Anda di halaman 1dari 24

Catatan Pengantar Agama Suku

Apa Itu Agama?


Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip
kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama
lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut.

Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi".[1].
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari
bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.

Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini
diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada
agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu.
Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik
persamaannya dan titik perbedaannya.

Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan


keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar
dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga.
Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa
manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain
atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng
Dumadi, De Weldadige dll.

Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan
dengan cara menghambakan diri, yaitu:

 menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan


yakin berasal dari Tuhan
 menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal
dari Tuhan

Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan
manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah
manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang
mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
Berdasarkan cara beragamanya:

1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara
beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan
sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal
keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan
tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal
keagamaanya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di
lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara
beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada
umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya
jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara
beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau
masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan
amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan
nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya.
Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran
agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa
berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan
orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan
hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha
memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan
penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang
dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang
dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum
mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh)
dengan itu semua.

Agama di Indonesia

Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam,
Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya,
pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan
agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden
Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih
banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari
pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi,
Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang
No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam
penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh
sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan
kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan
pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama
tersebut.

Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi
dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK
(Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom
agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat
Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena
dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang
Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.

Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan
keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.
Mata Kuliah Agama Suku

PENGERTIAN AGAMA
Pdt.Afrida Gintu, MTh

Menurut teori Evolusi [yang sampai kini belum ada bukti-bukti utuh
dan lengkap tentang kebenarannya], manusia modern atau homo sapiens ada
karena suatu proses perkembangan yang panjang dan dalam rentang waktu
lama. Proses panjang dan lama itu terjadi karena manusia berkembang dari
organisme sederhana menjadi makhluk yang relatif sempurna; dan segala
sesuatu yang bertalian dengan manusia serta kemanusiaannya juga
berkembang karena adanya proses evolusi. [Dan dalam kenyataannya, evolusi
hanya merupakan teori, tetapi diajarkan dan dijabarkan sebagai suatu
peristiwa yang benar-benar terjadi atau dialami pada semua makluk].
Akan tetapi, menurut Kitab Suci Agama-agama, manusia, alam semesta,
dan segala sesuatu adalah hasil ciptaan TUHAN Allah; hasil ciptaan yang
penuh dengan kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu, manusia mampu
bertambah banyak karena di dalam diri mereka tertanam naluri bertahan
hidup serta kemampuan reproduksi. Di samping itu, manusia juga dilengkapi
dengan berbagai kemampuan serta kreativitas [penggagas Teori Evolusi pun,
tidak pernah bisa menjawab siapa yang telah melengkapi manusia dengan
berbagai kemampuan serta kreativitas tersebut], sehingga mampu
beradaptasi dengan sikon hidup dan kehidupannya; bahkan menjadikan
segala sesuatu di sekitarnya menjadi lebih baik serta memberi kenyamanan
padanya.
Kemampuan dan kreativitas itu, menjadikan manusia mempunyai
keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Sehingga,
yang tadinya mempunyai pola nomade, lambat laun menetap kemudian
membangun komunitas pada suatu lokasi dengan batas-batas geografis
tertentu. Dalam batas-batas geografis itu, mereka semakin bertambah banyak
serta mampu membangun komunitas masyarakat dengan berbagai aspek yang
bertalian dengannya.
Salah satu aspek yang biasanya ada dalam suatu komunitas masyarakat
adalah cara-cara penyembahan kepada kekuatan lain di luar dirinya. Hal itu
terjadi karena manusia mempunyai naluri religius yang universal. Kekuatan
lain di luar diri manusia itu bersifat Ilahi, supra natural, berkuasa,
mempunyai kemampuan maha dasyat, sumber segala sesuatu, dan lain-lain.
Ia adalah Kekuasaan Yang Tertinggi melebihi apapun yang ada di alam
semesta. Akan tetapi, manusia tidak mampu menggambarkan bentuk-bentuk
konkrit dari apa yang mereka sembah sebagai Kekuasaan Yang Tertinggi itu.
Komunitas tersebut mempunyai keyakinan bahwa Ia ada, dihormati,
disembah, ditakuti; kemudian diikuti dengan memberi persembahan korban
kepadanya. Kondisi seperti itu biasanya disebut agama suku atau agama asli.

AGAMA-AGAMA ASLI
Agama Asli adalah bentuk-bentuk atau cara-cara penyembahan yang ada
pada suatu suku dan sub-suku; kerohanian khas pada suatu bangsa, suku, dan
sub-suku; berasal dari antara mereka sendiri, serta tidak dipengaruhi atau
meniru dari komunitas ataupun orang lain. Ciri-ciri yang ada pada agama asli
antara lain,

 terikat pada lokasi atau tempat bangsa ataupun suku dan sub-suku
hidup dan berkembang; misalnya diseputar lembah atau pegunungan,
daerah pedalaman serta terpencil, dan lain sebagainya; sehingga
terbatas pada masyarakat dalam komunitas atau lingkungan tertentu
 dianut oleh sekelompok suku atau sub-suku ataupun gabungan
beberapan suku;
 mempunyai atau adanya banyak larangan-larangan, tabu, benda-benda
dan tempat-tempat keramat serta dianggap suci; tempat-tempat
keramat tersebut biasanya difungsikan juga sebagai pusat kegiatan
penyembahan atau ritus;
 pada umumnya berhubungan dengan alam [misalnya benda-benda
langit; pohon, gunung, gua, dan lain-lain]; bersifat spiritisme [adanya
roh-roh pada benda-benda di alam semesta], animisme [adanya nyawa
atau jiwa pada benda-benda tertentu], dinamisme [adanya kekuatan
dan kuasa pada semua makhluk], totemnisme [adanya hubungan antara
manusia dengan binatang tertentu].

Hubungan erat antara [masyarakat] penganut agama suku dengan alam


terjadi karena anggapan bahwa pada alam ada atau berdiam [tinggal] pribadi
yang mempunyai kekuatan dan kuasa. Sebagai pribadi, alam juga tidak mau
diganggu atau dirusak oleh manusia. Dalam konsep agama-agama suku, jika
pribadi pada alam tersebut diganggu [mendapat gangguan], maka Ia akan
mendatangkan murka pada manusia. Dan juga hubungan itulah, yang
seringkali menjadikan mereka lebih memperhatikan dan menjaga keselarasan
hidup dengan lingkungan.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan,
pemikiran dan pemahaman manusia tentang siapa Yang Ilahi yang disembah
semakin maju. Pada perkembangan selanjutnya, model atau cara-cara
penyembahan pada agama suku, berubah dan berkembang menjadi suatu
sistem yang teratur. Perubahan dan perkembangan ini, juga menjadikan
manusia mempunyai aneka pendapat atau pengertian tentang agama.

ARTI AGAMA

Agama [Sanskerta, a = tidak; gama = kacau] artinya tidak kacau; atau


adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu.
Religio [dari religere, Latin] artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan
dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan
ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu
sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan
tertentu [yang supra natural] dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat
keselamatan. Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan
masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia [pendiri atau pengajar utama
agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut
dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari
Ilahi agar manusia mentaatinya. Perintah dan kata-kata tersebut mempunyai
kekuatan Ilahi sehingga dapat difungsikan untuk mencapai atau memperoleh
keselamatan [dalam arti seluas-luasnya] secara pribadi dan masyarakat.

Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil budaya. Artinya,
manusia membentuk atau menciptakan agama karena kemajuan dan
perkembangan budaya serta peradabannya. Dengan itu, semua bentuk-bentuk
penyembahan kepada Ilahi [misalnya nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan
lain-lain] merupakan unsur-unsur kebudayaan. Dengan demikian, jika
manusia mengalami kemajuan, perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan
kebudayaan, maka agama pun mengalami hal yang sama. Sehingga hal-hal
yang berhubungan dengan ritus, nyanyian, cara penyembahan [bahkan
ajaran-ajaran] dalam agama-agama perlu diadaptasi sesuai dengan sikon dan
perubahan sosio-kultural masyarakat.
Sedangkan kaum agamawan berpendapat bahwa agama diturunkan
TUHAN Allah kepada manusia. Artinya, agama berasal dari Allah; Ia
menurunkan agama agar manusia menyembah-Nya dengan baik dan benar;
ada juga yang berpendapat bahwa agama adalah tindakan manusia untuk
menyembah TUHAN Allah yang telah mengasihinya. Dan masih banyak lagi
pandangan tentang agama, misalnya,

1. Agama ialah [sikon manusia yang] percaya adanya TUHAN, dewa,


Ilahi; dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta
berbhakti kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai macam atau
bentuk kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut
2. Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia
terhadap sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan
kehidupan serta alam semesta; cara-cara tersebut bervariasi
sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan masyarakat yang
menganutnya atau penganutnya
3. Agama ialah percaya adanya TUHAN Yang Maha Esa dan hukum-
hukum-Nya. Hukum-hukum TUHAN tersebut diwahyukan
kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu
adalah orang-orang yang dipilih secara khusus oleh TUHAN
sebagai pembawa agama. Agama dan semua peraturan serta
hukum-hukum keagamaan diturunkan TUHAN [kepada manusia]
untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat

Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan
menyembah Ilahi [yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta
kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia]; upaya tersebut
dilakukan dengan berbagai ritus [secara pribadi dan bersama] yang ditujukan
kepada Ilahi.
Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia terhadap penyataan
TUHAN Allah. Dalam keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal
TUHAN Allah, maka Ia menyatakan Diri-Nya dengan berbagai cara agar
mereka mengenal dan menyembah-Nya. Jadi, agama datang dari manusia,
bukan TUHAN Allah. Makna yang khusus inilah yang merupakan pemahaman
iman Kristen mengenai Agama.

