Anda di halaman 1dari 177

AGAMA

PENGERTIAN

• Agama (religion)  a – gam – a


a = tidak : atheis, amoral
gam = pergi
a (sifat = kekal)
Agama: tidak pergi (kekal)
Perjalanan menuju yang abadi
• Religion (religio  relegere = to read again; religare = to
bind)
Religius kata sifat, religiositas = kata benda: sikap hidup
yang mencerminkan kedekatan hubungan dengan Allah.
Ciri: tenang, berwibawa, tidak mudah gusar, optimis,
tidak memaksakan kehendak, peka terhadap mereka
yang menderita / tersisih
• Agama:
 kesatuan kompleks dari ajaran,
kepercayaan,

 ungkapan dan penghayatan terhadap


yang ilahi, yang kuasa, yang mengatasi
(transenden) dan sekaligus menjiwai
(imanen), yang diakui sebagai asal,
penyelenggara dan tujuan hidup.
Setiap agama mempunyai dua dimensi:
1. Dimensi vertikal: menyangkut hubungan manusia
dengan yang kauasa (Allah)
2. Dimensi horisontal: menyangkut hubungan
manusia dengan alam sekitarnya (termasuk
sesamanya)
AGAMA MENURUT ASALNYA
• Agama asli (pribumi):

Berkaitan dengan adat /


kebudayaan setempat.
Hanya dikenal di lingkungan
penganutnya
• Agama luar:

Bercorak universal
Disebarkan oleh penganutnya
Atau dipaksakan oleh penakluk
AGAMA MENURUT PEWAHYUANNYA
Agama samawi: agama yang diwahyukan oleh
Allah melalui para nabi:

Ciri:
 Konsep ketuhanannya monoteis
 Disampaikan / diwahyukan melalui utusan /
nabi
 Memiliki KS, yang merupakan wahyu Allah
 Tidak terpengaruh perubahan masyarakat
 Kebenaran ajarannya tahan terhadap kritik
akal.
Agama wadi (natural religion), agama kodrati,
agama asli:

Muncul dari perjalanan / perkembangan


kesadaran dan permenungan dalam
memahami misteri kehidupan dan dalam
menghadapi yang ilahi.
Muncul secara alami melalui kebudayaan.
Tidak mempunyai nabi, tetapi pemimpin
spiritual.
Ciri:

Konsep ketuhanannya samar dan tidak selalu monoteis


Tidak diturunkan melalui utusan / nabi, meski
memiliki tokoh atau pemimpin spiritual.
Tidak tentu memiliki KS.
KS-nya tidak merupakan wahyu, tetapi berkembang
melalui budaya dan sastra.
Dapat berubah sesuai perubahan masyarakat.
Kebenaran ajarannya tidak tahan terhadap kritik akal.
UNSUR-UNSUR DASAR AGAMA

• Iman / kepercayaan
• Ajaran agama (disarikan dalam syahadat)
• Peraturan yang mengikat (anjuran dan larangan)
• Kitab Suci
• Ritus / kebaktian
• Organisasi agama (hierarki)
• Amal bakti (moralitas)
MOTIVASI ORANG
BERAGAMA
• Teologis: Rahmat Tuhan (Allah sendiri yang
menghendaki)
• Psikologis: untuk
Mengatasi frustasi karena: alam, sosial,
moral, maut.
Menjaga kesusilaan dan ketertiban
masyarakat.
Memuaskan intelek yang ingin tahu.
Mengatasi ketakutan.
• Sosiologis:
Memperoleh rasa aman (dari ancaman &
ketakutan)
Mencari perlindungan
Menemukan penjelasan
Memperoleh pembenaran praktik kehidupan
Meneguhkan tata nilai (jujur, adil, dsb)
Memuaskan kerinduan mistik (harapan
eskatalogis)
MANFAAT AGAMA BAGI MANUSIA

• Pengasah jiwa & kemanusiaan.


• Saranan / alat untuk. menyempurnakan diri.
• Pengerem nafsu hewani / duniawi.
• Pembimbing / pengarah kehidupan religius
FUNGSI AGAMA BAGI MASYARAKAT

• Edukatif: pengajaran dan bimbingan  pribadi yang


dewasa.
• Penyelamatan: jaminan keselamatan dunia, akhirat
melalui:
Pembebasan dan penyucian
Kelahiran kembali
Persatuan dengan yang transenden
• Pengawasan sosial (social control):
Menyeleksi norma-norman
Meneguhkan norma-norma
Memberikan larangan
Memberikan sangsi
Mengkritisi pelaksanaannya
• Memupuk persaudaraan: mempersatukan orang dari
berbagai latar belakang.
• Transformatif: merubah cara hidup lama  baru
HAKIKAT HIDUP BERAGAMA

• Menyerahkan diri pada


penyelenggaraan ilahi
• Bersedia diubah / dibentuk menjadi
lebih baik.
AGAMA DAN RELIGIOSITAS

• Religiositas merupakan sikap batin / corak hidup yang


mencerminkan kedalaman hidup / intensitas relasi
manusia dengan Allah.
• Religiositas merupakan gejala unversal (manusia = homo
religiosus)
• Religiositas diwahyukan / ditanamkan dalam diri setiap
orang, tidak bisa dipengaruhi oleh kepentingan duniawi.
• Cakupan Religiositas lebih luas dari agama
(banyak orang menjadi religius tanpa mengenal
agama)
• Religiositas berasal dari Allah sendiri dan
menjadi sumber dari agama-agama
• Religiositas lebih bersifat personal / individual
• Agama merupakan pelembagaan dari
pengalaman religius / religiositas untuk
mengantar manusia kepada kehidupan religius
(orang beragama belum tentu religius)
• Agama lebih banyak berusaha dengan
aspek lahiriah (ritus, pewartaan,
dogma, dsb)
• Agama lebih bersifat sosial / kolektif.
A
Ilahi

Manusiawi Agama

Hewani

a
PERANAN AGAMA
1. Mewartakan dan memberi kesaksian tentang karya
keselamatan Allah
 Semua agama mengajarkan, bahwa Allah
berkehendak agar semua orang selamat.
 Allah, Sang Pencipta senantiasa berusaha untuk
menyelamatkan manusia dalam sejarahnya.
 Manusia harus terlibat dalam karya
penyelamatan Allah ini.
2. Mewartakan dan memberi kesaksian tentang
makna hidup manusia yang sesungguhnya.
- Semua agama mewartakan dan
menawarkan tentang wujud dan hakikat dari
hidup yang bermakna, supaya hidup
manusia tidak sampai sia-sia.
- Ada empat relasi yang sangat menetukan
makna hidup manusia: relasi dengan
sesama, lingkungan, diri sendiri dan Tuhan.
3. Mewartakan dan memberi kesaksian
tentang cara hidup yang baik dan benar
untuk hidup sejahtera dan selamat.

 Semua agama mewartakan bahwa


Allah menghendaki supaya manusia
bermakna dan diselamatkan.
 Allah mewahyukan petunjuk-
petunjuk dan hukum-hukumNya
supaya manusia hidup secara benar
dan baik dengan demikian
diselamatkan.
TUGAS
Buatlah narasi / kisah tentang kehidupan agama-agama
di Indonesia!
Prosesnya:
-Diskusikan pertanyaan-pertanyaan penuntun dalam
kelompok (tiap kelompok 4 / 5 orang)
-Tuliskan / rumuskan jawaban atau hasil diskusi dalam
bentuk narasi (kisah / cerita), paling sedikit dua
halaman A4.
Pertanyaan penuntun:
• Apa bedanya antara agama dan iman? Apa
hubungan antara keduanya?
• Mengapa agama-agama mendapat kritikan pada
saat ini?
• Sesungguhnya apa fungsi dan peranan agama-
agama itu?
• Mengapa sering terjadi kerusuhan yang bernuansa
agama di negeri kita ini?
• Mengapa agama cenderung digunakan sebagai alat
untuk mendapatkan kemenangan dalam dunia
politik? Bagaimana solusinya menurut kamu
• Apakah masyarakat Indonesia masih
membutuhkan agama?
• Bagaimana kaitan tentang Pendidikan Agama
dengan profesi anda sebagai tenaga kesehatan?
AGAMA DAN TUHAN

