Anda di halaman 1dari 21

KONSEP KETUHANAN

DALAM ISLAM
Pertemuan ke-2.
Sejarah Pemikiran Manusia Tentang
Ketuhanan

 Tuhan adalah tokoh sentral dalam agama. Kepercayan kepada Tuhan merupakan
sesuatu yang pokok dalam agama.
 Manusia, dalam sepanjang sejarah, telah mengajukan rasa ketersandaran terhadap
sesuatu di luar jangkauannya dalam kehidupan sehari-hari. Rasa tersandar itu
nampak dalam berbagai ekspresi, setaraf dengan perkembangan tingkat
intelektualitas dan tuntutan kultural. Akibatnya, muncul berbagai faham.
ketuhanan.
 Aslam Hadi (1986: 33), mengutip pendapat Edward, B. Taylor tentang faham
ketuhanan, memaparkan bahwa faham atau bahkan keyakinan ketuhanan pada
masyarakat manusia mengalami evolusi. Evolusi itu dimulai dari animisme hingga
ke monoteisme.
 Harun Nasution (1973: 23) secara lebih komplit mengilustrasikan perkembangan
faham ketuhanan. Perkembangan itu dimulai dari faham dinamisme hingga faham
ketuhanan agnostisisme.
 Animisme berkembang menjadi politeisme, yakni ketika dari sekian banyak
roh ada beberapa yang dianggap unggul, mempunyai karakter tertentu dan
mempunyai pengaruh besar terhadap hidup manusia, sehingga secara rutin
dilakukan kebaktian terhadap roh-roh itu. Roh-roh yang dianggap memiliki
karakter tertentu dan diberi kebaktian secara rutin itu telah meningkat
menjadi dewa, dengan demikian terdapat banyak dewa.
 Politeisme selanjutnya berkembang menjadi oligateisme, yakni ketika dari
sekian dewa yang ada, beberapa dewa dianggap memiliki kelebihan dan
diunggulkan.
 Oligateisme kemudian berkembang menjadi henoteisme, yakni ketika tiap--
tiap kelompok masyarakat hanya mengakui satu dewa saja. Klimaks
perkembangannya adalah faham monoteisme, yakni ketika diakui hanya ada
satu Tuhan untuk semesta kenyataan.
 Monoteisme kemudian berkembang lebih variatif. Monoteisme dapat
berbentuk deisme atau teisme. Deisme adalah faham yang pada prinsipnya
meyakini Tuhan yang tunggal itu transenden, setelah penciptaan alam Tuhan
tidak terlibat lagi dengan ciptaannya. Deisme berseberangan dengan
panteisme.
 Panteisme adalah faham yang meyakini bahwa Tuhan yang tunggal itu
imanen, Tuhan menampakkan diri dalam berbagai fenomena alam. Jalan
tengah antara deisme dan panteisme adalah teisme.
 Teisme adalah faham ketuhanan yang prinsipnya meyakini Tuhan yang tunggal
itu transenden, mengatasi semesta kenyataan, tetapi dalam transendensinya
itu Tuhan selalu terlibat dengan alam semesta ciptaannya.
 Deisme berkerbang menjadi naturalisme. Faham naturalisme pada prinsipnya
meyakini, bila Tuhan itu transenden, tidak terlibat dengan alam semesta
setelah penciptaan, dan alam pun tidak berhajad pada Tuhan, maka alam ini
berdiri sendiri, sempurna dan berproses menurut hukum-hukum alam itu
sendiri.
 Naturalisme muncul ketika manusia semakin menguasai ilmu pengetahuan.
Faham naturalisme kemudian meningkat menjadi ateisme. Faham ateisme
pada prinsipnya yakin bahwa Tuhan tidak ada.
Pemikiran Tokoh
 Argumen kosmologi tentang adanya Tuhan didasarkan pada adanya hukum kausalitas yang
berlaku di alam semesta. Argumen kosmologis sering disebut argumen sebab pertama (causa
prima); Segala yang terjadi di alam mempunyai hubungan sebab-akibat. Rentetan sebab-
akibat berakhir pada sebab yang pertama (causa prima). Beberapa filsuf yang menggagas
argumen kosmologi diantaranya adalah Aristoteles (384-322 SM), Al-Kindi. (796-873), Al-Farabi
(872-950), Ibn Sina (980-1037), Thomas Aquinas (1225-1274)
 Iqbal secara spesifik membahas tentang Tuhan dalam salah satu bab buku The Reconstruction
of Religious Thought in Islam. Berikut ini beberapa pemikiran Iqbal tentang Tuhan. Pertama,
Tuhan adalah Diri (Khuda). Hal ini dijelaskan oleh lqbal dengan mengutip surat Al-Ikhlas.
Tuhan itu suatu kebulatan sebagai diri, tanpa ada yang menyamainya dan bersifatt tunggal,
tidak mempunyai sekutu, mengatasi kecenderungan antagonistik dari reproduksi (Iqbal, 1951:
63).
 Tuhan itu suatu kebulatan sebagai diri, sebab Tuhan mengorganisasi segala sesuatu untuk
tujuan yang konstruktif. Tuhan merespon do'a dan sembahyang manusia, ujian paling nyata
dari diri adalah kemampuan merespon diri yang lain. Tuhan bukan semata-mata diri tetapi
Dia adalah Din Mutlak. Watak mutlak Tuhan sebagai Diri didasarkan pada kenyataan bahwa
Tuhan meliputi segalanya, tidak-ada sesuatupun di luar kuasanya (Syarif, 1994: 37).
 Kedua, Tuhan sebagai Diri Mutlak itu tidak berkesudahan. Tidak
berkesudahan-Nya bukan hanya dalam artian ruang dan waktu. Ruang dan
waktu adalah penafsiran akal manusia terhadap aktivitas kreatif Tuhan. Tidak
berkesudahannya Tuhan hendaknya ditafsirkan sebagai tiada berakhirnya
kegiatan kreatif Tuhan. Tuhan itu Maha-pencipta. Tuhan adalah Ego Mutlak
yang hidup, dinamis, tiada yang dapat membatasi selain diri-Nya sendiri, Dia
adalah Ego yang bebas dan kreatif (Iqbal, 1951: 64).
 Ketiga Tuhan adalah akikat keseluruhan yang bersifat spiritual. Dia meliputi
segalanya. Dia yang Mutlak merangkum diri-diri terbatas dalam wujudnya,
tanpa menghapus eksistensi mereka (Maitre, 1985: 55).
Argumen tradisional tentang adanya Tuhan

