Anda di halaman 1dari 12

PENGERTIAN AGAMA

Menurut teori Evolusi [yang sampai kini belum ada bukti-bukti utuh dan lengkap
tentang kebenarannya], manusia modern atau homo sapiens ada karena suatu proses
perkembangan yang panjang dan dalam rentang waktu lama. Proses panjang dan lama
itu terjadi karena manusia berkembang dari organisme sederhana menjadi makhluk
yang relatif sempurna; dan segala sesuatu yang bertalian dengan manusia serta
kemanusiaannya juga berkembang karena adanya proses evolusi. [Dan dalam
kenyataannya, evolusi hanya merupakan teori, tetapi diajarkan dan dijabarkan sebagai
suatu peristiwa yang benar-benar terjadi atau dialami pada semua makluk].
Akan tetapi, menurut Kitab Suci Agama-agama, manusia, alam semesta, dan segala
sesuatu adalah hasil ciptaan TUHAN Allah; hasil ciptaan yang penuh dengan
kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu, manusia mampu bertambah banyak karena
di dalam diri mereka tertanam naluri bertahan hidup serta kemampuan reproduksi.
Di samping itu, manusia juga dilengkapi dengan berbagai kemampuan serta
kreativitas [penggagas Teori Evolusi pun, tidak pernah bisa menjawab siapa yang
telah melengkapi manusia dengan berbagai kemampuan serta kreativitas  tersebut],
sehingga mampu beradaptasi dengan sikon hidup dan kehidupannya; bahkan
menjadikan segala sesuatu di sekitarnya menjadi lebih baik serta memberi
kenyamanan padanya.

 
Kemampuan dan kreativitas itu, menjadikan manusia mempunyai keinginan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Sehingga, yang tadinya mempunyai
pola nomade, lambat laun menetap kemudian membangun komunitas pada suatu
lokasi dengan batas-batas geografis tertentu. Dalam batas-batas geografis itu, mereka
semakin bertambah banyak serta mampu membangun komunitas masyarakat dengan
berbagai aspek yang bertalian dengannya.

 
Salah satu aspek yang biasanya ada dalam suatu komunitas masyarakat adalah cara-
cara penyembahan kepada kekuatan lain di luar dirinya. Hal itu terjadi karena
manusia mempunyai naluri religius yang universal. Kekuatan lain di luar diri
manusia itu bersifatIlahi, supra natural, berkuasa, mempunyai kemampuan maha
dasyat, sumber segala sesuatu, dan lain-lain. Ia adalah Kekuasaan Yang
Tertinggi melebihi apapun yang ada di alam semesta. Akan tetapi, manusia tidak
mampu menggambarkan bentuk-bentuk konkrit dari apa yang mereka sembah
sebagai Kekuasaan Yang Tertinggi itu. Komunitas tersebut mempunyai keyakinan
bahwa Ia ada, dihormati, disembah, ditakuti; kemudian diikuti dengan memberi
persembahan korban kepadanya. Kondisi seperti itu biasanya disebut agama
suku atau agama asli.

AGAMA-AGAMA ASLI

Agama Asli adalah bentuk-bentuk atau cara-cara penyembahan yang ada pada suatu
suku dan sub-suku; kerohanian khas pada suatu bangsa, suku, dan sub-suku; berasal
dari antara mereka sendiri, serta tidak dipengaruhi atau meniru dari komunitas
ataupun orang lain. Ciri-ciri yang ada pada agama asli antara lain

 terikat pada lokasi atau tempat bangsa ataupun suku dan sub-suku hidup dan
berkembang; misalnya diseputar lembah atau pegunungan, daerah pedalaman
serta terpencil, dan lain sebagainya; sehingga terbatas pada masyarakat dalam
komunitas atau lingkungan tertentu
 dianut oleh sekelompok suku atau sub-suku ataupun gabungan beberapan
suku;
 mempunyai atau adanya banyak larangan-larangan, tabu, benda-benda dan
tempat-tempat keramat serta dianggap suci; tempat-tempat keramat tersebut
biasanya difungsikan juga sebagai pusat kegiatan penyembahan atau ritus;
 pada umumnya berhubungan dengan alam [misalnya benda-benda langit;
pohon, gunung, gua, dan lain-lain]; bersifat spiritisme [adanya roh-roh pada
benda-benda di alam semesta], animisme [adanya nyawa atau jiwa pada
benda-benda tertentu], dinamisme [adanya kekuatan dan kuasa
pada semua makhluk], totemnisme [adanya hubungan antara manusia dengan
binatang tertentu].