• Konsepsi setiap komunitas manusia atau agama


tentang Yang Mahatinggi pada umumnya memang
berbeda-beda, sebab terkait erat dengan kondisi
sosio-kultural masing-masing.
• Namun, secara umum dapat ditarik kesimpulan
bahwa setiap komunitas manusia memiliki keyakinan
akan Yang Mahatinggi. di antaranya adalah
• Pertama, Tuhan adalah pencipta dan pemberi
nafas hidup manusia. Dia menganugerahkan roh atau
hidup ini pada saat kelahiran manusia.
• Maka Tuhan biasanya ditampilkan sebagai Sosok
yang Mahamurah, baik sebagai Ayah maupun Ibu,
tempat bersandar sehingga manusia tidak jatuh.
• Kedua, Tuhan itu maha dahsyat. Kedahsyatan-
Nya tampak di alam, sebab Ia menciptakan
segala yang ada di alam semesta sejak awal mula. Ia
hadir dalam fenomena alam seperti badai dan
pergantian musim. Segala yang mempunyai ciri
terbaik dari kehidupan merupakan sesuatu yang
mengandung kuasa tertinggi dan keseimbangan.
• Ketiga, Tuhan merupakan misteri. Pengakuan
pada kemisterian Yang Mahatinggi itu menunjukkan
bahwa: eksistensiNya tidak tergantung pada
penjelasan, pengakuan, dan penyangkalan manusia.
• Keempat, Tuhan adalah pemberi aturan moral
dan hakim atas tindakan-tindakan manusia.
KONSEPSI MANUSIA
TENTANG TUHAN
• Dimensi historis paham Ketuhanan dalam religi
adalah sama tuanya dengan dimensi eksistensial
manusia.
• Sejarah peradaban manusia adalah juga sejarah
evolutif pemahaman dan penghayatan spiritualitas
religi.
PERADABAN MANUSIA
Agama Rasionalitas Estetika

SEJARAH EVOLUSI
• Itulah yang menimbulkan aneka macam konsep
manusia tentang Allah dalam suatu religi seperti,
monoteisme, politeisme, henotisme, monolatri,
panteisme (di Barat) pan-en-teisme (di Timur),
monisme, dll.
Monoteisme

• Ketika satu Tuhan dipercayai dan disembah sebagai


Yang Mahatinggi, baik secara implisit maupun
ekplisit, tindakan itu meminggirkan keberadaan Yang
Mahatinggi yang lain. Itulah yang kita namakan
monoteisme.
• Monoteisme (Yunani, Monos berarti tunggal,
sendiri, satu- satunya, dan tak ada yang lain, theos
berarti Allah, Tuhan). Aliran pemikiran ini dengan
tegas mengatakan bahwa Realitas Tertinggi itu hanya
satu. Tidak ada allah selain Allah. Tidak ada tuhan
selain Tuhan. Dalam Islam, penegasan konsep
monoteisme ini amat kentara pada paham dan
penghayatan akan: tiada tuhan selain Allah.
Politeisme

• Politeisme (Yunani:Polys berarti beberapa atau


banyak. Theos, berarti Tuhan, Allah). Jadi,
politeisme merupakan aliran kepercayaan yang
meyakini adanya dan memuja banyak Tuhan, banyak
dewa
• Kepercayaan pada pluralitas dewa disebut politeisme.
Artinya, mengakui adanya banyak (Yun: poly) dewa
(theos) dan dewi, yang jumlah, kedudukan dan
pemujaannya berubah-ubah
• Politeisme dapat diterangkan dari berbagai sudut
pandang.
• Pertama, bagi kesadaran religius bahwa seluruh jalan
hidup eksistensi manusia berada dalam hubungan
dengan Tuhan.
• Kedua, pemahaman religius tentang alam,
terutama di antara masyarakat kuno, telah mengantar
pada pemikiran bahwa fenomena alam merupakan
manifestasi kekuatan ilahi.
• Ketiga, dalam agama-agama yang menganggap
kehidupan kosmos sebagai wilayah pokok pewahyuan
ilahi, kehidupan kosmik adalah kehidupan surga dan
bumi, kuasa air dan api, serta berbagai macam
fenomena yang mempunyai peranan pasti dalam
kehidupan manusia.
• Keempat, kita memperoleh beberapa pemahaman
nilai religius politeisme kalau yang keluar di sana
bukannya refleksi mengenai misteri kehidupan pada
umumnya, melainkan suatu persepsi intuitif
mengenai berbagai bentuk dari misteri tersebut yang
berbeda satu sama lain.
Cara-Cara Manusia Menghayati
Tuhan

• Penghayatan manusia akan Tuhan tampak dalam


berbagai cara (penghayatan asli, penghayatan
Hinduisme, penghayatan Budhisme, keagamaan
Tionghoa, Agama Abrahamistik, dll.).
• a. Monisme
• Secara etimologis monisme berasal dari kata Monism
(Yun. ‘satu’). Istilah yang diciptakan oleh Christian
Wolf (1679-1754) bagi setiap usaha untuk
menafsirkan realitas berdasarkan satu prinsip (satu
kenyataan) saja dengan menghilangkan keragaman
dan perbedaan.
• Kenyataan yang dimaksudkan dapat bersifat roh
sehingga segala-galanya dipandang sebagai roh atau
bersifat benda sehingga segala sesuatu adalah benda.
Monisme roh melahirkan paham panteisme.
• Monisme, suatu sikap batin/kepercayaan adalah
disebut monisme manakala meyakini, mengimani
hanya satu kekuatan suci dan ilahi sebagai daya
universal. Bertolak dari panteisme yang merupakan
unsur tersembunyi dalam politeisme, monisme
mencari yang satu di dalam yang banyak, atau juga
memikirkan yang satu, yang sama sekali tidak punya
batas-batas dan definisi, sampai menjadi tidak
terkondisikan begitu saja.
• b. Panteisme
• Panteisme adalah ajaran yang menyatakan,
bahwa segala sesuatu merupakan (bagian dari)
Allah.
• Panteisme merupakan suatu kepercayaan, pandangan,
ajaran, yang melihat di dalam segala sesuatu ada
Tuhan. Artinya, Tuhan dipahami sebagai energi yang
merasuki segala sesuatu.
• c. Dualisme
• Dualisme adalah paham yang menegaskan bahwa
segala sesuatu dengan dua prinsip dasar yang tak
tergantung satu sama lain, melainkan saling
berlawanan (seperti Yin dan Yang).
• Dualisme adalah kebalikan dari monisme. Monisme
menghadapi masalah bagaimana menjelaskan
pluralitas.
• Sebaliknya, dualisme dapat menjelaskan pluralitas
berdasarkan dua prinsip dasar yang saling
bertegangan/berlawanan.
Sumber Pengetahuan Manusia
Tentang Tuhan
• Dari garis horisontal adalah lingkungan (keluarga,
sekolah, masyarakat) dan pengalaman hidup
(perjumpaan dengan orang-orang lain), dan sikap hati
(pengolahan pengalaman hidup).
• Namun, secara vertikal, sumber pengetahuan
manusia akan Tuhan adalah wahyu Tuhan, yakni
inisiatif dari Tuhan untuk menyapa manusia.
• Secara vertikal sumbernya adalah wahyu Tuhan
dan secara horisontal adalah pengalaman (hidup)
yang sudah diolah dan direfleksikan sehingga menjadi
pengalaman Iman.
• a.Wahyu
• Wahyu atau penyingkapan oleh Allah mengenai
segala sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.
Wahyu Allah pertama-tama disampaikan dengan kata-
kata dan peristiwa-peristiwa dalam sejarah dan
kemudian lewat dunia ciptaan.
• Sebagai pengantara wahyu Allah yang utama, para
nabi juga berbicara mengenai pewahyuan yang akan
datang.
• b. Akal budi
• Rasionalitas atau akal budi memaninkan peranan
penting dalam segala ranah pengetahuan dan
pemahaman manusia. Bila wahyu dimengerti sebagai
tindakan yang bermula dari Allah untuk menyapa
manusia, akal budi merupakan anugerah istimewa
dari Allah kepada manusia yang bersifat terberi.
• Melalui akal budinya, manusia mampu menganalisis
alasan-alasan mengapa ia percaya dan menyerahkan
dirinya kepada Allah sebagaimana Ia mewahyukan
diriNya kepada manusia.
• c. Pengalaman Iman
• Manusia juga dapat mengenal Allah lewat
pengalaman hidupnya. Itulah sebabnya mengapa
pengalaman hidup seringkali, dalam batas tertentu,
dipandang sebagai dasar penghayatan religiositas.
• Buah-buahnya adalah kearifan (prudensia) dan
kebahagiaan (eudaimonia).
• Pengalaman iman dapat tumbuh juga dari
pengalaman hidup yang mengatasi batas-
batas lingkup hidup manusia, misalnya pengalaman
takut atau tak berdaya menghadapi realita, yang
bermuara pada pengakuan akan Tuhan.
• Pengalaman iman juga dapat berupa pengalaman
akan Yang Suci. Pengalaman demikian, meminjam
ungkapan Rudolf Otto, membuat manusia
mengalami situasi yang lain sama sekali, misterius,
menggetarkan/menakutkan (tremendum) dan
sekaligus mempesona (fascinosum).
Tanggapan Terhadap Tuhan

