Anda di halaman 1dari 13

BAB I

KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

A. Sejarah Pernikiran Manusia Tentang Ketuhanan


Tuhan adalah tokoh sentral dalam agama. Kepercayan kepada Tuhan
merupakan sesuatu yang pokok dalam agama. Manusia, dalam sepanjang
sejarah, telah mengajukan rasa ketersandaran terhadap sesuatu di luar
jangkauannya dalam kehidupan sehari-hari. Rasa tersandar itu nampak
dalam berbagai ekspresi, setaraf dengan perkembangan tingkat
intelektualitas dan tuntutan kultural. Akibatnya, muncul berbagai faham.
ketuhanan. Aslam Hadi (1986: 33), mengutip pendapat Edward, B.
Taylortentang wham ketuhanan, memaparkan bahwa faham atau bahkan
keyakinan ketuhanan pada masyarakat manusia mengalami evolusi. Evolusi
itu dimulai dari animisme hingga ke monoteisme. Harun Nasution (1973:
23) secara lebih komplit mengilustrasikan perkembangan faham ketuhanan.
Perkembangan itu dimulai dari faham dinamisme hingga faham ketuhanan
agnostisisme.
Masyarakat manusia primitif meyakini bahwa benda memiliki
kekuatan misterius. Kekuatan itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
manusia. Masyarakat primitif berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin
benda yang memiliki kekuatan untuk mempermudah hidupnya. Tahap
selanjutnya, benda-benda yang memiliki kekuatan misterius itu dianggap
mempunyai roh. Roh-roh itu mempunyai bentuk, butuh makan, dapat
merasa senang, susah, dan marah. Kemarahan roh-roh itu dapat
membahayakan manusia, sehingga kerelaannya harus diupayakan melalui
kebaktian-kebaktian. Faham demikian dinamakan animisme.
Animisme berkembang menjadi politeisme, yakni ketika dari sekian
banyak roh ada beberapa yang dianggap unggul, mempunyai karakter
tertentu dan mempunyai pengaruh besar terhadap hidup manusia, sehingga
secara rutin dilakukan kebaktian terhadap roh-roh itu. Roh-roh yang
dianggap memiliki karakter tertentu dan diberi kebaktian secara rutin itu
telah meningkat menjadi dewa, dengan demikian terdapat banyak dewa.
Politeisme selanjutnya berkembang menjadi oligateisme, yakni ketika
dari sekian dewa yang ada, beberapa dewa dianggap memiliki kelebihan dan
diunggulkan. Oligateisme kemudian berkembang menjadi henoteisme, yakni
ketika tiap-tiap kelompok masyarakat hanya mengakui satu dewa saja.
Klimaks perkembangannya adalah faham monoteisme, yakni ketika diakui
hanya ada satu Tuhan untuk semesta kenyataan.
Monoteisme kemudian berkembang lebih variatif. Monoteisme dapat
berbentuk deisme atau teisme. Deisme adalah faham yang pada prinsipnya
meyakini Tuhan yang tunggal itu transenden, setelah penciptaan alam
Tuhan tidak terlibat lagi dengan ciptaannya. Deisme berseberangan dengan
panteisme. Panteisme adalah faham yang meyakini bahwa Tuhan yang
tunggal itu imanen, Tuhan menampakkan diri dalam berbagai fenomena
alam. Jalan tengah antara deisme dan panteisme adalah teisme. Teisme
adalah faham ketuhanan yang prinsipnya meyakini Tuhan yang tunggal itu
transenden, mengatasi semesta kenyataan, tetapi dalam transendensinya itu
Tuhan selalu terlibat dengan alam semesta ciptaannya.
Deisme berkerbang menjadi naturalisme. Faham naturalisme pada
prinsipnya meyakini, bila Tuhan itu transenden, tidak terlibat dengan alam
semesta setelah penciptaan, dan alam pun tidak berhajad pada Tuhan, maka
alam ini berdiri sendiri, sempurna dan berproses menurut hukum-hukum
alam itu sendiri. Naturalisme muncul ketika manusia semakin menguasai
ilmu pengetahuan. Faham naturalisme kemudian meningkat menjadi
ateisme. Faham ateisme pada prinsipnya yakin bahwa Tuhan tidak ada. Bila
alam berdiri sendiri, berproses dengan hukum-hukumnya sendiri, maka
Tuhan tidak perlu ada. Tuhan tidak ada, karena proses alam, bahkan proses
terjadinya alam adalah karena alam itu sendiri melalui hukum-hukumnya .
Terdapat pendapat yang meragukan adanya Tuhan, diantara pendapat
yang meyakini dan yang menolak adanya Tuhan. Faham yang ragu-ragu
tentang adanya Tuhan adalah faham agnostisisme. Agnostisisme tidak
dengan tegas menyatakan bahwa Tuhan tidak ada. Tuhan mungkin ada,
tetapi manusia tidak dapat mengetahui secara positif.
Iqbal secara spesifik membahas tentang Tuhan dalam salah satu bab
buku The Reconstruction of Religious Thought ini Islam. Berikut ini
beberapa pemikiran Iqbal tentang Tuhan. Pertama, Tuhan adalah Diri
(Khuda). Hal ini dijelaskan oleh lqbal dengan mengutip surat Al-Ikhlas.
Tuhan itu suatu kebulatan sebagai diri, tanpa ada yang menyamainya dan
bersifatt tunggal, tidak mempunyai sekutu, mengatasi kecenderungan
antagonistik dari reproduksi (Iqbal, 1951: 63). Tuhan itu suatu kebulatan
sebagai diri, sebab Tuhan mengorganisasi segala sesuatu untuk tujuan yang
konstruktif. Tuhan merespon do'a dan sembahyang manusia, ujian paling
nyata dari diri adalah kemampuan merespon diri yang lain. Tuhan bukan
semata-mata diri tetapi Dia adalah Din Mutlak. Watak mutlak Tuhan
sebagai Diri didasarkan pada kenyataan bahwa Tuhan meliputi segalanya,
tidak-ada sesuatupun di luar kuasanya (Syarif, 1994: 37).
Kedua, Tuhan sebagai Diri Mutlak itu tidak berkesudahan. Tidak
berkesudahan-Nya bukan hanya dalam artian ruang dan waktu. Ruang dan waktu
adalah penafsiran akal manusia terhadap aktivitas kreatif Tuhan. Tidak
berkesudahannya Tuhan hendaknya ditafsirkan sebagai tiada berakhirnya kegiatan
kreatif Tuhan. Tuhan itu Maha-pencipta. Tuhan adalah Ego Mutlak yang hidup,
dinamis, tiada yang dapat membatasi selain diri-Nya sendiri, Dia adalah Ego yang
bebas dan kreatif (Iqbal, 1951: 64).
Ketiga Tuhan adalah akikat keseluruhan yang bersifat spiritual. Dia meliputi
segalanya. Dia yang Mutlak merangkum diri-diri terbatas dalam wujudnya, tanpa
menghapus eksistensi mereka (Maitre, 1985: 55). Dari Diri Mutlak akan keluar
diri-diri terbatas. Diri-diri terbatas yang ada di alam adalah pernyataan diri dari
ciptaan-Nya. Tuhan tidak pula imanen sebagaimana pandangan panteisme, sebab
hakikat Diri Mutlak itu sungguh berbeda dengan hakikat diri-diri terbatas.
"Transendensi dan imanensi adalah dua aspek dari Wujud Tertinggi (Maitre,
1985: 56).
Iqbal dengan pemikirannya tentang Tuhan, nampaknya ingin menunjukkan
kepada manusia bahwa Tuhan itu sungguh ada, sebagai Diri Mutlak yang Maha
Kreatif, selalu mencipta, membimbing, mengawasi, dan menyediakan diri bagi
kerinduan manusia. Hal tersebut merupakan stimulus dan sumber motivasi bagi
manusia untuk selalu meningkatkan kualitas diri dalam kehidupan ini. Iqbal
menunjukkan Tuhan adalah mitra kerja bagi manusia dalam upaya aktualisasi
diri.

