NPM : 2120305057 Rombel : 2.01 Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Ketuhanan Tuhan adalah tokoh sentral dalam agama. Kepercayan kepada Tuhan merupakan sesuatu yang pokok dalam agama. Manusia, dalam sepanjang sejarah, telah mengajukan rasa ketersandaran terhadap sesuatu di luar jangkauannya dalam kehidupan sehari-hari. Rasa tersandar itu nampak dalam berbagai ekspresi, setaraf dengan perkembangan tingkat intelektualitas dan tuntutan kultural. Akibatnya, muncul berbagai faham. ketuhanan. Aslam Hadi (1986: 33), mengutip pendapat Edward, B. Taylor tentang faham ketuhanan, memaparkan bahwa faham atau bahkan keyakinan ketuhanan pada masyarakat manusia mengalami evolusi. Evolusi itu dimulai dari animisme hingga ke monoteisme. Harun Nasution (1973: 23) secara lebih komplit mengilustrasikan perkembangan faham ketuhanan. Perkembangan itu dimulai dari faham dinamisme hingga faham ketuhanan agnostisisme. Animisme berkembang menjadi politeisme, yakni ketika dari sekian banyak roh ada beberapa yang dianggap unggul, mempunyai karakter tertentu dan mempunyai pengaruh besar terhadap hidup manusia, sehingga secara rutin dilakukan kebaktian terhadap roh-roh itu. Roh-roh yang dianggap memiliki karakter tertentu dan diberi kebaktian secara rutin itu telah meningkat menjadi dewa, dengan demikian terdapat banyak dewa. Politeisme selanjutnya berkembang menjadi oligateisme, yakni ketika dari sekian dewa yang ada, beberapa dewa dianggap memiliki kelebihan dan diunggulkan. Oligateisme kemudian berkembang menjadi henoteisme, yakni ketika tiap-tiap kelompok masyarakat hanya mengakui satu dewa saja. Klimaks perkembangannya adalah faham monoteisme, yakni ketika diakui hanya ada satu Tuhan untuk semesta kenyataan. Monoteisme kemudian berkembang lebih variatif. Monoteisme dapat berbentuk deisme atau teisme. Deisme adalah faham yang pada prinsipnya meyakini Tuhan yang tunggal itu transenden, setelah penciptaan alam Tuhan tidak terlibat lagi dengan ciptaannya. Deisme berseberangan dengan panteisme. Panteisme adalah faham yang meyakini bahwa Tuhan yang tunggal itu imanen, Tuhan menampakkan diri dalam berbagai fenomena alam. Jalan tengah antara deisme dan panteisme adalah teisme. Teisme adalah faham ketuhanan yang prinsipnya meyakini Tuhan yang tunggal itu transenden, mengatasi semesta kenyataan, tetapi dalam transendensinya itu Tuhan selalu terlibat dengan alam semesta ciptaannya. Deisme berkembang menjadi naturalisme. Faham naturalisme pada prinsipnya meyakini, bila Tuhan itu transenden, tidak terlibat dengan alam semesta setelah penciptaan, dan alam pun tidak berhajad pada Tuhan, maka alam ini berdiri sendiri, sempurna dan berproses menurut hukum- hukum alam itu sendiri. Naturalisme muncul ketika manusia semakin menguasai ilmu pengetahuan. Faham naturalisme kemudian meningkat menjadi ateisme. Faham ateisme pada prinsipnya yakin bahwa Tuhan tidak ada. Pemikiran Tokoh Iqbal secara spesifik membahas tentang Tuhan dalam salah satu bab buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Berikut ini beberapa pemikiran Iqbal tentang Tuhan. Pertama, Tuhan adalah Diri (Khuda). Hal ini dijelaskan oleh lqbal dengan mengutip surat Al-Ikhlas. Tuhan itu suatu kebulatan sebagai diri, tanpa ada yang menyamainya dan bersifatt tunggal, tidak mempunyai sekutu, mengatasi kecenderungan antagonistik dari reproduksi (Iqbal, 1951: 63). Tuhan itu suatu kebulatan sebagai diri, sebab Tuhan mengorganisasi segala sesuatu untuk tujuan yang konstruktif. Tuhan merespon do'a dan sembahyang manusia, ujian paling