Anda di halaman 1dari 54

AGAMA

Agama merupakan gejala yang boleh dikatakan


universal dalam hidup manusia.
TEMPAT DAN ASAL AGAMA
• Agama asli atau agama pribumi : agama yang lahir dan
berkembang dalam suatu kelompok, suku, atau
masyarakat tertentu.
Agama asli ini tidak terpisah dari adat-kebiasaan, budaya,
dan cara hidup masyarakat yang menganutnya  agama
keluarga, suku, bangsa

• Agama universal: agama yang tumbuh dan berkembang di


luar kelompok, suku, atau masyarakat yang menganutnya.
Cara masuk: lewat penyebaran oleh para penyebar atau
pun pemaksaan oleh para penjajah.
INTI AGAMA
• Semua agama pada dasarnya mempercayai, meyakini, dan berpegang
pada “Hal yang sama”, yaitu “Realita”, “Zat”, atau “Sesuatu” yang paling
tinggi.
• Agama-agama universal: Tuhan, Alloh, God, Deus, Theos
• Realitas yang tertinggi itu dipahami sebagai “Yang Suci”
 Asal, penyelenggara, dan tujuan hidup
 Tanpa diadakan, mandiri, tanpa bergantung pada pengada yang
lain
 Dia mengatasi dan ada di atas, transenden (transcendens), tetapi
sekaligus dia dekat, bahkan berada, imanen (immanens) pada
segala makhluk.
 Dia menyelenggarakan dan mendukung keberadaan segala sesuatu
STRUKTUR AGAMA
1. Segi eksistensial (menyangkut keseluruhan hidup):
terjelma dalam iman dan kepercayaan. Oleh iman, Tuhan
diterima dan diakui sebagai satu-satunya Realita yang
disembah. Iman itu berdampak pada : cipta, rasa, karsa,
karya, dan hidup manusia
2. Segi intelektual (menyangkut pemahaman): menyentuh
pengertian mengenai Tuhan. Di sini, hakikat dan sifat-
sifat Tuhan dimengerti dan dirumuskan dalam
pernyataan-pernyataan, ungkapan-ungkapan, dan kata-
kata yang dapat dipahami.
3. Segi institusional (menyangkut kelembagaan): berurusan
dengan kelembagaan dan pengorganisasian agama.
Fungsi lembaga: menjaga iman-kepercayaan dan
pemahaman akan Tuhan. Mengembangkan iman dalam
hidup konkret. Dan meneruskan dari satu angkatan ke
angkatan yang lain.
4. Segi etikal (menyangkut perwujudan iman):
mengungkapkan iman kepada Tuhan dan
mewujudnyatakan dalam perilaku sehari-hari
MENGAPA MANUSIA
BERAGAMA?
1. Mendapat keamanan
2. Mencari perlindungan
3. Menemukan penjelasan
4. Memperoleh pembenaran Praktik kehidupan
5. Meneguhkan Tata Nilai
6. Memuaskan Kerinduan
Mendapat Keamanan
• Manusia harus berhadapan dengan berbagai peristiwa
alam (bencana), peristiwa sosial (pencurian, perkosaan,
pembunuhan, dll), peristiwa kesusahan (sakit, kematian).
• Berbagai pencegahan dan pengendalian sudah
diupayakan manusia untuk menghadapi peristiwa-
peristiwa tersebut. Tetapi, tetap saja peristiwa yang
menyebabkan derita ada dalam kehidupan manusia.
Bahkan, kadang berbagai alat pencegahan dan
pengendalian tidak mampu untuk mengatasinya.
• Dari situasi ini, manusia berpaling kepada agama.
Manusia datang kepada Tuhan, Sang Pemberi dan
Pemelihara kehidupan.
Mencari Perlindungan
• Berhadapan dengan bencana alam, derita penyakit, aneka
kejahatan, hidup manusia penuh ketidakpastian.
• Manusia tidak menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh
dapat diandalkan. Alat atau perlindungan orang pun tidak
selamanya bisa menjamin perlindungan manusia sehingga
terbebas dari aneka peristiwa kehidupan yang tidak
diharapkan.
• Dalam keadaan ini, manusia lari kepada agama. Karena,
manusia datang kepada Tuhan, Sang Penyelenggara
Kehidupan yang dapat diandalkan. Manusia menyerahkan
hidupnya kepada Tuhan, sumber kepastian dan pegangan.