CIRI-CIRI UMUM AGAMA


Berdasarkan semuanya itu, hal-hal yang patut diperhatikan untuk
memahami agama, antara lain

1. Pada setiap agama mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau


Sesuatu Yang Ilahi dan disembah. Ia bisa disebut TUHAN, Allah, God,
Dewa, El, Ilah, El-ilah, Lamatu’ak, Debata, Gusti Pangeran, Deo, Theos
atau penyebutan lain sesuai dengan konteks dan bahasa masyarakat
[bahasa-bahasa rakyat] yang menyembah-Nya. Penyebutan tersebut
dilakukan karena manusia percaya bahwa Ia yang disembah adalah
Pribadi yang benar-benar ada; kemudian diikuti memberi hormat dan
setia kepada-Nya. Jadi, jika ada ratusan komunitas bangsa, suku, dan
sub-suku di dunia dengan bahasanya masing-masing, maka nama Ilahi
yang mereka sembah pun berbeda satu sama lain. Nama yang berbeda
itu pun, biasanya diikuti dengan pencitraan atau penggambaran Yang
Ilahi sesuai sikon berpikir manusia yang menyembahnya. Dalam
keterbatasan berpikirnya, manusia melakukan pencitraan dan
penggambaran Ilahi berupa patung, gambar, bahkan wilayah atau lokasi
tertentu yang dipercayai sebagai tempat tinggalJadi, kaum agama tidak
bisa mengklaim bahwa mereka paling benar menyebut Ilahi yang
disembah. Sehingga nama-nama lain di luarnya adalah bukan Ilahi yang
patut disembah dan dipercayai atau diimani.
2. Pada setiap agama ada keterikatan kuat antara yang menyembah
[manusia] dan yang disembah atau Ilahi. Ikatan itu menjadikan yang
menyembah [manusia, umat] mempunyai keyakinan tentang
keberadaan Ilahi. Keyakinan itu dibuktikan dengan berbagai tindakan
nyata [misalnya, doa, ibadah, amal, perbuatan baik, moral, dan lain-
lain] bahwa ia adalah umat sang Ilahi. Hal itu berlanjut, umat
membuktikan bahwa ia atau mereka beragama dengan cara
menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Ia harus melakukan doa-doa;
mampu menaikkan puji-pujian kepada TUHAN yang ia sembah;
bersedia melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan perhatian
kepada orang lain dengan cara berbuat baik, sedekah, dan lain
sebagainya.
3. Pada umumnya, setiap agama ada sumber ajaran utama [yang tertulis
maupun tidak tidak tertulis]. Ajaran-ajaran tersebut antara lain: siapa
Sang Ilahi yang disembah umat beragama; dunia; manusia; hidup
setelah kematian; hubungan antar manusia; kutuk dan berkat; hidup
dan kehidupan moral serta hal-hal [dan peraturan-peraturan] etis untuk
para penganutnya. Melalui ajaran-ajaran tersebut manusia atau umat
beragama mengenal Ilahi sesuai dengan sikonnya sehari-hari; sekaligus
mempunyai hubungan yang baik dengan sesama serta lingkungan hidup
dan kehidupannya.
4. Ajaran-ajaran agama dan keagamaan tersebut, pada awalnya hanya
merupakan uraian atau kalimat-kalimat singkat yang ada pada Kitab
Suci. Dalam perkembangan kemudian, para pemimpin agama
mengembangkannya menjadi suatu sistem ajaran, yang bisa saja
menjadi suatu kerumitan untuk umatnya; dan bukan membawa
kemudahan agar umat mudah menyembah Ilahi.
5. Secara tradisionil, umumnya, pada setiap agama mempunyai ciri-ciri
spesifik ataupun berbeda dengan yang lain. Misalnya,

 pada setiap agama ada pendiri utama atau pembawa ajaran; Ia


bisa saja disebut sebagai nabi atau rasul, guru, ataupun
juruselamat
 agama harus mempunyai umat atau pemeluk, yaitu manusia;
artinya harus ada manusia yang menganut, mengembangkan,
menyebarkan agama
 agama juga mempunyai sumber ajaran, terutama yang tertulis,
dan sering disebut Kitab Suci; bahasa Kitab Suci biasanya sesuai
bahasa asal sang pendiri atau pembawa utama agama
 agama harus mempunyai waktu tertentu agar umatnya
melaksanakan ibadah bersama, ternasuk hari-hari raya
keagamaan
 agama perlu mempunyai lokasi atau tempat yang khusus untuk
melakukan ibadah; lokasi ini bisa di puncak gunung, lembah,
gedung, dan seterusnya
Materi Mata Kuliah Agama Suku

OKULTISME, MANUSIA DAN AGAMA


Pdt.Afrida Gintu, MTh

Pendahuluan

Kehidupan masyarakat saat ini, baik di Indonesia maupun global, diwarnai oleh banyaknya
paham dan praktek keagamaan. Di Indonesia, agama-agama yang ada itu terdiri dari beberapa
corak, yaitu: Pertama, agama-agama umum dan konvensional, seperti Hindu, Buddha, Islam dan
Kristen; kedua, agama (dan budaya-adat) yang masih dianut dan dipraktekkan di dalam
masyarakat-suku tertentu, seperti Parmalim (Batak), Kaharingan (Dayak), Marapu (Sumba) dan
Kejawen (Jawa); ketiga, agama atau gerakan-gerakan keagamaan yang menekankan spiritualitas
atau keagamaan oribadi (atau agama diri, the religion of the Self), atau kelompok yang
digolongkan ke dalam gerakan zaman baru (New Age Movement), seperti (yang di Indonesia)
Brahma Kumaris, Anand Ashram, dan kelompok-kelompok Yoga; keempat, aliran keagamaan
yang berakar pada agama suku/ asli Indonesia dan agama Hindu, Buddha, Islam dan Kristen,
yaitu aliran-aliran kepercayaan atau kebatinan (seperti Pangestu, Sumarah, Sapta Dharma dan
Subud); kelima, aliran keagamaan yang dianggap sesat oleh mayoritas penganut agamanya,
seperti yang muncul dari dalam Islam misalnya Kerajaan Eden (Lia Eden) dan Satrio Piningit
Wedang Buwono; sedangkan yang muncul dari dalam agama Kristen seperti Children of God
dan Satanic Church.

Dari dalam umat agama atau aliran keagamaan di atas, beredar paham dan praktek yang
berdasarkan kepercayaan kepada adanya alam supranatural atau alam lain yang tidak tampak
dengan mata, serta adanya mahluk-mahluk supranatural (atau mahluk halus) yang memiliki
kekuatan atau kesaktian, atau juga adanya mahluk asing yang berasal dari alam semesta lain. Di
dalam alam ini terdapat baik oknum atau sosok kuat dan sakti atau sosok satanik, dan energi atau
kekuatan yang tidak kelihatan namun dapat berpengaruh (baik atau buruk) kepada manusia dan
yang dimanfaatkan oleh orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk itu, misalnya
sosok atau mahluk halus seperti hantu atau setan, roh atau arwah, jin, tuyul, mayat hidup
(Zombie), benda-benda yang dipercayai memiliki kesaktian, atau benda-benda yang menjadi
tempat berdiam mahluk halus. Paham dan praktek kepercayaan inilah yang saat ini disebut
sebagai Okultisme. Pembahasan yang lebih lengkap tentang Okultisme akan diberikan di bagian
selanjutnya.

Okultisme: Arti, Keberadaan dan Perkembangannya

Kata Indonesia “Okultisme” dibentuk dari kata Inggris “Occultism” dan Perancis “Occultisme”,
yang berasal dari kata Latin “Occultus”, artinya yang tersembunyi, yang tidak kelihatan, rahasia
atau misteri; juga berarti yang di luar atau melampaui alam atau natur, karena itu ia di sebut juga
yang supra-natural. Dari pengertian asal katanya itu, Okultisme lalu didefinisikan sebagai paham
atau kepercayaan terhadap alam supranatural, atau yang misterius, rahasia atau yang gaib,
dengan berbagai sosok gaib dan misterius, yang diikuti oleh berbagai ritual atau ritus dengan
tujuan tertentu. Bahwa di balik kenyataan hidup yang kelihatan ini, ada dunia atau oknum atau
hal-hal yang tidak kelihatan, tetapi yang dapat mempengaruhi hidup manusia yang nyata; dan
bahwa hal-hal misterius itu dapat dimanfaatkan bagi kepentingan manusia.