nyata dari diri adalah kemampuan merespon diri yang lain. Tuhan bukan semata-mata diri tetapi Dia adalah Din Mutlak. Watak mutlak Tuhan sebagai Diri didasarkan pada kenyataan bahwa Tuhan meliputi segalanya, tidak-ada sesuatupun di luar kuasanya (Syarif, 1994: 37). Kedua, Tuhan sebagai Diri Mutlak itu tidak berkesudahan. Tidak berkesudahan-Nya bukan hanya dalam artian ruang dan waktu. Ruang dan waktu adalah penafsiran akal manusia terhadap aktivitas kreatif Tuhan. Tidak berkesudahannya Tuhan hendaknya ditafsirkan sebagai tiada berakhirnya kegiatan kreatif Tuhan. Tuhan itu Maha-pencipta. Tuhan adalah Ego Mutlak yang hidup, dinamis, tiada yang dapat membatasi selain diri-Nya sendiri, Dia adalah Ego yang bebas dan kreatif (Iqbal, 1951: 64). Ketiga Tuhan adalah hakikat keseluruhan yang bersifat spiritual. Dia meliputi segalanya. Dia yang Mutlak merangkum diri-diri terbatas dalam wujudnya, tanpa menghapus eksistensi mereka (Maitre, 1985: 55). Argumen Tradisional Tentang Adanya Tuhan Eksistensi Tuhan merupakan tema yang paling pokok dalam perbincangan filsafati tentang ketuhanan. Terdapat empat argumen filsafati yang klasik tentang adanya Tuhan, yakni argumen ontologi, kosmologi, teleologi, dan moral. Argumen ontologi didasarkan pada logika semata. Argumen ini ingin membuktikan adanya Tuhan dengan cara menghubungkannya pada ide tentang Zat yang Maha Sempurna. Tuhan itu ada, oleh karena ia diberi definisi sedemikiann rupa sehingga mustahil untuk memikirkan bahwa ia tidak ada (Titus, 1984: 468). Beberapa filsuf yang mengajukan argumen ontologi diantaranya adalah Plato (428-348 SM), St. Agustinus (354-430 SM), St. Anselm (1033-1109) Rend Descartes (1 r 598-1650). Argumen kosmologi tentang adanya Tuhan didasarkan pada adanya hukum kausalitas yang berlaku di alam semesta. Argumen kosmologis sering disebut argumen sebab pertama (causa prima); Segala yang terjadi di alam mempunyai hubungan sebab-akibat. Rentetan sebab-akibat berakhir pada sebab yang pertama (causa prima). Beberapa filsuf yang menggagas argumen kosmologi diantaranya adalah Aristoteles (384-322 SM), Al-Kindi. (796-873), Al-Farabi (872-950), Ibn Sina (980-1037), Thomas Aquinas (1225-1274) Argumen teleologi tentang adanya Tuhan didasarkan pada watak alam semesta yang serba teratur dan terencana. Adanya penataan dan perencanaan alam semesta menunjukkan adanya Tuhan .yang punya kehendak. Bagian-bagian dari alam mempunyai fungsi sendiri-sendiri dan berhubungan satu dengan yang lain. Alam dalam keseluruhannya berevolusi dan beredar. Kondisi itu bukan suatu kebetulan, tetapi mempunyai tujuan tertentu. Alam, meski begitu, tidak dapat menentukan tujuannya sendiri, tetapi -ada Zat yang Maha Tinggi yang menentukan. Argumen moral tentang adanya Tuhan didasarkan pada adanya kesenjangan antara prinsip normatif moral dan fakta moral. Secara normatif setiap perbuatan baik mestilah berakibat baik dan begitu sebaliknya. Tetapi pada tataran fakta tidak demikian. Tauhid: Konsep Ketuhanan Islam 1. Makna tauhid a) Secara etimologis tauhid adalah kata dalam bahasa Arab. Dalam tata bahasa Arab kata tauhid itu termasuk dalam bab taf’il yang susunannya: (wakhada) `menyatukan', (yuwakhidu) 'akan tetap menyatukan', (taukhidan)' `sungguh disatukan' (Mansur, 1985: 1). b) Sedangkan secara terminologis, tauhid oleh para ulama ahli didefinisikan sebagai keyakinan akan keesaan Tuhan. Semua pemeluk agama monoteis mengakui dan sependapat tentang keesaan Tuhan. Pengakuan akan keesaan Tuhan dalam Islam dikenal dengan istilah tauhid. Dengan demikian