 Eksistensi Tuhan merupakan tema yang paling pokok dalam perbincangan


filsafati tentang ketuhanan. Terdapat empat argumen filsafati yang klasik
tentang adanya Tuhan, yakni argumen ontologi, kosmologi, teleblogi, dan
moral. Argumen ontologi didasarkan pada logika semata. Argumen ini ingin
membuktikan adanya Tuhan dengan cara menghubungkannya pada ide tentang
Zat yang Maha Sempurna. Tuhan itu ada, oleh karena ia diberi definisi
sedemikiann rupa sehingga mustahil untuk memikirkan bahwa ia tidak ada
(Titus, 1984: 468). Beberapa filsuf yang mengajukan argumen ontologi
diantaranya adalah Plato (428-348 SM), St. Agustinus (354-430 SM), St. Anselm
(1033-1109) Rend Descartes (1 r 598-1650).
 Argumen teleologi tentang adanya Tuhan didasarkan pada watak alam
semesta yang serba teratur dan terencana. Adanya penataan dan
perencanaan alam semesta menunjukkan adanya Tuhan .yang punya
kehendak. Bagian-bagian dari alam mempunyai fungsi sendiri-sendiri dan
berhubungan satu dengan yang lain. Alam dalam keseluruhannya berevolusi
dan beredar. Kondisi itu bukan suatu kebetulan, tetapi mempunyai tujuan
tertentu. Alam, meski begitu, tidak dapat menentukan tujuannya sendiri,
tetapi -ada Zat yang Maha Tinggi yang menentukan.
Tauhid: Konsep Ketuhanan Islam

