Anda di halaman 1dari 104

Modul.

I
AGAMA DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 1

Standar Kompetensi Mahasiswa memahami fakta-fakta dan prinsip-prinsip agama secara


umum dan iman Kristiani serta bisa bersikap toleran.
Kompetensi Dasar 1. Memahami pengertian agama, tujuan dan fungsinya.
2. Mengaplikasikan maksud dan tujuan pendidikan agama.
3. Mewujudkan dialog antar umat beragama dalam kata maupun
tindakan.

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan pengertian Agama secara umum dan kerukunan umat
beragama
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menanggapi, berdiskusi serta memberikan contoh penerapan
kerukunan umat beragama di sekitarnya.
Penutup (20 menit) Memberikan rangkuman pembelajaran.

A. Pendahuluan
Di Indonesia terdapat lima agama besar yang diakui oleh negara yaitu Agama Islam,
Kristen, Hindu, Budha dan Konghuchu. Namun sebagian besar masyarakat Indonesia memeluk
agama Islam. Agama merupakan sekumpulan aturan yang dianut oleh pemeluknya agar
kehidupannya bisa berjalan dengan tertib. Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu
berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat aturan-aturan tertentu. Secara umum norma-
norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan
keyakinan atau agama yang dianutnya. Agama secara mendasar dapat didefinisikan sebagai
seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur
hubungan manusia dengan sesama manusia, serta mengatur hubungan manusia dengan
lingkungannya.
Agama merupakan suatu sistem sosial yang oleh penganutnya digunakan atau dipercaya
mempunyai tujuan untuk melindungi para penganutnya. Penganutnya menggunakan agama
sebagai sandaran ketika terjadi hal-hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannaya,
karena sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang
non-empiris. Masalah non-empiris yaitu masalah yang biasanya berkaitan dengan hal-hal supra-
natural atau yang tidak bisa dinalar dan dideskripsikan oleh akal manusia, oleh karena itu peran
agama di sini adalah sebagai petunjuk ketika seorang manusia tidak mampu lagi menyelesaikan
masalah dengan akal mereka. Manusia akan kembali bersandar pada Yang Esa.
Agama merupakan suatu lembaga yang terbentuk akibat adanya interaksi terpola secara
kultural dengan wujud di atas manusia yang di asumsikan juga secara kultural dalam kehidupan
manusia; dengan kata lain bahwa agama merupakan hasil dari budaya. Melalui budaya, muncul
ide “Homo Religius” yang artinya manusia yang memiliki kecerdasan dan pikiran untuk
menanggapi bahwa ada kekuatan lain yang maha besar diatas kekuatan dirinya (Spiro, 1969
dalam Jalaludin, 2002). Berangkat dari ketakutan manusia akan kekuatan tersebut, manusia
akhirnya memilih untuk menyembahnya sehingga lahirlah dari macam-macam kepercayaan
menjadi agama (Kluckhohn, 1953 dan Toynbee dalam Brouwer, 1986). Manusia keterkaitannya
dengan agama sangat lazim ditemukan. Terdapat banyak agama yang tersebar dan dianut oleh
masyarakat dunia.

1
B. Pengertian Agama
Fenomena agama merupakan fenomena yang tak bisa dijelaskan secara tuntas dengan
kategori ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun begitu, Arnold Toynbee, seorang ahli
sejarah ternama, mengatakan bahwa:
“in religion the whole of human being personality is involved: the emotional and moral
facets of the human psyche above all, but the intellectual facet as well. And the concern
extends to the whole of Man’s World; it is not limited to that part of which is accessible to
the human senses and which can therefore be studied scientifically and can be manipulated
by technology (John Goley, 1968).
Jadi menurut Toynbee, dalam agama, keseluruhan kepribadian manusia terlibat antara lain: segi-
segi emosional, segimoral dan kejiwaan, dan segi intelektual juga. Keprihatinan agama
mencakup keseluruhan “dunia manusia”; tidak hanya dibatasi pada bagian yang bisa diakses
oleh indra manusia yang pada gilirannya dapat dipelajari secara ilmiah tetapi juga yang dapat
dimanipulasi oleh teknologi.
Jika ditelusuri, ada begitu banyak definisi/pengertian agama dari yang sifatnya sangat
positif sampai ke yang sifatnya sangat negatif. Begitu bervariasinya definisi agama karena,
antara lain, ada yang memasukkan agama-agama yang sangat sederhana atau primitif, seperti
dalam bentuk animisme/dinamisme, sampai ke agama-agama yang lebih rumit dan kompleks,
seperti dalam agama-agama yang monoteisme ke dalam definisi mereka. Berikut beberapa
definisi yang diberikan oleh berbagai kamus antara lain seperti berikut;
Penguin Dictionary of Religion (1970) mendefinisikan agama sebagai suatu istilah umum yang
dipakai untuk menggambarkan semua konsep tentang kepercayaan kepada ilah (ilah-ilah)
dan keberadaan spiritual yang lain atau keprihatinan ultima yang transendental.
Britanica Concise Encyclopedia (online, 2006) mendefinisikan agama sebagai hubungan
manusia kepada Allah atau ilah-ilah, atau apa saja yang dianggap sakral, atau dalam
beberapa kasus hal-hal yang supernatural.
Encyclopedia Britanica (online, 2006) mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia dengan
apa yang dianggap sebagai suci, sakral, spiritual atau ilahi.

Pemahaman mengenai agama secara umum, dapat dilakukam dengan pendekatan definisi
agama secara substantif dan fungsional. Kedua pendekatan tersebut seagai berikut :
 Pendekatan definisi substantif adalah definisi yang melihat apa substansi agama.
Tyler mendefinisikan agama sebagai “kepercayaan kepada keberadaan spiritual.” Ini
menunjukkan substansi agama sebagai kepercayaan kepada yang hal spiritual/rohaniah. Ia
mengatakan bahwa agama sebagai suatu kepercayaan kepada yang tak terlihat, dengan
perasaan takut, kagum, hormat, rasa syukur, dan kasih, demikian pun institusinya seperti doa,
ibadah, dan pengorbanan.
 Pendekaan definisi fungsional, menekankan pada fungsi agama, atau apa yang dilakukan
agama. Sebagaimana dikemukakan Ward dan Cooley berikut. Ward (1898) berpendapat
bahwa agama adalah suatu substitusi dalam dunia yang rasional terhadap insting pada dunia
yang subrasional. Cooley (1909:372) juga mendefinisikan agama sebagai suatu kebutuhan
bagi hakikat manusia, untuk menjadikan hidup kelihatan lebih rasional dan baik.

C. Pengertian Kerukunan Beragama


Kerukunan berasal dari kata rukun. Dalam KBBI, artinya rukun adalah perihal keadaan
hidup rukun atau perkumpulan yang berdasarkan tolong menolong dan persahabatan. Kata
kerukunan berasal dari kata dasar rukun, berasal dari bahasa Arab ruknun (rukun); jamaknya
arkaan berarti asas atau dasar. Dari kata arkaan diperoleh pengertian, bahwa kerukunan
merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur yang berlainan dari setiap unsur
2
tersebut saling menguatkan. Kesatuan tidak dapat terwujud jika ada diantara unsur tersebut yang
tidak berfungsi. Sedangkan yang dimaksud kehidupan beragama ialah terjadinya hubungan yang
baik antara penganut agama yang satu dengan yang lainnya dalam satu pergaulan dan kehidupan
beragama, dengan cara saling memelihara, saling menjaga serta saling menghindari hal-hal yang
dapat menimbulkan kerugian atau menyinggung perasaan.
Kerukunan antar umat beragama bukan berarti merelatifir agama-agama yang ada
melebur kepada satu totalitas (sinkrtisme agama) dengan menjadikan agama-agama yang ada itu
menjadi madzhab dari agama totalitas itu melainkan sebagai cara atau sarana untuk
mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antar golongan
umat beragama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kerukunan hidup umat
beragama mengandung tiga unsur penting:
Pertama, kesediaan untuk menerima adanya perbrdaan keyakinan dengan orang atau kelompok
lain.
Kedua, kesediaan membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakninya.
Ketiga, kemampuan untuk menerima perbedaan merasakan indahnya sebuah perbedaan dan
mengamalkan ajarannya.

Keluhuran masing-masing ajaran agama yang menjadi panutan dari setiap orang. Lebih
dari itu, setiap agama adalah pedoman hidup umat manusia yang bersumber dari ajaran Tuhan.
Dalam terminologi yang digunakan oleh pemerintah secara resmi, konsep kerukunan hidup antar
umat beragama ada tiga kerukunan, yang disebut dengan istilah “Trilogi Kerukunan” yaitu:
1. Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama.
Yaitu kerukunan di antara aliran-aliran/paham mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat
atau komunitas agama.
2. Kerukunan diantara umat/ komunitas agama berbeda-beda.
Yaitu kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang berbeda yaitu di antara
pemeluk Islam dengan pemeluk Kristen Protestan, katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu.
3. Kerukunan antar umat/ komunitas agama dengan pemerintah.
Yaitu supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk atau pejabat
agama dengan para pejabat pemerintah dengan saling memahami dan menghargai tugas
masing-masing dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang
beragama.
Dengan demikian kerukunan merupakan jalan hidup manusia yang memiliki bagian-bagian dan
tujuan tertentu yang harus dijaga bersama-sama, saling tolong menolong, toleransi, tidak saling
bermusuhan, saling menjaga satu sama lain.

D. Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama


1. Kerukunan Umat Beragama
Istilah kerukunan umat beragama identik dengan istilah toleransi. Istilah toleransi
menunjukkan pada arti saling memahami, saling mengerti, dan saling membuka diri dalam
bingkai persaudaraan. Bila pemaknaan ini dijadikan pegangan, maka ”toleransi” dan
“kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Dalam
konteks ke-Indonesiaa, kerukunan beragama berarti kebersamaan antara umat beragama
dengan Pemerintah dalam rangka suksesnya pembangunan nasional dan menjaga Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan
agama bisa hidup bersama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan
kewajiban agamanya. Masing-masing pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun dan
damai. Karena itu kerukunan antar umat beragama tidak mungkin akan lahir dari sikap
3
fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak keberagaman dan perasaan orang lain. Tetapi
dalam hal ini tidak diartikan bahwa kerukunan hidup antar umat beragama memberi ruang
untuk mencampurkan unsur-unsur tertentu dari agama yang berbeda, sebab hal tersebut akan
merusak nilai agama itu sendiri.
Kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga bisa diartikan dengan toleransi antar
umat beragama. Dalam toleransi itu sendiri pada dasarnya masyarakat harus bersikap lapang
dada dan menerima perbedaan antar umat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling
menghormati satu sama lainnya misalnya dalam hal beribadah, antar pemeluk agama yang satu
dengan lainnya tidak saling mengganggu. Kerukunan antar umat beragama adalah suatu bentuk
hubungan yang harmonis dalam dinamika pergaulan hidup bermasyarakat yang saling
menguatkan yang diikat oleh sikap pengendalian hidup dalam wujud:
 Saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
 Saling hormat menghormati dan berkerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai
golongan agama dan umat beragama dengan pemerintah yang sama-sama bertanggung
jawab membangun bangsa dan Negara.
 Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama kepada orang lain.
Dengan demikian kerukunan antar umat beragama merupakan salah satu tongkat utama dalam
memelihara hubungan suasana yang baik, damai, tidak bertengkar, bersatu hati dan bersepakat
antar umat beragama yang berbeda-beda agama untuk hidup rukun.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun
Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya.
Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama, mengkoordinasi kegiatan instansi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan
saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan
menerbitkan rumah ibadah.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Kerukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan
Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif dengan tugas melakukan dialog dengan
pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan dan
aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan
kebijakan.
Kerukunan antar umat beragama dapat diwujudkan dengan :
a. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama
b. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
c. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan mematuhi peraturan.

2. Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia


Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di tengah
perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan
berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup
umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat
ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak
hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.
Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan
semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang
paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang
kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya,
termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan
pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama
lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya
agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat
4
dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis.

Namun ketika kontak-kontak antar-agama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka
muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap
negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas
kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa
lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain
agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama
lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu
sama lain.

3. Jenis-Jenis Kerukunan Antar Umat Beragama


a) Kerukunan antar pemeluk agama yang sama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin
antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama penganut Kristen
atau kerukunan sesama orang Islam. Kerukunan antar pemeluk agama yang sama juga
harus dijaga agar tidak terjadi perpecahan dan paham-paham baru yang menyimpang dari
konsep agama tersebut, walaupun sebenarnya dalam hal ini sangat minim sekali terjadi
konflik,
b) Kerukunan antar umat beragama lain, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar
masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam
dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan
oleh semua agama. Kerukunan antar umat beragama lain ini cukup sulit untuk dijaga.
Seringkali terjadi konflik antar pemeluk agama yang berbeda.

4. Manfaat Kerukunan Antar Umat Beragama


 Terciptanya suasana yang damai dalam bermasyarakat
 Toleransi antar umat Beragama meningkat
 Menciptakan rasa aman bagi agama – agama minoritas dalam melaksanakan ibadahnya
masing masing
 Meminimalisir konflik yang terjadi yang mengatasnamakan Agama.

E. Kendala-Kendala Kerukunan Antar Umat Beragama


1. Rendahnya Sikap Toleransi
Salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia,
adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P.
Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect
encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga
kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu
saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda
keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui
kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang
memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan
perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa
pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.

2. Kepentingan Politik
Faktor Politik terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mencapai tujuan
sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling
penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun
5
dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan
dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan
politik yang ikut memengaruhi hubungan antar-agama dan bahkan memporak-porandakannya
seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang
kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis
melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air
mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang menjadi korban kekacauan tersebut. Tanpa
politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah
negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan
memanfaatkannya.

3. Sikap Fanatisme
Di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat
dikategorikan sebagai agama radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang
menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya
diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa
agama tertentu adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan
menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk agama tertentu. Segala perbuatan orang-
orang diluar ajaran agama tersebut, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diakui dan tidak
diterima oleh Allah sendiri.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte
atau aliran dalam agama tertentu memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri.
Setiap agama tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin saja, tetapi ada banyak
aliran dan ada banyak pemimpin agama sesuai sekte/aliran masing-masing agama yang antara
satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang
bertentangan.
Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok
Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang
percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan
bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan
dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-
pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang
berlebihan.

F. Kerukunan Antar Umat Beragama Menurut Alkitab


Pandangan Agama Kristen mengenai kerukunan antar umat beragama dapat dilihat dari
kasih Yesus yang mengasihi sesama dan bahkan terhadap musuh (Matius 5:44). Pandangan
eksklusif mengenai agama Kristen tidak boleh mempengaruhi umat untuk membedakan
perlakuan kasih antara Kristen dengan agama lainnya dan tidak menganggapnya sebagai musuh,
melainkan melihat mereka sebagai ‘korban’ dan membutuhkan berkat dan keselamatan yang
sama dengan umat Kristen. Tuhan Yesus mengajari kita untuk mengasihi sesama manusia yang
tertulis pada Markus 12:29-31.
Dalam ayat Alkitab, begitu banyak ayat-ayat yang mengingatkan kita sebagai umat
Tuhan untuk mengasihi tanpa dibatasi hal apapun, diantaranya : Galatia 6:10, Lukas 6:27 + 33,
dan masih banyak ayat-ayat lainnya. Sebagai bukti kekristenan, Yesus mengajarkan untuk
mengasihi dan berbuat baik kepada siapapun.

G. Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama


1. Solusi Masalah Kerukunan di Indonesia
1) Dialog Antar Pemeluk Agama

6
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara
tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena
itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah
yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional”
dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya,
sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah
model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai
bandingan dari “sejarah politik” (political history). Penerapan sejarah sosial dalam
perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat
mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang
politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang
pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co- existence) di
antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama
lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi,
revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang
perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup
eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh
kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika
Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,”
telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Indonesia, dalam
batas tertentu, mungkin juga dapat mengalami kecenderungan yang sama. Sebagian besar
perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik,
bersifat damai.
Dalam waktu-waktu tertentu ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial
yang cepat, yang memunculkan krisis pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat
intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa
kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat
saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau
bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi
juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui
dialog-dialog antar-agama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia
maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai
tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian
dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.

2) Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka,
saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap
pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam
menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Paling tidak ada tiga hal yang dapat
membuat kita bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga
dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di
dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan
Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah
didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung,
hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham
keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan
7
lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang
memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan
kerukunan antar penganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya
perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan
pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih
erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita
dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin
agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak
terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali
prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan
bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih
mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut,
tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka
dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu
atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa
masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik.
Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah
tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk
mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai
instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut
agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi
selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk
dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih
sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.

2. Cara Menjaga Kerukunan Beragama di Indonesia


1) Menjunjung tinggi toleransi antar umat Beragama di Indonesia. Baik yang merupakan
pemeluk Agama yang sama, maupun dengan yang berbeda Agama. Rasa toleransi bisa
berbentuk dalam macam-macam hal. Misalnya seperti, pembangunan tempat ibadah
oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi
sehari – harinya, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang
sudah waktunya mereka melakukan ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk
menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat
beragama di Indonesia, karena jika rasa toleransi antar umat beragama di Indonesia
sudah tinggi, maka konflik – konflik yang mengatasnamakan Agama di Indonesia
dengan sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama sekali.
2) Selalu siap membantu sesama dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status orang
tersebut. Jangan melakukan perlakuan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama
saat mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami
bencana alam. Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda
yang memeluk agama lain, jangan lantas malas dan enggan untuk membantu saudara
sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama. Justru dengan
membantu mereka yang kesusahan, kita akan mempererat tali persaudaraan sebangsa
dan setanah air kita, sehingga secara tidak langsung akan memperkokoh persatuan
Indonesia.
8
3) Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut.
Misalnya dengan selalu berbicara halus dan sopan kepada siapapun. Biasakan pula
untuk menomor satukan sopan santun dalam beraktivitas sehari harinya, terlebih lagi
menghormati orang lain tanpa memandang perbedaan yang ada. Hal ini tentu akan
mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia.

4) Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala
dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para pemuka agama,
tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian
solusi yang baik dan tidak merugikan pihak – pihak manapun, atau mungkin malah
menguntungkan semua pihak. Hal ini diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya
sangat beraneka ragam.

Referensi:
A. A. Yewangoe. (2015). Agama dan Kerukunan. Gunung Mulia.
Depag RI. (1997), Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta:
Badan Penelitian dan pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat
Beragama di Indonesia.
Saidurrahman, dan Airifinsyah, (2018), Nalar Kerukunan Merawat Keragaman Bangsa
Mengawal NKRI, Jakarta: Kencana.
Sairin Weinata, (2006), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Bangsa, Jakarta:
BPK Gunung Mulia.

9
Modul. II
WAHYU ALLAH DAN ALKITAB

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 2
Standar Kompetensi Mahasiswa memahamai dan mengenal wahyu Allah dan mengimaninya
serta mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari
Dasar Kompetensi 1. Menjelaskan/memberi contoh pengertian wahyu umum dan khusus.
2. Mengimani wahyu Allah tersebut.
3. Menguraikan sifat dan nilai serta kewibawaan Alkitab

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan pengertian Wahyu Allah dan terjadinya Alkitab
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menelusuri proses terjadinya Alkitab dan pelaku-pelaku
utamanya, serta menguraikan sifat dan nilai kewibawaan Alkitab
Penutup (20 menit) Menyimpulkan tentang bahasan tokoh-tokoh dalam proses Alkitab dan
sistem pengkanonan

A. Pendahuluan
Sekarang ini, banyak orang-orang Kristen yang menjalankan ibadahnya dengan hanya
datang ke gereja saja. Bahkan ada beberapa orang yang menganggap agama Kristen itu hanya
sebagai “pelengkap” dalam hal lain dia tidak mau disebut orang-orang disekitarnya tidak
beragama, atau yang sering disebut atheis. Padahal hal seperti itu (datang ke gereja saja) tidak
cukup untuk mengerti kehendak-Nya.
Sebagai seorang Kristen sejati (bukan Kristen palsuan dan hanya datang ke gereja saja)
yang paling utama adalah harus percaya dan mengenal diri Tuhan kita, Tuhan Yesus Kristus
dengan memahami firman-Nya yang tercantum dalam Alkitab. Firman-Nya “Akulah jalan dan
kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui
Aku” inilah yang seharusnya menjadikan kita mengenal Dia lebih dekat lagi.
Alkitab adalah wahyu Allah yang berisikan Firman Allah yang memiliki kekuasaan
tertinggi dalam kehidupan orang-orang Kristen di dunia. Selain itu, ada pula “sesuatu” yang
membantu kita memahami isi dari Alkitab. “Sesuatu” itu adalah Roh Kudus yang merupakan
Roh dari Allah yang bekerja dalam kehidupan orang Kristen, sehingga orang Kristen dapat
membaca dan mendengar serta memahami isi Alkitab selaku Firman Allah. Seperti kata
Pemazmur “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” itulah yang menjadi
dasar dan pedoman bagi perbuatan dan kehidupan orang beriman. Oleh karena itu, orang Kristen
(secara pribadi maupun bersama) harus membaca, mendengar dan merenungkan Alkitab siang
dan malam agar mengerti maksud dari Tuhan Yesus Kristus.
Sebagai orang Kristen untuk menghadapi situasi yang sulit harus mendekatkan diri
kepada Tuhan agar iman kita lebih kokoh. Selain itu, kita juga harus rajin membaca firman-Nya
karena Firman Tuhan sama dengan perkataan yang memiliki kuasa untuk menyelesaikan segala
persoalan. Dalam kitab hukum Taurat tertulis ” Sebab perkataan ini bukanlah perkataan hampa
10
bagimu, tetapi itulah hidupmu, dan dengan perkataan ini akan lanjut umurmu di tanah, ke mana
kamu pergi, menyeberangi sungai Yordan untuk mendudukinya.”  Inilah yang seharusnya
menjadi pondasi bagi kita untuk lebih bertekun dalam Firman-Nya.

B. Alkitab adalah Wahyu Allah


Wahyu adalah sebuah kumpulan hakikat-hakikat yang dijelaskan dalam ahkâm (hukum-
hukum) dan premis-premis (apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan). Wahyu
mentransfer kepada manusia hakikat-hakikat murni Ilahi yang dapat dipercaya. Menurut tulisan
ensiklopedia Katolik, “Wahyu dapat didefinisikan sebagai perpindahan sebagian hakikat-hakikat
dari sisi Tuhan kepada maujud-maujud berakal melalui beberapa perantara yang ada di balik
kejadian biasa alam”. Majelis Syura Vatikan pada tahun 1870 mendefinisikan iman sebagai
berikut, “Sebuah kualitas supra natural yang dengannya - sementara kasih Allah mengitari
kondisi kita dan datang menolong kita, kita meyakini bahwa hal-hal yang diwahyukan oleh
Allah adalah memiliki realitas”.
Wahyu terjadi dalam insiden-insiden murni dan historis yang mana manusia berada di
tengah-tengahnya dan juga melalui campur tangan Allah. Dari sisi manusiawi, insiden-insiden
ini adalah simbol pengalaman manusia dari sisi Allah dalam detik-detik penting sejarahnya. Dari
sisi Ilahiah, insiden-insiden ini membuka perbuatan Allah dalam penyingkapan diri-Nya kepada
manusia dan langkah awal dari-Nya dalam kehidupan individual dan sosial. Oleh karena itu,
pengalaman manusiawi dan penyingkapan Ilahi adalah dua sisi dari sebuah realitas.
Dalam sejarah Bangsa Israel, Allah menurunkan wahyu dalam beberapa insiden atau
even dan menampakkan kehadiran-Nya. Dalam ungkapan ramalan insiden-insiden tersebut
dalam ruang lingkup pengalaman religius para nabi, misalnya mengenai sebuah kemenangan
atau kekalahan militer dalam sebuah peperangan, mereka disandarkan kepada kehendak Allah.
Sedangkan dalam kalangan umat Kristen (Nasrani), menemukan Allah menjelma dalam diri dan
prilaku Yesus Kristus, yang dalam wujudnya berbaur aktifitas Ilahi dan insani.
Untuk lebih jelasnya mengenai definisi esensi wahyu dalam agama Kristen, kita kembali
pada sebuah tema dari enseklopedia agama, yaitu: “Para penyusun PB membangun pemahaman
dan kesimpulannya mengenai wahyu berdasarkan PL, dan mereka menerima wahyu sebagai
inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus. Inkarnasi sebagai manifestasi keagungan diri, tidak
berubah-ubah dan ketiadaan tandingan Tuhan dalam sejarah (Surat Paulus). Penjelasan dan
tafsiran teologis atas “Perjanjian Baru” tentang wahyu, dapat ditemukan dalam surat Paulus dan
Yohanes.
Paulus, untuk menjelaskan pengertian wahyu, menggunakan kata apokaluptein yang
bermakna menyingkap tirai, keluar dari kesamaran, dan juga memakai kata phaneroun yang
berarti menampakkan dan menunjukkan. Dasar pembahasannya adalah penyingkapan tirai
rahasia-rahasia yang sebelumnya tertutup bagi beberapa orang, dan sekarang menjadi jelas. Oleh
karena itu, wahyu bermakna penyingkapan tirai atau penemuan rencana dan manajemen Ilahi,
dimana Allah mendamaikan manusia dengan-Nya dalam diri Yesus Kristus. Wahyu adalah
aktifitas Ilahi Sang Pencipta dan perbuatan yang membawa kepada keselamatan. Dalam kejadian
wahyu, Tuhan benar-benar sangat aktif, hingga IA menyamakan diri-Nya dengan manusia
dengan jalan kasih, yaitu melalui Anak-Nya, Yesus Kristus yang kita yakini.
Penjasaan dan ingkarnasi diri-Nya dalam rahim seorang wanita, Maria; hingga kepada
kematian yang penuh pengorbanan di atas kayu salib, kesempurnaan dan penyatuan alam wujud
di bawah naungan-Nya sebagai Juruselamat dunia, seluruhnya dalam rangka pelaksanaan
program rahasia Ilahi. Yesus sendiri dalam program ini adalah sesuatu yang terkirim sebagai
wahyu. Kematian dan kebangkitan Yesus, bahkan gereja sebagai badannya, membentuk unsur-
11
unsur simbolik dan rahasia keselamatan Allah terhadap dunia.

C. Pengilhaman Alkitab sebagai Firman Allah


Kata ilham berasal dari dua kata Yunani, theopneustos yang berarti “dihembusi, dimasuki
angin, atau nafas Allah” (Kej. 2:7, 2Tim. 3:16) dan phero yang berarti “dorongan, di bawah
pengaruh yang menggerakkan, terbawa” (2 Ptr. 1:21). Namun untuk memiliki suatu pengetian
yang tepat dan benar mengenai pengilhaman Alkitab, suatu studi tentang ayat-ayat Alkitab yang
relevan sangat diperlukan.
Bila dibicarakan bagaimana penyataan dari Allah telah diungkapkan dalam kata-kata
Alkitab, maka istilah yang dipakai ialah “ilham” atau “pengilhaman”. Istilah ini menyebut
kegiatan roh Allah yang mengawasi para penulis Alkitab, sehingga tulisan mereka menjadi
salinan Firman Allah kepada manusia. 
Bagaimanakah pelaksanaan pembukuan penyataan Tuhan itu? Soal  dapat dijelaskan
demikian: Dalam 2 Tim. 3:16. Di sini disebutkan adanya tulisan yang diilhamkan Allah yang
bermanfaat untuk mengajar, dan sebagainya. Berikut ini akan dibahas beberapa teori
pengilhaman yang muncul dalam diskusi-diskusi teologi.
1. Pengilhaman  yang  mekanis
Yang dimaksud dengan pengilhaman yang mekanis ialah bahwa manusia di dalam
pengilhaman tadi hanya berfungsi sebagai mekanik atau mesin. Segala
inisiatif dan keaktifan-pokok ada pada Tuhan Allah.
2. Pengilhaman yang negatif atau pasif
Pandangan ini mengajarkan, bahwa para penulis Alkitab dijaga oleh Roh Kudus jangan
sampai tersesat. Jadi yang diilhami adalah para penulisnya. Mereka dibantu oleh Roh
Kudus, sehingga apa yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan kehendak Tuhan Allah.
Pandangan ini tidak sesuai dengan gagasan yang tercantum di dalam Alkitab. Sebab di
sini dengan jelas disebutkan, bahwa yang diilhamkan adalah tulisan-tulisannya atau
Alkitabnya, bukan penulisnya (Bnd. 2 Tim. 3:16).
3. Pengilhaman  yang  dinamis
Menurut pandangan ini hati para penulis diperbaharui oleh Tuhan Allah, sehingga
pengilhaman identik dengan kelahiran kedua kali. Pengilhaman ialah kecakapan yang
diberikan oleh Roh Kudus di dalam jabatan sebagai penulis. Makin dekat penulis dengan
Kristus, makin dapat dipercaya hasil penulisannya. Oleh karena itu maka tulisan para
rasul dianggap sebagai lebih dapat dipercaya daripada tulisan para murid rasul atau
tulisan orang-orang setelah zaman para rasul. Matius dan Yohanes umpamanya lebih
dapat dipercaya daripada Markus dan Lukas. Demikian seterusnya. Jadi kewibawaan
Alkitab tergantung dari penulisnya.
Pandangan ini dikemukakan oleh F. Schleiemiacher. Pandangan yang demikian ini juga
tidak sesuai dengan gagasan Alkitab sendiri. Sebab Alkitab menunjukkan,
bahwa ada juga orang-orang, yang sekalipun tidak tergolong orang beriman, namun
dipergunakan juga oleh Tuhan Allah untuk menyatakan kehendakNya. Kita
ingat akan Bileam, yang memberitakan kehendak Tuhan Allah (Bil. 24:17), dan Kayafas,
yang memberitakan tentang perlunya Tuhan Yesus mati bagi umat Allah (Yob. 11:50).
4. Pengilhaman yang organis
Pandangan inilah yang sesuai dengan pemberitaan Alkitab. Kata organ tidak memberi
pengertian yang khas, sebab kata ini hanya berarti alat. Jadi dengan istilah ini hanya
diungkapkan bahwa di dalam pengilhaman itu Tuhan Allah memakai manusia sebagai
alatNya. Oleh karena itu ungkapan ini agaknya belum menjamin kemurnian artinya. Sebab
ada orang-orang, yang sekalipun mengatakan bahwa Alkitab diilhamkan secara organis,
namun dalam prakteknya memegang teguh kepada pengilhaman yang mekanis, karena tidak
berani meninggalkan penafsiran yang fundamentalistis.  Untuk mendekati arti
12
ungkapan organis itu kita akan berpangkal dari Kis. 9:15, di mana Tuhan Yesus
memerintahkan kepada Ananias supaya pergi mengunjungi Saulus di tempat ia untuk
sementara berada, dengan alasan, bahwa Saulus adalah alat pilihan Kristus untuk
memberitakan namaNya kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel.
Di sini Saulus, disebut alat pilihan Kristus untuk memberitakan namaNya atau untuk
memberitakan Injil atau Firman Allah.

D. Peng-Kanon-an Alkitab
Kata “kanon” yang sebenarnya berarti : penggaris, tali pengukur; arti kiasan : ukuran,
norma. Kemudiannya kata itu dipakai juga untuk daftar Kitab-kitab yang bersama-sama
merupakan Alkitab : isi Kitab-kitab itulah yang diakui oleh Gereja sebagai ukuran dan norma
bagi iman serta kehidupan Kristen.
Mengapa kumpulan 66 kitab itu yang boleh disebut “kanon” Alkitab? Bagi kanon perjanjian
baru acap sekali dikemukakan dua kriteria. Suatu kitab dianggap kanonis: 1. Kalau
“menyaksikan” Kristus (Luthter: “was christum treibet”) dan 2. Kalau merupakan kesaksian
“asli”, yaitu yang berasal dari para rasul atau pada zaman mereka. Tetapi kedua kriteria itu
belum menjawab semua permasalahan. Belum jelas mengapa kitab-kitab seperti I Clemens,
surat-surat Igantus dan buku Didakhe tidak dimuat juga.
Oleh karena itu pembentukan kanon harus kita anggap sebagai keputusan iman gereja.
Dengan mengambil keputusan tentang kanon, gereja menangani apa yang Ortodoksi disebut
testimonium spiritus sancti internum, yaitu: Alkitab sendiri yang menyahkan dirinya sebagai
firman Allah didalam hati orang-orang percaya.
Pembentukan kanon dalam tahap pertama adalah keputusan iman gereja abad ke-2. Tetapi
juga gereja pada masa kini percaya akan kanon sebagai firman Allah dengan tanggung jawabnya
sendiri dan buka dengan tanggung jawab Gereja purba. Sebab gereja pada masa kini sama seperti
gereja purba percaya kepada keputusan kanon oleh Allah Roh Kudus, sehingga dia tetap
menghadapi masalah tentang luasnya kanon itu . Dia tidak luput dari pertanyaan, apakah dia mau
percaya akan kanon yang sudah ada atau mau menentukan batas kanon secara baru.

E.   Kewibawaan Alkitab


Siapa yang percaya kepada Yesus Kristus, tak dapat tidak ia mengakui bahwa Alkitab
mempunya kewibawaan. Apakah yang akan dapat kita ketahui tentang Kristus, jikalau bukan
Alkitab itu menceritakan kepada kita tentang Dia? Alkitab tidaklah beroleh kewibawaannya
misalnya menurut keputusan suatu rapat Gereja, seperti suatu Negara menerima Undang-undang
Dasarnya via konstituante atau dewan perwakilan rakyat. Alkitab mempunyai kewibawaan
rohani  yang timbul dari isinya sendiri : Roh Kudus telah mengerjakan sedemikian rupa hingga
Gereja di masa lampau mendengarkan isi Alkitab dan selalu pula mendengarkannya sebagai
Firman Allah.
Asal dan sumber kewibawaan itu adalah Allah sendiri. Orang-orang beriman mengakui : di
sinilah dan hanya di sini saja, yaitu di dalam Alkitab, kita mendengar suara Tuhan. “Bukti yang
terbesar tentang kebenaran Alkitab terletak di dalam Allah sendiri yang bersabda dalam Alkitab
itu” (Calvin). Calvin segera menambahkan pula, bahwa sahnya “bukti” ini hanya diterima oleh
“mereka yang hatinya telah diajar oleh Roh Kudus”. Oleh sebab itu tak ada faedahnya berdebat
tentang “kebenaran Alkitab” dengan orang yang tidak bersedia lebih dahulu mendengar dengan
penuh hormat kepada isi Alkitab. Apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus mengenai
pengajaranNya (Yoh 7:16-17), hal itu berlaku untuk segenap isi Alkitab!
Pokok dan isi Alkitab dapat disimpulkan sebagai berikut: Alkitab adalah pemberitaan
tentang sejarah-keselamatan, yang pusatnya ialah kedatangan dan pekerjaan Yesus Kristus. Di
sinilah letaknya keesaan dan persesuaian antara kesaksian yang beraneka warna, sebagaimana
diberitakan oleh para nabi dan rasul. Oleh sebab itu kita harus membaca dan menerangkan isi
13
Alkitab. Dengan berpangkalkan kesatuan dan persesuaiannya sebagai kesaksian tentang Yesus
Kristus. Kewibawaan Alkitab disifatkan oleh injil!

F. Alkitab adalah Firman Allah


1. Alkitab sebagai Firman Allah yang Kekal
Alkitab terdiri dari 66 kitab dan surat berisi berita yang sama. Berita itu merupakan
berita anugrah dan berita sukacita bahwa orang yang percaya kepada Allah akan diselamatkan
melalui anak-Nya, Yesus Kristus. Alkitab ini ditulis oleh beberapa orang yang diilhami oleh
Roh Kudus. Sehingga sebenarnya penulis Alkitab adalah Roh Kudus. Dalam surat Paulus di 2
Timotius 3:16 sudah tercantum jelas fungsi dari Alkitab itu sendiri, “Segala tulisan yang
diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk
memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Selain itu juga Firman
Allah yang tercantum dalam Alkitab, sebagian besar telah tergenapi janjinya dan terbukti tepat
baik dilihat dari sisi ilmu pengetahuan maupun sejarah. Namun ada beberapa janji yang belum
tergenapi, salah satunya adalah janji Yesus untuk datang kedua kalinya ke dunia pada akhir
zaman.
Alkitab adalah Firman Allah yang tidak akan pernah musnah dan bertahan kekal sampai
kesudahan dunia. Alkitab merupakan buku atau kitab yang berbeda dari buku dan kitab-kitab
yang lainnya. Perbedaannya adalah Alkitab tetap tinggal dan tetap berguna dari masa ke masa
dan merupakan sumber pengetahuan baik jasmani maupun rohani. Dengan kata lain Allah
berbicara kepada manusia lewat Alkitab. Selain itu, Alkitab juga memiliki kuasa dari Allah,
meskipun penulisnya adalah manusia. Karena saat penulis menyusun Alkitab tersebut, Allah
menurunkan Roh Kudus untuk memberikan ilham.
Dalam Wahyu 22:18-19, Allah mengingatkan dan memperingatkan manusia untuk tidak
menambah atau mengurangi Firman-Nya. Kata Dia, “…Jika seorang menambahkan sesuatu
kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-
malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari
perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon
kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.”

2. Firman Allah Memberi Pertolongan Ajaib


Allah dan Firman-Nya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa
Allah mana mungkin Alkitab dapat tercipta? Firman-Nya atau Alkitab juga tidak dapat
langsung muncul ke bumi begitu saja tanpa adanya suatu campur tangan suatu pihak. Jadi
disini juga berbicara tentang kekuasaan Allah yang tak terbatas. Salah satunya adalah
pertolongan Allah yang ajaib. Lewat kuasa ini, segala persoalan yang mustahil menjadi mudah
untuk dilewati. Kuasa ini akan terjadi apabila kita mengutamakan Allah dan percaya kepada-
Nya dengan sepenuh hati. Seperti di dalam Injil Matius yang berkata “Tetapi carilah dahulu
Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. dan
inilah yang seharusnya kita utamakan. Mencari dahulu kehendak Allah atas hidup kita, maka
kita akan mendapatkan balasannya pada saat waktunya.
Lewat kepercayaan kita kepada Allah kita juga akan mendapatkan keajaiban yang
dilakukan oleh-Nya. Ada Firman yang berkata seperti ini “Percayalah kepada TUHAN
dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri .Akuilah
Dia dalam segala lakumu , maka Ia akan meluruskan jalanmu ’’ Firman yang saya
dapatkan setelah saya mendengarkan kotbah dari kakak pembimbing saya waktu masih
14
SMA dulu dan akan tetap saya pegang sampai hari ini walaupun banyak sekali badai
yang menerpa. Tetap percaya pada Tuhan Allah kita dengan segenap hati kita dan
jangan hanya mengandalkan pengertian kita sendiri dan kita juga harus dituntut untuk
peka akan suara-suara dari Allah melalui saat teduh kita maupun dalam doa-doa kita.
Dan marilah kita untuk mengingat Allah dalam segala sesuatu yang kita lakukan, baik
melakukan kegiatan kita sehari-hari. Maka Dia akan menunjukkan kepada kita cara
hidup yang benar, melalui persembahan maupun cara akal budi kita, supaya kita makin
berkenan kepada Dia dan sempurna di hadapan-Nya.
    