• Walaupun setiap komunitas manusia diyakini


memiliki agamanya masing-masing dan menaruh
sikap percaya pada Tuhan, tetapi tanggapan manusia
terhadap konsep Ketuhanan dalam agama-agama
tidak selalu sama atau dapat berbeda.
• Uraian berikut akan membahas tiga tanggapan
manusia akan Tuhan, yakni deisme, ateisme, dan
agnostisisme.
• a.Deisme
• Secara etimologi istilah deisme berasal dari
bahasa Latin “deus”, yakni Allah. Deisme berkembang
pesat pada abad pencerahan. Semula deisme
mempunyai arti yang sama dengan teisme (Yun: “theos”
= Tuhan), dalam arti sebagai yang berlawanan
dengan politeisme.
• Sejak abad ke-18 deisme dipandang sebagai paham
yang meyakini bahwa pada awalnya Tuhan memang
menciptakan dunia beserta isinya. Namun, sesudah
penciptaan dunia, Tuhan tidak lagi
memperdulikannya atau membiarkannya berjalan
sendiri.
• Deisme mengakui Tuhan sebagai Pencipta tetapi
bukan sebagai penyelenggara dunia dan segala isinya.
Tuhan tidak lagi turut campur urusan dunia
beserta isinya setelah Ia menciptakannya. Jadi, dunia
dan manusia pasca penciptaan Tuhan terlepas dari
Tuhan.
• Bagi penganut deisme, Tuhan diibaratkan sebagai
tukang pembuat jam yang canggih. Ia membuat jam,
menyetel irama waktunya dan membiarkan jam itu
bekerja sesuai dengan irama yang telah
ditentukannya. Jadi, jam itu bekerja tanpa campur
tangan pembuatnya. Dalam konteks pemikiran ini,
Tuhan tidak lagi bekerja mengurus dunia dan segala
isinya. Ia menjadi penganggur: Deus otiosus atau useless
God.
• b. Atheisme
• Menyingsingnya modernitas melahirkan skeptisme
tentang Allah. Maka dalam filsafat abad ke-19 dan ke-
20 muncul ateisme. Beberapa tokoh terkemuka
ateisme, yang tidak dibahas pandangannya dalam
tulisan ini, adalah Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich
Nietzsche, Sigmund Freud, dan Jean-Paul Sartre
• Dipandang dari sifatnya, atheisme dapat dibedakan
secara negatif dan positif. Atheisme negatif adalah
paham yang menyangkal adanya Tuhan karena tidak
tahu, kurang tahu tentang adanya Allah, atau
mengakui ateis semata-mata karena ikut-ikutan
sehingga tanpa dasar yang jelas.
• Sementara atheisme positif adalah paham yang secara
sadar menyangkal adanya Allah. Alasanya karena
Tuhan tidak dapat dibuktikan keberadaannya.
• c. Agnostisisme
• Sebagai arus berpikir, ateisme-ateisme abad ke-20
(dan juga abad ke 19) tidak lagi dianggap alias
berakhir karena bersifat ideologis dan bukan ilmiah.
Namun kenyataan ini tidak lantas berarti bahwa
filsafat kembali ke ketuhanan. Sebaliknya, sebagian
filsafat abad ke-20 (kecuali filsafat dalam kalangan
agama seperti Neo-Thomisme) mengesampingkan
Tuhan dalam ranah analisis dan refleksinya.
• Agnostisisme sebetulnya bukanlah berhasrat
menyangkal Tuhan seperti ateisme. Agnostisisme
dapat dipandang sebagai cara pandang yang lebih
netral dan jujur perihal Tuhan, bahwa Tuhan itu
bukan wilayah yang dapat diketahui secara
filosofis alias nalar kritis.
HAKIKAT MANUSIA

Ontologi Manusia:
Manusia sebagai
Humanum Religiousum
• Manusia adalah mahluk multidimensional
• Homo rationale
• Homo ludic
• Homo faber Dimenisi ini
melekat di dalam
• Homo socius diri manusia
• Homo oikosnomos
• Homo religiosu
Homo Religouso atau Humanum
Religiosum
• Hakikat manusia sebagai Humanum Religiosum yang
akan diekplorasi dalam kuliah ini.
• Humanum (Human, Latin Homo): manusia
• Religiosum (Religion, religious, Religere): to read
again.
• Secara harafiah Humanum Religiosum adalah
manusia utuh.
• Kata religiosum di sini memiliki nuansa atau aroma
yang berkaitan erat dengan yang illahi. Dalam hal ini,
religious berkaitan erat dengan makna kedekatan
seseorang dengan yang illahi, dan beredasarkan relasi
intim tersebut, manusia menyadari:
• Bahwa kehidupan ini berasal dari yang illahi
• Bahwa nilai-nilai moral dan kebajikan berasal dari
percikan yang illahi.
• Sehingga Humanum Religiosum yang diartikan
sebagai manusia yang utuh berarti bahwa manusia
utuh atau manusia sejati adalah manusia yang
menyadari bahwa kehidupan berasal dari yang illahi
sehingga manusia juga dapat menimba kebijaksanaan
yang berasal dari yang illahi untuk hidup sebagai
manusia yang sungguh-sungguh manusia dalam relasi
dengan sesama manusia dan alam semesta.
Tuhan

Humanum Religiosum

Manusia Manusia Manusia

Alam
• Maka manusia sebagai Humanum Religiosum
manusia yang mempunyai relasi yang intim dengan
yang ilahi, relasi yang saling memanusiakan dengan
sesama manusia dan relasi yang saling
menyelamatkan dengan alam semesta, dengan itulah
manusia tersebut menjadi manusia yang utuh.
Refleksi filosofis tentang manusia

