau-pulau di Teluk
Cendrawasih dan bagian darat daerah Raja Empat.1 Sejak tahun 2000 nama Irian Jaya resmi
menjadi Papua.2 Lebih dari 2,6 juta orang tinggal Papua dan hampir dari 75% dari populasi
tinggal di daerah pedesaan. Papua diberkahi dengan beragam ekosistem yang luar biasa dan
tidak biasa, termasuk gletser, padang rumput alpine, hutan awan, hutan daratan rendah, sabana,
hutan bakau, terumbu karang, dan padang lamun.

1
F.Ukur dan F.L. Cooley, Benih Yang Tumbuh VIII (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan
Gereja-gereja di Indonesia, 1977), 15.
2
Jurnal Sejarah, (Yayasan Obor Indonesia), 54.
Papua adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seluruh pulau tropis
terbesar, panjangnya sekitar 2.700 km, dan lebarnya 900 km. Setengah dari bagian timur pulau
itu menjadi bagian daratan Pupua Nugini, yang meraih kemerdekaan dari Australia pada 1975.3
II.2. Sejarah Gereja/ Keristenan di Irian Jaya Pada Masa Hindia-Belanda
Perjalanan Ternate-Papua dimulai tanggal 12 Januari 1855, dengan sekunar “Ternate”
ditempuh kurang lebih tiga minggu, 25 hari kemudian Ottow dan Geissler memasuki Teluk
Doreh. Tepat tanggal, 5 Februari 1855, hari minggu pagi yang cerah, jam 06.00 sekunar Ternate
membuang sauhnya didepan kampung Mansinam, pelabuhan Doreh.4 Kedua zendeling
menginjakkan kaki di pantai Mansinam, mula-mula mereka berdua menguncapkan pernyataan
iman : “Dengan Nama Tuhan kami menginjakan kaki di tanah ini” dengan pernyataan serta doa
yang diucapkan tersebut maka, dimulailah pekerjaan zending di tanah Papua. Dua tahun
kemudian (1857), Ottow membuka pos pekabaran Injil ke dua di Kwawi, sedang Geiisler
meneruskan pekerjaan di Mansinam.5 Gossner dan Heldring adalah zendeling-tukang, mereka
segera mulai bekerja dengan tangan sendiri: menebang pohon, membangun rumah sendiri. Di
kemudian hari mereka berdagang untuk menghidupi diri, di samping mendapat tunjangan dari
pemerintah sebagai imbalan jasa menyelamatkan awak kapal Eropa yang terdampar. Sesuai
dengan asas metode Gossner-Heldring mereka tidak digaji. Tetapi dı samping berdagang mereka
berupaya sekuat tenaga untuk mengikuti panggilan menyebarkan Injil dan memerangi agama
kafir. Yang pertama, pekabaran Injil itu, berupa kebaktian yang diadakan pada hari Minggu pagi
di rumah sendiri. Caranya secara asasi sama seperti di jemaat yang sudah lama berdiri: ada doa,
ada nyanyian, ada khotbah. Khotbah itu berpokok penawaran keselamatan kekal bagi orang yang
mau bertobat dan pengancaman kebinasaan kekal kepada mereka yang tetap berkanjang dalam
kebiasaan kekafirannya.
Pada tahun 1863 UZV berencana mengirim zendeling-zendeling mereka ke Papua. Para
perintis di Irian pun sadar bahwa tenaga mereka kurang. Karena itu mereka meminta bantuan
dari Eropa.6 Keputusan untuk memilih Papua sebagai salah satu medan kerja UZV tidak terlepas
dari dorongan Heldring yang sebelumnya telah merintis usaha pekabaran Injil di Papua melalui
utusan-utusan tukang. Sebab pada waktu itu keadaan di Papua masih dalam proses perintisan dan
penanaman Injil Kristus karena masih banyak kekafiran serta agama Suku yang masih kuat.
Utusan –utusan pertama UZV yang dikirim ke Papua adalah: J.L. Van Hasselt, Th.F Klaassen