3. Firman Allah Menghakimi Kita
Tidak hanya untuk kebahagiaan umat-Nya saja adanya Firman dari Allah, tapi
Firman-Nya ada juga untuk menghakimi umat-Nya. Allah mampu menghakimi umat-
Nya karena Allah memiliki kuasa untuk menghakimi. Para nabi dalam Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru sering kali mengucapkan kata-kata hukuman yang mereka terima
dari Allah. Pada Injil Yohanes 12:48 yang berbunyi demikian, “Barangsiapa menolak
Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang
telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman.” Yesus
mengatakan bahwa Firman-Nya akan menghakimi orang yang menolak diri-Nya.
Selain Firman Allah dapat menghakimi kita, Firman-Nya juga memiliki kuasa
untuk mengijinkan Iblis mencobai umat-Nya. Seperti yang dialami oleh Yesus sendiri
yang telah dicobai oleh Iblis di padang gurun sebanyak tiga kali. Pencobaan-pencobaan
itu antara lain mengubah batu menjadi roti, menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah
dan Iblis juga akan menjadikan Yesus pemimpin dari segala kerajaan di bumi dengan
syarat Dia harus menyembah sang  Iblis. Tetapi Yesus menjawab dengan penuh
keimanan dan menolak semua ajakan Iblis.
Dalam kitab Kejadian 22:1-19, Allah mencobai iman dan ketaatan Abraham
melalui pengorbanan anak satu-satunya, yaitu Ishak. Pengorbanan itu sebagai
persembahan untuk Allah sendiri. Dalam hati seorang manusia biasa, pasti ada perasaan
yang berkecamuk jika perkataan Allah itu menyuruh kita untuk mempersembahkan anak
satu-satunya kepada Allah. Tetapi Abraham tetap setia dengan perkataan Allah, sehingga
saat Abraham akan menyembelih Ishak, Malaikat Tuhan turun dan mengatakan “Jangan
bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia , sebab telah Kuketahui sekarang , bahwa
engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu
yang tunggal kepada-Ku .” dan Abraham mendapatkan seekor domba jantan sebagai
pengganti persembahan untuk Allah. Lalu Malaikat Tuhan berkata untuk kedua kalinya,
“Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri -demikianlah firman TUHAN -: Karena engkau
telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan –segan untuk menyerahkan anakmu
yang tunggal kepada-Ku, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan
membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi
laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah 
semua bangsa di bumi akan mendapat berkat , karena engkau mendengarkan firman-Ku.
Selain menghakimi, Allah juga menuntut Roh kita menguasai jiwa kita, agar
emosi dan kemauan kita dikendalikan oleh Roh. Kalau jiwa kita, yaitu emosi dan
kemauan menguasai roh kita, maka kita menjadi histeris dalam penyembahan dan
menuruti keinginan daging kita. Dalam Injil Matius mengatakan roh kita memang
menurut akan kehendak Allah.

4. Firman Allah Mengajarkan Kehidupan dan Sifat Seorang Murid


Allah juga mengajarkan kita sebagai murid-Nya seperti Tuhan Yesus yang
mengajar kedua belas murid-Nya. Dalam kitab Galatia 2:19b-20 yang berbunyi “ Aku
15
telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup , tetapi bukan lagi aku sendiri yang
hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi
sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah
mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. ” kita diajarkan supaya Tuhan
Yesus Kristuslah yang seharusnya menjadi pusat dari segala kegiatan atau aktifitas kita.
Menjadi seorang murid Allah itu tidaklah mudah . Akan ada halangan dan
rintangan yang menerpa kita. Disinilah kita diuji untuk tahan banting, tahan lama dan
tahan terhadap apapun. Mula-mula kita akan diperhadapkan dengan masalah-masalah
yang terbilang cukup ringan. Ketika kita sudah bisa menghadapi masalah-masalah ringan
tersebut, maka kita akan diperhadapkan dengan perkara yang tingkatnya satu tingkat di
atasnya . Disini kita juga harus mengandalkan Tuhan setiap saat dan tetap setia
menuruti kehendak Dia. “ Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga
dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara
kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.  “. Apabila dia tidak dapat
menyelesaikan masalah-masalah tersebut maka masalah itu akan menumpuk dan dia
akan meninggalkan (tidak setia) Tuhan dan mencari cara yang lain supaya masalah itu
bisa selesai.
Ada satu lagi perkataan Allah dalam Firman-Nya bahwa “Pencobaan-pencobaan
yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan
manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai
melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu
jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” Yang menjadi kekuatan kita,
dasar untuk menghadapi segala tantangan kita untuk menjadi murid dari Allah.
Selain hal-hal diatas, kita juga perlu untuk bertumbuh dalam Firman-Nya. Karena 
kita adalah anak-anak Allah yang terpilih untuk menjadi murid-Nya. Firman “ Seperti
pandan yang bertumbuh tinggi kalau tidak di rawa atau mensiang yang bertumbuh
subur, kalau tidak di air.” itulah diri kita dengan teguh berpegang  kepada kebenaran di
dalam kasih yang bertumbuh di dalam segala hal ke Kristus yang adalah Kepala.  Tidak
hanya teguh berpegang kepada kasih kita kepada Kristus, tetapi kita juga perlu berjaga-
jaga dan berdoa supaya apa yang kita dapatkan sebagai murid Allah tidak lepas begitu
saja.
Sebagai hal terakhir tentang Firman  Allah yang mengajarkan kita tentang
kehidupan dan sifat dari seorang murid adalah membutuhkan suatu proses. Proses
pertama untuk menjadi seorang murid adalah menerima dahulu Tuhan Yesus Kristus
sebagai jalan keselamatan. Dalam Injil Yohanes, Yesus mengatakan bahwa Dia adalah
jalan, kebenaran dan hidup dan tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa (Allah),
kalau tidak melalui Aku. Itulah sebabnya dalam setiap mengikut menjadi murid Allah
harus mengerti tentang hal ini. Setelah kita menerima Dia sebagai juru selamat, yang
kedua adalah mengerti tentang Firman Allah. Dalam hal ini, kita perlu kepekaan untuk
mengerti apa yang akan dibicarakan oleh Allah. Kepekaan ini dapat kita dapatkan
setelah Roh Kudus telah ada di dalam diri kita. Roh Kudus adalah Roh yang diberikan
oleh Allah sebagai penghubung antara kita dengan Allah. Dia juga yang akan
mengajarkan dan mengingatkan kita akan sesuatu yang telah Allah katakan. Kesatuan
dari masing-masing pribadi yang tahu tentang tujuan dan arah hidup mereka. Jika
tujuan mereka sama, satu , sehati, sepikir, maka jadilah mereka suatu kelompok yang
akan memperjuangkan tujuan mereka agar tercapai. Jika tujuannya adalah yang
tercantum dalam Amanat Agung, memberitakan Injil sampai seluruh bangsa, sebaiknya
mereka yang mempunyai tujuan tersebut bersatu dan saling menguatkan jika ada salah
satu mereka yang jatuh atau sedang  down . Pada akhirnya murid-murid Allah ini akan
menjad i berkat bagi sekitar mereka.
16
5. Allah selalu memikirkan yang terbaik bagi kita
Kedua orang tua kita pasti memiliki kasih yang sangat besar kepada kitra sebagai anak-
anaknya dan sudah pasti orang tua kita tidak akan membiarkan kita anaknya berada dalam
bahaya apa lagi Bapa kita yang ada di surga dia sebagai bapa kita yang sangat mengasihi kita
bahkan melebihi kasih kedua orang tua kita yang ada di dunia dan pasti Bapa kita yang ada di
sorga juga tidak akan membiarkan kita masuk ke dalam jalan yang salah sebagai orang tua
yang baik dan mengasihi anaknya pasti tidak akan mengabulkan atau membiarkan sesuatu
yang membahayakan anaknya meski anaknya itu memohon dan merengek Allah juga tidak
menginginkan hal yang buruk itu terjadi kepada kita sehinga terkadang dia tidak mengabulkan
permintaan kita karena bapa kita tahu permohonan itu akan membahayakan diri kita.
Dalam Lukas 11:13 Firman Tuhan berkata “jadi jika kamu yang jahat tahu memberi
pemberian yang baik kepada anak-anakmu apa lagi bapamu yang ada di sorga ia akan
memberikan Roh kudus kepada mereka yang meminta kepada –Nya . Jadi jaganlah kita
berprasangka buruk jika Tuhan tidak memberi pertolongan ataupun mengabulkan
permohonan.

Referensi:
Alkitab (2013) Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Erickson, J Millard. (1999).Teologi Kristen Vol 1. Malang: Gandum Mas.
Harun (2007), Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Indra (2010), Teologi Sistematis, Bandung: LLB
Doson, James C. (2005). Ketika TUHAN Tidak Dapat Dimengerti. Jakarta

17
Modul. III
DOGMATIKA: ALLAH TRI TUNGGAL

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 3
Standar Kompetensi Mahasiswa menghayati & mengimani ajaran iman Kristen serta mengenal
bentuk- bentuk pengakuan iman Kristen.
Kompetensi Dasar 1. Mengenal dogma-dogma dan macam-macam pengakuan iman Kristen.
2. Mengenal dan sikap yang benar dalam mempelajari ajaran Allah
Tritunggal.
3. Menjelaskan beberapa cara keberadaan Allah Bapak, Anak dan Roh
Kudus sebagai Allah yang Esa.

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan dan menguraikan tentang Konsep Tritunggal dalam
pengakuan iman Kristen
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menjabarkan contoh keberadaan Trintunggal sebagai pribadi
Kristus dalam hidupnya
Penutup (20 menit) Menyimpulkan pemahaman tentang Tritunggal

A. Pendahuluan
Untuk memahami dan mengenali pribadi Allah sendiri tidaklah mudah bagi kita semua.
Allah itu Agung dan Maha Besar, kita tak dapat memahaminya secara langsung. Dan juga kita
mengenal akan konsep Allah Tritunggal di kekristenan. Konsep ini terkesan kompleks dan sukar
untuk dipahami. Namun mungkin ada cara mudah untuk memahami konsep ini sendiri.
Konsep dan Istilah Tritunggal itu sendiri, memang tidak disebutkan di dalam Alkitab.
Namun kita janganlah berkecil hati, karena para Bapa Gereja pastilah telah memikirkan secara
matang akan konsep ini. Maka kita akan mebahas juga konsep Tritunggal dari pandangan
Alkitabiah, walaupun konsep tersebut tidaklah ada di dalam Alkitab.
Konsep Allah Tritunggal sendiri telah menjadi fondasi utama dalam ajaran kekristenan.
Konsep ini sendiri muncul dan diakui di Konsili Nicea I dan tetap bertahan ajarannya hingga
sekarang. Konsep ini telah melalui perjalanan panjang dan banyak kesalah pahaman dan
pertentangan akan konsep ini. Maka kami akan membahas topik ini untuk memberikan
penjelasan akan apa konsep Tritunggal itu, walaupun kita tahu bahwasanya konsep ini sulit
untuk dipahami secara langsung.

B. Pengertian Dogmatika
Istilah “dogma” berasal dari kata Yunani dan Latin, yang berarti “hal yang dipegang

18
sebagai suatu opini” atau bisa juga menunjuk pada “suatu doktrin atau badan dari doktrin-doktrin
teologi dan agama yang secara formal dinyatakan dan diproklamasikan sebagai suatu yang
berotoritas oleh gereja.”
Dogmatika berasal dari dasar kata ‘dogma’. Menurut Hendrikus Berkhof dalam bukunya
“introduction to the study of dogmatics” menguraikan bahwa setiap kata yang diakhiri dengan
‘ics’ (dogmatics) mengarah kepada penjelasan kata sebelumnya yaitu dogma. Lanjutnya ‘ics’
menunjuk kepada sebuah kegiatan ilmiah. Karenanya dengan sederhana ia menyimpulkan
dogmatika sebagai studi ilmiah tentang dogma.
Dalam kamus Yunani-Belanda sebagaimana yang dikutip Jongeneel, kata dogma berarti
pendapat, asaz, keputusan, perintah, atau hukuman. Bahkan kata ini juga dipakai dalam artian
sebagai peraturan. Dengan mengacu pada kata dogma yang sering dipakai dalam Perjanjian
Baru, dogma mempunyai arti sebagai berikut: ketetapan, perintah dari Kaisar atau raja (Lukas
2:1; Kis.17:7; Ibrani 11:23); perintah hukum, ketentuan hukum, yang berasal dari Musa (Efesus
2:15; Kolose 2:14) dan keputusan Kristen (Kisah 16:4). Sedangkan menurut Herman Bavinck
sebagaimana yang dikutip Yewangoe menguraikan bahwa dogma berasal dari kata Yunani, yaitu
dokein, yang mengacu pada apa yang ditetapkan, yang diputuskan, dan karena itu pasti.
Pemakaian istilah dogma mengajarkan kepada kita bahwa terdapat berbagai perintah,
keputusan, kebenaran, dalil, aturan kehidupan yang bisa diacu. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Lukas (dalam Kis.16:4) dimana para rasul (Paulus dan Silas) selalu menyampaikan dogma
yang berupa keputusan-keputusan yang diambil oleh para Rasul dan para Penatua di Jerusalem
dengan pesan supaya jemaat menurutinya. Keputusan itu menyangkut baik “ajaran Kristen”
maupun “kehidupan Kristen”. Menurut Yawangoe istilah dogma mengandung empat makna,
diantaranya;
 Pertama, secara umum terkandung di dalamnya pengertian bahwa ada sesuatu yang pasti
dan yang berada di atas;
 Kedua, dogma mengandung di dalamnya unsur sosial. Dogma berwatak menentukan maka
dengan sendirinya ia akan diakui dalam suatu lingkungan tertentu. Pengertian dogma
mengasumsikan bahwa kekuasaan (baca: kewibawaan) yang menghasilkan mesti juga
mampu untuk mengakui dan mempertahankannya;
 Ketiga, istilah ini mengajarkan kita bahwa senantiasa ada dua unsur yang terkait satu sama
lain, yaitu kewibawaan Allah dan pengakuan iman gereja. Olehnya tugas ahli dogmatika
adalah menjamin bagaimana kedua unsur ini dikaitkan satu sama lain; dan
 Keempat, dogma juga berarti luas sekali. Ia kadang-kadang mengacu pada seluruh ajaran
dan akta agama Kristen, termasuk di dalamnya upacara-upacara dan ritus-ritus. Dogma juga
tidak saja mengacu pada ajaran-ajaran tetapi juga pada kebenaran etis.

Bagaimana dengan dogmatika? Dogmatika pada mulanya adalah sebuah ajektif guna
melukiskan pengertian utama teologi. R. Soedarmo dalam bukunya “Ikhtisar Dogmatika”
mengartikan dogmatika sebagai ilmu teologi yang menyelidiki dan merumuskan hal-hal yang
dinyatakan dalam Kitab Suci dan yang mencari kesatuan dari hal-hal tersebut. Bahkan lebih jauh
Gerald O’collins mengartikan dogmatika sebagai pengujian dan penampilan secara koheren dan
sistematis semua ajaran Kristen yang meliputi Trinitas, Inkarnasi, Penebusan, dosa, anugerah,
gereja, sakramen, eskatologis dan seterusnya. Semuanya harus dilakukan dalam terang iman.
Olehnya dogmatika harus dikerjakan oleh orang percaya.
Aspek lain yang penting juga adalah dogmatika dilihat sebagai bersifat gerejawi. Hal ini
terlihat jelas dalam karya Karl Barth “Kirchliche dogmatik” (dogmatika gerejawi). Dengan
demikian dogmatika haruslah merefleksikan iman jemaat. Namun tidak berarti dogmatika
menolak upaya-upaya penyelidikan, penelitian, pertanyaan-pertanyaan dan pemikiran kritis,
maupun konstruktif. Dogmatika justru mendorong ke arah itu.

19
C. Allah Tritunggal
Istilah ini pertama kali digunakan dalam istilah bahasa Latin, Trinitas oleh
Tertulianus dan dalam istilah bahasa Yunani, Trias oleh Teofilus dari Antiokhia.
Istilah Tritunggal ini bukanlah istilah yang berasal dari Alkitab tetapi konsep
tentang Allah yang Esa dengan kejamakannya terungkap dengan jelas di
dalamnya. Istilah ini merupakan istilah yang diadopsi dari apa yang telah
disediakan oleh lingkungan keilmuan Filsafat. Penggunaan istilah Tritunggal
merupakan suatu bentuk ringkas untuk menjelaskan tentang fakta Alkitab bahwa Allah yang
disembah adalah Allah Tritunggal dan hanyalah sebagai usaha untuk menjelaskan kepenuhan
Allah, baik dalam hal keesaan-Nya maupun dalam hal kejamakan-Nya.

1. Dasar Alkitabiah Doktrin Allah Tritunggal


Data yang diungkapkan dalam Alkitab menunjukkan fakta-fakta yang
dapat dijadikan bukti dan landasan Alkitabiah tentang Allah Tritunggal tidak
dapat dipungkiri, diragukan dan diabaikan begitu saja tanpa memperhatikannya. Bukti-bukti
tentang ajaran Tritunggal dapat dikatakan cukup banyak terdapat dalam tulisan-tulisan Alkitab
kecuali bukti-bukti itu dengan sengaja diabaikan dan tidak diperhatikan karena faktor
kesubjektifan.
Dalam bagian ini pembahasan data dan fakta dari Alkitab yang dijadikan
bukti Alkitabiah untuk pemahaman doktrin Tritunggal ini. Perlu dipahami
bukti-bukti ini mungkin terpisah tetapi saling terkait secara erat dan saling
melengkapi guna membangun landasan Alkitabiah tentang doktrin Tritunggal
ini. Allah dalam Alkitab dinyatakan dengan jelas dan tegas sebagai Allah yang
Esa. Dia adalah satu-satunya Allah yang kekal, benar dan hidup dan tidak ada
yang setara dan dapat menyamai-Nya. Hal ini dibuktikan sebagaimana
dinyatakan dalam pengakuan iman Westminster yang nyatakan bahwa,
“hanya ada satu Allah yang esa, yang hidup dan sejati.” Keesaan Allah disini dimaknai dan
dinyatakan bahwa “hanya ada satu Allah saja dan bahwa sifat
dasar atau watak Allah tidak dapat dipisah-pisahkan atau dibagi”.

2. Definisi Allah Tritunggal menurut beberapa ahli.


a) Menurut Pdt. Dr. Stephen Tong
"Tritunggal berarti tiga pribadi di dalam satu Allah atau di dalam satu esensi diri Allah,
ada tiga pribadi.”
b) Menurut Louis Berkhof
“Ketika kita membicarakan tentang Allah Tritunggal, kita senantiasa memandang ketiga
pribadi itu dalam satu kesatuan, dan pada satu kesatuan yang terdiri atas
tiga Pribadi.”
c) Menurut Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th
“Memang, tidaklah mudah membuat definisi dari Trinitas, hal ini dikaitkan dengan
perlunya keseimbangan penekanan dari keesaan (ketunggalan) dan ketigaan
(kejamakan) Allah. Penekanan yang berlebihan pada keesaan atau ketigaan
dapat menyebabkan kekeliruan dan kesesatan. Alkitab jelas menunjukkan
adanya “ketunggalan Allah” dan juga menunjukkan adanya “kejamakan Allah”.
d) Menurut R.C. Sproul
“Doktrin Trinitas menjelaskan batas pemikiran kita yang terbatas. Doktrin Trinitas
menuntut kita untuk setia pada wahyu Ilahi yang menyatakan bahwa dalam satu
pengertian Allah adalah esa dan dalam pengertian lainnya Dia adalah tiga.”

20
D. Konsep Allah Tritunggal dalam Alkitab
1. Konsep Allah Tritunggal dalam Perjanjian Lama (PL)
Dalam perjanjian lama, muncul istilah Elohim ( Kejadian 1:26; 3:22; 11:7 ). Kata Elohim
diambil dari bahasa Ibrani. Elohim menunjukkan sebuah bentuk jamak dari El. Menurut
Stephen Tong dalam bukunya berjudul Allah Tritunggal, menyebutkan bahwa sebutan
yang dipakai untuk Allah (Elohim) tidak memakai bentuk tunggal (singular) ataupun
bentuk ganda (dual), melainkan dalam bentuk jamak (plural) dan kata kerja yang
mengikutinya selalu memakai kata kerja untuk bentuk tunggal. Lalu dalam Ulangan 6 : 4
“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!’ menunjukkan
bahwa Allah adalah satu yang memiliki tiga pribadi.

2. Konsep Allah Tritunggal dalam Perjanjian Baru (PB)


Dalam 1 Yohanes 5 : 7 berbunyi “Sebab ada tiga yang memberi kesaksian ( di dalam sorga:
Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.” Menunjukkan bahwa Allah
adalah satu yang bereksistensi dalam tiga pribadi. Lalu, dalam 1 Korintus 8 : 4 “Tentang
hal makan daging persembahan berhala kita tahu : “Tidak ada berhala di dunia dan tidak
ada Allah lain daripada Allah yang esa.” Kata esa menunjukkan kesatuan dari beberapa
objek dan hal itu merujuk kembali kepada Allah adalah satu dengan memiliki tiga pribadi.
Dalam Galatia 3 : 20 “Seorang pengantara bukan hanya mewakili satu orang saja,
sedangkan Allah adalah satu.” kembali menunjukkan kehadiran Allah memiliki tiga pribadi
yang bersatu dalam diri Allah
3. Konsep sifat-sifat Allah
Sifat-sifat Allah merupakan suatu segi dari pribadi Allah, tidak berdiri sendiri yang dapat
dipahami sebagai satu sifat yang tidak dapat dipisahkan. Sifat – sifat Allah saling sinergis
yang selaras dan terpadu dalam diri Allah. Mengenali sifat Allah tidak hanya menekankan
pada satu sifat saja, melainkan mengenal keseluruhan dari sifat – sifat Allah karena itu
adalah satu kesatuan.
4. Konsep Penyataan Allah
Di dalam Alkitab, dijelaskan bahwa penyataan Allah dalam 2 bentuk, yaitu penyataan
secara umum melalui alam semesta, dan penyataan khusus melalui firman Allah. Dalam
Alkitab juga digambarkan penyataan Allah secara progresif yang artinya Allah menyatakan
dirinya secara bertahap dalam waktu yang lama.

E. Tiga Pribadi dari Allah


1. Bapa adalah Allah.
Sebutan Bapa untuk Allah bukanlah dipahami seperti dalam penggunaan secara umum
sebagaimana orang zaman dulu menyebut dewa Zeus sebagai Bapak atau sebagaimana sering
digunakan untuk suatu keberadaan tertinggi. Dalam Perjanjian Baru, Bapa memiliki arti yang
baru dan terlihat dalam hubungan Allah dengan Kristus dan hubungan Allah dengan orang
Percaya. Itu bukanlah nama untuk umum tetapi nama Bapa untuk Allah sebagaimana
diajarkan oleh Alkitab dan merupakan sebuah pewahyuan. Penggunaan sebutan Bapa untuk
Allah digunakan oleh jemaat Kristen sejak awal dan merupakan pemikiran yang diajarkan
Kristus kepada gereja dan merupakan sebutan kesukaan Kristus (Matius 6:9,26,30-32) dan
ketika Ia menyebut Allah, jelas bahwa yang dimaksud oleh Yesus adalah sang Bapa (mis.
Matius 19:23-26; 27:46; Markus 12:17, 24-27) dan ini diteguhkan juga oleh Yohanes
(Yohanes 6:27). Bagian-bagian lain dalam Alkitab yang menunjukkan bukti Bapa sebagai
Allah diungkapkan juga oleh Paulus dalam 1 Korintus 8:4, 6; 1 Timotius 2:5-6; Efesus 1:3, 17
dan Galatia 4:16 dan ditulis oleh Petrus dalam 1 Petrus 1:2.

21
2. Anak adalah Allah.
Iman kepada keilahian Kristus merupakan hal yang sangat penting dan
mendasar bagi kekristenan. Meskipun doktrin keilahian Kristus sangat krusial
tetapi dari abad ke abad gereja terus diperhadapkan pada orang-orang yang mengaku dirinya
Kristen tetapi menyangkali dan menyelewengkan ajaran ini. Alkitab memberikan kesaksian
yang jelas bahwa Yesus Kristus adalah Allah sebagaimana dinyatakan dengan jelas dalam
Filipi 2:5-11. Kenapa ayat ini penting ? karena Paulus seorang Yahudi ortodoks penganut
monoteisme yang ketat menuliskan frasa, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan”
merupakan hal yang sungguh-sungguh mengherankan. Dalam ayat 6 menunjukkan dengan
jelas sekali bahwa kesetaraan dengan Allah itu sudah dimiliki Yesus sebelumnya. Dan oknum
yang setara dengan Allah pastilah Allah. Penelusuran yang cermat untuk menemukan bukti-
bukti Alkitab tentang Kristus maka akan terlihat bahwa Paulus kerap menyebut Allah (Theos)
sebagai Bapa Yesus Kristus, dan menyebut Kristus sebagai Anak Allah (Huios Theou) tetapi
dalam Titus 2:13 ia mememakai sebuah sebutan yang susah dimengerti karena ia menyebut
Yesus sebagai Theos: Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita, Kristus Yesus.
Selanjutnya “dalam dua belas dari tiga belas surat Paulus (kecuali Titus),” tulis J. Konx
Chamblin, “Yesus Kristus disebut sebagai Tuhan (Kyrios)”dan konsep ini mendominasi ide
teologi Paulus. Perlu dipahami juga bahwa sesekali Paulus mengunakan sebuatan Kyrios
(Tuhan) bagi Allah Bapa.
Ketika istilah Theos dan Kyrios digunakan, maka istilah Theos merujuk perbedaan
pribadi antara Yesus dan Bapa, sedangkan Kyrios merujuk keserupaan keduanya dalam
keberadaan dan karakter. Bagian penting selanjutnya yang membuktikan ke-Allahan Krsitus
adalah Ibrani 1. Dalam pasal ini menggunakan istilah bahwa Allah yang disebut sebagai Bapa
dari Dia yang disebut sang Anak (ay 5), dan khususnya ayat 8 (yang dikutip dari Mazmur
45:7) dimana Allah menyapa sang Anak sebagai “Allah” dan dalam ayat 10 sebagai “Tuhan”
(dikutip dari mazmur 102:26). Hal ini menunjukkan bahwa penulis Ibrani yang berbicara
kepada orang Kristen Ibrani yang memegang monoteisme, menjelaskan dengan memakai cara
yang meneguhkan keilahan Yesus dan kesetaraan-Nya dengan Bapa.
Pertimbangan terakhir tentang keilahian Kristus adalah kesadaran diri Yesus sendiri.
Yesus memang tidak pernah secara blak-blakan mengatakan, “Akulah Tuhan” tetapi Ia benar-
benar menyadari bahya diri-Nya adalah Allah. Contohnya, Ia mengampuni dosa yang hanya
bisa dilakukan Allah (Markus 2:8-10); ia berkuasa untuk menghakimi dunia (Matius 25:31)
dan memerintah dunia (Matius 24:30; Markus 14:62). Yesus juga berbicara tentang diri-Nya
sebagai raja dalam kerajaan Allah yang sesekali disebut kerajaan-Nya (Matius 13:41; 16:28;
20:21; Lukas 23:42; Yohanes 18:33-38) dan jika para pemimpin agama lain meniadakan diri,
Ia menunjukkan diri-Nya. Mereka berbicara tentang pendapat mereka tentang suatu jalan
kebenaran tetapi Yesus menyatakan, “Akulah kebenaran: Ikutlah Aku”. Dan Pengakuan diri-
Nya sebagai anak Allah bukan saja dalam arti Juruselamat, tetapi juga untuk menyatakan
bahwa antara Ia dan Allah terdapat hubungan kekal dan unik sebagimana terbukti dalam
Lukas 2:49; Yohanes 5:17, 23, 8:19; 14:7, 23; 15:23; 19:7; Markus 9:37.

3. Roh Kudus adalah Allah.


Pemahaman Paulus tentang Allahnya berubah secara radikal sejak perjumpaannya
dengan Yesus Kristus dan pengalamannya bersama Roh Kudus. Berikut ini beberapa bagian
Alkitab yang menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah Allah. Millard Erickson membagi
petunjuk tentang keilahian Roh Kudus dalam tiga bagian:
a) Rujukan-rujukan kepada Roh Kudus dapat dipertukarkan dengan rujukan-rujukan kepada
Allah, seperti Kisah rasul 5:3-4; Yohanes 16:8-11; 1 Korintus 12:4-11.

22
b) Pernyataan bahwa Roh Kudus juga menerima kehormatan dan kemuliaan
yang diperuntukkan bagi Allah (1 Korintus 3:16-17). Dan
c) Pernyataan bahwa Roh Kudus adalah setara dengan Allah (Mat 28:19), rumusan baptisan
(2 Kor 13;13), Doa Berkat Paulus (1 Petrus 1:2). Alkitab juga menunjukkan kepada kita
berbagai bukti yang menjelaskan bahwa ke-Allahan Roh Kudus dengan fakta-fakta yang
jelas. Ia disebut Allah (Kis 5:3-4) dan memiliki sifat - sifat Allah: Mahatahu (1 Kor
2:10), Mahahadir (Mazmur 139:7-10; 1 Korintus 6:19), Mahakuasa (Luk 1:35), Pemberi
hidup (Roma 8:2), Kekal (Ibrani 9:14).

F. Memahami Tuhan sebagai Allah Tritunggal


Walaupun kita mengetahui bahwa konsep Trinitas ini tidak dapat dijelaskan hanya
dengan akal, bukan berarti bahwa Allah Tritunggal ini adalah konsep yang sama sekali tidak
masuk akal. Berikut ini adalah sekilas uraian bagaimana kita dapat mencoba memahami Trinitas,
walaupun pada akhirnya harus kita akui bahwa adanya tiga Pribadi dalam Allah yang Satu ini
merupakan misteri yang tidak cukup kita jelaskan dengan akal, sebab jika dapat dijelaskan
dengan tuntas, maka hal itu tidak lagi menjadi misteri. St. Agustinus bahkan mengatakan, “Kalau
engkau memahami-Nya, Ia bukan lagi Allah”.
Sebab Allah jauh melebihi manusia dalam segala hal, dan meskipun Ia telah
mewahyukan Diri, Ia tetap tinggal sebagai rahasia/misteri yang tak terucapkan. Di sinilah peran
iman, karena dengan iman inilah kita menerima misteri Allah yang diwahyukan dalam Kitab
Suci, sehingga kita dapat menjadikannya sebagai dasar pengharapan, dan bukti dari apa yang
tidak kita lihat (Ibr. 11:1-2). Agar dapat sedikit menangkap maknanya, kita perlu mempunyai
keterbukaan hati. Hanya dengan hati terbuka, kita dapat menerima rahmat Tuhan, untuk
menerima rahasia Allah yang terbesar ini; dan hati kita akan dipenuhi oleh ucapan syukur tanpa
henti.
Doktrin Trinitas atau Allah Tritunggal Maha Kudus adalah pengajaran bahwa Tuhan
adalah SATU, namun terdiri dari TIGA pribadi: 1) Allah Bapa (Pribadi pertama), 2) Allah
Putera (Pribadi kedua), dan Allah Roh Kudus (Pribadi ketiga). Karena ini adalah iman utama
kita, maka kita harus dapat menjelaskannya lebih daripada hanya sekedar menggunakan analogi
matahari, segitiga, maupun kopi susu.
Beberapa landasan dasar dari Kitab Suci yang menguraikan dan menjelaskan tentang ke
Tritunggalan Allah, antara lain :
1) Allah itu Esa: Ulangan 6:4; 1 Korintus 8:4; Galatia 3:20; 1 Timotius 2:5
2) Tritunggal terdiri dari tiga Pribadi: Kejadian 1:1; 1:26; 3:22; 11:7; Yesaya 6:8; 48:16; 61:1;
Matius 3:16-17; Matius 28:19; 2 Korintus 13:14. Untuk ayat-ayat dari Perjanjian Lama,
pemahaman Bahasa Ibrani sangatlah menolong. Dalam Kejadian 1:1, kata “Elohim” adalah
dalam bentuk jamak. Dalam Kejadian 1:26; 3:22; 11:7 dan Yesaya 6:8, kata jamak “kita”
yang digunakan. Dalam Bahasa Inggris hanya ada dua bentuk kata, tunggal dan jamak.
Dalam Bahasa Ibrani ada tiga macam bentuk kata: tunggal, dual dan jamak. Dual HANYA
digunakan untuk dua. Dalam Bahasa Ibrani, bentuk dual digunakan untuk hal-hal yang
berpasangan, seperti mata, telinga dan tangan. Kata “Elohim” dan kata ganti “kita” adalah
dalam bentuk jamak- jelas lebih dari dua - dan menunjuk pada tiga atau lebih dari tiga
(Bapa, Anak, Roh Kudus).
3) Dalam Yesaya 48:16 dan 61:1 sang Anak berbicara dan merujuk pada Bapa dan Roh Kudus.
Bandingkan Yesaya 61:1 dengan Lukas 4:14-19 untuk melihat bahwa yang berbicara adalah
Anak. Matius 3:16-17 menggambarkan peristiwa pembaptisan Yesus. Dalam peristiwa ini
kelihatan bahwa Allah Roh Kudus turun ke atas Allah Anak sementara pada saat bersamaan
Allah Bapa menyatakan bagaimana Dia berkenan dengan sang Anak. Matius 28:19 dan 2
Korintus 13:14 adalah contoh mengenai tiga Pribadi berbeda dalam Tritunggal.

23
4) Pribadi-Pribadi dalam Tritunggal dibedakan dari satu dengan yang lainnya dalam berbagai
ayat. Dalam Perjanjian Lama, “TUHAN” berbeda dari “Tuhan” (Kejadian 19:24; Hosea
1:4). TUHAN memiliki “Anak” (Mazmur 2:7; 12; Amsal 30:2-4). Roh Kudus
dibedakandari “TUHAN” (Bilangan 27:18) dan dari “Allah” (Mazmur 51:12-14). Allah
Anak dibedakan dari Allah Bapa (Mazmur 45:7-8; Ibrani 1:8-9). Dalam Perjanjian Baru,
Yohanes 14:16-17, Yesus berbicara kepada Bapa tentang mengutus Sang Penolong, yaitu
Roh Kudus. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus tidak memandang diriNya sebagai Bapa
atau Roh Kudus. Perhatikan pula saat-saat lain dalam kitab-kitab Injil ketika Yesus
berbicara kepada Bapa. Apakah Dia berbicara kepada diri sendiri? Tidak. Dia berbicara
kepada Pribadi lainnya
dalam Tritunggal, - Sang Bapa.
5) Setiap Pribadi dalam Tritunggal adalah Allah. Bapa adalah Allah: Yohanes 6:27; Roma 1:7;
1 Petrus 1:2. Anak adalah Allah: Yohanes 1:1, 14; Roma 9:5; Kolose 2:9; Ibrani 1:8;
Yohanes 5:20. Roh Kudus adalah Allah: Kisah Rasul 5:3-4; 1 Korintus 3:16 (Yang
mendiami adalah Roh Kudus – Roma 8:9; Yohanes 14:16-17; Kisah ParaRasul 2:1-4).
6) Subordinasi dalam Tritunggal: Alkitab memperlihatkan bahwa Roh Kudus tunduk
(subordinasi) kepada Bapa dan Anak, dan Anak tunduk (subordinasi) kepada Bapa. Ini
adalah relasi internal dan tidak mengurangi atau membatalkan keillahian dari setiap Pribadi
dalam Tritunggal. Ini mungkin adalah bagian dari Allah yang tidak terbatas yang tidak
dapat dimengerti oleh pikiran kita yang terbatas. Mengenai Anak, lihat Lukas 22:42;
Yohanes 5:36; Yohanes 20:21;1 Yohanes 4:14. Mengenai Roh Kudus lihat Yohanes 14:16;
14:26; 15:26; 16:7, dan khususnya Yoha 16:13-14.
7) Pekerjaan dari setiap Pribadi dalam Tritunggal: Bapa adalah Sumber utama atau Penyebab
utama dari a) alam semesta (1 Korintus 8:6; Yohanes 1:3; Kolose 1:16-17); b) pewahyuan
illahi (Yohanes 1:1; Matius 11:27; Yohanes 16:12-15; Wahyu 1:1); c) keselamatan
(Yohanes 3:16-17); dan d) pekerjaan Yesus sebagai manusia (Yohanes 5:17; 14:10). Bapa
MEMULAI semua ini.
8) Anak adalah agen yang melaluiNya Bapa melakukan karya-karya sbb:
1) penciptaan dan memelihara alam semesta (1 Korintus 8:6; Yohanes 1:3; Kolose 1:16-17);
2) pewahyuan illahi (Yohanes 1:1; Matius 11:27; Yohanes 16:12-15; Wahyu 1:1); 3)
keselamatan (2 Korintus 5:19; Matius 1:21; Yohanes 4:42). Bapa melakukan semua ini
melalui Anak yang berfungsi sebagai Agen Allah.
9) Roh Kudus adalah alat yang dipakai Bapa untuk melakukan karya-karya berikut ini: 1)
penciptaan dan memelihara alam semesta (Kejadian 1:2; Ayub 26:13; Mazmur 104:30); 2)
pewahyuan illahi (Yohanes 16:12-15; Efesus 3:5; 2 Petrus 1:21); dan 3) keselamatan
(Yohanes 3:6; Titus 3:5; 1 Petrus 1:2); dan pekerjaan-pekerjaan Yesus (Yesaya 61:1; Kisah
Rasul 10:38). Bapa melakukan semua ini dengan kuasa Roh Kudus.

Referensi:
Robert Letham, (2011). Allah Trinitas, Surabaya: Momentum.
H. Hadi wijono, (1995). Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
End, Van Den, (1997). Harta dalam Bejana. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
G. C. Van Niftrik, dan Boland, B. J. (1994) Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Ezra Alfred Soru, (2002). Tritunggal Yang Kudus, Bandung: Lembaga Literatur Baptis.