 Makna tauhid
 Secara etimologis tauhid adalah kata dalam bahasa Arab. Dalam tata bahasa
Arab kata tauhid itu termasuk dalam bab taf’il yang susunannya: (wakhada)
`menyatukan', (yuwakhid) 'akan tetap menyatukan', (taukhidan)' `sungguh
disatukan' (Mansur, 1985: 1).
 Sedangkan secara terminologis, tauhid oleh para ulama ahli didefinisikan
sebagai keyakinan akan keesaan Tuhan. Semua pemeluk agama monoteis
mengakui dan sependapat tentang keesaan Tuhan. Pengakuan akan keesaap
Tuhan dalam Islam dikenal dengan istilah tauhid. Dengan demikian tauhid
adalah pengakuan akan keesaan Tuhan khas Islami yang tidak dimiliki agama
lain. Pengakuan akan keesaan Tuhan dalam Islam atau tauhid itu terungkap.
dalam kalimat "laa ilaaha illallaah " yang artinya "tidak ada Tuhan melainkan
Allah".
 "Laa Ilaaha illalah" sebagai kalimat tauhid adalah termasuk kalimat negatif
(manfi), lawan dari kalimat positif (mutsbat). "La" pada kalimat "laa Ilaaha
illallaah" adalah laa an-naafiyah; li jinsi, yaitu huruf nafyi yang meniadakan
segala macam jenis; dalam hal ini yang ditiadakan adalah segala macams
jenis ilah. "Illa" pada kalimat "laa ilaaha illallaah" adalah huruf istisna atau
pengecualian yang mengecualikan Allah dari segala jenis ilah yang
ditiadakan. "Illa" berfungsi mempositifkan (itsbat) kalimat negatif/ manfi.
Dalam tatabahasa Arab itsbat sesudah manfi mempunyai maksud membatasi
dan menguatkan. Dengan demikian kalimat tauhid "laa ilaaha illallaah "
memuat pengertian tiada Tuhan yang benar-benar berhak disebut Tuhan selain
Allah SWT (Ilyas, 1989-34).
 Laa Khaaliqa illallah " yang berarti tidak ada pencipta kecuali Allah. Tentang
ini dapat dilihat dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah (2) ayat 21 dan 221, yang
artinya : "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan)
dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rizqi untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-
sekutu bagi Allah,padahal kamu mengetahui" (Departemen Agama RI, 1985:
11).
 "Laa 'Raaziqi il1allaah yang berarti tidak ada pemberi rizqi selain Allah. Tentang
ikrar ini dapat dilihat dalam Al-Qur'an surat Al-Faathir (35) ayat 32, yang artinya
"Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah sesuatu pencipta
selain Allah yang dapat memberikan rizqi kepadamu dari langit dan bumi? Tidak
ada Tuhan selain Allah; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?"
(Departemen Agarna RI, 1985: 695).
 "Laa Mudabbira illallaah" yang berarti - tidak ada pemelihara atau penjaga atau
pengatur selain Allah. Tentang ikrar ini dapat dilihat dalam. A1-Qur'an surat Yunus
(10) ayat 33, yang artinya : "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di
atas 'Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan: Tiada seorang pun yang akan
memberi syafa'at kecuali sesudah ada keizinan-Nya. (Dzat) yang demikian itu
adalah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah. Dia. Maka apakah kamu tidak
mengambil pelajaran?" (Departemen Agama RI, 1985: 305).
Sifat Wajib bagi Allah

 Adapun maksud istilah wajib 'aqli adalah segala hal yang menurut akal pasti
adanya atau tidak dapat diterima ketiadaannya; maksud mustahil 'aqli adalah
segala hal yang menurut akal pasti tidak ada atau tidak diterima adanya;
sedangkan jaiz 'aqli adalah segala hal yang menurut akal bisa saja ada maupun
tidak, atau diterima ada maupun ketiadaannya. Sifat gerak dan diam bagi makhluk
dapat dijadikan permisalan dalam hal ini.
 Ilustrasi wajib, mustahil, dan jaiz 'aqli secara berurutan adalah:
 (1) akal pasti mengharuskan salah satu dari diam dan bergerak terjadi pada
makhluk, (2) akal tidak akan membenarkan keduanya secara bersamaan tidak
terjadi padanya; dan (3) akal menerima ada dan ketiadaaan salah satunya dari
makhluk. Demikian antara lain dijelaskan Syekh Muhammad as-Sanusi, dalam Syarh
Umm al-Barahain.