 Hubungan erat antara [masyarakat] penganut agama suku dengan alam terjadi karena
anggapan bahwa pada alam ada atau berdiam [tinggal] pribadi yang mempunyai
kekuatan dan kuasa. Sebagai pribadi, alam juga tidak mau diganggu atau dirusak
oleh manusia. Dalam konsep agama-agama suku, jika pribadi pada alam tersebut
diganggu [mendapat gangguan], maka Ia akan mendatangkan murka pada manusia.
Dan juga hubungan itulah, yang seringkali menjadikan mereka lebih memperhatikan
dan menjaga keselarasan hidup dengan lingkungan.

 
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan, pemikiran dan
pemahaman manusia tentang siapa Yang Ilahi yang disembah semakin maju. Pada
perkembangan selanjutnya, model atau cara-cara penyembahan pada agama suku,
berubah dan berkembang menjadi suatu sistem yang teratur. Perubahan dan
perkembangan ini, juga menjadikan manusia mempunyai aneka pendapat atau
pengertian tentang agama.

ARTI AGAMA

Agama [Sanskerta, a = tidak; gama = kacau] artinya tidak kacau; atau adanya
keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio
[darireligere, Latin] artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama;
jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan
hubungannya dengan Ilahi.

 
Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam
diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu [yang supra natural] dan
berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu sistem
sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia [pendiri atau
pengajar utama agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut
dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi
agar manusia mentaatinya. Perintah dan kata-kata tersebut mempunyai kekuatan Ilahi
sehingga dapat difungsikan untuk mencapai atau memperoleh keselamatan [dalam
arti seluas-luasnya] secara pribadi dan masyarakat.
Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil budaya. Artinya, manusia
membentuk atau menciptakan agama karena kemajuan dan perkembangan budaya
serta peradabannya. Dengan itu, semua bentuk-bentuk penyembahan kepada Ilahi
[misalnya nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan lain-lain] merupakan unsur-unsur
kebudayaan. Dengan demikian, jika manusia mengalami kemajuan, perubahan,
pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan, maka agama pun mengalami hal yang
sama. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan ritus, nyanyian, cara penyembahan
[bahkan ajaran-ajaran] dalam agama-agama perlu diadaptasi sesuai dengan sikon dan
perubahan sosio-kultural masyarakat.
 
Sedangkan kaum agamawan berpendapat bahwa agama diturunkan TUHAN Allah
kepada manusia. Artinya, agama berasal dari Allah; Ia menurunkan agama agar
manusia menyembah-Nya dengan baik dan benar; ada juga yang berpendapat bahwa
agama adalah tindakan manusia untuk menyembah TUHAN Allah yang telah
mengasihinya. Dan masih banyak lagi pandangan tentang agama, misalnya,

1.  
1. Agama ialah [sikon manusia yang] percaya adanya TUHAN, dewa,
Ilahi; dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta berbhakti
kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk
kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut
2. Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia
terhadap sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan
kehidupan serta alam semesta; cara-cara tersebut bervariasi sesuai
dengan sikon hidup dan kehidupan masyarakat yang menganutnya
atau penganutnya
3. Agama ialah percaya adanya TUHAN Yang Maha Esa dan hukum-
hukum-Nya. Hukum-hukum TUHAN tersebut diwahyukan kepada
manusia melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu adalah orang-
orang yang dipilih secara khusus oleh TUHAN sebagai pembawa
agama. Agama dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan
diturunkan TUHAN [kepada manusia] untuk kebahagiaan hidup
manusia di dunia dan akhirat

 
Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah
Ilahi [yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan
kehidupan kepada manusia]; upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus [secara
pribadi dan bersama] yang ditujukan kepada Ilahi.

 
Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia terhadap penyataan TUHAN Allah.
Dalam keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal TUHAN Allah, maka Ia
menyatakan Diri-Nya dengan berbagai cara agar mereka mengenal dan menyembah-
Nya. Jadi, agama datang dari manusia, bukan TUHAN Allah. Makna yang khusus
inilah yang merupakan pemahaman iman Kristen mengenai Agama.