B. Pembuktian Adanya Tuhan


Perbincangan tentang agama tidak mungkin meninggalkan perbincangan
tentang Tuhan. Tiga hal yang penting diingat dalam perbincangan tentang Tuhan.
Pertama, hendaknya dibedakan antara Tuhan dengan ide tentang Tuhan. Kedua,
manusia telah menyembah Tuhan sebelum muncul problem filsafat tentang
Tuhan. Dan ketiga, tidak ada pandangan individual tentang Tuhan yang dianggap
final atau memadai (Titus, 1984: 441).
1. Argumen tradisional tentang adanya Tuhan
Eksistensi Tuhan merupakan tema yang paling pokok dalam
perbincangan filsafati tentang ketuhanan. Terdapat empat argumen filsafati
yang klasik tentang adanya Tuhan, yakni argumen ontologi, kosmologi,
teleblogi, dan moral.
Argumen ontologi didasarkan pada logika semata. Argumen ini ingin
membuktikan adanya Tuhan dengan cara menghubungkannya pada ide tentang
Zat yang Maha Sempurna. Tuhan itu ada, oleh karena ia diberi definisi
sedemikiann rupa sehingga mustahil untuk memikirkan bahwa ia tidak ada
(Titus, 1984: 468). Beberapa filsuf yang mengajukan argumen ontologi
diantaranya adalah Plato (428-348 SM), St. Agustinus (354-430 SM), St.
Anselm (1033-1109) Rend Descartes (1 r 598-1650).
Argumen kosmologi tentang adanya Tuhan didasarkan pada adanya
hukum kausalitas yang berlaku di alam semesta. Argumen kosmologis sering
disebut argumen sebab pertama (causa prima); Segala yang terjadi di
alam mempunyai hubungan sebab-akibat. Rentetan sebab-akibat berakhir
pada sebab yang pertama (causa prima). Beberapa filsuf yang menggagas
argumen kosmologi diantaranya adalah Aristoteles (384-322 SM), Al-Kindi.
(796-873), Al-Fazabi (872-950), Ibn Sina (980-1037), Thomas Aquinas
(1225-1274).
Argumen teleologi tentang adanya Tuhan didasarkan pada watak
alam semesta yang serba teratur dan terencana. Adanya penataan dan
perencanaan alam semesta menunjukkan adanya Tuhan .yang punya
kehendak. Bagian-bagian dari alam mempunyai fungsi sendiri-sendiri
dan berhubungan satu dengan yang lain. Alam dalam keseluruhannya
berevolusi dan beredar. Kondisi itu bukan suatu kebetulan, tetapi
mempunyai tujuan tertentu. Alam, meski begitu, tidak dapat menentukan
tujuannya sendiri, tetapi -ada Zat yang Maha Tinggi yang menentukan.
Argumen moral tentang adanya Tuhan didasarkan pada adanya
kesenjangan antara prinsip normatif moral dan fakta moral. Secara
normatif, setiap perbuatan baik mestilah berakibat baik lagi pelakunya;
dan setiap perbuatan buruk mestilah berakibat buruk bagi pelakunya.
Tetapi pada tataran fakta, tidak semua perbuatan baik berakibat baik bagi
pelakunya, dan tidak setiap perbuatan buruk berakibat buruk bagi
pelakunya. Kondisi ini tidak fair, sehingga mestilah ada kehidupan lain
dimana prinsip normatif moral terpenuhi. Itulah kehidupan akhirat. Lalu,
siapakah yang menjamin terpenuhinya prinsip moral di akhirat ? Itulah
Tuhan.