Menemukan Penjelasan
• Manusia lahir dan hadir di dunia tanpa dikehendaki dari dirinya
sendiri. Padahal, dalam kehidupan, manusia dipenuhi berbagai
pertanyaan fundamental yang menuntut penjelasan.
• Dari mana asalnya? Untuk apa hidup? Mengapa manusia harus mati?
Bukannya manusia tetap harus berkarya, bukannya sakit? Mengapa
ada penderitaan dan kesusahan dalam hidup ini? dll
• Baik ilmu, ahli, orang berpengalaman berusaha memberi jawaban,
tetapi toh tidak memberi jawaban yang memuaskan. Agama bergerak
di bidang misteri kehidupan, berhubungan dengan pertanyaan-
pertanyaan fundamental.
• Tuhan diakui dan diyakini sebagai asal dan tujuan kehidupan. Maka,
manusia mengacu kepada agama untuk mencari kejelasan atas makna
hidup dan alam raya.
Memperoleh Pembenaran Praktik Kehidupan
• Dalam masyarakat, terdapat praktik-praktik hidup yang baik dan
berguna. Misal: rajin, tolong-menolong, sopan-santun, dll
• Praktik-praktik hidup baik tersebut memiliki daya Tarik dan dorong agar
orang melaksanakannya. Tetapi, agar lebih tergerak lagi, hidup ini
ditambahkan motivasi agama.
Contoh slogan: Ora et Labora, sopan santun bagian dari ibadah, dll
• Semua motivasi keagamaan amat bermanfaat dalam melaksanakan,
melestarikan, dan mengembangkan praktik-praktik kehidupan yang baik.
• Catatan: ada bahaya agama dijadikan tutup/kedok bagi praktik-praktik
yang sebetulnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Contoh: feodalisme (menguntungkan kelompok atas)…semua sudah
ditentukan dari atas…raja titisan dewa, dll.
Meneguhkan Tata Nilai
• Dalam masyarakat terdapat berbagai nilai kehidupan etikal dan moral.
• Sebetulnya segala nilai dari dirinya sendiri sudah memiliki kekuasaan
untuk menarik dan mendorong orang untuk mempertahankan,
memiliki, menghayati dan memperkembangkan. Namun, agar lebih
terdorong ‘memeluk’ nilai itu, manusia membutuhkan motivasi lain
termasuk motivasi keagamaan.
Contoh: mencuri…mencuri dijadikan larangan agama
jujur…jujur dimasukkan dalam lingkup Tuhan (pahala, anugerah)
• Berkat agama, nilai jahat dan nilai baik dihindari dan dipeluk, bukan
hanya karena jahat atau baik, tetapi juga karena dilarang dan
diperintah agama. Berkat agama, manusia mendapat kekuatan,
dorongan, dan pemantapan dalam pelaksanaan nilai kehidupan.
Memuaskan Kerinduan
• Manusia tidak pernah puas. Manusia selalu mau memenuhi kebutuhan
jasmani, inderawi, duniawi, dan mental. Manusia selalu ingin lebih.
• Manusia tidak puas dan tidak merasa cukup dengan nilai manusia,
seperti kebaikan, kejujuran, keadilan, cinta kasih. Dia ingin juga ingin
memuaskan nilai adikodrati atau nilai rohani yang dapat menjadi
hasratnya yang paling dalam. Manusia belum merasa tenang, sebelum
menemukan harta rohani, yaitu Tuhan sendiri.
• Banyak usaha ditempuh untuk memuaskan kerinduannya akan Tuhan
dalam agama. Dalam agama, Tuhan disembah, dimuliakan, dan
diagungkan.
• Meski banyak hambatan, manusia akan terus mencari Tuhan, dan
agama dilihat sebagai jalan yang penting untuk menjawab kerinduan
itu.
PAHAM TENTANG TUHAN
PAHAM MONOTEISME
• Monos (Yun.): tunggal, sendirian, satu-satunya, tak ada yang lain; Theos
(Yun.): Tuhan.
• Monoteisme: Tuhan itu hanya satu, Tak ada Tuhan selain Allah. Tuhan itu
transenden, mengatasi segala yang ada. Namun bersamaan itu pula,
Tuhan itu imanen, ada dalam segala. Keberadaan-Nya memberi dampak
bagi keberadaan segala yang ada.