24
Modul. IV
MANUSIA DAN DOSA

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 4
Standar Kompetensi Memahami bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan yang mulia dan
sekaligus sebagai manusia yang berdosa.
Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa dapat membedakan penciptaan manusia dan ciptaan lainnya.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan maksud Allah menciptakan manusia.
3. Mahasiswa memahami tujuan hidupnya sebagai ciptaan termulia

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan tujuan penciptaan sekaligus keberdosaan manusia
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali tentang penciptaan manusia, kejatuhan dalam dosa,
serta bagaimana penebusan Allah akan ciptaanNya
Penutup (20 menit) Mengajukan tanya jawab sebagai evaluasi tentang manusia dan
keberdosaannya

A. Pendahuluan
Pemahaman tentang  manusia, sejak dari dahulu kala telah ada pandangan
dengan  jawaban yang bermacam-macam, tetapi sebagai orang Kristen kita mempunyai jawaban
yang pasti tentang manusia dengan pandangan Alkitab dimana manusia yang diciptakan dalam
gambar dan rupa Allah, semakin mendorong kita untuk mensyukuri kejadian kita sebagai
manusia, yang diciptakan sungguh amat baik. Kita adalah ciptaan-Nya yang teristimewa dan
termulia karena serupa dengan gambar Allah, yang memiliki banyak kelebihan yang tidak
dimiliki oleh ciptaan lain, bahkan kita di berikan  mandat oleh Tuhan untuk mengelola,
mengembangkan semua ciptaan Tuhan yang ada di dunia ini, yang harus kita lakukan sebagai
manusia ciptaan Tuhan.
Menurut gambar dan rupa Allah (imago dei) adalah hakikat penciptaan yang
25
sesunggunya. Dari awal penciptaan dirancang oleh Allah, dijadikan sesuai dengan apa yang
Allah inginkan. Hanya dengan berfirman maka apa yang ingin Allah ciptakan jadi sesuai dengan
apa yang sudah Allah firmankan. Dan saat menciptakan manusia adalah satu proses yang sangat
unik dan berbeda dari ciptaan lainnya. Dimana manusia diciptakan tidak hanya dengan firman
akan tetapi Allah sendiri yang berkarya, membentuk ciptaan itu sesuai dengan apa yang Allah
inginkan ( Kej 1:26 ). Manusia berusaha untuk memahami sudut pandang Allah dalam segala
aspek dari maksud dan tujuan Allah dalam kehidupan manusia. Dan semua hal yang dilakukan
oleh manusia memiliki sumber yaitu Allah. Apapun yang sedang dilakukan manusia semuanya
merupakan pertanggungjawaban kepada Allah.
Dari proses penciptaan manusia sangat jelas bahwa Allah memiliki rencana yang besar
bagi manusia sebagai pengeolola dan penguasa atas semua ciptaan yang ada. Allah memberi
kepercayaan yang penuh kepada manusia untuk menjadi penguasa atas seluruh ciptaan yang ada.
Gambar dan rupa Allah di dalam diri manusia membedakan manusia dari ciptaan yang lain.
Namun dosa telah merusak semua kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Allah kepada
manusia. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan manusia sehingga manusia menjadi
berdosa. Manusia melanggar apa yang Allah perintahkan dengan kehendak bebas yang diberikan
Allah kepada manusia. Manusia kehilangan kemuliaan Allah dengan satu pelanggaran yang
menjadikan hubungan Allah dengan manusia menjadi renggang.

B. Hakikat Manusia
Manusia adalah ciptaan Allah yang ditempatkan dalam di tengah ciptaan lain sebagai
pelayan pekerjaan Allah. Manusia diciptakan dalam gambar Allah dengan pengetahuan,
kebenaran dan kekudusan. Sebagai gambar Allah manusia memiliki kehendak bebas yang
memiliki kemampuan bebas untuk taat atau tidak pada hukum Allah. Manusia terdiri dari jiwa
dan raga. Jiwa adalah suatu wujud yang abadi, tetapi yang diciptakan juga sebagai bagian
manusia paling luhur. Meskipun manusia dalam rupa lahiriah mencerminkan kemuliaan Allah,
tetapi gambar Allah sebenarnya terdapat dalam jiwa.
Allah membuat hubungan Perjanjian dengan manusia. Allah menjanjikan berkat dan
rahmat-Nya sedangkan manusia harus menguasai alam dengan menyadari statusnya sebagai
ciptaan di bawah kuasa kedaulatan Allah. Namun manusia melanggar perjanjian ini dengan
memberontak terhadap kekuasaan Allah. Dalam cobaan Iblis manusia menempatkan dirinya di
luar kekuasaan Allah dan menyembah ciptaan daripada sang Pencipta. Oleh karena itu manusia
jatuh dalam penghakiman Allah. Dalam kejatuhan dalam dosa gambar Allah dalam hati manusia
tidak sama sekali rusak dan binasa, tetapi rusak sedemikian rupa hingga yang masih tersisa
merupakan sesuatu yang cacatnya mengerikan.
Allah yang berdaulat tidak berhenti dalam mewujudkan rencana dan tujuan-Nya. Dalam
kekekalan Allah memilih sejumlah besar manusia di antara ciptaan-Nya yang jatuh untuk
diperdamaikan-Nya dengan diri-Nya. Untuk mewujudkan rencana-Nya maka Dia mengirim
AnakNya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus untuk membayar upah dosa. Yesus Kristus
menebus manusia hingga dapat memenuhi standard kebenaran Allah. Roh Kudus dikirim bagi
orang pilihan untuk membimbing mereka mengenal kebenaran Alkitab dan memampukan
mereka menerima janji pengampunan Allah. Hanya dengan iman manusia dapat diselamatkan
melalui kuasa Roh Kudus yang melahirbarukan. Sebagai orang-orang pilihan Allah mereka
harus menunjukkan kehidupan yang sesuai yakni selalu memuliakan Allah dalam pikiran,
perkataan dan perbuatan.

26
C. Manusia dalam Perspektif Iman Kristen
Dalam perspektif iman Kristen manusia adalah ciptaan Allah, yang diciptakan menurut
rupa dan gambar Allah. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan teori evolusi yang sangat
terkenal itu. Manusia adalah karya Allah yang diciptakan secara sadar sistematis serta punya
tujuan. Gambaran dan sifat Allah itu menjadi bagian dasar dari manusia. Secara khusus perlu
diperhatikan bahwa meskipun Allah mengomunikasikan atribut-Nya kepada manusia, Allah
tetap berbeda dengan manusia secara kualitatif. Semua atribut yang dimiliki Allah bersifat tidak
terbatas atau dikenal dengan istilah “maha” sementara atribut Allah yang dimiliki manusia
berada didalam keterbatasan. Sama seperti soerang yang berdiri di depan cermin. Walaupun
gambaran yang terdapat di dalam cermin mempunyai keakuratan sempurna dengan diri orang
tersebut, tetap ada perbedaan kualitas diantara keduanya.
Dalam bukunya Millard J Erickson berkata bahwa: “Manusia juga memiliki dimensi
abadi. Manusia memiliki sebuah awal keberadaan yang tertentu. Namun dia diciptakan oleh
Allah yang abadi, sehingga dengan demikian manusia memiliki masa depan yang abadi pula.
Jadi, apabila ditanyakan apa yang terbaik untuk manusia, kita jangan menjawabnya hanya
berkenaan dengan kesejahteraan sementara serta kesenangan hidup jasmaniah. Di dalam manusia
terdapat dimensi lain (yang jauh lebih penting) dan yang harus dipuaskan. Oleh karena itu, tidak
ada untungnya bagi manusia untuk mengelak kenyataan akan tujuan hidupnya yang terletak
dalam keabadian itu”
Apakah yang dikatakan Alkitab mengenai manusia? Kita akan memahami definisi 
manusia dengan memperhatikan apa yang pertama kali Alkitab katakan mengenai manusia, yaitu
penciptaannya. Ayat yang paling jelas menyatakan hal tersebut adalah Kejadian 1:26, baik dalam
Alkitab bahasa Indonesia, dan Alkitab versi New King James Version, sebagai berikut:
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,
supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak
dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."
Then God said, "Let Us make man in Our image, according to Our likeness; let them have
dominion over the fish of the sea, over the birds of the air, and over the cattle, over all the
earth and over every creeping thing that creeps on the earth."
Kejadian 1:26 merupakan ayat yang pertama kali membicarakan manusia. Ayat tersebut
berbicara dalam konteks penciptaan manusia. Hal tersebut membawa kita kepada suatu definisi
utama sekaligus pertama mengenai manusia dalam Alkitab, yaitu satu-satunya makhluk yang
diciptakan Allah menurut gambar dan rupa Allah. Karena setelah ayat ini pun, tidak ada ayat lain
di dalam Alkitab yang menyatakan bahwa ada ciptaan lain yang diciptakan segambar dan serupa
dengan Allah. Tetapi, apakah sebenarnya arti dari diciptakan menurut gambar Allah?
Prof. Sung Wook Chung  mengartikan diciptakan menurut gambar Allah dalam ketiga
pandangan yang menyeluruh, yaitu substantif, relasional, dan fungsional.
 Pandangan Substantif dalam arti manusia memiliki akal budi dan kehendak bebas sebagai
gambar Allah di dalam manusia yang membedakan manusia dengan binatang (pandangan
Agustinus). Luther dan Calvin mengadaptasi posisi Agustinus dan menambahkan bahwa
karakteristik-karakteristik moral juga merupakan karakter dari gambar Allah.
 Pandangan relasional menyatakan bahwa gambar Allah, bukanlah suatu unsur yang
dilimpahkan ke dalam seorang manusia, melainkan merupakan kemampuan manusia untuk
menjaga relasi dengan Allah dan orang-orang lain. Pandangan ini dianut oleh teolog-teolog
Neo-ortodoks, seperti Emil Brunner dan Karl Barth. Karl Barth secara khusus terkenal
karena pendapatnya bahwa manusia-manusia mampu untuk bereksistensi di dalam relasi
dengan Allah dan orang-orang lain, khususnya karena mereka diciptakan di dalam gambar
Allah Tritunggal yang bersifat relasional.

27
 Pandangan fungsional yang mulai meraih perhatian pada abad ke-20. Menurut pandangan
ini, gambar Allah bukanlah karakteristik dasar atau pun kemampuan umat manusia untuk
membangun relasi-relasi, melainkan gambar Allah diwujud nyatakan dalam tujuan atau
fungsi manusia untuk menampilkan karya-karya natur Ilahi. Allah memanggil manusia
untuk menjadi wakil pengawas atas ciptaan. Dengan demikian, Allah memerintahkan
manusia untuk merefleksikan gambar-Nya dengan berfungsi sebagai raja atas ciptaan.
Ketiga pandangan tersebut secara menyeluruh yaitu substansi, relasional, dan fungsional,
merupakan jawaban yang terbaik saat ini untuk menjelaskan arti dari “diciptakan menurut
gambar Allah.” Secara substansi manusia mewarisi sifat-sifat Allah yang communicable (dapat
dikomunikasikan) seperti kekudusan, kebijaksanaan, kebenaran, kasih, dan keadilan.
Secara relasional, manusia diciptakan dalam gambar Allah Tritunggal yang memiliki
persekutuan dalam ketiga oknum Tritunggal dalam kesatuan-Nya. Gambar Allah secara
relasional ini, terpancar dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, yang tidak mampu
hidup sendiri, tanpa melakukan hubungan sosial. Manusia sebagai makhluk sosial juga berarti
bahwa manusia memiliki ketergantungan secara sosial terhadap manusia lainnya.
Secara fungsional, manusia memiliki peran manajerial atas dunia ini. Manusia dapat
dikatakan memiliki jabatan sebagai raja atas dunia ini. Tetapi hal tersebut tidaklah berarti bahwa
manusia dapat menggunakan alam semesta secara semena-mena, melainkan hal tersebut berarti
manusia harus merefleksikan gambar Allah dalam diri-Nya dengan mengelola alam semesta
secara bertanggung jawab bagi kemuliaan Allah pencipta-Nya.

D. Keadaan Manusia Pertama Diciptakan


Dalam bagian ini, kita akan membahas manusia yang mampu memancarkan gambar diri
Allah sebelum manusia jatuh dalam dosa. Bagian ini tidak mungkin dibahas lepas dari definisi
manusia. Hal tersebut disebabkan karena manusia didefinisikan sesuai dengan penciptaannya
yang unik. Tidak ada satu pun perbedaan manusia dengan ciptaan lain, selain penciptaannya
yang khas dan tujuan Allah dalam penciptaannya yang khas tersebut. Tanpa manusia diciptakan
sesuai dengan gambar Allah, kita akan kehilangan makna sesungguhnya dari manusia, dan
manusia tidak akan menjadi berbeda dengan binatang.
Prof. DR. Werner Gitt menyatakan, “Jika kita menolak fakta penciptaan, kita akan
terseok-seok berputar-putar di semak belukar sistem pemikiran evolusi dan tidak akan bertemu
dengan kebenaran.”[4]  Bila kita setuju dengan pendapat tersebut, maka kita akan
menyimpulkan, bahwa tanpa fakta penciptaan, kita tidak akan menemukan kebenaran mengenai
manusia. Apakah yang Alkitab katakan mengenai penciptaan manusia?
1)   Manusia diciptakan dari debu tanah
Kejadian 2:7 menyatakan, “Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari
debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu
menjadi makhluk yang hidup.” Dalam ayat ini, Alkitab versi Indonesia Terjemahan Baru
memberikan terjemahan yang baik. Dikatakan Allah “membentuk” manusia, dan bukannya
“menciptakan”. Perlu sekali diketahui bahwa dalam bahasa Ibrani, istilah menciptakan
sedikitnya diterjemahkan dari dua kata Ibrani, yakni ‫ּברא‬ (baca: bara) dan ‫יָצַר‬ (baca: yatsar).
Definisi yang paling mendasar untuk kata ‫ּברא‬ (baca: bara) adalah menciptakan dari yang tidak
ada menjadi ada, sedangkan untuk ‫יָצַר‬ (baca: yatsar) adalah menyempurnakan/membentuk
suatu ciptaan dari ciptaan yang sudah ada.[5]  “Menghembuskan nafas hidup ke dalam
hidungnya.” Dalam hal ini juga penciptaan manusia menjadi sangat unik. Karena tidak ada
ciptaan lain dalam Kejadian 1 yang diberikan nafas hidup oleh Allah selain manusia,
demikianlah melalui bagian ini dapat dimengerti suatu alasan utama atas keunggulan manusia
dari ciptaan lainnya.
28
2)   Manusia merefleksikan diri Allah
Seperti telah dibahas dalam bagian sebelumnya, manusia adalah satu-satunya makhluk
dalam alam semesta ciptaan Allah yang menerima nafas Allah sendiri. Nafas Allah yang
diberikan kepada manusia, memampukan manusia untuk merefleksikan diri Allah, karena
nafas Allah tersebut tidaklah diciptakan, melainkan dinafaskan oleh Sang Pencipta kedalam
bentuk fisik dari manusia. Maka, di dalam diri manusia, terdapat diri Allah. Tentu saja bukan
diri Allah yang sempurna. Melainkan hanya gambar diri-Nya yang diberikan langsung (tidak
diciptakan) kepada debu tanah. 
Substansi/hakekat manusia mewarisi atribut-atribut Allah yang communicable (dapat
dikomunikasikan), seperti hikmat, kebijaksanaan, akal budi, kehendak bebas, kesucian, kasih,
dsb. Tetapi atribut-atribut tersebut tidak diberikan Allah secara sempurna, tetapi dalam suatu
batasan yang jauh antara pencipta dengan ciptaan. Hal tersebut hanyalah cermin yang
digunakan Allah untuk merefleksikan/memantulkan kemuliaan-Nya melalui manusia.
Maka, segala substansi Ilahi yang dimiliki manusia, ketika pertama kali diciptakan,
tidak pernah dimaksudkan untuk membuat manusia bermegah di dalam dirinya sendiri.
Melainkan, dimaksudkan untuk membuat manusia memuliakan Allah melalui dirinya. H.
Henry Meeter mengatakan:
“Manusia sebelum kejatuhannya dalam dosa pun, jika dibandingkan dengan Allah yang
mulia, tidak ada artinya dan seperti kesia-siaan belaka. Semua bangsa-bangsa hanya ibarat
debu halus di atas timbangan. Manusia yang belum terjatuh ke dalam dosa pun, sudah
sepenuhnya bergantung kepada Allah”

E. Keberdosaan Manusia
1. Pengertian dosa
Dalam Perjanjian Lama ada beberapa kata untuk dosa “Khatta”  yang pokok artinya
adalah “menyimpang, tidak kena”. Dalam Perjanjian Baru dosa adalah “a nomia” (1 Yoh. 3:4).
Jadi dosa adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Kata dosa sudah lazim
dipergunakan dikalangan Kristen. Dosa tidaklah sama dengan kejahatan, dosa itu tidak boleh
dijadikan istilah etika manusia yang berbicara tentang pelanggaran pelbagai aturan atau
kebiasaan. Tetapi kata dosa adalah istilah teologia yang langsung ada sangkut pautnya dengan
hubungan anatara Allah dan manusia.
Menurut Becker pengertian dosa yaitu, dalam Perjanjian Lama, arti dosa dimengerti
sebagai “ketidaktaatan” yaitu yang diungkapkan melalui istilah Pesya (pemberontakan),
khatta  (pelanggaran), dan awon (perbuatan yang tidak senonoh). Sedangkan dalam Perjanjian
Baru, Dosa juga diartikan sebagai “ketidaktaan” (Rom. 5:19). Ketidaktaan yang dimaksud
tidak hanya melanggar hak dan hukum taurat Allah ( 1 Yoh. 3:4), tetapi juga melawan Allah
sendiri. Dosa ialah kegagalan, kekeliruan atau kesalahan, kejahatan, pelanggaran, tidak
menaati hukum, kelaliman, atau ketidakadilan. Dosa adalah kejahatan dalam segala bentuknya.
Padahal dosa menurut Kej. 4:7, adalah musuh yang setiap saat telah mengintip di depan pintu
hati manusia untuk memasukinya. Dosa senantiasa menyembunyikan diri dibelakang
perbuatan-perbuatan yang tampaknya baik.
Sebenarnya segala tabiat dosa, baik dipandang sebagai ketidak percayaan atau
pelanggaran atau ketidaktaatan, semuanya itu telah diungkapakan dalam Kej. 3. Menurut
Alkitab, segala dosa pada hakikatnya sama dengan dosa yang diungkapkan di Kej. 3. Dosa
merusak hubungan, baik hubungan antara manusia dengan Allah maupun hubungan antara
manusia dengan manusia. Oleh karena dosa manusia membenci Allah (Yoh. 15: 23), tidak
layak disebut anak-anak Allah (Luk 15: 21), tetapi manusia lalu juga membenci sesamanya
(Kej. 3:12). Hakikat dosa berarti tidak mengindahkan hukum Tuhan. Dalam pengertian anomia
berarti kehilangan hukum Tuhan sama dengan tidak adanya kepercayaan terhadap pribadi yang
29
memberikan hukum itu, dan ingin merebut hak wewenang Allah.

2. Asal mula dosa


Dosa sudah ada di alam semesta sebelum Adam dan Hawa jatuh kedalam dosa. Ini
terbukti dari hadirnya penggoda (ular) itu di Taman Eden. Kejadian 3 menjelaskan jalannnya
peristiwa pencobaan, si penggoda (ular) meyakinkan bahwa Hawa dan Adam akan menjadi
sama seperti Allah , yakni mengenal mana yang baik dan mana yang jahat. Kepada keinginan
jahat inilah perhatian Hawa dipusatkan dan keinginan inilah yang disoroti untuk melacak asal
mula dosa. Permasalahan mengenai asal mula kejahatan yang ada di dalam dunia telah
dianggap sebagai salah satu masalah yang paling sulit dalam filsafat maupun teologi.
Kejahatan ini bermula dalam pilihan bebas manusia, baik dalam eksistensi sekarang atau
eksistensi sebelumnya. 
Berkenaan dengan asal mula dosa dalam sejarah manusia, Alkitab mengajarkan bahwa
dosa itu dimulai dengan pelanggaran Adam di Firdaus, dengan demikian dimulai juga dengan
tindakan yang dilakukan oleh manusia dengan kesadaran penuh. Akan tetapi kemudian
persoalannya tidak berhenti sampai disitu saja, sebab oleh dosa yang pertama itu Adam
menjadi budak dosa yang tidak bebas. Dosa itu membawa kekotoran permanen, Allah
memutuskan bahwa seluruh manusia adalah orang berdosa di dalam Adam, sama halnya
dengan Ia memutuskan bahwa semua orang percaya menjadi benar di dalam Yesus Kristus.
“Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa,
demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar (Rom 5: 18-19)”.
Berkenaan dengan semua ini maka jelas merupakan suatu penghujatan jika mengatakan
bahwa Allah adalah pembuat dosa.  Dalam Rom. 5:12 juga dikatakan bahwa “sebab itu, sama
seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut,
demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat
dosa. Jadi ayat ini menunjukkan, bahwa dosa telah masuk kedalam dunia karena perbuatan
Adam, atau oleh karena Adam melanggar perintah Tuhan Allah atau memberontak terhadap
Tuhan Allah, maka pintu gerbang dunia terbuka bagi masuknya dosa kedalam dunia. Karena
dosa Adam, manusia sudah masuk kedalam lingkaran setan yang mengurungnya. Artinya, apa
saja yang secara konkret diperbuat oleh manusia, hanya mengukuhkan saja perbudakannya
terhadap dosa, biarpun perbuatan konkret itu dilakukannya secara bebas dan atas tanggung
jawab sendiri. Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat keluar dari lingkaran ini. Yang dapat
menyelamatkan manusia dari kuasa dosa ialah Allah.

3. Akibat dosa
Dosa Adam dan Hawa bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri tanpa kaitan. Dosa akibat
pelanggaran manusia mengakibatkan banyak hal yang dampaknya merembes keberbagai
aspek, baik terhadap mereka, keturunannya dan terhadap dunia segera kelihatan.
a) Sikap manusia terhadap Allah
Perubahan sikap Adam dan Hawa terhadap Allah menunjukan pemberontakan yang
terjadi dalam hati mereka. Bersembunyilah manusia dan istrinya itu terhadap Allah
Yahweh diantara pohon-pohonan dalam taman (Kej. 3:8), dan ditutupilah dirinya dengan
cawat (Kej. 3:7). Padahal manusia diciptakan untuk hidup dihadapan Allah dan dalam
persekutuan dengan Dia. Tapi sekarang setelah mereka jatuh ke dalam dosa mereka
gemetar berjumpa dengan Allah. Rasa malu dan ketakutan yang sekarang marajai hati
mereka, (Bnd. Kej. 2:25;3:7,10) menunjukan bahwa perpecahan sudah terjadi.
b.      Sikap Allah terhadap manusia
Perubahan tidak hanya terjadi pada sikap manusia terhadap  Allah , tapi juga pada sikap
Allah terhadap manusia. Hajaran hukuman , kutukan dan pengusiran dari Taman Eden,
semuanya ini menandakan perubahan itu. Dosa timbul pada satu pihak , tapi akibat-
30
akibatnya melibatkan kedua pihak. Dosa menimbulkan amarah dan kegusaran Allah, dan
memang harus demikian sebab dosa bertentangan mutlak dengan hakikat Allah. Mustahil
Allah masa bodoh terhadap dosa, karena mustahil pula Allah menyangkali diriNya
sendiri.
c.    Akibat-akibatnya terhadap umat manusia
Sejarah umat manusia berikutnya melengkapai daftar kejahatan ( Kej. 4:8,19,23,
24;6:2,3,5). Dan timbunan kejahatan yang merajalela itu mencapai kesudahannya dlam
pemusnahan umat manusia, kecuali 8 orang ( Kej. 6:7, 13; 7:21-24). Kejatuhan ke dalam
dosa berakibat tetap dan menyeluruh, tidak hanya menimpa Adam dan Hawa, tapi juga
menimpa segenap keturunan mereka ; dalam ihwal dosa dan kejahatan terkandung
solidaritas insani, yakni sama-sama langsung terhisap dalam perbuatan dosa itu dan
menanggung segala akibatnya.
d.     Dampaknya terhadap alam semua
Akibat dari kejatuhan ke dalam dosa meluas sampai alam semesta. ‘terkutuklah tanah  ini
kerena engkau’ (Kej. 3: 17; bnd Rm 8:20). Manusia adalah mahkota seluruh ciptaan,
jadilah menurut gambar Allah dan karena itu merupakan wakil Allah (Kej. 1:26).
Bencana kejatuhan manusia ke dsalam dosa mendatangkan bencana laknat atas alam
semesta yang terjadinya manusia telah dikaruniai kuasa. Dosa adalah peristiwa dalam
kawasan rohani manusia, tapi akibatnya menimpa seluruh alam semesta.
e.      Munculnya maut
Maut adalah rangkuman dari hukuman atas dosa. Inilah peringatan yang bertalian dengan
larangan di Taman Eden (Kej. 2:17), Maut sebagai gejala alamiah, porak  porandanya
unsur-unusur kedirian manusia yang pada aslinya adalah utuh dan pandu sejali.
Keporandaan ini melukiskan hakikat maut, yaitu keterpisahan manusia dari Allah , yang
nyata pada pengusiran manusia dari Taman Eden. Oleh karena dosa, manusia gentar
mengahadapi kematian (Luk. 12:5; Ibr. 2:15).[17]

4. Kuasa Dosa
Roma 5:12 memberi keterangan: “sebab itu, sama seperti dosa telah masuk kedalam
dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, dengan demikian maut itu telah menjalar
pada semua orang”. Di sini dosa digambarkan seperti suatu kuasa yang berpribadi, yang
kemudian masuk ke dalam dunia. Oleh karena Adam sekalian manusia dikuasai oleh dosa,
sebaliknya oleh karena Kristus, para manusia dikuasai oleh kasih karunia. Hidup yang dikuasai
oleh dosa dapat disebut hidup yang berakar, bersandar serta berada di dalam suasana dosa.
Dengan gambaran yang ada pada zaman sekarang, hidup yang dikuasai dosa tadi dapat
digambarkan sebagai hidup yang dikuasai oleh suatu doktrin tertentu. Doktrin-doktrin ini
menjiwai hidup orang sedemikian rupa sehingga keadaan hidupnya dikuasai oleh dosa.

Referensi:
A. R. Millard, (1992). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid 1 ( A-L), Jakarta: YKBK.
Louis Berkhof, (1994). Teologi Sistematika 2 (Doktrin Manusia), Surabaya: LRII.
Sung Wook Chung, (2011). Belajar Teologi Sistematika Dengan Mudah. Bandung: Visi Press.
Theol Becker, (2009). Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Werner Gitt, (2009). Keajaiban Manusia. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.

31
Modul. V
KESELAMATAN

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 5
Standar Kompetensi Memahami janji-janji keselamatan dan pengharapan iman Kristiani.
Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa menjelaskan alasan dan dasar keselamatan.
2. Mahasiswa mengungkapkan pengakuan dosa dan pertobatan.
3. Mahasiswa mempercayakan diri pada Yesus Kristus dan mengalami
sendiri proses keselamatan

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan janji-janji serta syarat-syarat keselamatan serta prosesnya
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali janji-janji, syarat-syarat keselamatan yang Allah
tawarkan kepada dunia melalui Pribadi Kristus Yesus
Penutup (20 menit) Tanya jawab sebagai evaluasi perihal keselamatan

A. Pendahuluan
Di dalam ajaran tentang keselamatan, ini adalah merupakan pokok bahasan yang paling
luas dalam Alkitab. Masalah itu mencangkup seluruh waktu, baik kekekalan dimasa lalu maupun
kelak. Maka dari itu keselamatan berhubung erat kepada seluruh umat manusia tanpa kecuali.
Keselamatan adalah suatu doktrin yang sedehana, tetapi juga kompleks namun inilah suatu
doktrin yang perlu dimengerti secara, disatu pihak, orang memang dapat dengan mudah
menjelaskan konsep keselamatan dengan mengutip injil Yohanes 3:16, Karena begitu besar

32
kasih Allah akan dunia ini, sehingga ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal setiap orang
percaya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Meskipun manusia telah jatuh
kedalam dosa tetapi karena Tuhan Allah mengasihi manusia sehingga Anak-Nya Yang bernama
Yesus ia rela mati diatas kayu salib, hanya untuk menyelamatkan umat-umat-Nya karena ia tidak
mau kalau ada yang tidak masuk kedalam kerajaan sorga. Makanya ia datang kedunia.
Dari sudut Pandangan Allah, keselamatan meliputi segenap karya Allah dalam membawa
manusia dari hukuman menuju pembenaran, Dari kematian menuju kehidupan yang kekal, dari
musuh menjadi Anak. Dari sudut pandang manusia keselamatan mencangkup segala berkat yang
berada didalam kristus, yang bisa diperoleh dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan yang
akan datang.

B. Hakikat Keselamatan
Kata umum dari keselamatan merupakan keadaan seseorang atau perihal mengenai
kesejahteraan baik itu keluarga, sahabat bahkan keselamatan secara pribadi. Keselamatan
mencakup kesehatan dan kemakmuran atau bebas dari bahaya penyakit.  Dalam persekutuan
umat pilihan Allah, yang tertawan merupakan pengalaman yang nyata yang daripadanya
kelepasan mutlak diperlukan, dan gagasan-gagasan tentang keselamatan terutama yang bersifat
kesukaan dan duniawi.
Keselamatan merupakan anugerah yang disediakan oleh Allah yang adil. Penerima tidak
boleh membanggakan diri kepada Allah karena telah menerima keselamatan, seseorang yang
telah diselamatkan berbalik dari dosa kepada Allah dan menjadi milik-Nya, dasarnya adalah
meletakkan kepercayaan didalam pengorbanan Yesus Kristus yang telah mati di kayu salib
(Roma 10:9-10).  Berbalik dari dosa kepada Allah adalah memberikan hidup kepada Yesus dan
menjadi anak-anak Allah. Keselamatan merupakan jamin kehidupan yang kekal bersama Yesus
Kristus di surga, karya Allah melalui Roh Kuduslah yang memeteraikan keselamatan bagi orang-
orang percaya kepada Kristus sehingga memiliki jaminan akan semua yang sediakan untuknya,
tentunya untuk keselamatan kekal (2 Kor 1:20-21, Ef 1:13-14). 
Pribadi Allah menuntut penyelamat manusia. Jadi titik awal penyelamat manusia dimulai
dari pribadi Allah. Dialah yag Mahasuci, Mahabesar, dan Mahaadil. Tidak memiliki ruang dalam
hadirat-Nya bagi orang tak suci. Mereka yang terlebih disucikan terlebih dahulu, baru dapat
menghampiri Allah dan hadirat-Nya. Allah sendiri yang mengambil inisiatif pengadaan jalan
keselamatan sebagaimana ia telah janjikan dalam Kejadian 3:5 saat manusia jatuh kedalam dosa,
janjinya itu disampaikan secara sepihak (unilateral) yang berbunyi: Aku akan mengadakan
permusuhan antara engkau dan permpuan ini, antara keturunan-Mu dan keturunan-Nya. Akan
meremukan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya. Tetapi walaupun Tuhan telah
mengatakan demikian, Alkitab mengatakan bahwa Allah sangat mengasihi manusia ciptaan-Nya
walaupun telah jatuh kedalam dosa.
Ada sifat yang sangat menonjol dari kepribadian Allah. Sifat itu adalah: sifat Anugrah
atau kasih karunia. Sifat ini mempunyai inti kepercayaan kekristenan. Bahkan tanpa Anugrah ini,
maka orang Kristen atau orang yang telah percaya kepada Tuhan Yesus, maka orang Kristen
tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah perbedaan kita orang percaya dengan Agama-agama lain.
Karena Yesus Kristus adalah wahyu yang tertinggi dari Anugrah Allah. Jadi keselamatan
sepenuhnya adalah Karya Allah dan manusia tidak memiliki andil dalamnya, termasuk perbuatan
baik pun bukan jaminan keselamatan.

C. Konsep Keselamatan Menurut Iman Kristen


Dalam Alkitab keselamatan tidak bisa diterjemahkan hanya mutlak bersifat
partikularistik. Di dalam Alkitab sendiri jelas bahwa keselamatan juga mengandung makna
universalistik. Keselamatan tidak hanya diberikan kepada orang Yahudi, tetapi kepada orang
yang non-Yahudi sehingga keselamatan bersifat unversalistik.  Keselamatan terbuka bagi orang
33
yang non-Yahudi, sehingga orang yang mengakui Yesus sebagai Juruslamat akan diselamatkan. 
Keselamatan di dalam Kristus menurut iman Kristen tidak dapat diartikan semata-mata hanya
bersifat spiritual, vertikal dan hanya sebatas sepihak saja.  Jika keselamatan hanya bersifat
sepihak maka hanya orang Kristen Yahudi yang disunat yang diselamatkan, sedang orang
Kristen non-Yahudi yang tidak besunat tidak diselamatkan. Jadi syarat dan usaha yang dilakukan
manusia bukanlah jaminan untuk keselamatan, sedangkan orang yang beriman yang disebabkan
oleh Roh Kudus, usaha manusia dibandingkan dengan karya Roh Kudus, tentulah karya Roh
Kudus yang lebih unggul. Pada gilirannya perbuatan yang baik dilakukan oleh orang beriman
adalah dalam rangka menarik perhatian orang untuk menerima keselamatan.  Menghayati
keselamatan secara holistic menuntut suatu  perubahan pemahaman.
Dalam kepercayaan umat kristiani, tidak ada keslamatan diluar diri Yesus Kristus
Bahwasannya keselamatan hanya mampu didapat jika seseorang percaya atau mengimani penyal
iban dan juga kebangkitan Kristus. Di sini bahwasanya mereka bersatu dengan Bapa dalam men
gimani iman Kristiani, sehingga bisa mencapai  keselamatan. Yesus adalah penghubung atau per
antara yang mengantarkan manusia pada jalan keselamatan menuju kepada Keagungan Bapa.Tan
pa Dia manusia tidak akan mampu mencapai keselamatan yang diinginkanya (Yohanes 14:6). 
Selain dari itu, dalam perealitaan Yesus sebagai Tuhan, Dia juga mendapatkan gelar seba
gai epifani  kasih karunia Allah penyelamat manusia, atau dikenal dengan sebutan “Allah penyel
amat”. Ini bermakna bahwasanya umat kristiani mengimani Yesus hanya sebagai sebuah lamban
g dari sakramen mereka, yakni sebagai Allah penyelamat, bukan sebagai Allah pencipta. Karena 
pada dasarnya pencipta sejati adalah Allah Bapa, yang telah mewariskan keaguanganya pada 
Yesus untuk menjadi Juruselamat umat manusia dari dosa. Sebagaimana disampaikan dalam
Yohanes 3:16: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”.
D. Konsep Keselamatan dalam Perjanjian Lama
Kejatuhan manusia kedalam dosa membaut hubungan manusia dengan Allah menjadi
rusak dan manusia kehilangan kemulian Allah.  Atas dosa yang dilakukan oleh manusia, maka
manusia menerima akibat-akibat dari dosa.  Teks-teks tua yang mengatakan keselamatan yang
dikerjakan Allah bagi Bangsa Israel menyangkut pembebasan umat Israel dari penidasan ditanah
Mesir (Kel 14:30; 15:2; Hos 13:4 Mzm 106:21).  Dalam teks-teks yang kemudian keselamatan
dihubungankan dengan masa depan yang akan diberikan oleh Allah.  “Pahlawan yang memberi
keselamtan “ kepada umat-Nya, setelah mengusir dan membalas musuhnya (Zef 3:17-20).  Akan
tetapi pengharapan akan keselamatan paling menyeluruh dan lengkap, baru terdapat secara
eksplisit dalam Kitab Yeremia, keselamatan yang bercorak “eskatologis” yang dihubungankan
dengan anugerah Allah dengan perantaraan Yesus sebagai “Keselamatan”. 
Yeremia mengharapkan agar Tuhan tidak hanya memberikan keselamatan secara pribadi
Yeremia sendiri (Yer 15:20; 17:14), tetapi juga kepada dosa umat asalkan umat bertobat.
Didalam Perjanjian Lama dikatakan tentang dosa dan juga tentang rahmat dalam rangka
keselamatan manusia. Keselamatan dalam Perjanjian Lama diperoleh dengan melaksanakan
hukum Allah, namun ini merupakan pernyataan yang keliru, karena Sebagian besar rujukan
keselamatan menunjuk pada keselamatan sementara: dari musuh, dari kematian fisik, dan
berbagai macam masalah. Sejarah keselamatan diwahyukan sesuai dengan rencana Allah
dikatakan dalam Perjanjian Lama, ini merupakan suatu perjalanan menuju kepada kerajaan kekal
yang dipimpin oleh penyelamat Agung itu sendiri.
Unsur-unsur keselamatan dalam PL tertuju kepada Allah maupun manusia, manusia
terancam penyakit berbahaya, musibah fisik, penganiayaan oleh lawan dan kematian. Dalam
persekutuan umat Allah, terbelenggu (ketertawanan) merupakan pengalaman nyata, yang dari
padanya kelepasan mutlak diperlukan. Jalur keselamatan, langsung atau tidak langsung,
disediakan melalui para Bapak leluhur, hakim, pemberi hukum, imam, raja dan nabi.  Bahaya
34
yang gawat adalah dimana perseorangan dan masyarakat berdiri dihadirat Allah, yang
kehendaknya telah dilanggar sehingga mengakibatkan Allah murka. Kata “pembebasan“
mempunyai arti yang mirip dengan kata “keselamatan”, dalam Perjanjian Lama kata salvation
berasal dari kata  Teshuah atau menyelamatkan.
Dalam Perjanjian Lama sejarah keselamatan Allah dilihat sebagai sejarah janji, yaitu
janji yang selanjutnya dipenuhi dalam Kristus.  Perjanjian Lama benar-benar berusaha
menyajikan karya penyelamatan Allah yang berlangsung dalam, dengan dan dibawah sejarah
Isreal.  Namun Perjanjian Lama tidak begitu jelas dalam merincikan keselamatan yang bersifat
eksplisit. Hesse memberi perhatian pada satu masalah yang memberi perhatian banyak ahli, yaitu
bahwa gambaran  Alkitab memberikan gambaran  sejarah keselamatan yang tidak lengkap
pernyataan mengenai Alkitab tidak memberikan keselamatan yang jelas merupakan suatu
kontradiksi, karena di dalam Perjanjian Baru jelas bahwa orang yang diselamatkan adalah orang
yang percaya dan mengakui bahwa Yesus adalah Juruslamat.

