Anda di halaman 1dari 6

Novelia De Jong

Akuntansi keuangan/D4

HUBUNGAN AGAMA, ETIKA DAN NILAI

 AGAMA

Agama [Sanskerta, a = tidak; gama = kacau] artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan dan
peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio [dari religere, Latin] artinya
mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk
mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi. Dari sudut sosiologi, agama
adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu
kekuatan tertentu [yang supra natural] dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan.
Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat
manusia [pendiri atau pengajar utama agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial
tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar
manusia mentaatinya. Perintah dan kata-kata tersebut mempunyai kekuatan Ilahi sehingga dapat
difungsikan untuk mencapai atau memperoleh keselamatan [dalam arti seluas-luasnya] secara
pribadi dan masyarakat.

Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil budaya. Artinya, manusia membentuk
atau menciptakan agama karena kemajuan dan perkembangan budaya serta peradabannya. Dengan
itu, semua bentuk-bentuk penyembahan kepada Ilahi [misalnya nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan
lain-lain] merupakan unsur-unsur kebudayaan. Dengan demikian, jika manusia mengalami kemajuan,
perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan, maka agama pun mengalami hal yang
sama. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan ritus, nyanyian, cara penyembahan [bahkan ajaran-
ajaran] dalam agama-agama perlu diadaptasi sesuai dengan sikon dan perubahan sosio-kultural
masyarakat.

Sedangkan kaum agamawan berpendapat bahwa agama diturunkan TUHAN Allah kepada manusia.
Artinya, agama berasal dari Allah; Ia menurunkan agama agar manusia menyembah-Nya dengan baik
dan benar; ada juga yang berpendapat bahwa agama adalah tindakan manusia untuk menyembah
TUHAN Allah yang telah mengasihinya. Dan masih banyak lagi pandangan tentang agama, misalnya:

1. Agama ialah [sikon manusia yang] percaya adanya TUHAN, dewa, Ilahi; dan manusia yang
percaya tersebut, menyembah serta berbhakti kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai
macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut
2. Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap sesuatu Yang
Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam semesta; cara-cara tersebut
bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan masyarakat yang menganutnya atau
penganutnya.
3. Agama ialah percaya adanya TUHAN Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum
TUHAN tersebut diwahyukan kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu
adalah orang-orang yang dipilih secara khusus oleh TUHAN sebagai pembawa agama. Agama
dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan TUHAN [kepada manusia]
untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat

Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi [yang
dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia];
upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus [secara pribadi dan bersama] yang ditujukan kepada
Ilahi.

Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia terhadap penyataan TUHAN Allah. Dalam
keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal TUHAN Allah, maka Ia menyatakan Diri-Nya
dengan berbagai cara agar mereka mengenal dan menyembah-Nya. Jadi, agama datang dari manusia,
bukan TUHAN Allah.

CIRI-CIRI UMUM AGAMA

Berdasarkan semuanya itu, hal-hal yang patut diperhatikan untuk memahami agama, antara lain :

1. Pada setiap agama mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau Sesuatu Yang Ilahi dan
disembah. Ia bisa disebut TUHAN, Allah, God, Dewa, El, Ilah, El-ilah, Lamatu’ak, Debata, Gusti
Pangeran, Deo, Theos atau penyebutan lain sesuai dengan konteks dan bahasa masyarakat
[bahasa-bahasa rakyat] yang menyembah-Nya. Penyebutan tersebut dilakukan karena manusia
percaya bahwa Ia yang disembah adalah Pribadi yang benar-benar ada; kemudian diikuti
memberi hormat dan setia kepada-Nya. Jadi, jika ada ratusan komunitas bangsa, suku, dan sub-
suku di dunia dengan bahasanya masing-masing, maka nama Ilahi yang mereka sembah pun
berbeda satu sama lain. Nama yang berbeda itu pun, biasanya diikuti dengan pencitraan atau
penggambaran Yang Ilahi sesuai sikon berpikir manusia yang menyembahnya. Dalam
keterbatasan berpikirnya, manusia melakukan pencitraan dan penggambaran Ilahi berupa
patung, gambar, bahkan wilayah atau lokasi tertentu yang dipercayai sebagai tempat tinggal
Jadi, kaum agama tidak bisa mengklaim bahwa mereka paling benar menyebut Ilahi yang
disembah. Sehingga nama-nama lain di luarnya adalah bukan Ilahi yang patut disembah dan
dipercayai atau diimani.