3
Andrew J. Marshall, The Ecology of Papua, (Jakarta: Tuttle Publishing, 2011), 20.
4
Kamma , Ajaib Di Mata Kita, Jilid I, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 87.
5
Sientje Latuputty, “Kiprah Dan Ajaran Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua Dan Gereja Katolik Di
Bidang Pendidikan Di Papua” (Disertasi D.Th., STT Jakarta, 2014), 107.
6
End dan Weitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 123.
sudah berkeluarga dan Otterspoor masih bujangan. Mereka tiba di teluk Doreh (Manokwari)
pada 18 April 1863.7
Pada tahun (1924-1942) perkembangan pesat dalam medan pekabaran Injil di Papua dengan
bertambahnya pos-pos pekabaran Injil, disamping itu bertambah pula tenaga zendeling : F.J.S.
van Hasselt, D.B. Starrenburg, P.J. Grondel, F.C.Kamma, juga guru zending (darurat) yang
datang dari Maluku dan Sangir Talaud. 8 Pekerjaan zending sangat maju, resort-resort dan
jemaat-jemaat dapat di organisir dengan menempatkan tenaga-tenaga zendeling baik dari Eropa
maupun pribumi. Disamping itu sekolah-sekolah yang telah dibuka dan memenuhi syarat diberi
subsidi oleh pemerintah sedangkan dijemaat-jemaat diangkat dan dipilih penatua dan syamas
untuk menangani pekerjaan di jemaat.9 Agar orang Irian tertarik, maka sehabis kebaktian mereka
ini disuguhi tembakau atau gambir. Mula-mula bahasa pengantar ialah bahasa Melayu, tetapi
pada tahun 1859 kebaktian mulai diadakan dalam bahasa Numfor. Pada tahun 1861 sudah dapat
diterbitkan sebuah kumpulan lagu-lagu Kristen dalam bahasa itu dan sebelum 1870 beberapa
kitab PB sudah berhasil diterjemahkan.10 Pada tahun 1962 organisasi UZV berhasil mendirikan
sebuah gereja. Mereka berhasil mengajak penduduk setempat untuk mengikuti kebaktian
dengan di beri sirih, gambir dan Rokok. Para pekabar injil membebaskan budak-budak anak-
anak yang kemudian membantu tumah injil dan mendapat pengajaran iman Kristen, 11
Orang Irian dewasa ternyata tidak dapat ditarık dengan metode tersebut. Maka para
zendeling melakukan pendekatan melalui generasi muda dengan dua cara. Mereka mendirikan
sekolah-sekolah, supaya di sana anak-anak, mereka mendengar cerita-cerita Alkitab dan belajar
menyanyi lagu-lagu Kristen. Selain itu, para zendeling menebus anak-anak yang telah di
perbudak, lantas mendidik mereka di rumah sendiri. Mereka mengharap anak-anak itu bisa
tumbuh tanpa mengalami pengaruh jahat masyarakat Numfor, sehingga setelah dewasa bisa
menjadi kelompok inti jemaat Kristen, bahkan membantu dalam karya PI. Setelah menjadi
dewasa, orang-orang tebusan ini, bersama dengan orang Irian merdeka yang sudah dibaptis,
diharuskan tinggal dalam sebuah "kampung Kristen".12 Para perintis di Irian pun sadar bahwa
tenaga mereka kurang. Karena itu mereka meminta bantuan dari Eropa. Bantuan itu datang dari
pihak UZV yang baru saja didirikan . Pada tahun 1863 (Ottow sudah meninggal setahun
sebelumnya), tiga orang utusan UZV tiba di Mansinam. Salah seorang di antaranya ialah J.L.
van Hasselt, yang bertahan di Trian sampai tahun 1907. Asas-asas yang dianut UZV dalam hal
metode PI berbeda dengan asas Gossner dan Heldring. UZV berikhtiar agar para calon zendeling
7
Kamma, Ajaib Di Mata Kita, Jilid I, 185 – 186.
8
Numberi, Papua Dalam Mata Rantai, 64.
9
I.S.Kijne, Alasan Yang Hidup, (Oegsteest: Raad voor de zending de Ned. Herv. Kerk, 1954), 29.
10
End dan Weitjens, Ragi Carita 2, 126.
11
B.W. Kranendonk dan A.F. Van Toor, Jejak Seorang Pekabar Injil di Papua Gerit Kuijit, (Jakarta: BPK-
GM, 2007), 73.
12
Th. Van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 125.
menikmati pendidikan yang agak lengkap, dan mereka ini menerima gaji dengan teratur. Namun,
di lapangan pada umumnya mereka mengikuti pola kerja seperti yang digambarkan di atas,
meskipun dalam beberapa hal sikap mereka lebih terbuka. Van Hasselt memberitakan Firman
lebih banyak dalam bentuk percakapan dengan para pendengarnya. Di antara rekan-rekannya ada
yang kadang kala menunjukkan pengertian terhadap makna sosial upacara-upacara orang Irian,
sehingga mereka tidak menolaknya mentah-mentah. Peng- urus di negeri Belanda malah
khawatir, jangan-jangan mereka tertarik Pasifik. Akan tetapi, perlu diulang bahwa pada
pokoknya sepanjang abad oleh agama kafir, seperti yang sudah terjadi berkali-kali di daerah
Lautan ke-19 para utusan UZV tetap mengikuti pola yang sesuai dengan catatan- catatan di
atas.13
II.3. Sejarah Gereja/ Keristenan di Irian Jaya Pada Masa Jepang
Pada masa perang dunia II jemaat-jemaat di Irian mengalami goncangan yang sangat besar.
Terdapat guru-guru terutama yang guru Ambon bersama keluarganya tewas terbunuh oleh
tentara Jepang, begitu juga dengan gerakan anti Jepang yang di sebut gerakan Koreri. Pada tahun
1944 tentara Sekutu datang ke Irian Jaya yang mengacaukan suasana di Irian Jaya. Dalam hal
kekristenan, kegiatan jemaat hanya bisa dilakukan secara terbatas karena disebabkan tekanan
dari pihak Jepang dan juga karena kebijakan para zendeling, yang pada waktu di giring ke
penjara tidak meninggalkan organisasi gereja yang belum mantap serta pengerja-pengerja
pribumi yang di persiapkan mengganti mereka.14 Akan tetapi pada saat inilah terjadi kesadaran
orang Kristen Papua sendiri untuk mengurus Gereja sendiri atau mandiri dan tidak terus
bergantung pada bangsa barat.
II.4. Sejarah Gereja/ Keristenan di Irian Jaya Pada Masa Indonesia Merdeka
Pemerintahan Belanda atas Papua berlangsung dari 1898 sampai dengan Perang Dunia II
(PD II). Pada 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara yang merdeka,
dengan BPUPKI dan kemudian PPKI sebagai badan atau lembaga dalam mempersiapkan
kemerdekaan itu. Sesudah PD II (tahun 1945) Belanda tetap melanjutkan penguasaannya atas
Papua, hal ini menjadi sebuah konflik antara Indonesia dengan Belanda karena dalam rapat
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, ditetapkan bahwa
melalui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia wilayah Indonesia mencakup seluruh wilayah yang
dikuasai Belanda yakni: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, dan Maluku. Pada masa itu Papua merupakan bagian dari propinsi
Maluku.15Atas dasar penetapan di atas maka Indonesia merasa berhak untuk menyatukan atau
mengintegrasikan Papua ke dalam NKRI. Kekristenan pada saat ini mengalami goncangan yang
13
Ibid 126-127.
14
Th. Van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2, 12.
15
Lihat: Bernarda Meteray, Nasionalisme Ganda Orang Papua (Jakarta: Kompas, 2012).
amatlah berat tetapi karena pertimbangan-pertimbangan yang ada: secara Politis Pulau Papua
merupakan bagian dari NKRI karena pada saat itu masih merupakan wilayah Maluku namun
tidak menutup kemungkinan pemahaman bahwa Bangsa Belanda telah banyak berjasa untuk
perkembangan Kekristenan dan banyaknya janji-janji atau iming-iming yang di berikan secara
khusus kepada Geraja.
II.5. Sejarah Gereja/ Keristenan di Irian Jaya Pada Masa Orde Lama
Konfik sengketa antara Belanda dan Indonesia berlangsung sampai tahun 1971yang pada
akhirnya mengenai tanah Papua di berikan kepada Pemerintah RI atas desakan Amerika Serikat
mengingat kondisi Indonesia yang karena persengketaan itu mengeluarkan diri dari anggota
PBB, Amerika serikat takut dengan semakin lamanya Indonesia tidak anggota PBB maka
Indonesia akan semakin dekat dengan Rusia. Pada masa sebelum tahun 1971 gereja sendiri
mengalami di dilema karena setelah PD 2 Gereja di Papua di urus kembali oleh Belanda sebagai
Policy Zendelingnya sehingga mengaklami tekanan yaitu pertama tekanan dari Pemerintah
Indonesia dan Zedeling Belanda yang mengenai masa depan Irian barat yang tidak menentu dan
kedua yaitu pada masa 1956-1962 dalam kepemimpinan yang baru gereja GKI masih di
damping oleh pendeta-pendeta zendeling yang mempunyai pemahaman dan pengetahuan
mengenai irian.
Maksud dan cita-cita mengenai pembentukan Gereja Kristen Injili di Nederland Nieuw
Guinea atau Papua, telah dimulai dan didorong ke arah yang lebih kongkrit. Rencana itu secara
luas dibahas pada komperensi persiapan (proto sinode) di Serui 1954. Cita–cita serta usaha dan
kerja keras dalam waktu yang panjang melalui pekabar Injil dari berbagai etnis, suku dan latar
belakang, bermuara pada pembentukkan Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea dan
Gereja ini hadir bagi seluruh umat yang ada di Tanah Papua. Bukan sebuah mimpi, melainkan
suatu kenyataan dari Tuhan, atas kehendakNya yang Agung maka lahirlah gereja Tuhan di
Tanah Papua. Melalui Sidang Sinode Umum pertama dijemaat Harapan Abepura, tanggal 18 –
26 Oktober 1956, dapat diresmikan pembentukan Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw
Guinea (sekarang GKI Di Tanah Papua). Badan Pekerja Harian Sinode Umum (BPHSU) terpilih
periode 1956-1960 : Ketua : Pdt. Filip Jakop Spener Rumainum, Wakil Ketua : Pdt. H. Mori
Musendi, Sekretaris : Dr. F.C. Kamma dan Bendahara : G.W. de Kater, ditambah dengan tiga
anggota lainnya. Gereja Kristen Injili di Tanah Papua sejak terbentuk 1956, memiliki 186 bakal
jemaat, 580 Jemaat, 9 resort dan 1 klasis bebahasa Belanda dan terdapat 130.000 lebih orang
Kristen. 16
Dalam persiapan pembentukkan GKI, Zending sudah mengusulkan agar selain penyerahan
organisasi gereja dari Zending kepada GKI, diserahkan pula urusan persekolahan yang berada di