• Manusia adalah mahluk yang menafsirkan dirinya


sendiri, atau self-interpreting animal.
• Dalam arti ini kemampuan manusia menafsir dan
memaknai realitas juga menjadi hakekat terdalam
dari manusia itu sendiri.
• Kemampuan memaknai hidup dan merefleksikan
hidup menjadi salah satu dasar menjadi manusia utuh.
• Sokrates: hidup yang tidak dimaknai atau
direfleksikan tidak layak dihidupi
• Manusia adalah embodied animal
• Pengetahuan kita tentang dunia bersifat relatif dan
hanya dari satu perspektif, tepat karena pengetahuan
kita muncul dari tubuh yang berhadapan dengan
dunia. Misalnya anda melihat sebuah meja. Anda
tidak dapat melihat meja dari segala arah, melainkan
hanya dari satu arah. Namun jika anda menggerakan
tubuh dan mengubah posisi, maka anda bisa melihat
meja dari arah lain, walaupun itu juga hanya satu arah
saja.
• Di dalam perjalanan waktu, manusia berhasil
menemukan alat-alat yang membantunya mengetahui
realitas yang melampaui kemampuan tubuh untuk
mengetahuinya, seperti sel, molekul, dan sebagainya.
• Walaupun menggunakan peralatan teknologi yang
rumit, manusia selalu saja mengetahui melalui
tubuhnya. Peralatan teknologi yang canggih tidak
akan berarti, jika manusia tidak memiliki tubuh, atau
tubuhnya tidak berfungsi dengan baik.
• Manusia mengetahui dunia melalui tubuhnya.
• Manusia sebagai language animal.
• Manusia adalah mahluk berbahasa
• Fungsi Bahasa yang paling inti adalah berkomunikasi
(Con-unio) menyatukan, Bahasa itu menyatukan.
• Fungsi ekpresif Bahasa: untuk mengekspresikan diri,
maksud, emosi dan tujuan, serta mengungkapkan
pikiran.
• Fungsi informatif Bahasa: untuk menyampaikan
pengetahuan
• Manusia adalah mahluk sejarah
• Manusia sebagai mahluk sejarah artinya manusia
berada dalam ruang dan waktu.
• Manusia sebagai mahluk sejarah berarti manusia
mempunyai narasi hidup yang membentuk
karakternya.
• “Kita melihat diri kita sendiri sebagai suatu cerita
yang mengungkap dirinya dan di mana kita bergerak
semakin dekat atau menjauh dari nilai-nilai tentang
kebaikan dan tujuan yang berbeda”
• Kehidupan manusia adalah suatu narasi historis
tentang keberhasilan dan kegagalan, serta tentang
perubahan yang datang silih berganti. Manusia adalah
mahluk yang menafsirkan dirinya sendiri di dalam
horison waktu dan narasi hidupnya.
• Manusia sebagai moral subject
• Manusia utuh (Humaum Religiosum adalah manusia
selalu terarah pada yang baik (the good) itu sendiri.
• Perkara moral adalah perkara rasionalisasi perilaku
baik dan buruk.
• Kebenaran moral sampai saat ini masih menjadi
permasalahan yang rumit, karena pemahaman
tentang sesuatu yang baik adalah sesuatu yang
sifatnya relatif.
• Bisakah anda menemukan contoh moralitas yang
relatif ?
• Apakah anda bisa menemukan nilai-nilai moral yang
sifatnya universal?
• Sejatinya, manusia sebagai manusia utuh mempunyai
pegangan nilai moral absolut atau sifatnya universal.
• Misalnya, menghindarkan manusia dari penderitaan
yang tidak perlu
Sekularisme dan agama

