Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU

SEJARAH GEREJA DI TANAH PAPUA

DISUSUN OLEH

NAMA : AKINUS WENDA

NIM : 2016-04-0137

SEMETER : V D

SEKOLAH T AGAMA KRISTEN PROTESTAN (STAKPN) BURERE


SENTANI TAHUN 2018
Perjalanan Geisiser dan Ottow dari (Berlin-Nederland)
Pada tanggal 25 April 1852, Geissier
dan salah seorang rekan yang disiapkan Giosner, S neider berangkat ke Hrsmen
bersama dengan Pdt. O.G.Heldring dan disana mereka tinggal dua bulan. Pdt. O.G.
Heldring adalah seorang penggerak dibidang Missi Zending ke daerah-daerah bangsa
kafir. Kemudian mereka bertemu pula dengan seorang rekan Missionaris C.W. Ottouw
yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh O.G. Heldring. Dan pada malam tanggal
26 Juni 1852 telah diutus menumpangi kapal, ABEL TASMAN dan berangkat ke
Rotterdam dan menuju Batavia. Tetapi sebelum mereka naik Kapal Abel Tasman,
meraka bersama-sama berdoa dan menyerahkan diri mereka dengan sukacita
kedalam pemeliharaan kuasa tangan Tuhan.

Pada tanggal 7 Oktober 1852 mereka tiba dengan selamat-aman di tanah Batavia. Di
Batavia (tanah Jawa) C.W. Ottoe dan J.G. Geissier yang akan meneruskan perjalanan
ke tempat tujuan dan kerinduan mereka harus bersabar selama satu setengah tahun.
Dan kesabaran, kesetiaan mereka disini diuji oleh Tuhan. Disamping itu perlahan
mereka menyesuaikan diri dengan iklim negeri tropik.
Karenanya J.G. Geissler membuka dan memimpin suatu sekolah rakyat di Pusat Missi
Belanda bagi penduduk pribumi di Batavia.

Pada bulan April 1854 terbuka jalan Tuhan suatu kemungkinan untuk menggapai
Tanah kerinduan mereka yaitu Papua. Di Batavia ada seorang saudagar muda
namanya "Ring" pemimpin dan pendiri Perhimpunan Missi memberi informasi bahwa
Pulau kecil Mansinam yang dekat dengan daratan Manokwari penduduknya ramah,
terbuka (namun disini sebenarnya kala itu Tanah Papua penduduknya hidup tertutup,
dianggap buas dan menolak orang asing).

Penduduk dari daratan dore-Mnukwar mengakui Sultan dari Tidore yang dibawah
kekuasaan Pemerintah Belanda rupanya tidak keberatan bila Missionaris Kristen
datang ke Mansinam Papua. Begitu surat jalan dari Pemerintah Balanda yang sampai
ke Ternate, Ottow dan Geisler sangat bersukacita atas berita keberangkatan ke
Papua. Geisler menulis dalam suratnya kepada Gossner sebagai berikut "Terpujilah
Tuhan, sehingga waktunya telah tiba yang telah lama kami menantikan". Kami akan
berangkat kesuatu tempat dimana belum ada seorang Massionaris datangi dan tinggal
karenanya kami tidak dapat mengharapkan perlindungan dari Dia yang telah
bersabda : Aku akan menyertai kamu sampai kepada akhir zaman (Matius, 28 : 20)
Perpisahan dan mereka meninggalkan Batavia pada tanggal 9 Mei 1854.

Dan akhirnya 30 mei 1854 mereka tiba di Ternate dan diterima dengan sangat ramah
oleh Pdt.J.E.Hoveker dan isteri (yang sejak 1833 sebagaiPdtJemaat Protestan yang
kecil disitu). Serta tinggal bersama dirumahnya. Disana mereka belajar dan
memperdalam bahasa melayu serta belajar mengkaji berbagai informasi tentangsikon
Papua. Dan harus bersabar menunggu selamasetengah tahun. Sesudah itu Residen
Balanda C.Bosscher dari Ternate diharapkan dapat menolong untuk perjalanan ke
Papua. Rekan-rekan Missionaris di Batavia mengirimkan 200 Gulden kepada mereka.
Seorang guru Wehker dari Ternate yang sangat kagum merelakan putranya yang
bernamaFrits berusia 12 tahun untuk menjadi pelayan bagi mereka. Mereka
diperbolehkan membawa barang-barang sebanyak yang mereka butuhkan.
Perjalanan itu mereka dibekali beberapa ekor sapi, ayam, bebek, dan angsa.