16
F.C Kamma , Ajaib Di Mata Kita, Jilid III (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1981), 518-519.
bawah Pengurus Umum Sekolah-sekolah Zending (ASB= Algemene School Beheerder). Usul
Zending mengenai penyerahan persekolahan ditolak, karena GKI yang bakal dibentuk merasa
belum mampu untuk menerima tanggung jawab tersebut.17
Pada tahun 1961 mulai terjadi perubahan politik di Papua menjelang penyerahan kekuasaan
dari Belanda kepada Indonesia. Tahun 1961-192 berangsur-amgsur Belanda meninggalkan
Tanah Papua dan kembali ke negerinya.18Pada tanggal 1 Mei 1963, United Nations Temporary
Administration(UNTEA) menyerahkan pemerintahan di Irian Barat kepada Republik
Indonesia19, maka berakhirlah pula seluruh proses alih kepemimpinan dari zending dalam bidang
organisasi gereja, pendidikan dan lain sebagainya dan tanggung jawab tersebut diberikan kepada
GKI di Tanah Papua untuk menjalankannya.
Perubahan nama Geredja Kristen Indjili di Nederlands Nieuw Guinea menjadi Gereja
Kristen Injili Di Tanah Papua memiliki perjalanan tersendiri sebagai jawaban atas penyesuaian
terhadap situasi dan kondisi tanpa meninggalkan esensi: Geredja Kristen Indjili di Nederlands
Niew Guinea di Hollandia (1956 – 1962), ditetapkan oleh Zending Belanda. Saat itu dalam
konteks politik Belanda di Nederland Nieuw Guinea, Kongres Papua I dan Trikora 1961.
Geredja Kristen Indjili di Irian Barat (1962 – 1971) ditetapkan pada tahun 1962 di Sidang
Sinode darurat di Hollandia (yang berubah nama menjadi Sukarnapura dan sekarang Jayapura),
dalam konteks politik Indonesia atas negeri Papua Barat. 20 selanjutnya pada masa kedua 1963-
1971 hampir semua tenaga Belanda hampir semua tenaga Belanda kembali, dan bagaimana
menjalin hubungan dengan Dewan Gereja-Gereja seluruh Indonesia. Pada tahun 1967 dari
menjadi penentuan keberadaan Status Irian melalui PEPERA yang di lakukan oleh UNTEA.
Dengan ini Gereja mulai menjawab atas keraguan-keraguan atas rasa naionalismenya dengan
melakukan berbagai tindakan-tindakan yang mengarahkan keberdukunganya pada pererintah
Indonesia.
II.6. Sejarah Gereja/ Keristenan di Irian Jaya Pada Masa Orde Baru
Ternyata hasil dari PERPERA tidak di terima oleh semua penduduk Papua terlihat masih
adanya Operasi Papua Merdeka yang aktif berusaha memperjuangkan cita-cita Negara Papua
Merdeka, tanah papua menjadi sangat panas antara konflik Pemerintah Indonesia dengan OPM,
sebagai gereja yang Okumene dan merupakan anggota Dewan Gereja-Gereja Indonesia, GKI
IRJA tidak dapat di sangkal menlegimitasi dirinya kepada Pasukan Papua Merdeka. Alasan dari
Penduduk Papua untuk memisahkan diri karena Mereka merasa cemburu akan orang-orang yang
pendatang dari luar daerah membanjir dengan pesat sekali. Keadaan ini tentunya tidak memilih
Latupuuty,Kiprah Dan Ajaran Gereja, 255.
17