E. Kosep Keselamatan dalam Perjanjian Baru


Allah mempunyai satu rencana bagi keselamatan menusia. Inkarnasi Kristus bukanlah
sesuatu insiden atau langkah antisipasi. Seluruh pelayanan Yesus memperlihatkan konsep soal
“saatNya”. Itulah sebabnya, sangatlah mendasar bagi semua orang Kristen untuk berpikir bahwa
Allah kita adalah Allah yang berencana. Dengan memahami rencana keselamatan Ilahi ini, kita
akan beroleh manfaaat yang berlimpah karna disitulah kita menemukan satu perspektif ilahi atas
seluruh hidup kita. Hidup kita adalah berpusatkan anugerah Allah dan bukan hasil usaha kita.
Ada 3 bagian Alkitab yang merefleksikan keseluruhan alur keselamatan itu dengan sudut
pandang masing-masing.
1.    Roma 8:28-30
Jelas sekali melalui ayat ini, adanya rencana keselamatan dari Allah merupakan sumber
penghiburan besar bagi anak-anak Tuhan ditengah keluh kesah dunia ini. Bagaimana bisa
segala sesuatu yang terjadi bekerjasama mendatangkan kebaikan? Karena Allah mempunyai
rencana agung bagi setiap orang Kristen. Untuk menggenapkan rencana agung ini,  Allah
memakai segala kemungkinan suka dan duka untuk menghasilkan karakter Yesus dalam
hidup kita. Mampukah kita menjminnya?, jawabnya, karena kita yang dipilih dari semula
olehnya, pasti akan dipanggil untuk masuk kedalam kerajaanNya dan pasti dibenarkanNya.
Ada unsur yang sama untuk setiap kita, yakni Allah memilih, memanggil, membenarkan,
dan memuliakan mereka.
2.    Efesus 1:3-14
Pendekatan Paulus dalam Roma 8 dengan Efesus 1 ini sangat berbeda. Dalam Roma, Paulus
terlebih dahulu memulai dengan memaparkan kondisi stragis manusia berdosa yang berada
dibawah murka dan hukuman Allah. Manusia tak berdaya, ia membutuhkan anugerah ilahi
didalam Kristus. Pembahasan ini ditutup di pasal 8 dari Roma dengaan mengembalikan
ujian kepada Allah karna rencanaNya yang mulia. Sebaliknya dalam Efesus, Paulus
memulai suratnya dengan rencana keselamatan terlebih dahulu, diawali dengan respon
“terpujilah kemuliaanNya”. Dalam Efesus 1, ia menekankan pusat kristologis:dalam
Kristus. Dalam Roma 8 bicara mengenai jalinan rantainya, sedangkan Efesus 1 bicara
mengenai as, pusatnya yang mengikat jalinan ini bagaikan sebuah roda. Efesus 1
mengatakan, didalam Kristus, kita diberkati, dipilih, ditentukan sebagai anak, di anugerahi,
diterangi dan dimateraikan. Namun kita menemukan dalam Efesus 1,  Paulus menambahkan
dimensi lain kepada Roma 8:28-30, yakni percaya mengikuti panggilan, dan menerima Roh
Kudus sebagai pengalaman mereka yang percaya kepada Kristus.
3.    Yohanes 1:12-13
Sama seperti Rasul Paulus, Yohanes mengajarkan bahwa Kristus diterima dengan iman,
Yohanes mengajarkan bahwa Kristus diterima dengan iman (Kolose 2:6-7). Yang Yohanes
35
tambahkan kepada garis besar yang dibuat Paulus yaitu iman memberikan hak khusus
adopsi, dan secara paradoks, iman itu justru adalah buah dari kelahiran baru dari Tuhan.
Mereka yang menerima Kristus dan di adopsi adalah mereka yang lahir “bukan dari
keturunan alamiah, bukan keputusan manusia, melainkan lahir dari Allah”. Urutan anugerah
keselamatan dari Allah menyentuh hidup kita sedemikian. Dia memberikan kita kelahiran
baru yang memungkinkan kita memasuki kerajaan Allah oleh iman dan pertobatan.
Alkitab mengajarkan bahwa kita dibenarkan hanya melalui iman dan bukan oleh
pekerjaan kita, Rom 3:30, 5:1, Gal 2:16-20; bahwa setelah kita dibenarkan kita mempunyai
damai dengan Allah, Rom 5:1,2; bahwa kita dibebaskan dari dosa untuk menjadi hamba-hamba
kebenaran, dan beroleh buah pengudusan, Rom 6:18,22; bahwa setelah diangkat menjadi anak,
kita menerima Roh yang menjamin kita dan menjadikan kita sesama pewaris dengan Kristus.

F. Kepastian Keselamatan dalam Kristus


Firman Allah adalah kesaksian Allah kepada orang percaya (1 Yohanes 5:11-13). Dalam
teks Yunani menambahkan artikel di depan kata “kehidupan.” Ini menunjukkan bahwa
keselamatan dalam Kristus bukan sekedar pemberian kehidupan belaka melainkan merupakan
“kehidupan” itu sendiri yang dikaruniakan kepada seseorang yang beriman kepada Kristus.
Pernyataan yang jelas dalam Kitab Suci adalah bahwa seseorang yang percaya kepada Kristus
dan mengakui karyaNya di salib sebagai jalan kelepasan dosa menerima :
1) Kehidupan kekal.
Yohanes 3:36 Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi
barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah
tetap ada di atasnya. 1 Yohanes 5:11-13 Dan inilah kesaksian itu: Allah telah
mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam Anak-Nya.
Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak
memiliki hidup.
2) Pengampunan dosa.
Kisah 10:43 Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya,
ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena nama-Nya.
Kolose 2:13 Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak
disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia
mengampuni segala pelanggaran kita.
3) Kelepasan dari hukuman.
Yohanes 5:24 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku
dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak
turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup. Roma 8:1
Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus
Yesus.
4) Pembenaran Allah.
Roma 5:1 Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, …. sebab jikalau Abraham
dibenarkan karena perbuatannya, maka ia beroleh dasar untuk bermegah, tetapi tidak di
hadapan Allah.… Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan
hal itu kepadanya sebagai kebenaran. Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak
diperhitungkan sebagai hadiah, tetapi sebagai haknya. Tetapi kalau ada orang yang tidak
bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya
diperhitungkan menjadi kebenaran.
5) Keselamatan.
Efesus 2:8-9 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil
usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang
memegahkan diri.
36
6) Kedudukan sebagai Anak Allah melalui Iman.
Yohanes 1:12 Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi
anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya

Referensi:
Charles C. Ryrie, (1992). Teologi Dasar 2. Yogyakarta: ANDI.
Chris Marantika, (2002). Doktrin Keselamtan Dan Kehidupan Rohani. Yokyakarta: Iman Perss.
Henry C. Thiesesen, (2008). Theologi Sistematika, Malang: Gandum Mas.
J.D Douglas, (2002). The New Bible Dictionary (Edisi terjemahan oleh Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF. Jakarta.
Louis Berkhof Teologi Sistematika 4 (1993). Doktrin Keselamatan. Jakarta: LRII.
Louis Berkhof, (2006). Teologi Sitematika, Surabaya: Momentum.
Peter Wongso, (2000). Soteriologi, Malang: Literatur SAAT.

Modul. VI
HIDUP BARU DAN PERTUMBUHAN IMAN

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 6
Standar Kompetensi Memahami dan menghayati arti kelahiran kembali dan proses pertumbuhan
iman yang berbuah.
Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa mengalami proses pertumbuhan iman dalam kehidupan
seorang Kristen.
2. Mahasiswa mewujudkan dan menyaksikan pengalamannya sebagai
manusia baru dalam Kristus Yesus.
3. Mahasiswa melakukan komunikasi dua arah (vertikal dan horizontal)
antara dirinya dengan Tuhan dan sesama manusia (mendengar/membaca
Firman Tuhan, Doa, Persekutuan dan Pelayanan Tuhan).

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan apa yang dimaksud kelahiran kembali dan hidup baru.
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali dan mempersentasikan pengalaman pribadi sebagai
ciptaan baru dan bertumbuh dalam Kristus
Penutup (20 menit) Memberi kesimpulan terhadap materi bahasan

37
A. Pendahuluan
Konsep manusia baru menurut Rasul Paulus sangat istimewa. Manusia baru di
pandangan Rasul Paulus adalah benar-benar suatu kehidupan rohani yang berbeda secara
kualitas manusianya. Kehidupan orang Kristen sejati merupakan suatu kehidupan yang unik,
sebab kehidupan orang Kristen adalah kehidupan yang senantiasa bertumbuh dalam kasih
karunia dan pengenalan akan Allah di dalam Yesus Kristus.
Manusia bisa bertumbuh dalam kasih dan anugerah Allah hanya jikalau ia sudah
dilahirkan kembali. Tanpa kelahiran kembali manusia tidak bisa mengenal Allah dengan benar
serta bertumbuh dalam kasih karunia-Nya. Manusia perlu dilahirkan kembali sebab
kehidupannya yang lama adalah kehidupan yang senantiasa hidup di dalam lautan dosa.
Kehidupan orang yang sudah dilahirkan kembali ia akan hidup baru di dalam Yesus Kristus.
Di dalam Alkitab, bahwa manusia baru dan manusia lama selalu dikontraskan satu
dengan yang lain, dikaitkan dalam PL, Bahwa Adam dan Kristus yang menjadi acuan, bahwa
Adam gambaran manusia lama dan Kristus sebagai gambaran manusia baru. Dan orang Kristen
tidak bisa mengerti hal ini bahwa seringkali orang Kristen ingin sesuatu yang baru tetapi tidak
mau tanggalkan yang lama. Sehingga Allah adalah Mahakasih, oleh karena Ia begitu mengasihi
dunia ini sehingga Ia mengutus Anak-Nya yang Tunggal yaitu Yesus Kristus. Melalui
kedatangan Yesus Kristus ke dunia ini, Ia memulihkan ciptaan Allah di dalam Adam yaitu
manusia yang pertama yakni manusia yang lama, demikian Kristus menjadi Kepala dan wakil
dari manusia yang baru. Di dalam Dialah manusia menjadi baru dan dapat mengenal Allah
dengan benar.
George Eldon Ladd menyatakan bahwa: “Manusia biasa di dalam Adam; manusia yang
dibaharui di dalam Kristus. Sebagaimana Adam adalah kepala dan wakil dari kelompok
manusia lama, demikian Kristus menjadi kepala dan wakil dari kemanusiaan yang baru. Di
dalam Adam muncul dosa, ketidaktaatan, penghukuman, dan maut; di dalam Kristus muncul
kebenaran, ketaatan, pembenaran, dan kehidupan (Roma. 5:5, 12).
Keadaan baru selalu dikaitkan dengan keadaan setelah Kristus, sedangkan kata lama itu
sendiri merupakan kondisi bahwa manusia itu sebelum hidup dalam Kristus atau tanpa Kristus.
Perubahan yang terjadi dari keadaan yang lama ke dalam keadaan yang baru, bukan terjadi
hanya akibat iman, dan pertobatan dalam hidup Kristen tetapi terjadi seperti apa yang terdapat
dalam Kristus, atau boleh dikatakan perubahan oleh Allah di dalam Yesus Kristus. Hal ini
terlukiskan dengan di dalam Roma 6:6 “manusia lama kita telah disalibkan” manusia lama telah
dihukum dan dimatikan di dalam kematian Kristus dan di dalam kebangkitanNya.

B. Hakikat Hidup Baru dalam Kristus


Allah telah memberikan umat-Nya keselamatan di dalam Yesus Kristus, karunia yang
digambarkan di seluruh Alkitab sebagai kehidupan baru. Dua kata digunakan dalam Perjanjian
Baru untuk menggambarkan kebaruan. Yang pertama, νεος, yang menjelaskan apa yang baru
pada waktunya, digunakan untuk menggambarkan kehidupan baru di dalam Kristus (Kol 3:10).
Semakin populer dan cenderung lebih devinitif adalah kainos yang menggambarkan apa dunia
baru itu, berbeda dari yang biasanya, lebih baik daripada yang lama, dan lebih unggul dalam
signifikansi. Digunakan bersama dengan zoe, kainos, menggambarkan esensi dari apa yang
Tuhan telah lakukan melalui Yesus Kristus: dia telah memberikan kehidupan baru kepada anak-
anaknya.
Dalam Alkitab, istilah kehidupan baru selalu dikaitkan dengan pertobatan. dalam
Perjanjian Lama kata bertobat berasal dari kata niham atau syub, sedangkan dalam perjanjian
Baru berasal dari kata metanoia. Ketika seseorang dikatakan mengalami kehidupan baru tentu
orang tersebut telah hidup dalam kegelapan dosa orang tersebut kemudian menyadari semua
perilakunya dan memutuskan untuk kembali ke jalan yang benar. Tindakan ini didasarkan pada
tanggung jawab sebagai orang yang telah menjalani kehidupan baru selain takut akan Tuhan dan
38
rasa duka ketika menentang kehendak Tuhan.
Rasul Paulus menulis tentang kuasa yang luar biasa dari pengorbanan Yesus yang
dengannya kita memiliki pengampunan dan hidup yang baru: “Kamu juga, meskipun dahulu
mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan  Allah
bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran  kita, dengan
menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam
kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib” (Kolose 2 : 13 -14).
Melalui pengorbanan yang luar biasa itu, Allah sepenuhnya menghapus dosa-dosa kita ketika
kita bertobat dan mendedikasikan diri kita untuk menjalani kehidupan baru untuk mengatasi
dosa. Paulus menjelaskan peran baptisan dalam menunjukkan pertobatan dan keinginan kita
untuk hidup untuk menyenangkan Allah: “karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam
baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa
Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. ”( Kolose 2 : 12 ).
Hidup baru dalam Kristus disimpulkan dalam pernyataan Paulus dalam 2 Korintus 5:17,
“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu,
sesungguhnya yang baru sudah datang”. Ungkapan “di dalam Kristus” merupakan salah satu
rumusan Paulus yang paling khas serta maknanya yang secara tepat telah banyak diperdebatkan.
Deissmann juga mengemukakan pengertian teologis ungkapan ini dengan menekankan pada
dimensi “mistis”nya sehingga dapat menarik perhatian. Pokok yang mendasar dalam tafsiran
Deissmann ini adalah identifikasi Kristus dan Roh. Hal yang sama juga disampaikan oleh
Johannes Weiss, yang mau memberikan penjelasan tentang ajaran Paulus tentang Kristus-Roh
sebagai cairan yang mengelilingi dan merembesi kita yang merupakan pribadi yang tidak
berbentuk, impersonal serta dapat menembus apapun.
Deissmann pun memberikan pernyataan bahwa makna dasar dari “di dalam Kristus”
yang merupakan suatu persekutuan mistis, telah diterima oleh kebanyakan pakar. Di dalam
Kristus mau menunjukkan adanya suatu persekutuan dengan Dia yang disadari. Dimana tidak
ada sesuatupun yang dapat menceraikan kita dari kasih Allah di dalam Kristus Yesus (Rm. 8:39).
Hidup baru berarti kebenaran, damai sejahtera dan sukacita di dalam Roh Kudus (Rm. 14:17).
Ada penghiburan di dalam Kristus dan juga dalam pelayanan dengan rendah hati. Damai dari
Allah mengawali hati dan pikiran mereka yang berada di dalam Kristus. E. Best juga
mengatakan bahwa ungkapan di dalam Kristus adalah ungkapan yang menggambarkan situasi
sejarah keselamatan bagi mereka yang menjadi milik Kristus berdasarkan persatuan keberadaan
mereka dengan kematian dan kebangkitan Kristus.

C. Hakikat Pertumbuhan Iman


Kata pertumbuhan berasal dari kata ‘tumbuh’ yang artinya ‘hidup’ dan ‘bertumbuh
sempurna’.  Pertumbuhan juga diartikan untuk menyatakan sesuatu keadaan kemajuan.  Secara
etimologi Iman (bahasa Yunani: πίστιν– pisti) adalah rasa percaya kepada Tuhan. Iman sering
dimaknai “percaya” (kata sifat) dan tidak jarang juga diartikan sebagai kepercayaan (kata
benda). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata ‘Iman’ adalah kepercayaan
terhadap Tuhan. Seseorang yang memiliki ketetapan hati dalam kepercayaan kepada Allah. Iman
kepada Allah berarti iman kepada FirmanNya. Kata Iman (Faith) memiliki arti sebagai suatu
kebenaran yang objektif, yang diwahyukan yang dipercaya (Fides qual) atau penyerahan diri
secara pribadi kepada Allah (Fidesque).
            Pengertian iman dalam Perjanjian Lama, yakni: Perkataan ‘iman’ berasal dari bahasa
Ibrani ‘aman’ yang dapat diterjemahkan dengan ‘firmness’ atau keteguhan, kekokohan dan
ketetapan. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, perkataan yang dipergunakan menerangkan ‘iman’
atau ‘kepercayaan’ adalah ‘pistis’ (bahasa Yunani), berasal dari kata Pisteno, yang artinya ‘saya
percaya’ atau ‘saya mempercayai’

39
Ibrani 11:1 dikatakan: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan
bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Dasar keyakinan ini adalah Firman Allah. Iman
mengandung unsur ilahi dan kemanusiaan. Iman adalah karunia Allah dan juga tindakan
manusia. Dasar iman adalah Firman Allah (Roma 4: 20-21). Tujuan iman adalah iman kepada
Yesus Kristus. Iman yang menyelamatkan adalah iman kepada Yesus Kristus sebagai
Juruselamat.
Thomas H. Groome, dalam Daniel Nuhamara mengklaim bahwa, iman Kristen sebagai suatu
pengalaman yang nyata mempunyai tiga dimensi yang esensial, yakni: 1). Suatu
keyakinan/kepercayaan; 2). Suatu hubungan memercayakan diri; 3).Suatu kehidupan yang
dijalani dalam kasih agape.
1. Iman sebagai kepercayaan (Believing)
Iman Kristen lebih dari sekedar kepercayaan, walaupun demikian harus dikatakan bahwa
iman Kristen mempunyai dimensi kepercayaan apabila ia mendapatkan perwujudannya
dalam kehidupan manusia. Aktivitas dari iman Kristen menghendaki agar didalamnya ada
suatu keyakinan dan percaya tentang kebenaran-kebenaran yang diakui sebagai esensi dalam
iman kristiani. Dimensi iman sebagai kepercayaan tertuju pada dimensi kognitif.
2. Iman sebagai keyakinan (Trusting)
Dimensi iman sebagai keyakinan tertuju pada dimensi afektif yaitu mengambil mengambil
bentuk dalam hubungan memercayakan diri, serta yakin akan Allah yang pribadi, yang
menyelamatkan melalui Yesus Kristus.
3. Iman sebagai tindakan (Doing)
Iman Kristen sebagai suatu respons terhadap kerajaan Allah dalam Yesus Kristus, harus
mencakup pelaksanaan kehendak Allah. Dimensi tindakan ini memperoleh perwujudan
dalam kehidupan yang dijalani dalam kasih agape, yakni mengasahi Allah dengan jalan
mengasihi sesama manusia.

D. Bertumbuhan dan Berbuah dalam Kristus


Pertumbuhan iman adalah suatu proses dimana seseorang sudah menerima Yesus sebagai
Tuhan dan Juruselamatnya (Yohanes 1:12), diberi kuasa jadi anak Allah, lalu rindu mendengar,
menerima dan memahami kebenaran Firman Allah dalam hidupnya setiap hari (1 Korintus
10:17), selanjutnya di dalam diri orang tersebut, kebenaran Firman Tuhan mengakar dan
bertumbuh hingga dapat menghasilkan buah yang sesuai dengan kehendak Allah (Matius 3:8).
Nacy Poyah mengatakan dalam bukunya bahwa: “Hidup di dalam iman kepada Kristus bagaikan
tunas yang baru, terus bertumbuh dan berbuah. Bertumbuh dalam pengenalan yang benar akan
Allah, sehingga hidup umat berkenan kepada Allah dalam segala hal dan terus mengarah kepada
Kristus (Efesus 4:13-16). Berbuah dalam kesaksian hidup yang baik, untuk memuliakan
namaNya (Yohanes 15:7; Efesus 2:10)”.
1. Iman timbul karena seseorang mendengar Firman Kristus 
Iman timbul dari pendengaran oleh Firman Kristus. (Rom. 10:17)
2. Iman timbul dari Berita Injil:
Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku
melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu
roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil, (Filp 1:27).

Bagaimana iman dapat tumbuh, sebagai contohnya dapat dilihat pada kisah seorang
wanita yang sakit pendarahan selama 12 tahun (Mark. 5:25-29) Adalah di situ seorang
perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan. Ia telah berulang-ulang
diobati oleh berbagai tabib, sehingga telah dihabiskannya semua yang ada padanya, namun sama
sekali tidak ada faedahnya malah sebaliknya keadaannya makin memburuk. Dia sudah
mendengar berita-berita tentang Yesus, maka di tengah-tengah orang banyak itu ia mendekati

40
Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya. Sebab katanya: “Asal ku jamah saja jubah-Nya,
aku akan sembuh.” Seketika itu juga berhentilah pendarahannya dan ia merasa, bahwa badannya
sudah sembuh dari penyakitnya. Kalimat “Dia sudah mendengar berita-berita tentang Yesus,”
menjelaskan darimana iman perempuan itu mulai tumbuh. Kabar-kabar yang dia dengar dari
banyak orang bahwa Yesus menyembuhkan semua orang dan semua penyakit membuat
perempuan malang itu memiliki harapan baru dan keyakinan baru bahwa penyakitnya pasti dapat
sembuh asalkan dia ketemu Yesus Kristus, bahkan dia berkata dalam hati “Asal ku jamah saja
jubah-Nya, aku akan sembuh.” (ayat 28).
Dalam buku: ‘Hidup dalam Anugrah-Nya’ dirangkum beberapa cara untuk
menumbuhkan iman agar dapat terus hidup dalam Yesus Kristus dan bahkan berbuah sesuai
dengan yang diharapkan-Nya, yakni sebagai berikut:
1. Berdoa
Martin Luther menyebut doa adalah nafas hidup orang percaya. Dalam doa dapat
menyampaikan pengakuan akan kuasa dan kemuliaan serta kekudusan Tuhan, pergumulan
sebagai orang beriman, dan juga memohon pengampunan dosa kepadaNya.
2. Membaca Firman Tuhan.
Manusia mengenal Allah yang menyatakan diriNya dalam sejarah keselamatan melalui
Firman dan karyaNya. KaryaNya dinyatakan melalui para nabi dan utusannya, dan
dikumpulkan dalam Alkitab. Membaca Alkitab adalah upaya dalam mengenal Allah,
menggali yang kehendak Allah.
3. Beribadah.
Ibadah adalah pengabdian hidup dan pelayanan terhadap Tuhan dan sesama. Ibadah adalah
aktivitas hidup beriman. Ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan.

E. Hambatan dalam Pertumbuhan Iman


Dalam kehidupan orang percaya ada banyak yang tidak dapat bertumbuh dan berfungsi
seperti yang Tuhan inginkan karena ada penghambat dalam hidupnya. Ada banyak hal yang
dapat menghambat pertumbuhan rohani orang percaya, diantaranya:
1. Mengabaikan kehidupan batin dengan Kristus dan mengutamakan penampilan luar
Dalam Luk. 11:39, Yesus mengecam ahli-ahli Taurat yang suka mengutamakan hal-hal luar
yang jasmaniah, seperti ritual keagamaan tetapi mengabaikan kebersihan batin, dari luar
nampak rohani dengan penampilan jubah keimaman tetapi hatinya penuh dengan kejahatan.
Di zaman sekarang orang lebih mengutamakan semarak ibadahnya dengan segala pernak
pernik lampu, kostum yang menarik bahkan bila perlu menampilkan para artis terkenal,
tetapi makna dari ibadah itu sendiri seperti hadirat Tuhan dan penyampaian Firman Tuhan
tidak dianggap lagi sebagai hal yang utama, malah pemberitaaan Firmannya sebisa mungkin
dibatasi karena banyaknya acara yang ditampilkan. Orang percaya model begini tidak akan
bertumbuh imannya dan tidak akan tahan uji.

2. Pergaulan yang buruk


1 Korintus.15:33 – “ Janganlah kamu sesat, Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan
yang baik”. Sebagai orang-orang yang telah disucikan oleh darah Yesus, harus waspada
dengan pergaulan yang tidak baik, sebab hal-hal yang tidak baik akan seperti ragi yang
menghamirkan semua adonan yang baik. Hal-hal yang rohani akan terhambat
pertumbuhannya jika masuk dalam lingkungan pergaulan yang buruk. Para orang tua harus
menjaga anak-anaknya dari pengaruh jahat pergaulan yang buruk, sebab jika dibandingkan
mengenai taburan benih rohani dan duniawi sangat tidak seimbang. Anak-anak hanya
ditaburi benih Firman secara formal hanya satu kali dalam seminggu itupun hanya satu jam
saja, sementara 6 hari selanjutnya mereka menerima banyak taburan benih duniawi yang
cenderung jahat, mulai dari pergaulan di sekolah, masyarakat, melalui tanyangan-
41
tanyangan televisi dan banyak lainnya. Tugas orang tualah untuk mendidik anak-anak diluar
sekolah minggu. Mazmur. 1:1 – Memberi peringatan kepada kita untuk waspada terhadap
nasehat orang fasik, jangan mengikuti pendirian orang berdosa dan tidak duduk dalam
kumpulan para pencemooh.

3. Tidak dapat menguasai diri


Suatu sifat atau karakter yang sangat bertentangan dengan karakter Kristus. Orang-orang
seperti ini seperti petasan yang bersumbu pendek, sangat mudah sekali meledak jika disulut
api, potensi sebagus apapun dalam diri seorang yang mudah meledak tidak akan dapat
berfungsi dengan baik, dan tidak akan pernah ada kemajuan dalam kehidupan rohaninya,
hidupnya akan dipenuhi pertikaian, ketersinggungan dan perbantahan.
1 Petrus.4:7- Petrus memberi nasehat untuk kita dapat menguasai diri agar dapat menjadi
tenang, agar kita dapat berdoa, artinya kita dapat fokus dengan pribadi Tuhan untuk kita
bertumbuh dalam iman. Mohonlah pada Roh Kudus untuk mengubahkan hidup kita untuk
memiliki penguasaan diri dalam segala hal.

4. Hidup dengan perasaan bukan dengan iman


Orang yang lebih menggunakan perasaannya dari pada imannya, akan sulit bertumbuh
dalam hal memahami rencana Tuhan dalam hidupnya. Ia akan sangat sulit menerima hal-hal
buruk yang menimpa dirinya jika Tuhan tidak segera menolongnya. Roma.8:28- Paulus
memberi pemahaman bahwa Tuhan akan turut bekerja dalam segala hal untuk
mendatangkan kebaikan bagi kita yang percaya. Bagi orang yang menggunakan imannya
akan mudah tenang karena ia tahu bahwa dibalik semua yang terjadi dalam hidupnya baik
atau buruk yang dialami, Allah punya tujuan baik baginya. Tetapi tidak dengan orang yang
hidup dengan perasaannya, ia lebih melihat kepada kenyataan yang dialaminya saat itu dari
pada melihat dengan iman dibalik kejadian yang Tuhan ijinkan menimpa dirinya. Orang
model begini akan mudah kecewa, alami kepahitan bahkan bisa murtad tinggalkan imannya.

5. Membiarkan kekecewaan dan masalah atau tragedi membuat mereka pahit hati
Menjadi Kristen bukanlah akhir dari persoalan, bahkan menjadi Kristen adalah babak baru
dari kehidupan yang unik, ada sukacita, ada dukacita, ada tangis dan ada pula tawa.
Kehidupan Kristen adalah kehidupan yang seimbang antara kesukaan dan kesusahan. Allah
tidak menjanjikan taman bunga mawar duri. Kehidupan akan menjadi lebih mudah, juga
lebih sulit dengan masuknya Yesus dalam hati kita (Mat. 11:28-29). Tragedi kehidupan
dalam kehidupan orang percaya diijinkan Tuhan untuk membentuk kita menajdi serupa
dengan gambar Kristus (Roma 8:29-30). Masalah atau tragedi dalam hidup orang percaya
bisa terjadi karena beberapa hal: Itu bisa dikarenakan dosa-dosa yang kita sembunyikan
sehingga memaksa Allah mendisiplinkan/menghajar kita (Ibr. 12:5-6). Itu juga bisa terjadi
karena Tuhan ingin menguji iman kita seperti Ayub, Paulus, agar iman kita bertumbuh kuat
dan dewasa. Dan terakhir bisa jadi karena keputusan-keputusan kita yang salah tanpa
melibatkan Tuhan. Saat ketika tragedi hidup menimpa, segeralah memeriksa diri, apakah itu
karena dosa sengaja, atau karena Allah sedang membentuk agar semakin serupa dengan
karakter-Nya. Jika itu datangnya dari Tuhan maka kita patut mengucap syukur sebab
tangan-Nya yang berkuasa sedang menyempurnakan kita. Roma 8:28 dengan jelas
memberitahu kita bahwa dalam segala sesuatu Allah turut bekerja untuk mendatangkan
kebaikan bagi kita yang mengasihi Dia.

Referensi:
42
David Cupples, (1996). Beriman dan Berilmu, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Dorothe Mason. M, (1998), Demikianlah Firman Tuhan, Jakarta:Yayasan PI “IMMANUEL”.
Ichwei G. Indra, (1993). Dinamika Iman, Bandung: Yayasan Kalam Kudus,
Yohanes Herijanto, (2001). Menjadi Pemenang, Yokyakarta: ANDI.

Modul. VII
GEREJA DAN SAKRAMEN

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 7
Standar Kompetensi Memahami arti dan misi Gereja serta melakukan sakramen.
Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa mewujudkan misi gereja di dunia ini dengan karunia-
karunia dan buah Roh dalam pelayanannya.
2. Mahasiswa melakukan Perjamuan Kudus yang benar sesuai ajaran
Alkitab.

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menguraikan asal mula lahirnya Gereja, panggilannya dan Sakramen dalam
Gereja
Penyajian (90 menit) Mahasiswa mempersentasikan panggilan Gereja ditengah dunia serta
pelaksanaan tujuan Sakramen dalam Gereja
Penutup (20 menit) Tanya jawab untuk menyetarakan pemahaman tentang Gereja dan
43
Sakramen

A. Pendahuluan
Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus. Ia lahir seiring
kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus di dunia. Karena itu, apa yang disebut gereja perdana
adalah persekutuan para murid Yesus dan ditambah dengan beberapa orang lain yang telah
mengaku Yesus sebagai Tuhan dan menjadi saksi atas kebangkitan-Nya. Gereja perdana ini
memiliki semangat persekutuan, pelayanan, dan kesaksian  yang kuat, sehingga iman Kristen
mulai tersebar dari Yerusalem, seluruh daerah Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung dunia
(Kis. 1:8). Salah seorang murid Yesus yang giat dalam pekabaran Injil ini adalah rasul Paulus.
Ia mengabarkan Injil hampir di seluruh wilayah kekuasaan Romawi pada abad pertama, baik di
kalangan orang-orang Yahudi diaspora maupun orang-orang bukan Yahudi.
Selain rasul Paulus, para murid yang lain juga aktif mengabarkan Injil ke seluruh dunia.
Konon rasul Thomas mengabarkan Injil sampai ke India. Karena itu, pada akhir abad pertama
dan memasuki abad kedua, sejumlah jemaat-jemaat Kristen lahir dan bertumbuh di seluruh
wilayah kekuasaan Romawi, dengan latar belakang suku bangsa, bahasa, dan tradisi yang
berbeda. Namun demikian, jemaat-jemaat ini mengakui keesaan mereka di dalam iman kepada
Yesus Kristus dan di dalam tugas panggilan mereka untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani
sebagai jemaat-jemaat Kristen. Jadi, keesaan mereka pertama-tama terletak pada iman mereka
kepada Yesus Kristus dan panggilan mereka untuk bersaksi di dalam dunia.
Sakramen berasal dari bahasa Latin; Sacramentum yang memiliki arti perbuatan kudus.
Dalam bidang hukum dan pengadilan Sacramentum biasanya diartikan sebagai barang
kepunyaan (jaminan) yang ditaruhkan saat dua orang berselisih, jika salah satunya kalah maka
jaminan tadi akan menjadi milik pihak yang menang. Dalam sejarah teologi Kristen istilah
sacramentum menjadi bagian dari diskusi teologis Kristiani sehingga dalam perkembangannya
istilah sakramen digunakan dan diberi arti baru dalam kehidupan gereja.
Sakramen adalah tanda atau jaminan memperoleh keselamatan. Namun bukan hanya
tentang keselamatan tetapi juga secara fungsional, sakramen adalah sebuah alat karunia yang
menyatakan kasih Allah untuk memperteguh kepercayaan/iman. Di sisi yang lain
Pendampingan Pastoral sendiri juga memiliki fungsi yang sama yaitu menyokong/menopang
sekaligus untuk mengutuhkan mereka yang sedang bergumul dengan kehidupannya baik
sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan.
B. Hakikat Gereja
Kata gereja dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Portugis. Namun kata asal itu
juga diambil dari kata Yunani kuriake yang aslinya berarti milik Tuhan. Gedung dan
organisasinya dalam teori merupakan milik Tuhan, Allah Umat Kristen dan digunakan untuk
tujuan-tujuan-Nya.
Gedung pertama yang diketahui dikhususkan bagi peribadatan umat Kristen didirikan kira-
kira tahun 250 M, ditemukan di Dura Europos, di negeri yang kini disebut Irak. Pada masa itu
agama Kristen telah menyebar di seluruh wilayah Kerajaan Romawi, dan tidak lama kemudian
gedung-gedung khusus untuk gereja didirikan. Namun sebelum itu umat Kristen melakukan
ibadah mereka di rumah-rumah biasa.
Berikut akan dipaparkan tentang arti gereja, gambaran tentang gereja dan sifat-sifat gereja itu
sendiri
1. Apa itu Gereja
a. Gereja sebagai sebuah Persekutuan
Dalam bahasa Yunani, gereja disebut ekklesia
(έκ, ek=keluar,  κάλεω, kaleo=memanggil). Secara harafiah berarti memanggil keluar.
Yang menjadi subyek dari kata memanggil keluar dalam pengertian ini adalah Allah.
44
Sehingga pengertian dari ekklesia adalah persekutuan dari orang-orang yang dipanggil
keluar dari kegelapan masuk ke dalam terang-Nya yang ajaib (I Petrus 2:9-10). Atau
secara singkat gereja adalah persekutuan orang-orang percaya.
b.  Gereja sebagai tempat Bersekutu
Walaupun kekristenan memahami bahwa gereja bukanlah gedung atau tempat melainkan
orangnya, namun seringkali kita memahami dan merujuk gereja sebagai tempat umat
bersekutu. Yang pasti dimana ada umat bersekutu  di dalam Kristus disitulah gereja
berada.

2. Gambaran Tentang Gereja


Alkitab khususnya PB menggunakan istilah gereja dengan 2 macam gambaran, yaitu:
a.   Bangunan Allah (I Kor. 3:9; 17:2; Ef.2:20-22; I Tim. 3:15) yang dipakai untuk
menggambarkan keberadaan gereja, sebab Kristus sendiri merupakan batu penjuru dari
bangunan ini (Mat. 16:18; I Kor. 3:11; I Ptr 2:6-7).
b.   Tubuh Kristus (Ef. 1:22-23).
Gambaran gereja sebagai tubuh Kristus yang ditekankan adalah kesatuan. Satu hal yang
nampak jelas dari tubuh yaitu kesatuan. Meskipun dalam tubuh banyak terdapat
keanekaragaman (kaki, mulut, tangan, dll) namun segala pertentangan ditiadakan. Rasul
Paulus dalam Kolose 1:18 mengatakan bahwa Kristus-lah yang menjadi Kepala atas
tubuh yakni Gereja. Semua anggota dipersatukan di dalam Dia, sehingga tubuh itu
menjadi tanda keterikatan dalam persekutuan yang mendalam. Dalam Roma 12:4,
dikatakan tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama. Jadi gereja sebagai tubuh
Kristus, di dalam cara hidupnya harus menampakan hidup Kristus, melalui kata-kata dan
perbuatan yang harus diterangi oleh terang Kristus.

3. Sifat Gereja
a.   Kudus
Kata “Kudus” berasal dari bahasa Ibrani ‫קּאָﬢשׁ‬, qadosy yang berarti disendirikan,
diasingkan, dipisahkan dari yang lain, berbeda dari yang lain. Kekudusan Gereja bukan
karena ia kudus adanya, tetapi karena dikuduskan oleh Kristus. Rasul Paulus
menyebutkan bahwa Jemaat adalah mereka yang dikuduskan di dalam Kristus (Fil.1:1 ; 1
Kor. 1:2 ; Ef. 1:1).
Gereja adalah kudus, diasingkan tapi bukan “mengasingkan diri” karena Gereja disuruh ke
dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Adanya Gereja di dunia ini ialah
untuk dipakai dalam karya penyelamatan Allah.
b.   Am
Gereja adalah Am, khatolik, universal, tersebar di seluruh dunia. Am berarti umum, oleh
sebab itu Gereja “menerobos” segala pembatas dan memiliki perpektif yang umum.
Gereja sebagai yang am harus bersifat universal sebab kasih Allah itu ditujukan kepada
dunia. Jadi Gereja bukan dan janganlah jadi suatu “golongan elite”. Gereja tidak terbatas
pada suatu daerah/ suku/ bangsa atau bahasa tertentu tapi meliputi seluruh dunia (2 Kor.
5,19). Gereja tidak terbatas pada suatu zaman, tapi meliputi zaman yang lalu, masa
sekarang dan masa yang akan datang.
c. Persekutuan Orang Percaya/Kudus
Kata Persekutuan orang Kudus diterjemahkan dari Communio Sanctorum. Kata
sanctorum berasal dari kata sancta atau sanctus yang berarti barang-barang atau orang-
orang kudus. Sedangkan kata communion berarti persekutuan. Sehingga ungkapan gereja
sebagai persekutuan orang kudus harus dipandang sebagai persekutuan di dalam Kristus
oleh Roh Kudus. Jadi, gereja bukan terdiri dari orang-orang yang telah sempurna
melainkan terdiri dari orang-orang berdosa sekalipun telah dikuduskan. Maka ungkapan
45
“persekutuan orang Kudus” harus dipandang sebagi suatu tugas yang masih harus
diperjuangkan dan itu senantiasa mempunyai arti yang konkret dalam kenyatan hidup di
dunia ini. Gereja sebagai persekutuan orang kudus mengarah kepada persekutuan dengan
Kristus, persekutuan yang berdasarkan kasih, bahwa kita harus saling mengasihi karena
Allah telah mengasihi kita (I Yoh. 4:11; II Yoh. 5; I Kor 12:26)
d. Satu
Gereja adalah kesatuan umat Kristen, tempat bersekutu sesuai dengan kehendak Yesus
Kristus, kepala gereja. Satu dalam memberitakan Injil (Mat. 28,18-20), satu dalam
mengemban misi, mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan (Mat.22,37-40), satu dalam
iman dan pengharapan(Ef. 4:4-5). Oleh sebab itu dalam kepelbagaian kita, Tuhan
mempersatukan kita. Di dalam kepelbagaian itu kita dapat bersatu menampakkan
kepatuhan kita sebagai Gereja kepada Tuhan Yesus (Yoh. 17, 21).