Merka kemudian menerima surat jalan dari Sultan Tidore yang dogmanya Islam.
Disaat residen Belanda menjelaskan kepada Sultan bahwa Ottow dan geissler mereka
adalah Peneliti Alam. Tetapi Sultan yang sudah lama mengetahui identitas mereka,
berkata "ah mereka kan missionaries pekabaran Injil" jangan merubah status mereka,
biarkan mereka menyebarkan ke Kristenan mereka. Maka Sultan memberikan surat
Ijinbagi mereka bahkan memerintahkan kepada para kepala suku untuk melindungi
dan menolong mereka jika mereka kekurangan makanan.

TIBA DI TANAH PAPUA JANUARI 1855

Pada tanggal 12 Januari 1855 bertolaklah mereka dari Dermaga Ternate, menumpang
Kapal (...) Ternate menuju Pulau tujuan mereka Mansinam. Dan ketika menunggu
pelayaran selama 25 hari pada tanggal 5 Februari 1855 Kapal Ternate membuang
sauhnya di depan pulau Manansbari (Mansinam) Dalam agenda Harian Geislee,
menulis kepada Gossner demikian : Anda tidak dapat membayangkan betapa
besarnya rasa sukacita kami pada saat akhirnya dapat melihat tanah tujuan kami,
Minggu pagi Zending sauh dibuang untuk berlabuh di teluk Doreri. Matahari terbit
dengan indahnya, ya semoga matahari yang sebenarnya, yaitu Rahmat Tuhan yang
menyinari kami dan orang-orang kafir yang malang itu yang telah sekian lamanya
merana didalam kegelapan semoga Sang Gembala setia mengumpulkan mereka
dibawah tongkat GembalaanNya yang lembut. (Sekoci pertama yang menuju daratan
membawa kedua orang penginjil itu kedaratan Mansinam pada pagi hari).
Sebagaimana tindakan terakhir mereka lakukan saat berangkat dari Eropa, berdoa,
maka masuk kedalam semak-semak berlutut dan mencurahkan isi hati mereka
("Dalam Nama Allah kami menginjak kaki di Tanah ini") Mereka memohon kepada
Tuhan Allah untuk memperoleh kekuatan, hikmat dan terang, agar dapat mamulai
Missi Pekabaran Injil dengan baik. Tentang reaksi dan respond (penerimaan)
penduduk pulau Manamsbari kurang disentil (F.C. Kamma, ajaib di mata kita, Jakarta
BPK 1981 hal 87) Namun tentunya pendaratan dan kehadiran serta gerakan-gerakan
mereka sebagai orang asing tak dilewatkan, terutama ketika kedua Mssionaris itu
masuk kedalam semak-semak berlutut dan menyerahkan isi hati berdoa kepada
Tuhan.

GAMBARAN UMUM PADA WAKTU ITU

New Guinea ditemukan oleh orang Portugis yang bernama Meneses pada tahun
1526, sedangkan namanya oleh seorang Spanyol yang bernama Alvarado pada tahun
1528 (jadi 300 tahun kemudian) orang Belanda berupaya untuk membuat tempat
pemukiman di Kolobai di Pantai barat yang diberi nama DUBUS bagian selatan Papua
daerah Fakfak sesuai dengan nama komisaris Nederland Hindia namun pada tahun
1836 mereka menghentikan usaha mereka karena dianggap terlalu mahal dan sia-
sia. Pada tahun 1847 ada beberapa Missionaris Khatolik yang bermukim di pantai
timur laut, namun pada tahun 1852 mereka menghentikannya dan pindah ke pulau
yang lain. Pemukiman besar yang pertama di Puau yang besar, kaya dan diberkati ini
dan diklaim kepemilikannya selama 350 tahun barulah terjadi melalui kedua orang
Jerman Ottow dan Geislert pada tahun 1855.

Nama Papua berasal dari kata dalam bahasa melayu, yaitu "Pua-Pua" yang berarti
rambut keriting dan kemudian disingkat Papua.