Ibid., 259.
18

19
Jacobus P. Solossa, Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di Dalam NKRI (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2005),9.
20
Ibid, 13
apakah ia Kristen atau bukan, karena kedatangan dari luar daerah ini adalah dalam rangka
membangun bersama wilayah Irian Jaya. dan dengan pesatnya proses pembangunan di wilayah
ini, maka mengalir pulalah pengusaha-pengusaha swasta baik yang besar maupun yang kecil-
kecilan. Sebagian besar dari mereka ini adalah saudara-saaudara yang beragama Islam, sepeti
suku Bugis, Makasar, Buton sampai-sampai mereka yang dari Sumatera. Para Pendatang yang
bekerja di Papua kebanyakan lebih sejahtera dengan penduduk Pribumi, Tanah Papua yang
sangat kaya terutama tambang emas tidak bisa di nikmati sepenuhnya oleh penduduk Papua
karena semua pembangunan terpusat di Jakarta (Ibu Kota Negara).21
II.7. Gereja/ Kekristenan di Irian Jaya pada Masa Reformasi
Pada masa terjadi reformasi di Indonesia (1998) melalui pencopotan Presiden Soeharto dan
diganti oleh presiden B.J. Habibie, tiba era keterbukaan. Bila sebelumnya rakyat Papua
dibungkamkan untuk bicara mengenai keinginan-keinginan politik dengan cara ditahan dan
dipenjarakan bahkan dihilangkan, maka sejak era reformasi mulai ada peluang mengaspirasikan
keinginan politik secara terbuka untuk merdeka. Untuk mengatasi tuntutan rakyat Papua
tersebut maka pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No.21 tahun 2001 yang isinya berisi
pemberian Otonomi Khusus (OTSUS) yang pada intinya merupakan bentuk proteksi terhadap
orang asli Papua, baik di bidang legislatif, eksekutif, perlindungan masyarakat adat dengan
pembentukkan MRP (Majelis Rakyat Papua), maupun program-program afirmasi dengan
kekhususan bagi orang asli Papua. 22
Di era kepemimpinan Joko Widodo sebagai presiden RI, Papua diberi perhatian lebih
khusus melalui kunjungan-kunjungan kerja secara rutin dan pembangunan infra struktur berupa
lapangan terbang di hampir semua kabupaten/kota, pembangunan pelabuhan laut maupun
pembangunan daerah perbatasan.Program 1000 doktor yang dicanangkan oleh Gubernur
Barnabas Suebu mulai memperlihatkan hasilnya dengan kembali doktor-doktor anak asli Papua
tamatan dalam dan Luar Negeri. Dana Otsus dialokasikan ke kampung-kampung di seluruh
Tanah Papua dengan pembagian 80% untuk kampung dan 20% untuk provinsi (kebijakan
Gubernur Lukas Enembe), dengan maksud agar kampung dibangun.
Upaya-upaya perbaikan dan perubahan sudah dilakukan tetapi kepincangan belum tuntas
karena berbagai keadaan sosial, pendidikan, ekonomi, geografis, demografis mau pun politik,
masih menjadi kendala untuk menjadikan Papua sebagai Tanah Damai.23
II.8. Gereja-Gereja di Irian Jaya
21
F.Ukur dan F.L. Cooley, Benih Yang Tumbuh VIII (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan
Gereja-gereja di Indonesia, 1977), 303.
22
Lihat Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua. Mengangkat Martabat Rakyat Papua di
Dalam NKRI (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 91-184.
23
Wawancara melalui telepon dengan Alter Renaldo Boseren, narasumber adalah seorang teolog yang
menempuh strata satu di STT GKI izaakh Samuel Kijne dan sedang menempuh strata sua di STT Jakarta. Beliau
gereja di GKII di Papua.
II.8.1. GKI IRJA
Maksud dan cita-cita mengenai pembentukan Gereja Kristen Injili di Nederland Nieuw
Guinea, telah dimulai dan didorong kearah yang lebih kongkrit. Rencana itu secara luas dibahas
pada komperensi persiapan (proto sinode) di Serui 1954. Cita–cita serta usaha dan kerja keras
dalam waktu yang panjang melalui pekabar Injil dari berbagai etnis, suku dan latar belakang,
bermuara pada pembentukkan Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea dan Gereja ini
hadir bagi seluruh umat yang ada di Tanah Papua. Bukan sebuah mimpi, melainkan suatu
kenyataan dari Tuhan, atas kehendakNya yang Agung maka lahirlah gereja Tuhan di Tanah
Papua. Melalui Sidang Sinode Umum pertama dijemaat Harapan Abepura, tanggal 18 – 26
Oktober 1956, dapat diresmikan pembentukan Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea
(sekarang GKI Di Tanah Papua). Badan Pekerja Harian Sinode Umum (BPHSU) terpilih periode
1956-1960 : Ketua : Pdt. Filip Jakop Spener Rumainum, Wakil Ketua : Pdt. H. Mori Musendi,
Sekretaris : Dr. F.C. Kamma dan Bendahara : G.W. de Kater, ditambah dengan tiga anggota
lainnya. Gereja Kristen Injili di Tanah Papua sejak terbentuk 1956, memiliki 186 bakal jemaat,
580 Jemaat, 9 resort dan 1 klasis bebahasa Belanda dan terdapat 130.000 lebih orang Kristen. 24
Dalam persiapan pembentukkan GKI, Zending sudah mengusulkan agar selain
penyerahan organisasi gereja dari Zending kepada GKI, diserahkan pula urusan persekolahan
yang berada di bawah Pengurus Umum Sekolah-sekolah Zending (ASB= Algemene School
Beheerder). Usul Zending mengenai penyerahan persekolahan ditolak, karena GKI yang bakal
dibentuk merasa belum mampu untuk menerima tanggung jawab tersebut.25
Pada tahun 1961 mulai terjadi perubahan politik di Papua menjelang penyerahan
kekuasaan dari Belanda kepada Indonesia. Tahun 1961-192 berangsur-amgsur Belanda
meninggalkan Tanah Papua dan kembali ke negerinya.26Pada tanggal 1 Mei 1963, United
Nations Temporary Administration(UNTEA) menyerahkan pemerintahan di Irian Barat kepada
Republik Indonesia27, maka berakhirlah pula seluruh proses alih kepemimpinan dari zending
dalam bidang organisasi gereja, pendidikan dan lain sebagainya dan tanggung jawab tersebut
diberikan kepada GKI di Tanah Papua untuk menjalankannya.
Perubahan nama Geredja Kristen Indjili di Nederlands Nieuw Guinea menjadi Gereja
Kristen Injili Di Tanah Papua memiliki perjalanan tersendiri sebagai jawaban atas penyesuaian
terhadap situasi dan kondisi tanpa meninggalkan esensi:Geredja Kristen Indjili di Nederlands
Niew Guinea di Hollandia (1956 – 1962), ditetapkan oleh Zending Belanda. Saat itu dalam
konteks politik Belanda di Nederland Nieuw Guinea, Kongres Papua I dan Trikora 1961.
24
F.C Kamma , Ajaib Di Mata Kita, Jilid III (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1981), 518-519.
25
Latupuuty,Kiprah Dan Ajaran Gereja, 255.
26
Ibid, 259.
27
Jacobus P. Solossa, Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di Dalam NKRI (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2005),9.
Geredja Kristen Indjili di Irian Barat (1962 – 1971) ditetapkan pada tahun 1962 di Sidang
Sinode darurat di Hollandia (yang berubah nama menjadi Sukarnapura dan sekarang Jayapura),
dalam konteks politik Indonesia atas negeri Papua Barat.Gereja Kristen Injili di Irian Jaya (1971-
2000) ditetapkan sebagai penyesuaian atas dirubahnya nama Irian Barat menjadi Irian Jaya oleh
pemerintah Indonesia pada tahun 1971 dalam konteks politik dan ekonomi Irian Jaya. Gereja
Kristen Injili Di Tanah Papua (2000 - Sekarang), ditetapkan dalam Sidang Sinode XIV tahun
2000 di Sorong sesuai dengan keinginan Jemaat.Dalam konteks politik di Tanah Papua, Kongres
Papua II yang melahirkan UU RI No.21 Tahun 2001.28
GKI Di Tanah Papua berdiri sendiri pada 26 Oktober 1956 orang Kristen di Tanah Papua
sudah hidup dalam suasana plural: Maluku/Ambon,Sanger, Minahasa/Manado, Belanda, Jerman,
Swiss dll. Aspek ini mempengaruhi pemberian nama Gereja. Karena itu Gereja yang dibentuk 26
Oktober 1956 tidak disebut “Gereja Papua” tetapi diberi nama Geredja Kristen Indjili “Di”
Nederlands Niew Guinea. Kata “Di” mempunyai makna oikumenis (persekutuan dan
kebersamaan). Siapa saja orang Kristen dan dari mana saja meskipun berbeda bahasa, budaya,
warna kulit atau apapun, ketika berada di Nederlands Nieuw Guinea (Papua Barat), mereka
“dapat” dan “akan” menjadi anggota Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua. Dengan demikian
Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua adalah Gereja yang esa yang oikumenis terbuka untuk
mempersatukan orang Kristen dari segala suku bangsa di Indonesia dan di dunia.Inilah keunikan
GKI Di Tanah Papua.Tanah Papua secara Pemerintahan terbagi menjadi Dua Provinsi saat ini
yakni Provinsi Papua dan Papua Barat, tetapi GKI Di Tanah Papua tetap menjadi satu dibawah
Satu Sinode GKI Di Tanah Papua.29 Jumlah Klasis/Bakal Klasis:45 Klasis / 11 Bakal Klasis ,
Jumlah Jemaat:2.100 Jemaat (komunitas), Jumlah Bakal Jemaat: 147 Bakal Jemaat, Jumlah Pos
Pekabaran Injil: 23 Pos PI, Jumlah Pendeta: ± 1.237. orang ,Jumlah Guru Jemaat: 278 orang,
Jumlah Penginjil: 170 orang, Jumlah Pengajar:27orang, Jumlah Vikaris: 367 orang, Jumlah
warga jemaat : ± 650.000 jiwa.30
II.9. Aliran-Aliran Lain di Irian Jaya
II.9.1. Katolik
Dalam catatan Sejarah, Paus Gregorius XVI mengeluarkan dekrit Ex Debito Pastoralis
(19 Juli 1844) untuk membentuk dua Vikariat, yaitu Melanesia-Mikronesia, yang berwilayah
125 km2 – 160 km2 meliputi Nova Guinea (Irian) dan pulau-pulau sekitarnya. Pada tanggal 11
Juli 1891 Pemerintah memberi Ijin kepada Gereja untuk bekerja di Irian Jaya. Ternyata Irian
Barat berada dalam kuasa Uskup Jakarta yang mempunyai wewenang atas segala kepulauan di
28
Tim Penyusun Sinode GKI di Tanah Papua, Visi Misi Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua tahun 2011 –
2036(dokumen gereja Jayapura: Sinode GKI di Tanah Papua,2011),1.
29
Ibid.,4.
30
Profil GKI Di Tanah Papua tahun 2013,
Indonesia yang pada saat itu di bawah jajahan Belanda. Bulan Oktober 1892, Mgr. A.C.
Claessens memberi surat perintah kepada Pater C. Van der Heyden SJ, yang berada di Tual
untuk pergi ke Irian Barat bagian selatan untuk mencari tempat yang baik untuk mendirikan
stasi.31 Kontak Pertama dengan Gereja Katolik terjadi pada tahun 1894 waktu Pater Le Cocq
d’Armandville SJ, memulai misinya di Kapaur dekat Fak-fak. Dua tahun kemudian, pada
tanggal 27 Mei 1896, ia menemui ajalnya dan mati lemas di depan pantai Mimika. Pantai
Selatan dikunjungi juga oleh seorang pastor Jesuit, yaitu Pater van der Heijden SJ, pada tahun
1892, namun ia tidak tinggal di wilayah itu. Pada tahun 1893 ia kembali lagi dan menetap di
daerah ini tapi rencananya gagal karena pos pemerintah dekat Merauke, yaitu Salire ditutup.32
Mendaratnya Katolik di Wilayah Pantai Selatan. Mengingat luasnya wilayah yang tak
terjangkau, maka pada tahun 1902 wilayah Gereja Irian Jaya/Maluku dipisahkan dari Vikariat
Jakarta dan diserahkan kepada Terekat MSC.33 Pater Mathias Neijens MSC, (Pater Neyens)
Misionaris pertama yang mengunjungi Merauke tahun 1904.34 Pada 14 Agustus 1905 Tarekat
MSC menetap di Merauke. Para misionaris yang tiba pada tahun 1905, yakni P.PH. Nollen
MSC, P.Ph. Braun MSC, Br.Oomen MSC dan Br. Van Roessel MSC. Tujuan para misionaris
waktu itu “mewartakan kekayaan Kristus yang tak terduga itu, kepada kaum yang belum
mengenal Kristus dan membuat terang bagi segala orang yakni rencana Allah, sehingga berani
mendekati Allah dengan penuh kepercayaan karena iman dengan harapan bahwa kita berakar
dan beralas dalam cinta kasih Kristus”.
Selama 20 tahun evangelisasi mengalami terlalu banyak tantangan baik dari penduduk
asli beserta adatnya yang sangat bertentangan dengan kabar gembira Injil maupun dari segi
bahasa, serta kondisi alam yang sangat menyulitkan komunikasi dan transportasi. Sesudah 17
tahun, kelompok pertama pemuda Marind dibaptis. Stasi – stasi baru yang dibuka di pantai
Selatan ialah Wendu (1908); Okaba (1910); Wamal (1926); Kimaam (1931). Di pantai selatan,
misionaris mengunjungi rakyat, merawat yang sakit serta mempelajari bahasa dan adat, lalu
menyusun kamus dan katekismus.
Pada tahun 1912, pemerintah membuat garis pemisah wilayah Katolik untuk bagian
selatan, dan Protestan untuk bagian utara. Akan tetapi pada tahun 1929, pemerintah mencabut
garis pemisah wilayah kerja gerejani. Akibat dihapusnya garis pemisah memungkinkan Gereja
Kristen bergiat di daerah Mimika dan daerah merauke. Dan ini terjadi secara terbuka, pada tahun
1930, tepat pada perayaan 25 tahun berdirinya Gereja Katolik di merauke. Pada 24 Juni 1950,
Merauke dipisahkan dari Ambonia dan menjadi wilayah gerejani sendiri, yaitu Vikariat
31
Willem Hanny Rawung, Menelususri Jejak Misionaris di Papua Selatan (Merauke : Seksi Sejarah Panitia
Seratus Tahun Gereja Katolik di Papua Selatan, 2005), 1.
32
Jan Boelaars, Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan,(Merauke: Keuskupan Agung Merauke,1999), 6.
33
Rawung, Menelususri Jejak Misionaris di PapuaSelatan 2.
34
Boelaars, Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan, 14.
Apostolik Merauke dengan Uskup pertamanya Mgr. H. Tillemans MSC. Karena usia lanjut Mgr.
Tillemans mengundurkan diri dan di ganti oleh Mgr. J. Duivenvoorde (1972). Pada bulan Juli
2004, Mgr. J. Duivenvoorde mengakhiri masa kegembalaannya sebagai Uskup Agung Merauke
dan kini diganti oleh Mgr. Nikolaus Adiseputra, MSC.35
II.9.2. KINGMI
Kehadiran Kemah Injil berawal dari visi Dr. Albert Benyamin Simpson, pendiri
Christian and Missionary Alliance (C&MA) yang merupakan cikal bakal dari Gereja Kemah
Injil Indonesia (GKII). Albert Benjamin Simpson adalah seorang keturunan Skotlandia.Ia lahir
pada tahun 1843 di Kanada dan dibaptis di Gereja Presbiterian ketika masih bayi.Pada tahun
1865 Benjamin di tahbiskan menjadi pendeta gereja tersebut.36
Awal mula Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua berasal dari penkabaran Injil
yang dilakukan oleh suatu badan Misi yaitu Chirstian and Missionary Allience (C&MA) dari
Amerika yang didirikan oleh Albert Benjamin Simpson. Datang ke Indonesia berpusat di
Makassar. Dan akhirnya mengabarkan Injil-Nya juga ke Papua. Inilah cikal bakal dari Gereja
Kemah Injil Indonesia (GKII) yang dahulunya persatuan dari beberapa KINGMI di berbagai
daerah di nusantara yang menjadi satu sehingga dinamakan GKII. Namun, khusus KINGMI
Papua mereka merasa perlu mandiri atau mengurusi dirinya sendiri sehingga terpecah menjadi
dua yang pertama GKII di Papua dan yang kedua KINGMI di Tanah Papua. Kali ini akan
dibahas khusus KINGMI di Tanah Papua. KINGMI di Tanah Papua berpusat di Jayapura. Gereja
ini memiliki otonominya sendiri dan menginjili sesuai penginjilan/misi yang berkonteks Papua.
Pada Tahun 1936: Frits Julius Wissel, seorang pilot muda berpangkat letnan 2 dari
angkatan laut Belanda, sedang terbang melewati sebuah rute yang membawahnya melintasi
pegunungan tengah Papua. Penerbangan itu dilakukan untuk kepentingan perusahaan minyak
NNGPM. Wissel melaporakan bahwa ia melihat banyak kampung dan orang disekitar tiga buah
danau yakni danau Paniai, Tigi dan Tage (Danau-danau Wissel) itulah pertamakalinya dunia luar
mengetahui keberadaan orang-orang Mee. Itu juga pertamakalinya orang-orang Mee menyadari
bahwa mereka tidak sendirian di dunia ini.Dari situ lahirlah sebuah pemerintah di Enarotali.
Pada Tahun 1937: C&MA pun menyusul setelah pemerintah Belanda. 37
Mendengar bahwa ditemukannya wilayah baru, Jaffray yang saat itu merupakan ketua
misi mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia-Belanda agar diizinkan membuka
daerah pedalaman Papua bagi penginjilan.Permohonan itupun dikabulkan. Pada Tahun 1938
Jeffray menumpang kapal dari Makasar menuju Timur. Ia ingin melihat kondisi Papua. Ia