C. Arti Sakramen dalam Gereja


Sakramen (sacrament), dengan kata sifat sakramental (sacramental), dalam konteks
tertentu dianggap sebagai suatu ritus agama Kristen yang mana merupakan perantara (penyalur)
rahmat dari Allah. Kata “sakramen” berasal dari Bahasa Latin sacramentum yang akar katanya
sacr, sacer, sacrare. Kata sacrare berarti menyucikan, menguduskan, atau mengkhususkan
sesuatu atau seseorang bagi bidang yang suci atau kudus, yang secara umum berarti
"menjadikan suci". Selaras dengan dalamnya makna yang dikandungnya, Gereja-Gereja Timur
biasa menyebut Sakramen dengan sebutan "Misteri" atau "Misteri Suci".
Pengertian misteri ini mengacu pada dua ciri pokok yakni: menunjuk pada tegangan
dinamik antara Yang Ilahi dan yang manusiawi dan menunjuk pada sejarah penyelamatan Allah
dalam diri Yesus Kristus. Istilah mysterion dan sacramentum sering masih digunakan secara
luas sebagaimana dimengerti dalam Kitab Suci. Di lain pihak, istilah mysterion dan
sacramentum mulai dipakai untuk pengertian sakral atau suci, yakni upacara-upacara suci.
Pada Abad-abad Pertengahan dan zaman Reformasi hingga awal abad keduapuluh,
konsepsi sakramen mengalami tahap perampingan demi perampingan, dimana pada
pertengahan abad keduabelas, sakramen merupakan tanda yang mengerjakan apa yang
ditandakan itu (sacramentum est signum quod efficit quod significant). Mulai saat itulah istilah
“sakramen” bukan lagi dipahami sebagai dinamik misteri karya keselamatan Allah yang
terwujud dalam Kristus, namun sebagai ritus atau upacara liturgi. Sakramen merupakan tanda
pertemuan antar pribadi antara Allah dan manusia. Pertemuan ini dibahasakan baik lewat kata-
kata, maupun lewat bahan-bahan atau materi.

Sakramen adalah upacara atau ritus dalam agama Kristen yang menjadi mediasi, dalam
arti menjadi simbol yang terlihat atau manifestasi dari Rahmat Tuhan yang tak tampak. Sebuah
sakramen biasanya dilakukan oleh seorang pastor atau pendeta kepada sang penerima, dan
umumnya dipercayai melibatkan hal-hal yang tampak maupun yang tak tampak. Komponen
yang tak tampak diyakini adalah rahmat Tuhan yang sedang bekerja di dalam para peserta
sakramen, sementara komponen yang tampak melibatkan penggunaan air, anggur atau minyak
yang sudah diberkati. Meskipun tidak semua orang dapat menerima semua sakramen,
sakramen- sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan
umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya
dipersatukan dengan Kristud dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, atau pun pengkhususan
(konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu.

D. Sakramen dalam Gereja Khatolik


Sakramen adalah bentuk upacara suci yang wajib dilakukan penganut Kristiani sepanjang
hidup mereka. Gereja Katolik mengakui ada 7 sakramen, yaitu
46
1. Pembaptisan (Permandian)
Baptisan (bahasa Yunani : Baptizo), berarti dimandikan, dibersihkan, atau diselamkan,
mati dan bangkit di dalam Kristus. Melambangkan bahwa manusia mati terhadap dosa
bersama dengan Kristus, dan dibangkitkan untuk suatu hidup baru. Karena manusia
dilahirkan kembali oleh air dan Roh Kudus, dan hidup baru tersebut menunjukkan kita
dibersihkan dari dosa. Cara Baptisan dilakukan antara lain :
a. Menyiramkan
Baptisan ini dilakukan dengan menyiramkan air ke kepala yang menerima baptisan
dengan satu keyakinan, bahwa air itu bukanlah air biasa, melainkan air yang berisikan
Firman dan Titah Allah yang telah dikuduskan. Bukan karena air itu si penerima baptisan
mendapat Keselamatan dari keampunan dosa, melainkan Firman Tuhan itu, maka
baptisan itu menyelamatkan.
b. Memercikkan
Baptisan ini dilakukan dengan memercikkan berulang kali ke atas kepala yang menerima
baptisan. Baptisan seperti ini biasanya dilakukan dalam gereja Katolik dan gereja Ortodok
c. Menyelamkan
Biasanya orang yang dibaptis diselamkan di dalam kolam air, di sugai dan sejenisnya
secara langsung, ini mengikuti baptisan tradisi Yahudi yang dilakukan Yohanes dan
Petrus di sugai dan umumnya dilakukan oleh Pentakosta dan Kharismatik.
Dalam keadaan darurat, siapapun yang berniat untuk melakukan apa yang dilakukan
Gereja, bahkan jika orang itu bukanlah seorang Kristiani, dapat membaptis. Pembaptisan
membebaskan penerimanya dari dosa asal serta semua dosa pribadi dan dari hukuman akibat
dosa-dosa tersebut, dan membuat orang yang dibaptis itu mengambil bagian dalam kehidupan
Tritunggal Allah melalui "rahmat yang menguduskan" (rahmat pembenaran yang
mempersatukan pribadi yang bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya). Pembaptisan
juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan
landasan komunitas (persekutuan) antar semua orang Kristen. Pembaptisan menganugerahkan
kebajikan-kebajikan "teologis" (iman, harapan dan kasih) dan karunia-karunia Roh Kudus.
Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut
secara permanen telah menjadi milik Kristus.
Baptisan Kudus diperintahkan oleh Yesus sendiri yang dikatakan dalam Matius 29:19-
20, "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah kuperintahkan kepadaMu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir zaman."
Pengertian nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus berarti bahwa orang itu diselamkan
dalam karya penyelamatan Bapa, Anak, dan roh Kudus. Maka hidupnya bukan lagi
dikuasai oleh keinginannya sendiri, tetapi dikuasai oleh kehendak Allah. Oleh karena itu,
jelaslah bahwa baptisan kudus adalah tanda atau gambaran yang menunjuk kepada
pengampunan dosa dan hidup yang kekal sedangkan sakramen sebagai materai atau cap
berfungsi untuk menguatkan atau mengokohkan kepercayaan kepada janji Allah atau
untuk memateraikan atau menandai janji Allah dalam Injil bahwa korban Kristus
mempersatukan kita dalam kematian, kebangkitan, kenaikan Yesus ke sorga yang
dikaruniai sebagai pengampunan dosa & hidup yang kekal.

2. Ekaristi (Komuni Suci)


"Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti,
mengucap berkat dan memecah-mecahakannya kepada mereka dan berkata, "Ambillah,
inilah tubuhKu," sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu
memberikannya kepada mereka semua dan mereka semua minum dari cawan itu. Dan
47
berkata kpd mereka, "Inilah darahKu, darah perjanjian yang ditumpahkan bagi banyak
orang."
Berdasarkan perkataan-perkataan inilah maka beberapa kali dalam setahun jemaat
Protestan mengadakan kebaktian khusus untuk merayakan Perjamuan Kudus. Perjamuan
Kudus adalah Perjamuan yang tergolong kepada Perjanjian yang diadakan Allah dengan
umat-Nya di bukit Golgota (Perjanjian yang Baru), dimana anak domba Paskah telah
dikorbankan satu kali untuk selama-lamanya (I Kor. 5:17). Bila pada perayaan Perjamuan
Kudus kita menerima roti dan anggur, maka dengan “Firman yang kelihatan” ini
ditegaskan dan diberi jaminan kepada kita bahwa kita boleh ambil bagian dalam
keselamatan yang dikerjakan Kristus bagi manusia. Sebab, dengan menerima tanda-tanda
roti dan anggur itu kita dijadikan satu dengan Kristus di dalam kematian-Nya.
Perjamuan Kudus adalah tanda yang ditetapkan Tuhan untuk mengingatkan
semua orang yang percaya kepada-Nya kepada sengsara dan pengorbanan-Nya untuk
menebus dosa kita dan menyediakan kehidupan kekal bagi kita. Dengan menerima tanda
itu kita boleh yakin bahwa sekarang pun kita telah menerima keselamatan itu, dan itu
sepenuhnya akan kita nikmati ketika kita bersama dengan Dia merayakan Perjamuan
Agung bersama Dia di kerajaanNya yang kekal, setelah Ia datang kembali membarui
dunia ini.
Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan
bertindak selaku pribadi Kristus sendiri. Imam biasanya adalah pelayan Komuni Suci,
umat awam dapat diberi wewenang dalam lingkup terbatas sebagai pelayan luar biasa
Komuni Suci. Ekaristi dipandang sebagai "sumber dan puncak" kehidupan Kristiani,
tindakan pengudusan yang paling istimewa oleh Allah terhadap umat beriman dan
tindakan penyembahan yang paling istimewa oleh umat beriman terhadap Allah, serta
sebagai suatu titik dimana umat beriman terhubung dengan liturgi di surga. Betapa
pentingnya sakramen ini sehingga partisipasi dalam perayaan Ekaristi (Misa) dipandang
sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta dianjurkan untuk
hari-hari lainnya. Dianjurkan pula bagi umat yang berpartisipasi dalam Misa untuk,
dalam kondisi rohani yang layak, menerima Komuni Suci. Menerima Komuni Suci
dipandang sebagai kewajiban sekurang-kurangnya setahun sekali selama masa Paskah.

3. Penguatan (Krisma)
Penguatan atau Krisma adalah sakramen ketiga dalam inisiasi Kristiani.
Sakramen ini diberikan dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak
yang telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa khusus
yang menunjukkan bahwa, baik dalam variasi Barat maupun Timurnya, karunia Roh
Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai. Melalui sakramen ini, rahmat yang
diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan diperdalam”. Seperti pembaptisan,
penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya
bebas dari dosa apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima
efek sakramen tersebut.
Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup yang ditahbiskan secara sah; jika
seorang imam (presbiter) melayankan sakramen ini hubungan dengan jenjang imamat di
atasnya ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan nama krisma atau myron) yang telah
diberkati oleh uskup dalam perayaan Kamis Putih atau pada hari yang dekat dengan hari
itu. Di Timur sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana
administrasi biasanya dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti
pentingnya, sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal kedewasaan;
biasanya setelah yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi. Kian
lama kian dipulihkan urut-urutan tradisional sakramen- sakramen inisiasi ini, yakni
48
diawali dengan pembaptisan, kemudian penguatan, barulah Ekaristi.

4. Pernikahan (Perkawinan)
Pernikahan atau Perkawinan, adalah suatu sakramen yang mengkonsekrasi
penerimanya guna suatu misi khusus dalam pembangunan Gereja, serta
menganugerahkan rahmat demi perampungan misi tersebut. Sakramen ini, yang
dipandang sebagai suatu tanda cinta-kasih yang menyatukan Kristus dengan Gereja,
menetapkan di antara kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat permanen dan eksklusif,
yang dimeteraikan oleh Allah.
Dengan demikian, suatu pernikahan antara seorang pria yang sudah dibaptis dan
seorang wanita yang sudah dibaptis, yang dimasuki secara sah dan telah disempurnakan
dengan persetubuhan, tidak dapat diceraikan sebab di dalam kitab suci tertulis: “Justru
karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab
pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki
akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Ketika
mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu.
Lalu kata-Nya kepada mereka: ”Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan
perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri
menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina." (Markus 10 :
1–12).
Sakramen ini menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang
mereka perlukan untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta
untuk menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab.
Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan imam (atau saksi lain yang ditunjuk
oleh Gereja) serta saksi-saksi lainnya, meskipun dalam tradisi teologis Gereja Latin yang
melayankan sakramen ini adalah kedua pasangan yang bersangkutan.
Demi kesahan suatu pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus
mengutarakan niat dan persetujuan-bebas (persetujuan tanpa paksaan) masing- masing
untuk saling memberi diri seutuhnya, tanpa memperkecualikan apapun dari hak-milik
esensial dan maksud-maksud perkawinan. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang
Kristen non-Katolik, maka pernikahan mereka hanya dinyatakan sah jika telah
memperoleh izin dari pihak berwenang terkait dalam Gereja Katolik. Jika salah satu dari
keduanya adalah seorang non-Kristen (dalam arti belum dibaptis), maka diperlukan izin
dari pihak berwenang terkait demi sahnya pernikahan.

5. Imamat (Pentahbisan)
Imamat atau Pentahbisan adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan
uskup, imam, atau diakon, sehingga penerima sakramen ini dibaktikan sebagai citra
Kristus. Hanya uskup yang boleh melayankan sakramen ini.
Pentahbisan seseorang menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen
Imamat baginya, menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan
memberi dia misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai kepedulian dari
semua Gereja.
Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku
Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten
uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan
49
liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi.
Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus
selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang
bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta- kasih Kristiani
terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah.
Orang-orang yang berkeinginan menjadi imam dituntut oleh Hukum Kanonik
(Kanon 1032 dalam Kitab Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari
yang selain berisi studi filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup suatu program
formasi yang meliputi pengarahan rohani, berbagai retreat, pengalaman apostolat
(semacam Kuliah Kerja Nyata), dst. Proses pendidikan sebagai persiapan untuk
pentahbisan sebagai diakon permanen diatur oleh Konferensi Wali Gereja terkait.

6. Rekonsiliasi (Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat)


Sakramen rekonsiliasi adalah yang pertama dari kedua sakramen penyembuhan,
dan juga disebut Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat, dan Sakramen
Pengampunan14. Sakramen ini adalah sakramen penyembuhan rohani dari seseorang yang
telah dibaptis yang terjauhkan dari Allah karena telah berbuat dosa. Sakramen ini
memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal
ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara
spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan
tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi
(pengampunan) oleh imam, dan penyilihan.
"Banyak dosa yang merugikan sesama. Seseorang harus melakukan melakukan
apa yang mungkin dilakukannya guna memperbaiki kerusakan yang telah terjadi
(misalnya, mengembalikan barang yang telah dicuri, memulihkan nama baik seseorang
yang telah difitnah, memberi ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan). Keadilan
yang sederhana pun menuntut yang sama. Akan tetapi dosa juga merusak dan
melemahkan si pendosa sendiri, serta hubungannya dengan Allah dan sesama. Si pendosa
yang bangkit dari dosa tetap harus memulihkan sepenuhnya kesehatan rohaninya dengan
melakukan lagi sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya: dia harus 'melakukan silih
bagi' atau 'memperbaiki kerusakan akibat' dosa-dosanya. Penyilihan ini juga disebut
'penitensi'" (KGK 1459). Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat
berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu
tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa
perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan
selanjutnya.
Imam yang bersangkutan terikat oleh "meterai pengakuan dosa", yang tak boleh
dirusak. "Oleh karena itu, benar-benar salah bila seorang konfesor (pendengar
pengakuan) dengan cara apapun mengkhianati peniten, untuk alasan apapun, baik dengan
perkataan maupun dengan jalan lain" (kanon 983 dalam Hukum Kanonik). Seorang
konfesor yang secara langsung merusak meterai sakramental tersebut otomatis dikenai
ekskomunikasi (hukuman pengucilan) yang hanya dapat dicabut oleh Tahta Suci (kanon
1388).

7. Pengurapan Orang Sakit


Pengurapan Orang Sakit adalah sakramen penyembuhan yang kedua. Dalam
sakramen ini seorang imam mengurapi si sakit dengan minyak yang khusus diberkati
untuk upacara ini. "Pengurapan orang sakit dapat dilayankan bagi setiap umat beriman
yang, karena telah mencapai penggunaan akal budi, mulai berada dalam bahaya yang
disebabkan sakit atau usia lanjut" (kanon 1004; KGK 1514). Baru menderita sakit
50
ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima
berkali-kali oleh seseorang.
Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang
berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai "Pengurapan Terakhir", yang
dilayankan sebagai salah satu dari "Ritus-Ritus Terakhir". "Ritus- Ritus Terakhir" yang
lain adalah pengakuan dosa (jika orang yang sekarat tersebut secara fisik tidak
memungkinkan untuk mengakui dosanya, maka minimal diberikan absolusi, yang
tergantung pada ada atau tidaknya penyesalan si sakit atas dosa-dosanya), dan Ekaristi,
yang bilamana dilayankan kepada orang yang sekarat dikenal dengan sebutan
"Viaticum", sebuah kata yang arti aslinya dalam bahasa Latin adalah "bekal perjalanan".

E. Sakramen dalam Gereja Protestan


Dalam gereja Protestan, hanya diakui dua sakramen, yaitu Baptis dan Ekaristi (Perjamuan
Kudus). Sakramen Ekaristi dalam ajaran Protestan juga tidak dilakukan setiap hari Minggu,
namun hanya pada perayaan hari-hari besar saja
Bagi Gereja Protestan, kata "menjadi perantara" atau "menyalurkan" digunakan hanya
dengan pemahaman bahwa sakramen adalah suatu simbol atau peringatan yang terlihat dari
rahmat yang tak terlihat. Gereja-Gereja Pentakosta klasik, kaum Injili, Nazarin dan
Fundamentalis, menganut suatu bentuk imamat yang unik. Karena alasan ini, kebanyakan
denominasi lebih suka menggunakan istilah “Fungsi Imamat” atau “Ordinansi”. Keyakinan ini
menjadikan ordinansi efektif dalam hal ketaatan dan partisipasi orang-orang percaya serta
kesaksian pimpinan dan anggota jemaat. Cara pandang ini bersumber dari pengembangan
konsep "imamat setiap orang percaya". Kegiatan ordinansi lebih ditekankan peran imamat dari
pada peran sakramentalnya sehingga ordinansi lebih dipandang sebagai suatu tindakan
pengorbanan yang dipersembahkan oleh orang-orang percaya dari pribadinya masing-masing,
dari pada sebagai suatu ritual yang mengandung kuasa sendiri.
Menurut para Reformator, sakramen hanya ada dua sakramen yang ditetapkan Allah
dalam Alkitab yakni: Sakramen Baptisan dan Sakramen Perjamuan Kudus. Sakramen adalah
tanda dan materi yang kudus serta kasat mata, yang telah ditetapkan oleh Allah. Melalui
penerimaan sakramen, diterangkan-Nya dan dimeteraikan-Nya kepada kita secara lebih jelas
lagi janji Injil, yaitu bahwa Dia menganugerahkan kepada kita pengampunan semua dosa dan
hidup yang kekal, hanya berdasarkan rahmat, karena kurban Kristus yang satu- satunya, yang
telah terjadi di kayu salib (Roma 4:11). Yang paling utama, sakramen adalah suatu perbuatan
atau pekerjaan Allah. Tuhanlah yang melakukan sakramen, bukan manusia. Tuhan
menghampiri manusia, bukan sebaliknya. Dahlenburg mengatakan, “Kita harus membedakan
antara sakramen (sacrament) dan kurban (sacrifice). Sakramen adalah dari Tuhan kepada
manusia sedangkan kurban adalah dari manusia kepada Allah”.

F. Validitas dan Keabsahan Pelayanan Sakramen


Sebagaimana dijelaskan di atas, efek dari sakramen-sakramen timbul ex opere operato
(oleh kenyataan bahwa sakramen-sakramen tersebut dilayankan). Karena Kristus sendiri yang
bekerja melalui sakramen-sakramen, maka efektivitas sakramen-sakramen tidak tergantung
pada kelayakan si pelayan.
Meskipun demikian, sebuah pelayanan sakramen yang dapat dipersepsi akan invalid,
jika orang yang bertindak selaku pelayan tidak memiliki kuasa yang diperlukan untuk itu,
misalnya jika seorang diakon merayakan Misa. Sakramen- sakramen juga invalid jika "materi"
atau "formula"nya kurang sesuai dari pada yang seharusnya. Materi adalah benda material yang
dapat dipersepsi, seperti air (bukannya anggur) dalam pembaptisan atau roti dari tepung
gandum dan anggur dari buah anggur (bukannya kentang dan bir) untuk Ekaristi, atau tindakan
yang nampak. Formula adalah pernyataan verbal yang menyertai pemberian materi, seperti
51
(dalam Gereja Barat), "Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus".
Lebih jauh lagi, jika si pelayan positif mengeluarkan beberapa aspek esensial dari sakramen
yang dilayankannya, maka sakramen tersebut invalid. Syarat terakhir berada di balik
penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.
Sebuah sakramen dapat dilayankan secara valid, namun tidak sah, jika suatu syarat yang
diharuskan oleh hukum tidak dipenuhi. Kasus-kasus yang ada misalnya pelayanan sakramen
oleh seorang imam yang tengah dikenai hukuman ekskomunikasi atau suspensi, dan
pentahbisan uskup tanpa mandat dari Sri Paus.
Hukum kanonik merinci halangan-halangan (impedimenta) untuk menerima sakramen
imamat dan pernikahan. Halangan-halangan sehubungan dengan sakramen imamat hanya
menyangkut soal keabsahannya, tetapi "suatu halangan yang bersifat membatalkan dapat
menjadikan seseorang tidak berkapasitas untuk secara valid untuk mengikat suatu janji
pernikahan" (kanon 1073).
Dalam Gereja Latin, hanya Tahta Suci yang secara otentik dapat mengeluarkan
pernyataan bilamana hukum ilahi melarang atau membatalkan suatu pernikahan, dan hanya
Tahta Suci yang berwenang untuk menetapkan bagi orang- orang yang sudah dibaptis
halangan-halangan pernikahan (kanon 1075). Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus
Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak
harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Hukum
Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792).
Jika suatu halangan timbulnya hanya karena persoalan hukum Gerejawi belaka, dan
bukannya menyangkut hukum ilahi, maka Gereja dapat memberikan dispensasi dari halangan
tersebut.
Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas
dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan
dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili
mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum
Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya.
Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat:
efeknya bersifat permanen. Ajaran ini telah diekspresikan di Barat dengan citra-citra dari
karakter atau tanda, dan di Timur dengan sebuah meterai.
Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih
sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian
sakramen misalnya: "Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …"

Referensi:
Urban, Linwood (2003), Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Martasudjita (2007). Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral.
Yogyakarta: Kanisius.
Alister E.McGrath, (2002). Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Modul. VIII
ETIKA KRISTEN

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 8
Standar Kompetensi Memahami hakikat moralitas, etos kerja/profesi dan etika seksual yang
Alkitabiah
Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa dapat menghubungkan hakikat moral dengan ilmu
pengetahuan dalam perspektif Kristiani.

52
2. Mahasiswa mengidentifikasikan sebagai isu moral sosial dan memberi
pandangan dari sisi iman Kristiani.
3. Mahasiswa bersikap tanggung jawab dan menghargai pihak lain dalam
melakukan pekerjaan sesuai etika Kristen.
4. Mahasiswa bersikap profesional dalam bekerja serta dapat mewujudkan
solusi yang terbaik.
5. Mahasiswa menghormati dan mentaati norma-norma seksual (pranikah,
tunangan, pernikahan).

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan hakikat moralitas, etos kerja/profesi dan etika seksual yang
Alkitabiah
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali serta menguraikan moralitas, etos kerja, serta
pergaulan pemuda/i Kristen ditengah perkembangan zaman
Penutup (20 menit) Memberi kesimpulan terhadap materi bahasan

A. Pendahuluan
Makna moral dan etika Kristiani sangat penting bagi kehidupan orang Kristen.
Manusia sebagai ciptaan Allah berimplikasi pada eratnya hubungan antara Iman dan Perilaku
manusia dalam rangka tanggung jawab pada Pencipta. Etika Kristen sebagai ilmu mempunyai
fungsi dan misi yang khusus dalam hidup manusia yakni petunjuk dan penuntun tentang
bagaimana manusia sebagai pribadi dan kelompok harus mengambil keputusan tentang apa yang
seharusnya berdasarkan kehendak dan Firman Tuhan. Etika Kristen adalah Ilmu yang meneliti,
menilai dan mengatur tabiat dan tingkah laku manusia dengan memakai norma kehendak
dan perintah Allah sebagaimana dinyatakan dalam Yesus Kristus.
Etika bukanlah ilmu pengetahuan alam. Karena itu juga Etika bukanlah ilmu yang
pengetahuan yang bersifat deskriptif, yang hanya menerangkan dan menguraikan tindakan dan
kelakuan manusia, seperti halnya dengan ilmu bangsa-bangsa (antropologi kultural), yang
menguraikan dan membahas adat-istiadat dan keadaan bangsa-bangsa. Etika merupakan Ilmu
yang mempelajari norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia. Etika berbicara tentang
keharusan yang di lakukan oleh manusia tentang apa yang baik, benar dan tepat. Kata ethos yang
menjadi etika berarti kebiasaan, baik kebiasaaan individu maupun kebiasaan masyarakat. Etika
tidak hanya berurusan dengan dengan segi lahiriah seperti kelakuan dan tindakan, tetapi juga
berurusan dengan segi batiniah seperti sikap, motif, karakter atau tabiat.

B. Pengertian Etika
Istilah “etika” berasal dari kata ‘ethos (Yunani) yang artinya pemukiman, perilaku,
kebiasaan. Berikut beberapa pandangan dari beberapa ahli tentang istilah “etika” yaitu:
Dr J. Verkuyl. Ethos berarti kebiasaan, adat. Demikian juga Ethikos berarti kesusilaan,
perasaan batin, kecenderungan hati yang membuat seseorang melakukan perbuatan.
Robin W. Lovin. Ethos yang berarti adat (Inggris: Custom), sifat (Inggris: Character). Arti
tersebut menunjuk pada nilai sifat, keyakinan, praktik kelompok, ada hubungannya dengan
kultur atau kebudayaan.
C. H. Preisker. Ethos berarti kebiasaan (Inggris: habit), kegunaan (Inggris: used), adat
(Inggris: custom), peraturan, kultus dan hukum.

Dalam kaitannya dalam bahasa Latin, etika disebut ‘mores’ yang berarti ‘adat’ atau
‘custom’ (Ing). Istilah ini menunjuk pada kelakuan umum, sehingga perbuatan itu hanya secara

53
lahiriah dan dapat dilihat. Dalam bahasa Latin disebut ‘mos’ (tunggal) dan ‘mores’ (jamak) yang
menjelaskan kehendak, tingkah laku, adat istiadat, kebiasaan, cara hidup, berkelakuan, baik dan
buruk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan
akhlak atau moral.
Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Kesadaran tersebut termasuk apa yang
dilakukannya. Kesadaran inilah yang disebut dengan kesadaran etis. Kesadaran etis adalah
kesadaran tentang norma-norma yang ada di dalam diri manusia. Etika berhubungan erat dengan
kelakuan manusia dan cara manusia melakukan perbuatannya. Kelakuan yang dinyatakan
dengan perbuatan itu menunjuk pada dua hal, yakni positif dan negatif. Pengertian positif
menunjuk pada hal yang baik. Sedangkan pengertian negatif menunjuk kepada hal yang jahat
atau tidak baik. Etika hendak mencari ukuran baik, sebab yang tidak baik atau tidak sesuai
dengan ukuran baik itu adalah buruk atau jahat.
Oleh sebab itu, tugas etika adalah menyelidiki, mengontrol perbuatan-perbuatan,
mengoreksi dan membimbing serta mengarahkan tindakan yang seharusnya dilakukan agar dapat
memperbaiki tindakan atau perbuatannya. Pengertian perbuatan positif adalah “apa yang baik”
secara umum atau memakai ukuran yang merupakan pertimbangan dari tuntutan masyarakat dan
sesuai pula dengan hati nurani atau kata hati.

C. Landasan Filosofis Etika


Robert C. Solomon menghubungkan rumusan etika dengan filsafat. Ia mengatakan
bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi baik, berbuat baik dan
menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Demikian juga menurut Magnis suseno dalam
Etika Jawa. Ia mengatakan,”Etika dalam arti sebenarnya berarti “filsafat” mengenai “moral”.
Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma
dan istilah moral.
Dalam bahasa Yunani Filsafat berasal dari gabungan dua suku kata, yakni ‘filia’ (cinta)
dan ‘sofia’ (kebijaksanaan). Secara harafiah, filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Seorang
filsuf adalah seorang yang cinta akan hikmat kebijaksanaan. Etika juga berhubungan erat dengan
akal budi dan kesadaran dalam melakukan sesuatu sehingga etika termasuk ilmu pengetahuan
dan bagian dari filsafat hidup. Peran akal budi untuk mencari hal yang baik itulah yang
menghubungkan antara etika dan filsafat. Dalam hal ini J. Verkuyl menyimpulkan bahwa ada
bentuk-bentuk etika filsafat yang meliputi:
a. Etika Otonom
Dalam bahasa Yunani otonom berasal dari dua suku kata, yaitu aouto atau autos yang berarti
sendiri, pribadi, perorangan, dan nomos yang berarti aturan, hukum, ketentuan. Etika
Otonom adalah etika yang aturannya bersumber dari diri sendiri atau etika yang bersumber
pada diri sendiri, pada hidup pribadi. Ego atau akulah yang membuat peraturan.
b. Etika Heteronom
Dalam bahasa Yunani Heteronom berasal dari dua suku kata, yaitu hetero yang berarti
bermacam-macam dan nomos. Etika Heteronom adalah etika yang aturannya bersumber dari
orang banyak. Masyarakatlah yang membuat aturan.

c. Etika Theonom
Dalam bahasa Yunani theonom berasal dari dua suku kata, yaitu Theos yang berarti Allah dan
nomos. Etika Theonom adalah etika yang aturannya bersumber pada firman Allah atau
penyataan Allah. Misal, dalam Perjanjian Lama ada norma hukum yang disebut Hukum
Sepuluh Perkara atau Dekalog atau Sepuluh Firman (Kel. 20:1-17) dan dalam Perjanjian Baru
disebut hukum kasih (Mat. 22:37-40; Mrk. 12:30-31).
Maka dari pendapat para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa Etika Kristen adalah Ilmu
yang meneliti, menilai dan mengatur tabiat dan tingkah laku manusia dengan memakai norma
54
kehendak dan perintah Allah sebagaimana dinyatakan dalam Yesus Kristus.

D. Pandangan Kristen Mengenai Etika


Ada beberapa karakteristik yang membedakan mengenai etika-etika Kristen, setiap
karakteristik tersebut akan dibahas sebagai berikut:
1. Etika Kristen Berdasarkan Kehendak Allah
Etika Kristen merupakan satu bentuk sikap yang diperintah dari atas. Kewajiban etis
merupakan sesuatu yang seharusnya kita lakukan. Kewajiban ini merupakan ketentuan dari
atas. Tentu saja, perintah etis yang diberikan Allah itu sesuai karakter moral-Nya yang tidak
dapat berubah. Maksudnya adalah, Allah menghendaki apa yang benar sesuai dengan sifat-
sifat moral-Nya sendiri. “Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus”, Tuhan memerintahkan Israel
(Imamat 11:45). “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga
adalah sempurna’, kata Yesus kepada murid-muridnya (Matius 5:48). “Allah tidak mungkin
berdusta” (Ibrani 6:18). Dengan demikian kita tidak boleh berdusta juga. “Allah adalah kasih”
(1 Yohanes 4:16), dan dengan demikian Yesus berkata,”Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri” (Matius 22:39). Singkatnya, etika Kristen didasarkan pada kehendak Allah,
tetapi Allah tidak pernah menghendaki apapun yang bertentangan dengan karakter moral-Nya
yang tidak berubah.
2. Etika Kristen Bersifat Mutlak
Karena karakter moral Allah tidak berubah (Maleakhi 3:6; Yakobus 1:17), maka kewajiban-
kewajiban moral yang berasal dari natur-Nya itu bersifat mutlak. Maksudnya adalah,
kewajiban-kewajiban tersebut selalu mengikat setiap orang di mana-mana. Tentu saja, tidak
setiap kehendak Allah harus berasal dari natur-Nya yang tidak berubah. Ada beberapa hal
yang pada dasarnya sesuai dengan natur-Nya tetapi dengan bebas mengalir dari kehendak-
Nya. Misalnya, Allah memilih untuk menguji ketaatan moral Adam dan Hawa dengan
melarang mereka makan buah dari pohon tertentu (Kejadian 2:16-17). Meskipun secara moral
Adam dan Hawa bersalah karena tidak menaati perintah itu, kita tidak diikat oleh perintah
tersebut saat ini. Perintah tersebut didasarkan pada kehendak Allah dan tidak harus berasal
dari natur-Nya.
3. Etika Kristen Berdasarkan Wahyu Allah
Etika Kristen didasarkan pada perintah-perintah Allah, wahyu yang bersifat umum (Roma
1:19-20; 2:12-15 dan khusus (Roma 2:18; 3:2). Allah telah menyatakan diri-Nya baik melalui
alam (Mazmur 19:1-6) dan dalm Kitab Suci (Mazmur 19:7-14). Wahyu umum berisikan
perintah Allah bagi semua orang. Wahyu khusus mendeklarasikan kehendak-Nya untuk
orang-orang percaya. Etapi di dalam kedua hal tersebut, dasar dari tanggung jawab etis
manusia adalah wahyu ilahi.
Gagal untuk mengenali Allah sebagai sumber kewajiban moral tidak membebaskan siapapun
juga, bahkan seorang ateis, dari kewajiban moralnya. Karena “apabila bangsa-bangsa lain
yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut
hukum Taurat, maka, walaupun merekatidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum
Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum
Taurat ada tertulis di dalam hati mereka” (Roma 2:14-15). Maksudnya adalah, bahkan jika
orang-orang yang tidak percaya tidak memiliki hukum moral di dalam pikiran mereka,
mereka masih memilikinya tertulis dalam hati mereka. Bahkan jika mereka mengetahuinya
melalui pengertian, mereka memperlihatkannya melalui kehendak hati.
4. Etika Kristen Bersifat Menentukan
Karena kebenaran moral ditetapkan oleh Allah yang bermoral maka harus dilaksanakan.
Tidak ada hukum moral tanpa si Pemberi moral; tidak ada perundang-undangan moral tanpa
Pembuat undang-undang moral. Dengan demikan etika Kristen berdasarkan naturnya adalah
preskriptif, bukan deskriptif. Etika berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan, bukan
55
dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Orang-orang Kristen tidak menemukan
kewajiban-kewajiban etis mereka di dalam standar orang-orang Kristen tetapi di dalam
standar bagi orang-orang Kristen di Alkitab.
5. Etika Kristen Itu Deontologis
Sistem-sistem etis pada umumnya dapat dibagi ke dalam dua kategori, deontologis (berpusat
pada kewajiban) dan teleologis (berpusat pada tujuan). Etika kristen itu deontologis dalam arti
bersikeras bahwa beberapa tindakan yang menghasilkan ke gagalan itu tetap baik. Orang-
orang Kristen percaya, misalnya, bahwa adalah lebih baik untuk mengasihi dan kehilangan
dari pada tidak mengasihi sama sekali.
Orang-orang Kristen percaya bahwa salib bukan merupakan kegagalan hanya karena
beberapa orang akan diselamatkan. Salib itu cukup bagi semua orang, walaupun hanya
bermanfaat untuk mereka yang percaya. Etika Kristen bersikeras bahwa adalah baik untuk
bekerja menentang kefanatikan dan rasisme, meskipun usaha itu mengalami kegagalan. Hal
ini demikian karena tindakan-tindakan moral yang mencerminkan natur Allah itu baik, baik
tindakan itu membawa hasil baik ataupuntidak. Kebaikan orang Kristen tidak di tentukan oleh
undian. Di dalam hidup ini pemenang tidak selalu benar.

E. Asas-Asas Etika Kristen


1. Iman
Untuk membicarakan hal ini, kita perlu meninjau terlebih dahulu bahwa hakekat
kemanusiaan kita adalah citra Allah (Kej. 1:26-27). Citra Allah itu meliputi gambar Allah
(imago Dei) dan teladan Allah (similitodo Dei). Ini merupakan kelengkapan manusia yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk melakukan tuga-tugas yang telah diberikan-Nya.
Citra Allah adalah potret atau bayangan yang mempunyai kesamaan sifat. Namun satu hal yang
harus kita ketahui adalah kecitraan manusia dengan Tuhan terkait dengan tugas manusia.
Manusia memang segambar dengan Tuhan tetapi bukan sifat atau keadaan atau tabiat yang
imanen dalam diri manusia melainkan kedudukan manusia yang diperoleh karena berhadapan
dengan Tuhan atau karena bersangkut paut dengan Tuhan. Manusia mencerminkan atau
memantulkan cahaya kemulian Tuhan Allah. Citra Allah dimiliki manusia ketika manusia berada
di Eden atau Firdaus. Manusia yang diciptakan sesuai dengan citra Allah inilah yang ditugasi
untuk menguasai atau memerintah dunia dan segala makhluk. Menguasai dan memerintah dalam
hal ini berarti memelihara, mengusahakan dan membangun (Kej. 1:28, 2:15).
Perbuatan dan tindakan manusia langsung berhubungan dengan etika. Sedangkan etika
sendiri memberi kepada kita pokok-pokok pertimbangan sebagai pengambilan keputusan etis
untuk apa yang perlu dan harus kita lakukan. Ciri khas Etika Kristen adalah dimensi Kristen.
Dimensi Kristen inilah yang membedakan antara Etika Kristen dan Etika Sosial atau etika pada
umumnya atau etika yang lain. Itulah sebabnya asas atau titik pangkal Etika Kristen adalah iman
kepada Tuhan yang telah menyatakan diri dalam Tuhan Yesus. Didalam diri-Nya kita dapat
mengenal Allah Bapa, Pencipta segala sesuatu. Tuhan adalah pemberi tujuan hidup. Kegiatan
Tuhan untuk memelihara setiap makhluk adalah Allah Pendamai, Allah Penebus, dan Allah
Pembebas melalui karya Sang Anak dan Roh Kudus.
Perbuatan etis kita adalah perbuatan baik sebagai terjemahan atau ekspresi dari iman kita
karena kita telah dibenarkan oleh iman kepada Kristus oleh Tuhan (Rm. 3:22; Gal. 2:16). Hal itu
juga karena kita telah diselamatkan oleh Tuhan Yesus Kristus Sang Juruselamat itu. Iman
berkaitan erat dengan perbuatan. Oleh sebab itu, apabila iman tanpa perbuatan, iman itu menjadi
mati atau kosong (Yak. 2:17, 22).

2. Pengakuan tentang Manusia


Asas atau titik pangkal Etika Kristen adalah iman, karya Tuhan dan Pemeliharaan-Nya
terhadap semua makhluk. Dari sini Etika Kristen memperhatikan tindakan manusia karena pada
56
hakikatnya “...sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah
kemuliaan sampai selama-lamanya” (Rm. 11:36). Tinjauan secara dogmatis, Etika Kristen juga
berasas atau bertitik pangkal pada pengakuan tentang manusia. Manusia memang berhadapan
langsung dengan masalah-masalah atau kasus-kasus yang konkret yang ada dalam pergumulan
hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, etika mempunyai misi khusus dalam kehidupan manusia. Itu
sebabnya pula, mengapa kasus-kasus yang konkret tersebut menjadi bagian yang utama dari
setiap pembicaraan etis.