2. Kritik atas argumen tradisional tentang adanya Tuhan


Argumen-argumen tradisional di atas tidak lepas dari kritik. Tidak
satupun dari keempat argumen itu benar-benar memuaskan. Kritik
terhadap argumen ontologi sebagai berikut. Pertama, konsep tentang Zat
yang Maha Sempurna tidak mengharuskan adanya zat itu. Suatu konsep
itu sempurna sebagai konsep, meski tidak punya wujud. Kedua, adanya
suatu zat itu tidak dapat dipastikan dari adanya ide tentang zat itu.
Ketiga, kesalahan pokok dalil ontologi adalah mengalihkan sesuatu yang
logis menjadi sesuatu yang hakiki.
Terhadap argumen kosmologi dapat diajukan kritik sebagai
berikut. Pertama, bahwa argumen itu telah mempermainkan hukum
kausalitas, ketika dengan semena-mena menghentikan rentetan sebab-akibat
pada suatu titik dan menaikkannya menjadi causa prima. Kedua, sebab dan
akibat dalam rangkaian kausalitas adalah sama-sama wajib adanya. Ketiga,
kemestian wujud sesuatu tidak sama dengan keharusan pikiran tentang sebab-
akibat.
Kritik terhadap argumen teleologi sebagai bcrikut. Pertama, argumen
teleologi hanya mengesankan adanya perencana, penata, dan penggerak
semata bukan pencipta. Kedua, masih belum terjawabnya sebuah pertanyaan
tentang bagaimana halnya dengan kenyataan bagian-bagian alam yang
mengesankan adanya kaidah keteraturan. Ketiga, tidak analogi antara manusia
pencipta dengan gejala alam. Manusia dalam mencipta dengan mengklasifikasi
bahan; sementara bahan-bahan dalam alam adalah merupakan suatu sistem
bagian-bagiannya saling bergantung.
Argumen moral nampaknya merupakan ekspresi ketidakmampuan
manusia menegakkan prinsip moral, sehingga ada nuansa apologis ketika
ketidakmampuan itu dijawab dengan kemestian adanya dunia lain.
Keempat argumen di atas hanya menunjukkan suatu interpretasi
terhadap pengalaman yang direkayasa. Kegagalan keempatnya dalam
mengajukan argumen yang memadai adalah karena keempatnya hanya
memperhatikan sisi lahir dari realitas, padahal sebenarnya realitas itu lahir-
batin, dan puncaknya bersifat spiritual. Sikap seperti itu menciptakan suatu
jarak antara yang ideal dan yang real (Iqbal, 1951: 31). Argumen-argumen
tradisional tentang adanya Tuhan akan memadai bila hal-hal berikut terpenuhi.
Pertama, dimensi lahir batin realitas harus dipahami sebagai satu kesatuan
utuh dan harus diperhatikan. Kedua, situasi kemanusiaan tidak akan
berakhir. Ketiga, bahwa pikiran dan wujud pada kesudahannya adalah satu
jua. Hal-hal tersebut sebenarnya derefasi dari semangat Islam yang
mengajarkan, segala pengalaman lahir batin adalah lambang dari kebenaran
(Iqbal, 1951: 31).
C. Tauhid: Konsep Ketuhanan Islam
1. Makna tauhid
Secara etimologis tauhid adalah kata dalam bahasa Arab. Dalam tata
bahasa Arab kata tauhid itu termasuk dalam bab taf’il yang susunannya:
(wakhada) `menyatukan', (yuwakhid) 'akan tetap menyatukan', (taukhidan)'
`sungguh disatukan' (Mansur, 1985: 1). Sedangkan secara terminologis, tauhid
oleh para ulama ahli didefinisikan sebagai keyakinan akan keesaan Tuhan.
Semua pemeluk agama monoteis mengakui dan sependapat tentang keesaan
Tuhan. Pengakuan akan keesaap Tuhan dalam Islam dikenal dengan istilah
tauhid. Dengan demikian tauhid adalah pengakuan akan keesaan Tuhan khas
Islami yang tidak dimiliki agama lain. Pengakuan akan keesaan Tuhan dalam
Islam atau tauhid itu terungkap. dalam kalimat "laa ilaaha illallaah " yang
artinya "tidak ada Tuhan melainkan Allah".
"Laa Ilaaha illalah" sebagai kalimat tauhid adalah termasuk kalimat
negatif (manfi), lawan dari kalimat positif (mutsbat). "La" pada kalimat "laa
Ilaaha illallaah" adalah laa an-naafiyah; li jinsi, yaitu huruf nafyi yang
meniadakan segala macam jenis; dalam hal ini yang ditiadakan adalah segala
macams jenis ilah. "Illa" pada kalimat "laa ilaaha illallaah" adalah huruf
istisna atau pengecualian yang mengecualikan Allah dari segala jenis ilah
yang ditiadakan. "Illa" berfungsi mempositifkan (itsbat) kalimat negatif/
manfi. Dalam tatabahasa Arab itsbat sesudah manfi mempunyai maksud
membatasi dan menguatkan. Dengan demikian kalimat tauhid "laa ilaaha
illallaah " memuat pengertian tiada Tuhan yang benar-benar berhak disebut
Tuhan selain Allah SWT (Ilyas, 1989-34).
Tauhid bukan sernata-mata keyakinan akan keesaan Allah sebagai satu-
satunya Dzat yang pantas disembah (Ma'bud); namun juga keyakinan
bahwa Allah satu-satunya Dzat yang memiliki dan menguasai langit, bumi
