PENGERTIAN
Bercorak universal
Disebarkan oleh penganutnya
Atau dipaksakan oleh penakluk
AGAMA MENURUT PEWAHYUANNYA
Agama samawi: agama yang diwahyukan oleh
Allah melalui para nabi:
Ciri:
Konsep ketuhanannya monoteis
Disampaikan / diwahyukan melalui utusan /
nabi
Memiliki KS, yang merupakan wahyu Allah
Tidak terpengaruh perubahan masyarakat
Kebenaran ajarannya tahan terhadap kritik
akal.
Agama wadi (natural religion), agama kodrati,
agama asli:
• Iman / kepercayaan
• Ajaran agama (disarikan dalam syahadat)
• Peraturan yang mengikat (anjuran dan larangan)
• Kitab Suci
• Ritus / kebaktian
• Organisasi agama (hierarki)
• Amal bakti (moralitas)
MOTIVASI ORANG
BERAGAMA
• Teologis: Rahmat Tuhan (Allah sendiri yang
menghendaki)
• Psikologis: untuk
Mengatasi frustasi karena: alam, sosial,
moral, maut.
Menjaga kesusilaan dan ketertiban
masyarakat.
Memuaskan intelek yang ingin tahu.
Mengatasi ketakutan.
• Sosiologis:
Memperoleh rasa aman (dari ancaman &
ketakutan)
Mencari perlindungan
Menemukan penjelasan
Memperoleh pembenaran praktik kehidupan
Meneguhkan tata nilai (jujur, adil, dsb)
Memuaskan kerinduan mistik (harapan
eskatalogis)
MANFAAT AGAMA BAGI MANUSIA
Manusiawi Agama
Hewani
a
PERANAN AGAMA
1. Mewartakan dan memberi kesaksian tentang karya
keselamatan Allah
Semua agama mengajarkan, bahwa Allah
berkehendak agar semua orang selamat.
Allah, Sang Pencipta senantiasa berusaha untuk
menyelamatkan manusia dalam sejarahnya.
Manusia harus terlibat dalam karya
penyelamatan Allah ini.
2. Mewartakan dan memberi kesaksian tentang
makna hidup manusia yang sesungguhnya.
- Semua agama mewartakan dan
menawarkan tentang wujud dan hakikat dari
hidup yang bermakna, supaya hidup
manusia tidak sampai sia-sia.
- Ada empat relasi yang sangat menetukan
makna hidup manusia: relasi dengan
sesama, lingkungan, diri sendiri dan Tuhan.
3. Mewartakan dan memberi kesaksian
tentang cara hidup yang baik dan benar
untuk hidup sejahtera dan selamat.
SEJARAH EVOLUSI
• Itulah yang menimbulkan aneka macam konsep
manusia tentang Allah dalam suatu religi seperti,
monoteisme, politeisme, henotisme, monolatri,
panteisme (di Barat) pan-en-teisme (di Timur),
monisme, dll.
Monoteisme
Ontologi Manusia:
Manusia sebagai
Humanum Religiousum
• Manusia adalah mahluk multidimensional
• Homo rationale
• Homo ludic
• Homo faber Dimenisi ini
melekat di dalam
• Homo socius diri manusia
• Homo oikosnomos
• Homo religiosu
Homo Religouso atau Humanum
Religiosum
• Hakikat manusia sebagai Humanum Religiosum yang
akan diekplorasi dalam kuliah ini.
• Humanum (Human, Latin Homo): manusia
• Religiosum (Religion, religious, Religere): to read
again.
• Secara harafiah Humanum Religiosum adalah
manusia utuh.
• Kata religiosum di sini memiliki nuansa atau aroma
yang berkaitan erat dengan yang illahi. Dalam hal ini,
religious berkaitan erat dengan makna kedekatan
seseorang dengan yang illahi, dan beredasarkan relasi
intim tersebut, manusia menyadari:
• Bahwa kehidupan ini berasal dari yang illahi
• Bahwa nilai-nilai moral dan kebajikan berasal dari
percikan yang illahi.
• Sehingga Humanum Religiosum yang diartikan
sebagai manusia yang utuh berarti bahwa manusia
utuh atau manusia sejati adalah manusia yang
menyadari bahwa kehidupan berasal dari yang illahi
sehingga manusia juga dapat menimba kebijaksanaan
yang berasal dari yang illahi untuk hidup sebagai
manusia yang sungguh-sungguh manusia dalam relasi
dengan sesama manusia dan alam semesta.
Tuhan
Humanum Religiosum
Alam
• Maka manusia sebagai Humanum Religiosum
manusia yang mempunyai relasi yang intim dengan
yang ilahi, relasi yang saling memanusiakan dengan
sesama manusia dan relasi yang saling
menyelamatkan dengan alam semesta, dengan itulah
manusia tersebut menjadi manusia yang utuh.
Refleksi filosofis tentang manusia
• a.Indiferentisme
• Secara umum istilah indiferentisme dipahami sebagai
pendirian yang mengatakan bahwa “ada atau tidak
adanya agama tidak banyak arti dan manfaat bagi
manusia”. Agama tidak dipandang memberi
sumbangan bagi kehidupan manusia dan juga tidak
merugikan kehidupan manusia. Jadi, beragama dan
tidak beragama tidak ada perbedaannya.