• Segala yang ada mendapat berkat-Nya, segala yang ada
diberikelangsungan hidup dari-Nya, dan segala yang ada menuju ke tujuan
akhirnya, yaitu bersatu dengan-Nya.
PAHAM POLITEISME
• Polys (Yun.): banyak atau beberapa. Theos (Yun.): Tuhan.
• Politeisme: paham yang mengimani dan memuja banyak Tuhan,
banyak dewa.
• Paham dulu: politesme adalah adalah awal keyakinan agama,
yang kemudian berkembang dan pada akhirnya berarkhir serta
memuncak pada monoteisme (bdk. Teori evolusi agama)
• Paham mutakhir (kelompok historiko-fenomenologis):
monoteisme merupakan paham awal dan asli yang kemudian
berkembang menjadi paham politeistis. Faktor utama yang
membawa perubahan pandangan tentang Tuhan dari
monoteisme ke politeisme adalah perubahan cara hidup dan
budaya manusia.
• Ketika cara hidup dan budaya berkembang dari bentuk
pengembara (nomadis) menjadi penggembala (pastoral),
peranan Tuhan sendiri berubah.
• Budaya nomadis: peranan Tuhan terasa sentral. Budaya
pastoral: peranan Tuhan terasa merosot. Peranan Tuhan
‘kalah’ dari peranan kekuatan-kekuatan langit yang dapat
mengubah musim, iklim dan cuaca, dan medatangkan
hujan, halilintar, petir, angina, dan taufan. Kekuatan langit
itulah yang disembah, dipuja, dan diberi nama dewa-dewi.
• Jika, dewa-dewi, tidak mampu mengatasi penderitaan,
wabah, dan kesulitan, manusia lalu berpaling lagi kepada
Tuhan, Sang Penguasa kehidupan (bdk. budaya gembala,
agraris yang menyembah kekuatan-kekuatan yang
berhubungan dengan tanah dan kesuburan).
HUBUNGAN TUHAN
DENGAN CIPTAAN
ada yang menganut: monism, dan ada yang mengikuti dualisme

Monisme
• Monisme (Yun.): monos: tunggal, sendirian, satu-satunya.
• Menurut Monisme: hanya ada satu kenyataan. Kenyataan itu bersifat
roh (segala-galanya adalah roh) dan bersifat benda (segala-galanya
adalah benda). Monisme roh melahirkan paham panteisme.
• Panteisme (Yun.): Panta: segala dan Theos yang berarti Allah, Tuhan.
Menurut panteisme, segala yang ada hanyalah cara (modus) Tuhan
berada. Tuhan menjadi prinsip pemersatu dari segala yang ada. Paham
panteisme ini meniadakan keunggulan atau transendensi Tuhan. Pada
gilirannya, pandangan ini dapat menyamakan Tuhan, Realitas
Tertinggi, dengan sehala yang ada, segala ciptaan, dunia.
• Dari pandangan Panteisme, muncullah paham panteisme
benda (monisme benda). Salah satu bentuk panteisme
benda adalah pankosmisme.
• Pankosmisme (Yun.) Pan: segala, semua, seluruhnya;
Kosmos: alam yang teratur.
Pankosmisme: alam raya dengan segala isinya adalah
satu-satunya realitas. Tak ada realitas lain di luarnya.
Akibatnya, Tuhan tidak mendapat tempatnya. Panteisme
benda dalam bentuk pankosmisme berakhir pada
penyangkalan Tuhan (ateisme).
Dualisme
• Duo (Latin), dua.
• Faham dualistis: kenyataan dikendalikan oleh dua prinsip,
kekuatan atau kekuasaan. Dalam paham ini, Tuhan
(realitas tertinggi) dan dunia (alam semesta) masing-
masing bergerak menurut azasnya sendiri.
Dua kekuatan ini berjalan menurut kekuatan dan
iramanya sendiri.