Kata “okultisme” diduga dipergunakan untuk pertama kali oleh seorang Perancis, yaitu Eliphas
Levi (1810-1875) dengan istilah occultisme. Kemudian seorang Inggris, yaitu A.P. Sinnet (1881)
menggunakan istilah occultism. (Kata Indonesia “okultisme” tampaknya berasal dari kata Inggris
tersebut). Setelah pengunaan di Perancis dan Inggris itu, istilah Okultisme mulai banyak
digunakan. Tahun 1940-an mulai menjadi topik yang marak dibicarakan dan tahun 1951, kata itu
dimasukkan sebagai salah satu kata dalam Encylopedia of Religion and Ethics.
Di dalam masyarakat Barat, khususnya Eropah, yang dipengaruhi oleh rasionalisme dan ilmu
pengetahuan, khususnya setelah masa renaisans dan kebangkitan, Okultisme dikembangkan lebih
ke arah sebuah ilmu atau menjadi ilmu dan seni. Karena itu, di tempat munculnya pembahasan
yang serius dan sistematis tentang Okultisme, atau di Eropah, pada masa-masa awal, yaitu mulai
sekitar akhir tahun 1600-an, Okultisme diakui dan dikelompokkan sebagai ilmu dan seni. Ketika
itu Okultisme dibahas di dalam bidang Esoterisme (serupa ilmu kebatinan), yaitu paham atau
ajaran dan ilmu tentang hal-hal yang tersembunyi atau rahasia atau misterius di dalam alam ini.
Hal-hal itu hanya dapat dipahami oleh orang tertentu atau yang memiliki pengetahuan khusus.
Misalnya, astrologi-horoskop dan al-kimia (seperti membuat logam biasa menjadi emas). Namun
tahun 1700-an, Okultisme tidak lagi diakui sebagai ilmu oleh para ilmuan di Perancis. Ini
dipengaruhi oleh rasionalisme absolut dan ilmu pengetahuan yang mulai berjaya ketika itu.
Okultisme kemudian terpinggirkan dan mengalami kemandekan sebagai ilmu dan seni, dan
apalagi Okultisme sebagai unsur/agama. Sebagai agama, Okultisme, sebagaimana juga agama
Kristen, tidak sanggup menjawab tantangan rasionalisme dan ilmu pengetahuan. Okultisme baru
muncul lagi sebagai ilmu, seni dan agama ketika masa revolusi industri di Eropah abad 18/19.
Ternyata rasio dan ilmu pengetahuan dan agama institusional, dalam hal ini, Kristen, tidak dapat
menjawab berbagai kebutuhan spiritual/batin manusia. Kemajuan industri dan kemakmuran
hidup tidak memberikan kepuasan batin kepada manusia; kebutuhan batin ini yang kemudian
diusahakan dipenuhi melalui paham-paham dan usaha-usaha pencarian, penemuan dan
penyatuan dengan hal-hal atau sosok-sosok yang bersifat gaib/supranatural atau yang rahasia
atau misterius. Dengan begitu, di Eropah, Okultisme, baik sebagai ilmu, seni dan agama,
kemudian tumbuh dan berkembang lagi sampai saat ini. Namun, Okultisme di Eropah saat ini
lebih berkaraktek agama atau seni pengolah batin atau spiritualitas untuk kesempurnaan diri.
Karena itu, bentuk Okultisme seperti Yoga sangat digemari.

Di dalam masyarakat barat yang lain, yaitu Amerika, khususnya Amerika Utara (USA dan
Kanada), Okultisme muncul dan berkembang pesat di saat yang Eropah terpinggirkan, yaitu
mulai sekitar tahun 1700-an. Namun Okultisme di Amerika itu berkembang ke arah yang lebih
bersifat keagamaan; belum menjadi paham yang dikembangkan sebagai seni dan ilmu. Di
Amerika, Okultisme lebih menonjolkan spiritisme dan terutama satanisme atau demonisme. Hal
ini karena pengaruh agama Kristen (yang kemudian diwarnai juga oleh aliran-aliran pentakostal,
injili dan kharismatik) dengan ajaran-ajarannya yang menonjolkan tentang roh (kudus dan
jahat/iblis) dan penekanan pada ajaran anti-demonik, anti setan dan anti roh jahat. Nanti di jaman
modern, Okultisme di Amerika berkembang juga ke arah ilmu, yaitu usaha mencari dan
menemukan serta memahami adanya alam dan mahluk-mahluk misterius yang mendiami tempat
atau barang tertentu atau yang berasal dari dunia lain seperti UFO. jadi, Okultisme di Amerika
memiliki dua corak, yaitu ilmu-seni dan agama.

Di dunia Timur atau pada masyarakat yang menekankan agama, paham dan praktek Okultisme
seperti di atas menjadi lebih menonjol sebagai sebuah realitas dan aktifitas keagamaan. Unsur-
unsur Okultisme yang dominan atau yang umumnya dipraktekkan adalah unsur-unsur agama.
Ada kelompok yang mempercayai UFO, namun jumlahnya sangat kecil. Memang, Okultisme
sebagai seni-ilmu tampaknya mulai mengalami perkembangan, khususnya dengan tersebarnya
ajaran-ajaran filsafat-agama dari India.

Sebagai seni dan ilmu/pengetahuan, Okultisme dapat disebut sebagai bidang atau unsur
kehidupan yang berdiri sendiri. Ia dengan begitu memiliki kebebasan untuk hidup dan
mengekspresikan keberadaan/kehidupannya dengan tujuan memberi manfaat kepada
penganutnya. Sebagai seni Okultisme dipahami sebagai seni batiniah, di dalam hati manusia.
Dan ia membangkitkan dan memberi inspirasi kepeda batin manusia. Sebagai Ilmu, ia memberi
pengetahuan dan mendorong kehidupan eksternal manusia. Di sini Okultisme menolong orang
untuk menyempurnakan hidup batin maupun lahir. Saat ini, Okultisme digolongkan sebagai
paham keagamaan dan juga ilmu-seni yang meliputi banyak bidang, seperti mistik, astrologi,
misteri, magi/magisme/sihir/tenung, kekuatan-kekuatan penyembuhan, tahyul, penyembahan
leluhur, mitologi, satanisme-demonisme, spiritisme, kepercayaan kepada Alien/UFO dan bahkan
kelompok-kelompok spiritualitasatau sekte-sekte atau kult.

Okultisme, Manusia dan Agama

Secara psikologis, manusia mengandung unsur yang misterius, yaitu jiwa (atau roh menurut
teologi) yang menghidupkan. Juga yang masih dianggap misterius (walaupun sudah dapat
dijelaskan dengan ilmu sosial dan kejiwaan) adalah hal-hal yang tidak kelihatan di alam ini tetapi
yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian atau terutama keadaan atau nasib hidup.
Karena unsur yang misterius inlah maka manusia umumnya dekat dengan atau memiliki
kecenderungan untuk mempercayai hal-hal yang miterius, baik seseorang itu memiliki
agama/kepercayaan (sebagai sebuah sistem) atau tidak. Hal-hal yang misterius ini mendapatkan
konsep atau formatnya melalui pemikiran, refleksi dan kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh
manusia. Misalnya kemudian manusia menyimpulkan bahwa ada kekuatan (ilahiah kalau dalam
agama) yang menyebabkan gunung meletus, atau banjir bandang, atau topan tornado. Bahwa ada
mahluk yang tidak kelihatan yang sedang menunggui mata air atau sebuah pohon yang besar.
Bahwa seseorang meninggal karena arwahnya meninggalkan tubuhnya dan pada saat tertentu
arwah orang yang telah meninggal itu bergentayangan dan akan mengajak saudaranya untuk ikut
pergi. Terhadap pemahaman atau kepercayaan-kepercayaan ini, orang lalu melakukan ritus
dengan tujuannya sendiri-sendiri. Umumnya kepercayaan dan ritualseperti itu diungkapkan dan
atau ditemukan di dalam ajaran-ajaran dan praktek agama.

Dari ajaran dan praktek yang dijalankan penganutnya, Okultisme tampak memiliki unsur-unsur
utama yang juga ada di dalam agama yang sudah melembaga atau agama institusional seperti
Hindu, Buddha, yahudi, Islam dan Kristen, serta agama-agama suku, yaitu ajaran tentang alam
dan sosok supranatural, kekuatan-kekuatan (spiritisme dan satanisme) yang tidak kelihatan dan
ritus-ritus yang dilakukan dalam rangka kepercayaannya itu. Karena itu, ia dapat disebut juga
sebagai agama. Melihat kesamaan unsur-unsur yang merupakan ajaran-ajaran agama, maka
Okultisme dapat juga disebut sebagai unsur pembentuk atau bagian dari agama. Okultisme
berbeda dari agama institusional secara umum karena ada unsur-unsur utama di dalam agama
yang tidak diajarkan di dalam Okultisme, seperti tentang Tuhan-Allah, Surga dan Neraka, Kitab
Suci dan umat serta aturan yang tertata sebagai sebuah lembaga. Namun karena statusnya
sebagai agama ataua bagian dari agama, Okultisme tidak dapat dipisahkan dari agama. Di bawah
ini akan diperlihatkan unsur dan ajaran agama-agama umumnya yang sama dengan ajaran
Okultisme.

1. Dinamisme, kepercayaan tentang adanya kekuatan atau kekuasaan atau kesaktian pada segala
sesuatu yang ada di dalam alam ini, yaitu pada manusia, hewan maupun benda. Kekuatan ini di
dalam agama-agama suku disebut juga dengan “mana” atau kesaktian. Lalu dipahami bahwa
mana terutama ada di dalam benda-benda yang dikeramatkan atau yang dianggap memiliki
kesaktian. Kekuatan ini melebihi kekuatan alamiah atau natural. Jadi ia merupakan kekuatan
supernatural. Mana tidak berpribadi sehingga tidak dapat melakukan sesuatu dengan kemauan
dan kemampuan sendiri. Harus ada pihak lain yang menggerakan dan memanfaatkan kekuatan
itu. Mana atau kekuatan ini dapat menyebabkan hal baik atau buruk pada manusia. Karena itu,
kekuatan ini menimbulkan rasa takut, heran, takjub atau rasa hikmat pada manusia. Benda atau
hewan atau manusia yang dianggap memiliki mana selalu diperhatikan atau
diistimewakan.Terhadap kekuatan-kekuatan ini manusia berusaha untuk menguasai atau
menjinakkannya dengan berbagai cara dan penangkal. Penangkal itu diperoleh melalui upacara-
upacara/ritus.