tauhid adalah pengakuan akan keesaan Tuhan khas Islami yang tidak dimiliki agama lain. Pengakuan akan keesaan Tuhan dalam Islam atau tauhid itu terungkap. dalam kalimat "laa ilaaha illallaah " yang artinya "tidak ada Tuhan melainkan Allah". c) "Laa Ilaaha illalah" sebagai kalimat tauhid adalah termasuk kalimat negatif (manfi), lawan dari kalimat positif (mutsbat). "La" pada kalimat "laa Ilaaha illallaah" adalah laa an-naafiyah; li jinsi, yaitu huruf nafyi yang meniadakan segala macam jenis; dalam hal ini yang ditiadakan adalah segala macams jenis ilah. "Illa" pada kalimat "laa ilaaha illallaah" adalah huruf istisna atau pengecualian yang mengecualikan Allah dari segala jenis ilah yang ditiadakan. "Illa" berfungsi mempositifkan (itsbat) kalimat negatif/ manfi. Dalam tatabahasa Arab itsbat sesudah manfi mempunyai maksud membatasi dan menguatkan. Dengan demikian kalimat tauhid "laa ilaaha illallaah " memuat pengertian tiada Tuhan yang benar-benar berhak disebut Tuhan selain Allah SWT (Ilyas, 1989-34). d) Ikrar lafadz laa ilaaha illallaah dapat diuraikan dalam bebrapa ikrar berikut; e) Laa Khaaliqa illallah " yang berarti tidak ada pencipta kecuali Allah. Tentang ini dapat dilihat dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah (2) ayat 21 dan 221, yang artinya : "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizqi untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,padahal kamu mengetahui" (Departemen Agama RI, 1985: 11). f) "Laa 'Raaziqa il1allaah yang berarti tidak ada pemberi rizqi selain Allah. Tentang ikrar ini dapat dilihat dalam Al-Qur'an surat Al-Faathir (35) ayat 32, yang artinya "Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizqi kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Allah; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?" (Departemen Agarna RI, 1985: 695). g) "Laa Mudabbira illallaah" yang berarti - tidak ada pemelihara atau penjaga atau pengatur selain Allah. Tentang ikrar ini dapat dilihat dalam. A1-Qur'an surat Yunus (10) ayat 33, yang artinya : "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan: Tiada seorang pun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada keizinan-Nya. (Dzat) yang demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah. Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?" (Departemen Agama RI, 1985: 305). h) "Laa hakima illaaah”; tidak ada penentu hukum /aturan tentang segala sesuatu selain Allah, tercantum di dalam surat Al-An’am ayat 57: “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik i) "Laa waliyya illaah; tidak ada pelindung selain Allah, tercantum dala Surat Al Baqarah ayat 2; Allah pelindung orang-orang yang beriman , Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) j) "Laa Ghayata illaaah”; tidak ada tumpuan harapan dan segala amalan ditujukan selain Allah, tercantum di dalam surat Al-Insyirah ayat 94: “dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamju berharap” k) "Laa ma’buda illaah; tidak ada yang pantas disembah selain Allah, tercantum dala Surat Al-An’am ayat 36 2. Tauhid dan Sifat-sifat Allah Allah itu bersifat dengan sifat-sifat yang sempurna, dan mustahil bersifat sebaliknya. Para ulama kemudian menetapkan apa yang disebut (dalam istilah Jawa, red) Aqaid Seketadalah akidah tentang sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah; dan bagi para Nabi). Konsep sifat wajib, mustahil, dan jaiz berangkat dari kenyataan, bahwa untuk membuktikan eksistensi mayoritas sifat tersebut meskipun terdapat dalil naqli berupa Al-Qur’an dan