PENGETAHUAN MANUSIA TENTANG
TUHAN
Wahyu Tuhan
• Wahyu Tuhan termuat dalam Kitab Suci. Di antara para penganut, ada yang mendapat
pengetahuan tentang tuhan berdasarkan wahyu, ada yang mengikuti paham fideistis
(fideisme), dan ada yang mengikuti paham tradisionalistis (tradisionalisme)
• Fideisme (Fides. Latin: iman, kepercayaan)
pada hakikatnya manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui apa pun
tentang Tuhan dengan kekuatan sendiri. Untuk dapat mengetahui, Tuhan harus turun
tangan. Tuhan mewahyukan diri kepada manusia. Maka, satu-satunya sumber
pengetahuan tentang Tuhan adalah Wahyu-Nya. Wahyu itu termuat dalam Kitab Suci.
Pengetahuan akan Tuhan hanya dapat dimiliki bila orang percaya kepada isi Kitab Suci.
• Tradisionalisme (trader: menyerahkan, menyampaikan, meneruskan, memberikan)
manusia hanya mungkin mengetahui sesuatu tentang Tuhan bila Tuhan berkenan
mewahyukan diri. Wahyu yang dipercayai adalah wahyu yang diberikan Tuhan kepada
manusia pertama, yang kemudian diturunkan dan disampaikan kepada keturunan
mereka, begitu seterusnya. Kritik terhadap paham ini: karena wahyu yang disampaikan
secara turun-temurun, apalagi lisan, maka sulit mempertahankan kemurniannya.
• Pengalaman
Manusia juga mengenal Tuhan lewat pengalaman hidup. Pengalaman
religius adalah pengalaman yang membawa manusia kepada
kepercayaan akan adanya Tuhan.
Pengalaman religius terjadi karena manusia berhadapan dengan
peristiwa-peristiwa alam: apa atau siapa yang menciptakan, siapa yang
menyelenggarakan, dll.
Pengalaman religius juga bisa terjadi pada saat manusia mengalami
pengalaman hidup yang penuh misteri: sepi, bahagia, cinta, dll.
Pengalaman religious juga bisa muncul pada wakty manusia mengalami
“Yang Kudus”, sesuatu yang menakutkan (tremendum) tetapi sekaligus
menarik (fascinosum). Berhadapan dengan situasi ini, manusia lalu
merasa kecil, lemah, dan mau bersatu.
GAMBARAN TENTANG ALLAH
1. Gambaran Tuhan ideal: gambaran tentang Tuhan yang
disimpulkan dari bacaan KS yang dilakukan secara
lengkap dan benar.
2. Gambaran Tuhan real: gambaran tentang Tuhan
sebagaimana ada dalam benak orang dalam hubungan
pribadi dengan Tuhan.
3. Gambaran Than menurut para filsof
Karena manusia menggambarkan Tuhan, maka tidak jarang terjadi
bahwa Tuhan digambarkan secara manusiawi. Gejala ini disebut
Antropomorfisme. (anthropos: manusia; morphe: bentuk).
Antropomorfisme adalah cara penggambaran manusia tentang Tuhan
berdasarkan pengalamannya sebagai manusia. Allah digambarkan
dengan unsur-unsur cara berpikir dan berperilaku manusia.
Misal: Tuhan gembira, marah, menghukum, memberi ganjaran.

Sisi positif antropomorfisme: menjelaskan dan mengkonkretkan


pemahaman dan pengertian tentang Tuhan yang mungkin sulit
diterangkan lewat kata-kata atau rumusan logis.
Sisi negatif (membahayakan): Tuhan seperti manusia dalam cara
berpikir, merasa, dan berperilaku. Misal: Tuhan marah, menghukum,
dll. Maka, penganut agama dapat berbuat kejahatan dengan
keyakinan untuk menjalankan perintah Tuhan dan mewakili-Nya
dalam bertindak terhadap manusia, tanpa pertimbangan lebih luas.
Tanggapan Manusia Terhadap
Tuhan
1. Deisme
(Lat: Deus berarti Allah, Tuhan).
Pahamnya: Tuhan memang menciptakan dunia seisinya.
Tetapi sesudah itu, Tuhan tidak peduli akan jalan dunia
dan kehidupan manusia. Tuhan memang pencipta, tetapi
bukan Penyelenggara. Tuhan seperti tukang jam yang
membuat jam, menyetel jalannya, dan membiarkan jam
itu hidup menurut kecepatan dan irama yang sudah
ditentukan. Akibatnya, Tuhan menjadi Tuhan yang
menganggur (Deus otiosus, useless God).
