Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT, Allah menciptakan manusia untuk
beribadah kepada-Nya dan untuk melakukan hal-hal yang baik kepada sesama manusia
dan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Beribadah adalah suatu perbuatan yang
dilakukan pada manusia untuk menyembah tuhan-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangannya.
Dalam bagaimana manusia ber-

, kalian bisa melihat dalam dunia ini, ada manusia yang ber-Tuhan tapi tidak ber-
Agama, begitu juga sebaliknya ada manusia yang ber-Agama tetapi tidak ber-Tuhan.
Sementara itu, dalam masalah ber-Tuhan dan ber-Agama menjadi masalah utama dalam
keimanan dan keislaman, keimanan kepada tuhan itu lah yang akan menjadi dasar
orang dalam memeluk Agama.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari manusia ?
2. Apa pengertian dari Tuhan ?
3. Bagaimana manusia sebagai makhluk ber-Tuhan ?
4. Bagaimana cara manusia meyakini dan mengimani Tuhan ?
5. Bagaimana iman kepada Allah ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui definisi dari manusi
2. Mengetahui definisi dari Tuhan
3. Mengetahui Bagaimana manusia sebagai makhluk ber-Tuhan
4. Mengetahui Bagaimana cara manusia meyakini dan mengimani Tuhan
5. Mengetahui cara iman kepada Allah

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Manusia


Manusia selain berperan sebagai khalifah di bumi memiliki kedudukan lainnya
di alam ini, yaitu sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah swt. (QS. Adz-
Zariat, 51:56). Al-Maraghi menjelaskan bahwa Allah menciptakan jin dan manusia agar
mereka dapat mengetahui atau mengenal Tuhannya, mereka tidak hanya mengenal
wujud Tuhannya saja, namun mereka juga dapat meyakini keberadaannya. Itulah
konsekuensi logis dari kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang selalu
bergantung dan berlindung kepada-Nya.
Esensi dari ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang semuanya itu
hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketaatan dan ketundukan kepada Tuhan akan
senantiasa berlaku pada manusia dan makhluk ciptaan lainnya, oleh karena itu manusia
terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang telah menjadi kodrat pada setiap makhluk
ciptaannya. Namun sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan dan kelebihan
dibanding yang lainnya, manusia tidak sepenuhnya terikat pada hukum alamiah saja,
karena dengan kemampuan akalnya ia mampu untuk mengolah potensi alam menjadi
sesuatu yang baru yang diperlukan bagi kehidupannya, sehingga kemudian manusia
terikat oleh hukum-hkum berfikir dalam upaya mengembangkan dan mewujudkan
pemikirannya.
Jika pengertian ibadah dihubungkan dengan pengertian khalifah maka dapat
dijelaskan bahwa manusia sebagai khalifah yang berarti penguasa alam semesta
memiliki kekuasaan dan kebebasan untuk berfikir dan menggunakan akalnya,
sedangkan manusia sebagai ‘abd adalah seorang yang tidak memiliki wewenang untuk
menentukan pilihan, tidak memiliki kebebasan untuk berkehendak. Jadi dapat
disimpulkan bahwa esensi seorang khalifah adalah kebebasan dan kreatifitas,
sedangkan sebagai ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan.
Dengan demikian manusia selain sebagai khalifah yang mengelola dan
memelihara alam semesta ini dengan segala potensi-potensi yang dimilikinya, juga

2
sebagai ‘abd yang seluruh aktifitasnya harus berdasarkan ibadah kepada Allah. Jika hal
ini terlaksana dengan baik, maka manusia sebagai khalifah tidak akan berbuat
kemungkaran, korupsi dan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Untuk dapat melaksanakan fungsi ke-khalifahan dan ibadah dengan baik, maka
manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pelatihan, keterampilan, teknologi dan
sarana pendukung lainnya. Dengan demikian secara tersirat menunjukan bahwa konsep
kekhalifahan dan ibadah dalam al-Qur’an erat kaitannya dengan pendidikan.
Menurut Mircea Eliade, manusia adalah homo religiosus ayang merupakan tipe
manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius
dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi,
alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci
ini selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara
hidupnya. Oleh karena itu, manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati:
semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah
kehidupannya. Dengan membuka lingkup yang sewajarnya, seharusnya kita melihat
manusia sebagai makhluk alamiah, “naturwesen’ yang merupakan bagian dari alam dan
oleh karena itu memiliki sifat-sifat dan tunduk kepada hukum yang alamiah pula.
Sebagai makhluk alamiah, maka manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia
membutuhkan makanan agar badannya tetap segar dan sehat.