hadits yang merupakan sumber akidah, tetap membutuhkan penalaran akal sehat, yang dalam konteks ini dikenal hukum 'aqli yang ada tiga, yaitu wajib, mustahil, dan jaiz 'aqli. Terlebih bagi orang yang sama sekali belum percaya terhadap eksistensi Allah sebagai Tuhan maupun eksistensi para Rasul. Bagaimana mungkin orang bisa menyakini kebenaran Al-Qur’an dan hadits sebagai dalil eksistensi Allah, sementara ia bahkan belum meyakini eksistensi Allah sebagai Tuhan dan para Rasul-Nya? Tentu ia tidak menerima Al-Qur’an dan hadits sebagai dalil pembuktiannya. Adapun maksud istilah wajib 'aqli adalah segala hal yang menurut akal pasti adanya atau tidak dapat diterima ketiadaannya; maksud mustahil 'aqli adalah segala hal yang menurut akal pasti tidak ada atau tidak diterima adanya; sedangkan jaiz 'aqli adalah segala hal yang menurut akal bisa saja ada maupun tidak, atau diterima ada maupun ketiadaannya. Sifat gerak dan diam bagi makhluk dapat dijadikan permisalan dalam hal ini. Ilustrasi wajib, mustahil, dan jaiz 'aqli secara berurutan adalah: (1) akal pasti mengharuskan salah satu dari diam dan bergerak terjadi pada makhluk, (2) akal tidak akan membenarkan keduanya secara bersamaan tidak terjadi padanya; dan (3) akal menerima ada dan ketiadaaan salah satunya dari makhluk. Demikian antara lain dijelaskan Syekh Muhammad as-Sanusi, dalam Syarh Umm al-Barahain. 3. Klasifikasi Sifat Wajib 20 Sifat-sifat wajib bagi Allah yang terdiri atas 20 sifat itu dikelompokkan menjadi 4 sebagai berikut: 1.Sifat Nafsiyah, yaitu sifat yang berhubungan dengan Dzat Allah. Sifat nafsiyah ini ada satu, yaitu wujûd. 2. Sifat Salbiyah, yaitu sifat yang meniadakan adanya sifat sebaliknya, yakni sifat-sifat yang tidak sesuai, atau sifat yang tidak layak dengan kesempurnaan Dzat-Nya. Sifat Salbiyah ini ada lima, yaitu: qidâm, baqâ’, mukhâlafatu lil hawâditsi, qiyâmuhu binafsihi, dan wahdâniyat. 3.Sifat Ma’ani, yaitu sifat- sifat abstrak yang wajib ada pada Allah. Yang termasuk sifat ma’ani ada tujuh yaitu: qudrat, irâdat, ‘ilmu, hayât, sama', bashar, kalam. 4.Sifat Ma’nawiyah, adalah kelaziman dari sifat ma’ani. Sifat ma’nawiyah tidak dapat berdiri sendiri, sebab setiap ada sifat ma’ani tentu ada sifat ma’nawiyah. Bila sifat ma'ani telah didefinisikan sebagai sifat yang ada pada sesuatu yang disifati yang otomatis menetapkan suatu hukum padanya, maka sifat ma'nawiyah merupakan hukum tersebut. Artinya, sifat ma'nawiyah merupakan kondisi yang selalu menetapi sifat ma'ani. Sifat 'ilm misalnya, pasti dzat yang bersifat dengannya mempunyai kondisi berupa kaunuhu 'âliman (keberadannya sebagi Dzat yang berilmu). Dengan demikian itu, sifat ma'nawiyyah juga ada tujuh sebagaimana sifat ma'ani. Dalam ranah keimanan terhadap Allah secara umum setiap mukallaf wajib meyakini sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi-Nya. Sehingga ia harus: 1. Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah pasti bersifat dengan segala kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya. 2. Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah mustahil bersifat dengan segala sifat kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya. 3. Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah boleh saja melakukan atau meninggalkan segala hal yang bersifat jaiz(mumkin), seperti menghidupkan manusia dan membinasakannya. 