35
Rawung, Menelususri Jejak Misionaris di Papua Selatan, 5-6.
36
Alex Rumaseb, Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia di Tanah Papua (Bandung: Kalam Hidup,
2014),13-15.
37
Ibid, 106.
mendengar bahwa di pulau yang besar itu masih ada manusia yang hidup di zaman batu. Mereka
di sebut suku terbelakang, pemakan orang, dan berbagai julukan negatif lainnya.Namun, Jaffray
tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang dikasihi Allah dan bahwa Yesus telah juga mati
bagi mereka.oleh karena itu ia mengunjungi pulau tersebut. Pada bulan Desember Walter Post
dan Pdt. Russell Deibler menjadi perintis di Papua.Mereka berdua meninggalkan istri mereka di
Makassar dan berlayar menuju pantai Selatan Papua.38
Pada tanggal 6 April 1961 disepakati dalam suatu rapat di Beoga, kabupaten Puncak
(setelah Badan Misi C&MA ini berkarya di pegunungan tengah lebih dari 20 tahun) untuk
membentuk KINGMI Irian Jaya (Papua). Karena dalam suasana ketidakpastian masa depan
Papua, lantaran ketegangan antara pihak Belanda dan Indonesia terkait status politik, sehingga
dibentuklah KINGMI Papua.39 Pada tahun 1962, diangkat dan dilantik secara institusi /organisasi
dalam Konferensi perdana Gereja tersebut badan Pengurus Sinode KINGMI Irian Barat (Papua)
diangkat dan di lantik.40
Pada tanggal 20 Maret 1983, nama “Kemah Injil Gereja Masehi Indonesia” (KINGMI)
diresmikan kemudian, nama itu diganti menjadi “Gereja Kemah Injil Indonesia” (GKII). GKII
pada waktu itu memiliki 7 anggota diantaranya:KINGMI Kaltim, KINGMI Kalbar, KINGMIT,
KINGMI Irian jaya.41
Namun, pada tahun 2006, Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua memisahkan
dirinya dengan GKII/dan badan misi. KINGMI menjadi suatu badan yang otonom yang berpusat
di Jayapura-Papua. Ini dikarenakan Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua merasa
mampu dan dewasa untuk mengurus dirinya sendiri. Pada Tanggal 6 April 1962 dijadikan
sebagai hari jadi (HUT) Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua, yang di ketuai oleh Pdt.
Benny Giay sebagai Ketua Badan Pengurus Sinode KINGMI di Tanah Papua dengan 72
Klasis.42
II.9.3. Gereja Baptis Anugerah Indonesia di Papua
Pada tahun 1949, persekutuan Gereja-gereja Baptis New South Wales, Australia
mengirim utusan Injil mereka ke Papua Nieuw Gunea (PNG), bersama dengan Missionary
Adviantion Fellowshif (MAF) Australia, membuka pos-pos pelayanan dengan semua misionaris
di PNG. Pada tahun 1955, Norm dan Sheila Draper membuka lapangan terbang dan melayani di
pos Baiyer River (Kumbareta) dan Lumusa. Pada suatu hari di lapangan terbang itu mendarat
pesawat MAF tersebut dikemudikan oleh pilot Charles Mellis yang baru terbang dari Papua