 1.Sifat Nafsiyah, yaitu sifat yang berhubungan dengan Dzat Allah. Sifat nafsiyah ini ada satu,
yaitu wujûd
 2.Sifat Salbiyah, yaitu sifat yang meniadakan adanya sifat sebaliknya, yakni sifat-sifat yang
tidak sesuai, atau sifat yang tidak layak dengan kesempurnaan Dzat-Nya. Sifat Salbiyah ini
ada lima, yaitu: qidâm, baqâ’, mukhâlafatu lil hawâditsi, qiyâmuhu binafsihi, dan
wahdâniyat.
 3.Sifat Ma’ani, yaitu sifat- sifat abstrak yang wajib ada pada Allah. Yang termasuk sifat
ma’ani ada tujuh yaitu: qudrat, irâdat, ‘ilmu, hayât, sama', bashar, kalam.
 4.Sifat Ma’nawiyah, adalah kelaziman dari sifat ma’ani. Sifat ma’nawiyah tidak dapat berdiri
sendiri, sebab setiap ada sifat ma’ani tentu ada sifat ma’nawiyah. Bila sifat ma'ani telah
didefinisikan sebagai sifat yang ada pada sesuatu yang disifati yang otomatis menetapkan
suatu hukum padanya, maka sifat ma'nawiyah merupakan hukum tersebut. Artinya, sifat
ma'nawiyah merupakan kondisi yang selalu menetapi sifat ma'ani. Sifat 'ilm misalnya, pasti
dzat yang bersifat dengannya mempunyai kondisi berupa kaunuhu 'âliman (keberadannya
sebagi Dzat yang berilmu). Dengan demikian itu, sifat ma'nawiyyah juga ada tujuh
sebagaimana sifat ma'ani
 Dalam al-‘Aqidah as-Sughra yang terkenal dengan judul Umm al-Barahain
Imam as-Sanusi mengatakan:
 .‫ص َفة‬ َ ‫ش ُر‬
ِ ‫ون‬ ِ ‫ل َو َع َّز‬
ْ ‫ع‬ َ ‫م ْو ََلنَا‬
َّ ‫ج‬ ُ ‫ج‬
َ ِ‫ب ل‬ ِ َ ‫ما ي‬ ِ ‫َف‬
َّ ‫م‬

 “Maka di antara sifat wajib bagi Allah Tuhan Kita-Yang Maha Agung dan Maha
Perkasa-adalah 20 sifat.
 Dalam ranah keimanan terhadap Allah secara umum setiap mukallaf wajib meyakini sifat
wajib, mustahil, dan jaiz bagi-Nya. Sehingga ia harus:
 1. Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah pasti bersifat dengan segala
kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya
 2. Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah mustahil bersifat dengan segala sifat
kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya
 3. Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah boleh saja melakukan atau
meninggalkan segala hal yang bersifat jaiz(mumkin), seperti menghidupkan manusia dan
membinasakannya
Inilah akidah yang harus diyakini secara umum. Selain itu, setiap mukallaf wajib meyakini
secara terperinci sifat wajib 20 yang menjadi sifat-sifat pokok kesempurnaan (shifat
asâsiyyah kamâliyyah) Allah sebagai Tuhan, 20 sifat mustahil, dan satu sifat Jaiz bagi-Nya.
Namun hal ini bukan berarti membatasi sifat Allah sebagaimana disalahpahami sebagian
orang, tetapi karena sifat-sifat ini yang sering diperdebatkan di sepanjang sejarah umat
Islam, maka dengan menetapkannya menjadi jelas bahwa Allah bersifat dengan segala
kesempurnaan dan tersucikan dari segala kekurangan.
Tauhid