• Sekularisme adalah paham yang memisahkan secara


ekstrim tentang urusan agama dan urusan duniawi.
• Paham sekuler memandang bahwa agama adalah
masalah pribadi dan melepaskan peranan Tuhan dan
agama di dalam dinamika historis manusia.
• Akibatnya, manusia modern cenderung banyak
meninggalkan agama dan tidak melihat peran agama
dalam membangun perdaban kehidupan modern
• Ditambah lagi eksistensi agama yang cenderung
menjadi sumber konflik dan memunculkan berbagai
bentuk perang, membuat manusia modern merasa
apatis terhadap agama yang alih-alih memberi
konstribusi justru menimbulkan api konflik.
• Situasi ini membuat manusia beralih dan
meninggalkan agama dan menganggap agama tidak
lagi relevan dalam membangun peradaban modern
dan menciptakan perdamaian.
• Akan tetapi sejatinya agama meski pernah membuat
kesalahan dan menjadi sumber kekerasan, eksistensi
agama tetap penting dalam membangun peradaban
manusia.
• Sebab agama juga berkonstribusi memberi pegangan
hidup dan penjaga moral hidup baik.
• Agama harus melakukan auto kritik terhadap diri
sendiri agar tidak jatuh pada aspek komoditi yang
lebih mengutamakan kuantitas dari pada kualita.
• Apabila agama sudah sampai pada refleksi reposisi
agama secara radikal maka agama akan ampu kembali
berkonstribusi dalam membantuk manusia utuh,
manusia religious.
• Oleh karena itu, sekularitas tetap membutuhkan yang
sacral. Apa yang sacral diwadahi oleh agama.
Sekularitas melulu masalah hal profan (duniawi). Hal
profane tetap membuthkan sesuatu yang sacral untuk
tetap membentik manusia yang utuh yang bertuhan
dan saling memanusiakan satu sama lain.
The Authenticity of The Self
• Penulis, Filsuf Canada bernama Charles Taylor
• Dia merumuskan secara ontologies, manusia sebagai:
• Mahluk bertubuh – embodied animal
• Mahluk bertujuan – purposefull animal
• Mahluk berbahasa – leaguage animal
• Mahluk sejarah – historical animal
• Mahluk yang menafsirkan – intepretating animal
• Mahluk moral – moral sujeck
• Secara subtantif struktur dasar manusia terdiri dari 3
unsur:
• 1. Psike – Jiwa
• 2. Psouma – Tubuh
• 3. Pneuma – Roh
• Ketiga struktur dasar manusia ini menentukan
SIAPAKAH DIRI, atau SIAPA SAYA.
• Psike – jiwa mencakup cara berpikir, cara hidup,
kognitf-intelegensi, karakter, sikap watak pola
perilaku manusia.
• Psouma – tubuh mencakup aspek fisik manusia,
organ tubuh yang membentuk penampakan manusia
sebagai manusia.
• Pneuma – mencakup aspek isi batiniah manusia,
mencakup keyakinan, semangat hidup, pemahaman
iman, relasi dengan yang ilahi dan pencarian makna
hidup.
• Sejatinya manusia diciptakan sempurna dengan ketiga
struktur dasar tersebut. Manusia lahir dengan
keadaan yang lengkap dengan ketiga struktur dasar
manusia.
• Lalu bagaimana dengan, orang yang terlahir cacat,
autism, mengalami kegilaan, mengalami depresi yang
dalam tentang diri?
• Dalam kacamata iman (lintas agama), manusia
diciptakan, manusia terlahir, dipahami dan dimaknai
sebagai anugerah, sifatnya keterberian, hadiah.
• SELF-DIRI adalah hadiah terindah dari Tuhan atas
hidup manusia.
• Tuhan memberikan hadiah bagi manusia berupa diri
beserta struktur yang membantuk manusia, Tubuh,
Jiwa dan Roh.
• Akan tetapi Tuhan menciptakan manusia dalam
kehendak bebas (Tuhan sebagai Tuhan) dan
memberikan kehendak bebas bagi manusia.
• Oleh karena itu, adalah kehendak bebas manusia atas
THE SELF-DIRI dengan struktur dasarnya yang
terberi oleh Tuhan.
• Artinya, hadiah tersebut harus
dipertanggungjawabkan oleh manusia dengan
merawat, membekali, mendidik dan menghidupi
DIRI
• Manusia adalah mahluk sejarah (Charles Taylor).
• Seperti konsep tabularasa (kertas kosong). Di dalam
kertas kosong tersebut, manusia akan menulis sejarah
hidupnya dan merumuskan siapa dirinya.
• Di dalam sejarah hidup manusia tersebut, manusia itu
merawat dan mendidik tubuh, jiwa dan Roh.
• Akan tetapi sejarah hidup manusia dapat berbentuk
macam-macam. Suka-duka, sakit-sehat, baik-buruk
dsb.
• Di dalam situasi hidup yang bermacam-macam ini,
manusia berusaha menjadi diri yang otentik (The
Authenticity of The Self).
• Manusia yang otentik adalah humanum religiosum,
manusia yang sehat raga, jiwa, dan rohnya. Manusia
otentik adalah manusia yang mempunyai integritas.
Integritas artinya manusia yang bertindak sebagai
manusia sebagai mahluk bermoral.
• Bagaimana menjadi diri yang otentik?
• Manusia otentik adalah manusia yang sampai pada
pemahaman akan :
• Penerimaan diri (Self-Acceptance) dan
• Memaafkan diri (Self-Forgiveness)
• Self-Acceptance – Penerimaan Diri
• Terbagi menjadi dua :
• Penerima diri (Self)
• Penerimaan terhadap orang lain dan lingkungan
(Others)
• Kasus: Ada banyak orang tidak dapat atau belum
dapat menerima diri apa adanya.
• Kegagalan atau kesulitan untuk menerima diri dapat
menimbulkan rasa minder, tidak percaya diri,
cenderung membanding-bandingkan diri, sulit
berelasi, dan sulit mengembangkan diri. Bahkan
kecenderungan orang membenci agama orang lain
atau orang beragama lain adalah akibat
ketidakmampuan seseorang menerima iman.
• Akibat tidak mampu menerima diri maka manusia
akan cenderung tidak mampu menerima keadaan
orang lain dan lingkungan sekitarnya.
• Kecenderungan sikap yang muncul adalah penolakan
atas orang lain, bahkan keluarga, teman dan sahabat,
bahkan kesulitan dalam membangun relasi.
• Kegagaglan atau ketidakmampuan menerima orang
lain akan cenderung membuat manusia
mengkambinghitamkan orang lain atas kesalahan
dalam situasi dirinya, irihati dan dengkin atas prestasi
orang lain. .
• Cara sederhana untuk sampai pada penerimaan diri
adalah: Bersyukur atas keterberian atau atas hadiah
yang diberikan Tuhan atas DIRI.
• Problem: Banyak orang sulit bersyukur
• Self- Forgiveness (memaafkan diri)
• Terbagi dua :
• Memaafkan diri (Self)
• Memaafkan orang lain (Others)
• Manusia mahluk bersejarah: isi sejarah hidup manusia
bervariasi. Situasi hidup manusia dapat menimbulkan
luka. Ketika dalam menghadapi situasi yang
mengecewakan, manusia dapat terjerat dalam LUKA
BATIN.
• Dalam situasi ini manusia harus sampai pada Self-
Forgiveness – Others Forgivenes
• Kasus: ada banyak manusia sulit memaafkan, diri,
orang lain, situasi dan lingkungan sekitar.
• Contoh: kasus panti jompo. Kasus banyaknya
orangtua bunuh diri di Jepang dan banyak yang
memilih masuk penjara.
• Kecenderungan manusia yang sulit memaafkan diri:
menolak keadaan, cenderung banyak mengeluh atas
keadaan, negative thingking, sulit membangun relasi,
sulit mengembangkan potensi dan bakat diri.
• Cara sederhana mengobati luka batin adalah : cinta
yang mengampuni.
• Menjadi pribadi yang otentik adalah pribadi yang at
home, betah, nyaman dan bahagia dengan diri
sendiri, dan itu dicapai melalui self-acceptance dan
self-forgiveness, dengan itu manusia dapat menjadi
manusia otentik, hidup bebas merdeka dalam
kebenaran dan kebahagiaan.
Self-Acceptance: Dalam Tanda
dan tahap menjelang kematian
• Elisabeth Kuebler-Ross (EKB: 1926-2004)
• Ia dianggap sebagai salah seorang perintis dari
Thanatology (ilmu tentang kematian).
• Minat EKB atas masalah “sengsara, sekarat &
maut” timbul saat sebagai mahasiswi kedokteran
Zurich ia bekerja sebagai relawati di Polandia guna
membantu para korban PD II, khususnya mereka
yang menderita cacat, sakit dan di ambang maut.
• “It was incomprehensible to me. Thousands of
children going into the gas chamber, and it is the
message that they leave behind – a butterfly.
That was really the begnning.”
• Kupu-kupu adalah simbol kolektif dari harapan akan
“life after life,” artinya kehidupan yang bisa bangkit
dari ancaman suatu krisis eksistensial. Dan krisis
hidup yang paling besar dan universal bagi manusia
adalah kematian.
• Pertanyaan reflektif yang dalam melihat tanda dan
tahap menjelang kematian:
• Apa yang dialami dan dirasakan orang pada saat ia
ada di ambang kematian? Kemelut dan konflik
batin apakah yang berkecamuk dalam jiwanya?
Kekuatan apakah yang mampu membuat mereka
bertahan dan bahkan berdamai dengan nasib yang
tragis itu?
• Pada saat EKB bekerja di antara “dying patients” di
RS Akademis Universitas Chicago, khususnya di
antara para penderita penyakit (kanker) terminal, ia
mengamati adanya gap emosional yang dalam di
antara orang sehat & sakit, pihak yang akan
meninggal dan yang akan ditinggalkan, entah mereka
itu para perawat atau pun para kerabat dan sahabat
pasien tersebut.
• Gap Emosional dalam diri :
• Pasien: merasa sepi, terlantar, tersingkir sendiri;
• Para kerabat dan sahabat merasa takut, sedih dan
bingung: takut akan bayangan kematiannya sendiri,
sedih kerna kondisi pasen yang parah dan nyeri,
bingung kerna tak tahu apa yang harus dikatakan
dan tak berdaya membantu apa pun.
• Buku On Death and Dying ditulis untuk menjembatani
gap emosional itu hingga ada saling pengertian dan
penerimaan yang lebih baik di antara orang yang akan
meninggal dan ditinggal. Buku itu ditulis dari perspektif
pasien: “We have asked the patient to be our teacher
so that we may learn more about the final stages of
life with all its anxieties, fears and hope.”
• Menurut EKB, proses kematian itu memperlihatkan
tanda-tanda psikosomatis & tahap- tahap
emosional (psikologis) tertentu.
Tanda-Tanda Psikosomatis
Kematian
• Kematian adalah proses psiko-somatis yang melibatkan
seluruh jiwa & raga pasien. Kerna itu terdapat tanda-
tanda psikis dan somatis yang menunjukkan bahwa
moment kematian itu telah makin mendekat.
• Sekitar dua minggu menjelang kematian, pasien bisa
memperlihatkan tanda- tanda psikis berupa
disorientasi mental: kekacauan dan kekeliruan dalam
daya pemikiran, perasaan dan pengamatannya.
• Ia bisa mengalami tiga gejala berikut: ilusi, halusinasi
dan delusi.
• Ketiga gejala itu timbul kerna kondisi mental pasien yang
makin menurun hingga ia kerap berada dalam kondisi
setengah sadar, seakan-akan setengah bermimpi.
• Ilusi adalah kesalahan dalam membaca/mentafsirkan
kesan atau stimulus indrawi eksternal.
• Misalnya: bunyi angin dipersepsi sebagai suara orang
menangis, harum parfum sebagai bau mayat, rasa gatal
sebagai adanya serangga di balik selimut, ada cacing kecil
dalam gelas susu etc.
• Dalam kehidupan normal, kita juga bisa mengalami
ilusi indrawi semacam itu, namun pada umumnya kita
bisa segera melakukan koreksi atasnya.
• Dalam diri pasien yang terminal, kemampuan untuk
mengkoreksi-diri itu telah menurun/menghilang
hingga ilusi itu bisa sungguh terasa sebagai real.
• Lain dari ilusi yang terjadi kerna stimulus indrawi
eksternal, halusinasi adalah produk internal
imaginasi kita sendiri.
• Contoh dari bayangan/gambaran (image) yang
halusioner adalah gambaran-gambaran yang muncul