38
Ibid.,107.
39
Ibid., 170.
40
Badan Pengurus Sinode KINGMI di Tanah Papua, Sekitar Gagasan PI Baru (Abepura: Penerbit Deyai,
2015), 85.
41
Rumaseb, Sejarah Gereja Kemah Injil, 171.
42
Ibid., 86.
Barat (Pada saat itu disebut Netherlands New Guinea atau Dutch New Guine). Pilot Charles
Mellis menerangkan sedikit tentang Lembah Baliem kepada Norm dan Sheila Draper. Dia
menekankan supaya Misionari dari Australia datang melayani di Papua (Netherlands New
Guinea atau Dutch New Guine), karena negara Australia adalah negara yang terdekat dengan
Papua. Pilot Charles Mellis mengatakan kepada Norm dan Sheila Draper bahwa orang babtis
Australia harus mulai pikirkan tentang pelayanan di Papua dalam bidang penginjilan, kesehatan
dan pendidikan.43
Bukan secara kebetulan sebelumnya Norm dan Draper pernah membaca sebuah buku
karya Lioyd Rees yang menulis tentang pengalaman Dorter Viktor de Bruyn, sesudah
perjalanannya di daerah ini. Buku itu berjudul Jungle Pimperal.Dengan sendirinya dijumpai
dalam perjalanan ekspedisi itu bukan hanya tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan dan hutan tetapi
juga penduduk asli (Fonataba, 1999: 2). Ketidakmungkinan menemukan tempat dari daerah ter-
barat dari PNG membuat daerah Papua sebagaimana ditemukan didalam buku tersebut. Daerah
ini belum pernah dijejaki oleh pemerintah Belanda dan misi-misi
lain.Norm dan Sheila Draper menyampaikan informasi ini kepada dewan pengurus
ABMS (Australian Baptist Missionary Society) di Australia. Setelah beberapa minggu, pada
bulan Agustus 1955 Dewan pengurus ABMS sekarang menjadi Global InterAction (GIA)
mengadakan pertemuan di Melbourne, Australia. Dalam rapat itu, diputuskan untuk memulai
pelayanan di Papua di daerah pedalaman Papua sangat padat penduduknya yang dikenal dengan
sebutan Balim Utara.44
Setelah sidang Pleno dewan pengurus ABMS memberi mandat untuk mempelajari
keadaan dengan pemerintahan Belanda yang diwakili oleh Viktor de Bruyn kepada komisi
Regional PNG untuk mengadakan penelitian ke Papua Barat. Untuk maksud itu Viktor White di
utus ke Holandia untuk mempelajari keaadan pihak pemerintah Belanda yang diwakili oleh Dr.
Viktor de Bruyn (Directur of Cultural Affairs dari pemerintah Belanda di Papua) yang
menangani masalah kependudukan. Ia mengusulkan bahwa ABMS harus melayani di Lembah
Baliem Utara (suatu daerah yang belum pernah disentuh). Dalam hal ini pernah dicatat adanya
perbedaan kebijakan antara pemerintah PNG dan Papua Barat. Di PNG para utusan misi baru di
izinkan memasuki suatu daerah, jika daerah tersebut sudah dibawah kontrol pemerintahan.
Sedangkan di Papua Barat para utusan Injil boleh mulai dimana saja, termaksud daerah-daerah
yang belum dijangkau oleh pemerintah.45
Sebelum masuk ke daerah pedalaman para misionari ABMS harus meminta izin dari
Pemerintah Belanda yang berkuasa pada saat itu. Setelah berjuang dan bekerja keras untuk
43
Ibid, 22.
44
Ibid.,23
45
Ibid., 23-24
memperoleh izin akhirnya Pemerintah Belanda memberi izin dengan syarat apa bila terjadi
sesuatu yang membahayakan, pemerintah Belanda tidak akan bertanggung jawab atau dengan
kata lain resiko perjalanan ABMS di tanggung sendiri. Kemudian Norm Draper bersama dengan
Viktor White meninjau dengan pesawat MAF yang dikemudikan oleh pilot Dave Steiger ke
daerah pedalaman. Mereka tertarik dengan daerah Balim Utara dan dalam hati kedua misionaris
itu berkata; “ Orang apa yang ada disini? Apa yang mereka pikirkan? Dan apa yang mereka
lakukan? (aakumi nonggop mendek yime wonogwe? Aakumi yime iniki nonggop konggwi kwe?
Aakumi yiime nano ekwi kwe?)”. karena misionaris ABMS tidak tahu di Lembah Balim Utara
itu adalah tempat keberadaan orang Lani.46
Penerbangan ini merupakan penerbangan yang bersejarah. Sesudah melintasi dataran
yang rendah, mereka melintasi daerah hutan rimba dan pegununggan. Pada ketinggian 13 ribu
kaki di atas permukaan laut, mereka melihat adanya cela yang dibentuk oleh barisan gunung
yang menjulang tinggi. Pada waktu pesawat melintasi cela itu mereka melihat suatu dataran yang
menghijau dan luas serta dipagari sekelilingnya oleh lingkaran pegununggan tinggi. Inilah
Lembah Balim Raya yang dikenal juga dengan nama Lembah itu “Sanggri-La (Firdaus) Valley”
di beri nama oleh George Lait dan Harry E. Patterson, anggota angkatan udara Amerika Serikat.
Kemudian pesawat membelok ke arah kanan mengikuti sungai Balim bagian Utara.
Sementara mengikuti arah aliran sungai, mereka melintasi suatu celah yang lebih kecil bagaikan
pintu masuk ke bagian Utara yang dalam. Di daerah ini mereka melihat pemukiman penduduk
berupa Rumah-rumah berbentuk jamur bertebaran di tengah lereng-lereng Gunung dan pada
tepian sungai, begitu juga kebun-kebun mereka nyata terlihat dari udara. Pada waktu memasuki
lebih jauh kedalam Lembah, tiba-tiba perhatian mereka tertuju kepada suatu kejadian yang
menyeramkan yang belum pernah mereka saksikan, yang sedang berlangsungnya suatu
peperangan antara dua kelompok besar, yaitu kelompok Tawarak”onua Wanimbo dan Mbalim”
mendek Yigibalom. Melihat hal itu mereka berniat untuk mencoba membubarkan kedua
kelompok yang sedang berperang. Hal itu dilakukan dengan jalan menakut-nakuti mereka
dengan terbang rendah di atas kepalah mereka. Ternyata siasat yang digunakan itu berhasil
membubarkan mereka semua yang sedang berperang. Yang seorang mencoba mendahului yang
lain untuk berusaha menyelamatkan diri. Dalam sekejap maka perang pun berakhirlah dan apa
yang terjadi selanjutnya tidak diketahui oleh kedua misionaris itu. Hanya yang diketahui adalah
pembicaraan orang Lani mengenai burung besar itu, setiap orang dengan pendapatnya sendiri-
sendiri. Hal itu terjadi pada akhir tahun 1955 dan tempt terjadinya peperangan itu kemudian di
jadikan tempat pos yang pertama yaitu Yigi”nuwa atau sekarang ini kita namakan Tiom (Ti