2.2 Pengertian Tuhan


Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi
Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu
Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan
sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha
Pengasih dan Maha Kuasa.6 Menurut Al-Quran terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna
artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan
yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi
dan Maha Luas. Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling

3
sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha Penyayang" (ar-
rahim).
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan
kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya
dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan
muncul di mana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun.10 Al-Quran
menjelaskan, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui."
(Al-'An'am 6:103).
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga
Tuhan yang personal: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat
nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika
mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang
lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”
Dalam membahas pengertian Tuhan, setidaknya kita harus mencakup 5 hal. 5
hal itu merupakan suatu gambaran kesatuan yang dapat memperjelas tentang gambaran
Tuhan secara lengkap, 5 hal tersebut adalah:
1. Wujud
Percaya akan ada atau tidak Tuhan sangat mempengaruhi cara dan pola kehidupan yang
dijalani manusia. Dari abad ke abad, generasi ke generasi berusaha keras mencari
jawaban yang argumentatif dan meyakinkan akan keberadaan Tuhan. Kuat atau
tidaknya argumen tersebut tergantung pada bukti-bukti yang ditemukan. Beberapa
argumen bukti adanya Tuhan dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Dalil Naqli, yaitu argumen yang dikemukakan melalui ayat Al-Qur’an atau wahyu
ilahi.
- Argumen Aqli, yaitu argumen yang dikemukakan lebih merupakan produk
pemikiran rasio akal manusia. Beberapa dalil akal tersebut antara lain adalah: dalil
gerak, sebab akibat, dalil wahyu.

4
- Dalil empiris merupakan bukti yang didapat dari hasil pengamatan inderawi secara
langsung terhadap fenomena alam sekitar manusia, termasuk manusia itu sendiri.
Diantara bukti tersebut adalah: dalil kosmologi, dalil teologi, dalil psikofisik
- Argumen yang berhubungan dengan keberadaan jiwa manusia misteri jiwa atau ruh
dapat mengantarkan kepada keberadaan Tuhan, melalui penempaan spiritual,
mampu melalui daya-daya imajinatif kreatifnya untuk menggapai realitas ilahiyah,
atau melalui fenomena ini sebagaimana dialami oleh para nabi dalam menerima
wahyunya.13
- Argumen moral, argumen tentang nilai baik buruk yang ada dalam realitas
kehidupan nyata ini. Tuhan menjadi sumber kebaikan dan kasih sayang serta
disembah oleh orang dengan satu sembahan yang berisi cinta dan keimanan.
2. Dzat Tuhan
Pembahan tentang dzat Allah merupakan hal yang pelik dan membutuhkan
pemikiran jernih dan mendalam. Penalaran secara umum dilarang membahas dzat
Tuhan. Dengan demikian larangan berpikir tentang dzat Tuhan tidak bersifat mutlak,
namun melihat keadaan pemikiran seseoarang. Adapun pemikiran filsafat tentang dzat
Tuhan adalah sebagai berikut, ada yang menyatakan bahwa hakekat dzat Tuhan adalah
akal yang bersifat murni metafisik. Dan ada yang mengatakan bahwa dzat Tuhan adalah
cahaya.
3. Sifat
Dalam hal pensifatan Tuhan, ada dua aliran pemikiran yang perlu dikenal, yaitu
Aliran Antrophomorfisme dan Teophomorfisme. Yang pertama disebut sebagai tasybih,
yaiti menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia yang dapat dikenali secara
mudah oleh manusia. Yang kedua, tanzih, yaitu ketidak serupaan sama sekali sifat
Tuhan dengan sifat manapun makhluknya dan hanya Tuhan sendiri yang tahu hakikat
sifatnya. Tasybih merupakan sikap imanensi Tuhan, dan tanzih sikap mentrandensikan
Tuhan.
4. Nama – Nama Tuhan
Nama adalah sebutan yang bersifat simbol, tertanda yang dinisbahkan kepada
suatu realitas. Nama-nama Tuhan adalah simbol yang digunakan untuk menunjuk

