Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Problematika ketuhanan merupakan persoalaan metafisika yang paling
kompleks dan tua. Pada mulanya, orang memecahkannya secara wajar, yang
kemudian mulai diperdebatkan dan difilsafatkan. Problematika ini kemudian menjadi
objek kajian dari tokoh agama dan moral, dari ilmuan dan filosof.
Didalam ide ketuhanan manusia menemukan diri sendiri maupun penciptanya,
dalam ide ini kita bisa mengetahui sumber kebaikan dan kesempurnaan, sumber
eksistensi dan gerak karena Allah adalah sumber yang segala yang ada, sebab dari
segala-gala dan tujuan puncak.
Sementara itu dalam Islam, masalah ketuhanan juga menempati masalah dasar
utama keimanan dan keislaman. Keimanan terhadap tuhan menjadi standar keabsahan
seseorang dalam memeluk agama.

B.     Rumusan Masalah


1.      Makna bertuhan
2.      Mendeskripsikan aspek pembahasan tuhan
3.      Menjelaskan pandangan filsuf tentang tuhan
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Makna Bertuhan


Sudah menjadi fitrah manusia, manakala seseorang mendapati kesulitan dalam
menyelesaikan masalah-masalah kehidupannya, seseorang mengandaikan adanya
kekuatan lain diluar dirinya untuk membantu menyelesaikan problematika tersebut.
Ini artinya manusia secara naluriahnya membutuhkan yang lain yang dapat mengatasi
dan melampaui batas-batas kelamahan dan keterbatasan manusia. Dengan demikian
tuhan dihadirkan dalam kehidupan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan
manusia yang terbatas. Semakin banyak kesadaran akan kelemahan diri, maka
semakin seseorang butuh terhadap tuhan, semakin tinggi pula ketergantunganya
terhadap tuhan.1[1]
Secara keilmuan, Tuhan tak pernah dan tak mungkin menjadi objek kajian
ilmu, karena kajian ilmu selalu parsial, terukur, terbatas dan dapat diuji secara
berulang-ulang pada lapangan atau laboratorium percobaan keilmuan. Dengan
demikian, kehendak untuk membuktikan adanya Tuhan melalui pendekatan ilmu,
akan mengalami kegagalan, karena sudah sejak dari awal tidak benar secara
metodologis. Jika ilmu tidak bisa menghadirkan Tuhan dalam laboratoruium untuk
diujicobakan, bukan berarti Tuhan lantas tidak ada, karena yang terjadi adalah
kesalahan pada pendekatan metodologisnya. Oleh karena itu, dalam filsafat hakikat
Tuhan telah menjadi bahan perenungan yang sangat intens, sejak Yunani kuno
bahkan hingga sampai saat ini.2[2]
Pada umumnya, manusia mengambil keyakinan mereka dari orang
disekelillingnya. Ia mengimani apa yang mereka imani. Ada kelompok yang mau
menerima hanya apa yang bisa memuaskan akalnya, dan bisa menenangkan hatinya.
Mereka mengkaji secara bebas dan percaya berdasarkan kepastian.3[3]

1[1] Imam Khanafie Al-Jauharie, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2009), hlm, 37.

2[2] Prof. Dr. Musa Asy’arie, Filsafat Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm, 151 – 152.
Dalam proses kehidupan, bertuhan memiliki setidaknya tiga aspek makna
eksistensial yang hal ini sagat mempengaruhi pola keberagamaan, yaitu:
1.      Memiliki Tuhan (mode of heaving)
2.      Hidup bersama Tuhan (mode of being)
3.      Mengabdi kepada Tuhan (mode of serving).4[4]
Dalam setiap agama selalu diajarkan tentang Tuhan, sebagai suatu prinsip
dasar dari ajaran agama itu sendiri dan Tuhan dinyatakan adanya sebagai pencipta
semua yang ada ini. Semua agama prinsip dasarnya adalah keyakkinan terhadap
Tuhan. Persepsi tentang Tuhan yang dibentuk agama ini, akan sangat tergantung
bagaimana ajaran tentang Tuhan itu dikemas oleh suatu agama jika Tuhan diajarkan
sebagai yang maha kuasa maka dengn sendirinya manusia menempatkan dirinya yang
berlawanan yaitu yang maha lemah.5[5]
Pada masa sekarang, orang secara umum memandang sains dan filsafat
sebagai dua hal yang bertentangan dengan agama. Sangatlah tidak tepat untuk
menurunkan Tuhan ke tingkat kategori intelektual tersendiri dan memandang
keimanan berada pada yang terpisah dari persoalan kemanusiaan lainnya. Para filosof
tidak bermaksud menhapuskan agama, melainkan ingin menyucikannya dari apa yang
mereka pandang sebagai unsur-unsur primitif dan parokial.6[6]