2. Animisme, kepercayaan kepada adanya kekuatan yang berpribadi di dalam dunia ini atau pada
sesuatu atau benda. Sesuatu itu adalah subjek, jadi ia dapat melakukan sesuatu dengan kemauan
dan kemampuannya sendiri. Di dalam agama, sosok ini ditunjuk kepada Sang Ilahi, Tuhan atau
Dewa-dewi, atau mahluk-mahluk halus lainnya seperti Malaikat, Jin dan tuyul; dalam agama
suku umumnya, sesuatu yang berjiwa ini biasanya ditunjuk kepada hewan (misalnyanya ular,
burung, kerbau dan buaya), atau benda-benda yang dapat bergerak dan melakukan sesuatu
(misalnya gunung, pohon, air, api, angin, halilintar dan hujan). Mahluk atau benad-benda ini
dipercayai memiliki jiwa dan kehendak karena itu mereka dapat berbuat hal-hal yang baik dan
bermanfaat tapi juga yang buruk dan merugikan.

3. Spiritisme, kepercayaan kepada roh, arwah orang yang sudah meninggal. Roh ini bisa berasal
dari orang yang baru meninggal atau yang sudah lama meninggal, atau roh leluhur. Arwah ini
dapat mendatangi manusia dan dapat melakukan sesuatu, baik yang menguntungkan maupun
yang merugikan. Terhadap arwah yang dapat berbuat jahat, manusia harus memiliki penangkal
yang mencegah roh atau arwah itu mendekat atau melakukan hal buruk. Untuk menjalin
hubungan baik dengan arwah ini, orang melakukan upacara dan memberikan berbagai
persembahan atau sesajen. Juga orang dapat memanggil arwah tertentu dengan cara melakukan
upacara/ritus mendatangkan arwah, seperti jailangkung.

4. Demonisme atau Satanisme, yaitu kepercayaan pada adanya mahluk halus (yang disebut
hantu atau setan, atau juga iblis). Mahluk halus ini dapat dilihat oleh manusia atau pun tidak
dapat dilihat. Manusia yang dapat melihat mahluk ini adalah yang memiliki kelebihan khusus.
Atau, demon ini, dengan kemauannya sendiri dapat menampakan diri pada orang-orang tertentu,
dan dapat melakukan sesuatu yang buruk pada manusia. Demon biasanya dipercayai sebagai
sosok yang menakutkan dan jahat. Karena itu, biasanya orang merasa takut kepadanya; atau
sosok itu dipakai untuk menakut-nakuti orang (biasanya anak kecil). Hantu atau setan ini berbeda
dengan Iblis. Iblis lebih menunjuk kepada kekuatan atau kuasa jahat yang menggerakkan atau
menguasai keadaan atau seseorang. Iblis muncul dalam perkataan dan perbuatan buruk atau jahat
dari seseorang atau hewan yang dikuasainya (seperti ular dalam cerita Alkitab/Kejadian).
Sedangkan setan atau hantu tampak dalam penampilannya sebagai mahluk aneh, buruk dan
menakutkan, atau dalam bentuk atau penjelmaan dari seseorang yang sudah meninggal.

5. Totemisme; totem adalah benda, terutama bagian dari hewan, seperti kepala, tanduk atau
bulunya, atau patung orang-orangan, yang dipercayai sebagai perwujudan dari nenek moyang
atau leluhur orang atau suku yang bersangkutan. Totem ini dipercayai memiliki kekuatan atau
kesaktian karena ia adalah atau berisi roh nenek moyang yang menjadi pelindung mereka. Ada
totem perseorangan dan totem kelompok/suku. Totem perorangan biasanya selalu dibawa atau
berada bersama-sama dengan orang yang bersangkutan. Misalnya, orang yang bersangkutan
selalu membawa tongkat dengan ujung atasnya berbentuk kepala ular atau tanduk hewan. Atau,
seseorang dapat menjadi bagian dari nenek moyang itu dengan menggunakan benda-benda yang
disembah sebagai totem dan bersikap sebagaimana nenek moyang itu di dalam hidupnya pada
masa lampau. Atau juga, seseorang itu menjadi perwujudan dari nenek moyangnya dengan
berperan sebagai nenek moyangnya dalam peristiwa-peristiwa tertentu, seperti di dalam upacara-
upacara keagamaan. Orang yang bersangkutan biasanya menggunakan bagian tubuh hewan,
terutama kepala, tanduk atau bulu hewan itu, pada kepala atau bagian tubuh orang tersebut, dan
lalu memerankan prilaku sebagai nenek moyang itu. Sedangkan, totem suku biasanya diletakkan
di pintu-pintu rumah atau gerbang pemukiman suku itu. Benda-benda atau hewan yang biasanya
dijadikan totem dalam kebanyakan suku adalah ular, buaya, kera, bison, rusa, kerbau, sapi,
burung, dsb.

6. Fetisisme, paham tentang benda-benda tertentu (yang diramu dan dibungkus bersama-sama)
yang memiliki kekuatan atau kesaktian. Biasanya ini dipergunakan untuk perlindungan atau
untuk memberi kekuatan sehingga orang yang memilikinya dapat terhindar dari ancaman bahaya
atau selalu beruntung di dalam usaha, cita-cita atau keinginannya.

7. Magisme, yaitu kepercayaan kepada ilmu atau kekutan gaib atau dunia magi atau sihir; bahwa
ada kekuatan-kekuatan yang tidak kelihatan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan diri
sendiri atau orang lain. Biasanya orang yang dapat memanfaatkan kekuatan itu adalah mereka
yang memiliki kesaktian seperti dukun. Magisme ini dipraktikan misalnya dalam santet, pelet,
susuk dan penyembuhan dengan tenaga atau benda magis.
8. Mistisisme, yaitu kepercayaan atau paham bahwa manusia dapat menjadi satu atau melebur
dengan sosok atau kekuatan gaib atau ilahiah. Paham ini kemudian memiliki dan mengajarkan
cara tersendiri untuk mencapai penyatuan itu atau untuk mendapatkan kekuatan yang ada pada
sosok gaib itu, seperti berpuasa, pantang makan makanan tertentu dan dalam periode tertentu,
semedi atau bertapa, atau melakukan ritus/ritual khusus.

9. Numerisme dan Simbolisme, yaitu kepercayaan terhadap angka-angka atau simbol-simbol


yang memiliki makna atau kekuatan-kesaktian tertentu yang dpat mempengaruhi kehidupan
orang yang memiliki atau mempercayainya, misalnya angka 13, 666-6 dan horoskop.

10. Tahyul atau Superstisi, yaitu kepercayaan kepada sesuatu atau benda atau kejadian yang
dimiliki atau dialami seseorang, yang menjadi tanda akan terjadinya sesuatu pada orang yang
bersangkutan atau pada keluarganya. Kepercayaan atau tahyul ini sering terbentuk atau
didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa
lain yang sudah terjadi sebelumnya, atau yang sudah ada tanda-tanda yang tidak biasa. Dengan
kata lain, ada kepercayaan terhadap terjadinya peristiwa tertentu yang merupakan efek atau
akibat dari persitiwa yang terjadi sebelumnya, atau yang sudah ada tanda-tandanya sebelumnya.

Karena tahyul didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan secara kebetulan dan
dialami oleh orang-tertentu maka kebenarannya tidak dapat dipastikan, atau kebenarnnya tidak
berlaku umum. Tahyul adalah kepercayaan misterius. Jadi ia adalah misteri, sama dengan
berbagai kepercayaan secara umum dalam agama-agama (agama suku). Yang menonjol dalam
tahyul adalah kepercayaan yang menyebabkan ketakutan atau kekuatiran yang tidak wajar atau
tidak rasional terahadap kejadian buruk yang mungkin terjadi tapi yang masih misterius atau
belum pasti. Jadi tahyul dipercayai secara umum tetapi yang tidak dapat dibuktikan. Tahyul tidak
mengenal pencetusnya. Kepercayaan atau tahyul ini tersebar atau diwariskan secara turun
temurun oleh orang perorang lalu oleh masyarakat, dan menjadi kepercayaan umum. Condoth-
contoh tahyul: Angka 13, kejatuhan cicak di kepala, atau di depan seseorang,
sikap/membunyikan suara jika melewati tempat khusus/keramat, telinga mendengung, mata
berkedip, rambut alis jatuh, larangan memotong atau menggunting kuku pada malam hari, gadis
tidak boleh duduk di depan pintu, orang tidak boleh berjalan/berdiri/duduk di bawah tangga,
bersin satu kali ketika akan memulai perjalanan, bersin yang harus disambut dengan kata-kata
tertentu (Inggris: blessed you), larangan mengencingi kotoran hewan dan manusia, memanggil
orang pada malam hari di luar rumah dengan berteriak, larangan membunuh / menabrak kucing,
kucing hitam, larangan membunuh ular, suara anjing mengaum pada siang/malam hari, serta,
mimpi, firasat dan tanda-tanda.

11. Partisipasi, kepercayaan kepada kemampuan seseorang untuk mengambil bagian atau
berpartisipasi dalam kehidupan seseorang yang lain di waktu yang sama sekalipun mereka
berdua berada pada tempat yang berbeda. Potensi partisipasi ini dapat terjadi atau dialami oleh
dua orang yang memiliki hubungan personal/pribadi yang dekat sekali; jadi dua orang itu
memiliki ikatan baik batin maupun material/fisik. Misalnya antara suami dan istri, antara ayah
dan anak, dll. Ketika partisipasi ini terjadi, seseorang ini dapat merasakan perasaan atau
mengalami kejadian seperti yang dialami oleh orang yang menjadi partnernya berpartisipasi.
Misalnya, seorang ayah yang tiba-tiba merasa sakit/badan karena anaknya yang ada di rumah
jatuh sakit; atau seorang suami yang merasakan sakit perut ketika istrinya sedang menstruasi;
atau suami yang mengidam atau sangat ingin makan sesuatu yang aneh ketika istrinya sedang
mengandung.