5
kepada realitas Tuhan, yang mencakup wujud, dzat, dan sifatnNya. Oleh karena
itu,nama-nama Tuhan adalah kesatuan dari realitas Tuhan secara keseluruhan.
5. Af’al, Perbuatan Tuhan
Yaitu apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan Tuhan dalam kehidupan
semesta ini. Perbuatan Tuhan, juga tudak lepas dari maujud, dzat, nama, dan sifatnya.

2.3 Konsep Spiritual Sebagai Landasan Kebertuhanan


Spriritual adalah kepercayaan akan adanya kekuatan non fisik yang merupakan
suatu kesadaran penghubung manusia kepada Tuhan. Roh bisa disebut sebagai bentuk
spiritual. Roh menurut manusia adalah suci karena karunia ilahi yang dipancarkan oleh
zat Tuhan. Roh bersemayang dalam hati (ghaib) sehingga dari hati terpancar
kecerdasan, keinginan, kemampuan, dan perasaan. Namun pengaruh roh, hati manusia
terkadang tidak selamanya maksimal, terkadang hati manusia menjadi gelap sehingga
manusia melakukan maksiat. Jadi kesadaran manusia terletak pada hati, jika ingin
mendekatkan diri kepada Allah harus memiliki hati yang suci sehingga jiwa akan
mendapatkan pancaran rahmat dari-Nya.
Menurut Carl Gustav Jung, manusia modern mengalami ketersaingan diri dari
diri sendiri dan lingkungan sosial, bahkan jauh dari Tuhan. Dan kegagalan memaknai
hidup mengakibatkan jauh dari rasa aman damai dan tentram. agar manusia kembali
memiliki etika moral dan sentuhan manusiawi dalam kehidupannya, maka penguatan
spiritualitas perlu dilakukan. secara filosofi spiritualis sebagai penguatan visi ilahi,
potensi bertuhan, atau kebertuhanan. Bentuk spiritualis yaitu pelatihan jiwa secara
sistematis, dramatis, dan berkesinambungan dengan memadukan antara pola
fikir(tafakkur wa ta'ammul), oleh rasa (tadzawwuq), oleh jiwa (riyadhah) dan olahraga
(rihlah wa jihad). Menurut Syahrin Harahao jika manusia memiliki kesadaran dan
kecerdasan spiritualis, maka rohaninya akan kuat karena bimbingan maksimal dari hati
nurani tersebut yang menjadikannya lebih dinamis, kreatif, etos kerja tinggi dan lain
lain.

6
2.4 Manusia Sebagai Makhluk Bertuhan
Sebagai makhluk religius manusia sadar dan meyakini akan adanya kekuatan
supranatural dalam dirinya. Sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah
manusia disebut Tuhan. Sebagai mahluk Tuhan, manusia memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
- Mengakui kebesaran dan keagungan Tuhan yang diwujudkan dengan berbagai
cara.
- Menyadari bahwa dunia serta isinya adalah ciptaan Tuhan
- Manusia dianugerahi akal dan budi yang dapat dikembangkan secara maksimal
- Manusia memiliki keterbatasan yang kadang sukar dijelaskan
Ciri-ciri tersebut dapat kita amati dalam berbagai perilaku manusia dalam
kesehariannya. Keyakinan akan adanya Tuhan membawa manusia untuk mencari
kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu: menerima segala
kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan, menaati
segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan.
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali".
Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Émile
Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas
kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Sebagai orang yang
beragama, manusia meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan kepada manusia pilihan
yang disebt dengan rasul yang dengan wahyu Tuhan tersebut, manusia dibimbing ke
arah yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih bertaqwa.
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, agama sumbernya
adalah wahyu dari Tuhan. Tuhan mengutus Rasul untuk menyampaikan agama kepada
umat. Dengan perantaraan malaikat, Tuhan mewahyukan firman-firman-Nya di dalam