saat kita bermimpi atau berada dalam pengaruh
narkoba.
• Mungkin kerna pengaruh obat penenang dan
kegalauan emosional yang dirasakannya, pasien sering
nampak mendapat halusinasi tertentu:
• Ia seakan-akan melihat atau berbicara dengan orang-
orang tertentu yang tidak ada di sekitarnya,
termasuk juga berbicara/melihat orang-orang yang
sudah meninggal dunia.
• Beberapa orang yang menganut faham spiritisme
(komunikasi dengan roh) mentafsirkan gejala ini sebagai
tersibaknya selubung antara alam fana dengan alam baka:
“Some may see this as the veil being lifted between this
life and the next life.”
• Persepsi halusioner ini bisa terungkap secara fisik juga:
pasien menjadi tegang dan gelisah (agitasi), ia menggerak-
gerakan anggota badannya secara kacau tak menentu, seakan-
akan seperti hendak mengusir, menghindar atau menjangkau
sesuatu; atau ia terengah-engah mencengkram ujung seprai
atau selimutnya erat-erat etc.
• Lain dari halusinasi yang merupakan produk
imaginasi, delusi adalah produk dari “wrong
thinking” (false belief).
• Pasien bisa mendadak mempunyai “fixed ideas”
bahwa ia sudah sembuh, lalu berusaha turun dari
ranjang dan menolak segala bantuan medis; atau ia
merasa ada konspirasi tersembunyi untuk
meracuninya, bukan mengobatinya;
• Atau ia akan sembuh bila pergi ke
tempat/orang/obat keramat tertentu padahal
kondisinya jelas tidak memungkinkan. Ringkasnya,
pikiran dan perbuatannya bisa nampak irasional. etc.
• Selain tanda-tanda psikis di atas terdapat juga tanda-
tanda somatis yang menunjukkan bahwa saat ajal
itu sudah semakin mendekat. Kita deretkan saja
beberapa di antaranya: kulit kebiruan dan pucat,
mulai dari ujung jari, kaki dan bibir lalu menjalar ke
bagian tubuh yang lain // Denyut nadi tidak teratur
dan lemah // Nafas berbunyi keras dan kerap ngorok
// Penglihatan dan pendengaran mulai kabur.
• “It is believed that hearing is the last sense to go,
so it is recommended that loved ones sit with
and talk kindly to the dying during this time.”//
Hilangnya kesadaran diri // “Eventually, breathing
will cease altogether and the heart stops. Death
has occurred.”
Lima Tahapan Menjelang
Kematian
• EKB mengamati bahwa kematian adalah suatu
proses. Dalam proses itu, pasien cenderung
mengalami lima tahap pergolakan emosional
tertentu, yang disingkat menjadi DABDA: Denial,
Anger, Bargaining, Depression, Acceptance.
• Perlu diingat bahwa kelima tahap itu bukanlah suatu
proses kronologis yang progresif kerna bisa terjadi
kasus “overlapping” (berada di dua tahap sekaligus)
atau “progresi dan regresi” (maju dan mundur)
atau stagnasi (jalan di tempat). Namun bila dirawat
dan dipersiapkan dengan baik, pasien bisa
mengarungi kelimanya hingga akhirnya
menghembuskan nafasnya dengan tenang
(acceptance).
• Tahap Pertama: Shock & Denial (Kaget &
Penyangkalan)
• Setiap orang tahu bahwa kematian adalah fakta yang
pasti akan menimpa dirinya di masa depan. Namun
moment datangnya kematian itu terasa misterius:
tiada kepastian kapan ia datang.
• Akibatnya, orang cenderung menganggap kematian
sebagai “impossible possiblity: possible for
others, impossible for me.” Itu sebabnya reaksi
spontan pertama orang atas informasi tentang
ancaman kematiannya adalah rasa kaget, tak percaya
dan penyangkalan: “No, not me, it can not be true!
I don’t believe it!”
• Pasien lalu berusaha untuk membuktikan kesalahan
informasi medis itu dengan mencari diagnosis
alternatif atau hiburan & dukungan dari orang lain
atas pendapatnya pribadi itu. Secara psikologis,
penolakan itu berfungsi sebagai benteng emosional
atau “defence mechanism” agar pasien tidak
langsung ambruk mentalnya oleh tekanan kabar
buruk atas nasibnya.
• Dengan kata lain, penolakan itu memberi waktu &
energi bagi pasien untuk terus berjuang
menyelamatkan hidupnya; sekurangnya, untuk tidak
kehilangan semangat hidupnya.
• Tahap Kedua: Anger (Marah)
• Bila usaha mencari diagnosis alternatif dan dukungan
itu gagal, - dan de facto kondisinya makin memburuk
- , pasien masuk dalam tahap emosional yang kedua,
yakni rasa marah, jengkel dan iri (resentment: buruk
rasa & sangka) atas nasib baik kesehatan orang lain.
• Pasien cenderung berkata (dalam hati): “Why me? It
is not fair! How can this happen to me? Who is
to blame?” Dalam tahap ini, “substitution
mechanism” (mencari kambing hitam/kesalahan
orang lain) bekerja kuat dalam jiwa pasien.
• Artinya, sebetulnya pasien itu marah dan berontak
terhadap nasib malangnya sendiri, namun ia lalu
mengalihkan dan melampiaskan emosi negatif itu
terhadap orang lain yang berada di sekitarnya: kepada
tim medis, keluarga, kenalan dan bahkan kepada
Tuhan. Ketika ditanya apakah pantas bila orang itu
marah-marah kepada Tuhan, meragukan keberadaan
& kebaikanNya, EKB menjawab:
• “I would help him to express his anger toward
God because God is certainly great enough to be
able to accept it.”
• Bila orang yang merawatnya bisa tetap bersikap
tenang, penuh perhatian, tidak terprovokasi untuk
beradu argumentasi saling menyalahkan dan balik
bersikap negatif, pasien bisa meninggalkan sikap
agresifnya ini dan beralih ke tahap selanjutnya
• Tahap Ketiga: Bargaining (Barter/Tawar-
Menawar)
• Dalam tahap ketiga ini pasien mulai bisa mengerti
dan menerima fakta bahwa ia akan segera mati,
namun ia masih berusaha untuk menunda waktu atau
memperpanjang usia hidupnya:
• ‘Psychologically, the individual is saying, “I
understand that I will die, but if I could just
have more time …”.’
• Permohonan perpanjangan waktu itu umumnya diajukan
kepada Tuhan yang dipercayai sebagai penguasa hidup &
mati (untuk orang sekuler: Higher Power/Fortuna).
• Permohonan semacam itu biasanya didorong oleh rasa
salah (guilt) atas pola hidup di masa lalu dan rasa sesal
(regret) kerna belum melaksanakan rencana tertentu:
belum merampungkan karya tulis atau gelar akademis
tertentu, belum ke tanah suci, belum sukses
menyekolahkan anak ke tingkat sarjana atau melihat cucu
pertama etc.
• Oleh karena itu, permohonan perpanjangan usia itu
biasanya dibarengi dengan janji/sumpah tertentu:
janji untuk memperbaiki diri (bertobat) dan untuk
berbuat lebih banyak amal kasih bagi sesama sebagai
ungkapan rasa syukur & trimakasih pada Yang
Mahakuasa.
• Ringkasnya, pasien berusaha melakukan tawar-
menawar dengan Tuhan. Pola pikirnya dipengaruhi
“infantile mechanism” (pikiran kekanak-kanakan),
yakni do ut des (doing A for getting B):
• Saya melakukan sesuatu yang terpujim agar bisa
mendapat hadiah/imbalan yang sesuai dengan
kehendak saya (NB: pola pikir dewasa lebih
menekankan unsur do ketimbang des-nya
• Tahap Keempat: Depression (Sedih & Murung)
• Bila usaha barter di atas gagal kerna kondisinya
ternyata tidak membaik, pasien bisa jatuh dalam
depressi: suasana sedih dan murung yang
mencengkam:
• “I am so sad, why bother with anything? I’m
going to die, why go on? “
• Pasien mulai bersikap pasif dan apatis: ia lebih
banyak diam, kurang kooperatif, menolak tamu atau
bantuan medis, kerap menangis meratapi nasibnya.
EKB membedakan dua jenis depressi, yakni reactive
dan preparatory:
• “The Reactive depression is directed to
the past, preparatory depression is concerned
with the future.”
• Depressi reaktif adalah rasa salah dan sedih atas
segala hal yang sudah/dan atau belum dilakukan di
masa lalu. Pasien seperti dibebani oleh pelbagai
persoalan yang belum selesai dari masa lalunya.
• Depressi preparatif adalah antisipasi pasien akan
saat ajalnya yang makin mendekat: ia makin sadar
bahwa ia harus meninggalkan segala barang dan
orang yang ia cintai.
• Rasa dan sikap apatis yang diperlihatkanpasien adalah
suatu “decathexis mechanism,” (melakukan
diskoneksi): “This mechanism allows the dying
person to disconnect oneself from things of love
and affection.” Ringkasnya, pasien mulai berduka
dan berkabung atas resiko perpisahan yang akan
segera dialaminya.
• Tahap Kelima: Acceptance (Penerimaan)
• Pada tahap ini, pasien mulai bisa berdamai dengan
fakta kematiannya:
• “Que sera, sera. Whatever will be, will be. I can’t
fight it, I may as well prepare for it.”
• Penerimaan ini bukanlah berarti menyambut
kematian sebagai kabar gembira melainkan sebagai
fakta yang tak terpisahkan dari hidup: pasien bisa
bersikap realistik sesuai dengan realita hidup yang
memang mengandung maut, tanpa disertai rasa
marah dan depressi lagi:
• “This is who I am as a finite being, this is my
whole life.”
• Ringkasnya, bila depressi preparatif di atas adalah
suatu proses perpisahan (letting go) dengan orang-
orang tercinta di sekitarnya, maka tahap
penerimaan adalah proses perpisahan dengan diri
sendiri (letting go of oneself).
• Orang yang beriman bisa melengkapi sikap
penerimaan kematian ini dengan sikap
pengharapan.
• Menurut Gabriel Marcel, pengharapan itu bukanlah
suatu sikap kognitif, artinya tidak disertai dengan
pengetahuan yang pasti tentang apa yang akan terjadi
(Hope does not claim to know the future).
Harapan adalah perasaan bahwa masa depan itu bisa
mengandung kemungkinan-baik yang tidak
terpikirkan oleh kita dan tidak kita tentukan sendiri
tapi oleh yang lain, khususnya oleh Tuhan (Hope is
the will when it is made to bear on what does not
depend on itself.”)
• EKB meneliti proses kematian dari para pasien yang
mengalami “natural death” akibat usia tua dan
penyakit terminal. Akibatnya, uraiannya mungkin
tidak seluruhnya berlaku bagi orang yang mengalami
“violent death,” yakni para korban yang mati
mendadak sebagai korban kejahatan, kecelakaan
atau serangan fatal seketika penyakit tertentu.
• Tambahan lagi, para pasien yang diamati EKB
itu mendapat perawatan medis dan bimbingan psiko-
spiritual saat menempuh perjalanan akhir hidupnya.
Mungkin tidak setiap orang bisa mendapoat fasilitas
dan keberuntungan semacam itu. Kendati demikian,
uraian EKB trentang tanda & tahap kematian itu
tetaplah berguna sebagai bahan refleksi pribadi kita
dan panduan bagi interaksi kita dengan orang-orang
yang berada di ambang maut, agar merejka bisa
meninggakl dengan tenang dan bermartabat.
• EKB juga menandaskan bahwa kelima tahap itu
berlaku dan berguna bukan saja bagi orang yang
dihadang oleh krisis kematian, melankan juga bagi
memahami setiap krisis kehidupan yang dialami
manusia pada umumnya.
• Krisis adalah “life- changing events,” saat dan
peristiwa yang membawa perubahan yang besar
dalam cara hidup kita, misalnya: cacat, lumpuh,
perceraian, patah hati, drop-out, PHK, bankrut,
menopause, pensiun dan pikun etc. Dinamika
bertahap yang serupa, dengan intensitas yang
berbeda, mungkin bisa terjadi saat kita mencoba
untuk bangkit dari aneka krisis semacam itu.
Pluralisme Agama