2. Ateisme
(Yun: a berarti ‘tanpa’, ‘berlawanan dengan’, ‘bukan’; Theos berarti ‘Allah,
Tuhan’)
Ateisme adalah paham yang mengingkari adanya Tuhan. Artinya paham yang
menyangkal adanya Tuhan satu-satunya Pencipta, Penyangga, dan
Penyelenggara dunia dan hidup manusia.
Ateisme negatif: paham yang menyangkal adanya Tuhan karena tidak tahu,
kurang tahu tentang adanya Allah, atau tahu, tetapi pengetahuannya cacat/salah
Ateisme positif: paham yang benar-benar dengan sadar menyangkal adanya
Tuhan. Alasannya karena adanya Tuhan tak dapat dibuktikan.
Ateisme teoritis: Tuhan tidak ada berdasarkan teori-teori tertentu. Misalnya,
karena teori monisme kosmis yang berpendapat bahwa dunia merupakan satu-
satunya kenyataan.
Ateisme praktis: paham yang secara teoritis tidak menyangkal adanya Tuhan,
tetapi secara praktis tidak mengakui dan menyembah-Nya. Ia tetap mengakui
Tuhan, tetapi hidup seolah-olah Tuhan tidak ada.
Teis praktis: orang yang kelihatannya tak ber-Tuhan dan tak memuja-Nya, tetapi
hidupnya nyata-nyata merupakan pengakuan terhadap Tuhan. Karena hidupnya
baik dan mencerminkan kebaikan Tuhan.
AGAMA DAN KITAB SUCI
• Kitab Suci disebut suci karena memuat wahyu Tuhan.
Wahyu adalah ajaran, petunjuk, perintah, yang datang
dari Allah dan disampaikan lewat nabi atau rasul-Nya
serta dimaksudkan untuk orang banyak atau segala
bangsa.
• Kitab Suci memiliki kewibawaan sebagai pegangan hidup,
sumber ajaran etis, moral, dan keagamaan, dan kriteria
menilai hidup beriman dan beragama.
SIKAP TERHADAP KITAB SUCI
• Sikap Legalistik
Pertama-tama, sikap orang legalistik adalah memandang kitab
suci sebagai hukum. Hidup beragama sebatas ‘melaksanakan
hukum agama.’ Dalam menjalan agama, kelompok ini menjadi
minimalis. Mereka melakukan atau tidak melakukan kegiatan
agama, sejauh diperintahkan atau dilarang oleh hukum agama.
• Sikap Literalistis
dalam menghadapi KS, sikap literalistis hanya
memperhatikan huruf-huruf yang tertulis dan
mengartikan isinya berdasarkan arti kata dan kalimat
yang tertulis.
Kaum literalis tidak memperhatikan bentuk-bentuk
sastra, konteks bagian-bagian dalam keseluruhan,
struktur teks, situasi historis, dan semangat zamar
waktu teks ditulis. Hanya penafsiran huruf per huruf
sajalah merupakan penafsiran yang paling benar.
• Demitologistis
demitologi: membersihkan Kitab Suci dari unsur-unsur
cerita atau dongeng, untuk menemukan pesan aslinya.
Kritik terhadap kelompok ini: hasil penafsiran mereka
menggantikan KS dari bentuk aslinya. Isi Kitab Suci
dipermiskin, dipersempit, dan dibatasi.
Jasa dari kaum demitologis: menyajikan metode untuk
menggali isi, maksud, dan pesan Kitab Suci. Kaum ini
berseberangan dengan kaum literalis.
• Sikap egoistis
kaum egoistis mengembangkan pemikiran, gagasan, ide
terlepas dari iman kepada Tuhan dan Kitab Suci.
Kaum egois memanfaatkan KS sebagai dukungan untuk
pemikiran, gagasan, dan ide mereka sendiri. Dalam
mengembangkan pemikiran dan gagasan, kaum egois
berjalan menurut logika, analisa, dan kesimpulan sendiri.
Agama dan Iman
• Iman berarti: mempercayakan diri pada Tuhan sebagai
Realitas Tertinggi di luar diri kita. Kepada-Nya hidup kita
bergantung.
• Unsur-Unsur Agama dan Iman: Iman adalah anugerah,
Iman adalah keputusan, Iman adalah Keterlibatan, Iman
Tak Pernah selesai, Inti Hidup Beriman
Iman adalah Anugerah
• Dengan kekuatan sendiri, tak mungkin manusia mengenal
dan berhubungan dengan Tuhan. Maka, iman adalah
anugerah dari Tuhan untuk mengenal dan berhubungan
dengan-Nya. Atau dengan kata lain, iman terjadi karena
inisiatif Allah.