B.  Aspek Pembahasan Tuhan

3[3] Dr. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm,
22.

4[4] Imam Khanafie Al-Jauharie,Op. Cit, hlm, 38-39.

5[5] Prof. Dr. Musa Asy’arie,Op. Cit, hlm, 165.

6[6] Karen Amstrong, SEJARAH TUHAN: KISAH PENCARIAN TUHAN YANG DILAKUKAN OLEH
ORANG-ORANG YAHUDI, KRISTEN DAN ISLAM SELAMA 4000 TAHUN,(Bandung: MIZAN,
2001), hlm, 234.
Dalam membahas masalah ketuhanan, setidaknya ada lima hal yang harus
dicakup. Kelimanya merupakan satu kesatuan integral, sehingga gambaran yang
mencakup kelimanya akan ketuhanan lebih dapat menggambarkan tentang Tuhan
yang lengkap, kelima cakupan tersebut adalah:
1)      Wujud
Percaya akan ada atau tiadanya Tuhan akan sangat mempengaruhi cara dan pola
kehidupan yang dijalani manusia. Dari abad ke abad, generasi ke generasi berusaha
keras mencari jawaban yang argumentatif dan meyakinkan akan keberadaan Tuhan.
Kuat atau tidaknya argumen tersebut tergantung pada bukti-bukti yang dikemukakan.
Beberapa argumen bukti adanya Tuhan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Dalil Naqli, yaitu argumen yang dikemukakan melalui ayat Al-Qur’an atau wahyu
Ilahi.
b.      Argumen Aqli, yaitu argumen yang dikemukakan lebih merupakan produk pemikiran
rasio akal manusia. Beberapa dalil akal tersebut antara lain adalah:
1.    Dalil Gerak
2.    Sebab Akibat
3.    Dalil Wahyu7[7]
c.       Dalil Empiris, merupakan bukti yang didapat dari hasil pengamatan inderawi
secara langsung terhadap fenomena alam sekitar manusia, termasuk manusia itu
sendiri. Diantara bukti tersebut adalah:
1.     Dalil Kosmologi
2.     Dalil Teologi8[8]
d.      Dalil Psikofisik, argumen yang berhubungan dengan keberadaan jiwa manusia
misteri jiwa atau ruh dapat mengantarkan kepada keberadaan Tuhan, melalui
penempaan spiritual, mampu melalui daya-daya imajinatif kreatifnya untuk

7[7] Imam Khanafie Al-Jauharie,Op. Cit, hlm, 45-46.

8[8] Abbas Mahmoud Al-‘Akkad, KETUHANAN Sepanjang Ajaran Agama-Agama Dan


Pemikiran Manusia, (Jakarta: N.V Bulan Bintang, 1981), hlm, 182.
menggapai realitas ilahiyah, atau melalui fenomena ini sebagaimana dialami oleh
para nabi dalam menerima wahyunya.9[9]
e.       Argumen Moral, argumen tentang nilai baik buruk yang ada dalam realitas
kehidupan nyata ini. Tuhan menjadi sumber kebaikan dan kasih sayang serta
disembah oleh orang dengan satu sembahan yang berisi cinta dan keimanan.10[10]