CIRI-CIRI UMUM AGAMA


Berdasarkan semuanya itu, hal-hal yang patut diperhatikan untuk memahami
agama,antara lain

1. Pada setiap agama mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau Sesuatu


Yang Ilahi dan disembah. Ia bisa disebut TUHAN, Allah, God, Dewa, El,
Ilah, El-ilah, Lamatu’ak, Debata, Gusti Pangeran, Deo, Theos atau penyebutan
lain sesuai dengan konteks dan bahasa masyarakat [bahasa-bahasa rakyat]
yang menyembah-Nya. Penyebutan tersebut dilakukan karena manusia
percaya bahwa Ia yang disembah adalah Pribadi yang benar-benar ada;
kemudian diikuti memberi hormat dan setia kepada-Nya. Jadi, jika ada ratusan
komunitas bangsa, suku, dan sub-suku di dunia dengan bahasanya masing-
masing, maka nama Ilahi yang mereka sembah pun berbeda satu sama lain.
Nama yang berbeda itu pun, biasanya diikuti dengan pencitraan atau
penggambaran Yang Ilahi sesuai sikon berpikir manusia yang
menyembahnya. Dalam keterbatasan berpikirnya, manusia melakukan
pencitraan dan penggambaran Ilahi berupa patung, gambar, bahkan wilayah
atau lokasi tertentu yang dipercayai sebagai tempat tinggalJadi, kaum agama
tidak bisa mengklaim bahwa mereka paling benar menyebut Ilahi yang
disembah. Sehingga nama-nama lain di luarnya adalah bukan Ilahi yang patut
disembah dan dipercayai atau diimani.
2. Pada setiap agama ada keterikatan kuat antara yang menyembah [manusia]
danyang disembah atau Ilahi. Ikatan itu menjadikan yang menyembah
[manusia, umat] mempunyai keyakinan tentang keberadaan Ilahi. Keyakinan
itu dibuktikan dengan berbagai tindakan nyata [misalnya, doa, ibadah, amal,
perbuatan baik, moral, dan lain-lain] bahwa ia adalah umat sang Ilahi. Hal itu
berlanjut, umat membuktikan bahwa ia atau mereka beragama dengan cara
menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Ia harus melakukan doa-doa; mampu
menaikkan puji-pujian kepada TUHAN yang ia sembah; bersedia melakukan
tindakan-tindakan yang menunjukkan perhatian kepada orang lain dengan
cara berbuat baik, sedekah, dan lain sebagainya.
3. Pada umumnya, setiap agama ada sumber ajaran utama [yang tertulis maupun
tidak tidak tertulis]. Ajaran-ajaran tersebut antara lain: siapa Sang Ilahi yang
disembah umat beragama; dunia; manusia; hidup setelah kematian; hubungan
antar manusia; kutuk dan berkat; hidup dan kehidupan moral serta hal-hal
[dan peraturan-peraturan] etis untuk para penganutnya. Melalui ajaran-ajaran
tersebut manusia atau umat beragama mengenal Ilahi sesuai dengan sikonnya
sehari-hari; sekaligus mempunyai hubungan yang baik dengan sesama serta
lingkungan hidup dan kehidupannya.
4. Ajaran-ajaran agama dan keagamaan tersebut, pada awalnya hanya
merupakan uraian atau kalimat-kalimat singkat yang ada pada Kitab Suci.
Dalam perkembangan kemudian, para pemimpin agama mengembangkannya
menjadi suatu sistem ajaran, yang bisa saja menjadi suatu kerumitan untuk
umatnya; dan bukan membawa kemudahan agar umat mudah menyembah
Ilahi.
5. Secara tradisionil, umumnya, pada setiap agama mempunyai ciri-ciri spesifik
ataupun berbeda dengan yang lain. Misalnya,

 pada setiap agama ada pendiri utama atau pembawa ajaran; Ia bisa saja
disebut sebagai nabi atau rasul, guru, ataupun juruselamat
 agama harus mempunyai umat atau pemeluk, yaitu manusia; artinya
harus ada manusia yang menganut, mengembangkan, menyebarkan
agama
 agama juga mempunyai sumber ajaran, terutama yang tertulis, dan
sering disebut Kitab Suci; bahasa Kitab Suci biasanya sesuai bahasa
asal sang pendiri atau pembawa utama agama
 agama harus mempunyai waktu tertentu agar umatnya melaksanakan
ibadah bersama, ternasuk hari-hari raya keagamaan
 agama perlu mempunyai lokasi atau tempat yang khusus untuk
melakukan ibadah; lokasi ini bisa di puncak gunung, lembah, gedung,
dan seterusnya
SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM

Risalah Islam dilanjutkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. di Jazirah Arab pada abad ke-7
masehi ketika Nabi Muhammad saw mendapat wahyu dari Allah swt. Setelah kematian
Rasullullah s.a.w. kerajaan Islam berkembang hingga Samudra Atlantik dan Asia Tengah di
Timur.