• Mengenal apa? Untuk mengenal Sabda, Kehendak,
Perintah, dan Diri-Nya sendiri
Iman adalah Keputusan
• Iman harus memilih. Di tengah-tengah hidup yang
diwarnai dengan berbagai tawaran akan ‘andalan hidup’,
manusia harus mengambil sikap: apakah dia akan
mengandalkan Tuhan sebagai dasar dan tujuan hidupnya
atau tidak.
• Iman bukan hal yang otomatis, juga bukan secara
kebetulan terjadi. Dalam iman, manusia memahami Tuhan
sebagai yang paling dapat diandalkan dan dapat
diharapkan.
Iman adalah Keterlibatan
• Iman embawa akibat pada hidup orang yang beriman.
Tidak cukup bila dengan beriman, manusia sekedar
terhenti pada memahami Tuhan dan mengerti kehendak-
Nya.
• Iman mengandung unsur keterlibatan, artinya: Iman
membuat manusia bersedia untul melakukan apa saja
yang harus dilakukan dalam kehidupan ini. Iman tidak
hanya menyangkut akal budi (bisa dimengerti), tetapi juga
menyangkut cipta, rasa, karsa, dan karya seturut
kehendak-Nya.
Iman Tak Pernah Selesai
• Hidup terus berjalan; zaman terus berkembang. Maka
iman pun harus ikut berkembang juga. Dengan kata lain,
iman harus relevan untuk zamannya.
• Orang beriman harus terus-menerus berusaha
menemukan kehendak dan perintah Tuhan dalam situasi
zamannya dengan segala tantangannya. Ia berusaha
mencermati zamannya dalam segala aspek dan mencari
jawab: apa kehendak Tuhan bagi hidup manusia.
Inti Hidup Beriman
• Orang beriman bukan saja hanya orang yang rajin berdoa dan tertib
mentaati aturan doa dan ibadat. Orang beriman bukan hanya orang
berkelakuan etikal menurut norma yang berlaku. Orang beriman
bukan hanya ditandai oleh perilaku hidup etis dan moral yang baik.
• Ini semua memang baik, tetapi inti beriman adalah berkata “ya”
secara total kepada Tuhan. Dia mengakui dan menerima Tuhan
sebagai satu-satunya penyelamat.
• Dari sikap percaya ini, lahirlah hidup etis dan moral yang baik
sesuai dengan kehendak-Nya.
Pemujaan Berhala
• Inti Pemujaan Berhala adalah mengakui dan menerima
segala sesuatu yang bukan Tuhan sebagai Tuhan.
• Pada zaman dulu: berhala adalah benda (batu, pohon,
tempat) atau manusia ajaib (dukun, tukang sihir, raja).
• Pada zaman modern: berhala muncul dalam bentuk ilmu
dan teknologi, seks, dan faham konsumerisme.
Pada zaman modern,
muncul bentuk berhala baru
 Ilmu dan Tekhnologi
Seks
Konsumerisme
Ilmu dan Tekhnologi
• Iptek telah berhasil memberi banyak kelancaran,
keenakan, kemudahan, dan kelengkapan hidup manusia.
• Orang tergila-gila pada ilmu dan teknologi dan
menjadikannya dewa. Akibatnya Tuhan dibuang karena
dianggap tak bermanfaat lagi.
• Iptek dapat menjelaskan segala perkara, masalah hidup,
dan memenuhi hidup manusia. Dengan demikian, Ilmu
dan teknologi berubah menjadi berhala baru
Seks
• Dunia modern menekankan kemajuan, kenikmatan, dan
kebahagiaan. Seks memberi kepada manusia perasaan hidup,
gairah, dan kreatif. Seks membuat manusia merasa berharga.
• Namun, dalam pelaksanaannya, seks dilepaskan dari manusia
dan kehidupan. Seks diperlakukan sebagai hal yang berdiri
sendiri. Seks lalu dijadikan komoditi dan dapat dijual-belikan.
• Karena begitu diagung-agungkan, seks berubah menjadi dewa,
menjadi berhala yang dicari-cari, dan disembah, serta dijadikan
‘obat’ untuk segala penyakit dan masalah hidup.