• Sejak masa agama-agama arkhaik (terdahulu) dan


dinamika perkembangannya sampai pada eksistensi
agama-agama yang dipandang modern dan universal
pada masa kini, nuansa religiusitas manusia dan
model-model pengungkapannya sudah dalam
keadaan pluralistik. Hal itu berarti bahwa, pluralitas
agama adalah fakta sejarah kehidupan dan peradaban
manusia religius.
• Sejatinya setiap agama menyadari pentingnya
kesadaran pluralisme dan juga mengajarkan untuk
saling menghormati dang menghargai setiap
perbedaan keyakinan.
• Sebagai contoh, Islam mengakui pluralitas agama
sebagai hukum Tuhan atau Sunatullah yang tak bisa
diubah, dihalanghalangi dan ditutup-tutupi. Hal
tersebut diungkapkan dalam Al-Qur’an sebagai
berikut (terjemahannya):
• Untuk tiap-tiap umat di antara kamu; Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-
Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan......... (Al-Qur’an 5:48)
• Kutipan lain: Dan bagi tiap-tiap umat ada
kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu
(dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu (Al-Qur’an
2:148).
• Contoh lain misalnya menurut pandangan agama
Katolik. Dalam Deklarasi Tentang Hubungan Gereja
dengan Agama-agama Bukan Kristiani (Nostra
Aetate), Konsili Vatikan II menegaskan pentingnya
menghargai pluralitas agama lewat pernyataannya
sebagai berikut:
• Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang
dalam agama-agama (lain) itu serba benar dan
suci. Gereja menaruh rasa hormat yang tinggi
terhadap cara hidup dan bertindak, peraturan-
peraturan dan ajaran-ajaran yang meskipun
dalam banyak hal berbeda dengan yang
dimilikinya sendiri, namun kerap kali toh
memancarkan sinar kebenaran yang menerangi
semua manusia ...
• Karenanya, Gereja mendorong putra-putrinya
untuk dengan kebijaksanaan dan penuh
cintakasih melakukan dialog serta kerjasama
dengan para penganut agama-agama lain.
Hendaknya umat Kristiani, sementara
memberikan kesaksian atas iman dan cara hidup
mereka sendiri juga mengakui, melindungi dan
mendukung kebenaran-kebenaran (nilai-nilai)
spiritual dan moral, kehidupan sosio-budaya
yang terdapat dalam agama-agama bukan
Kristiani (NA,2).
• Agama adalah wadah religiusitas, dalam koteks yang
plural dan berbeda-beda, maka perlu disadari bahwa
:To be religious you must going to interreligius
• Jadi pribadi religius adalah pribadi yang mampu
bergaul dengan sesama secara religius pula, artinya
sungguh menyadari kendati ada perbedaan agama,
semua manusia itu pada hakekatnya mempunyai jati
diri yang sama sebagai putra-putri Allah atau pribadi
yang dikasihi dan dilindungi Allah.
Makna Pluralisme Agama