Namun, kemunculan kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Umayyah, Abbasiyyah, Turki


Seljuk, dan Kekhalifahan Ottoman, Kemaharajaan Mughal, India,dan Kesultanan Melaka
telah menjadi kerajaaan yang besar di dunia. Banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat dan
sebagainya muncul dari negeri-negeri Islam terutama pada Zaman Emas Islam. Karena
banyak kerajaan Islam yang menjadikan dirinya sekolah.

Di abad ke-18 dan 19 masehi, banyak daerah Islam jatuh ke tangan Eropa. Setelah Perang
Dunia I, Kerajaan Ottoman, yaitu kekaisaran Islam terakhir tumbang.

Jazirah Arab sebelum kedatangan Islam merupakan sebuah kawasan yang dilewati oleh jalur
sutera. Kebanyakkan Bangsa Arab merupakan penyembah berhala dan sebagian
merupakan pengikut agama Kristen dan Yahudi. Mekah adalah tempat suci bagi bangsa
Arab ketika itu karana terdapat berhala-berhala mereka dan Telaga Zamzam dan yang paling
penting sekali serta Ka'bah yang didirikan Nabi Ibrahim beserta Ismail.

Nabi Muhammad saw. dilahirkan di Mekah pada Tahun Gajah yaitu 570 masehi. Ia
merupakan seorang anak yatim sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia. Muhammad
akhirnya dibesarkan oleh pamannya, Abu Thalib. Muhammad menikah dengan Siti Khadijah
dan menjalani kehidupan yang bahagia.

Namun, ketika Nabi Muhammad saw. berusia 40 tahun, beliau didatangi Malaikat Jibril
Sesudah beberapa waktu Muhammad mengajar ajaran Islam secara tertutup kepada rekan-
rekan terdekatnya, yang dikenal sebagai "as-Sabiqun al-Awwalun(Orang-orang pertama
yang memeluk Islam)" dan seterusnya secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekah.

Pada tahun 622 masehi, Muhammad dan pengikutnya hijrah ke Madinah. Peristiwa ini
disebut Hijrah. Peristiwa lain yang terjadi setelah hijrah adalah pembuatan kalender Hijirah.

Penduduk Mekah dan Madinah ikut berperang bersama Nabi Muhammad saw. dengan hasil
yang baik walaupun ada di antaranya kaum Islam yang tewas. Lama kelamaan para
muslimin menjadi lebih kuat, dan berhasil menaklukkan Kota Mekah. Setelah Nabi
Muhammad s.a.w. wafat, seluruh Jazirah Arab di bawah penguasaan Islam.
Pembawa Tugas Nabi Dan Rasul

Kita semua mafhum bahwa membaca syahadah dengan lafal “Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa
asyhadu anna Muhammadan rasul Allah” menjadi rukun pertama agama Islam. Ini artinya ada
kemungkinan terjadinya syahadh (penyaksian) manusia kepada dzat Tuhan Allah di dunia ini
sebagaimana telah terjadi penyaksian manusia kepada Dzat Tuhan di alam dzar. Sebab kata
“syahidna” dalam ayat Al Quran diatas dengan kata “Ashadu” dalam lafal syahadah sebagai rukun
Islam berasal dari akar kata yang sama, “Syuhud” yang punya arti “menyaksikan” atau “bersaksi”.

Di dalam logika al-Ghazali yang ditulis dalam kitab Ihya Ulumuddin juz 3 dinyatakan, iman (percaya)
yang didasarkan atas penyaksian sendiri lebih mantap disbanding dengan iman yang hanya didasarkan
atas berita-berita dari orang lain.

Lebih lanjut Al-Ghazali membagi jenis iman lengkap dengan penjelasannya menjadi tiga, pertama,
imannya orang-orang awam yang hanya didasarkan atas berita-berita dari orang lain. Kedua imannya
kaum mutakallimin yang melengkapi imannya dengan beragam dalil, dan ketiga imannya kaum ‘arifun
billah’ yang didasarkan atas syahadah dengan penuh keyakinan. Melalui logika analogis ia
memperlengkapi penjelasan tentang tingkat-tingkat keyakinan dengan mengajukan satu contoh konkrit
tentang keyakinan bahwa “Zaid ada di dalam rumah”.