2. Pada setiap agama ada keterikatan kuat antara yang menyembah [manusia] dan yang
disembah atau Ilahi. Ikatan itu menjadikan yang menyembah [manusia, umat] mempunyai
keyakinan tentang keberadaan Ilahi. Keyakinan itu dibuktikan dengan berbagai tindakan nyata
[misalnya, doa, ibadah, amal, perbuatan baik, moral, dan lain-lain] bahwa ia adalah umat sang
Ilahi. Hal itu berlanjut, umat membuktikan bahwa ia atau mereka beragama dengan cara
menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Ia harus melakukan doa-doa; mampu menaikkan puji-
pujian kepada TUHAN yang ia sembah; bersedia melakukan tindakan-tindakan yang
menunjukkan perhatian kepada orang lain dengan cara berbuat baik, sedekah, dan lain
sebagainya.
3. Pada umumnya, setiap agama ada sumber ajaran utama [yang tertulis maupun tidak tidak
tertulis]. Ajaran-ajaran tersebut antara lain: siapa Sang Ilahi yang disembah umat beragama;
dunia; manusia; hidup setelah kematian; hubungan antar manusia; kutuk dan berkat; hidup dan
kehidupan moral serta hal-hal [dan peraturan-peraturan] etis untuk para penganutnya. Melalui
ajaran-ajaran tersebut manusia atau umat beragama mengenal Ilahi sesuai dengan sikonnya
sehari-hari; sekaligus mempunyai hubungan yang baik dengan sesama serta lingkungan hidup
dan kehidupannya.Ajaran-ajaran agama dan keagamaan tersebut, pada awalnya hanya
merupakan uraian atau kalimat-kalimat singkat yang ada pada Kitab Suci. Dalam perkembangan
kemudian, para pemimpin agama mengembangkannya menjadi suatu sistem ajaran, yang bisa
saja menjadi suatu kerumitan untuk umatnya; dan bukan membawa kemudahan agar umat
mudah menyembah Ilahi.
4. Secara tradisionil, umumnya, pada setiap agama mempunyai ciri-ciri spesifik ataupun berbeda
dengan yang lain. Misalnya:
 pada setiap agama ada pendiri utama atau pembawa ajaran; Ia bisa saja disebut sebagai
nabi atau rasul, guru, ataupun juruselamat
 agama harus mempunyai umat atau pemeluk, yaitu manusia; artinya harus ada manusia
yang menganut, mengembangkan, menyebarkan agama
 agama juga mempunyai sumber ajaran, terutama yang tertulis, dan sering disebut Kitab
Suci; bahasa Kitab Suci biasanya sesuai bahasa asal sang pendiri atau pembawa utama
agama
 agama harus mempunyai waktu tertentu agar umatnya melaksanakan ibadah bersama,
ternasuk hari-hari raya keagamaan
 agama perlu mempunyai lokasi atau tempat yang khusus untuk melakukan ibadah; lokasi ini
bisa di puncak gunung, lembah, gedung, dan seterusnya

 ETIKA

Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan
tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan
dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.Adapun arti etika dari segi istilah, telah
dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya.

Menurut Ahmad Amin,Etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di
dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Berikutnya, dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang
sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan
sebagainya.

Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat
hal sebagai berikut.:

1. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang
dilakukan oleh manusia.
2. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil
pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat
berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan
berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi,
ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya.
3. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap
sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai
baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan
sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih
mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.
4. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai
dengan tuntutan zaman.

Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik
atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau
buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan
demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan
diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan
oleh akal manusia.

 NILAI

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia.
Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Adanya dua
macam nilai tersebut sejalan dengan penegasan pancasila sebagai ideologi terbuka. Perumusan
pancasila sebagai dalam pembukaan UUD 1945. Alinea 4 dinyatakan sebagai nilai dasar dan
penjabarannya sebagai nilai instrumental. Nilai dasar tidak berubah dan tidak boleh diubah lagi.
Betapapun pentingnya nilai dasar yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 itu, sifatnya belum
operasional. Artinya kita belum dapat menjabarkannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Penjelasan UUD 1945 sendiri menunjuk adanya undang-undang sebagai pelaksanaan hukum dasar
tertulis itu. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 itu memerlukan
penjabaran lebih lanjut. Penjabaran itu sebagai arahan untuk kehidupan nyata. Penjabaran itu
kemudian dinamakan Nilai Instrumental.

Nilai Instrumental harus tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar yang dijabarkannya Penjabaran itu
bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat
yang sama dan dalam batas-batasyang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Penjabaran itu jelas tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya.

Sifat-sifat nilai menurut Bambang Daroeso (1986) adalah Sebagai berikut:

 Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak
tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu. Misalnya, orang
yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai,tetapi kita tidak bisa mengindra kejujuran
itu.Yang dapat kita indra adalah kejujuran itu.
 Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan
sehingga nilai nemiliki sifat ideal (das sollen). Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai
landasan manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan. Semua orang berharap dan
mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan.
 Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia
bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya.Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya
nilai ini menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.

MACAM-MACAM NILAI

Dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu :

a. Nilai logika adalah nilai benar salah.

b. Nilai estetika adalah nilai indah tidak indah.

c. Nilai etika/moral adalah nilai baik buruk.

Berdasarkan klasifikasi di atas, kita dapat memberikan contoh dalam kehidupan. Jika seorang siswa
dapat menjawab suatu pertanyaan, ia benar secara logika. Apabila ia keliru dalam menjawab, kita
katakan salah. Kita tidak bisa mengatakan siswa itu buruk karena jawabanya salah. Buruk adalah nilai
moral sehingga bukan pada tempatnya kita mengatakan demikian. Contoh nilai estetika adalah
apabila kita melihat suatu pemandangan, menonton sebuah pentas pertunjukan, atau merasakan
makanan, nilai estetika bersifat subjektif pada diri yang bersangkutan. Seseorang akan merasa senang
dengan melihat sebuah lukisan yang menurutnya sangat indah, tetapi orang lain mungkin tidak suka
dengan lukisan itu. Kita tidak bisa memaksakan bahwa lukisan itu indah.

Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan
baik atau buruk dari manusia.moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah
nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih
terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.

Notonegoro dalam Kaelan (2000) menyebutkan adanya 3 macam nilai. Ketiga nilai itu adalah
sebagai berikut :

 Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau
kebutuhan ragawi manusia.
 Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan
atau aktivitas.
 Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian
meliputi :
 Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia.
 keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsure perasaan(emotion) manusia.
 Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa,Will) manusia.

Nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada
kepercayaan atau keyakinan manusia.

KESIMPULAN:

Antara agama,etika dan nilai tidaklah dapat dipisahkan. Tidak ada agama yang tidak mengajarkan
nilai etika/moralitas. Semua agama mengajarkan umatnya untuk melakukan segala hal yang berkenan
di hadapan Allah-Nya. Itu artinya semua manusia harus melakukan hal yang tidak bertentangan
dengan hukum dari agama yang dianutnya. Jika semua manusia melakukan yang sesuai dengan
hukum agama, secara otomatis mereka telah melakukan nilai-nilai etika/moralitas yang berkenan bagi
semua orang dan akan menjadi modal mereka untuk memperoleh hidup kekal di dunia Akhirat
nantinya.

Anda mungkin juga menyukai