Konsumerisme
• Lat: consumere (memakan, menghabiskan, menelan). Konsumerisme
adalah sikap dan dorongan untuk memakan dan menghabiskan produk-
produk yang ditawarkan. Tujuannya adalah untuk menikmati produk
sebanyak mungkin.
• Hedonisme (hedon kata Yunani berarti kenikmatan). Hedonisme
merupakan sikap dan dorongan untuk mendapat kenikmatan lewat
pemanfaatan segala yang dikira mendatangkan kenikmatan. Misal
makan, minum, fasilitas hidup dan seks.
• Orang terdorong oleh sikap konsumeristis karena hendak menikmati,
didesak oleh sikap hedonisme. Kenikmatan yang harusnya ‘hal
sampingan’ malah dikejar. Produk-produk yang harusnya menjadi
sarana hidup, malah dijadikan tujuan.
Iman Ekstrinsik
• Iman ekstrinsik adalah iman yang tak menyatu dengan
pribadi orang yang beragama. Baginya iman merupakan
perkara luar yang tidak mempengarui cara berpikir,
berkehendak, dan berperilaku.
• Orang yang beriman ekstrinsik sering menggunakan iman
demi kepentingan pribadi. Dia menganut agama dengan
pamrih, karena kepentingan pribadi, ekonomi, sosial.
Iman Intrinsik
• Orang yang beriman intrinsic tidak memanfaatkan, tetapi menghayati
iman secara benar. Alasan orang beriman tidak terletak di luar, tetapi
dalam pribadi mereka.
• Orang yang beriman intrinsik menghayati imannya secara total dan
tanpa syarat. Mereka konsekwen menanggung akibat dari keputusan itu
dan berani menanggung risikonya.
• Maka, orang yang beriman intrinsic tampil sebagai manusia penuh
tanggungjawan dan berpendirian. Dalam hidup, pengabdian dan
perjuangannya, mereka berpegang pada prinsip iman: “demi memuji
dan memuliakan Tuhan”, kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Gaya Massa-Gaya Murid
• Orang yang beriman ekstrinsik terlalu mudah mengambil
gaya massa. Orang beragama untuk melindungi identitas
kelompok dan mempertahankan kepentingan
kelompoknya.
• Orang yang beriman intrinsik memiliki gaya murid.
Artinya: orang yang beragama hidup berdasarkan
pandangan iman. Dia mengerti dan memahami hidup
secara mendalam. Ia selalu kritis pada segala perkara
kehidupan.
Dia berusaha berpegang pada iman dan menjalani hidup
dengan sikap murid: mau belajar, mau maju, mau taat,
Agama dan Ibadat
Setiap agama memiliki cara yang berbeda dalam ibadat,
pada dasarnya ibadat berupa rangkaian kata, tindakan,
perbuatan, yang dilaksanakan oleh petugas resmi dengan
mempergunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan
tertentu dan mengenakan pakaian tertentu.
Ibadat merupakan cara manusia untuk mengungkapkan
pengakuan terhadap Tuhan.
Tujuan dari Ibadat untuk menciptakan hubungan manusia
kepada Tuhan yang jauh diatas menjadi dekat.
PERAYAAN KEAGAMAAN
Inti perayaan keagamaan adalah peringatan atas peristiwa-
peristiwa keagamaan penting yang pernah terjadi. Peristiwa
itu dinilai mempunyai makna khusus, sebab dilakukan,
dialami atau terjadi pada diri tokoh-tokoh agama yang
dianut.
Lewat perayaan itu, umat dapat memperoleh dan menimba
hikmah dari peristiwa agama yang diikuti dan mendapat
dorongan untuk mewujudkannya dalam hidup nyata.
SPIRITUALITAS
Merupakan cara untuk menetapkan, memupuk dan
mengembang hubungan dengan Tuhan. Dalam ibadat,
hubungan dengan Tuhan dinyatakan. Dengan hidup rohani
hubungan dengan Tuhan itu dihayati dan diwujudukan
dalam hidup sehari-hari.