Di dalam masyarakat Indonesia, bentuk-bentuk Okultisme yang paling sering dipraktekkan


adalah : pertama, kepercayaan kepada adanya mahluk-mahluk satanik (satanisme), seperti iblis,
setan atau hantu, pocong, dan mahluk jadi-jadian; terutama setan yang merasuki manusia atau
menjelma sebagai hewan atau mahluk lain, dan spiritisme atau kepercayaan kepada adanya
arwah atau roh orang yang sudah meninggal yang menampakkan diri atau merasuki manusia;
dan kedua, dunia perdukunan yang di dalamnya terdapat praktek-praktek seperti penyembuhan
oleh kekuatan gaib, sihir, santet, pelet atau tenung; ketiga, ramalan berdasarkan astrologi atau
horoskop; dan keempat, kepercayaan kepada adanya mahluk lain selain yang ada di bumi.
Mahluk ini disebut UFO, yang dipercayai berasal dari planet atau galaxi lain.

Keberadaan (paham-ajaran dan praktek) Okultisme, dalam hal ini yang mengajarkan alam gaib
atau kuasa-kuasa dan kekuatan-kekuatannya, serta ajaran tentang hal yang misterius lainnya
(seperti kesaktian pada benda-benda tertentu dan UFO) dapat dilihat pada ajaran dan aktivitas-
aktivitas perkumpulanya, pada berbagai literatur (yang bersifat fiksi) dan dalam acara-acara di
televisi di Indonesia (seperti acara Dunia Lain, Alam Gaib, Cakrawala, dan Memburu Hantu) dan
film-film Indonesia (antara lain Nyi Blorong, Sundal Bolong, Dukun Beranak, Ratu Pantai
Selatan, Jenglot Pantai Selatan, Suster Ngesot, Pocong Ngesot, Terowongan Qasablanca, Rumah
Hantu, Dedemit Gunung Kidul dan 13 Cara Memanggil Setan) dan film Barat (seperti Ghost,
Exorcism, The Last Exorcism, Harry Potter, The Legion, Zombie Land, After Life, The Grave
Dancer, Contamination dan After Life).

Okultisme dan Gereja di Indonesia

Di dalam wacana keagamaan, khususnya dalam teologi Kristen, isu tentang Okultisme mendapat
perhatian yang sangat besar. Dimulai pada akhir tahun 1940-an dan khususnya pada awal tahun
1950-an, pembicaraan mengenai topik ini muncul di berbagai tulisan. Mead dalam tulisannya
tahun 1951 menyebut istilah Okultisme sebagai penemuan baru. Dan menurutnya, istilah itu
masih tidak ditemukan di dalam banyak kamus pada saat itu. Tahun 1970-an memperlihatkan
giatnya kalangan Kristen, khususnya di Amerika, dalam menaggapi Okultisme. Saat ini, banyak
buku yang ditulis tentang Okultisme, khususnya dari kelompok pentakostal dan kharismatik.
Sampai tahun-tahun terakhir, di kalangan Kristen dunia, khususnya yang memiliki hubungan
dengan aliran-aliran gereja pentakostal dan kharismatik di Amerika, termasuk yang di Indonesia,
isu tentang Okultisme mendapat perhatian yang serius. Di pihak lain, gereja-gereja yang
beraliran tradisional (khususnya anggota PGI), topik ini tidak diberi perhatian yang berarti.

Di dalam pemikiran keagamaan, khususnya Kristen, Okultisme berasal dari yang jahat yang
bertentangan dengan Tuhan yang disembah. Okultisme dinilai sebagai paham dan paktek hidup
yang salah. Bahwa unsur-unsur Okultisme, misalnya setan/hantu yang mengganggu atau
menyengsarakan manusia harus dihadapi, diusir, dikalahkan dan dibinasakan, seperti Yesus
mengusir roh jahat dari seorang perempuan. Okultisme kini merupakan kelanjutan dari
Okultisme di zaman Yesus, di mana Yesus mencontohkan sikap yang anti-okultisme dan sosok-
sosok gaib seperti roh jahat dan iblis. Karena itu, di dalam praktek banyak kalangan Kristen, baik
di Indonesia maupun di luar negeri, khususnya di kalangan aliran pentakostal, injili dan
kharismatik, soal pengusiran setan (exorcism) dari tubuh manusia atau benda tertentu atau juga
penyembuhan ilahi dengan mengusir roh jahat merupakan hal yang penting dan dilakukan di
dalam ibadah-ibadah.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas jelas bahwa Okultisme adalah sebuah realitas baik keagamaan dan juga
seni-ilmu yang ada, beraktifitas dan berpengaruh di dalam kehidupan masyarakat. Ajaran-ajaran
dan prakteknya yang memberi jawaban atau pemenuhan terhadap kebutuhan spiritual/rohani dan
bahkan lahiriah/material bagi orang-orang tertentu. Karena itu, bagi kalangan itu, Okultisme
adalah agama, jalan hidup yang benar menuju pemenuhan kebutuhan dan kesempurnaan hidup.
Umumnya agama-agama universal menentang atau menolak Okultisme. Namun, keadaan zaman
saat ini di mana terjadi pertentangan antara ilmu dan agama dan kemakmuran karena industri dan
kemajuan ekonomi tidak memberi jawab kepada kebutuhan spiritual-batin dan lahiriah manusia,
maka Okultisme masih akan tetap ada dan diikuti oleh banyak kalangan. Sekian.
Daftar Bacaan:

Buku dan Artikel:

1. Durkheim, E., The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press, 1965.

2. Dhavamony, M., Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

3. Dister, Nico Sy., Psikologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

4. Evans-Protchard, E.E., Theories of Primitive Religion. Oxford: OUP, 1975.

5. Faivre, Antoine, “Occultism” dalam Eliade, M. (ed), The Encyclopedia of Religion. (11). New
York: Macmillan Publishing Co., 1987.

6. Hadiwijono, H., Religi Suku Murba di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977.

7. Hadikusumah, H.Hilman, Antropologi Agama. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

8. Hawkins, Craig, Seluk-Beluk Sihir: Tenung, Santet, Mantra, Ramalan, Jampi-Jampi, Pelet.
(Trj). Yogyakarta: (PBMR) Andi, 2004.

9. Honig, A.G., Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1959.

10. Hoover, David W., How To respond to The Occult. St.louis: Concordia Publishing House,
1977.

11. Hopes, Michael, Ilmu: Magic and Divination amongst the Benuaq and Tunjung Dayak.
Jakarta: Puspa Swara, 1997.

12. James, E.O., The Beginnings of Religion. Westport-Connecticut: 1975.

13. Kartoatmodjo, Soesanto, Parapsikologi Sebuah Tinjauan. Jakarta: Haji Masagung, 1987.

14. Kelompok Minat “Rural Mission”, Pedukunan. Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Kader
GKJ/GKI, 1982.

15. Koch, Kurt E., Occult ABC. Germany: Literature Mission Aglasterhausen Inc., 1978.

16. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1971.

17. Lehrich, Christopher I., The Occult Mind: Magic in The Theory and Practice. Ithaca and
London: Cornell University Press, 2007.

18. Mead, G.R.S., “Occultism” dalam Hastings, J. (ed), Encyclopaedia of Religion and Ethichs.
(IX). New York: Charles Schribner’s Son, 1951.

19. Min, Suh Sung, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang. Yogyakarta: Media Pressindo,

2001.

20. Paranormal: Kenyataan dan Gejala Kehidupan. (Saduran dari buku Waarheid en Lungen Bij
Paranormale Verschijn Selen oleh Willem Hogendoorn). Semarang: Dahara Prize, 1991.
21. Passantino, Bob and Gretchen, Satanism. Grand Rapids-Michigan: Zondervan Publishing
House, 1995.

22. Pasi, Marco, “Occultism” dalam von Stuckrad, Kocku (ed), The Brill Dictionary of Religion.
(III). Leiden: E.J. Brill, 2007.

23. Sadhu, Mouni, Ways to Self-Realization. A Modern Evaluation of Occultism and Spiritual
Paths. Holliwood-California: Wilshire Book Company, 1975.

24. Samudera, Andreas (Bersama Team Revival), Barang-Barang Tumpas. Bandung; Revival
Total Ministry, 1998.

25. Schimmel, Annemarie, The Mistery of Numbers. Misteri Angka-angka dalam Berbagai
Peradaban Kuno dan Tradisi Agama Islam, Yahudi dan Kristen. (Trj). Bandung: Pustaka
Hidayah, 2006.

26. Smart, Ninian, The Religious Experience of Mankind. New York: 1984.

27. Subagya, R., Agama Asli Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan-Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1981.

28. Subagya, R., Kepercayaan dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1977.
Dinamika Gereja dan Pelayanannya
Pokok-pokok Pikiran tentang Keberadaan, Pergumulan dan Pelayanan GerejaOleh: Pdt.
Omnesimus Kambodji

Apa itu Gereja?

Kata “gereja” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Portugis igreja yang diambil dari bahasa
Yunani ekklesia, yang berarti “kumpulan orang” (Kis. 19:32, 39-40). Di sini, gereja berarti
orang. Arti hurufiah yang lain darikata gereja adalah tempat orang berkumpul, atau rumah Tuhan
(Kyriake Oikia), atau synagoge (Kis. 1:14; 2:46; dan Roma 15:6).