beserta segala isinya. Dia yang menciptakan (Khalik). Dia yang memberi rizki
(Raziq). Dia yang memelihara (Mudabbira). Tauhid juga berarti keyakinan
akan keesaan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang wajib ditaati. Dalam hal
ini, Dia yang menentukan hukum dan aturan tentang segala sesuatu (Hakim).
Dia yang melindungi (Wali). Dia yang menjadi tumpuan harapan dan untuk-
Nya segala amalan ditujukan (Ghayah). Berdasar uraian di atas, ikrar "laa
ilaaha illallaah " dapat diuraikan dalam beberapa ikrar, sebagai berikut:
a. "Laa Khaaliqa illallah " yang berarti tidak ada pencipta kecuali Allah.
Tentang ini dapat dilihat dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah (2) ayat 21
dan 221, yang artinya : "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa.
Dialah yang menjadikan bumi hamparan bagimu dan langit sebagai
atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizqi
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah,padahal kamu mengetahui" (Departemen Agama RI, 1985: 11).
b. "Laa 'Raaziqi il1allaah yang berarti tidak ada pemberi rizqi selain Allah.
Tentang ikrar ini dapat dilihat dalam Al-Qur'an surat Al-Faathir (35) ayat
32, yang artinya "Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu.
Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizqi
kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Allah; maka
mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?" (Departemen Agarna
RI, 1985: 695).
c. "Laa Mudabbira illallaah" yang berarti - tidak ada pemelihara atau
penjaga atau pengatur selain Allah. Tentang ikrar ini dapat dilihat dalam.
A1-Qur'an surat Yunus (10) ayat 33, yang artinya : "Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy (singgasana)
untuk mengatur segala urusan: Tiada seorang pun yang akan memberi
syafa'at kecuali sesudah ada keizinan-Nya. (Dzat) yang demikian itu
adalah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah. Dia. Maka apakah kamu
tidak mengambil pelajaran?" (Departemen Agama RI, 1985: 305).
d. "Laa Hakima illallaah " yang berarti tidak ada penentu hnnkum atau
aturan tentang segala sesuatu selain Allah tentang ikrar ini dapat dilihat
dalam Al-Qur'an surat Al An'aam (6) ayat 574 yang artinya : "...
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang
sehenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik''
(Departemen Agama RI, 1985: 195).
e. "Laa Waliyya illallaall" yang berarti tidak ada pelindung selain Allah.
Tentang ikrar ini dapat dilihat dalam AlQur'an surat A1-Baqarah (2) ayat
257, yang artinya "Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)
…" (Departemen-Agama RI, 1985: 63).
f. "Laa Ghayata illallaah" yang berarti tidak ada tumpuan harapan dan
segala amalan ditujukan selain Allah. Tentang ikrar ini dapat dilihat
dalam Al-Qur'an surat Al-Insyirah (94) ayat 86, yang artinya .: "Dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamz( berharap " (Departemen
Againa RI, 1985, 1073); Surat Al-An'aam (6) ayat 1627, yang artinya :
"Katakanlah, Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta Alam ".'(Departemen
Agama RI, 1985: 216).
g. "Laa Ma'buda illallaah" yang berarti tidak ada yang pantas disembah
selain Allah. Tentang ikrar ini dapat dilihat dalam Al-Qur'an surat An-
Nahl (16) ayat 368, yang artinya : "Dan sesungguhnya Kami tetah
mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) Sembahlah Allah
(saja), dan jauhilah Thaghut itu... (Departemen Agama R1,. 1985: 407).
Dari uraian di atas, diketahui tauhid itu mempunyai tiga dimensi.
Pertama, tauhid rububiyah dalam hal Allah sebagai Khaliq, Raziq dan
Mudabbira. Kedua, tauhid mulkiyah dalanm hal Allah sebagai Hakim, Wali
dan Ghayah. Ketiga, tauhid uluhiyah atau ilahiyah dalam hal Allah sebagai
Ma'buda. Antara ketiga dimensi tauhid itu berlaku hubungan kemestian dan
pencakupan. Maksudnya, setiap orang yang meyakini tauhid- rububiyah
mestinya meyakini tauhid mulkiyah dan tauhid ilahiyah. Sebaliknya, setiap
orang yang telah sampai pada tingkat tauhid ilahiyah tentunya sudah melalui
tauhid rububiyah dan tauhid mulkiyah (I1yas, 1989: 36). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tauhid adalah keyakinan akan keesaan Allah baik
dalam dimensi rububiyah, mulkiyah maupun ilahiyah. Ketiganya diyakini
sebagai satu kebulatan. Jabaran tentang tauhid yang lebih-rinci dapat
disimak pada bab III yang membahas tentang keimanan dan ketakwaan.