Pertama, kamu mendapat informasi dari pembantunya yang selama ini dikenal jujur dan tidak
berbohong. Ia mengatakan kepadamu bahwa tuan Zaid ada di dalam rumah. Mendengar berita dari
pembantu tersebut kamu meyakininya meskipun kamu tidak mendengar sendiri tuan Zaid. Inilah
perumpamaan imanya orang-orang awam yang hanya didasarkan berita yang mereka peroleh dari
bapak ibu mereka bahwa Allah itu wujud, punya sifat-sifat dan af’al dan mereka tidak meragukan
pemberitaan dari ibu bapak mereka. Iman semacam ini bisa membawa mereka memperoleh
kebahagiaan di akhirat, akan tetapi mereka tidak masuk golongan orang-orang yang muqarrabin
(mungkin yang dimaksud Al Ghazali adalah orang-orang yang dekat kepada Tuhan) karena cahaya
keyakinan tidak menembus ke dalam hati mereka. Dan kemungkinan jatuh ke dalam kesalahan sangat
terbuka bagi mereka.

Tingkat kedua, kamu mendengar sendiri ucapan tuan Zaid akan tetapi posisimu berada di balik tembok
rumahnya (kamu tidak menyaksikan tuan zaid dengan mata kepalamu). Dari mendengar ucapan Tuan
Zaid inilah kamu berdalil bahwa tuan Zaid di dalam rumah. Dan iman dalam tingkatan ini lebih kuat
dibanding iman yang hanya didasarkan atas pemberitaan orang lain.

Tingkat letiga, kamu masuk sendiri ke dalam rumah tuan Zaid dan kamu melihat dan menyaksikan tuan
Zaid dengan mata kepalamu. Inilah hakekat ma’rifat dan musyahadah yang sangat meyakinkan setaraf
dengan ma’rifatnya orang-orang muqorobin dan para shidiqin di mana mereka beriman atas dasar
penyaksian (syahadah). Inilah tingkat kualitas iman yang lebih kuat disbanding kedua tingkat
sebelumnya.

Hamka membuat ilustrasi iman orang-orang awam yang oleh al Ghazali dikatakan sebagai mudah jatuh
kepada kesalahan. Dalam ilustrasinya, Hamkan menampilkan contoh orang awam dari desa yang oleh
suatu dorongan tertentu pindah ke perkotaan. Orang ini sewaktu tinggal di desanya dikenal sebagai
orang yang rajin menjalankan ubudiah agama. Dan kini setelah di kota, ia harus menghadapi sejumlah
tantangan seperti kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak mudah, kerasnya persaingan hidup, benturan
emosi, benturan kepentingan, keinginan, nafsu, kemewahan kita, akan menjadi hadangan yang boleh
jadi membelokkan iman awam mengikuti kecenderungan hidup memburu kebutuhan dan kepentingan
duniawiyah. Gejala awalnya bisa jadi ketika datang waktu shalat zhuhur ia tidak segera mengerjakan
shalat sebagaimana masih tinggal di desa. Dari gejala sederhana ini berlanjut sampai dengan berani
meninggalkan shalat karena tuntutan pekerjaan dan kebutuhan yang jika tidak ia kejar, kesempatan itu
akan hilang dan sulit ditemukan kembali kesempatan semacam itu. Boleh jadi karena pergaulan ia
mulai berani minum minuman keras atau mengkonsumsi obat-obat terlarang dengan alas an solidaritas
kawan atau desakan kawan padahal selama tidak pernah ia lakukan di desa.
Tingkat kedua, adalah imannya kaum mutakallimin, atau ulama yang menggeluti ilmu kalam, yang
menurutnya tingkat ini lebih dekat kepada tingkat iman orang-orang awam. Sebagai seorang tokoh
dalam ilmu kalam aliran Asy’ariyah, tentu otokrikik terhadap disiplin yang digelutinya selama ini patut
memperoleh perhatian sejenak. Dalam karyanya yang lain “al-Munqidz min al-Dhalal”, beliau juga
menyampaikan kritik atas disiplin ini. Katanya, ilmu kalam memang bisa memenuhi tujuannya sendiri,
akan tetapi ia tidak bisa memenuhi tujuan saya.