7
kitab suci kepada pesuruh-Nya. Isi kitab suci itu berasal dari Tuhan, disampaikan oleh
malaikat, diucapkan oleh Rasul, sehingga dapat ditangkap, diketahui, dipahami dan
selanjutnya diamalkan oleh umat. Contoh: agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Dari
pembahasan di atas jelas terlihat bahwa agama bersumber dari Tuhan sedangkan
kebudayaan sumbernya dari manusia. Jadi, agama tidak dapat dimasukkan ke dalam
lingkungan kebudayaan selama manusia berpendapat bahwa Tuhan tak dapat
dimasukkan ke dalam hasil ciptaan manusia.
Orang-orang Atheis umumnya beraggapan bahwa Tuhan adalah ciptaan manusia
yang timbul dari perasaan takutnya. Semuanya bersumber pada materi, jadi Tuhan juga
hasil perkembangan-perpautan materi-materi akal manusia. Oleh golongan ini agama
dipandang sebagai cabang kebudayaan, karena agama merupakan cara berpikir dan
merasa dalam kehidupan: suatu kesatuan sosial mengenai hubungan dengan Yang Maha
Kuasa. Agama ini dapat diistilahkan dengan: “agama budaya”, seperti misalnya
animisme, dinamisme, naturalisme, spritualisme, agama Kong Hucu, agama Sinto.
Bagi orang yang ber-Tuhan adalah sebaliknya. Alam semesta ini menurut
mereka adalah ciptaan Tuhan. Dengan demikian agama dapat ikut mempengaruhi
terciptanya kebudayaan, sedang kebudayaan tak dapat mencipta agama. Sebagaimana
halnya Tuhan dapat mempengaruh manusia, tetapi manusia tidak dapat mempengaruhi
Tuhan. Jadi jelas bahwa agama bukan bagian dari kebudayaan, tetapi berasal dari
Tuhan. Kebudayaan mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam nyata.
Sedang agama selain mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam nyata,
juga mengatur hubungan dengan alam gaib, terutama dengan Yang Maha Esa.
Agama dapat dipengaruhi oleh kebudayaanmisalnya, akulturasi dalam lapangan
agama dapat mempengaruhi isi iman dan budi yang tinggi. Akulturasi dalam lapangan
agama tersebut dinamai: “syncrotisme” (perpaduan antara dua kepercayaan) misalnya
agama Jawa terdiri dari Islam bercampur dengan Budha.
Menurut Prof. Koesoemadi SH: Pengaruh kebudayaan Hindu terhadap
kebudayaan Indonesia itu bersifat “penetration pasifique e suggestive” artinya bersifat
damai dan mendorong. Sebab datangnya kebudayaan Hindu bersifat menggiatkan dan
meninggikan kebudayaan Indonesia-Kuno dengan tiada melepaskan kepribadian, dan

8
setelah kebudayaan Hindu hilang, kebudayaan Indonesia tetap kaya dan tetap tinggal
dalam kepribadiannya.
Menurut Yosselin de Yong: Pengaruh Islam terhadap kebudayaan Indonesia
bersifat penetration pasifique dan tolerante et constructive (damai dan membangun).
Jadi tidak hanya damai dan mendorong saja, tetapi juga membangun. Seperti pengaruh-
pengaruh Islam dalam perkawinan, warisan, hak-hak wanita dan lain-lain. Pengaruh
Islam tidak hanya pada kepercayaan dan adat istiadat sehari-hari, bahkan sampai pada
bidang hukum dan upacara-upacaranya misalnya: hari besar Islam, upacara kematian,
selamatan-selamatan, mengubur mayat, doa, wakaf, warisan, letak mesjid, dan
sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari dapat diambil beberapa pengaruh agama terhadap
kebudayaan. Contohnya ketika ibadah hari raya idul fitri, hari raya ini dalam praktiknya
tidak lagi menjadi perayaan “khas” penganut agama islam tetapi sudah lebih merupakan
tradisi bagi segenap masyarakat Indonesia. Saling maaf memaafkan yang dulu tidak
pernah terjadi di negeri-negeri timur tengah tetapi masyarakat Indonesia justru di
jadikan momemtum untuk membangun kembali tali persaudaraan seta kesetiakawanan
lintas etnoreligius. Contoh lain adalah pengaruh agama terhadap kebudayaan
masyarakat Banjarmasin yang terlihat pada tradisi Baayun Maulid. Baayun asal katanya
“ayun” yang diartikan”melakukan proses ayunan”. Asal kata maulid berasal dari
peristiwa maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Sebelum mendapat pengaruh
Islam, maayun anak sudah dilaksanakan ketika masyarakat masing menganut
kepercayaan nenek moyang. Tradisi asalnya dilandasi oleh kepercayaan Kaharingan.
Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para
ulama, akhirnya upacara tersebut bisa “diislamisasikan”. Dengan demikian, baayun
anak adalah salah satu tradisi simbol pertemuan antara tradisi dan pertemuan agama.
Inilah dialektika agama dan budaya, budaya berjalan seiring dengan agama dan agama
datang menuntun budaya.