• Terminologi Pluralisme agama merujuk pada


pengakuan atas keberadaan agama-agama lain
sebagai cara unik dan berbeda untuk menuju pada
Realitas Tunggal yang sama atau Tuhan.
• Perspektif demikian mengisyaratkan bahwa
pluralisme agama adalah paham yang merujuk
pada pengakuan akan Sunatullah (Hukum Tuhan).
• Oleh karena itu, fakta pluralitas agama harus
dihargai dan diterima, dan bukan dihindari apalagi
diperlawankan satu terhadap yang lain sebab situasi
plural adalah realitas yang dikehendaki Tuhan atas
alam semesta. Maka, menantang keberbedaan
berarti menentang Tuhan.
• Akan tetapi pemaknaan atas pluralisme agama tentu
tidak diterima begitu saja oleh semua pihak baik
dalam tataran konseptual teoretis, maupun dalam
tataran praksis hidup umat beragama sebab ia
bersentuhan dengan perkara teologis. Artinya, tidak
semua penganut agama sepakat mengakui bahwa ada
kebenaran lain di luar agamanya.
• Ajaran Kitab Suci masing-masing agama memiliki
keunikan dan pengaruh besar dalam mengarahkan
pemeluknya untuk mengimani hanya agama yang
paling benar, atau paling tidak hanya Kitab Suci yang
diimaninyalah yang merupakan jalan menuju
Kebenaran (Tuhan).
• Permasalahan dan tantangan pluralisme adalah semua
komunitas agama menekankan bahwa satu-satunya
jalan keselamatan adalah dari agama tertentu, dengan
demikian menegasi keselamatan dari agama lain.
• Selain karena bersentuhan dengan perkara teologis,
aneka macam pemahaman akan Tuhan juga memang
berpotensi menimbulkan diskursus yang panjang
seputar pluralisme agama.
• Berkaitan dengan itu, ada baiknya kita belajar secara
arif dari pernyataan Ibnu Arabi dalam konteks
pluralism agama.
• Menurut Ibnu Arabi, ada tiga cara memahami Tuhan.
Pertama, Tuhan yang mutlak dalam ‘kesendirian’
(Aku adalah Aku). Tuhan dalam tingkatan ini tak
terjangkau oleh siapa pun juga. Hanya Dia sendiri
yang tahu akan diri-Nya sendiri.
• Kedua, Tuhan yang sudah tersifati. Misalnya, ada sifat
al-rahman, al-rahim, dan lain-lainnya. Sifat-sifat
Tuhan membantu manusia dalam mengenal dan
mengimaniNya.
• Ketiga, Tuhan yang telah ‘bersemayam di dalam
akal pikiran manusia’. Sesungguhnya setiap manusia
dianugerahi semacam kemampuan kodrati untuk
berbicara tentang Tuhan. Akal budi manusia
menuntun dirinya untuk berbicara tentang dan
mengakui keberadaan Tuhan. Potensi kodrati akal
budi inilah yang melahirkan aneka ragam bentuk dan
pola penafsiran, perspektif dan pendekatan untuk
memahami Tuhan.
• Pada hakekatnya, tak seorang pun yang mampu
memahami Tuhan dalam ‘realitasNya’ yang konkret
dan hakiki secara utuh. Manusia hanya dapat
mendekati Tuhan, dan tidak akan mampu
menjangkau-Nya secara utuh.
• Ungkapan Al-Ghazali benar bahwa, “semakin aku
mencoba mendekat untuk memahami Tuhan,
semakin aku sadar kalau aku tidak mampu untuk
memahamiNya”. Oleh sebab itu, yang pantas kita
yakini bersama adalah bahwa, setiap manusia
sejatinya sedang menuju Tuhan.
• Dengan kata lain, tidak ada manusia yang dapat
mengklaim bahwa dirinya dapat menunjukkan jalan
ke kebenaran yang pasti dan mutlak untuk menuju
Tuhan.
• Bertolak dari uraian atas pluralisme agama di atas,
kita dapat memetik empat penegasan penting.
• Pertama, kenyataan bahwa dalam dunia dan
masyarakat terdapat beranekaragam agama.
• Kedua, kenyataan bahwa masing-masing orang dalam
salah satu tradisi keagamaan tertentu mempunyai
persepsi personal tentang agama.
• Ketiga, kenyataan bahwa terdapat aliran-aliran rohani
dan spiritualitas dalam agama-agama atau dalam
suatu agama.
• Keempat, pentingnya bersikap terbuka dan berani
mengakui dan menerima keberadaan pihak lain yang
memang berbeda-beda dan memiliki keunikan.
Tantangan Pluralisme Agama

• a.Indiferentisme
• Secara umum istilah indiferentisme dipahami sebagai
pendirian yang mengatakan bahwa “ada atau tidak
adanya agama tidak banyak arti dan manfaat bagi
manusia”. Agama tidak dipandang memberi
sumbangan bagi kehidupan manusia dan juga tidak
merugikan kehidupan manusia. Jadi, beragama dan
tidak beragama tidak ada perbedaannya.
• Dalam konteks pluralitas agama, sikap indiferentisme
muncul ke permukaan ketika penganut agama
tertentu tidak peduli pada kehadiran agama lain
(tidak menolak dan tidak menerima juga). Sikap
indiferentisme tampak dalam prinsip ada atau tidak
adanya “agama lain” sama sekali tidak memberikan
perbedaan bagi agama yang dihayatinya (agama lain
tidak merugikan dan tidak juga menguntungkan).
• b. Relativisme
• Relativisme adalah istilah yang menunjukkan
sikap yakin atas tidak adanya kebenaran atau nilai
mutlak. Secara etimologis, terminologi relativisme
berasal dari kata Latin relativismus, yang berarti
dibandingkan atau dalam perbandingan dengan, atau
ditempatkan bersama yang lain.
• Dalam perspektif itu, relativisme dalam agama dapat
dipahami sebagai pemikiran tentang kebenaran dan
nilai itu ditentukan oleh zaman, kebudayaan,
masyarakat dan pribadi tertentu. Dalam konteks
pluralisme agama, sikap relativisme dipandangn
negatif karena menunjukkan inkonsistensi iman.
c. Radikalisme dan Fanatisme Sempit
• Secara etimologi fanatisme berakar dalam kata Latin,
fanum, yang berarti tempat suci. Maka secara harafiah,
orang fanatik adalah orang yang rajin mengunjungi
tempat ibadat dari agama yang dianutnya
• Namun, pemaknaan kata fanatisme itu dewasa ini
berkonotasi negatif. Ia ditafsirkan sebagai sumber
dari sikap sektarian yang hendak memisahkan diri
dari yang lain dan eksklusif mau sibuk dan perhatian
hanya pada diri sendiri. Fanatisme model itu adalah
fanatisme sempit yang bisa jadi bermula dari
radikalisme dalam kehidupan beragama.
• Radikalisme agama yang melahirkan fanatisme
sempit kerapkali bermuara pada kekerasan atas nama
agama. Kecuali tiu, wajah fanatisme juga tergurat
dalam kecenderungan untuk menutup diri pada pihak
lain sembari memperalat agama untuk mendapatkan
identitas diri dan sosial.
• Sikap fanatisme model itulah yang mendorong
penganut agama tertentu menganggap agamanya
paling benar sembari menolak adanya kebenaran
pada agama lain.
• Maka ia pun melawan segala hal yang mengancam
eksistensi kebenaran agamanya dengan berbagai cara,
termasuk dengan kekerasan atas nama agama.
• Ketika penganut agama diterpa angin fanatisme
destruktif, maka agama bisa saja menjadi ajang
kekerasan atau kejahatan, peperangan, tirani dan
penindasan, sebab kehadiran agama lain dipandang
sebagai ancaman dan menganggu rasa aman.
Sikap dalam pergaulan antar
umat beragama
• Ada beberapa sikap yang muncul dalam kenyataan
realitas agama yang plural:
• a. Apologetis (Apologos: Pembelaan): Sikap yang
membela agama yang dianut. Dapat terjadi karena
serangan atau kritikan dari pihak lain.
• b. polemis (Polemos: Perang): Sikap menyerang
penganut agama lain (dapat secara psikis, fisik, dan
sosial) untuk melumpuhkan penganut agama lain.
• c. Persaingan (religious competition): umumnya sikap ini
muncul dalam rangkan mendapatkan posisi tertentu
di daerah tertentu.
• d. Toleransi (tolerare: membiarkan): memberikan
keleluasaan pada penganut agama lain untuk
memeluk agamanya masing-masing. Tolenransi
terbagi dua:
• Pasif/semu: membiarkan dan memberikan
keleluasaan bagi penganut agama lain sejauh tidak
mengganggu
• Aktif: mengakui eksistensi penganut agama lain dan
memberikan ruang untuk aktualisasi diri.
• e. dialog (dialogos: perbincangan): perjumpaan antara
penganut agama yang berbeda untuk saling bertukar
pendapat, berbagi pengalaman untuk menemukan
pemahaman dan pengertian bersama dalam
menciptakan kerukunan dalam konteks masyarakat
yang plural.
• Pluralisme agama sebagai sebuah paham mengenai
hakikat agama dan keberadaanya di dunia ini
sejatinya tidak menimbulkan persoalan sebab ia
merupakan hasil dari kegiatan membaca teks-teks
suci itu sendiri untuk mengkontekstualisasikannya.
• Sebagai demikian, pluralisme agama sebetulnya
menjadi tanda bagi kekayaan potensi suci yang
diidap oleh setiap agama. Potensi suci agama-agama
justru terkuak dalam daya tawar relevansinya untuk
menyikapi dan mengatasi pelbagai persoalan
kehidupan manusia dalam kondisi dan tuntutan
zaman yang terus berubah ini.
• Perspektif atas pluralisme agama diatas setidaknya
menyatakan bahwa ia adalah keniscayaan sejarah
eksistensi agama. Ia bukanlah upaya penyeragaman
pola pikir tentang Tuhan, melainkan tawaran bagi
keleluasaan kerangka pikiran untuk memaknai setiap
ayat-ayat suci tentang Tuhan. Sebagai demikian,
pluralisme agama adalah bagian dari peradaban
manusia untuk memaknai esensi Tuhan melalui
agama sehingga tidak perlu disanggah dengan
metode berpikir apa pun.

Anda mungkin juga menyukai