46
Ibid, 24.
Eyom) artinya “Saat itu”. Dengan di selesaikannnya penelitian ini, akhirnya keputusan untuk
pelayanan di Papua Barat di setujui berdasarkan laporan itu. 47
Penelitian yang dilakukan oleh tim Ekspedisi dan Misionaris bertujuan untuk mengakhiri
masa kegelapan sekaligus menjawab masa penantian nubuatan dan mimipi-mimpi nenek
moyang orang Lani di masa lampau. Roda kehidupan baru telah di mulai dengan melakukan
kontak dengan bangsa asing. Perubahan pola hidup yang lama segerah di gantikan dengan pola
hidup yang baru, yang akan di letakan oleh Misionaris.48
Di awal perkembangan Gereja Baptis mula-mula banyak tantangan yang di hadapi secara
intrnal dan eksternal. Perkembangan Gereja Baptis melewati berliku-liku, suka dan duka dalam
kehidupan umat Baptis. Walaupun demikian kualitas kehidupan dijalani oleh Gereja yang
berasaskan Akitabiah ini terlihat dan menarik jiwa-jiwa, bagaikan ibarat magnet. .
Secara umum perkembangan Gereja Baptis menjadi dua bagian. Yang pertama, daerah
Balim Utara Beam – Kwiyawagi . yang kedua adalah diluar daerah Balim Utara antara lain
Wamena, Jayapura, Sorong, Serui,Manokwari,Nabire, Timika, Biak, Merauke, dan Puncak
Jaya.49
II.9.4. Gereja Orthodox di Papua
Gereja orthodox di papua masuk pada tahun 2007 yang dibawa oleh Daniel Bambang
Wijantoro. Untuk memperluaskan misinya maka pada tahun 2007 beliau datang ke Papua untuk
membabtiskan beberapa orang yaitu 12 orang pada tahun 2008 dan pada tahun 2009 kembali ke
Papua serta membabtis 10 orang. Kemudian yang sudah dibaptis diangkat menjadi diaken dan
imam lalu mendirikan jemaat di beberapa jemaat di Papua.50
Pada tanggal 12 Maret 2007 misi Gereja Orthodox masuk di Tanah Papua dengan
dibaptiskannya dua putera Papua pertama yaitu Bapak Athanasius Joseph Mori Muzendi dan
Isteri Paraskeva Dolly Josephine Sembor. Dengan demikian maka terbentuklah komunitas
Orthodox di Tanah Papua dan Bapak Athanasius Joseph Mori Muzendi menjadi koordinator
untuk seluruh wilayah di Tanah Papua. Bapak Athanasius Joseph Mori Muzendi ditahbiskan
menjadi seorang Diakon pada bulan Desember 2008, kemudian pada tanggal 28 Juni 2009 di
Solo ( Surakarta ) oleh Uskup Agung Metropolitan Hilariondari keuskupan agung Australia –
Salandia Baru beliau ditahbiskan menjadi Imam/ Presbiter/ Penatua (lihat Kis 14:23 ; Yak 5:14).

47
Ibid, 24-25
48
Ibid ,25.
49
Ibid ,204.
50
Kumpulan Hasil Penelitian Bidang Studi SGTP I, Pengenalan Gereja-gereja Di Tanah Papua (Jayapura:
STFT GKI I.S.Kijne, 2014), 50. Melalui panduan Alter Renaldo Boseren, narasumber adalah seorang teolog yang
menempuh strata satu di STT GKI izaakh Samuel Kijne dan sedang menempuh strata sua di STT Jakarta. Beliau
gereja di GKII di Papua.
Presbiter Athanasius Joseph Mori Muzendi melayani bersama istri Presbitera Paraskeva Dolly
Josephine Sembor melayani di Paroki St. Athanasius Abepura Jayapura – Papua.51
Sehari setelah pentahbisan Imam maka pada tanggal 29 Juni 2009 di Paroki St. Thomas
Jakarta ditahbiskan seorang putera Papua lagi oleh Metropolitan Hilarion yaitu Chrisostomos
Rolling S. Gaspersz menjadi diakon (lihat 1 Tim 3 : 12), yang kemudian bersama istrinya
diakonisa Cicilia Imelda Rumbewas melayani membantu Imam dalam pelayanannya. Pada
bulan 2012, Diakon Chrisostomos Gaspersz ditahbiskan dan menerima sakramen imamat untuk
kemudian menjadi gembala bagi komunitas paroki St. Nikolaus Jayapura. Di kota Jayapura
sendiri tadinya jemaat Gereja Othodox hanya ada di jalan manokwari akan tetapi tahun 2010
mendirikan salah satu jemaat lagi yaitu jemaat St. Nikolaus Jayapura di kali Kamwolker.Saat ini
anggota baptisan di Gereja Orthodox Indonesia Parokia St. Nikolaus berjumlah 64 orang
termasuk anak-anak.52
II.10. Badan Zendeling di Irian Jaya
II.10.1. Zendeling Tukang

Pekabaran Injil menurut metode lain dari yang dipakai oleh NZG diusahakan oleh pendeta
O.G. Heldring, seorang penganut aliran Reveil. NZG mengutus tenaga profesional yang dididik
selama beberapa tahun dan yang di tempat kerja menerima gaji (tetapi hal ini baru mulai berlaku
pada tahun 1843; sebelumnya NZG pun tidak memberi gaji). Cara ini oleh Heldring dianggap
kurang kena karena mahal, sehingga jumlah utusan terpaksa kecil saja. Heldring ingin mengutus
orang-orang Kristen secara spontan, tanpa pendidikan selain yang paling perlu, dan tanpa
jaminan hidup. Di tempat kerjanya mereka harus menghidupi diri sendiri, sama seperti Paulus si
tukang kemah, misalnya dengan bercocok tanam, berdagang, bertukang, dan sebagainya, sambil
bersaksi tentang Injil Kristus. Sikap Heldring ini sampai sekarang masih diikuti juga oleh
lembaga-lembaga yang biasanya disebut “Faith Missions”. Selama 10 tahun Heldring bersama
“Panitia Tukang Kristen” nya berhasil mengutus 52 orang, di antaranya 20 ke Jawa, 2 ke Irian
Barat (1855), dan 8 ke Sangir (1857) dan Talaud (tiba di sana 1859). Dengan demikian, Heldring
menjadi perintis usaha pekabaran Injil, dalam mencari calon zendeling, ia bekerja sama dengan
Goosner, seorang pendeta di Berlin (Jerman).53

II.10.2. RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) di Papua

Setelah GKI berdiri sendiri (1956) tugas penginjilan tetap melekat pada dirinya. Ketua
Sinode GKI pada waktu itu, Pdt.Rumainum, mulai mencari peluang untuk membuka pos
pekabaran Injil di daerah Baliem-Yalimu. Pada masa kerja UZV (kemudian menjadi ZNHK)
51
Ibid. 51-52
52
Ibid, 53-54
53
Ibid., 22.
daerah Pegunungan Tengah ini belum tersentuh. Pada kesempatan mengadakan kunjungan ke
Eropa, kepada Sekretaris Umum ZNHK, Rumainum meminta dua pendeta dan satu dokter untuk
membuka daerah Jayawijaya. Dr.Locher menyarankan agar permohonan itu diajukan kepada
badan pekabaran Injil Rheinische Mission di Jerman. Rumainum bertemu dengan pimpinan
zending RMG dan sesudah hal itu dipertimbangan dan didoakan, maka dicapai persetujuan
diantara tiga pihak, yaitu: GKI, ZNHK, RMG. ZNHK menyetujui untuk membiayai pekerjaan di
bidang kesehatan, sedangkan RMG mau membiayai pekerjaan pekabaran Injil di Jayawijaya.54

Pada tanggal 24 September 1960 Dr.W.H.Vriend dan Pdt.S.Zollner tiba di Papua.