2.5. Falsafah Ketuhanan Dalam Islam

9
Falsafah adalah suatu pengetahuan tentang kebenaran (knowledge of truth)
sedangkan pengertian agama adalah suatu ajaran yang benar, jadi antara falsafah
dengan agama terlihat adanya persamaan. Tujuan falsafah menerangkan apa yang benar
dan apa yang baik, sedangkan tujuan agama itu sendiri adalah menjelaskan kebenaran
dan kebaikan (haq dan khair), yang benar pertama (al – haqqul awwalu atau the first
truth)(Ali 2007 : 7).

Tuhan adalah penyebab utama (choice prima, yang menciptakan alam beserta
isinya, yang Maha Esa dan menentukan perjalanan alam serta awal dari segalanya.
Menurut syariat Islam perkataan Tuhan diambil dari kata Ilah yaitu untuk menyatakan
berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia.

Dalam Al – Qur’an, kata Ilah banyak sekali dijelaskan diantaranya adalah :

1. QS. : 45 (Al – Jatsiyah) ayat 23


Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadi hawa nafsunya
sebagai Tuhan

2. QS. Al-An’am 6 : 102; 59: 24; 13: 16


Artinya : Tuhan adalah Dia Sang pencipta

3. QS. Al-An’am 6: 66; 6 : 102


Artinya : Tuhan Maha Pemelihara

4. QS. Hud, 11 : 6; 51 : 58; 30: 37


Artinya : Tuhan Maha Pemberi Rizki

5. QS. Al – Qhasas, 28: 70; 6: 66; 20:14


Tuhan Tempat Penyembah

Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah (Tuhan) biasanya


mengandung arti sebagai benda , baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun
benda nyata, perkataan ilah dalam Al – Qur’an, juga dipakai dalam bentuk tunggal

10
(mufrad : ilahun), ganda (mutsanna : ilaahaini) dan banyak (jamak : aalihatun), bentuk
nol (0) mustahil terjadi. Untuk dapat memahami tentang definisi Tuhan yang tepat
berdasarkan logika Al – Qur’an adalah (Muratta : 1997) :

a. Tuhan sesuatu yang dipentingkan oleh manusia sehingga manusia merelakan


dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan menunjukkan / memberikan arti
dapat dipuja, dicintai, diaagungkan, diharapkan memberikan segala kebaikan dan
menghindar dari mara bahaya dan kerugian.

b. Tuhan penyebab utama dari kejadian alam semesta, segalanya tunduk terhadap
perintah – Nya, bila perintah Tuhan tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan
mala petaka pada dirinya.

Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan


1. Pemikiran Barat atau Manusia Primitive
Proses perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan menurut teori evalusionisme
adalah sebagai berikut :
a. Dinamisme (paham tentang percaya kepada benda benda keramat)
b. Animisme (paham tentang percaya kepada roh roh leluhur)
c. Politeisme (paham yang mempercayai dan menganggap banyak dewa sebagai
Tuhan)
d. Henoteisme (paham yang mempercayai dan menganggap satu dewa sebagai Tuhan)
e. Monoteisme (paham yang menyatakan satu Tuhan untuk seluruh rakyat)

2. Pemikiran Umat Islam


Islam mengawali pengenalan tentang Tuhan bersumber pada Tauhid, dalam islam
terdapat beberapa aliran yang bersifat liberal, tradisional dan ada pula yang bersifat
diantara keduanya, corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran tentang ilmu

11
ketuhanan (ilmu tauhid) yang masing – masing berlainan pandangan tentang Tuhan,
diantara aliran tesebut yaitu :
a. Mu’tazilah
Menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan
dalam islam.
b. Qadariah
Paham ini berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam kehendak dan
berusaha
c. Jabariyah
Paham ini berteori bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berkehendak
dan berbuat, Tuhan ikut di dalamnya bila manusia berbuat.

d. Ahlu Al – Sunnah wa al – Jannah


Manusia memiliki kebebasan dalam kehendak dan berusaha, namun Tuhan jugalah
yang menentukan
2.6 Membangun Argumen tentang Cara Manusia Meyakini dan Mengimani
Tuhan
Mengingat Tuhan adalah Zat Yang Mahatransenden dan Gaib (ghā`ibul
ghuyūb), maka manusia tidak mungkin sepenuhnya dapat mempersepsi hakikat-Nya.
Manusia hanya mampu merespon dan mempersepsi tajalliyāt Tuhan. Dari interaksi
antara tajalliyāt Tuhan dan respon manusia, lahirlah keyakinan tentang Tuhan. Tajalliyāt
Tuhan adalah manifestasi-manifestasi Tuhan di alam semesta yang merupakan bentuk
pengikatan, pembatasan, dan transmutasi yang dilakukan Tuhan agar manusia dapat
menangkap sinyal dan gelombang ketuhanan.
Dengan demikian, keyakinan adalah persepsi kognitif manusia terhadap
penampakan (tajalliyāt) dari-Nya. Dengan kata lain, meyakini atau memercayai Tuhan
artinya pengikatan dan pembatasan terhadap Wujud Mutlak Tuhan yang gaib dan
transenden yang dilakukan oleh subjek manusia melalui kreasi akalnya, menjadi sebuah
ide, gagasan, dan konsep tentang Tuhan. Tajallī Tuhan yang esa akan ditangkap oleh

12
segala sesuatu (termasuk manusia) secara berbeda-beda karena tingkat kesiapan hamba
untuk menangkapnya berbeda-beda. Kesiapan (isti’dād) mereka berbeda-beda karena
masing-masing memiliki keadaan dan sifat yang khas dan unik.
Karena penerimaan terhadap tajallī Tuhan berbeda-beda kualitasnya sesuai
dengan ukuran pengetahuan hamba, maka keyakinan dan keimanan pun berbeda satu
dengan yang lain. Berbicara tentang keimanan, maka ia memiliki dua aspek, yaitu
keyakinan dan indikator praktis. Apabila mengacu pada penjelasan di atas, keyakinan
dapat dimaknai sebagai pembenaran terhadap suatu konsep (dalam hal ini konsep
tentang Tuhan) sehingga ia menjadi aturan dalam hati yang menunjukkan hukum sebab
akibat, identitas diri, dan memengaruhi penilaian terhadap segala sesuatu, serta
dijalankan dengan penuh komitmen.
Adapun indikator praktis keimanan dapat ditengarai dari sikap dan perilaku
yang dilakukan manusia. Orang yang memiliki keimananan kepada Allah harus
dibuktikan dengan amal saleh, yang menjadi indikator praktis tentang iman tersebut.
Indikator keimanan yang praktis dan terukur inilah yang bisa dijadikan patokan bagi
seseorang untuk menilai orang lain, apakah ia termasuk orang baik atau tidak baik.
Nabi mengisyaratkan bahwa indikator keimanan minimal ada 73, dari yang paling
sederhana seperti menyingkirkan duri di jalan umum sampai indikator yang abstrak
seperti lebih mencintai Allah dan rasul-Nya daripada yang lain.
Keimanan seseorang bertingkat-tingkat dan mengalami pasang surut seperti
sinyal handphone. Ada kalanya seseorang dapat mencapai tingkat keimanan yang tinggi
seperti sinyal handphone yang baru dicharge, namun ada kalanya seseorang memiliki
keimanan yang rendah seperti baterai handphone yang ngedrop.
Selama seseorang memiliki indikator keimanan walaupun ibarat sinyal HP
hanya tinggal segaris saja, ia tetap dikatakan beriman. Meskipun dikatakan masih
beriman, ia memiliki juga indikator-indikator kekufuran. Apabila si pendosa ini terus-
menerus melakukan indikatorindikator kekufuran dan sampai puncaknya ketika ia
berani secara terang-terangan melawan Tuhan dan rasul-Nya, maka ketika itu ia
dikatakan telah terjerumus dalam kekufuran (yang bersifat mutlak).