2)      Dzat Tuhan


Pembahan tentang dzat Allah merupakan hal yang pelik dan membutuhkan
pemikiran jernih dan mendalam. Penalaran secara umum dilarang membahas dzat
Tuhan. Dengan demikian larangan berpikir tentang dzat Tuhan tidak bersifat mutlak,
namun melihat keadaan pemikiran seseoarang. Adapun pemikiran filsafat tentang
dzat Tuhan adalah sebagai berikut:
a.       Ada yang menyatakan bahwa hakekat dzat Tuhan adalah akal yang bersifat murni
metafisik.
b.      Ada yang mengatakan bahwa dzat Tuhan adalah cahaya.

3)      Sifat
Dalam hal pensifatan Tuhan, ada dua aliran pemikiran yang perlu dikenal, yaitu
Aliran Antrophomorfisme dan Teophomorfisme. Yang pertama disebut sebagai
tasybih, yaiti menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia yang dapat
dikenali secara mudah oleh manusia. Yang kedua, tanzih, yaitu ketidak serupaan
sama sekali sifat Tuhan dengan sifat manapun makhluknya dan hanya Tuhan sendiri
yang tahu hakikat sifatnya. Tasybih merupakan sikap imanensi Tuhan, dan tanzih
sikap mentrandensikan Tuhan.

4)      Nama-Nama Tuhan


Nama adalah sebutan yang bersifat simbol, tertanda yang dinisbahkan kepada
suatu realitas. Nama-nama Tuhan adalah simbol yang digunakan untuk menunjuk
9[9] Imam Khanafie Al-Jauharie,Op. Cit, hlm, 47.

10[10] Abbas Mahmoud Al-‘Akkad, Op. Cit, hlm, 190-191.


kepada realitas Tuhan, yang mencakup wujud, dzat, dan sifatnNya. Oleh karena
itu,nama-nama Tuhan adalah kesatuan dari realitas Tuahn secara keseluruhan.

5)      Af’al, perbuatan Tuhan


Yaitu apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan Tuhan dalam kehidupan
semesta ini. Perbuatan Tuhan, juga tudak lepas dari maujud, dzat, nama, dan sifatnya.

C.  Pandangan Filosof Tentang Tuhan

  Menurut Para Filosof Muslim

1.      Al-Kindi
Al-kindi menyifati Allah dengan istilah kebenaran (al-Haqq) yang menjadi tujuan
pemikiran filsafat manusia. Maka satu yang benar (al-Wahid al-Haqq) adalah yang
pertama, sang pencipta, sang pemberi rizki, atas semua ciptaanya dan sebagainya.
“Tuhan adalah yang benar Ia tinggi dapat disifati hanya dengan sebutan-sebutan
negatif”. Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berkualitas, tak berhubungan juga Ia tak
disifati dengan ciri-ciri yang ada (Al-Ma’qulat).Ia tak berjenis, tak terbagi, dan tak
berkejadian. Ia abadi.
2.      Al-Farabi
Menurut Al-Farabi, Tuhan dapat diketahui dan tidak dapat diketahui. Tuhan itu
dhahir sekaligus batin.pengetahuan terbaik tentang Tuhan adalah memahami dia
adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran. Manusia tidak dapat
mengetahui Tuhan karena kapasitas intelektualnya terbatas. Sedangkan Tuhan adalah
substansi yang tidak terbatas.

3.      Ibnu Sina


Menurut Ibnu Sina, Tuhan identik dengan keberadaan-Nya yang mesti. Tuhan
unik dalam arti Dia adalah kemaujudan yang mesti, segala sesuatu selain Dia
bergantung kepada diri-Nya sendiri dan keberadaa-Nya bergantung kepada Tuhan.
Kemaujudan yang mesti itu jumlahnya harus satu. Walaupun di dalam kemaujudan
ini tidak boleh terdapat kelipatan sifat-sifat-Nya tetapi Tuhan memiliki esensi lain,
tak ada atribut lain kecuali Dia itu ada dan mesti ada.