2. Tauhid Esensi Islam


Telah disinggung di dalam uraian di muka bahwa tauhid adalah
keyakinan akah keesaan Tuhan yang khas Islami. Tauhid adalah sendi
pokok gerak Islam, merupaan perintah Allah yang tertinggi dan terpenting.
Ajaran dan perintah tauhid dapat dijumpai dalam Al-Qur'an surat Al-Ikhlas
(112) ayat 1 sampai 4, yang artinya : "Katakanlah: Dia-lah Allah Yang
Maha Esa. Allah adalah 'Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun
yang setara denganNya" (Departemen Agama RI, 1985: 1118).
Tentang pentingnya tauhid dibuktikan dengan janji Tuhan dalam surat
An-Nisa' (4) ayat 48, yang artinya "Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa-dosa selain itu terhadap
orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang mempersekutukan
Allah, sesungguhnya dia telah berbuat dosa yang sangat besar" (Departemen
Agama RI,-1985: 126).
Mengakui adanya lebih dari satu Tuhan adalah suatu dosa besar. Secara
akal pun tidak dapat dibenarkan. Jika memang ada lebih dari satu Tuhain,
tentunya akan terjadi persaingan. Tuhan-tuhan semacam itu tidak berfaedah,
kecuali jika yang satu menghancurkan yang lain, karena hanya dengan
demikian dia bisa menjadi wujad ultimate yang disyaratkan. Hanya suatu
sumber ultimate yang bisa berdiri tegak sebagai kebaikan tertinggi. Jika tidak
demikian, maka kekuatan dari Tuhan yang 1ebih rendah akan selalu
dipertanyakan. Lagi pula, alam tidak dapat mematuhi dua penguasa, ia tidak
dapat beroperasi secara tertib dan menjadi kosmos jika ada dua atau lebih
sumber kekuasaan, dua atau lebih penggerak ultimate. Karena hal-hal
tersebut, berpegang taguh pada prinsip tauhid merupakan fondamen dari
seluruh kesalahan, religiusitas dan seluruh kebaikan. Semua amal manusia akan
sia-sia dan tidak mempunyai arti di hadapan Tuhan manakala prinsip tauhid
dilanggar.
Islam sebagai agama bukan hanya mengajarkan ritual belaka.
Minimal ada tiga aspek ajaran Islam yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia, yaitu : aqidah, syari'ah (yang meliputi ibadah dan
mu'amalah) dan akhlak. Islam memberikan pedoman dalam aspek aqidah
bersifat absolut, tidak memungkinkan terjadi perubahan, penambahan dan
pengurangan sedikit pun. Aspek ibadah khusus diajarkan amat jelas, tidak
dapat ditambah atau dikurangi. Aspek mu'amalah (kemasyarakatan) hanya
beberapa hal saja yang diajarkan secara rinci dan absolut, selebihnya diajarkan
secara garis besar, berupa kaidah umum yang penerapannya memungkinkan
mengalami perkembangan dan variasi sesuai tuntutan perkembangan
kehidupan masyarakat. Nilai-nilai akhlak diajarkan secara absolut agar manusia
memperoleh kepastian tentang nilai baik dan buruk (Basyir, 1990: 4).
Inti aqidah Islam adalah tauhid, bahkan esensi Islam adalah tauhid.
Karenanya, keempat aspek ajaran Islam tersebut merupakan penjabaran
tauhid yang saling terkait tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Pemisahan di antara aspek ajaran tersebut menyebabkan keberagamaan (ke-
Islam-an) seseorang tidak kaffah atau tidak sempurna. Begitu pentingnya
tauhid, sehingga sebenarnya setiap misi kenabian dan khususunya misi
kenabian Muhamad SAW adalah untuk memurnikan ajaran tauhid; yang
selalu ada sepanjang sejarah kehidupan manusia dan sering tercoreng atau
diselewengkan oleh manusia.
Sejarah perjalanan umat Islam dari waktu ke waktu menunjukkan
bahwa umat Islam adalah umat yang cukup toleran dengan umat beragama
lain. Meskipun demikian, umat Islam akan merasa tersinggung dan akan
mempertahankan diri mati-matian manakala keyakinan keagamaannya
diganggu atau dilecehkan. Bahkan dalam rangka mempertahankan kemurnian
tauhid tidak jarang terjadi perbedaan pendapat yang sebenarnya tidak
prinsipil dan dapat dipertemukan di antara umat Islam sendiri. Misalnya,
kaum Mu'tazilah mengklaim bahwa merekalah pembela tauhid yang
sesungguhnya. Mereka memproklamirkan diri sebagai Ahlu at-Tauhid. Dalam
mengesakan Allah atau dalam beitauhid kaum Mu'tazilah menentang cara-
cara anthropomorphisme; juga menolak bahwa Allah itu mempunyai sifat-
sifat (nafi al-sifat), karena jika Allah mempunyai sifat-sifat maka Allah tidak
lagi esa.
Pendapat kaum Mu'tazilah tentang peniadaan sifat-sifat Allah ini
ditentang oleh pengikut Ahht as-Sunnah. Kaum Ahlu as-Sunah berpendapat
bahwa Allah mempunyai sifat-sifat kesempurnaan yang tidak berbeda dari
Dzat Allah sendiri, yaitu abadi. Keabadian sifat-sifat itu bukan berdiri sendiri
di luar Dzat Allah. Allah tetap esa dan abadi, sifat-sifat itu hanya mengisi
pengertian kesempurnaan (Bakry, 1973: 24).