Orang Papua pada waktu itu sangat curiga terhadap orang asing. Disamping itu
mereka terkenal untuk merampok dan berperang serta hidup dari berdagang.

Rumah-rumah mereka dibangun diatas air untuk melindungi dari serangan musuh.
Kebanggaan mereka adalah keberhasilan membunuh orang lain, yang ditandai
dengan jumlah bulu sebagai hiasan kepala.

Kebiasaan untuk memakai manusia juga dijumpai di Tanah Papua Waktu itu. Mencuri
dan perzinahan dipandang sebagai pelanggaran yang besar dan mendapat hukuman
yang besar pula. Seringkala pula terjadi pembunuhan terhadap bayi-bayi yang baru
lahir dan orang-orang yang sakit keras dikubur hidup-hidup.

AWAL YANG SULIT DAN PENUH TANTANGAN

PADA TANGGAL 5 Februari 1855 C.W.Ottow dan rekannya J.G.Gaissler tiba di


Mansinan yang letaknya berhadapan dengan Dore (Manokwari). Sebagai tempat
tinggal sementara mereka memakai sebuah gubuk gudang penumpang batu bara
peninggalan para pelaut ditepi pantai. Situasi yang dihadapi mereka sangatlah sulit.
Kapal yang menghantar mereka sudah kembali. Tidak ada orang kecuali Frits yang
dapat diajak berbicara. Mereka tidak bisa berkomunikasi dengan penduduk setempat
dan bahasanya, mereka mengurusi diri mereka sendiri.

Penduduk setempat tidak memahami maksud dan tujuan kedua orang asing ini untuk
menetap di Mansinam.
Dalam surat pengantar dikatakan Sultan Tidore mengirim mereka sebagi orang yang
baik dan dengan maksud dan tujuan yang baik, tetapi hal itu tidak dapat mereka
percayai, karena Sultan belum pernah melakukan kebaikan terhadap mereka
(penduduk-masyarakat Pulau Mansinam- tetapi juga Papua umumnya). Terlebih
penduduk terbiasa harus menanggung ketidak adilan dari Sultan Tidore.

Dengan alasan pajak setiap tahun mereka dijarah dan anggota keluarga mereka
dijadikan budak, sebab itu tidaklah mengherankan kalu mereka tidak mempercayai isi
surat dari Sutan Tidore dengan segala penjelasannya. Dalam hidup sehari-hari
nampak kecurigaan penduduk setempat terhadap Ottow dan Geissler, kendatipun
mereka tidak berani untuk menyerang kedua orang asing itu, tetapi dimata mereka,
sehingga menurut mereka cepat atau lambat kedua orang asing ini akan disingkirkan,
oleh sebab itu Ottow dan Geissler bersikap selalu waspada.

MEMULAI DENGAN AKTIFITAS UJIAN PERTAMA

Tibalah saatnya untuk memulai Pekerjaan mereka. Pertama-tama mereka harus


mencari kayu yang cocok untuk membuat perahu dihutan Pulau Mansinam untuk
dijadikan sarana transportasi laut untuk menyebrang kedaratan Manokwari, dimana
rencana untuk membangun sebuah rumah. Karena mereka tak berpengalaman
dengan jenis-jenis kayu di Papua, penduduk di Pulau Mansinam pun tidak menolong
mereka dengan memberi informasi, maka mereka berdua berapa kali salah memilih
kayu, sehingga pekerjaan berminggu-minggu menjadi sia-sia. (Kata Camma Geissler
menulis dengan sampai tiga kali pohon kayu yang kami pilih dan tebang adalah pohon
kayu yang besar, kayu besi yang tidak cocok karena berat dan akhirnya pecah karena
kana panas matahari maka kami hampir tidak berdaya lagi. Tetapi syukurlah saya
melihat sebuah perahu di rumah orang Papua, dan saya beruntung dapat membelinya
dengan harga 12 gelden. Dan akhirnya dengan Perahu itulah digunakan mereka untuk
menyeberang ke daratan Manokwari Teluk Dore (Kwawi) dan di daratan Kwawi setiap
hari mereka bekerja menebang pohon. Dan pada malam harinya mendayung kembali
ke pulau Mansinam.