Adapun tujuan ilmu kalam adalah menjaga akidah ahlus-sunnah dari tercampur dengan faham bid’ah
yang menyesatkan. Sebagai salah seorang pengikut aliran Asy’ariyah bahkan beliau dipandang
sebagai tokoh pembela aliran ini yang paling berpengaruh, beliau mengakui ada sebagian kelompok
yang tenggelam dan jatuh ke dalam pusaran perselisihan, mengabaikan argumentasi pihak lain. Dan
keadaan ini oleh belaiau dianggap sebagai tidak member manfaat bagi orang yang tidak mau
menerima selain bukti yang memberi kepastian (dharuri). Dan bukti semacam ini tidak diperoleh melalui
dalil-dalil aqli maupun nakli dalam masalah iman dank arena itulah beliau masuk ke dalam kamar
tasawuf guna memperoleh iman yang didasarkan atas penyaksian dan, menurutnya, iman semacam ini
merupakan tingkat iman yang paling kuat disbanding dua yang pertama. Menurut Muhammad Iqbal,
salah seorang pemikir modern, disiplin ilmu kalam sebagaimana diperlihatkan oleh Mu’tazillah hanyalah
bermain-main dalam logika padahal kehidupan beragama tidak hanya terbatas pada bermain-main
rasio untuk kepentingan pemahaman dan kognisi melainkan menuntut adanya totalitas manusia dalam
beribadah.

Kita kembali kepada pembahasan mengenai penyaksian. Penyaksian (syahadah) adalah gambaran
situasi di mana terjadi hubungan langsung antara manusia sebagai subyek yang menyaksikan dengan
obyek yang disaksikan. Melalui penyaksian ini terjadilah pengalaman langsung yang membuat
keyakinan orang tersebut mencapai tingkat haqqul yaqien karena didasarkan atas penyaksian sendiri,
dan tidak hanya didasarkan atas ucapan-ucapan atau informasi orang lain. Inilah tingkat iman orang-
orang muqorobin dan shiddiqien, dan dalam kelompok ini, tentu para nabi dan rasul menjadi penghuni
pertama
Sebab para nabi orang yang secara langsung menerima wahyu dari Tuhan dan diantara mereka diutus
menjadi Rasul untuk menyampaikan risalahNya kepada sesame manusia.

Demikian Al Ghazali membicarakan kekhasan ilmu yang ada pada Nabi, yakni ilmu yang berada di luar
jangkauan panca indera akal. Beliau menyebut dengan ilmu hakekat, ilmu yang masuk ke dalam rasa
(dzauq) yang dengannya seseorang bisa merasakan lezatnya merasakan ma’rifat billah. Rasa itu
semacam penyaksian (dalam teks al-Ghazali, aldzauq kal musyahadah), atau dalam rumusan
Syuhrawardi al Maqtul dinyatakan secara eksplisit, “man lam yadzuq lam ya’rif” artinya “barang siapa
yang tidak merasa maka ia tidak mengenal atau tidak tahu”. Ini berarti di dalam rasa itu ada
pengenalan dan pengetahuan. Kalau kita minum the dan menyatakan “teh ini manis”, sebenarnya yang
menyatakan ini adalah rasa. Kita tahu teh ini manis melalui rasa. Demikian pula jika kita makan garam
lalu menyatakan “asin” maka rasalah sebenarnya yang menyatakannya setelah rasa ini mengadakan
kontak langsung dengan garam, lalu mengerti serta mengenal rasa garam, lalu membuat putusan
bahwa garam itu asin. Inilah yang dikehandaki Al Ghazali sebagai pembuktian yang dharuri,
pembuktian secara langsung melalui rasa. Sebuah pembuktian yang mencapai tingkat haqqul yaqien,
pembuktian yang haqiqi melebihi pembuktian yang didasarkan atas penglihatan atau pengamatan
(observasi), atau pembuktian yang didasarkan atas konstruk awal, atau argument-argument rasio.