3. Tauhid Fitrah Manusia


Manusia dalam hidup dengan segala aspek kehidupan selalu
mendasarkan diri pada kepercayaan. Tanpa memasukkan unsur kepercayaan
dalam kehidupannya, hidup manusia itu tidak dapat digambarkan (Anshari,
1991: 117). Ungkapan pendapat seperti itu tidaklah berlebihan, karena memang
begitulah kenyataan hidup manusia. Sering dikatakan, manusia adalah makhluk
multidimensional. Salah satunya, manusia itu berdimensi percaya. Percaya
adalah sikap membenarkan sesuatu atau menganggap sesuatu sebagai benar.
Pendapat di atas uapat diterima akal. Untuk meyakinkan hal tersebut-
dapat disimak dan direnungkan pendapat A. Mukti Ali (1976) yang
disampaikan dalam pidato sambutan pada peringatan Isra' Mi'raj di Istana
Negara Jakarta, dalam kapasitasnya sebagai menteri agama Republik
Indonesia pada waktu itu. Iman atau kepercayaan merupakan sumber yang
tiada kunjung kering dalam menumbuh-suburkan idealisme dalam kehidupan.
Tanpa idealisme, maka perjuangan dan usaha untuk membangun akan
kehilangan sumber dinamika dan elan vital. Jelaslah, tanpa iman atau
kepercayaan kehidupan manusia akan statis dan kacau.
Kepercayaan itu terdapat dalam segala aspek kehidupan manusia.
Kepercayaan terdapat dalam kehidupan sehari-hari, dalam ilmu pengetahuan
dalam filsafat dan terlebih lagi dalam agama. Kepercayaan adalah faktor
mutlak dalam agama, bahkan agama tidak lain adalah satu bentuk dan corak
kepercayaan yang tertinggi (Anshari, 1991: 117). Kepercayaan dalam
kehidupan sehari-hari, alam ilmu pengetahuan dan dalam flsafat adalah
kepercayaan yang dapat dibuktikan secara empirik dengan menggunakan
dalil-dalil logika yang valid. Tidak demikian halnya dengan kepercayaan
dalam agama. Untuk sebagian besar kalau tidak boleh dibilang seluruhnya
kepercayaan dalam agama adalah kepercayaan terhadap hal yang abstrak.
Kepcrcayaan itu sering bahkan selalu sulit untuk dibuktikan secara empirik
dengan menggunakan dalil-dalil logika yang valid; Namun demikian bukan
berarti kepercayaan dalam agama itu tidak rasional. Kepercayaan dalam
agama itu lebih bersifat supra rasional. Artinya, kepercayaan itu benar
adanya, dapat diterima akal, meskipun akal sendiri tidak mampu
memberikan bukti secara memuaskan.
Inti pengalaman keagamaan adalah Tuhan. Ini berarti inti kepercayaan
keagamaan adalah keyakinan akan adanya Tuhan. Keyakinan seperti ini ada
sebagai akibat dan adanya tiga komponen kejiwaan manusia; akal, emosi dan
kemauan. Dan ketiga komponen kejiwaan inilah muncul kualitas-kualitas
tertentu yang khas manusiawi dan karenanya membedakan manusia dari
makhluk lain. Ketiga komponen kejiwaan manusia memungkinkan terjadinya
komunikasi antara manusia dengan dirinya sendiri, dengang orang lain,
dengan alam dan bahkan dengan hal-hal ghaib (Hadi, 1990: 19). Selain
memiliki kualitas ruhaniah yang bersumber dari komponen kejiwaan, manusia
memiliki kualitas lahiriah sebagai akibat adanya indera yang merupakan
komponen raga. Perpaduan aktivitas antara kualitas ruhaniah dan lahiriah
menempatkan manusia pada posisi yang lebih dibandingkan makhluk lain.
Dengan panca indra, manusia mampu menangkap gejala-gejala alam. Pada
giliran selanjutnya, dengan kualitas ruhaniah hasil serapan indra tersebut
diolah dan ditafsirkan sehingga menjadi kekayaan batin.
Kemampuan manusia menangkap, mengolah dan menafsirkan gejala-
gejala alam inilah yang mengantarkan manusia kepada keyakinan tentang
adanya Tuhan. Dengan memperhatikan alam, maka yang mula-mula timbul
pada manusia adalah perasaan batin bahwa ada yang menguasai alam ini. Dia
yang mengatur dan menyusun perjalanannya. Dia yang menjadikan
segalanya. Dia yang Maha Kuasa atas setiap sesatu yang ada. Adalah suatu
hal yang dapat dibuktikan bahwa akidah merupakan kesadaran universal (Al-
Akkad, 1967: 21). Selanjutnya, akidah atau keyakinan tentang Tuhan itu
berubah-ubah atau mengalami perkembangan. Perkembangan kepercayaan
terhadap adanya Tuhan berjalan seiring dengan taraf intelektualitas mnanusia
dan perkembangan jaman. Puncak dari perkembangan kepercayaan akan
adanya Tuhan adalah monotheisnie. Hal ini nampak sekali dalam teori .E.B.
Tylor (Hadi, 1986: 32).
Teori E.B. Tylor menyebutkan bahwa kepercayaan manusia dalam
masalah agama bermula dari animisme kemudian dinamisme, politeisme,
oligateisme, henoteisme kemudian monoteisme. Meskipun demikian, teori
E.B. Tylor ini tidak mesti dapat diterapkan pada semua orang. Dengan
akalnya didukung oleh kualitas-kualitas yang spesifik manusiawi,
sebenarnya manusia itu bisa sampai pada monoteisme tanpa harus melalui