13
Sejalan dengan penjelasan di atas, maka menilai seseorang kafir atau tidak kafir,
bukan dilihat dari keyakinannya, sebab keyakinan tidak bisa dilihat. Yang dijadikan
patokan untuk menilai keimanan dan kekufuran seseorang adalah amalnya, sebagai
indikator praktis yang bisa diukur. Oleh karena itu, kita tidak boleh dengan gampang
menuduh orang kafir, apalagi penilaian tersebut hanya dilandasi oleh asumsi dan
persepsi sepihak. Iman terbentuk karena peran Tuhan dan manusia. Peran Tuhan dalam
pembentukan iman terletak pada karunia-Nya berupa akal dan potensi kebertuhanan
yang disebut dengan roh.
Karena adanya akal dan roh inilah, manusia mempunyai potensi keimanan
kepada Allah. Namun, mengingat potensi tersebut harus dipersepsi dengan cara tertentu
sehingga menjadi keyakinan, maka iman pun membutuhkan peran manusia. Proses
pembelajaran, pembiasaan, pengalaman, dan indoktrinisasi yang dilakukan oleh guru,
orang tua, orang-orang di lingkungan sekitar, dan kebiasaan sosial juga bisa menjadi
faktor lain yang mempengaruhi pembentukan iman. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa pembentukan iman identik dengan pembentukan karakter. Orang
yang beriman adalah orang yang berkarakter. Beriman kepada Allah berarti memiliki
karakter bertuhan.
Dalam bahasa agama, karakter identik dengan akhlak. Menurut Imam Ghazali,
akhlak adalah bentuk jiwa yang darinya muncul sikap dan perilaku secara spontanitas
dan disertai dengan perasaan nikmat dan enjoy ketika melakukannya. Oleh karena itu,
orang beriman kepada Tuhan atau memiliki karakter bertuhan adalah seseorang yang
meyakini Tuhan sebagai sumber kebenaran dan kebajikan tertinggi, mengidentikkan
diri dengan cara banyak meniru akhlak Tuhan dalam bersikap dan berperilaku, dan
memiliki komitmen kepada nilai-nilai tersebut.

2.6 Iman Kepada Allah


Iman kepada allah merupakan sebuah kewajiban bagi pemeluk agama islam.
Bisa dikatakan ini merupakan sebuah pondasi dimana kita akan menjalani dan
mengikuti segala perintah dan larangan yang telah disebutkan di dalam Al-quran dan