4. Inilah akidah yang harus diyakini secara umum. Selain itu, setiap mukallaf wajib meyakini secara terperinci sifat wajib 20 yang menjadi sifat-sifat pokok kesempurnaan (shifat asâsiyyah kamâliyyah) Allah sebagai Tuhan, 20 sifat mustahil, dan satu sifat Jaiz bagi-Nya. Namun hal ini bukan berarti membatasi sifat Allah sebagaimana disalahpahami sebagian orang, tetapi karena sifat-sifat ini yang sering diperdebatkan di sepanjang sejarah umat Islam, maka dengan menetapkannya menjadi jelas bahwa Allah bersifat dengan segala kesempurnaan dan tersucikan dari segala kekurangan. sifat wajib 20 itu merupakan sifat-sifat pokok kesempurnaan Allah yang tidak terbatas jumlahnya,yang tidak mampu diketahui oleh manusia secara menyeluruh. 4. Tauhid Esensi Islam a) Tauhid adalah pesan yang sama yang diterima Nabi Adam AS ketika turun ke bumi. Pesan itu juga diterima Nabi Nuh AS, Isa AS, Ibrahim AS hingga nabi terakhir Muhammad SAW. b) Tauhid (Keesan Tuhan) adalah dasar terbesar dari keyakinan Islam. Bahkan, seseorang akan dianggap Muslim apabila meyakini tidak ada Tuhan selain Allah dan mengakui Nabi Muhammad SAW adalah rasul utusan Allah SWT. c) Ketika Nabi Muhammad SAW ditanyai umatnya tentang Allah SWT, maka Allah SWT menjawabnya dengan menurunkan surat Al-Ikhlas ayat 1-4: ''Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan; tidak pula ada seorang pun yang setara dengan- Nya.” d) Surat Al-Ikhlas ayat 1-4 menegaskan ketauhidan Allah SWT. Sebagai Pencipta, Allah SWT memiliki sifat yang berbeda dengan sesuatu yang diciptakannya. e) Jika tidak, Pencipta hanya bersifat sementara dan tidak bisa berkuasa atas seluruh ciptaan-nya. Untuk itu, Allah SWT bersifat abadi dan tidak bergantung pada apa pun. Eksistensi Allah SWT tidak ada habisnya. 5.Tauhid Fitrah Manusia a) Menyembah Allah adalah fitrah bawaan seluruh manusia. Allah berfirman, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." [QS [30]: 30]. Seluruh Nabi dan Rasul dan Kitab-Kitab yang diturunkan, semuanya menyeru pada fitrah manusia, dahulu manusia bersatu di atasnya. "Sesungguhnya ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku." (QS al-Anbiya: 92). b) Termaktub di dalam Alquran informasi tentang sejarah agama umat manusia, sekaligus meluruskan anggapan bahwa agama purba yang dianut manusia dahulu kala adalah politeisme, animisme, atau dinamisme. Allah mengabarkan, seluruh umat manusia pada awalnya berada di atas akidah yang lurus ini. "Manusia dahulunya hanyalah satu umat." (QS Yunus: 19). Ibnu Katsir terkait ayat ini berkata bahwa kemusyrikan adalah hal yang baru muncul belakangan (Tafsir Ibnu Katsir). Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, "Antara Adam dan Nuh terdapat jarak 10 abad, semuanya Islam [tauhid]." (Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsir, 29/99]. c) Seorang peneliti sejarah agama dan misionaris, Don Richardson, menulis dalam bukunya The Eternity in Their Hearts bahwa 90 persen agama tradisional dunia adalah monoteisme, tetapi Allah telah menegaskan bahwa 100 persen seluruh agama adalah tauhid. Setelah banjir besar, ketiga putra Nabi Nuh yang beriman sebagaimana bapaknya, yaitu Yafith, Sam, dan Ham berpencar dan melahirkan bangsa-bangsa. d) Yafith adalah nenek moyang bangsa Eropa hingga Turki, Sedangkan Sam melahirkan bangsa Ibrani, Persia, Yaman, dan India. Adapun Ham adalah bapak dari bangsa Mesir, Hijaz, dan Afrika. (Sami bin Abdullah Al Maghluts, Atlas Siratul Anbiya' war Rusul). e) Tauhid inilah dakwah utama dan pertama seluruh Nabi dan Rasul sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Allah berfirman, "Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat: 'Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut'." (QS an-Nahl: 36).