IBADAT YANG TIDAK TEPAT
Tujuan Ibadat sering kali tidak selalu dipegang dan dicapai
karena ada salah pengertian tentangnya dan salah sikap
terhadapnya. Bentuknya antara lain :
1. Pietisme
Cita-cita hidup para penganut aliran itu adalah kesucian
pribadi. Maka yang mereka usahakan kesucian diri, untuk
mencapai hal itu dengan cara menyingkirkan masyarakat dan
dunia, akibatnya penganut ini menjadi cenderung individualistik
dan perasaan menjadi faktor penentu perilaku.
2. Ritualisme
Berarti aliran pemikiran yang memutlakkan perlunya
ketetapan dalam upacara. Hal ini menjadikan ritualisme tidak
hanya membuat ibadat beku dan kaku, tetapi memutarbalikkan
sarana dengan tujuan yang menciptakan hubungan dengan
Tuhan, sedangkan ritual hanya sebagai sarana saja.
3. Formalisme
Berarti mentaati forma, bentuk. Karena formalistis para
penganut formalisme sering kali hanya mengikuti ibadat tanpa
hati, pengertian dan keterlibatan. Hanya berdasar pada yang
diperintahkan, diatur dan ditetepkan, dijalankan.
4. Eskipisme
adalah sikap dan pandangan yang membuat ibadat dan doa
sebagai tempat untuk melarikan diri dari kehidupan dan terbebas
dari bebannya. Penganut aliran ini cenderung menjadi
melepaskan tanggung jawab dan menyangkal kemapuannya untuk
menerima, menyelesaikan dan menanggung beban hidupnya.
5. Usaha magik
berarti usah mempergunakan benda, tindakan kata-kata untuk
mendapatkan keberuntungan dan menghidarkan diri dari bahaya.
Dalam bentuk lunak orang yang bermental magik menganut
mental “do ut des” : aku memberi supaya kaubalas memberi yang
hanya berdasar pada untuk mendapatkan sesuatu.
Formalisme
• Dalam ibadat, ada bentuk-bentuk rumus dan pola gerak-
gerik dan tata tertib tertentu. Di belakang, bentuk-bentuk
itu tentu ada makna dan arti yang perlu dimengerti dan
dihayati.
• Tapi, para penganut formalism tidak melakukannya.
• Formalisme: mentaati forma, bentuk. Formalisme
mengikuti ibadat tanpa hati, pengertian, dan keterlibatan.
Asal petugas ibadat sudah melakukan ibadat sesuai
bentuk dan umat hadir, bereslah ibadat itu dan mencapai
maksudnya.
Agama dan Pergaulan
Antar Para Penganut Aguama
• Proses pertemuan antar agama:
• sinkritisme
• adaptasi
• akulturasi
• inkulturasi
 Sikap terhadap agama lain
 Indiferentisme
 Relativisme
 Menghargai
 Tidak aman
 Fanatisme
• Sikap-Sikap dalam Pergaulan antar penganut agama
• Apologetis
• Polemis
• Persaingan
• Toleransi
• Dialog
Sinkritisme
• Kata Yunani ‘synkretismos’ yang berarti penggabungan ajaran dan
praktik agama yang berbeda satu sama lain
• Kapan terjadi? Pada saat pertemuan agama menghasilkan percampuran
isi iman, ajaran, ibadat, dan praktik-praktik keagamaan antar agama
yang bertemu
• Misal: nama Tuhan, ajaran-ajaran pokok, bentuk ibadat, adat kebiasaan
• Akibatnya: agama kehilangan identitas aslinya dan meleburkan diri ke
dalam bentuk agama yang baru. Pertemuan antar agama tidak
mengembangkan, tetapi malah saling melenyapkan.
Adaptasi
• Latin ‘adaptare’ yang berarti menyesuaikan
• Kapan terjadi? Pada saat agama yang satu masuk ke agama yang lain dengan
menyampaikan isi ajaran, cara beribadat, dan praktik keagamaan dengan
menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi sosial, budaya, dan cara hidup di
tempat agama yang mau dimasuki.
• Tujuan: memperlancar agama masuk ke dalam agama yang lain
• Sebetulnya, adaptasi tidak berhasil masuk ke dalam agama yang lain. Agama tidak
meresap dalam hati dan perilaku orang yang menganut agama yang hendak
dimasuki. Adaptasi hanya merupakan proses saling mempengaruhi yang bersifat
lahirian dan sebatas kulit. Ajaran pokok agama yang dimasuki tetap berdiri kokoh.

Anda mungkin juga menyukai