PENDAHULUAN
1[1] Imam Khanafie Al-Jauharie, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2009), hlm, 37.
2[2] Prof. Dr. Musa Asy’arie, Filsafat Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm, 151 – 152.
Dalam proses kehidupan, bertuhan memiliki setidaknya tiga aspek makna
eksistensial yang hal ini sagat mempengaruhi pola keberagamaan, yaitu:
1. Memiliki Tuhan (mode of heaving)
2. Hidup bersama Tuhan (mode of being)
3. Mengabdi kepada Tuhan (mode of serving).4[4]
Dalam setiap agama selalu diajarkan tentang Tuhan, sebagai suatu prinsip
dasar dari ajaran agama itu sendiri dan Tuhan dinyatakan adanya sebagai pencipta
semua yang ada ini. Semua agama prinsip dasarnya adalah keyakkinan terhadap
Tuhan. Persepsi tentang Tuhan yang dibentuk agama ini, akan sangat tergantung
bagaimana ajaran tentang Tuhan itu dikemas oleh suatu agama jika Tuhan diajarkan
sebagai yang maha kuasa maka dengn sendirinya manusia menempatkan dirinya yang
berlawanan yaitu yang maha lemah.5[5]
Pada masa sekarang, orang secara umum memandang sains dan filsafat
sebagai dua hal yang bertentangan dengan agama. Sangatlah tidak tepat untuk
menurunkan Tuhan ke tingkat kategori intelektual tersendiri dan memandang
keimanan berada pada yang terpisah dari persoalan kemanusiaan lainnya. Para filosof
tidak bermaksud menhapuskan agama, melainkan ingin menyucikannya dari apa yang
mereka pandang sebagai unsur-unsur primitif dan parokial.6[6]
3[3] Dr. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm,
22.
6[6] Karen Amstrong, SEJARAH TUHAN: KISAH PENCARIAN TUHAN YANG DILAKUKAN OLEH
ORANG-ORANG YAHUDI, KRISTEN DAN ISLAM SELAMA 4000 TAHUN,(Bandung: MIZAN,
2001), hlm, 234.
Dalam membahas masalah ketuhanan, setidaknya ada lima hal yang harus
dicakup. Kelimanya merupakan satu kesatuan integral, sehingga gambaran yang
mencakup kelimanya akan ketuhanan lebih dapat menggambarkan tentang Tuhan
yang lengkap, kelima cakupan tersebut adalah:
1) Wujud
Percaya akan ada atau tiadanya Tuhan akan sangat mempengaruhi cara dan pola
kehidupan yang dijalani manusia. Dari abad ke abad, generasi ke generasi berusaha
keras mencari jawaban yang argumentatif dan meyakinkan akan keberadaan Tuhan.
Kuat atau tidaknya argumen tersebut tergantung pada bukti-bukti yang dikemukakan.
Beberapa argumen bukti adanya Tuhan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Dalil Naqli, yaitu argumen yang dikemukakan melalui ayat Al-Qur’an atau wahyu
Ilahi.
b. Argumen Aqli, yaitu argumen yang dikemukakan lebih merupakan produk pemikiran
rasio akal manusia. Beberapa dalil akal tersebut antara lain adalah:
1. Dalil Gerak
2. Sebab Akibat
3. Dalil Wahyu7[7]
c. Dalil Empiris, merupakan bukti yang didapat dari hasil pengamatan inderawi
secara langsung terhadap fenomena alam sekitar manusia, termasuk manusia itu
sendiri. Diantara bukti tersebut adalah:
1. Dalil Kosmologi
2. Dalil Teologi8[8]
d. Dalil Psikofisik, argumen yang berhubungan dengan keberadaan jiwa manusia
misteri jiwa atau ruh dapat mengantarkan kepada keberadaan Tuhan, melalui
penempaan spiritual, mampu melalui daya-daya imajinatif kreatifnya untuk
3) Sifat
Dalam hal pensifatan Tuhan, ada dua aliran pemikiran yang perlu dikenal, yaitu
Aliran Antrophomorfisme dan Teophomorfisme. Yang pertama disebut sebagai
tasybih, yaiti menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia yang dapat
dikenali secara mudah oleh manusia. Yang kedua, tanzih, yaitu ketidak serupaan
sama sekali sifat Tuhan dengan sifat manapun makhluknya dan hanya Tuhan sendiri
yang tahu hakikat sifatnya. Tasybih merupakan sikap imanensi Tuhan, dan tanzih
sikap mentrandensikan Tuhan.
1. Al-Kindi
Al-kindi menyifati Allah dengan istilah kebenaran (al-Haqq) yang menjadi tujuan
pemikiran filsafat manusia. Maka satu yang benar (al-Wahid al-Haqq) adalah yang
pertama, sang pencipta, sang pemberi rizki, atas semua ciptaanya dan sebagainya.