Karena mereka bekerja begitu keras pagi hingga malam sehingga akhirnya mereka
jatuh sakit. Pertama-tama anak Frits menjadi sakit dan kemudian Ottow terkena
kelengar mata hari, sehingga Ottow hampir meninggal . menghadapi keadaannya itu
Geissler menulis dalam buku hariannya, saya sangat sedih dan memikirkannya, tetapi
saya berdoa kepada Tuhan.

Tuhan saya membutuhkan dia dan orang-orang kafir ini membutuhkan dia, dem
kerajaan-Mu, pulihkanlah dia kembalidan Tuhan yang Maha Mendengar seruan doa
hamba-Nya dan akhirnya Ottow menjadi sembuh. Tak lama kemudian Gaissler yang
kena giliran sakit. Tamu yang jahat yaitu demam Malaria menyerang dia. Juga terkena
luka borok (abses) di kakinya yang sangat membahayakan atau menyakitkan. Ottow
juga berulang kena radang otak. Demikian mereka berdua terbaring dalam kesakitan,
lemah dan tanpa pertolongan apapun di gubuk mereka di Mansinam.

Penduduk Mansinam mulai sadar bahwa kedua orang ini tidak membahayakan,
kendati demikian mereka tidak menolong, acuh dan tanpa perasaan terhadap Ottow
dan Gaissler. Ada sekelompok orang dari penduduk setempat sempat datang ke
dalam gubuk untuk menengok , tetapi mereka hanya duduk saja, hanya
memperhatikan Ottow dan Gaissler selama berjam-jam tanpa menolong sedikitpun.
Tidak ada tangan yang diulurkan untuk memberikan segelas air.

Akhirnya datanglah pertolongan yang diharapkan. Gaissler menulis : Sesudah demam


malaria meninggalkan saya dan saya untuk pertama kalinya dapat keluar gubuk. Saya
merasakan kesakitan di kaki kiri saya, Borok itu semakin besar dan memerah,
sehingga saya tidak dapat meninggalkan tempat tidur. Kesakitan saya begitu luar
biasa, sehingga saya berteriak dan terus merintih dan berdoa kepada Tuhan yang
menjanjikan : Mintalah, carilah, ketuklah. Meskipun kami tudak mempunyai harapan
akan jalan keluar dari penderitaan ini, akan tetapi tetaplah benar apa yang Tuhan
katakana : Tidak ada hal yang mustahil bagi mereka yang percaya, walaupun tidak
terjadi mujizat yang luar biasa, tetapi Tuhan telah memimpin hati manusia seperti
aliran sungai sehingga tanpa terduga datanglah sebuah kapal uap ke Mansinam,
sehingga saya diselamatkan. Saya harus kembali ke Ternate. Tetapi keputusan ini
sangatlah berat bagi saya. Beberapa tuan besar diatas kapal tersebut termasuk dokter
kapal berusaha untuk meyakinkan saya, tetapi sia-sia karena saya masih tetap mau
bertahan di Mansinam. Akhirnya Residen Belanda sendiri mengirim pesan sampai
ketempat tidur saya dan mengatakan :

Saya memberikan kebebasan kapada Anda untuk datang ke Tanah Papua dan untuk
berusaha hidup, tetapi karena kepada saya disampaikan Anda dalam keadaan kritis
(hampir mati), maka saya hanya dapat mengatakan Anda harus kembali. Demikianlah
akhirnya saya menyerah dan ikut ke Ternate.
Di Ternate J.G. Gaissler mendapat perawatan dan akhirnya sembuh, tetapi harus
menunggu Kapal selama sekitar 10 (sepuluh) bulan untuk kembali ke Mansinam.

C.W. Ottow dengan pembantu mereka Frits tinggal sendirian di Pulau Mansinam.
Walaupun terkadang di serang, Demam Malaria tapi selalu memperoleh keberanian,
tenaga keteguhan hati pada keyakinan dan visinya. Untuk mengatasi kesepian Ottow
mengintensifkan hubungan dengan para penduduk terutama melalui imbal dagang.
Ottow membeli hasil-hasil penduduk, kacang-kacangan, ikan, burung cenderawasih,
kerang, perisai- senjata tradisional, teripang dan di jual kepada saudagar dari kapal
Van Duivenbode, hasil uang dari penjualan tersebut digunakan untuk belanja
kebutuhan pokok, obat-obatan. Pada tanggan 12 Januari 1856 (Gaissler) berangkat
sengan kapal kembali ke Tanah Papua Mansinam di sertai 5 orang tukang kayuuntuk
membangun rumah disana.