taraf-taraf pada teori tersebut. Para pemikir membuktikan hal ini. Misalnya,
argumen ontologis yang dikemukakan Plato. Ide-ide yang beragam dari
benda-benda inderawi itu saling berhubungan, menurut Plato. Dan, semua.
ide bersumber dari satu ide absolut yakni Kebaikan Absolut. Kebaikan
absolut itu ialah Tuhan, simpulnya argumen kosmologis menunjukkan
bahwa serangkaian kejadian ini merupakan akibat dari -hal-hal yang lain,
demikian seterusnya. Hal yang seperti ini tidak masuk akal, bila tidak
berhenti. Tentunya ada sebab pertama yang bukan akibat dari sebab yang
lain. Sebab. Pertama atau Causa Prima itulah Tuhan (Nasution, 1973: 51).
Demikianlah, pada dasarnya fitrah manusia itu yakin akan adanya
Tuhan. Lebih lanjut, fitrah keyakinan itu adalah monoteisme. Pemikiran
manusia tentang adanya kekuasaan yang luar biasa yang bersifat esa di
belakang segala-alam fisik ini telah ada semenjak manusia mengenal budaya.
Atau dengan perkataan lam, ide keesaan tuhan itu sudah ada sebelum risalah
rasul Allah (Basyir, 1990: 11).
Monoteisme hasil olah pikir manusia yang didukung olel kualitas-
kualitas khas manusiawi sering melahirkan konsel yang berbeda. Misalnya,
Tuhan itu Kebaikan Absolut; Tuhan itu Causa Prima dan lain-lain. Apakah
semuanya itu menunjuk kepada sate Dzat yang sama? Tidak ayal lagi, untuk
mendapatkan pengertian tentang manakah sebenarnya Tuhan Yang Esa,
manusia mesti memadukan hasil olah pikir yang didukung oleh kualitas-
kualitas khas manusiawi, dengan berita dari Tuhan itu sendiri melalui wahyu
atau kitab suci agama-agama universal.
Memperhatikan fenomena-fenomena dalam agama-agama universal;
agama Tuhan adalah monoteis, semua Nabi adalah monoteis dan semua
agama universal adalah monoteis. Islam dengan ajaran tauhid secara jelas
dan tegas mengajarkan monoteis. Agama Hindu mengalami perkembangan
yang lama dan berangsur-angsur dari politeisme dan penyembahan gejala
alam kepada monoteisme dan monisme spiritual. Dalam agama Kristen,
Jesus atau Isa bin Maryam adalah seorang monoteis, dan banyak orang-orang
Kristen yang tetap monoteis. Ajaran Trinitas mengaburkan monoteisme
agama Kristen. Tentang hal ini, dalam agama Kristen ajaran Trinitas
dikatakan sebuah "mystery", karena tidak dapat dipahami. Mengutip
pendapat Prof. Wilfred Cantwell Smith, seorang guru besar perbandingan
agama di McGill University, Canada, orang-orang Kristen membuat
kesalahan fundamental dan sangat keji, mereka menyembah utusan Tuhan
dengan mengabaikan ajaran-ajarannya. Pada agama Budha, umumnya para
sarjana agama menganggap Budhisme merupakan agama yang tidak
bertuhan. Tetapi, Budha adalah seorang monoteis dalam arti mistis,
meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa usaha pemurnian dan
penjernihan agama Budha telah mendapatkan hasil yang banyak (Ali, 1969:
9).
Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik pengertian; kepercayaan akan
adanya Tuhan ada pada setiap manusia, baik pada kelompok manusia yang
masih primitif maupun yang telah modern. Hal pokok yang membawa
kesamaan adalah karena manusia mempunyai kualitas-kualitas ruhaniah
yang bersumber dari komponen kejiwaan, yaitu cipta, rasa dan karsa.
Dengan kualitas-inilah manusia mampu menangkap fenomena-fenomena
dalam kehidupan, termasuk fenomena tentang Yang Maha Ghaib yakni
Tuhan. Keyakinan akan adanya Tuhan sebagai inti pengalaman keagamaan
mencapai puncaknya manakala manusia telah sampai pada monoteisme; dan
ini pun dapat dicapai dengan kualitas ruhaniah manusia dengan didukung
kualitas lahiriah. Namun demikian, konsep monoteisme yang merupakan
hasil olahan kualitas ruhaniah plus kualitas lahiriah itu sering berbeda.
Untuk. itu perlu dikaji berita-berita dari Tuhan yang ada dalam agama-agama
universal. Semua kitab suci agama universal mengajarkan tentang
monoteisme. Tetapi, ajaran-ajaran itu dari waktu ke waktu selalu dikaburkan
oleh tangan manusia dan nabi demi nabi diutus oleh Tuhan untuk
mengembalikan ajaran yang asasi itu (Ali, 1969:11).
Monoteisme Islam, yakni tauhid cukup terjaga dibanding monoteisme
agama lain. Untuk segala waktu tauhid dalam Islam adalah monoteisme yang
sebenarnya. Hal ini terbukti dari adanya upaya para pembaharu dan ahli pikir
berbagai agama dalam upaya memurnikan dan membersihkan kepercayaan
mereka dari berbagai kekaburan dan mengggali dari kitab suci mereka
tentang bukti adanya kepercayaan tentang keesaan Tuhan; dan mereka
menerangkan bahwa kepercayaan tentang keesaan Tuhan merupakan ajaran
yang sebenarnya dari ajaran mereka. Sedang lain-lain dari selain itu
merupakan produk pemikiran para teolognya.
‫‪CATATAN KAKI‬‬