Contoh ilmuan fisika-kimia punya konstruk teori yang kita kenal dengan “atom”. Konstruk teori ini
merupakan simpulan setelah melalui kajian yang mendalam dan melibatkan banyak ilmuwan dalam
disiplin atom, lalu disepakati bahwa atom itu terdiri dari electron (unsure negative) dan neutron serta
proton (inti atom). Electron-elektron itu diyakini bergerak mengelilingi inti dengan kecepatan tinggi.
Fakta atau kenyataan mengenai bagaimana electron-elektron itu bergerak cepat memang tidak dapat
dilihat mata ataupun dengan bantuan alat teknologi, namun ada bukti yang menguatkan konstruk ini,
missal, ketika kita menekan tombol listrik, lampu-lampu menyala, setrika berfungsi dan lain-lain. Mata
kita tidak melihat electron-elektron itu bergerak pada kabel listrik mengelilingi inti atom, namun rasio
kita mengabsahkan kebenaran adanya atom. Pembuktian jenis ini kit kelompokkan sebagai bukti dalam
tingkat ‘ainul yaqin’ dan ‘ilmul yaqin’ (mata kita melihat bukti dan rasio kita mendeskripsikan). Namun
jika kita ingin memperoleh pembuktian lebih kuat lagi, pembuktian yang mencapai haqqul yaqin, coba
pegang saja kabel listrik itu dan kita akan merasakan sengatan listrik itu.
Penulis ingin menyederhanakan contoh dengan “batu”. Ketika mata kita melihat sebongkah batu, akal
kita mengatakan dan percaya bahwa batu itu keras dan lebih keras dari kepala kita. Dan buktinya,
ketika kita ingin tiba-tiba melihat seorang yang kepalanya tertimpa batu, ternyata kepala orang tersebut
menjadi benjol-benjol. Disini kita memproleh pembuktian tingkat ‘ainul yaqin dan ‘ilmul yaqin, jika kita
masih menginginkan pembuktian yang lebih kuat lagi dari dua pembuktian di atas, yakni pembuktian
yang mencapai haqqul yaqin, pembuktian rasa, kita sendiri mencoba membenturkan kepala kita
terhadap batu dan kita akan merasakan secara langsung betapa kerasnya batu itu.
Keyakinan Aqidah, Ibadah
Dr. Kaelany HD., MA mengatakan dalam bukunya, Islam Agama Universal, bahwa ajaran
Islam sangatlah luas. Ulama dengan berlandaskan hadist membagi ajaran Islam tersebut
dalam tiga pokok bahasan, yaitu Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak.

Dalam hal ini, akan dibahas pengertian Aqidah serta Syari’ah (sebagai Ibadah dan
Muamalah), yang mana pengertian ini didapat dari berbagai sumber, yaitu Al-qur’an , Hadist,
dan berbagai resensi dari buku atau artikel.
 Aqidah
Aqidah adalah suatu istilah untuk menyatakan “kepercayaan” atau Keimanan yang teguh
serta kuat dari seorang mukmin yang telah mengikatkan diri kepada Sang Pencipta. Makna
dari keimanan kepada Allah adalah sesuatu yang berintikan tauhid, yaitu berupa suatu
kepercayaan, pernyataan, sikap mengesankan Allah, dan mengesampingkan penyembahan
selain kepada Allah. (Dr. Kaelany HD., MA, Februari 2009, hlm 65)

Ajaran mengenai aqidah ini merupakan tujuan utama Rasul diutus ke dunia, yang mana hal
ini dinyatakan dalam AL-qur’an, yang berbunyi:

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu (Muhammad) melainkan Kami
wahyukan kepadanya, bahwasanya tiada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka
sembahlan olehmu sekalian akan Aku” (QS. 21: 25)

Akidah adalah suatu ketetapan hati yang dimiliki seseorang, yang mana tidak ada factor apa
pun yang dapat mempengaruhi atau merubah ketetapan hati seseorang tersebut.

Kata “‘aqidah” diambil dari kata dasar “al-‘aqdu” yaitu ar-rabth(ikatan), al-
Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat),
asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan
al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan)
dan al-jazmu(penetapan).
“Al-‘Aqdu” (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata
tersebut diambil dari kata kerja: ” ‘Aqadahu” “Ya’qiduhu” (mengikatnya), ” ‘Aqdan”
(ikatan sumpah), dan ” ‘Uqdatun Nikah” (ikatan menikah). Allah Ta’ala berfirman,
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja …” (Al-Maa-idah : 89).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil
keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan
dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan
diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus
bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu’jamul Wasiith: (bab:
‘Aqada). [1]

Secara terminologi, juga dijelaskan bahwa Aqidah merupakan perkara yang wajib

dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi

suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan

kebimbangan. [2]
 Ibadah dan Muamalah
Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan Rasulnya yang merupakan jalan
atau pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan vertical kepada Pencipta, Allah
SWT, dan juga kepada sesame manusia.
Ada dua pendekatan dalam mendefinisikan Syari’ah, yaitu antara lain:

 Dari segi tujuan, Syari’ah memiliki pengertian ajaran yang menjaga kehormatan
manusia sebagai makhluk termulia dengan memelihara atau menjamin lima hal penting,
yaitu:
1.

1. Menjamin kebebasan beragama (Berketuhanan Yang Maha Esa)

2. Menjamin kehiupan yang layak (memelihara jiwa)

3. Menjamin kelangsungan hidup keluarga (menjaga keturunan)

4. Menjamin kebebasan berpikir (memelihara akal)

5. Menjamin kehidupan dengan tersedianya lapangan kerja yang pantas


(memelihara harta)

Lima hal pemeliharaan itu akan menjadi ukuran dari lima hukum Islam, seperti wajib, sunnat,
haram, makruh, dan mubah.