Tugas pewartaan pemberitaan Firman.Injil, atau penyebaran.

Pada tanggal 25 September 1858, dating 12 orang dalam kondisi lemah yang selamat
dari kecelakaan kapal Belgia "Constant" Kapal tersebut pada tanggal 12 Juni 1858,
menabrak batu karang dan pecah akibat salah leinnya disebelah selatan pulau karang
Mansinam. Orang-orang Papua yang ramah pada saat itu melihat pada punggung
salah satu awak kapal terdapat tulisan doa dalam bahasa Belanda akhirnya membawa
mereka kepada Ottow dan merawat serta memberi makan pada anak buah kapal yang
kena musibah tersebut selama 6 bulan.

Kedua misionaris dengan bantuan dari tukang dari Kapal tersebut, bersama 4 orang
tukang dari Halmahera (Gelela) Ottow mengadakan pelayanan kebaktian setiap hari
Minggu kepada mereka dalam bahasa Belanda. Dengan penuh rasa syukur mereka
menngalkan Mansinam dan menggunakan perahu layer pada tanggal 11 April 1859
dan tiba di Ternate 1 Juni 1859 dan dalam bulan Oktober tahun yang sama mereka
tiba di Amsterdam.

Nb. Gaissler dalam buku hariannya menulis : sering berulang-ulang menolong para
Pelaut yang karena kapal-kapal dagang Jerman dan Belanda yang karam di perairan
Papua. Hal menolong bukanlah sesuatu yang mudah, karena membutuhkan
pengorbanan yang tidak sedikit dan bersedia untuk merawat, memelihara sejumlah
besar pelaut dan pengobatan.

PENYELAMATAN PARA PELAUT JERMAN YANG KAPALNYA KARAM

Pada bulan Maret 1857 mereka mendengar berita tenteng karamnya Kapal dagang
Jerman yang terdampar pada batu karang di kawasan Teluk Cenderawasih, untuk
menyelamatkan anak buah Kapal demi terhindar dari perbudakan dan kematian sebab
ada tiga (3) orang anak buah kapl itu sudah dibawa ke Windesi. Ottow dan Gaissler
menyiapkan barang-barang dagang untuk barter dan uang menyewa sebuah perahu
dengan 22 orang laki-laki tenaga pendukung, setelah melalui suatu perundingan untuk
menentukan siapa diantara mereka yang harus berangkat, sebab seorang harus
tinggal di Mansinam, akhirnya membuang undi, dan pilihan jatuh pada Gaissler.
Sehngga ia yang berangkat dengan para pendayung, dan pada tanggal 11 April 1857
ia berhasil menyelamatkan dan menebus 3 orang awak kapal sedang yang seorang
berada di tempat yang jauh, namun setelah mendengar berita bahwa ia telah
meninggal, para bajak laut sudah mengambilnya dan membunuh dengan kejam di
semenanjung Wandamen. Leh sebab itu Gaissler dan para pendayungnya segera
berangkat kembali ke Mansinam. Ketiga awak kapal yang diselamatkan itu, mereka
dalam keadaan sakit dan terus dirawat oleh Ottow dan Gaissler. Sesudah mereka
sembuh lalu mereka berangkat dengan kapal dan tiba dengan selamat di tanah air
mereka (Jerman).

Sebagai tanda terima kasih kepada enyelamatan anak buah kapal Jerman dimana
Pemerintah Belanda (Den Haag) mendengar bagaimana kedua missionaries Ottow
dan Gaissler mempertaruhkan nyawa dan milik mereka untuk menyelamatkan anak-
anak buah kapal yang karam itu, kepada Ottow dan Gaissler diberikan hadiah kepada
masing-masing sebesra 250 Gulden kepada mereka. Dalam agenda Gaissler
menulis, Mereka merasa bersukacita bahwa sekarang mereka tidak perlu lagi hidup
semata-mata dari uang persembahan Missi/Badan Zending, tetapi dapat hidup dari
gaji Pemerintah Belanda, sehingga mereka lebih leluasa dalam menjalankan tugas.

SUMBER: MANSINAM.COM

Anda mungkin juga menyukai