 1). Tauhid Dzat


 Tauhid Dzat adalah mengitikadkan bahwa dzat Allah itu Esa, tidak berbilang. Dzat
Allah hanya dimiliki oleh Allah, yang selain-Nya tidak ada yang memilikinya.
Manusia dengan keterbatasan tidak mengetahui wujud Dzat Allah.
 2). Tauhid Sifat
 Tauhid Sifat adalah mengitikadkan bahwa tidak ada sesuatu yang menyamai sifat
Allah, dan hanya Allah yang memiliki sifat kesempurnaan. Allah berfirman “Tidak
ada sesuatu yang seperti Dia” (Q.S. Asy-Syura/42: 11).
 3). Tauhid Wujud
 Tauhid Wujud adalah mengitikadkan bahwa hanya Allah yang wajib ada. Adanya
Allah tidak memerlukan kepada yang mengadakan. Allah bersifat abadi, artinya
dialah yang pertama dan yang akhir (Q.S. Al-Hadid/57: 3).
 ).
 4). Tauhid Af’al
 Tauhid Af’al adalah mengitikadkan bahwa Allah sendiri yang menvipta dan memlihara alam semesta (Q.S.
Al-Furqan/25: 2). Atas kehendaknya pula sesuatu itu hidup atau mati, kemuliaan dan kehinaan, serta
kelapangan dan kesempitan (Q.S. Al-Imran/3: 26-27). Allah sendiri yang menetapkan apa yang akan terjadi
dan apa yang tidak akan terjadi (Q.S. At Taubah/9: 51).

 5). Tauhid Ibadah


 Tauhid Ibadah adalah mengitikadkan bahwa hanya Allah saja yang berhak dipuja dan dipuji (Q.S. Al-
Fatihah/1: 2). Hanya Allah yang berhak untuk mendapatkan ibadah dari hamba-Nya (Q.S. Al-Mu’minun/23:
32).
 6). Tauhid Qashdi
 Tauhid Qashdi adalah mengitikadkan bahwa hanya kepada Allah semua amal perbuatan ditunjukkan. Setiap
amal harus dilakukan secara langsung tanpa perantara dan tujuan hanya untuk memperoleh keridoan-Nya
(Q.S. Al-Fatihah/1: 5).

 7). Tauhid Tasyr’i


 Tauhid Tasyr’i adalah mengitikadkan bahwa hanya Allah pembuat peraturan (hukum) yang paling sempurna
bagi makhlulknya. Allah sumber dari segala sumber hukum (Q.S. An-Nisa/4: 59, Al-Maidah/5: 44 dan 47
Tauhid Esensi Islam

 Telah disinggung di dalam uraian di muka bahwa tauhid adalah keyakinan


akan keesaan Tuhan yang khas Islami. Tauhid adalah sendi pokok gerak Islam,
merupaan perintah Allah yang tertinggi dan terpenting. Ajaran dan perintah
tauhid dapat dijumpai dalam Al-Qur'an surat Al-Ikhlas (112) ayat 1 sampai 4,
yang artinya : "Katakanlah: Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah 'Tuhan
yang bergantung kepadanya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara denganNya"
(Departemen Agama RI, 1985: 1118).
 Tentang pentingnya tauhid dibuktikan dengan janji Tuhan dalam surat An-Nisa'
(4) ayat 48, yang artinya "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, tetapi Dia mengampuni dosa-dosa selain itu terhadap orang-orang
yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang mempersekutukan Allah,
sesungguhnya dia telah berbuat dosa yang sangat besar" (Departemen Agama
RI,-1985: 126).
Kesimpulan

 Islam sebagai agama bukan hanya mengajarkan ritual belaka. Minimal ada tiga
aspek ajaran Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu :
aqidah, syari'ah (yang meliputi ibadah dan mu'amalah) dan akhlak.
 Islam memberikan pedoman dalam aspek aqidah bersifat absolut, tidak
memungkinkan terjadi perubahan, penambahan dan pengurangan sedikit pun.
 Aspek ibadah khusus diajarkan amat jelas, tidak dapat ditambah atau
dikurangi.
 Aspek mu'amalah (kemasyarakatan) hanya beberapa hal saja yang diajarkan
secara rinci dan absolut, selebihnya diajarkan secara garis besar, berupa
kaidah umum yang penerapannya memungkinkan mengalami perkembangan
dan variasi sesuai tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai
akhlak diajarkan secara absolut agar manusia memperoleh kepastian tentang
nilai baik dan buruk (Basyir, 1990: 4).

Anda mungkin juga menyukai