‫)‪QS Al-Baqarah/ 2 (21-22‬‬

‫َّاس ْاعبُ ُد ْوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذ ْي َخلَ َق ُك ْم َو الَّ ِذيْ َن ِمن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬
‫يَا أَيُّ َها الن ُ‬
‫َتَّت ُق ْو َن‬
‫الس َماء َماءً‬ ‫الس َماءَ بِنَاءً َو أَْنَز َل ِم َن َّ‬ ‫ض فَِراشاً َو َّ‬ ‫ِ‬
‫اَلَّذ ْي َج َع َل لَ ُك ُم اأْل َْر َ‬
‫َنداداً َو أَنتُ ْم َت ْعلَ ُم ْو َن‬ ‫ات ِر ْزقاً لَّ ُكم‪ ‬فَالَ جَتْعلُوا ِ‬
‫ِهلل أ َ‬ ‫فَأَخرج بِِه ِمن الثَّمر ِ‬
‫َْ‬ ‫ْ‬ ‫َْ َ َ ََ‬
‫)‪QS Al-Fathir/ 35 (3‬‬
‫ٰ ٓيا َ ُّي َها ال َّناسُ ْاذ ُكر ُْوا ِنعْ َم َة هّٰللا ِ َع َل ْي ُك ْم ۗ َه ْل ِمنْ َخال ٍِق َغ ْي ُر هّٰللا ِ َيرْ ُزقُ ُك ْم م َِّن‬
‫ض ۗ آَل إِ ٰل َه إِاَّل ه َُو ۖ َفأ َ ٰ ّنى ُت ْؤ َف ُك ْو َن‬
‫ال َّس َمآ ِء َواأْل َرْ ِ‬
‫)‪QS Yunus/ 10 (3‬‬
‫َّام ُث َّم اسْ َت ٰوى َع َلى‬ ‫ي‬‫َ‬ ‫ا‬ ‫ة‬
‫ِ‬ ‫ت‬‫َّ‬ ‫سِ‬ ‫يْ‬ ‫ف‬
‫ِ‬ ‫ض‬‫َ‬ ‫رْ‬‫َ‬ ‫اْل‬ ‫ا‬‫و‬‫َ‬ ‫ت‬
‫ِ‬ ‫و‬ ‫ٰ‬ ‫ٰ‬
‫م‬ ‫س‬
‫ّ‬ ‫اِنَّ َر َّب ُك ُم هّٰللا ُ الَّ ِذيْ َخ َل َق ال ٰ‬
‫ٍ‬
‫ش ُي َد ِّب ُر ااْل َمْ ۗ َر َما ِمنْ َش ِفي ٍْع ِااَّل ِمنْ َبعْ ِد ا ِْذن ۗ ِٖه ٰذلِ ُك ُم هّٰللا ُ َر ُّب ُك ْم َفاعْ ُب ُدو ۗهُ اَ َفاَل‬ ‫ْال َعرْ ِ‬
‫َت َذ َّكر ُْو َن‬
‫)‪QS Al An’am/ 6 (57‬‬
‫قُ ْل إِ ِّنيْ َع ٰلى َب ِّي َن ٍة مِّنْ رَّ بِّيْ َو َك َّذ ْب ُت ْم ِب ۗ ٖه َما عِ ْن ِديْ َما َتسْ َتعْ ِجلُ ْو َن ِب ۗ ٖه إِ ِن ْال ُح ْك ُم‬
‫إِاَّل هّٰلِل ِۗ َيقُصُّ ْال َح َّق َوه َُو َخ ْي ُر ْال َفاصِ لِي َْن‬
‫)‪QS Al-Baqarah/ 2 (257‬‬
‫ت إِ َلى ال ُّن ْو ۗ ِر َوالَّ ِذي َْن َك َفر ُْوا أَ ْولِ َياؤُ ُه ُم‬ ‫هّٰللَا ُ َولِيُّ الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا ي ُْخ ِر ُج ُه ْم م َِّن ُّ‬
‫الظلُ ٰم ِ‬
‫ول ِئ َ َ‬ ‫ت أُ ٰ‬ ‫ت ي ُْخ ِرج ُْو َن ُه ْم م َِّن ال ُّن ْو ِر إِ َلى ُّ‬
‫الظلُ ٰم ۗ ِ‬ ‫َّ‬
‫ك أصْ ٰحبُ ال َّن ۚ ِ‬
‫ار ُه ْم ِف ْي َها‬ ‫الطا ُغ ْو ُ‬
‫ٰخلِ ُد ْو َن‬
‫)‪QS Al-Insyirah/ 94 (8‬‬
‫َوا ِٰلى َرب َ‬
‫ِّك َفارْ َغبْ‬
‫)‪QS Al An’am/ 6 (162‬‬
‫قُ ْل إِ َّن ِنيْ َه ٰد ِنيْ َربِّي إِ ٰلى صِ َراطٍ مُّسْ َت ِقي ٍْم‪ِ ۚ.‬د ْي ًنا ِق َيمًا ِّملَّ َة إِب َْرا ِه ْي َم َح ِن ْي ًف ۚا َو َما‬
‫ان م َِن ْال ُم ْش ِر ِكي َْن‬ ‫َك َ‬
‫)‪QS An Nahl/ 16 (36‬‬
‫ت َف ِم ْن ُه ْم مَّنْ‬ ‫َو َل َق ْد َب َع ْث َنا ِفيْ ُك ِّل أ ُ َّم ٍة رَّ س ُْواًل أَ ِن اعْ ُب ُدوا هّٰللا َ َواجْ َت ِنبُوا َّ‬
‫الطا ُغ ْو ۚ َ‬
‫ۗ‬ ‫َه َدى هّٰللا ُ َو ِم ْن ُه ْم مَّنْ َح َّق ْ‬
‫ظر ُْوا َكي َ‬
‫ْف‬ ‫ض َفا ْن ُ‬ ‫ت َع َل ْي ِه الض َّٰل َل ُة َفسِ ْير ُْوا فِى اأْل َرْ ِ‬
‫ان َعا ِق َب ُة ْال ُم َك ِّذ ِبي َْن‬
‫َك َ‬

Anda mungkin juga menyukai