4.      Ibnu Rusyd


Menurut Ibnu Rusyd pembuktian Tuhan tertumpu pada prinsip, pertama, semua
kemaujudan sesuai dengan kemaujudan manusia (dalil inayah) bahwa kesesuaian ini
dikarenakan tidak terjadi dengan sendirinya. Kedua, segala sesuatu diciptakan untuk
kepentingan manusia, bintang-gemintang bersinar di malam hari agar bisa menjadi
penuntun bagi manusia (dalil ikhtira’). Tindakan Tuhan bisa diringkas menjadi lima
tindakan utama yakni: pencipta, mengutus Nabi-nabi, menetapkan takbir,
membangkitkan kembali, dan mengadili. Hal ini membuktikan eksistensi sang
pencipta yang bijak.11[11]

  Menurut Para Filisof Barat

1.      Loyd Morgan


Menurut Loyd Morgan, perpindahan dari sederhana kepada susunan tidak cukup
untuk menafsirkan timbulnya hidup selama dalam susunan itu tidak ada sesuatu yang
baru. Ia juga mengatakan adanya ciri-ciri khas kejiwaan atau ciri-ciri khas pada
kehidupan pada benda sejak zaman dahulu. Penyusunan ini berturut-turut, dimana
ciri-ciri khas kejiwaan nampak sesudah tersimpan seblumnya dalam keadaan yunggal
dan sederhana, seperti piramid yang melebar pada bagian bawahnya dan meruncing
pada bagian atasnya, jadi benda adalah bagian dasar piramid dan akal adalah bagian
atas piramid dan kedunya saling melengkapi. Bagi Morgan, hukum susunan dan
pilihan tidaoleh perkembangan evolusik cukup untuk melepaskan dari Inayah Tuhan
pada akhirnya.

2.      Samuel Alexander

11[11] Imam Khanafie Al-Jauharie,Op. Cit, hlm, 51-55.


Alexander menerapkan hukum-hukumaliran evolusi pada Tuhan. Ia
mengumpulkan antara teori evolusi dengan aliran hegel. Menurutnya Tuhan adalah
tingkatan teladan (idealist) karenaya alam semesta bergerak untuk mengeluarkan Dia
dari lipatan-lipatan-Nya(persembunyian-Nya).

3.      Marshall Christian Simtus


Menurut Marshall, Tuhan iyu bertempat, dimana tanpa tempat tersebut hakekat
bagi alam semesta ini tidak terwujud. Yang menetapkan terbaik diadan menyertai
peningkatan darntara keseluruhan yang mungkin ketika ia menjadi peristiwa nyata,
yang mengeluarkan suatu peristiwa yang satu itu dari kumpulan peristiwa yang
banyak adalah Allah. Yang mengadakan perimbangan terhadapnya dan menyertai
peningkatannya dari suatu penyusunan yang sempurna kepada yang lebih sempurna
lagi yaitu Tuhan.akan tetapi Tuhan dalam wujud organisme yang besar itu hanya
menguasai perubahan dan perimbangan didalamnya menurut cara penguasaan otak
dari bangunan yang hidup. Ia menghendaki dan berbuat akan tetapi tidak
menginginkan semua yang di kehendaki-Nya.

4.      Nietche
Bagi Nietche,” Tuhan telah mati”, dan bahwa keberanian itulah agama yang
seharusnya dipeluk oleh setiap orang yang berhak (pantas) hidup, karena keberanian
adalah tingkah laku, atau akidah, yang paling diperlukan oleh jiwa dalam suatu yang
kosong dari Tuhan. Menurut Nietche, alam sebagai suatu kekuatan, tidak mungkin
dibayangkan tanpa batas, karena pikiran tentang kekuatan yang tidak ada batasnya
berlawan pikiran tentang kekuatan itu sendiri dalam aeti yang sebenarnya. Maka
dunia kehilangan cara-cara pembaharuan yang abadi, dan perkara-perkara wujud
berulang-ulang didalamnya dan akan selalu berulang-ulang tanpa kesudahan.