3. Manusia dengan tingkah lakunya


Etika memang menyoroti kehidupan manusia dengan tingkah lakunya. Manusia menilai
manusia lain. Hal itu dapat dilihat dari tindakan dari tingkah lakunya. Etika Kristen harus dilihat
dan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan. Hal ini penting, sebab tindakan
dinilai benar adalah tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Sedangkan mencari
kehendak Tuhan sama seperti mencari Tuhan itu sendiri. Sebaliknya, tindakan yang tidak sesuai
dengan kehendak-Nya adalah tidak benar atau jahat. Tindakan itu tidak sesuai dengan Etika
Kristen. Nilai tersebut harus dilihat dari ekspresi seseorang yang mencerminkan kehendak-Nya.
Tindakan yang disengaja dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah tindakan etis.
Namun, ada tindakan lain dalam situasi yang sangat khusus yang sering kita hadapi dalam situasi
faktual. Berkaitan dengan hal itu, dalam Etika Jawa dikenal dengan dora sembala (berbohong
tetapi dianggap baik). Etika dora sembala sebenarnya dapat dikatakan sebagai; kejahatan kecil
yang menyelamatkan. Misal, pada zaman penjajahan Belanda, seorang gerilyawan Indonesia
yang beragama Kristen ditangkap dan dipaksa untuk mengatakan atau mengaku dimana teman-
temannya berada dan berapa jumlah kekuatan senjatanya. Apabila ia menjawab jujur dan benar,
akibatnya sangat fatal. Oleh sebab itu ia berbohong demi keselamatan teman-temannya dan
perjuangannya. Dalam situasi yang sangat sulit itu, berlakulah firman Tuhan yaitu Hukum Taura
ke-9 yang berbunyi : “jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Kel. 20:16).
Bagaimanakah peristiwa yang faktual tersebut dilihat dari segi Etika Kristen?
Untuk itu kita akan terlebih dahulu melihat kesaksian Alkitab tentang kejahatan manusia
sebagai pengecualian etis, yaitu:
 Dalam dialog antara orang Farisi dengan Tuhan Yesus, Dia mengatakan bahwa Musa
mengizinkan perceraian karena “ketegaran hatimu” (Mat. 19:8). Musa tahu bahwa hal itu
jahat tetapi apa boleh buat. Tuhan Yesus mengatakan, “Barang siapa yang menceraikan
isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (Mat.
19:9). Memang perceraian ditolak oleh-Nya, kecuali ...Jadi, hal ini termasuk kasus khusus
dengan kesimpulan apa boleh buat.
 Dalam 1 Korintus 7:1 Rasul Paulus menulis, “... Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak
kawin ...”. Namun Paulus melanjutkan, “... tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah tiap
laki-laki mempunyai isterinya sendiri ...” (1 Kor. 7:2)...hal ini kukatakan kepadamu sebagai
kelonggaran ...” (1 Kor. 7:6). Jadi hal ini pun termasuk pengecualian atau tidak baik tetapi
apa boleh buat.
Dari uraian asas-asas di atas, Etika Kristen merupakan prinsip-prinsip yang didasari dari
iman Kristen yang menjadi dasar tindakan kita. Prinsip-prinsip Alkitab memberi kita standard
yang harus kita ikuti dalam situasi-situasi di mana tidak ada petunjuk yang tersurat. Dengan
menggunakan prinsip-prinsip yang kita temukan dalam Kitab Suci orang-orang Kristen dapat
menentukan jalan yang harus ditempuh dalam situasi apapun dengan penuh tanggung jawab
tentunya.

F. Implementasi Etika Kristen dalam Tanggung Jawab Pribadi


Ciri etika Perjanjian Lama sangat sesuai dengan apa yang ditekankan dalam etika
57
Perjanjian Baru. Banyak perintah etis dalam Perjanjian Baru disampaikan dalam konteks
persekutuan dalam Kristus, yaitu jemaat yang hidup, belajar, dan beribadat bersama-sama serta
melayani Kristus dalam dunia.[16] Sebagai contoh, pasal-pasal utama tentang etika dalam Efesus
4-6 dimulai dengan panggilan untuk “hidup berpadanan dengan panggilan”. Itu berarti panggilan
untuk menjadi anggota masyarakat Allah yang baru, mujizat pendamaian sosial kerohanian yang
telah diadakan-Nya melalui Kristus. Norma-norma moral Pribadi dalam pasal-pasal itu
dikemukakan atas dasar keanggotaan orang percaya sebagai umat tebusan Allah, yang diuraikan
secara terinci dalam pasal-pasal sebelumnya.
Dengan demikan salah satu cara yang mungkin untuk merakit sejumlah tuntutan moral
yang Allah embankan atas individu adalah membaca pasal-pasal yang terdahulu mengenai
masyarakat Israel dan menghasilkan suatu daftar yang mengandung implikasi-implikasi moral
yang logis bagi individu. Misalnya, kalau Allah menginginkan masyarakat yang memberlakukan
prinsip kesetaraan dan belas kasihan dalam bidang ekonomi, maka tiap-tiap orang dituntut untuk
tidak menguntungkan diri sendiri dari kelemahan sesamanya. Kalau Allah menginginkan
masyarakat hidup dengan adil dan diatur oleh hukum-hukum, maka hakim-hakim secara
perorangan harus adil, tidak memihak ataupun menyeleweng.
Dengan demikian orang dapat hidup sesuai dengan ciri-ciri sosial secara keseluruhan dan
menarik hal-hal yang perlu bagi pribadi. Yang ditekankan ialah soal perspektif, yaitu: sifat
persekutuan yang Allah Kehendaki dan menentukan sifat pribadi yang berkenan kepada-Nya.
Dalam etika Perjanjian Lama unsur-unsur sosial dan pribadi tidak dapat dipisahkan.
Kewajiban masing-masing pemain sepak bola dalam suatu kesebelasan tidak berkurang
karena latihannya bertujuan agar para pemain dalam kesebelasan itu secara bersama-sama dapat
memenuhi harapan-harapan pelatih mereka dan memenangkan pertandingan. Demikian juga,
walaupun Perjanjian Lama menekankan kewajiban bersama dari tuntutan moral Allah, namun
kewajiban pribadi untuk untuk hidup secara benar di hadapan Allah tidak pernah dilupakan atau
dihilangkan.
Ada pertanggung jawaban pribadi yang tersirat dalam pertanyaan yang Allah tujukan
kepada Adam, “Di manakah engkau” (Kej. 3:9), yang mencakup setiap orang yang diwakilinya.
Demikian juga tanggung jawab orang untuk sesamanya secara tersirat terdapat dalam pertanyaan
Allah kepada Kain, “Di manakah adikmu?” (Kej. 4:9). Pertanggungjawaban kepada Allah untuk
diri sendiri dan untuk orang lain adalah hakikat kemanusiaan kita.
Riwayat bangsa tebusan Allah dimulai dengan iman dan ketaatan seseorang, yaitu
Abraham. Cerita-cerita tentang para bapak leluhur adalah contoh-contoh tentang kekuasaan,
pemeliharaan dan kesabaran Allah itu di dalam kehidupan individu-individu, khususnya
Yakub/Israel, yang menjadi jelas dan penting dalam sejarah bangsa Allah. Di Sinai perjanjian
Allah dan Abraham demi keturunannya diperbarui dan diperluas hingga generasi yang menjadi
umat tebusan Allah kemudian diterapkan kepada tiap-tiap individu.Hubungan perjanjian itu pada
hakikatnya bersifat kebersamaan: “Aku akan menjadi Allahmu dam kamu akan menjadi
UmatKu”. “Janganlah engkau mempunyai allah-allah lain di hadapanKu”.Hal ini juga berlaku
untuk seluruh DasaTitah dan sejumlah hukum yang terinci dan penting dalam kelima
KitabTaurat.Kumpulan hukum yang paling tua “Kitab Perjanjian.(Kel.21-22), secara hukum
berlaku berdasarkan tanggungjawab dan kewajiban individu dalam hukum.

Referensi:
Christopher J. H. Wright, (2012). Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta:
BPK Gunung Mulia,
J. Verkuly, (1991). Etika Kristen Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
J.L.Ch. Abineno (1996), Sekitar Etika Dan Soal-Soal Etis, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Norman L. Geisler. Etika Kristen Pilihan dan Isu, Bandung: SAAT.
R. M. Drie S. Brotosudarmo, (2000), Etika Kristen Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: ANDI.
58
Robert P. Borrong, (2006). Etika Politik Kristen. Jakarta: UPI & PSE Sekolah Tinggi Teologi.

Modul. IX
IPTEK DAN SENI

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 9
Standar Kompetensi Memberi landasan iman bagi pengembangan IPTEK dan Seni demi
kesejahteraan umat manusia serta keutuhan ciptaan Tuhan dan kelestarian
59
lingkungan hidup
Kompetensi Dasar 1. Menjabarkan hubungan iman dan ilmu pengetahuan.
2. Mengidentifikasikan hakikat IPTEK dan Seni.
3. Menghubungkan makna iman, iptek dan seni.
4. Meresume tinjauan teknologi Alkitabiah terhadap alam ciptaan dan
pengusahaan atas alam semesta oleh manusia.

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan landasan iman bagi pengembangan IPTEK dan Seni demi
keutuhan ciptaan Tuhan
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali serta mempersentasikan penemuan IPTEK yang
bertujuan menjaga keutuhan serta menjaga ciptaan Tuhan
Penutup (20 menit) Menyimpulkan materi bahasan

A. Pendahuluan
Perkembangan teknologi berlangsung secara evolutif. Sejak zaman Romawi Kuno
pemikiran dan hasil kebudayaan telah nampak berorientasi menuju bidang teknologi. Secara
etimologis, akar kata teknologi adalah "techne" yang berarti serangkaian prinsip atau metode
rasional yang berkaitan dengan pembuatan suatu objek, atau kecakapan tertentu, atau
pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau metode dan seni. Istilah teknologi sendiri untuk
pertama kali dipakai oleh Philips pada tahun 1706 dalam sebuah buku berjudul Teknologi:
Diskripsi Tentang Seni-Seni, Khususnya Mesin (Technology: A Description Of The Arts,
Especially The Mechanical).
Dalam memasuki Era Industrialisasi, pencapaiannya sangat ditentukan oleh penguasaan
teknologi karena teknologi adalah mesin penggerak pertumbuhan melalui industri. Oleh sebab
itu, tepat momentumnya jika kita merenungkan masalah teknologi, menginventarisasi yang kita
miliki, memperkirakan apa yang ingin kita capai dan bagaimana caranya memperoleh teknologi
yang kita perlukan itu, serta mengamati betapa besar dampaknya terhadap transformasi budaya
kita. Sebagian dari kita beranggapan teknologi adalah barang atau sesuatu yang baru. Padahal,
kalau kita membaca sejarah, teknologi itu telah berumur sangat panjang dan merupakan suatu
gejala kontemporer. Setiap zaman memiliki teknologinya sendiri.

B. Hakikat IPTEKS (Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni)


 Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) merupakan suatu ilmu yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Sebab ketiga unsur ilmu ini sudah dimiliki setiap individu pada saat
lahir. Setiap gerak dan langkah manusia tidak dapat tidak harus menggunakan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni. Namun secara etika harus pula dijelaskan bahwa segala unsur-unsur ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni adalah merupakan segala sesuatu yang dikaruniakan Allah
kepada manusia. Oleh karena ilmu pengetahuan, teknologi dan seni merupakan berkat Tuhan
yang diberikan kepada manusia maka setiap individu berhak untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya sesuai dengan kemampuan dan talenta setiap
individu. Dengan pemahaman ini, setiap individu yang menggunakan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan seni harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Sebab
seluruh bentuk penggunaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni tidak
terlepas dari aneka dampak yang negatif ataupun positif.
            IPTEKS saling membutuhkan dengan etika dan moral. Tanpa penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang maju di zaman modern saat ini maka manusia akan kehilangan
banyak kesempatan, dan sebaliknya jika tidak penggunaan tidak terkontrol maka akan menjadi
budak bagi perkembangan tekonologi tersebut. Tetapi bila individu atau kelompok
60
memanfaatkan IPTEKS sebagai sarana Allah untuk memberdayakan manusia menguasai dan
mengelola dunia ini dengan berpedoman pada norma-norma Allah maka akan tercipta kehidupan
umat manusia yang damai, aman dan sejahtera di dunia ini. Sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa setiap individu tidak diperkenankan menolak apalagi mengutuk IPTEKS,
tetapi menyikapi IPTEKS dibutuhkan kesadaran norma moral yang memadai dari setiap individu
atau kelompok.

C. IPTEK dalam Alkitab


Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa teknologi bukanlah sesuatu yang baru, dan setiap
zamannya memilki teknologinya sendiri. Perubahan cepat yang dirasakan pada kehidupan
manusia disebabkan oleh modernisasi. Perubahan yang baru dikenal oleh manusia dapat
menimbulkan keputusasaan pada sebagian orang. Pada uraian dibawah ini, kita akan melihat
IPTEK yang terdapat dalam Alkitab :
 Pertama, dalam sejarah air bah dengan jelas bahwa Allah memerintahkan Nuh membuat 
kapal untuk  menyelamatkan ia dan keluarganya dari kebinasaan akibat air bah dan
kebobrokan moral dunia pada waktu itu. Dimensi ruang dalam kapal ataupun bahan telah
ditentukan oleh Allah (Kej 6:14-15).
 Kedua, ketika Musa diperintahkan untuk membuat Kemah Suci (Kel 25:9), Allah sendiri
telah menjadi arsitek yang merencanakan ruang-ruang, dimensi dan bahan untuk kemah suci
tersebut (Kel 25:1-27:21).  Kemudian kita membaca bahwa kemuliaan Allah memenuhi
Kemah Suci tersebut (Kel 40:35).
 Ketiga, tentang Bait Suci dan istana yang dibangun oleh Salomo (1 Raj 7-8). 
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa Allah tidak pernah menghalangi ataupun
menutup segala perkembangan IPTEK.  Kita pun melihat dalam contoh-contoh ini bahwa setiap
teknologi selalu di kaitkan dengan keselamatan dan maksud Allah terhadap manusia dan dunia.
Akan tetapi di sisi lain, kita akan melihat bahwa Allah juga menentang setiap penciptan
teknologi yang bermotivasikan kebesaran diri, kelompok, ataupun bangsa.  Beberapa contoh dan
alasan Allah menentang perkembangan IPTEK,:
 Pertamat, ketika Allah memporak-porandakan Babel (Kej 11:1-9), yang ditentang bukanlah
pendirian kota dan menara Babelnya tapi motivasi mereka yang mencari nama dan ingin
menyamai Allah (Kej 11:4).
 Kedua, kemewahan, gemerlap teknologi di zaman Salomo dapat menyebabkan dia banyak
mengoleksi wanita asing sehingga dia kemudian jatuh kepada penyembahan berhala (I Raj
11:1-13).
 Ketiga, Ketika murid-murid menunjuk pada bangunan Bait Suci, Yesus mengatakan bahwa
bangunan tersebut akan diruntuhkan (Mat 24:1-2).
 Keempat, Tuhan Yesus juga menentang penyalahgunaan fungsi Bait Suci yang dibangun
selama empat puluh enam tahun menjadi arena komersil (Yoh 2:16).
Dari tinjauan Alkitab ini bisa disimpulkan bahwa IPTEK telah dimulai sejak awal sejarah
manusia.  Manusia memiliki daya cipta IPTEK karena dia diciptakan sebagai gambar Allah dan
sebagai pribadi yang berakal budi.  Allah sendiri adalah pencipta alam semesta, pendorong dan
pencetus ide terhadap lahirnya IPTEK. Kita harus ingat bahwa Yesus sendiri adalah tukang kayu
(Mrk 5:3). Ia adalah seorang yang mengerti pondasi dan mekanika tanah (Mat 7:24-27).  Allah
tidak pernah membatasi daya cipta dan kreasi manusia akan IPTEK. Namun perlu juga dicatat
bahwa ide dan tujuan penciptaan IPTEK dan produknya oleh manusia akan dipengaruhi oleh
pandangan-pandangannya terhadap Allah, manusia dan alam semesta.

D. Iman Kristen dan lPTEK


Tujuan kita mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja untuk menguasainya,
61
namun agar penguasaan kita dapat mengembang untuk perkembangan manusia secara pribadi
dan juga pengembangan dan kemajuan masyarakat secara bersama-sama. Jika ilmu pengetahuan
dan teknologi dijadikan salah satu substansi kajian maka ada asumsi, bahwa agama memberi
sumbangan yang berarti dalam rangka memotivasi manusia mempelajari dan
mengembangkannnya demi kemaslahatan atau kegunaan bagi manusia dan masyarakat.
Tantangan terbesar dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bahwa agama bisa
menjadi kurang atau tidak relevan dalam memecahkan permasalahan hidup manusia dan
masyarakatnya. Dapat kita sadari bahwa kemajuan IPTEK dapat dibuktikan secara empiris,
dapat saja merosotkan iman seseorang sehingga tak percaya lagi pada kebenaran agama
bilamana temuan ilmu pengetahuan ternyata berbeda dengan deskripsi kitab suci keagamaan
seseorang. Dapat disingkat bahwa kemajuan IPTEK dapat menjadi ancaman bagi kehidupan
beragama manusia.
Tantangan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi belum begitu terasa di
Indonesia, karena ideologi pancasila yang mengasumsikan semua orang percaya kepada Tuhan,
maka secara publik jarang ada orang mempertanyakan eksistensi Tuhan dan kebenaran dari apa
yang dianggap penyataan ilahi dalam Kitab-kitab suci keagamaan. Undang-undang sistem
pendidikan nasional juga secara tegas merumuskan tujuan pendidikan nasional pertama-tama
untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan, meskipun juga turut memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
1. Dominasi Iman/Agama terhadap Ilmu Pengetahuan/Sains
Teknologi yang menjadi acuan kehidupan iman orang Kristen, dianggap sebagai ratu
ilmu pengetahuan, telah ditempatkannya sebagai ukuran kebenaran untuk segala hal, bukan
hanya untuk soal iman dan etika. Ketika Galileo mengemukakan temuan ilmu
pengetahuannya bahwa bukan matahari yang beredar dari timur ke barat, melainkan
bumilah yang beredar mengelilingi matahari, maka gereja sebagai pemegang otoritas
kebenaran ajaran teknologi menjatuhkan hukuman yang mengerikan atasnya. Secara awam
sudah tentu deskripsi bahwa matahari yang beredar adalah hal yang wajar tetapi tentu
maksud Alkitab bukanlah untuk memberi deskripsi tentang gejala-gejala alam dan menjadi
buku teks ilmu pengetahuan alam.
Umumnya, pada masa kini tak ada yang beranggapan bahwa mataharilah yang
beredar dan bukan bumi, walaupun tak berarti menolak otoritas Alkitab, karena Alkitab
bukan buku teks ilmu pengetahuan.

2. Dominasi Ilmu Pengetahuan terhadap Agama


Sejak zaman pencerahan, maka dominasi iman atas ilmu mulai dipertanyakan,
malahan berkembang menjadi dominasi ilmu atas iman. Tantangan utama atas agama atau
iman dalam abad ilmu pengetahuan adalah keberhasilan metode ilmu pengetahuan. Banyak
orang menganggap sains (ilmu pengetahuan) bersifat obyektif, universal, rasional, dan
didasarkan pada bukti observasi/pengamatan yang kuat. Sedangkan agama pada sisi lain,
bersifat sangat subyektif, parokial (sempit skopnya), emosional, dan didasarkan pada tradisi
atau sumber kewibawaan yang saling bertentangan satu sama lain. Lama kelamaan, orang
yang lebih yakin akan metode ilmu pengetahuan, mulai meragukan keyakinannya dan
bahkan meningalkannya sebagai suatu yang tak berdasar. Rasio manusia menjadi ukuran
segala-galanya bukan hanya dalam bidang sains (ilmu pengetahuan) tetapi juga dalam hal-
hal yang bersifat imaniah dan kepercayaan. Sebagai akibatnya, para teolog ada juga yang
mencoba menyesuaikan pernyataan Alkitab dengan temuan ilmu pengetahuan, dan dengan
demikian iman tunduk kepada ilmu pengetahuan. Inilah dominasi ilmu atas iman. Dari dua
sifat hubungan di atas, maka kita bisa mengatakan bahwa keduanya kurang sehat baik untuk
agama dan iman itu sendiri maupun bagi ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ian Barbour sebagaimana dikutip juga oleh Liek Wilardjo membuat tipologi
62
hubungan iman dan ilmu pengetahuan dalam masa sekarang ini yang dibaginya dalam 4 tipe
hubungan. Menurut Liek keempat pengelompokkan yang dibuat Barbour itu, dapat
disingkat dengan empat (4.P), yakni : Pertentangan (Conflict), Perpisahan (Independence),
Perbincangan (Dialogue), dan Perpaduan (Integration). Wilarjo lebih jauh menjelaskan
makna dari keempat tipologi hubungan iman dan ilmu diatas.
1) Pertentangan (conflict)
Ialah hubungan yang bertingkah atau bertentangan (conflicting), dan dalam kasus yang
ekstrim mungkin bahkan bermusuhan (hostile). Baik materialisme ilmiah dan literalisme
Alkitabiah percaya bahwa ada konflik yang serius antara ilmu pengetahuan masa kini
dengan kepercayaan-kepercayaan agamawi yang klasik. Keduanya mencari pengetahuan
dengan fondasi yang pasti dan jelas seperti berdasarkan pada logika dan inderawi, dan
berdasarkan pada kitab suci yang tak ada salahnya (infallible scripture). Keduanya
mengklaim bahwa baik ilmu pengetahuan membuat pernyataan-pernyataan yang
bertentangan tentang hal yang sama : misalnya sejarah dari alam ini dan karenanya
seseorang harus memilih salah satunya. Penganut materialisme ilmiah mulai dengan
ilmu pengetahuan tetapi kemudian berakhir dengan membuat klaim-klaim filosofis yang
luas. Sebaliknya, penganut literalisme alkitabiah bergerak dari teologi lalu berakhir
dengan membuat klaim-klaim tentang hal-hal yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan.
2) Perpisahan (independence)
Berarti ilmu dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, dan
tujuannya masing-masing tanpa saling mengganggu atau mempedulikannya. Ini
merupakan salah satu cara untuk menghindari konflik atau saling menyalahkan. Masing-
masing mempunyai bidang yang berbeda, dengan metode yang khas yang dapat
dibenarkan atas dasar terminologinya sendiri-sendiri. Pendukung dari pandangan ini
berpendapat bahwa ada dua juridiksi (otoritas) dan tiap pihak tak boleh ikut campur atas
urusan pihak yang lain, melainkan berurusan dengan urusannya sendiri. Perpisahan yang
tajam ini dimotivasi atau didorong bukan saja oleh keinginan untuk menghindari konflik
yang btak perlu, melainkan juga oleh keinginan untuk setia kepada sifat yang berbeda
dari setiap bidang kehidupan.
3) Perbincangan (dialogue-diperbincangkan)
Ialah hubungan yang saling terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak
ingin memahami perbedaan dan persamaan antara keduanya. Ada banyak tokoh baik di
bidang ilmu pengetahuan maupun teologi yang menjadi pendukung dari tipologi. Salah
satu argumen dari tipologi ini menurut Barbour ialah adanya kesejajaran metodologis
dalam kedua disiplin ini: ilmu pengetahuan dan teknologi/iman. Sebelum tahun 1950-
an, ada pembedaan yang tajam antara sifat dan metode ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan dikatakan bersifat obyektif, yang berarti bahwa teori-teorinya
divalidasi dengan kriteria yang jelas, dan diuji oleh persetujuan data yang tak dapat
dibantah dan bebas teori/nilai. Baik kriteria maupun data ilmu pengetahuan diakui tak
tergantung pada subyek individual, dan tak dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh
budaya.
4) Perpaduan (integration)
Ada tiga versi yang berbeda dari integrasi menurut Ian Barbour. Yang pertama, dalam
teologi natural (alamiah), diklaim bahwa eksistensi Allah dapat disimpulkan dari bukti-
bukti rancangan dalam alam. Yang kedua, teologi tentang alam, maka sumber utama
dari teologi terletak di luar ilmu pengetahuan, namun teori-teori ilmiah dapat
mempengaruhi perumusan ulang dari doktrin-doktrin tertentu dalam agama, khususnya
doktrin tentang penciptaan dan hakikat manusia. Yang ketiga, dalam sintesa sistematis,
baik ilmu maupun agama, menyumbang untuk pengembangan dari suatu metafisik yang
63
inklusif, seperti dalam filsafat proses. Liek Wilardjo menyimpulkan bahwa Barbour
berpendapat bahwa “perpaduan” adalah hubungan bertumpu pada keyakinan bahwa
pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama
adalah sama dan menyatu. Secara Alkitabiah dan imaniah, kita pada satu sisi menerima
bahwa ilmu pengetahuan dapat dikembangkan manusia, karena hal ini adalah mandat
kebudayaan di mana untuk melaksankan mandat itu Tuhan melengkapi manusia dengan
kemampuan rasional dan kemampuan yang lain. Tujuan akhir agama adalah
transformasi manusia dan masyarakat dalam rangka menaati kehendak Tuhan.

E. Tanggapan Iman Kristen terhadap perkembangan  IPTEK


1. Perkembangan IPTEK dibawah terang hukum Allah
Allah yang kita kenal didalam Alkitab adalah Allah yang menjadi sumber terang
dan pengetahuan. Roh Allah yang menyelidiki perkara Allah yang dalam menerangi juga
roh manusia dan segala yang dijadikan oleh Allah (1 Kor 2:10). Manusia diciptakan
menurut gambar Allah. Allah tidak menghendaki supaya manusia hidup didalam kegelapan
dan ketidaktahuan. Allah menghendaki supaya manusia kenal kapadaNya dan Allah
menghendaki supaya manusia menyelidiki segala yang dijadikan oleh Allah. Dengan
demikian manusia memperoleh pengetahuan dan pengertian atas jalan dan karya Allah.
Allah yang hidup yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus bukanlah Allah
seperti dewa-dewa itu yang hendak menyembunyikan pengetahuan bagi manusia,
malainkan Dialah Allah yang telah memberikan tugas kepada manusia supaya menyelidiki
segala sesuatu dan berusaha memperoleh pengetahuan. Jadi didalam Alkitab tugas untuk
memperkembangkan IPTEK itu sangat erat hubungannya dengan hal mengenal Tuhan dan
mengasihi Tuhan dan sesama manusia. Siapa yang mau berusaha menyelidiki kata- kata
atau istilah- istilah yang dipergunakan Alkitab untuk pengetahuan, mengetahui, akal- budi
dan sebagainya. IPTEK juga harus memperhatikan keadaan lingkungan, karena perintah
Allah adalah meliputi segala yang diciptakan Allah jadi alam juga harus diperhatikan dan
sebagai syarat supaya kita bisa melakukan atau mengikuti perkembangan IPTEK itu
adalah:
a. Takut kepada Tuhan itulah mula pengetahuan (Amsal 1:7a)
b. Jangan ucapkan saksi dusta (Keluaran 20:16)
c. Rendah hari
d. Kerjasama didalam ilmu pengetahuan
e. Ilmu pengetahuan yang berahkir pada sembah puji

2. Perkembangan IPTEK dibawah Terang Injil dan janji-janji Allah


Hukum Taurat dan Injil tidak dapat dipisahkan. Untuk mengusahakan
perkembangan IPTEK ada syaratnya yang dituntut oleh Allah, tetapi bagi IPTEK itupun
berlakulah Injil dan bersinarlah cahaya terang dari janj- janjinya.
 Perkembangan IPTEK dan berita pengampunan
Kita tidak lepas dari pengampunan dosa dalam mengusahakan perkembangan IPTEK.
Didunia ini kita hanya mengetahui sebagaian saja dari pengetahuan itu (1 Kor 13:9 ).
Maksud Paulus dengan perkataan itu adalah, bahwa Akal orang berimanpun masih
dipengaruhi oleh kegelapan, bahwa kita hanya memperoleh gambaran yang masih
sangat bercela, gambaran yang tidak terang dan kabur daripada kenyataan. Ilmu
pengetahuan kita bukan hanya dapat salah dan tidak lengkap atau tidak sempurna saja,
melainkan juga penuh kesesatan, kesia-siaan, kesombongan, keengganan untuk
memahami. Untuk itu kita harus mendapatkan terlebih dahulu dari Allah supaya apa
yang akan dikerjakan atau apa yang akan dikembangan baik dalam ilmu pengetahuan
maupun teknologi.
64
 Daya Pengkudus dalam IPTEK
Dalam perkembangan IPTEK Tuhan tidah hanya memberi pengampunan dosa, tetapi
Iapun memberi daya pengudusan hidup oleh Roh Kudus. Didalam terang yang dari
Allah itu, untuk itu dalam perkembangan IPTEK boleh melihat sedikit dari terang itu.
Tuhan mau menerangi akal- budi kita. Ia mau memberkati kita, juga pada jalannya 
perkembangan IPTEK  yang benar.
 Janji Allah untuk perkembangan IPTEK
Dalam perkambangan IPTEK manusia hanya ingin mencapai tujuan yang hendak
dicapai. Dalam Alkitab tujuan yang tertinggi daripada ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah pengetahuan yang sempurna sebagai alat kasih yang sempurna kepada Tuhan
dan kepada segala yang diciptakan Tuhan. Alkitab berjanji kepada kirta bahwa
pengharapan kita akan hal itu tidak akan sia- sia.

F. Dampak IPTEK Bagi Pemuda Kristen


Dalam setiap hal, pasti ada sisi positif dan sisi negatifnya. Tak terkecuali dalam
perkembangan perkembangan yang terus berkembang pesat. Ada beberapa dampak posisti dan
dampak negative perkembangan IPTEK bagi Pemuda Kristen, antara lain:
 Dampak Positif
1. Bidang pendidikan
IPTEK dapat menjadi media yang menarik bagi pemuda dalam menciptakan proses
belajar yang menyenangkan. Dengan media smartphone dan koneksi internet, proses
mendapatkan referensi dan ide-ide menarik tentang khotbah lebih mudah dan dapat
dilakukan kapan dan dimana saja.
2. Bidang Seni
Perkembangan IPTEK juga dapat dimanfaatkan oleh pemuda gereja dalam bidang seni,
contohnya pada seni musik penggunaan alat-alat musik seperti gitar, keyboard, dan
sebagainya dapat digunakan untuk menciptakan suasana ibadah yang lebih hidup.
3. Media informasi
Informasi lebih cepat dan efisien dengan kemajuan IPTEK saat ini. Sebagai pemuda
Kristen, kita dapat memanfaatkan kemajuan informasi dalam menjamin berlangsungnya
ibadah. Misalnya, kita dengan mudah saling mengingatkan waktu dan tempat ibadah
yang akan segera berlangsung.
4. Media komunikasi
Perkembangan IPTEK telah mengubah media komunikasi manusia. Saat ini, kita dapat
berkomunikasi dan menjalin komunikasi dengan siapa saja. Dengan demikian, pemuda
Kristen dapat memanfaatkan IPTEK untuk memberitakan Injil bukan hanya di daerah
sekitar tempat tinggal tetapi juga ke seluruh penjuru dunia.
5. Media membangun komunitas
IPTEK dapat digunakan sebagai media memperat hubungan dengan saudara seiman.
Dengan IPTEK kita dapat membangun relasi yang benar dengan saudara dan sahabat
yang jauh terpisah dengan kita maupun membangun komunitas baru dengan tujuan
memuliakan Allah.

 Dampak Negatif
1. Terlalu mengagungkan IPTEK
Pemuda Kristen yang tidak bisa lepas dari IPTEK dapat saja menjadikan IPTEK sebagai
dewa di dalam kehidupannya dan secara tidak langsung menjauhkan diri dari hadapan
TUHAN. Bagi pemuda seperti ini, teknologi adalah segalanya.

2. Pornografi
65
Bagi sebagian remaja, bahkan anak-anak terkadang menyalahgunakan IPTEK untuk
memuaskan nafsu manusiawinya. Keinginan daging menjadi semakin tinggi karena
mudahnya mengakses tontonan yang tidak bermoral ditambah lagi peran dan pengawasan
gereja yang masih belum maksimal untuk membentengi iman setiap pemuda generasi
penerus gereja. Hal ini tentu saja dapat merusak citra diri gereja dihadapan manusia
bahkan dihadapan TUHAN.
3. Jauh dari dunia nyata
Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi selain dapat memperat hubungan dengan orang
yang jauh, juga dapat menjauhkan orang yang dekat. Dengan kata lain, IPTEK juga telah
memberikan dampak sosial yang buruk bagi kehidupan pemuda gereja. Terkadang kita
lebih akrab menjalin hubungan dengan orang yang jauhnya ratusan kilometer
dibandingkan dengan sesama kita yang berada disekitar kita.
4. Memaksakan diri untuk mengikuti trend
Sebagian besar pemuda tidak akan puas dengan apa yang dimilikinya. Hal ini bukanlah
masalah, selama pemuda tersebut menyadari apa yang ada padanya. Namun sebaliknya,
hal ini tentu saja akan menjadi masalah ketika pemuda tersebut terlalu memaksa sehingga
menghalalkan semua cara untuk meraih ambisinya tersebut.

G. SENI
1. Pengertian Seni
Seni merupakan ekspresi keindahan. Dalam bahasa Sansikerta, kata seni disebut cilpa.
Sebagai kata sifat, cilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan
bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan,
yang kemudian berkembang menjadi segala macam kreasi yang artistik. Cilpacastra adalah
buku atau pedoman bagi para cilpin, yaitu tukang, termasuk didalamnya apa yang sekarang
disebut seniman. Memang dahulu belum ada perbedaan antara seniman dan tukang.
Pemahaman seni adalah yang merupakan ekspresi pribadi belum ada dan seni adalah ekspresi
keindahan masyarakat yang bersifat kolektif. Yang demikian ini ternyata tidak hanya terdapat di
India dan Indonesia. Juga terdapat di Barat pada masa lampau.
Beberapa pengertian seni menurut beberapa ahli:
 Ki Hajar Dewantara
Seni merupakan segala perbuatan mansia yang timbul dari perasaannya dan bersifat indah
hingga dapat menggerakan jiwa perasaan manusia.
 Prof. Drs. Suwaji Bastomi
Seni adalah aktifitas batin dengan pengalaman estetik yang dinyatakan dalam brntuk agung
yng mempunyai daya membangkitkan rasa takjub dan haru.
 Drs. Sudarmaji
Seni adalah segala manisvestasi batin dan pengalaman estetis dengan menggunakan media
bidang, garis, warna, tekstur, volume dan gelap terang.
 Enslikopedia Indonesia
Seni adalah penciptaa segala sesuatu hal atau benda yang karena keindahannya orang
senang melihatnya atau mendengarkan

2. Fungsi Seni
a. Kebutuhan Fisik
Sejarah membuktikan bahwa perkembangan seni musik selalu seiring dengan peradaban
mausia. Sejhak dulu, benda-benda diciptakan dengan mempertimbangkan nilai seni.
Misalnya, model baju yang bernilai seni tinggi tentu harganya jauh lebih mahal dibanding
yang kurang berseni.
b. Kebutuhan Emosional
66
Manusia juga mempunya kebutuhan emosional yang harus dipenuhi. Saat sedang sedih,
gembira, dan sebagainya. Lewat seni inilah seseorang dapat mengungkapkan perasaan
dan daya imajinasinya atau menikmati seni tersebut untuk menghibur hatinya. Untuk
itulah orang seringkali melukis, bernyayi, membuat puisi, mendengarkan lagu atau
menonton drama.

Referensi:
D.C Mulder, (1993). Iman dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Soerjanto Poespowardojo, (1993). Pembangunan Nasional dalam Persatuan Budaya. Jakarta:
Gramedia.
W Stanley Hath, (1997). Sains, Iman, dan Teknologi, Yogyakarta: Andi.

67
Modul. X
PERAN GEREJA DALAM MASYARAKAT

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 10
Standar Kompetensi Mampu mengenali peran seorang Kristen dalam pergumulan masyarakat
bangsa Indonesia.
Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan demi
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi pembangunan nasional.
2. Mahasiswa berperan proaktif sebagai warganegara yang bertanggung
jawab di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara sebagai negara demokrasi

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan peran seorang Kristen dalam kehidupan bermasyarakat
ditengah bangsa Indonesia yang demokrasi
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali dan memaparkan perannya sebagai Pemuda Kristen
dalam menciptakan kehidupan damai dan sejahtera dalam masyarakat
Penutup (20 menit) Tanya jawab sebagai evaluasi perannya sebagai generasi bangsa

A. Pendahuluan
Gereja dimulai 50 hari sesudah kebangkitan Yesus (sekitar tahun 30-34 Masehi). Gereja
(“kumpulan yang dipanggil keluar”) secara resmi dimulai. Gereja pada masa itu biasa
disebut sebagai Gereja abad pertama. Pentobat-pentobat pertama kepada kekristenan adalah
orang-orang Yahudi atau penganut-penganut Yudaisme, dan gereja, yaitu persekutuan orang-
orang yang mengaku Yesus sebagai Tuhan itu, berpusat di Yerusalem
Kekristenan pada mulanya dipandang sebagai sekte Yahudi, sama seperti orang-orang
Farisi, Saduki, atau Eseni. Namun, apa yang dikhotbahkan para rasul berbeda secara radikal dari
apa yang diajarkan oleh kelompok-kelompok Yahudi lainnya. Yesus diberitakan sebagai
"Mesias" atau Juruselamat orang Yahudi, yaitu Raja yang Diurapi, yang telah dinubuatkan
kedatangannya untuk menggenapi Hukum Taurat dan mendirikan Perjanjian Baru yang
berdasarkan pada kematianNya. Berita ini, dan tuduhan bahwa mereka telah membunuh Mesias
mereka sendiri, membuat banyak pemuka Yahudi menjadi marah, dan beberapa orang, seperti
Saulus, yang kemudian dikenal sebagai Paulus, dari Tarsus, mengambil tindakan untuk
memusnahkan “Jalan” itu sebelum ia sendiri akhirnya menjadi pengikut Kristus yang sangat
gigih dalam menyebarkan Injil Yesus.
Periode gereja mula-mula dimulai sejak dimulainya pelayanan rasul Petrus, Paulus dan
lain-lainnya dalam memberitakan kisah Yesus hingga bertobatnya Kaisar Konstantinus I,
kurang lebih tahun 33 hingga 325. Dan pada periode ini juga, gereja dan orang-orang Kristen
mengalami penganiayaan, terutama penganiayaan fisik, namun bapak-bapak gereja mulai
menulis tulisan-tulisan Kristen yang pertama dan ajaran-ajaran yang menyeleweng yang
bermunculan diatasi.
Tidak lama setelah Pentakosta, pintu gereja terbuka kepada orang-orang bukan Yahudi.
Penginjil Filipus berkhotbah kepada orang-orang Samaria, dan banyak dari mereka yang percaya
kepada Kristus. Rasul Petrus berkhotbah kepada rumah tangga Kornelius yang bukanlah
orangYahudi dan mereka juga menerima Roh Kudus. Rasul Paulus (mantan penganiaya gereja)
memberitakan Injil di seluruh dunia Greko-Romawi, sampai ke Roma sendiri dan bahkan
mungkin sampai ke Spanyol.
68
B. Tantangan Gereja Mula-Mula
Gereja/jemaat yang baru berdiri mengalami pertumbuhan yang luarbiasa tetapi dalam
pertumbuhan mereka terdapat juga berbagai tantangan dan kesulitan yang menghalangi
pertumbuhan mereka. Walaupun dalam kesulitan mereka, gereja Tuhan terus berkembang dan
hal itu tidak terlepas dari pemeliharaan Tuhan yang selalu menyertai mereka. Beberapa
tantangan gereja pada jemaat mula-mula, yaitu :
1. Perintah menyembah kepada Kaisar
Kaisar Agustus memiliki kekuasaan yang sangat besar. Salah satu peraturan yang
muncul pada masa pemerintahannya adalah menyembah kepada Kaisar sebagai dewa,
walaupun rakyat masih diperbolehkan menyembah dewa kepercayaan mereka sendiri.
Namun demikian terdapat pengecualian bagi orang Yahudi yang mempunyai agama
Yudaisme yang menjunjung tinggi monotheisme, mereka tidak diharuskan menyembah
kepada Kaisar. Hal ini karena Kaisar khawatir jika para orang Yahudi malah akan
memberontak.
Awalnya agama Kristen dianggap sebagai salah satu sekte dari agama Yudaisme,
sehingga mereka tidak diwajibkan menyembah kepada Kaisar. Tetapi setelah orang Yahudi
secara terbuka memusuhi orang Kristen, agama Kristen dianggap sebagai agama baru.
Oleh karena itu, mereka dikenai kewajiban menyembah Kaisar sebagai dewa. Bagi mereka
yang tidak patuh pada perintah ini, mendapat hukuman dan penganiayaan yang sangat berat.