Pdt.P.G.Aring dengan keluarganya tiba pada bulan Oktober 1960. Dalam sebuah rapat yang
dihadiri oleh Pdt.Ab Rigters, Sekretaris Sinode GKI dan Dr.Heinrich F. de Kleine (direktur
Rheinische Mission), diambil keputusan bahwa Pdt.Aring ditempatkan di Jemaat GKI Wamena
sedangkan Dr.Vriend dan Pdt.Zollner akan mempersiapkan semua keperluan untuk membuka
daerah baru. Pdt. Manassa Yoku sebagai pendeta jemaat Wamena ditugaskan untuk ikut
membuka daerah baru itu. Di Wamena dibangun sebuah gedung gereja dan pastori, karena
jemaat disana terus menerus bertambah anggota (kebanyakan pegawai pemerintah/anggota-
anggota GKI). Wamena juga akan menjadi pusat dan basis untuk melayani kebutuhan-kebutuhan
di daerah baru. Banyak bahan makanan, kapak besi, sekop,kulit bia, garam, dll. dibungkus untuk
diterbangkan dengan pesawat MAF dan dijatuhkan dari udara di daerah baru.55

Pada bulan Oktober dan November 1960 pilot David Steiger dan Bob Johanson bersama
Pdt.F.J.S.Rumainum (GKI), Dr.H.F.de Kleine (direktur Rheinische Mission), Dr. Vriend
(ZNHK) dan Pdt. Zollner (RMG) beberapa kali mengadakan penerbangan survei di atas lembah
Heluk dan Yahuli sebelah timur dari Wamena. Sesudah itu diadakan satu rapat resmi diantara
GKI, MAF dan CAMA, dan di dalamnya ditentukan daerah baru untuk GKI di atas peta.
Kemudian dipilih dan ditentukan daerah Yalimu dengan sungai besar Yahuli sebagai daerah
pekabaran Injil yang baru. Sesudah rapat bulan November 1960 itu, baru MAF secara resmi
bersedia melakukan penerbangan untuk GKI. Bulan November 1960 Dr. Vriend dan Pdt.Zollner
pindah dari Wamena ke Kurima dan pada bulan Januari 1961 dari Kurima ke Yuwaireinma di
lembah Mugwi. Dari Yuwaireinma diteruskan pekerjaan melalui gunung-gunung yang tingginya
lebih dari 3500 m ke daerah Yalimu ke sebelah timur, sebagai lokasi kerja RMG selama
bertahun-tahun. Sampai saat ini VEM, dalam kerjasama dengan GKI, masih bekerja di daerah
Yalimu dan tetap memberi perhatian secara khusus.56

54
Latuputty,Kiprah Dan Ajaran Gereja, 183.
55
Ibid,183-184
56
Ibid.,184 & 187
II.10.3. UZV (Utrechtse Zendings-Vereniging)
UZV adalah badan zending Belanda yang didirikan pada 13 April 1859, pengurusnya
berkedudukan di kota Utrecht. Badan zending ini lahir dari pengaruh Pietisme/Revival. Secara
khusus pembentukkannya terkait dengan sikap tokoh-tokoh aliran etis yang tidak setuju dengan
suasana NZG yang sangat dipengaruhi oleh aliran modern. Sebagai protes terhadap dominasi
aliran modern dalam NZG, tokoh-tokoh aliran etis keluar dari NZG dan membentuk badan
zending baru yaitu Utrechtse Zendings-Vereeniging (Perhimpunan Zending Utrecht).57 Medan
kerjanya terdapat di Irian Barat (1863), di Halmahera (1866), Bali (1866-1878), Buru (mulai
tahun 1885), dan Sulawesi Selatan (1895-1905). 58
III. Refleksi Teologis
Kekristenan di Irian Jaya memiki berbagai bentuk metode yang digunakan oleh para
penginjil yang membawa masuk kekristenan. Tetapi yang menentukan berhasil atau tidaknya
ditentukan oleh kekuatan injil sendiri di samping oleh usaha para penginjil dalam menanamkan
injil untuk kemuliaan Tuhan supaya setiap yang di bumi mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan
seperti dalam Filipi 2:10-11.
IV. Daftar Pustaka
 Sumber Buku
Alex Rumaseb, Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia di Tanah Papua, Bandung: Kalam
Hidup, 2014.
B.W. Kranendonk dan A.F. Van Toor, Jejak Seorang Pekabar Injil di Papua Gerit
Kuijit, Jakarta: BPK-GM, 2007.
Badan Pengurus Sinode KINGMI di Tanah Papua, Sekitar Gagasan PI Baru, Abepura:
Penerbit Deyai, 2015.
Bernarda Meteray, Nasionalisme Ganda Orang Papua, Jakarta: Kompas, 2012.
F.C Kamma , Ajaib Di Mata Kita, Jilid III, Jakarta: BPK Gunung Mulia,1981.
F.Ukur dan F.L. Cooley, Benih Yang Tumbuh VIII, Jakarta: Lembaga Penelitian dan
Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1977.
I.S.Kijne, Alasan Yang Hidup, Oegsteest: Raad voor de zending de Ned. Herv. Kerk,
1954.
Jacobus P. Solossa, Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di Dalam NKRI, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua. Mengangkat Martabat Rakyat
Papua di Dalam NKRI, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Jan Boelaars, Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan, Merauke: Keuskupan Agung
Merauke,1999.
Kamma , Ajaib Di Mata Kita, Jilid I, Jakarta: BPK Gunung Mulia,1981.
Kumpulan Hasil Penelitian Bidang Studi SGTP I, Pengenalan Gereja-gereja Di Tanah
Papua, Jayapura: STFT GKI I.S.Kijne, 2014.
Numberi, Papua Dalam Mata Rantai, Manokwari: Sekolah Pendidikan Guru Jemaat,
2010.

57
Sientje Latuputty, “Kiprah Dan Ajaran Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua Dan Gereja Katolik Di Bidang
Pendidikan Di Papua” (Disertasi D.Th., STT Jakarta, 2014), 133.
58
End dan Weitjens, Ragi Carita 2, 24.
Sientje Latuputty, “Kiprah Dan Ajaran Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua Dan
Gereja Katolik Di Bidang Pendidikan Di Papua” Disertasi D.Th., STT Jakarta, 2014.
Th. Van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Tim Penyusun Sinode GKI di Tanah Papua, Visi Misi Gereja Kristen Injili Di Tanah
Papua tahun 2011 – 2036, dokumen gereja Jayapura: Sinode GKI di Tanah Papua,2011.
Willem Hanny Rawung, Menelususri Jejak Misionaris di Papua Selatan (Merauke :
Seksi Sejarah Panitia Seratus Tahun Gereja Katolik di Papua Selatan, 2005.

 Sumber Lain
Wawancara melalui telepon dengan Alter Renaldo Boseren, narasumber adalah
seorang teolog yang menempuh strata satu di STT GKI izaakh Samuel Kijne dan sedang
menempuh strata sua di STT Jakarta. Beliau gereja di GKII di Papua.

Anda mungkin juga menyukai