“Tuhan adalah yang benar Ia tinggi dapat disifati hanya dengan sebutan-sebutan
negatif”. Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berkualitas, tak berhubungan juga Ia tak
disifati dengan ciri-ciri yang ada (Al-Ma’qulat).Ia tak berjenis, tak terbagi, dan tak
berkejadian. Ia abadi.
2. Al-Farabi
Menurut Al-Farabi, Tuhan dapat diketahui dan tidak dapat diketahui. Tuhan itu
dhahir sekaligus batin.pengetahuan terbaik tentang Tuhan adalah memahami dia
adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran. Manusia tidak dapat
mengetahui Tuhan karena kapasitas intelektualnya terbatas. Sedangkan Tuhan adalah
substansi yang tidak terbatas.
4. Nietche
Bagi Nietche,” Tuhan telah mati”, dan bahwa keberanian itulah agama yang
seharusnya dipeluk oleh setiap orang yang berhak (pantas) hidup, karena keberanian
adalah tingkah laku, atau akidah, yang paling diperlukan oleh jiwa dalam suatu yang
kosong dari Tuhan. Menurut Nietche, alam sebagai suatu kekuatan, tidak mungkin
dibayangkan tanpa batas, karena pikiran tentang kekuatan yang tidak ada batasnya
berlawan pikiran tentang kekuatan itu sendiri dalam aeti yang sebenarnya. Maka
dunia kehilangan cara-cara pembaharuan yang abadi, dan perkara-perkara wujud
berulang-ulang didalamnya dan akan selalu berulang-ulang tanpa kesudahan.
5. Hartman
Bagi Hartman, Tuhan bukanlah suatu Zat, dan bahwa Ia tidak merasakan diri-Nya
sendiri atau yang memeliki “Aku” yang menjelma pada wujud, karena Zat (pribadi)
da “Aku” adalah perkara yang paling jauh dari kesucian Tuhan. Akan tetapi semesta
ini adalah pikiran dan kemauan, dan keduanya ini mengimbangi Tuhan Cahaya dan
Tuhan kegelapan bagi orang Majusi. Menurutnya, kemauan mempunyai kesengajaan
tanpa mempunyai kesadaran dan perasaan terhadap apa yang disengajakannya, karena
naluri kehewanan, sebagai akibat bagi kitadari kemauan, bermaksud kapada sesuatu
tujuan, tapi tidak menyadari apa yang dimaksudkannya itu.12[12]
BAB III
KOMENTAR
Menurut kelompok kami Tuhan adalah Dzat yang tidak terbatas dan
keberadaanya melampaui dan mengatasi segala realitas yang ada, termasuk akal
rasional manusia, karena kemampuan berpikir manusia yang terbatas sementara tuhan
sebagai substansi ynag tidak terbatas maka mustahil bagi kita untukmembayangkan
tuhan seperti apa dan bagaimana bebtuknya.Akan tetapi melalui para filosof, kita
dapat sedikit mengkonsepsikan Tuhan sebagai berikut: yakni dengan keyakinan,
bukan berarti kita harus melihat langsung Tuhan itu seperti apa wujudnya, melainkan
percaya dengan adanya Tuhan melalui alam semesta ini, juga melalui konsep dan
persepsi yang mengantarkan kita pada pengalaman keagamaan atau keberTuhanan
yang pada akhirnya dapat dijadikan sarana menemukan Tuhan yang sebenarnya.
Proses ber-Tuhan dapat dijabarkan melalui konsep berTuhan yang
diiliustrasikan dengan persepsi berTuhan yang dipraktekkan melalui pengalaman
berTuhan meliputi ibadah dan akhlakul karimah yang dilakukan setiap hari secara
berulang-ulang, kita dapat mengenal Tuhan, merasa dekat dengan Tuhan dan bahwa
Tuhan itu ada, pada dasarnya manusia merupakan mkhluk ciptaan Tuhan.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa bukti-bukti akan
adanya Ciptaan Tuhan seperti alam semesta yang indah, gunung-gunung yang tinggi
merupakan bukti adanya sang penciptanyaitu Tuhan. Antara filosof muslim dan
filosof barat mempunyai pandangan yang berbeda dalam mengkonsepsikan Tuhan,
diantaranya yang termasuk filosof muslim yaitu Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd. Dan Tuhan merupakan substansi yang tidak ada batasnya, tidak beruang
dan tidak bertempat, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya diberi kemampuan yang
terbatas dalam berpikir oleh karenanya kita diperbolehkan berikhtiar dalam
mengkonsepsikan Tuhan. Tuhan merupakan kebenaran yang mutlak, terkonsep
melalui persepsi yang berwujud ibadah dan akhlakul karimah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauharie, Imam Khanafi. 2009. Filsafat Islam.Yogyakarta: Gramedia.
Madkour, Ibrahim.1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Armstrong, karen.2001. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan
oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun. Bandung: Mizan.
Al-‘Akkad, Abbas Mahmud.1981. Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-Agama dan
Pemikiran Manusia.Jakarta: Bulan Bintang.
Asy’arie, Musa. 2002. Filsafat Islam.Yogyakarta: LESFI.