5.      Hartman
Bagi Hartman, Tuhan bukanlah suatu Zat, dan bahwa Ia tidak merasakan diri-Nya
sendiri atau yang memeliki “Aku” yang menjelma pada wujud, karena Zat (pribadi)
da “Aku” adalah perkara yang paling jauh dari kesucian Tuhan. Akan tetapi semesta
ini adalah pikiran dan kemauan, dan keduanya ini mengimbangi Tuhan Cahaya dan
Tuhan kegelapan bagi orang Majusi. Menurutnya, kemauan mempunyai kesengajaan
tanpa mempunyai kesadaran dan perasaan terhadap apa yang disengajakannya, karena
naluri kehewanan, sebagai akibat bagi kitadari kemauan, bermaksud kapada sesuatu
tujuan, tapi tidak menyadari apa yang dimaksudkannya itu.12[12]

BAB III
KOMENTAR

Menurut kelompok kami Tuhan adalah Dzat yang tidak terbatas dan
keberadaanya melampaui dan mengatasi segala realitas yang ada, termasuk akal
rasional manusia, karena kemampuan berpikir manusia yang terbatas sementara tuhan
sebagai substansi ynag tidak terbatas maka mustahil bagi kita untukmembayangkan
tuhan seperti apa dan bagaimana bebtuknya.Akan tetapi melalui para filosof, kita
dapat sedikit mengkonsepsikan Tuhan sebagai berikut: yakni dengan keyakinan,
bukan berarti kita harus melihat langsung Tuhan itu seperti apa wujudnya, melainkan
percaya dengan adanya Tuhan melalui alam semesta ini, juga melalui konsep dan
persepsi yang mengantarkan kita pada pengalaman keagamaan atau keberTuhanan
yang pada akhirnya dapat dijadikan sarana menemukan Tuhan yang sebenarnya.
Proses ber-Tuhan dapat dijabarkan melalui konsep berTuhan yang
diiliustrasikan dengan persepsi berTuhan yang dipraktekkan melalui pengalaman
berTuhan meliputi ibadah dan akhlakul karimah yang dilakukan setiap hari secara
berulang-ulang, kita dapat mengenal Tuhan, merasa dekat dengan Tuhan dan bahwa
Tuhan itu ada, pada dasarnya manusia merupakan mkhluk ciptaan Tuhan.

12[12] Abbas Mahmoud Al-‘Akkad, Op. Cit, hlm, 202-219.


Tuhan merupakan kebutuhan yang sangat mutlak bagi manusia dan semua
makhluk ciptaan-Nya, karena tanpa Tuhan makhluk takkan bisa apa-apa. Tuhan maha
berkehendak dan maha segalanya,

BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa bukti-bukti akan
adanya Ciptaan Tuhan seperti alam semesta yang indah, gunung-gunung yang tinggi
merupakan bukti adanya sang penciptanyaitu Tuhan. Antara filosof muslim dan
filosof barat mempunyai pandangan yang berbeda dalam mengkonsepsikan Tuhan,
diantaranya yang termasuk filosof muslim yaitu Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd. Dan Tuhan merupakan substansi yang tidak ada batasnya, tidak beruang
dan tidak bertempat, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya diberi kemampuan yang
terbatas dalam berpikir oleh karenanya kita diperbolehkan berikhtiar dalam
mengkonsepsikan Tuhan. Tuhan merupakan kebenaran yang mutlak, terkonsep
melalui persepsi yang berwujud ibadah dan akhlakul karimah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauharie, Imam Khanafi. 2009. Filsafat Islam.Yogyakarta: Gramedia.
Madkour, Ibrahim.1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Armstrong, karen.2001. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan
oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun. Bandung: Mizan.
Al-‘Akkad, Abbas Mahmud.1981. Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-Agama dan
Pemikiran Manusia.Jakarta: Bulan Bintang.
Asy’arie, Musa. 2002. Filsafat Islam.Yogyakarta: LESFI.

Anda mungkin juga menyukai