Makna kata gereja secara tradisional kristiani dan yang umum dikenal adalah “kumpulan orang-
orang yang dipanggil keluar dari kegelapan dan masuk ke dalam terang Tuhan Yesus dan yang
yang mendapatkan keselamatan. Pemahaman yang realistis tentang gereja adalah persekutuan
orang-orang yang percaya kepada Tuhan yang ingin beribadah kepada Allah; yang
mengungkapkan imannya dalam ibadah itu melalui doa, pujian-sembahan dan permohonan,
nyanyian puji-pujian, pemberian persembahan dan yang ingin mendengar dan merenungkan
Firman Tuhan, serta yang ingin mendapatkan berkat Tuhan dari ibadah itu. Gereja yang tampak
dalam ibadah ini berdasar pada kata-kata Yesus “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul
dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20).

Fungsi Gereja

Gereja menjadi tempat umat bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhan. Sehubungan dengan ini,
gereja juga menjadi jembatan atau alat penghubung antara Allah dengan manusia pada umumnya
atau dunia (termasuk di dalamnya, umat agama atau kepercayaan lain, adat istiadat dan
kebudayaan pada umumnya). Di samping itu, secara khusus, gereja juga menjadi tempat orang-
orang mengungkapkan diri atau imannya, saling menyapa, mendengar dan menjawab, saling
memberi dan menerima. Jadi gereja memiliki makna dan fungsi teologis atau ilahiah (yaitu
kehadiran Allah dan hubunganNya dengan umat) dan sosiologis-kemanusiaan yaitu sebagai
organisasi atau organisme yang berisi orang-orang beriman.

Di dalam Alkitab, status dan fungsi gereja digambarkan dengan simbol-simbol seperti tubuh
Kristus, di mana Kristus menjadi Kepala (1 Kor.12:12; Ef.1:22; 4:15; 5:23; Kol.1:18; 2:19),
persekutuan dalam satu roh (1 Kor.12:3; Gal.5:16; Ef.2:16, 18), jemaat yang berkumpul
(Mat.18:20; 1 Kor.1:2; Kol.4:16; 1 Tes.1:1, dsb), jemaat yang beriman atau yang mengaku (Mrk
8:29; Rm 10:9-10; 1 Kor.1:3; Fil2:9-11), jemaat yang bersaksi (1 Tim 2:4; Mat.10:1; Mrk 6:7;
Mat 28:19-20, dsb) dan jemaat yang melayani (Rm 15:8; Fil 2:7; Luk 22:27 dan Yoh 12:26).
Secara fungsional, gereja mengandung makna dan tugas pembentukan dan pengembangan
spiritual atau kerohanian dan etika-moral, baik bagi warganya maupun

masyarakat atau dunia. Makna dan tugas inilah yang secara umum dan tradisional kita kenal
sebagai tri tugas panggilan gereja, yaitu persekutuan (Koinonia), pelayanan (Diakonia) dan
kesaksian (Marturia). Fungsi-fungsi atau tugas panggilan gereja di atas, dalam praktek bergereja
dijabarkan dalam berbagai kegiatan, yaitu ibadah (termasuk ibadah kelompok kategorial),
pemberitaan Firman, baptisan, perjamuan kudus, doa-doa, pengajaran atau katekisasi, pekabaran
injil atau evanglisasi, penggembalaan dan diakonia.

Penatalayanan Gereja

Gereja adalah sebuah organisme yang dipercaya sebagai milik dan dikepalai oleh Yesus Kristus
(Kolose 1:18). Gereja bukanlah milik perorangan atau sekelompok orang yang betugas dan
melayani untuk kepentingan mereka. Gereja bertugas untuk memuliakan Tuhan dan membawa
keselamatan yang dari Tuhan kepada jemaatNya dan umat manusia. Dengan mempertimbangkan
faktor dinamika gereja di mana pluralitas anggota yang memiliki keinginan masing-masing, dan
faktor keteraturan sebuah kumpulan orang-orang percaya ini, maka gereja tentu memerlukan
pengaturan. Pengaturan gereja memiliki cara yang berbeda dengan pengaturan sebuah lembaga
manusiawi atau sosial umum yang menerapkan prinsip-prinsip managerial yang baku.
Pengaturan gereja tentu menyesuaikan dengan ciri, sifat dan dasar gereja. Gereja adalah
persekutuan yang berciri manusiawi tetapi juga ilahiah. Dasar dan sifat pelayanannya adalah
cinta-kasih, kemurahan dan kerelaan hati dan pelayanan kepada Tuhan dan jemaatNya. Yang
menjadi ciri utama pengaturan gereja adalah cinta-kasih dan pelayanan itu. Karena itu, dalam hal
istilah, kata yang lebih cocok dipakai untuk menyebut pengaturan gereja bukanlah penataan atau
pengaturan atau manajemen, tetapi penata-layanan. Dengan istilah penata-layanan ini,
pemutlakan atau absolitisme pelaksanaan peraturan di dalam gereja menjadi tidak pantas atau
tidak sesuai (dengan sifat gereja).

Penata-layanan bukanlah hal baru dalam kehidupan keagamaan Kristen. DalamAlkitab contoh
pemakaian penataan dalam mengelola umat. Ini telah diperlihatkan dalam cerita Musa yang
dinasihati oleh Yitro untuk menata kepemimpinan umat (Kel 18:13-27). Juga di dalam Perjanjian
Baru, pengaturan tentang jabatan-jabatan gereja juga sudah diberlakukan. Jabatan yang pertama
yang diperkenalkan oleh Yesus adalah sebagai diakonos, yaitu pelayan. Yesus sendiri adalah
pelayan (Flp.2; Luk. 22:27; Mrk 10:43). Sebagai pelayan, Ia merendahkan diriNya; Yesus
membasuh kaki murid-muridNya. Inilah yang diberi contoh oleh Yesus kepada murid-muridNya,
yaitu menjadi pelayan dan merendahkan diri dalam melayani orang lain. Di jaman Yesus, ada
jabatan-jabatan lain rasul, nabi, guru, penilik jemaat (atau penatua atau presbiter) (Rm 12; Ef. 4;
1 Kor.12; 1 Tim.2; 5:17; 2 Tim 2:2; Tit 1:9,dsb).

Dalam perkembangan kemudian, ada jabatan-jabatan yang tidak dipergunakan lagi dan
digantikan oleh jabatan-jabatan baru yang lebih ditonjolkan. Sebutan untuk jabatan-jabatan yang
tidak dipakai lagi adalah nabi dan rasul. Sedangkan, jabatan-jabatan yang kemudian dipakai
adalah uskup, presbiter dan diaken. Dalam tradisi gereja protestan, jabatan uskup tidak dipakai
lagi dan hanya menggunakan jabatan presbiter/penatua dan diaken. Presbiter atau penatua dan
diaken bukanlah jabatan-jabatan yang dibedakan secara kualitatif dan struktural; bahwa presbiter
bukanlah jabatan yang lebih tinggi dari diaken. Kemampuan mereka adalah sama. Hanya, status
jabatan mereka dibedakan oleh fungsinya masing-masing. Presbiter bertanggung jawab untuk
pendidikan-pengajaran atau pemberitaan firman dan pengelolaan gereja, sedangkan diaken
bertugas untuk melayani jemaat yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan sosial-psikologis atau
material-spiritual. Kedua jabatan ini digabungkan dalam satu lembaga gerejawi yang disebut
Majelis Gereja/Jemaat. Jadi di dalam gereja kemudian terdapat dua kelompok yaitu Majelis
Gereja dan Warga Gereja. Majelis Gereja bertanggung jawab atas penyelenggaraan kehidupan
bergereja. Inilah yang diwarisi sampai sekarang ini oleh gereja-gereja protestan aliran utama di
Indonesia.

Di samping penata-layanan dalam pelaksanaan tugas-tugas oleh pejabat-pejabat gereja itu, yang
perlu juga ditata adalah cara-cara pengaturan gereja dan khususnya dan yang utama ajaran-ajaran
gereja. Hal ini untuk memberikan pegangan yang jelas dan pasti kepada jemaat tetang apa yang
dipahami oleh gereja tentang mekanisme kerja gereja atau pengorganisasiannya dan pokok-
pokok iman. Pokok-pokok atau inti ajaran iman Kristen memang sama,yaitu tentang karya
penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Tetapi itu dapat ditafsirkan, dipahami dan
diungkapkan secara berbeda-beda di dalam kehidupan bergereja oleh individu-individu/anggota
gereja; apalagi jika hal itu digali dari cerita-cerita atau pernyataan-pernyataan di dalam Alkitab
yang masih perlu ditafsirkan. Dalam hal ini, gereja perlu menentukan garis utama penata-
layanannya dan pokok-pokok ajarannya sehingga tidak terjadi pertentangan-pertentangan.
Dinamika Gereja

Gereja sebagai oraganisasi atau organisme ilahiah dan manusiawi tentu memiliki dinamika
sendiri. Dinamika gereja adalah gerakan-gerakan atau ungkapan-ungkapan prilaku hidup dan
iman orang-orang di dalamnya. Dasar, sifat dan tujuannya adalah ajaran-ajaran Tuhan yang
diimani, yaitu cinta kasih dan pelayanan demi kemuliaan Tuhan dan kedamaian-ketentraman dan
keselamatan umatNya. Dengan dasar pemikiran ini maka banyak orang yang memahami gereja
sebagai tempat mendapatkan kedamaian dan keselamatan; bahwa orang-orang di dalam gereja
adalah “orang-orang suci” yang “berhati malaikat”.