14
Al-hadist. Dengan adanya iman kepada Allah, maka kita akan dengan senantiasa berada
di jalan yang lurus.
Arti dari beriman kepada allah sebenarnya sangat simple, yaitu dengan
meyakini bahwa Allah itu ada dan mengikuti segala perintahnya. Jika kamu benar-
benar yakin bahwa Allah itu ada, maka normalnya kamu akan mengikuti segala
perintah dan menjauhi larangannya. Dan apabila tingkat keyakinanmu mencapai seuatu
level tertentu, maka kamu akan selalu mengingatnya setiap saat. Inilah yang disebut
dengan mencintai Allah SWT.
Meyakini akan eksistensi Allah memang bukan sebuah bakat yang sudah ada
sejak kita lahir. Sebagai makhluk yang berakal dan diberi kebebasan berkehendak,
sudah sepatutnya kita berfikir bagaimana kita tercipta, siapa pencipta alam semesta,
atau kemana kita akan pergi setelah mati nanti. Inilah yang akan membawa kita kepada
jawaban yang akan menghasilkan iman kepada Allah. Setiap orang memiliki tipe dan
cara berbeda bagaimana ia dapat meyakini akan eksistensi Allah SWT. Ada 4 tipe
berbeda yang menyebabkan mengapa orang akan meyakini akan keberadaan Allah.
Diantaranya adalah:
1. Iman yang disebabkan oleh akal sehat
Di tipe ini orang akan beriman kepada Allah hanya dengan berfikir dengan
menggunakan akal sehatnya. Seperti berfikir tentang manusia yang dari dulu hingga
sekarang pasti ada penciptanya. Manusia tidak mungkin dapat menciptakan dirinya
sendiri. Seperti yang disebutkan pada firman Allah: Apakah mereka ini diciptakan tanpa
sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri) (QS; At-Thur:35)
2. Iman yang disebabkan reward/hadiah
Sewaktu kecil mungkin kita biasa mendengar kalimat yang mengatakan bahwa jika kita
melakukan suatu perbuatan baik, maka kita akan mendapatkan pahala dan masuk surga.
Ternyata bagi sebagian orang ini dapat membuat mereka seketika mempercayai
eksistensi tuhan mereka dan termotivasi untuk selalu berbuat baik agar dapat masuk
surga.
3. Iman yang disebabkan oleh hukuman

15
Kebalikan dari reward, hukuman juga dapat membuat sebagian orang takut dan
akhirnya beriman kepada Allah. Hukuman yang diberikan ketika masih berada di dunia
hingga panasnya api neraka dapat membuat sebagian orang berfikir dua kali untuk tetap
melakukan larangan-larangannya. Semoga kita semua terhindar dari hukuman di dunia
dan azab api neraka.
4. Iman yang disebabkan oleh logika
Bagi sebagian orang, ketiga hal yang disebutkan diatas tidak dapat membuat mereka
yakin begitu saja dengan keberadaan Allah s.w.t. Biasanya ini adalah orang-orang yang
biasa menggunakan logikanya dalam berfikir. Orang-orang yang memiliki tipe seperti
ini harus mau mempelajari lebih dalam tentang islam dan mencari kebenaran atas
pertanyaan-pertanyaan mereka. Logika seperti apakah yang akan membuat orang-orang
ini akan beriman kepada Allah? Salah satunya ialah logika tentang kebenaran akan isi
Al-quran yang membantu para ilmuan untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan
tentang alam semesta. Di luar sana ada beberapa pemuka islam yang juga memiliki tipe
seperti ini, salah satunya adalah Zakir Naik dan Ahmed Deedad.

BAB 3

16
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa cara manusia bertuhan itu
berbeda-beda, ada yang bertuhan ada yang menerima segala kepastian yang menimpa
diri dan saekitarnya dan yakin berasal dari tuhan, ada juga yang menaati segenap
ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari tuhan.
Bahkan ada manusia yang hanya bertuhan saja ada juga yang beragama saja,
yang dimaksud bertuhan saja manusia itu hanya mengakui keberadaan tuhan saja,
mengakui kebesarannya tetapi dia tidak mengikuti perintah Tuhan-Nya, sedangkan
yang beragama saja dia hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh agamanya,
tetapi dia tidak mengakui keberadaan Tuhan-Nya.
Jadi lebih baik kita beragama dan juga bertuhan, itu akan lebih baik dari pada
hanya bertuhan saja atau hanya beragama saja, sebab kita akan bisa mengenal lebih
dekat dengan Agama dan Tuhan kita.

3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber
sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

17
http://bowocahsogundoro.blogspot.com/
http://eprints.uny.ac.id/285/1/URGENSI_MEMAHAMI_HAKEKAT_MANUSIA. pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
https://www.scribd.com/presentation/345941518/BAGAIMANA-MANUSIA-
BERTUHAN-pptx
https://www.slideshare.net/chusnaqumillaila/bagaimana-manusia-bertuhan-materi-
kuliah-agama-islam
http://www.uinjkt.ac.id/id/fitrah-manusia-ber-tuhan/
Nurhasan, dkk. 2011. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Palembang :
Percetakan Universitas Sriwijaya.

18

Anda mungkin juga menyukai