2. Ajaran Montanus/Montanisme
Montanisme adalah sebuah gerakan sektarian Kristen perdana pada pertengahan
abad ke-2 Masehi, yang dinamai seturut pendirinya Montanus. Gerakan ini berkembang
umumnya di daerah Frigia dan sekitarnya; di sini sebelumnya pengikutnya disebut
Katafrigia. Namun gerakan ini merebak cepat ke wilayah-wilayah lain di Kekaisaran
Romawi, dan pada suatu masa sebelum agama Kristen ditolerir atau dianggap legal.
Meskipun Gereja Kristenarus utama menang atas Montanisme dalam beberapa generasi,
danmencapnya sebagai sebuah ajaran sesat, sekte ini bertahan dibeberapa tempat terisolir
hingga abad ke-8. Sebagian orang membuat paralel antara Montanisme dan
Pentakostalisme (yang disebut sebagian orang Neo-Montanisme). Montanis yang paling
terkenal jelas adalah Tertulianus, yang merupakan penulis gereja Latin paling terkemuka
sebelum ia beralih ke Montanisme. Penganut paham Montanisme disebut dengan Montanis

3. Ajaran Marsion/Marsionisme
Marsionisme adalah ajaran yang dianggap sesat oleh Gereja-gereja resmi di Abad
kedua, didirikan oleh seseorang yang bernama Marsion atau Marcion. Ajarannya yang
paling ditentang oleh banyak tokoh pada waktu itu adalah mengenai pemisahan Allah
Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru. Allah Perjanjian Lama, menurutnya Allah yang
adil, kurang sempurna, kejam dan tidak berpengasihan, gemar menghukum dengan Hukum
Taurat yang diturunkan kepada Musa. Ajarannya lebih mirip pada Teologi Kristen tentang
Gnostisisme.
Baginya, hukum-hukum yang terdapat dalam Perjanjian Lama terlalu berat untuk
dilaksanakan manusia. Dialah Allah yang berkata, "Kasihilah sesamamu manusia dan
bencilah musuhmu; gigi ganti gigi, mata ganti mata, darah ganti darah.". Sedangkan Allah
Perjanjian Baru adalah Allah yang baik, maha murah, penyayang yang tampak dalam diri
Yesus. Allah Perjanjian Baru ini diperkenalkan oleh Yesus Kristus, yang mengutus-Nya
untuk menyelamatkan manusia dan menebus dosa-dosanya dengan membawa Injil tentang
cinta kasih kepada manusia.

69
4. Ajaran Gnostik / Gnostisisme
Gnostisisme (bahasa Yunani: γνῶσις gnōsis, pengetahuan) merujuk pada bermacam-
macam gerakan keagamaan yang beraliran sinkretisme pada zaman dahulu kala. Gerakan ini
mencampurkan berbagai ajaran agama, yang biasanya pada intinya mengajarkan bahwa
manusia pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap di dalam alam semesta yang
diciptakan oleh tuhan yang tidak sempurna. Secara umum dapat dikatakan Gnostisisme
adalah agama dualistik, yang dipengaruhi dan memengaruhi filosofi Yunani, Yudaisme, dan
Kekristenan.
Istilah gnōsis merujuk pada suatu pengetahuan esoteris yang telah dipaparkan. Dari
sana manusia melalui unsur-unsur rohaninya diingatkan kembali akan asal-muasal mereka
dari Tuhan yang superior. Yesus Kristus dipandang oleh sebagian sekte Gnostis sebagai
perwujudan dari makhluk ilahi yang menjadi manusia untuk membawa gnōsis ke bumi.
Pada mulanya Gnostisisme dianggap sebagai cabang aliran sesat dari Kekristenan,
namun sekte Gnostis telah ada sejak sebelum kelahiran Yesus. Keberadaan kaum Gnostik
sejak Abad Pertengahan semakin berkurang dikarenakan akibat dari Perang Salib
Albigensian (1209–1229). Gagasan Gnostis kembali muncul seiring dengan bertumbuhnya
gerakan mistis esoteris pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20 di Eropa dan Amerika Utara.

5. Penganiayaan Terhadap Orang Kristen.


Salah satu bukti kesetiaan orang Kristen kepada Kristus ditunjukkan dengan secara
setia menjalankan pengajaran Alkitab dan menolak melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan ajaran Alkitab. Karena sebab itulah orang-orang Kristen sering harus membayar
harga yang mahal demi kepercayaan mereka kepada Kristus, antara lain adalah dengan
penganiayaan.
Beberapa penyebab penganiayaan:
a) Karena orang Kristen menolak untuk menyembah Kaisar
Karena orang Kristen dituduh melakukan hal-hal yang menentang kemanusiaan, mis.
menolak menjadi tentara,mengajarkan tentang kehancuran dunia, membiarkan
perpecahan keluarga, dll.
b) Karena orang Kristen dituduh mempraktekkan immoralitas dan kanibalisme, misalnya
melakukan cium kudus, bermabuk-mabukan, dosa inses, makan darah dan daging
manusia.
c) Tidak sedikit orang Kristen yang rela mati untuk mempertahankan iman mereka kepada
Tuhan Yesus. Seperti contohnya Stefanus yang harus mati martir dengan dirajam batu
karena memberitakan Injil yang dituduh sebagai ajaran sesat.Tetapi setelah kematian
Stefanus,orang-orang kristen menjadi menyebar ke Yudea dan Samaria. (Kis 8 : 1).

C. Tantangan Gereja Masa Kini


Gereja masa kini memang lebih modern daripada gereja mula-mula, dimana banyak
sekali hal yang diperbarui sesuai perkembangan zaman. Gereja masa kini terlihat memiliki
bangunan yang lebih megah dan indah dari pada gereja mula-mula, pujian dan lagu yang lebih
semangat dan mudah dinyanyikan,music iringan yang lebih modern dan komplit. Dilihat dari
semua hal itu gereja sekarang ini memang memiliki kemajuan yang luar biasa.
Namun melihat kondisi warga gereja masa kini mungkin mengalami kemunduran dari
gereja mula-mula. Beberapa warga gereja masa kini menganggap datang ke gereja hanya sebuah
rutinitas saja. Ke gereja yang seharusnya dilakukan sebagai kesempatan memuji dan
memuliakan Tuhan malah dilalaikan. Lalu bagaimana sebenarnya anggapan warga gereja
terhadap Gereja? Mungkin ilustrasi dibawah ini lebih menjelaskannya :
 Pertama, banyak warga gereja memandang Gereja sebagai supermarket. Mereka memiliki
daftar kebutuhan hidup dan rohani yang mereka harapkan dapat mereka peroleh dari Gereja.
70
Mereka mengharapkan bahwa Gereja dapat memberikan layanan yang memuaskan:
khotbah-khotbah yang cocok dengan kebutuhan, penataan ibadah yang menarik, suasana
yang enak, dsb. Jika unsur-unsur ini tidak terpenuhi masuk akal lah bila mereka
mengunjungi "super-market" lain yang lebih mampu menyediakan layanan yang
memuaskan.
 Kedua, ada pula warga gereja yang menganggap Gereja sebagai gedung pertunjukan,
tempat mereka menonton berbagai pertunjukan seperti vocal group atau paduan suara,
sakramen, kemampuan bicara pengkhotbah dsb. Tidak heran bahwa daftar kebaktian
Mingguyang dimuat di sementara surat kabar, diperlakukan mirip dengan daftar
pertunjukan bioskop.
 Ketiga, ada pula yang memperlakukan Gereja sebagai klub social tempat para anggotanya
memperluas pergaulan, mencari celah-celah kesempatan untuk memperluas jaring-jaring
bisnis. Sementara itu, tidak kurang pula para pemimpin gereja yang menata kehidupan
gereja seperti seorang direktur menata suatu perusahaan. Decision-making di setir lebih
banyak oleh pertimbangan budgeting, program-oriented, efisiensi, dsb.
 Keempat, sebagian warga gereja menganggap Gereja seperti rumah sakit. Mereka pergi ke
gereja untuk mendapatkan perhatian, dikunjungi, dirawat, didoakan, ditelateni, dsb. Maka
gereja yang memiliki pendeta dan pemimpin yang mampu bertindak seperti perawat dan
dokter rohani akan lebih disenangi warga gereja tipe ini.

Mungkin Anda merasa ilustrasi tentang kehidupan Gereja tadi terlalusinis dan pesimis.
Tetapi kalau Anda amati dengan tajam,ternyata memang begitulah sebagian besar penghayatan
warga gereja kita masa kini. Dari semua gambaran tadi,tak ada satu pun yang melihat Gereja
sebagai "aku" atau "kita". Semua melihat Gereja, entah sebagai tempat (tempat mendengarkan
firman, tempat beribadah, tempat beribadah, tempat dilayani) atau sebagai pihak yang melalui
siapa "kami" (para warga gereja) mendapatkan faedah rohani. Dengan kata lain, ada kekeliruan
konsep tentang arti Gereja dan ada kesenjangan yang lebar antara awam dan pejabat Gereja.
Kalau tadi kita melihat kehidupan gereja dari sudut penghayatan para-warga gereja, mari kita
tinjau keadaan gereja di Indonesia dari sudut penataan kehidupan gereja.
 Pertama, kita melihat kecenderungan sifat tradisionalisme yang sangat kuat terutama di
kalangan gereja-gereja yang mapan. Yang saya maksudkan tradisionalisme di sini ialah
sikap puas akan tradisidan sikap kaku mempertahankan tradisi sampai-sampai
mengorbankan penghayatan segar yang harus ada dalam kehidupan gereja dan tradisi yang
sebetulnya baik dan perlu itu menjadi sesuatuyang mati dan menghambat kehidupan gereja.
Dalam sikap ini kita jumpai keengganan untuk menyesuaikan bentuk-bentuk ibadah, tata
ibadah dan pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan ciri manusia masa kini.
Kita jumpai pula sikap Farisi yaitu mati-matian mempertahankan bentuk-bentuk ibadah
walaupun tanpa isi dan semangat, ibadah yang hidup. Tradisi yang baik memang harus
dipertahankan tetapi di dalamnya harus hadir kuasa kehadiran Allah yang memperbarui dan
menyegarkan itu. Tradisi bagaimanapun baiknya, tetap dipengaruhi oleh bentuk-bentuk
pergumulan budaya disuatu konteks tempat dan kurun waktu tertentu. Karena kita
hidupdalam zaman yang sedang berubah cepat, kekakuan tradisi akan membuat kita menjadi
agama yang tidak relevan dan tidak kontekstual.
 Kedua, kecenderungan mengartikan gereja sebagai institusi. Tidak salah dan tidak dapat
disangkal bahwa ada aspek kelembagaan dalam kehidupan gereja. Namun demikian segi
kelembagaan ini dilihat sebagai unsur sarana dan bukan unsur hakiki. Sedangkan pada
masa kini, sepertinya terdapat penyamarataan antara kegiatan dengan kehidupan gereja,
antara gedung dengan Gereja. Khususnya di kota-kota besar terdapat kecenderungan untuk
mengidentikkan gereja dengan gedung dan bahkan untuk berlomba-lomba membangun
gedung yang megah, mewah dan harga yang wah. Bila demikian gedung gereja justru
71
mengikat kita kepada beberapa kelemahan: immobilitas, karena semakin besar dan megah
semakin menyedot program ke dalam gereja sendiri, bukan ke luar; kekakuan,karena
penataan ruang mengharuskan bentuk komunikasi yang satu arah dan pasif; ketiadaan
persekutuan; kesombongan dan kesenjangan antar kelas ekonomi.
 Ketiga, kecenderungan menata gereja secara birokratis. Dalam bukunya: "Teologia Kaum
Awam", Hendrik Kraemer menelanjangi bentuk keuskupan baru yang menjangkiti gereja-
gereja Reformasi, yaitu adanya dualisme antara kaum cleros atau para pejabat gereja,
pemimpin gereja, atau mereka yang expert dalam bidang teologia dan kepemimpinan
kerohanian dan kaum awam yang menganggap atau dianggap buta teologia, buta Alkitab
dan tidak mampu melayani. Secara fakta gereja-gereja reformasi masa kini sebenarnya
sudah mundur balik ke keadaan kepausan Roma Katolik yang tadinya ditentang para
pendahulu kita, hanya saja sekarang dalam bentuk dan warna lain. Disadari atau tidak,
kenyataan ini adalah salah satu penyebab utama kelumpuhan Gereja masa kini. Sebenarnya
Gereja adalah kita semua, yaitu semua umat tebusan Allah. Jika para warga gereja yang
justru merupakan ujung tombak Kekristenan di tengah dunia ini diperlakukan sebagai awam
yang bodoh dan tak mampu, maka praktis gereja tak mungkin lagi membawa dampak dalam
dunia ini.
 Keempat, adanya kesenjangan yang cukup parah antar generasi dan kelas para warga
gereja. Misalnya, program-program gereja kebanyakan disusun menurut usia dan jenis
kelamin. Kelas-kelas Sekolah Minggu yang terbatas hanya pada usia anak sampai pemuda,
terpisah dari konteks keluarga yang sebenarnya justru lebih diutamakan Alkitab sebagai
iklim paling tepat untuk pendidikan rohani. Juga ada kelompok-kelompok kegiatan yang
memperkuat kesenjangan antar generasi. Misalnya: kegiatan komisi wanita, komisi pemuda,
dlsb. Memang pembagian kegiatan menurut kategori tadi membuat pelayanan mungkin
lebih efektif, namun harus dipikirkan wadah-wadah ibadah dan pelayanan yang aktif
menghayati sifatheterogen dari gereja. Bila tidak, sukar sekali gereja bersangkutan
menghayati hakekat keumatannya
 Kelima, adanya kecenderungan mengutamakan para professional dalam kepemimpinan
gereja dan menjalankan semangat profesionalisme dalam pelayanan gereja. Memang kita
patut mensyukuri potensi yang ada di tengah warga gereja, juga memetik manfaat dari
keahlian mereka. Namun kriteria kepemimpinan Alkitabiah tetap mendahulukan dan
mensyaratkan kwalitas rohani mengatasi kwalitas pengetahuan, pendidikan,keterampilan
atau punkedudukan dalam masyarakat. Bahaya dari kepemimpinan paraprofesional yang
tidak rohani ialah menerapkan semua prinsip yang mereka pandang berhasil dari dunia
mereka ke dunia gerejawi. Padahal sifat gereja sebagai organisme rohani dan bukan
terutama organisasi menuntut adanya pendekatan kepemimpinan, penataan dan
pemrograman yang khas. Sementara itu menjalankan pelayanan semata-mata karena
keahlian akan menghasilkan suatu kegiatan yang mungkin berhasil secara manusiawi tetapi
tidak disertai dan diberkati Tuhan.

Hal-hal diatas bisa dianggap sebagai problem serius dan hambatan bagi perkembangan
Gereja. Oleh karena itu, mulai dari sekarang kita harus mengubah bagaimana pandangan dan
anggapan kita terhadap gereja, jangan menganggap pergi ke gereja hanya sebagai sebuah
rutinitas, tetapi anggaplah sebagai sebuah 'kebutuhan'.

D. Peran Gereja dalam Masyarakat


Sebagai warga negara Indonesia, kita diberi kebebasan untuk menganut agama dan
kepercayaan masing-masing. Tidak ada larangan bagi manusia harus menganut agama ini dan
itu. Kemajemukan suku, bangsa, ras, dan agama membuat Indonesia menjadi negara yang unik.
Setiap perbedaan ini jangan dijadikan sebagai perselisihan, melainkan sebagai suatu alat yang
72
mempersatukan bangsa agar semakin kuat dan saling menghormati. 
Gereja bukan hanya sebagai tempat untuk memuji dan mengagungkan Tuhan, melainkan
juga sebagai tempat untuk membangun persekutuan kasih diantara umat manusia. Gereja juga
harus bisa dijadikan sebagai tempat perlindungan bagi umat manusia. Selain mewartakan iman
dan karya kasih, Gereja juga harus berani tampil di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Ada
dua wujud penampilan yang harus dilakukan oleh Gereja, antara lain:
1. Diakonia (Pelayanan)
Contoh tindakan pelayanan, antara lain:
 Membantu korban bencana alam
 Mengikuti kegiatan amal bagi saudara-saudara kita yang miskin, cacat, terlantar, dan
butuh kasih sayang
 Mencoba hidup bersama orang yang menderita penyakit kusta
Pelayanan Gereja, tidak selalu bersifat wah, walaupun terlihat kecil, namun hal tersebut
sangat berarti bagi mereka yang membutuhkannya. Ketiga contoh di atas harus kamu landasi
dengan menumbuhkan sikap empati, peduli, dan berhati ikhlas untuk menjalankan kegiatan
sosial demi kepentingan seluruh umat manusia. Matius 20:28 “sama seperti Anak Manusia
datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya
menjadi tebusan bagi banyak orang.”

2. Persekutuan (Koinonia)
Persekutuan berarti rela berbagi kepada sesama dalam suatu perkumpulan. Sebagai orang
beriman, kita senantiasa dipanggil untuk ikut dalam sebuah persekutuan untuk mempererat
tali persaudaraan. Di dalam persekutuan inilah kita bisa menampakkan kehadiran Yesus
Kristus. Tali persaudaraan antara kamu dengan umat yang lain bisa terjalin dengan
Pengantaraan Kristus dalam Kuasa Roh Kudus-Nya.
Contoh kegiatan yang mencerminkan persekutuan, antara lain:
 Mengikuti kegiatan Pendalaman Iman (PA)
 Bergabung dalam muda mudi Gereja
 Bergabung pada perkumpulan lingkungan, ibu-ibu, bapak-bapak, dan orang lansia
1 Yohanes 1:3 “Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan
kepada kamu juga, supaya kamu beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami
adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus.”

3. Pewartaan (Kerygma)
Mewartakan berarti membawa kabar gembira bagi seluruh umat manusia. Lukas 22:27
“Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan atau yang melayani? Bukankah dia
yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.” 
Contoh peran Gereja dalam pelayanannya sebagai perwataan dalam masyarakat :
 Misalnya, Katekese calon baptis, penerimaan Sakramen Tobat, Sakramen Krisma,
Sakramen Perkawinan, dan kegiatan pendalam iman.
 Dengan melakukan kegiatan pewartaan, kita sudah dapat dikatakan membantu umat
Allah untuk mendalami kebenaran Firman Allah.
 Dengan demikian, umat Allah bisa hidup kekal, tidak mudah goyah, dan tetap setia
kepada pengajaran Tuhan Yesus.
Matius 10:7 “Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat.”
Sejarah Gereja adalah sebuah persekutuan yang hadir di tengah-tengah kehidupan
bermasyarakat secara universal. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Gereja
memiliki tugas pewartaan dan berperan aktif untuk selalu memberikan nilai-nilai positif bagi
umatnya. Nilai-nilai positifnya sudah pasti masih sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Tuhan Yesus. Disini, Gereja dituntut untuk memperlihatkan siapa dan bagaimana
73
karakteristik Tuhan Yesus itu sendiri.

4. Liturgia (Liturgi)
Dalam hidup menggereja, ibadah adalah sumber dan pusat untuk beroleh iman dalam Yesus
Kristus. Kegiatan Liturgi sering kita lakukan pada Hari Minggu, ketika kita beribadah di
gereja. Sebagai umat Kristiani, kita bisa mendalami iman melalui kegiatan liturgi di gereja.
Doa, simbol, lambang, dan perayaan di gereja merupakan bagian dari liturgi.
Contoh kegiatan liturgi di gereja, antara lain:
 Mengikuti tata ibadat pada Hari Minggu
 Ikut kegiatan paduan suara atau koor di gereja
 Menjadi putra dan putri altar
Dengan adanya persekutuan, kita sebagai umat manusia diharapkan bisa menyatu dengan
umat yang lainnya. Tidak melihat ras, suku, bangsa, dan latar belakangnya. Karena pada
intinya, kita ingin bersatu dengan mereka untuk mewujudnyatakan Kristus Yesus dalam
kehidupan.

5. Marturia (Penginjilan)
Sebelum Tuhan meninggalkan dunia, Ia berpesan kepada murid-murid-Nya untuk menjadi
saksi-Nya dalam memberitakan Injil. Tugas inipun dilakukan oleh para murid. Kita selaku
Anak Allah juga dituntut untuk melakukan hal yang sama, yaitu menjadi Saksi Kristus di
tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dengan menghayati karya keselamatan
Tuhan dalam hidup kita. Cara pelayanan Gereja sebagai peran didalam masyarakat majemuk:
 Beritakanlah injil kepada seluruh bangsa dan jadilah garam dan terang dunia di tengah-
tengah masyarakat. Berbuat baiklah agar kamu disenangi oleh orang-orang di sekitarmu.
 Mazmur 19:7 “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu
teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman.”
 Yesaya 8:20 “Carilah pengajaran dan kesaksian! Siapa yang tidak berbicara sesuai
perkataan itu, maka baginya tidak terbit fajar.”
Selaku Anak Allah, kita selelu dituntut untuk berbuat baik kepada sesama, sama dengan apa
yang dilakukan Gereja, dan yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus kepada kita. Ulangan
7:9 “Sebab itu haruslah kau ketahui, bahwa Tuhan, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang
setia, yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-
Nya dan berpegang pada perintah-Nya, sampai kepada beribu-ribu keturunan.”

6. Perwujudan Iman
Iman adalah hubungan cinta kasih yang terjalin antara manusia dengan Tuhan. Untuk
mengungkapkan iman dan kepercayaan akan Yesus Kristus, kita bisa mewujudkan hal
tersebut dalam bentuk menyelenggarakan kegiatan sosial di Gereja. Disini, Gereja harus bisa
menunjukkan dan mempraktikkan bentuk pelayanan yang dilakukan Yesus selama Ia berada
di dunia. Berikut bentuk perwujudan iman dalam bentuk kesertaannya dalam peran Gereja:
 Tak hanya Gereja saja, kamu sebagai umat Tuhan juga dituntut untuk mewujudkan
imanmu sebagai bukti kalau kamu seorang Kristiani. Perwujudan iman ini bisa berupa
penyerahan total kepada Yesus Sang Juru S’lamat.
 Kamu harus selalu menyerahkan seluruh hidupmu kepada Tuhan, biarlah Ia yang selalu
berkuasa atas dirimu.
 Perwujudan iman juga haruslah disertai dengan hati yang tulus dan penghayatan akan
iman kepada Tuhan. Tanpa kedua hal tersebut, perwujudan iman sama saja kosong.
Perwujudan iman harus dibuktikan dalam tindakan nyata. Karena iman tanpa perbuatan
hasilnya nihil.
Galatia 2:16 “Kamu tahu, bahawa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena
74
melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Yesus Kristus. Sebab
itu, kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena
iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan Hukum Taurat. Sebab tidak ada
seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan Hukum Taurat.”

7. Pengungkapan Iman
Komunikasi adalah salah satu cara untuk mengungkapkan iman akan Kristus Yesus.
Pengungkapan iman bisa dinyatakan dalam bentuk yang khusus dan eksplisit, contohnya
dalam pewartaan, pelayanan, dan perayaan Ekaristi yang setiap kali diadakan di Gereja.
Berikut cara peran Gereja dalam mengungkapkan iman didalam masyarakat:
 Pengungkapan iman adalah bentuk dari penghayatan iman yang bisa kita dapatkan saat
kita berada di lingkungan masyarakat. Iman diungkapkan secara nyata, namun tidak
secara kentara alias memperlihatkan sikap dari iman.
 Rasa kepercayaan Gereja dalam memberitakan kesaksian dan kepastian tentang iman
Kristus kepada semua umat Kristiani dan seluruh masyarakat majemuk lainnya.
 Gereja akan serta aktif kepada masyarakat agar setiap masing-masing masyarakat bisa
saling memberikan rasa pengungkapan iman yang saling percaya dari hatinya untuk
Tuhan
Selain itu untuk dari itu Gereja akan membentuk suatu Gereja yang luar biasa dan nyata
dalam pelayanan kasihnya terhadap masyarakat. Selain itu kita sebagai masyarakat juga
harus saling tahu apa peran kita sebagai masyarakat dalam menjalin hubungan dengan Gereja

E. Peran Gereja dalam Pertumbuhan Rohani


Banyak orang datang kepada Kristus melalui pekerjaan para pelayan Injil atau melalui
uluran tangan kelompok-kelompok khusus. Tetapi, setelah mereka menjadi orang Kristen,
mereka memerlukan suatu jemaat setempat untuk mengasuh dan membina mereka. Kelompok
Pekabaran Injil menjadi awal untuk memenangkan jiwa, selanjutnya mereka membutuhkan
wadah untuk memelihara dan menumbuhkan iman rohani jiwa-jiwa tersebut.
Perseorangan yang membawa orang lain kepada Kristus juga membutuhkan pangkalan
untuk menaungi dan mengasuh mereka. Walaupun kita datang kepada Kristus sendiri-sendiri,
kita tumbuh sebagai anggota satu tubuh. Tanpa suatu wadah untuk pengasuhan, kita mudah
diserang musuh. Kita dapat melihat hal seperti ini pada saat timbulnya "Jesus Movement" pada
tahun tujuh puluhan. Kita dapat menjangkau kaum hippy melalui pelayanan di jalan-jalan, tetapi
begitu mereka menjadi Kristen, mereka harus bergabung dengan jemaat supaya tetap tinggal
dalam iman baru mereka.
Dalam tugas ini, akan diuraikan empat peran khusu Gereja sebagai wadah pertumbuhan
iman jemaat:
1.     Ibadah
Kita dirancang oleh Allah untuk bertumbuh dalam persekutuan dengan sesama orang
beriman. Tuhan mengumpulkan kita seperti batu-batu yang hidup untuk membangun suatu
rumah yang di dalamnya, Ia berkenan untuk tinggal (1Petrus 2:5). Dalam Kitab Efesus,
Paulus mengatakan bahwa kita adalah anggota keluarga Allah dan menjadi suatu rumah
kudus. Waktu kita berkumpul bersama, kita menjadi "tempat kediaman Allah, di dalam
Roh" (Efesus 2:19-22). Ketika kita berkumpul dengan sesama orang Kristen untuk
beribadah, cakrawala kita diperluas dan kita semakin dikuatkan.
2.     Pengasuhan
Jemaat memberikan makanan dan vitamin rohani yang hanya dapat diperoleh dalam
kelompok yang lebih besar. Gereja adalah Stasiun Pusat tempat karunia dibagikan,
penghiburan diberikan satu kepada yang lain, dan nasihat disampaikan. Kita bukan
penyelam laut dalam secara rohani yang masing-masing memakai tabung oksigen sendiri
75
yang dihubungkan dengan Allah. Allah telah merancang kita untuk saling membagi
pengalaman dan saling memberi dorongan antara sesama orang Kristen.
Tugas gereja adalah mencari karunia rohani dari setiap anggotanya supaya setiap orang
mengetahui kasih karunia yang harus ia berikan kepada orang lain. Sayangnya, banyak
pendeta dan kaum awam bertindak seakan-akan karunia-karunia rohani hanya dimiliki oleh
para pekerja Kristen yang bekerja purna waktu. Setiap jemaat harus mengusahakan
perkembangan dan pemanfaatan karunia rohani setiap anggotanya agar gereja dapat
menerima berkat-berkat Allah.

3.     Nasihat
Kalau kita sendirian, maka kita mudah berjalan menyimpang. Di dalam kelompok yang
lebih besar, kita dapat saling bertanggung jawab dan saling membagi hikmat kita. Amsal
27:17 menyebutkan, "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya."
Kita hanya seperti bongkahan arang yang kehilangan tenaga bila dikeluarkan dari api.
Untuk terus menyala, kita membutuhkan orang Kristen lainnya. Kebutuhan kita ini tidak
akan terpenuhi dengan sendirinya; kebudayaan kita memupuk sifat individualisme yang
tidak sehat. Tetapi tinggal di dalam Kristus berarti tetap berhubungan dengan anggota-
anggota lain dari tubuhnya. Bila kita bersekutu dengan sesama orang Kristen, kita
memperoleh kekuatan dari mereka, dan hidup kita diperkaya oleh karunia-karunia rohani
mereka.
4.     Pelayanan
Di dalam jemaat, kita dapat menyatukan dana dan kemampuan kita untuk menjangkau
orang lain agar datang kepada Kristus. Kita dapat berhubungan dengan orang Kristen lain
yang sama melayani, entah itu kepada mahasiswa internasional, kepada anak-anak belasan
tahun, kepada para tunawisma, atau dalam misi dunia. Misalnya, melayani dua puluh orang
mahasiswa internasional sangat sulit untuk dikerjakan oleh seorang saja, tetapi sekelompok
orang dari satu gereja dapat bekerjasama dengan mudah merencanakan dan melaksanakan
berbagai kegiatan-kegiatan.

Referensi:
Widi Artanto, (2016). Gereja dan Misi-NYA: Mewujudkan Kehadiran Gereja dan Misi-Nya di
Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia.
Peter Wongso, (1999). Tugas Gereja dan Misi Masa Kini. Malang: SAAT.
Jonge, (2009). Apa dan Bagaimana Gereja? Pengantar Sejarah Eklesiologi. Jakarta: BPK
Gunung Mulia,.

76
Modul. XI
KEBUDAYAAN DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 11
Standar Kompetensi Menjabarkan konsep budaya berpikir dan bertindak kritis, bekerja keras dan
bijaksana sesuai nilai-nilai luhur budaya Indonesia
Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa menjabarkan visi dan misi gereja dalam kebudayaan.
2. Mahasiswa menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai
insan kreatif.
3. Mahasiswa menjelaskan bahwa hidup untuk bekerja, berdoa, berbudi
luhur, untuk kesejahteraan manusia, bukan bekerja untuk hidup.

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjabarkan konsep budaya berpikir dan bertindak kritis, bekerja keras dan
bijaksana sesuai nilai-nilai luhur budaya Indonesia
Penyajian (90 menit) Mahasiswa mengeksplorasi ide-ide kreatif dalam mengembangkan
kemampuannya serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
Penutup (20 menit) Tanya jawab sebagai evaluasi bahasan materi

A. Pendahuluan
Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya
memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras dalam menciptakan ataupun
kemudian saling mendelegasikan. Agama sebagai pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh
Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebudayaan sebagai kebiasaan tata cara hidup
manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang
diberikan oleh Tuhan. Agama dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama
mempengaruhi kebudayaan, kelompok / masyarakat / suku / bangsa. Kebudayaan cenderung
mengubah-ubah keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan.
Hidup bermasyarakat dan hidup bergereja secara umum di Indonesia adalah dua hal yang
sulit dipisahkan. Kebudayaan mempengaruhi hidup Kekristenan. Perlu disadari bahwa manusia
tidak hidup sendiri di dunia dimana ia terbebas dari segala nilai dan adat-istiadat dan bisa berbuat
apapun sesukanya, sebab sebagai mahluk yang tinggal di dunia ini, manusia selalu berinteraksi
dengan keluarga, orang-orang di lingkungan hidup sekelilingnya, lingkungan pekerjaan, suku dan
bangsa dengan kebiasaan dan tradisinya dimana ia dilahirkan, dan budaya religi turun-temurun
dimana suku dan bangsa itu memiliki tradisi nenek-moyang yang kuat. Agama dan adat istiadat
yang ketat, kedua identitas ini diwariskan dari orang tua secara turun-temurun dan dilaksanakan
dalam kehidupan bermasyarakat.
77
B. Hakikat Kebudayaan
Defenisi kebudayaan secara etimologi (asal kata): berasal dari bahasa Sansekerta
“buddhayah”. Kata ini adalah kata jamak dari “buddhi” yang berarti “budi” atau akal dan
“dayah” berarti kemampuan. Dengan demikian kata kebudayaan dapat diartikan menjadi “hal-
hal yang bersangkutan dengan hasil berakal”. Ada ahli juga mengatakan kata budaya itu berasal
dari kata budi - daya, yang berarti daya dari budi atau kemampuan dari akal. Kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat, yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat, hal 180).

Dari pemaparan diatas dapat dikatakan, menurut para ahli Antropologi kebudayaan itu
ternyata sangat luas, dalam dan tinggi, karena mencakup semua yang ada di dalam fikiran,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupannya di dalam kehidupan sosial, budaya
dan alamnya. Dengan demikian bisa juga dikatakan, bahwa kebudayaan itu adalah strategi hidup
manusia di dalam masyarakatnya, sehingga dia dapat bertahan untuk hidup dilingkungan sosial,
budaya dan alamnya serta strategi itu harus dipelajari, sehingga manusia dapat menguasainya. Di
mana semuanya itu, dapat dijadikan milik oleh manusia secara terus menerus atau turun temurun
melalui proses belajar.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut
membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan
dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah
yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan
memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

C. Manusia Sebagai Pencipta dan Pengguna Kebudayaan


Budaya merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada di alam
raya ini. Manusia di ciptakan oleh Tuhan dengan dibekali oleh akal pikirannya sehingga dia
mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah di muka bumi
ini (dalam Rafael Raga Maran, 1999:36). Selain itu manusia juga memiliki akal, intelegensiai,
perasaan, emosi, keinginan, dan perilaku. Semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka
manusia mampu menciptakan suatu kebudayaan. Ada hubungan antara manusia dan
kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk
kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusialah yang menciptakan dan
manusia dapat hidup di tengah kebudayaan yang telah diciptakannya.
Kebudayaan akan terus berjalan manakala ada manusia sebagai pendudukungnya.
Kebudayaan mempunyai kegunaan sangat besar bagi manusia. Hasil karya manusia
menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap
lingkungan alamnya. Sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai berikut :
1) Suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompoknya
2) Wadah untuk menyalurkan perasaan dan kemampuan-kemampuan lain.
78
3) Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia
4) Pembeda manusia dan binatang
5) Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berprilaku di dalam
pergaulan.
6) Pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat
7) Sebagai modal dasar pembangunan.
Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya manusia dapat
mengembangkan kebudayaan, begitupula manusia hidup dan bergantung pada kebudayaan
sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan juga memberikan aturan bagi manusiadalam mengelolah
lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya. Berbagai macam kekuatan manusia harus
menhadapi kekuatan alam dan kekuata-kekuatan yang lain. Selain itu manusia memerlukan
kepuasan yang baik secara sipiritual maupun material.
Kebudayaan masyarakat sebagian besar dipengaruhi oleh kebudayaan yang bersumber
dari masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat itu sendiri melahirkan teknologi atau
kebuyaan kebendaan yang memiliki kegunaan utama dalam melindungi diri mereka sendiri
terhadap lingkungan. Dalam tindakan untuk melindungi diri dari lingkungan alam, pada taraf
pemula manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak didalam batas-batas untuk
melindungi dirinya. Keadaan berbeda pada masyarakat yang kompleks, dimana taraf
kebudayaannya lebih tinggi. Hasil karya tersebut yaitu teknologi yang memberikan
kemungkinan luas untuk memanfaatkan hasil alam bahkan menguasai alam.
Manusia adalah mahluk sosial, sehingga manusia tidak akan dapat hidup tanpa bergaul,
bersahabat dan berteman dengan manusia yang lainnya dan itu jugalah sebabnya manusia tidak
dapat dipisahkan dari manusia lain. Manusia itu harus bergaul (bersosialisasi), sehingga jati
dirinya sebagai manusia benar-benar dapat dihidupi. Karena itu, supaya manusia dapat bertahan
hidup dalam lingkungan sosial, budaya dan alamnya, maka manusia harus memiliki kebudayaan
(lihat defenisi kebudayaan yang dibuat oleh Antropolog di atas). Dalam melakukan proses ini,
manusia harus mempergunakan fikiran, perasaan dan kehendaknya yang dihubungkan dengan
lingkungan sosial, budaya dan alam di mana dia berada. Manusia tidak boleh mengabaikan
keberadaan lingkungan sosial, budaya dan alam di mana dia menjalankan kehidupannya, di
dalam dia mengambil keputusan dan melakukan proses perjalanan kehidupannya, walau sebagai
pribadi.
Dengan demikian bisa dikatakan, manusia itu tidak dapat hidup tanpa kelompok manusia
lain atau masyarakatnya, karena dia adalah mahluk sosial (bergaul, berteman dan bersahabat). Di
dalam manusia berelasi atau bergaul antara satu dan yang lainnya, maka dengan demikian
timbullah kemlompok manusia atau masyarakat dan untuk menata kehidupan manusia dalam
masyarakat itu manusia membutuhkan kebudayaannya sebagai pedomannya. Karena itu, harus
dikatakan, bahwa manusia tidak akan dapat bertahan hidup di dalam lingkungan sosial, budaya
dan alamnya tanpa kebudayaannya, termasuk adat istiadatnya.