Namun, di dalam praktek, sebagai organisasi/organisme yang terdiri dari kumpulan orang-orang,
tidak jarang gereja menjadi tempat orang mengungkapkan dirinya dengan memperlihatkan
prilaku hidup atau beriman seturut dengan keinginan atau kehendak pribadi-pribadi atau
kelompok yang memiliki pemahaman, idealisme dan keinginan sendiri yang kadang kali tidak
sejalan dengan pribadi-pribadi atau kelompok lainnya. Tidak jarang,ungkapan-ungkapan
keinginan itu tidak sesuai dengan ciri dan sifat cinta-kasih dan pelayanan itu. Tidak jarang gereja
menjadi ajang ekspresi diri yang egosentris dan egoistis. Sikap atau prilaku seperti ini yang
membawa malapetaka, yaitu kerusuhan dan perpecahan di dalam gereja. Jadi memang, gereja
tidak hanya menjadi tempat berdiamnya dan diperolehnya kedqamaian dan ketentraman, tapi
juga tempat di mana orang menemukan ketidak-damaian dan ketidak-tentraman. Hal ini perlu
diperhatikan oleh setiap orang yang terlibat di dalam kehidupan dan pelayanan gereja.

Dinamika gereja ditentukan oleh tempat atau lokasi (dengan pengaruh unsur-unsur budaya,
sosial, politik dan relasi-relasi dengan umat lain) dan kondisi internal gereja/warga jemaat
(dengan latar-belakang sosial-ekonomi dan pendidikan tertentu). Dari sini ini, kita mengenal
jemaat dengan latar belakang suku tertentu dan yang nasional-umum; jemaat kota (kota
metropolitan, kota besar, kota sedang, kota kecil) dan jemaat desa (desa yang mudah dijangkau
dan yang terpencil); jemaat dengan ekonomi lemah dan kuat; jemaat yang mayoritas kaum
intelektual dengan pendidikan tinggi dan yang rata-rata berpendidikan rendah; jemaat dengan ciri
khas golongan/pekerjaan tertentu dan yang umum. Dalam lingkup yang lebih kecil, dalam satu
jemaat, kita juga menemukan beragamnya latar-belakang keberadaan, pemikiran dan keinginan
dan ekspresi-ekspresi diri masing-masing warga jemaat. Para penata-layan gereja tentu perlu
memperhatikan hal ini. Demi efektifitas pelayanan, bentuk-bentuk pelayanan yang dilakukan di
masing-masing jemaat dan juga individu-individu warga ini tentu akan berbeda satu dengan yang
lain.

Profil Ideal Para Pelayan

Dalam kehidupan bergereja, seperti sudah disinggu dalam pemahasan di atas, masing-masing
individu anggota jemaat memiliki ungkapan-ungkapan diri dan keinginannya sendiri. Terhadap
para penata-layan jemaat, umumnya warga menghendaki figur-figur dengan perilaku dan
penampilan yang ideal dari segi kemampuan dalam pelayanan praktis seperti pengetahuan
Alkitab dan ajaran Kristiani, kesalehannya, komitmen dan dedikasinya. Secara rinci profil yang
diharapkan kalangan umum jemaat adalah orang yang berpengetahuan dan keterampilan (tentang
Alkitab, tentang ajaran dan praktek/ibadah gereja dan pengetahuan umum), berhikmat, rendah
hati, tidak sombong, pengasih-penyayang, berani, setia, sabar, takut pada Tuhan dan dengar-
dengaran pada FirmanNya, tidak pemarah, tegas, rajin, rela berkorban, penggembira dan selalu
bersuka cita dalam melakukan pelayanan. Tentu keberadaan, ciri dan sifat pelayan yang
diharapkan itu tidak dapat ditemukan di dalam satu orang pelayan. Atau dengan kata lain, secara
realistis, profil ideal itu tidak dapat dipenuhi oleh seseorang. Ini adalah hal yang sulit, sama
halnya dengan tidak mudahnya melaksanakan tugas pelayanan. Tetapi tentu orang-orang yang
terlibat dalam pelayanan itu diberi Tuhan kemampuan untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya. Dan inilah pengharapan iman seorang Kristen apalagi seorang yang melayani Tuhan.
Sebagai pahala untuk pelayan Tuhan dan jemaatNya, kita meyakini bahwa kepenuhan
kemanusiaan yang dari Tuhan, suatu kebahagiaan sejati Dia telah berikan. Firman Tuhan katakan
“Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu
dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih
payahmu tidak sia-sia” (1 Kor.15:58).
Materi Kuliah Agama Suku

IBADAH DALAM AGAMA SUKU


Tinjauan Teologis

A. Pendahuluan.
Penganut agama suku di Indonesia sudah sangat sedikit. Statistik lembagalembaga resmi seperti
pemerintah dan gereja melaporkan demikian. Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi enganut
formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah. 2
Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa
berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui
“perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai
kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan
penganut atau pengikut.
Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para
penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama
tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain.

Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka)
menjadi penganut agama penguasa baru. Kasuskasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia
dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai
diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde
Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah
pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku,
terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum
selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai
formalitas belaka. Dampak keadaan demikianterhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat
besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak
mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra
rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan
demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai
cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin
gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku
bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacaraupacara
adat yang nota bene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah.
Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur
bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya
orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi
ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara.
Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku.
Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu
upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik”
dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.

Ibadah Dalam Agama Suku

Bertolak dari realitas demikian, maka muncul banyak pertanyaan yang menarik untuk dikaji. Apakah yang
menjadi penyebab semua itu? Apakah semata-mata karena perpindahan mereka adalah karena
keterpaksaan yang tidak diikuti dengan pembinaan yang memadai? Atau ada faktor lain yang menjadi
penyebabnya? Masalahnya ialah sebab banyak di antara mereka yang masih melakukan praktekpraktek
agama suku sudah tidak mengalami perpindahan dari agama suku tetapi sejak lahir
berada dalam lingkungan agama yang dianutnya.
Lalu dapatkah kenyataan seperti itu disebut sebagai hasil dari upaya kontekstualisasi ataukah justru
merupakan sinkretisme? Tidaklah mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Karena itu,
tulisan ini berupaya menyajikan salah satu aspek dalam agama suku, yakni ibadah. Tulisan ini
diharapkan dapat menjadi pendorong untuk mengadakan studi yang lebih mendalam tentang
ibadah dalam agama suku, tetapi sekaligus diharapkan menjadi sumbangan sederhana bagi upaya
kontekstualilsasi dalam kehidupan beragama.

B. Konsep dan Sikap terhadap Yang Ilahi.

Tiap agama mempunyai konsep tentang Tuhan atau dewa. Konsep itu pada umumnya berbeda dengan
agama yang lain. Keunikan pemahaman tiap agama merupakan penghayatan atas perjumpaan
dengan Allah yang ilahi. Penghayatan tentang hakekat Yang Ilahi melahirkan sejumlah hukum dan
ketentuan. Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum menjadi sumber seluruh pengajaran agama yang
bersangkutan.
Penganut agama suku menghayati adanya yang ilahi melalui pengalaman sehari-hari. Mereka
memahami bahwa ada kuasa yang berada di luar kekuasaan mereka. Kuasa itu melampaui kuasa dan
kemampuan manusia. Itulah yang disapa sebagai Yang Ilahi. Tiap-tiap suku memberi nama atau
sebutan kepada Yang Ilahi3. Orang Toraja menyebutnya Puang Matua ; Pue Mpalaburu dalam
suku Pamona, Uis Neno dalam Suku Atoni Meto di Timor4, Dibata dalam suku Batak Karo, Sangia dalam
suku Tolaki, dan lain-lain. Yang Ilahi itu memberikan perlindungan kepada manusia dalam hidupnya.
Karena itu, manusia menyapanya baik pada saat berada dalam keadaan bersukacita maupun pada
saat berdukacita. Manusia menyapa Yang Ilahi dengan maksud memohon(Footnotes) perlindungan
dari berbagai ancaman. Itulah sikap mereka yang menggambarkan pemahaman tentang rasa
ketuhanan.

Agama suku merupakan agama yang bercorak deisme (deisme berasal dalam bahasa Latin yaitu
deus yang berarti Tuhan) sekaligus bercorak teistis (theos, bahasa Yunani, yang artinya Tuhan)5. Dalam
paham yang bercorak deisme dipercaya bahwa Tuhan yang adalah pencipta segala sesuatu yang di
alam semesta tetapi jauh dari manusia. Sesudah menciptakan segala sesuatu yang ada dalam alam
semesta ini, maka Ia mengundurkan diri.Ia tidak campur tangan dalam urusan duniawi. Tuhan atau
dewa demikian tidak mungkin diketahui hakekatnya.
Karena itu tabu untuk menyebut namanya. Segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta ini diurus
oleh dewa-dewa yang lebih rendah. Dewa-dewa itu mempunyai fungsi dan tugas masing-masing. Para
dewa yang “menjadi pelaksana tugas” itulah yang disembah oleh manusia. Atau paling tidak melalui
dewa-dewa “bawahan” itulah manusia menyembah dewa yang tertinggi. Contoh konkret tentang paham
ini adalah dalam agama Marapu di Sumba. Marapu adalah nenek moyang yang telah menjadi semacam
dewa. Melalui Marapu manusia menyembah kepada Tuhan (dewa tertinggi) sebab Ia tidak
terhampiri dan tabu menyebut namanya.