• Dalam konteks pluralitas agama, sikap indiferentisme
muncul ke permukaan ketika penganut agama
tertentu tidak peduli pada kehadiran agama lain
(tidak menolak dan tidak menerima juga). Sikap
indiferentisme tampak dalam prinsip ada atau tidak
adanya “agama lain” sama sekali tidak memberikan
perbedaan bagi agama yang dihayatinya (agama lain
tidak merugikan dan tidak juga menguntungkan).
• b. Relativisme
• Relativisme adalah istilah yang menunjukkan
sikap yakin atas tidak adanya kebenaran atau nilai
mutlak. Secara etimologis, terminologi relativisme
berasal dari kata Latin relativismus, yang berarti
dibandingkan atau dalam perbandingan dengan, atau
ditempatkan bersama yang lain.
• Dalam perspektif itu, relativisme dalam agama dapat
dipahami sebagai pemikiran tentang kebenaran dan
nilai itu ditentukan oleh zaman, kebudayaan,
masyarakat dan pribadi tertentu. Dalam konteks
pluralisme agama, sikap relativisme dipandangn
negatif karena menunjukkan inkonsistensi iman.
c. Radikalisme dan Fanatisme Sempit
• Secara etimologi fanatisme berakar dalam kata Latin,
fanum, yang berarti tempat suci. Maka secara harafiah,
orang fanatik adalah orang yang rajin mengunjungi
tempat ibadat dari agama yang dianutnya
• Namun, pemaknaan kata fanatisme itu dewasa ini
berkonotasi negatif. Ia ditafsirkan sebagai sumber
dari sikap sektarian yang hendak memisahkan diri
dari yang lain dan eksklusif mau sibuk dan perhatian
hanya pada diri sendiri. Fanatisme model itu adalah
fanatisme sempit yang bisa jadi bermula dari
radikalisme dalam kehidupan beragama.
• Radikalisme agama yang melahirkan fanatisme
sempit kerapkali bermuara pada kekerasan atas nama
agama. Kecuali tiu, wajah fanatisme juga tergurat
dalam kecenderungan untuk menutup diri pada pihak
lain sembari memperalat agama untuk mendapatkan
identitas diri dan sosial.
• Sikap fanatisme model itulah yang mendorong
penganut agama tertentu menganggap agamanya
paling benar sembari menolak adanya kebenaran
pada agama lain.
• Maka ia pun melawan segala hal yang mengancam
eksistensi kebenaran agamanya dengan berbagai cara,
termasuk dengan kekerasan atas nama agama.
• Ketika penganut agama diterpa angin fanatisme
destruktif, maka agama bisa saja menjadi ajang
kekerasan atau kejahatan, peperangan, tirani dan
penindasan, sebab kehadiran agama lain dipandang
sebagai ancaman dan menganggu rasa aman.
Sikap dalam pergaulan antar
umat beragama
• Ada beberapa sikap yang muncul dalam kenyataan
realitas agama yang plural:
• a. Apologetis (Apologos: Pembelaan): Sikap yang
membela agama yang dianut. Dapat terjadi karena
serangan atau kritikan dari pihak lain.
• b. polemis (Polemos: Perang): Sikap menyerang
penganut agama lain (dapat secara psikis, fisik, dan
sosial) untuk melumpuhkan penganut agama lain.
• c. Persaingan (religious competition): umumnya sikap ini
muncul dalam rangkan mendapatkan posisi tertentu
di daerah tertentu.
• d. Toleransi (tolerare: membiarkan): memberikan
keleluasaan pada penganut agama lain untuk
memeluk agamanya masing-masing. Tolenransi
terbagi dua:
• Pasif/semu: membiarkan dan memberikan
keleluasaan bagi penganut agama lain sejauh tidak
mengganggu
• Aktif: mengakui eksistensi penganut agama lain dan
memberikan ruang untuk aktualisasi diri.
• e. dialog (dialogos: perbincangan): perjumpaan antara
penganut agama yang berbeda untuk saling bertukar
pendapat, berbagi pengalaman untuk menemukan
pemahaman dan pengertian bersama dalam
menciptakan kerukunan dalam konteks masyarakat
yang plural.
• Pluralisme agama sebagai sebuah paham mengenai
hakikat agama dan keberadaanya di dunia ini
sejatinya tidak menimbulkan persoalan sebab ia
merupakan hasil dari kegiatan membaca teks-teks
suci itu sendiri untuk mengkontekstualisasikannya.
• Sebagai demikian, pluralisme agama sebetulnya
menjadi tanda bagi kekayaan potensi suci yang
diidap oleh setiap agama. Potensi suci agama-agama
justru terkuak dalam daya tawar relevansinya untuk
menyikapi dan mengatasi pelbagai persoalan
kehidupan manusia dalam kondisi dan tuntutan
zaman yang terus berubah ini.
• Perspektif atas pluralisme agama diatas setidaknya
menyatakan bahwa ia adalah keniscayaan sejarah
eksistensi agama. Ia bukanlah upaya penyeragaman
pola pikir tentang Tuhan, melainkan tawaran bagi
keleluasaan kerangka pikiran untuk memaknai setiap
ayat-ayat suci tentang Tuhan. Sebagai demikian,
pluralisme agama adalah bagian dari peradaban
manusia untuk memaknai esensi Tuhan melalui
agama sehingga tidak perlu disanggah dengan
metode berpikir apa pun.