 Ditinjau dari segi klasifikasi.


Untuk memahami hal ini, ada baiknya terlebih dahulu kita mengetahui arti dari Ibadah dan
Muamalah itu sendiri. Ibadah.

Berikut di bawah ini adalah pengertian dari Ibadah, menurut Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas:

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.


Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi,
tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
[1]. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui
lisan para Rasul-Nya.
[2]. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan
tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang
paling tinggi.
[3]. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai
Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun
yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.
Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi
sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58] [3]
Berikut di bawah ini adalah pengertian Muamalah:

Etiomologi:
Muamalah dari kata ( ‫ )العمل‬yang merupakan istilah yang digunakan untuk
mengungkapkan semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. muamalah
mengikuti pola ( ‫ ) ُمفَا َعلَة‬yang bermakna bergaul ( ‫)التَّ َعا ُمل‬
Terminologi:
Muamalah adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain ibadah[4]
Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yaitu harus ada
contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad SAW. Konsep ibadah ini berdasarkan
kepada mamnu’ (dilarang atay haram). Ibadah ini antara lain meliputi shalat, zakat, puasa,
dan haji. Sedangkan masalah mu’amalah (hubungan kita dengan sesame manusia dan
lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan
ilmu pengetahuan dan teknologi, berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada
larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya.[5]
Berkaitan dengan hal di atas (mu’amalah), Nabi Muhammad SAW mengatakan:
“Bila dalam urusan agama (aqidah dan ibadah) Anda contohlah saya. Tapi, dalam
urusan dunia Anda, (teknis mu’amalah), Anda lebih tahu tentang dunia Anda.”

Dalam ibadah, sangat penting untuk diketahui apakah ada suruhan atau contoh tatacara,
atau aturan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Apabila hal itu tidak ada, maka
tindakan yang kita lakukan dalam ibadah itu akan jatuh kepada bid’ah, dan setiap
perbuatan bid’ah adalah dhalalah (sesat). Sebaliknya dalam mu’amalah yang harus dan
penting untuk diketahui adalah apakah ada larangan tegas dari Allah dan Rasul-Nya, karena
apabila tidak ada, hal tersebut boleh saja dilakukan.
Dalam hal ini, Dr. Kaelany juga menjelaskan adanya dua prinsip yang perlu kita perhatikan,
yaitu:

Pertama: Manusia dilarang “menciptakan agama, termasuk system ibadah dan


tata caranya, karena masalah agama dan ibadah adalah hak mutlak Allah dan
para Rasul-Nya yang ditugasi menyampaikan agama itu kepada masyarakat.
Maka menciptakan agama dan ibadah adalah bid’ah. Sedang setiap bid’ah adalah
sesat.
Kedua: Adanya kebebasan dasar dalam menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan masalah mu’amalah, seperti pergaulan hidup dan kehidupan
dalam masyarakat dan lingkungan, yang dikaruniakan Allah kepada umat
manusia (Bani Adam) dengan batasan atau larangan tertentu yang harus dijaga.
Sebaliknya melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya
adalah bid’ah.[6]
Dalam menjalankan keseharian, penting bagi kita untuk mengingat dua prinsip di atas.
Ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak hati kita karena semua ketentuan dan
aturan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah
diajarkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya. Melakukan sesuatu dalam ibadah, yang
tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah berarti melakukan sesuatu yang tidak
diperintahkan oleh Allah SWT, dan ini sungguh merupakan perbuatan yang sesat.

Namun dalam beberapa hal, tentu ada hal yang harus diperhatikan sesuai dengan
perkembangan zaman. Di sini lah implikasi dari mu’amaah itu sendiri. Selama tidak ada
larangan secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, hal yang dipertimbangkan itu boleh
dilakukan. Hal ini telah diterangkan oleh Rasul dalam sabdanya yang sudah ditulis di atas.
Sebagai contoh adalah dalam kehidupan sehari-hari, pada zaman hidupnya Rasulullah,
masyarakat yang mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan
binatang Unta sebagai kendaraan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin sama dalam kehidupan
zaman modern ini. Dan karenanya, menggunakan kendaraan bermotor diperbolehkan karena
tidak ada larangan dari Allah dan Rasul-Nya (tidak tertera larangan yang tegas dalam Al-
Qur’an dan Sunnah).

Anda mungkin juga menyukai