Tinjauan Teologis

Paham yang kedua adalah paham teistis. Dalam paham teistis diyakini bahwa Tuhan adalah asal
mula dan pemilik alam semesta. Tuhan atau dewa yang menciptakan dan memiliki alam semesta tetap
terlibat dalam mengurus dan membimbing alam semesta ini dengan segala isinya6. Ia tidak berdiam
diri di tempat kediamannya yang tak terjangkau manusia. Ia tetap aktif mengurus ciptannya. Dalam
paham ini memang masih dikenal dewa-dewa tetapi dewa-dewa tersebut hanya mengurusi hal-hal
yang sangat terbatas dan pada umumnya dibawah kekuasaan dewa yang tertinggi. Paham ini sangat
berbeda dengan paham deisme.

C. Ritus-ritus dalam Agama Suku.


Ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan dan
keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam
semesta7. Dalam bahasa Ibrani dipakai kata avoda dan latreia dalam bahasa Yunani. Kata avoda dan
latreia sering diterjemahkan pelayanan dalam bahasa Indonesia. Kedua kata itu pada mulanya
dipakai untuk menyatakan pekerjaan seorang budak atau hamba upahan kepada tuannya. Tetapi
kemudian dipakai dalam dunia keagamaan yang mempunyai makna pelayanan dan penyembahan
kepada Allah.
Pemahaman dan pemakaian secara praktis tentang ibadah berarti perjumpaan dengan yang Ilahi yaitu
Tuhan atau dewa. Yang Ilahi bertindak baik berupa perintah maupun berupa tuntuntan dan larangan
dan manusia atau umat memberikan respons.
Respons umat atau manusia terwujud melalui katakata, gerakan tubuh tetapi juga melalui pemberian
sesuatu benda atau materi yang lainnya.
Dalam kepercayaan agama suku ibadah atau ritus yang dilakukan berkembang sejalan dengan
perkembangan taraf pemikiran agamani. A.C.Kruyt membagi tiga taraf pemikiran agamani. Menurutnya
bahwa taraf pemikiran yang pertama merupakan sistem kepercayaan yang paling tua dan
selanjutnya. Ketiga taraf perkembangan yang dimaksud adalah :

- Dinamisme. Pada taraf ini orang percaya pada kuasa-kuasa yang tidak berpribadi dan tak
kelihatan. Kuasa-kuasa tersebut mempengaruhi
manusia secara mekanis di mana manusia
dipengaruhi tanpa kemauan sendiri.
- Animisme. Pada taraf animisme ini manusia percaya kepada kuasa-kuasa yang berpribadi.
Kuasa-kuasa yang berpribadi tersebut mengambil wujud : tokoh-tokohrohani dengan
kemauan sendiri dan roh-roh.

- Taraf adanya kesadaran bahwa ada dewa atau


Tuhan. Taraf ketiga ini merupakan taraf kepercayaan yang paling mudah tetapi yang
paling rumit dan paling tinggi. Manusia yang berada pada taraf pemikiran keagamaan ini
percaya bahwa alam, manusia dan roh-roh diperintah oleh suatu kuasa yang berada di luar
dirinya. Kuasa yang menguasai dirinya itulah yang kemudian disembah sebagai dewa atau
Allah.
Ritus-ritus atau ibadah yang dilakukan, mula-mula bertumbuh pada taraf pemikiran kepercayaan
dinamisme. Ritus-ritus atau upacara-upacara merupakan ungkapan keyakinan yang dapat diraba
atau diindra oleh manusia. Cara pengungkapan keyakinan yang demikian sebenarnya umumnya
terjadi dalam masyarakat yang lebih dipengaruhi oleh perasaan daripada pemikiran. Karena itu,
semakin “primitif” manusia, maka semakin dominan dalam mengungkapkan keyakinannya lewat ritusritus
atau upacara-upacara. Walaupun ritus-ritus atau upacara-upacara merupakan cara
pengungkapan keyakinan manusia pada taraf pemikiran kepercayaan dinamisme tetapi ternyata
aspek ritus-ritus masih tetap dipertahankan pada taraf kepercayaan berikutnya. Ritus-ritus atau
upacara-upacara tersebut dilakukan dalam banyak aspek kehidupan manusia. Ada ritus-ritus yang
dilaksanakan pada saat seseorang mengalami kesusahan tetapi ada juga yang dilaksanakan pada
saat manusia mengalami suatu kesukaan atau kegembiraan.
Ibadah atau ritus yang dilakukan pada umumnya dimaksudkan untuk memulihkan tata alam semesta.

dan menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tata alam semesta tersebut8. Semua yang
ada dalam alam semesta ini harus berada dalam posisi dan fungsinya secara baik sebagaimana ia
diciptakan. Pada saat terjadi pergeseran, maka pada saat itu akan terjadi disharmoni. Disharmoni itu
nampak melalui bencana alam seperti longsor, banjir, dan lain sebagainya. Pada saat terjadi
disharmoni, maka harus dicara akar penyebabnya.
Orang yang melanggar tata alam semesta yang menyebabkan munculnya disharmoni harus
dihukum. Dalam agama suku penegakan terhadap peraturan ini sangatlah ketat. Tiap pelanggaran
harus dihukum. Selain penghukuman terhadap yang melanggar, juga harus dilakukan ibadah untuk
mengembalikan tata alam semesta itu. Biaya yang diperlukan dalam ibadah tersebut sepenuhnya
ditanggung oleh yang bersalah, kecuali ia sama sekali tidak mampu maka biayanya akan
ditanggung oleh adat. Ibadah itu ditujukan kepada penguasa alam semesta.
Selain untuk memelihara tata kehidupan alam semesta ini, ibadah juga dimaksudkan untuk
meminta berkat kepada yang ilahi. Ibadah demikian biasanya dilakukan pada saat memulai suatu
pekerjaan atau pada upacara-upacara kelahiran dan inisiasi. Upacara yang dilakukan pada saat
kelahiran anak menegaskan sifat sakral dari hidup fisiologis. Setiap suku mempunyai ritus-ritus
tersendiri dalam menyambut kelahiran seorang bayi.
Misalnya placenta harus ditanam dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Pemberian nama
juga merupakan bagian dari ritus-ritus kelahiran tersebut. Seseorang yang mencapai usia tertentu
harus diupacarakan untuk beralih dari taraf kanakkanakke taraf yang lebih dewasa. Upacara
peralihan ini yang disebut inisiasi. Ritus ini dilakukan sesuai perkembangan budi dan badan seseorang
sebagai tanda untuk dapat mengatasi batas-batas hidup lama dengan hidup yang baru.
Perkembangan badan dan budi ditingkatkan atau dikokohkan dengan ritus tertentu. Ritus ini intinya
adalah pendewasaan seseorang.
Ibadah juga dimaksudkan untuk menolak bala atau memohon perlindungan dari Yang Ilahi. Dalam
ibadah (ritus) kematian, ritus-ritus dilakukan denganmaksud untuk memutuskan hubungan dengan
dunia kematian dan sekaligus mengantar arwah orang mati ke tempat kekal supaya arwahnya tidak
mengganggu keluarga. Hal ini terjadi sebab umumnya suku-suku memahami bahwa kematian
terjadi karena serangan kuasa-kuasa jahat terhadap orang yang meninggal itu.

D. Penutup
Ibadah dalam agama suku dilakukan sebagai upayauntuk memelihara tertib alam semesta. Manusia dan
segala mahluk dalam alam semesta ini adalah satu kesatuan yang mempunyai fungsi masing-masing.
Semuanya harus berjalan sesuai dengan fungsinya supaya tata tertib alam berjalan dengan harmonis.
Namun ibadah juga dimaksudkan untukmempengaruhi Yang Ilahi supaya memberikan
perlindungan dari ancaman malapetaka dansekaligus memohon berkat dalam sepanjang perjalanan
kehidupan di dunia ini.
1Ada beberapa istilah atau nama yang sering dipakai yang
maksudnya sama atau hampir sama dengan Agama
Suku. Istilah-istilah atau nama-nama tersebut antara lain :
(1) Agama asli/pribumi adalah agama yang berkembang
dalam suatu kelompok, suku atau masyrakat tertentu.
Agama asli tidak terpisahkan dari kebiasaan, kebudayaan
dan cara hidup masyarakat yang menganutnya. Ia hanya
dikenal dalam lingkungan penganutnya dan tidak di luarnya
(A.M. Mangunhardjana, halaman 9-10). Agama asli juga
berarti kerohanian khas yang berasal dan
diperkembangakan dalam satu bangsa atau suku tertentu
tanpa pengaruh dari luar (Subaya, halaman 13). (2) Agama
Murba adalah agama yang dianut oleh suku-suku tertentu
dalam alam pemikiran purba tetapi terdapat di tengahtengah
dunia modern saat ini (Harun Hadiwijono, halaman
7-8). (3) Agama Primitif. Nama dan istilah ini sudah jarang
3. J.W.M.Bakker,S.J., Agama Asli Indonesia (Jogyakarta :
Pro Manuscripto, 1969), halaman 70-71.
4.Parsudi Suparlan, “Kebudayaan Timor” dalam
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 1979), halaman 217
5. Rachmat Subagya, Agama dan Alam Kerohanian Asli di
Indonesia (Jakarta : Yayasan Cipta Loka Caraka, 1979),
halaman 60-62
6. Ibid.,
7. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonessia (Jakarta : PN Balai Pustaka, 1994), S.V.
“Ibadah”
8. Rachmat Subaya, Agama dan Alam Kerohanian Asli di
Indonesia (Jakarta : Yayasan Cipta Loka Caraka- Nusah
Indah, 1979), halaman 98.

Anda mungkin juga menyukai