D. Kebudayaan dalam Perspektif Iman Kristen


Kebudayaan menurut Alkitab dapat dilihat dari beberapa aspeknya, yaitu: (1) Allah
memberikan manusia ‘tugas kebudayaan’ karena pada dasarnya ‘manusia memiliki gambar
seorang pencipta’ (Kej.1:26-27) dan manusia diberi TUGAS agar ‘menaklukkan dan memerintah
bumi’ (Kej.1:28). Jadi, manusia menerima suatu mandat dari Allah dan mandat itu adalah
MANDAT kebudayaan. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa: “Tuhan Allah mengambil manusia
itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”
(Kej.2:15); (2) Sesuai Mazmur 150 kita dapat melihat bahwa TUJUAN kebudayaan yang utama
adalah untuk ‘memuliakan dan mengasihi Allah, dan agar kebudayaan itu digunakan untuk
melayani dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.’

79
Mandat budaya Sebagai panggilan suara kenabian yang mewartakan kebenaran Alkitab
didalam memandang seluruh problematika kehidupan disegala bidang baik pendidikan ekonomi,
sosial, hukum, kemasyarakat dll. Bila Alkitab berbicara begitu positif mengenai kebudayaan,
mengapa kebudayaan menjadi suatu yang dipersoalkan? Apa yang
menyebabkannya? Penyimpangan kebudayaan terjadi misalnya dalam peristiwa ‘Menara Babel’
dimana tujuan kebudayaan menyimpang diarahkan untuk penyembahan berhala dan kebanggaan
diri/kelompok (Kej.11). Tema dosa yang merusak tujuan kebudayaan adalah ‘ingin  menjadi
seperti Allah’ (Kej.3:5) dan ‘mencari nama’ (Kej.11:4). Jadi dosa telah menyimpangkan
kebudayaan sehingga berpotensi  bukan saja untuk tidak memuliakan penciptanya, sebaliknya
malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan menantang Allah.
Kebudayaan merupakan suatu hal yang sudah sangat melekat dalam tiap diri masyarakat
terutama Indonesia, di sekeliling tempat tinggal kita terdapat banyak dan beragam suku dan
bangsa yang memiliki ciri khasnya sendiri. Perwujudan nyata yang nampak dari suatu
kebudayaan adalah benda-benda yang di ciptakan oleh manusia sebagai pelaku dari kebudayaan
itu sendiri. Suatu kebudayaan dapat terlihat dalam pola-pola perilaku kelompok masyarakats,
bahasa, peralatan sehari-hari yang digunakan hingga seni yang mana semuanya itu terus
dikembangkan dan disempurnakan guna membantu kehidupan sehari-hari dari manusia itu
sendiri serta membantu untuk membentuk karakter pemimpin Kristen.
Lalu sebagai kaum beriman yang mengikuti keteladanan Yesus Kristus bagaimana kita
menanggapi sebuah kebudayaan dengan pandangan kita sebagai orang percaya kepada Tuhan
Yesus? Jika kita melihat dari dasarnya kebudayaan tentu kita sebagai kaum beriman akan sebisa
mungkin menolak kebudayaan yang ada karena kebanyakan kebudayaan yang ada saat ini tidak
sesuai dengan firman Tuhan. Meski demikian kita juga harus menjadi orang yang bijaksana
dalam berfikir dan mengambil suatu keputusan terkait kebudayaan ini, oleh karena itu kita perlu
mengetahui apa sebenarnya tujuan kebudayaan menurut pandangan Kristen dalam hidup kita
serta mengetahui apa pengaruh IPTEK terhadap iman Kristen.
Beberapa tujuan kebudayaan menurut pandangan iman Kristen yang akan akan
dijelaskan sebagai berikut :
1. Kebudayaan ada untuk memuliakan Allah
Tujuan kebudayaan menurut pandangan Kristen yang pertama adalah guna memuliakan
Allah atas kuasa dan kasihnya kepada kita manusia yang berdosa. Allah ketika menciptakan
manusia untuk pertama kalinya tidak hanya memberikan suatu hal yang sangat spesial yang
membedakan manusia dengan mahluk ciptaannya yang lain yakni gambar dan rupa yang
sama dengan Allah, namun Ia juga memberikan hayat dan akal budi kepadanya.
Tuhan ingin agar manusia dapat seturut bertindak untuk menyenangkan Allah. Ketika
manusia jatuh ke dalam dosa pun Allah tidak langsung meninggalkan mereka di dunia untuk
tersiksa, diberikannya kemampuan bercocok tanam agar mereka dapat mempertahankan
hidup dan beranak cucu. Segala pengetahuan diberikan guna membantu mempermudah
pekerjaan-pekerjaan dunia yang dilakukannya serta membuat manusia memiliki ciri orang
bijak menurut Alkibat dalam mengambil langkahnya.
Dari sini kita dapat melihat awalnya Allah ingin agar kebudayaan yang tercipta oleh
pengetahuan manusia untuk memuliakan Tuhan yakni terjadi secara vertikal serta secara
horizontal yaitu terjadi sesama manusia untuk saling mengasihi. Namun seiring berjalannya
waktu tujuan awal ini berubah menjadi suatu sarana untuk saling menunjukan kelebihan tiap
diri manusia secara indivisu atau kelompok, secara tidak sadar sifat asli manusia yang mana
diharuskan untuk memuliakan penciptanya malah berubah menjadi ke hal duniawi.

2. Kebudayaan membantu Pelayanan Gereja


Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa tujuan kebudayaan menurut padangan
Kristen adalah untuk memuliakan Allah, maka seiring berjalannya waktu ketika Tuhan
80
Yesus turun ke dalam maut dan bangkit kebudayaan yang ada memiliki tambahan fungsi
yakni guna membantu pelayanan kaum saleh kepada gereja dan dunia. Tuhan berfirman
kepada manusia yang percaya pada waktu itu ketika Ia terangkat ke surga untuk
memberitakan injil hingga keseluruh dunia dan semua orang dapat mengetahui berita
keselamatan ini.
Kebudayaan yang ada di kehidupan manusia sehari-hari juga di pakai oleh Tuhan untuk
membantu pelayanan gerejaNya, Tuhan ingin segala kemajuan yang ada seperti transportasi
dan media elektronik yang ada kini dapat mempermudah dan mempersingkat waktu untuk
memberitakan Injil bahkan hal ini yakni Injil keselamatan telah mampu diberitakan hingga
kepelosok-pelosok dunia.
Tugas pelayanan yang dilakukan kaum beriman berdasarkan firman Tuhan tidak hanya
berhenti hingga orang-orang dunia mengetahui janji keselamatan yang Tuhan berikan karena
Tuhan telah melalui penyaliban Yesus untuk menebus manusia dari dosa namun juga
membuat mereka yang mendengarnya menjadi percaya, di baptis dan bersama-sama hidup
untuk seturut dengan keinginan Allah semua agar namaNya dimuliakan oleh kita manusia.

3. Mengasihi sesama manusia


Tujuan kebudayaan menurut pandangan Kristen selanjutnya adalah untuk mengasihi
sesama manusia. Seperti ada tertulis bahwa Tuhan Yesus juga ingin kita sebagai manusia
untuk mengasihi sesama kita manusia seperti kita mengasihi diri sendiri tanpa memandang
kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Kebudayaan yang ada saat ini jika di lihat dengan
seksama merupakan suatu arena yang menjadi ajang selisih satu dengan yang lain karena
mereka mengelompokan dan membedakan dirinya dengan yang lain sehingga kasih tidak
dapat mereka berikan secara cuma-cuma kepada orang yang bukan dari kelompoknya.
Persaingan yang menunjukan siapa yang lebih hebat dari yang lainnya juga dapat kita lihat
dari berkembangnya teknologi, antar perusahaan satu dengan yang lainnya saling mengejar
untuk dapat memproduksi teknologi yang unggul.
Sebagai manusia yang tidak sempurna akibat dosa perkara ini bukanlah suatu perkara
yang mudah baik itu untuk di lakukan yakni dengan menghindari kebudayaan yang tidak
sesuai dengan firman Tuhan dan karakter Kristus atau menjadi bijak dalam melihat kembali
mana yang seharusnya tetap dipertahankan. Semua ini kembali ke diri kita masing-masing,
janganlah mengandalkan diri sendiri untuk menghadapi segala perkara yang dihadapi namun
libatkan Tuhan dalam pergumulan kita dan serahkan keresahan kita ke dalam tangannya.
Tuhan akan menuntun kita bahkan dalam jalan yang gelap sekalipun, pengharapan
manusia yang harus kita terapkan adalah serahkan segala sesuatu ke dalam tangan Tuhan
maka Tuhan akan menggenggam tangan kita dan menuntun ke jalan yang seharusnya kita
tempuh karena ini merupakan salah satu janji Tuhan bagi orang percaya, sekiranya Tuhan
Yesus memberkati.

E. Sikap Umat Kristen Terhadap Kebudayaan


Sikap umat Kristen menghadapi kebudayaan bermacam-macam, ada yang pro, ada pula
yang kontra. Pandangan tersebut dapat digolongkan ke dalam lima macam, yaitu:
1. Antagonistis
Yaitu sikap menentang dan menolak, atau sikap negatif terhadap semua hasil dan
penggunaan kebudayaan, sikap ini melihat pertentangan iman dan kebudayaan yang tidak
terdamaikan antara iman Kristen dan kebudayaan dalam segala aspeknya;
2. Akomodasi
Sikap yang sebaliknya dari antagonistis yaitu menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang

81
ada. Agama kristen dikorbankan demi kepentingan kebudayaan yang ada. Akomodasi
demikian sering kita lihat dalam hubungan dengan agama-agama animis dan adat istiadat
sehingga terjadi sinkretisme yang berbahaya. Sikap demikian terlihat misalnya dalam usaha
untuk menganggap bahwa ‘semua agama itu sama saja’ atau yang belakangan ini lebih
dikenal sebagai ‘semua agama menuju yang SATU’ (inklusivisme);
3. Dominasi
Biasa dilakukan dalam gereja Roma Katolik dimana sesuai teologia Thomas Aquinas yang
menganggap bahwa ‘sekalipun manusia dalam dosa telah merosot citra ilahinya karena
kejatuhan dalam dosa’ pada dasarnya manusia tidak jatuh total, melainkan masih memiliki
kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya dalam menghadapi kebudayaan kafir
sekalipun, umat bisa melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir
itu menjadi bagian iman, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh
sakramen.
4. Dualisme
Sikap ini mendua yang memisahkan agama dan budaya secara dikotomis.  Pada satu pihak
terdapatlah dalam kehidupan manusia beriman kepercayaan kepada pekerjaan Allah dalam
Tuhan Yesus Kristus, namun manusia yang sama tetap berdiri di dalam kebudayaan kafir dan
hidup di dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia yang
berdosa dan mengubahnya menjadi kehidupan dalam iman tidak ada artinya dalam
menghadapi kebudayaan. Manusia beriman hidup dalam kedua suasana atau lapangan baik
agama maupun kebudayaan secara bersama-sama;
5. Pengudusan
Yang tidak menolak secara total (antagonistis) namun juga tidak menerima secara total
(akomodasi), tetapi dengan sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia dalam
dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia melainkan menawarkan pengampunan
dan kesembuhan bagi manusia untuk memulai suatu kehidupan yang lebih baik dengan
mengalami transformasi kehidupan etika dan moral. Manusia melakukan dan menerima hasil
kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, dan
mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu
atau malah ketiga sikap budaya yang salah itu, umat beriman harus menggunakan firman
Tuhan untuk mengkuduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya ke arah
‘memuliakan Allah’, ‘tidak menyembah berhala’, dan ‘mengasihi manusia dan
kemanusiaan.’
      Kelihatannya Alkitab lebih condong untuk mengajarkan umat Kristen agar melakukan
sikap ‘Pengudusan’ sebagai kesaksian iman Kristiani dalam kehidupan berbudaya. Rasul Paulus
memberikan peringatan agar: “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan
filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak
menurut Kristus.” (Kol.2:8).

Referensi:
Basuki Yusuf, (2014). Pertumbuhan Iman Yang Sempurna. Yogyakarta.
Daniel J Adams, (1992). Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia. Jakarta: BPK Gunung
82
Mulia.
Harun Hadiwijono, (2018). Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Koentjaraningrat, (2011). Kebudayaan, Mentalitas Dan Pembagunan. Jakarta: Balai Pustaka.
Stephen Tong, (2007). Dosa Dan Kebudayaan. Surabaya: Momentum.

Modul. XII
KONTRIBUSI GEREJA DALAM POLITIK

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 12
Standar Kompetensi Memahami kontribusi gereja dalam kehidupan politik berbangsa dan
bernegara.
Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa memahami visi dan misi gereja dalam tanggung jawab
sosial politik.
2. Mahasiswa mempraktekkan kontribusi gereja dalam kehidupan
berpolitik, berbangsa dan bernegara.

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan kontribusi gereja dalam kehidupan politik berbangsa dan
bernegara.
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali serta memaparkan visi misi gereja, serta kontribusinya
bagi bangsa dan negara
Penutup (20 menit) Menyimpulkan materi bahasan

A. Pendahuluan
Agama dan Politik sering dipandang sebagai dua kutub yang berbeda sepanjang
kehidupan manusia, khususnya dalam kehidupan politik. Oleh karena itu muncul dua pandangan
ekstrim tentang hubungan agama dan politik. Pertama, pandangan yang mengatakan agama dan
politik merupakan satu kesatuan yang integral, dan yang kedua, pandangan yang mengatakan
agama dan politik harus dipisahkan secara total.
Pemerintah harus netral terhadap agama-agama. Pemisahan agama dengan politik
diharapkan dapat menghindarkan konflik, tetapi kenyataannya tidak berhasil, bahkan
sekularisme pada akhirnya menghasilkan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.
Kegagalan memisahkan secara total tersebut tentu saja karena manusia agama dan manusia
politik itu adalah orang yang sama, yang tidak mudah membagi diri pada ranah berbeda.
Sebenarnya bila kita tinjau hasil akhir atau tujuan dari agama dan politik, memang tidak ada
alasan untuk memisahkan agama dan politik. Karena sebenarnya aktifitas politik itu harus

83
didasarkan pada nilai-nilai agama.
Sebagai warga negara, kehidupan orang Kristen tidak terlepas dari kehidupan berbangsa
dan bernegara. Ketika orang Kristen memiliki hak dan tanggungjawab di dalam bergereja, orang
Kristen pasti memiliki hak dan tanggungjawab sebagai warga negara. Yang menjadi persoalan
adalah bagaimana orang Kristen menempatkan posisinya di dalam situasi yang demikian. Di
mana hubungan gereja dan negara tidak terlepas dari masalah bahkan sudah ada sejak lama.
Hubungan itu sesuatu yang dinamik dari waktu ke waktu. Dalam hal inilah bagi orang
Kristen perlu pemahaman yang Alkitabiah tentang hubungan Gereja atau orang Kristen dengan
negara atau pemerintah.

B. Hakikat Politik
Dilihat dari sisi etimologisnya, kata ‘politik’ berasal dari kata Yunani, yaitu Po’lis yang
diartikan sebagai kota (city). Dalam perkembangan berikutnya, kota-kota memperluas diri atau
menyatukan diri dan kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang
pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-lembaga dan
tujuannya (William Ebenstein; Political Science, 1972. p.309).

Dalam bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang
dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-
kebijakan publik (Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969) Banyak
pendapat masyarakat mengenai definisi politik. Di antaranya yaitu menyatakan politik adalah
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat bagi masyarakat/proses alokasi dan
distribusi inti proses politik adalah : Keputusan yang mengikat masyarakat, melibatkan sejumlah
ketentuan-ketentuan politik (partai politik, kelompok, kepentingan, dan sebagainya) untuk
kepentingan dan kebaikan bersama.

C. Kekristenan dalam Hidup Berpolitik


Pada prinsipnya Gereja memahami bahwa kehadirannya adalah sebagai garam dan terang
di tengah-tengah dunia (Mat. 5:13-14). Dasar inilah yang mewarnai semua misi, sikap, aktivitas
dan pelayanan gereja, dalam berbagai kegiatan kehidupan. Dalam konteks pemahaman itu, dapat
dilihat sikap Yesus Kristus dan para rasul terhadap pemerintah pada masanya masing-
masing. Dalam kehidupan gereja, sikap itu ada kalanya berubah dan berbeda sesuai dengan
keadaan dan konteksnya. Namun menjadi garam dan terang tetap menjadi dasar teologis untuk
memahami hubungan Gereja atau orang Kristen dan negara atau pemerintah pada masa kini.
Dari pemahaman kita tentang politik tersebut, setidaknya ada tujuh istilah yang selalu
diperhadapkan pada kita sebagai umat kristen, yakni interaksi, pemerintah, masyarakat, proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan, yang mengikat, kebaikan bersama dan wilayah tertentu.
Ketujuh hal tersebut jika kita melihat pada sejarah pemikiran politik umat Kristen Indonesia
yang sudah muncul sejak zaman pergerakan nasional. Kesadaran politik atau interaksi umat
Kristen pada masa awal itu umumnya lemah akibat pembinaan Zending, yang umumnya
menjauhi politik (antara lain) karena alasan teologis (pengaruh Pietisme). Tokoh-tokoh Kristen
yang berpolitik dalam partai Kristen tidak lagi terikat kepada teokrasi formal, melainkan yang
substansial. Setelah pengalaman panjang konflik gereja dan negara pada Abad-abad
Pertengahan, dan oleh pengaruh Revolusi Perancis, gereja mengalami apa yang disebut
pemisahan agama dan negara, sehingga perjuangan politik Kristen lebih bersifat umum dan
terbuka. Artinya prinsip-prinsip Kristen dalam urusan politik, ideologi atau kenegaraan lebih
menekankan esensi pemberlakuan kehendak Allah dalam lapangan politik, daripada bingkai
formalnya.
Dari Alkitab, pemikiran politik Kristen mewarisi prinsip-prinsip kenabian mengenai
panggilan penguasa untuk menegakkan keadilan dan memajukan kesejahteraan rakyat, terutama
84
dengan memihak rakyat tertindas (orang miskin, janda, anak yatim dan orang asing; lihat antara
lain Mazmur 72; Yesaya 11:1-10. Yesus Kristus mengajar murid-muridnya mengenai pola yang
benar dalam menyandang kekuasaan, bahwa bukannya memerintah dengan tangan besi
melainkan melayani (Markus 10: 42-45 dps); juga tentang kewajiban kepada pemerintah di
samping dan di bawah ketaatan kepada Allah (Matius 22: 15-22 band. 1 Petrus 2: 17); dan
tentang adanya kekuasaan yang bukan dan yang lain dari kekuasaan dunia ini dan melampaui
(Yohanes 16: 36). Para rasul mengajarkan tentang tunduk kepada pemerintah (Roma 13:1 dan
seterusnya) dan mendoakan para penguasa (I Timotius 2: 1). Tetapi, gereja-gereja tidak
sepenuhnya setia kepada panggilan profetis nya, terutama karena kecemasan terhadap dominasi
pihak-pihak lain.
Gereja baru sesekali bicara kalau langsung menyangkut kepentingannya. Gereja
mengamankan diri dalam kemitraan submissive dengan pemerintah, bukan mengembangkan
kemitraan profetis. Maka, untuk berkerja sama dengan semua golongan agama dalam panggilan
profetis terhadap kekuasaan, gereja perlu melakukan pertobatan, berbalik dari jalan yang
ditempuhnya selama ini. Karena sesuai dengan pemahaman kita tentang politik, gereja dan umat
kristen diharapkan dapat berperan aktif dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat bukan baru sesekali bicara kalau
langsung menyangkut kepentingannya.

D. Konsep Alkitab terhadap Politik


Menurut Alkitab, politik adalah suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan
memaknai realitas politik dari cara pandang dan pola pikir Alkitab. Berbagai sikap dan
pertanyaan tentang apa kata Alkitab tentang politik, tentu menjadi dasar pembahasan berikut ini:
1. Politik Kesejahteraan
Perkataan politik muncul dengan tegas dalam Yeremia (29:7): And seek the peace
of the city … and pray to the Lord for it for in its peace you will have peace. (Holy Bibel:
Gideon International, 1980). Mencari atau mengupayakan kesejahteraan kota (politik), jelas
merupakan amanat Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian, penataan politik tidak bisa
dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat, ruang dan waktu.
Amanat atau perintah Alkitab untuk berpolitik bagi umat di dalam kitab Yeremia itu,
tidak serta merta diikuti dengan suatu bentuk atau sistem, apalagi yang menyangkut
prosedur dan mekanisme penataan politik yang detail. Pertanyaan penting muncul: Apakah
Alkitab memberi konsep kosong atau memberi keleluasaan kepada umat terutama para
pemimpinnya?
Tampaknya, jawaban yang ‘imaniah’ adalah: keleluasaan. Alkitab tidak memberikan
suatu paku mati, konsep baku dan menyeluruh menyangkut upaya perealisasian dari politik
itu. Formula politik itu tidak menjadi urusan Alkitab, tetapi menjadi suatu keharusan yang
dirumuskan umat Tuhan. Alkitab hanya memberikan suatu konsepsi yang sangat
fundamental: to seek peace (mengupayakan kesejahteraan politik). Kepada umat Tuhan,
Alkitab memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk merumuskan suatu formula
politik, baik itu menyangkut dasar dan sistem politik, bentuk, prosedur dan mekanisme
pemerintahan. Alkitab hanya memberi satu tekanan dan kepastian: kesejahteraan.

2. Realitas dan Pemaknaan Teokrasi


a) Kerajaan Imamat, Bangsa yang Kudus
Merujuk kepada kisah penciptaan dalam Alkitab, kisah penciptaan memberikan
suatu konsepsi menyangkut citra dan peran manusia di dalam proses dan realitas politik.
Pencitraan manusia sebagai imago dei (Kej. 1:28), merupakan konsepsi politik Alkitab
untuk menjelaskan hubungannya dengan semesta alam. Demikian juga pemberian kuasa
dan mandat bagi manusia untuk menata dan mengelola alam, sangat jelas sifat
85
politisnya.
Suatu bentuk dan ciri politik dinyatakan kepada Musa. ‘Engkau akan
menjadi kerajaan imamat dan bangsa yang kudus…’ (Kel 19:6). Di sini jelas ada suatu
progres dari pengelolaan politik yang disampaikan kepada bangsa Israel. Pernyataan
Tuhan kepada Musa mengenai penataan politik itu tidak dapat dilepaskan dari proses
awal eksodus yang dialami bangsa Israel. Mereka hidup dalam situasi ‘tohu wavohu’ ,
(campur baur dan kosong) dalam arti politik. Status budak yang melepaskan diri melalui
perlawanan, digiring menuju tanah perjanjian yang bagi sebagian besar kaum awamnya
tidak jelas kapan tibanya. Paling tidak kita dapat menangkap tiga hal dari teks kerajaan
imamat  itu, yakni:
 Bentuk politik itu adalah kerajaan
 Ciri dari kerajaan itu adalah imamat dan memiliki ciri dan jati diri tersendiri. Artinya
kerajaan yang harus berbeda (kudu) dari segala kerajaan atau bentuk politik yang
lain di dunia ini
 Istilah kerajaan imamat dari perspektif politik pasti membawa kita pada pemikiran
bahwa penguasa politik atau pemimpin pemerintahan adalah para orang kudus yang
disebut imam. Sumber kader kepemimpinan atau penguasa politik sudah jelas: para
imam. Inilah yang disebut regnum sacerdotale atau sacerdotal kingdom.
Undang-Undang Dasar dalam bentuknya yang sangat embrional diberikan kepada
bangsa yang secara politik belum memiliki wilayah itu. Dasar titah dapat dilihat pada
dua bagian, Kel. 20:1-17 dan Ul. 5:6-21. Untuk yang lebih praktis dalam pengaturan
kebutuhan keseharian pada masa itu (semacam penjabaran dari UUD) diberikan hukum
ringkas berupa ritual decalog danethical (Kel. 34:12-16). Termasuk kewajiban
memperingati hari bersejarah secara ritual (34:18). Realitas politik yang berangkat dan
mengacu dari penelusuran Alkitab di atas, sangat dipahami, bahkan diyakini sebagai
teokrasi (pemerintahan Tuhan).
Kenyataan yang demikian dapat menggiring kita kepada kesimpulan bahwa
kelihatannya Alkitab tidak memberi penjelasan mengenai suatu bentuk pemerintahan.
Rumusan atau penjelasan yang tiba kepada kita adalah: Tuhan menjadi penguasa
tunggal dan manusia berada dalam naungan kedaulatanNya.

b) Ketegangan Pengangkatan Melekh (Raja)


Israel sebagai komunitas pilihan Tuhan, pada tahap yang sangat awal
kelihatannya baru mulai belajar untuk membentuk diri menjadi identitas politik. Tatanan
sosialnya sebagai suatu bangsa, belum memiliki kesanggupan untuk menjadi perangkat
politik. Suku-suku yang ada, hanya diikat dan terikat pada satu keyakinan terhadap
Yahwe yang membebaskan mereka dari penindasan Mesir. Dari tinjauan politik,
keterikatan tersebut jelas sangat longgar.
Namun, berangkat dari fondasi satu-satunya itu, yakni keyakinan pada Allah
tersebut, suku-suku Israel terbentuk atau membentuk diri menjadi aliansi politik. Liga
suku-suku itulah yang kemudian menjadi konfederasi Israel. Keterikatan politik yang
didasari keyakinan agamiah itu yang menjadikan para Imam sebagai pemimpinnya,
disadari atau tidak menjadi satu perangkat politik dalam tatanan sosial keagamaan Israel.
Gerakan tuntutan adanya seorang raja manusia (melekh) mulai muncul. Gerakan
ini, tanpa disadari merupakan suatu perlawanan terhadap tradisi pewarisan turun-
temurun berdasarkan garis darah dalam kepemimpinan selama ini, terutama untuk imam
(dari garis suku Lewi). Kelompok Imam dan kaum konservatif dengan keras menolak
aspirasi gerakan ‘melekh’ tersebut. Hal itu sangat jelas tercermin dalam pernyataan
Samuel dengan mengangkat dasar legitimasi tertinggi konfederasi Israel sendiri, yakni:
Yahwe. “sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah (Allah) yang mereka
86
tolak, supaya jangan Aku (Allah) menjadi raja atas mereka.’ (1 Sam.8:7 b).
Saul dari keluarga Matri, kaum Kish dari suku yang terkecil keturunan Benyamin
dipilih Tuhan menjadi raja di hadapan suku-suku Israel. Dengan merujuk pada proses
keterpilihan dan pengangkatan Saul sebagai raja dan sekaligus pelaksanaan
kekuasaannya sebagai raja (1 Sam. 9-15), penggantinya raja Daud (16-24), dan
pengangkatan Salomo (1. Raja. 1).
Ada berapa hal yang berkaitan dengan pemaknaan teokrasi:
Pertama, pada proses Saul, kedaulatan Allah (teokrasi) atas Israel tetap dipertahankan
dan diakui. Allah sendiri yang memilih, menentukan dan mengurapi Saul (1. Sam. 9
dan 10). Pencabutan mandat atas Saul juga dilakukan Allah dan sekaligus pilihan atas
penggantinya, Daud yang berasal darisuku Efrata.
Kedua, perjanjian Sinai bahwa Allah adalah sumber dan dasar Israel (teokrasi),tetap
dipertahankan. Meskipun aspirasi gerakan ‘melekh’ diterima sebagai realitas politik,
namun hal itu diakui sebagai dosa dan bangsa Israel meminta ampun untuk itu.
Ketiga, fungsi Imam sebagai perantara (medium) Allah dan sekaligus pengawas atas
tugas-tugas raja juga tetap dipertahankan. Kedudukan Imam sebagai medium dan
advisori, inilah yang sekaligus menandai hakikat teokrasi itu.
Keempat, proses peralihan kekuasaan dari Saul kepada Daud tidak berjalan mulus. Saul
tetap mempertahankan kekuasaannya dan berupaya melenyapkan Daud. Dalam
konteks ini, lembaga kerajaan (Saul) mengabaikan dan mengebiri lembaga Imam dan
dengan itu menjadikan dirinya juga medium (perantara) langsung dengan Allah .
Kelima, dalam garis teokrasi yang demikian terjadi peralihan kekuasaan dari Daud ke
penggantinya. Daud sendiri yang menetapkan Salomo menjadi raja, fungsi Imam,
nabi Natan kelihatan hanya melaksanakan seremoni bagi legitimasi kekuasaan raja.
Bermula dari hanya ‘mezbah’ sebagai medium bagi Allah menyatakan kedaulatan
dan titahnya, teokrasi Israel bergerak membentuk ‘tahta’ yang juga mediumNya.
Keduanya tetap eksis, pada waktu dan tempat yang sama, bergayut pada Allah yang
sama: Allah.

3. Berasal dari Allah


Berangkat dari keyakinan teokratis, dengan Yahwe yang perkasa, Israel kemudian
Yahudi mengembangkan doktrin messianis: kejayaan bangsa dengan datangnya pemimpin
adidaya untuk menaklukkan semua orang dan memerintah atas seluruh dunia. Namun, pada
akhirnya, Israel sebagai entitas agama dan politik, patah terkulai, dilanda kemunduran dan
kehancuran.
Kelahiran Yesus (yang dimaknai sebagai awal kehadiran gereja) memasuki era yang
sangat berbeda. Gereja tidak hanya bergumul dengan pemikiran dan perumusan politik
teokrasinya, tetapi hidup di dalam dan dan berhadapan realitas politik yang sama sekali
tidak mengenal Allah. Para pengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari politik
negaranya, menuntut pemahaman terutama menyangkut loyalitas. Kepada siapa loyalitas
tertinggi ditaruh dan dipertaruhkan: kepada raja atau kepada Allah.
Berhadapan dengan realitas yang demikian, teologia politik dirumuskan Yohanes
bin Zebedeus, manakala kekaisaran imperium Romawi di tangan raja Dominiatus. Persekusi
besar-besaran terhadap seluruh pengikut Kristus diperintahkan di seluruh imperium Romawi
itu. Terhadap realitas itu kitab Wahyu memberi makna teologis menyangkut sifat dan
hakikat kekuasaan yang kuat, sadis dan kejam. Namun semua itu bukanlah akhir, bukanlah
bentuk final dari segala-galanya. Kuasa Allah ada di ujung, yang mengatasi dan mengakhiri
semua itu. Karenanya, inti teologia politik kitab Wahyu adalah: orang Kristen sama sekali
tidak boleh tunduk menyembah raja atau ilah manapun, selain Tuhan.
Paulus memberikan panduan teologis berupa pemahaman yang sangat positif
87
mengenai pemerintah. Pemaknaan secara teologis dengan muatan teokrasi diberikan: ‘…
sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang
ada ditetapkan oleh Allah’ (Roma 13:1b)’ karena pemerintah adalah hamba
Allah…’(13:4a). Dalam garis pemikiran itulah kepada tiap orang diarahkannya untuk
‘takluk’ dengan batasan yang jelas: ‘…barang siapa yang melawan pemerintah, ia melawan
ketetapan Allah…’(Roma 13:2).

E. Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen


Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu
dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah. Bagaimana
seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi negara yang
mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan keadilan
kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap politik ada 3
bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan.
Respon yang benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap kita terhadap
berbagai gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang Kristen taat kepada pemerintah,
sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan
oleh Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggungjawabkannya kepada pemberi kekuasaan
yaitu Allah sendiri (ayat 1). Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi
secara aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak.
Orang kristen harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak
Allah.
Panggilan tersebut tentu menuntut peran aktif, yang harus dimulai dari pasal 12, yaitu
penyerahan diri kepada Allah (Roma 12:1, 2) sehingga tidak menjadi serupa dengan dunia.
Dengan demikian pemerintah dapat berperan sebagai hamba Allah (Roma 13:4). Ayat 5, ”…
dengan suara hati”. Justru di sinilah tugas dan tanggung jawab gereja (dalam pengertian umat
Allah, bukandalam pengerrtian organisasi) supaya memampukan pemerintah menjadi hamba
Allah. Ini dapat terjadi hanya apabila orang Kristen memenuhi panggilannya. Jadi sudah
seharusnya kita menjawab panggilan itu, untuk menjadi garam dan terang dunia, biar melalui diri
kita citra Kristus boleh terpancar sehingga semua orang memuji dan memuliakan Allah.

F. Kontribusi Gereja dalam Politik


Sikap orang Kristen dalam kehidupan politik hendaknya didasari atas penghayatan
Kekuasaan sebagai anugerah Allah. Kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Dengan demikian,
jabatan dan kekuasaan itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan
Tuhan.
1. Keberpihakan kepada yang lemah
Para politikus Kristen dipanggil karena memiliki keberpihakan kepada yang lemah, karena
kelompok masyarakat inilah yang sering kali menjadi korban penindasan, ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan. Keberpihakan mereka tidak boleh dilandasi oleh sentimen yang
bersifat primordial (suku, ras, atau agama). Namun, keberpihakan itu juga tidak menyalahi
aturan yang berlaku, dalam arti bahwa aturan dan hukum tidak berlaku bagi kelompok ini.

2. Memiliki visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah
Visi dan misi para politikus Kristen hendaknya tidak hanya dibatasi oleh lingkup dan
waktu. Maksudnya kiprah dalam dunia politik tidak hanya dibatasi oleh konstitusinnya saja
(kelompok pemilihnya) atau pun jangka waktu memiliki jabatan itu. Bahkan lebih jauh lagi
para politikus Kristen juga sekaligus adalah agen-agen eskatologis dan seharusnya ikut serta
dalam menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah (keadilan, kebenaran, perdamaian dan
88
keutuhan ciptaan).

3. Mendorong perubahan yang benar dalam masyarakat Indonesia


Para politikus Kristen hendaknya juga menjadi agen-agen perubahan. Untuk itu dibutuhkan
keteladanan sikap perilaku yang baik. Setiap politikus Kristen harus berani mengatakan
“tidak” atas semua tawaran, bujukan, atau strategi-strategi yang dapat membuat jatuh pada
tindak korupsi, kolusi atau pun nepotisme; menjauhi segala bentuk premanisme dan
menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen.

Referensi:
Eddy Kristianto, (2001). Etika Politik dalam konteks Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Franz Magnis Suseno, (2014). Iman dan Hati Nurani. Jakarta: Obor.
Saut Hamonagan Sirait, (2001). Politik Kristen di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Zakaria J. Ngelow, dkk. (2013). Teologi Politik: Panggilan Gereja di bidang Politik Pasca Orde
Baru. Makassar: Oase Intim.

Modul. XIII
GEREJA DALAM KEHIDUPAN NEGARA HUKUM

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 13
Standar Kompetensi Memahami kontribusi gereja dalam kehidupan Negara hukum yang
demokratis dan menghormati Hak Azasi Manusia.
Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa menjelaskan pandangan Kristen mengenai hukum dan
HAM.
2. Mahasiswa menjabarkan tanggung jawab umat Kristen terhadap hukum,
ideologi, demokrasi dan HAM.

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan kontribusi gereja dalam kehidupan Negara hukum yang
demokratis dan menghormati HAM
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali tentang pandangan ajaran Kristen mengenai hukum,
ideologi dan HAM di Indonesia
Penutup (20 menit) Tanya jawab untuk menyimpulkan materi bahasan

A. Pendahuluan
Secara sosiologis, relasi antara Gereja dan Negara lebih dikontekstualisasikan ke dalam
relasi antara Gereja sebagai bagian dari Masyarakat dengan Negara sebagai entitas yang secara
institusional mempunyai wewenang dan legitimasi hukum untuk menerapkan berbagai kebijakan
yang secara kolektif mengikat seluruh anggota masyarakat demi kepentingan bersama.
Gereja sebagai bagian dari masyarakat secara sosiologis dapat ditinjau secara umum dari
89
dua aspek; pertama, sebagai komunitas kaum beriman, atau kedua, sebagai institusi keagamaan
yang terorganisasikan dengan baik dan memiliki legitimasi di kalangan para pengikut agama
yang bersangkutan .
Dalam melihat identitas sebagai umat Allah, dan juga bagian dari sebuah negara, gereja
cenderung dualistik. Ini memengaruhi seberapa besar kontribusi yang bisa diberikan gereja
kepada negara. Pemisahan antara apa yang disebut “rohani”, dan “sekuler” cukup menghambat
warga gereja untuk menemukan perannya dalam mengaktualkan kepedulian terhadap negara.
Gereja cenderung menjadi wilayah privat, dan menjauhkan diri dari dimensi sosial yang lebih
luas. Isu-isu kemasyarakatan tidak dilihat sebagai ranah kerja gereja karena dianggap tidak
berkaitan dengan kebutuhan spiritual manusia.
Gereja dan negara memiliki hubungan yang berbeda di sepanjang perjalanan sejarah
umat manusia. Hubungan tersebut terbina dengan adanya relasi antara pemerintah dalam negara
dengan pemerintahan dalam gereja. Hubungan yang bervariasi tersebut diwarnai oleh berbagai
peristiwa yang terjadi di dalam sejarah manusia. Ada kalanya ketika gereja dan negara benar-
benar terpisah. Akan tetapi dalam suatu masa sejarah tertentu, negara dan gereja menyatu.
Demikian juga ada masanya ketika gereja dikuasai sepenuhnya oleh negara dan sebaliknya ada
masa dalam sejarah perkembangan gereja ketika negara dikuasai oleh gereja.

B. Pengertian Negara
Dalam bahasa Ibrani negara dapat diartikan “am” yang berarti suatu kumpulan bangsa
atau ras dan jumlah penduduk yang tahkluk pada suatu pemerintah. Dalam Perjanjian Baru
bangsa disebut dengan “laos” atau “demos” yang artinya orang banyak.
Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia
bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dan mengakui adanya suatu pemerintahan
mengurus tata tertib serta keselamatan kelompok. Negara adalah suatu perserikatan yang
melaksanakan satu pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan
untuk memaksa ketertiban sosial. Masyarakat ini berada dalam suatu wilayah tertentu yang
membedakannya dari kondisi masyarakat lain dari luarnya.
Sedangan pengertian Negara Hukum menurut Aristoteles, adalah negara yang berdiri di
atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Peraturan
yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi
pergaulan antar warga negaranya. Maka menurutnya yang memerintah negara bukanlah manusia
melainkan "pikiran yang adil". Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Indonesia adalah Negara Hukum; dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum tertuang pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa "Negara Indonesia
adalah Negara Hukum" Dimasukkannya ketentuan ini ke dalam bagian Pasal UUD 1945
menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara
Indonesia adalah dan harus merupakan negara hukum. Sebelumnya, landasan negara hukum
Indonesia ditemukan dalam bagian
Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara sebagai Negara
Hukum, yaitu:
1. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat) tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (Machsstaat).
2. Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak
bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Sedangkan ciri-ciri suatu negara hukum dapat disebut Negara Hukum adalah sebagai
90
berikut:
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang
politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
3. Jaminan kepastian hukum, yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat
dilaksanakan, dan aman dalam melaksanakannya.

C. Pandangan Teologis Gereja Terhadap Negara


Berbicara mengenai negara dalam perspektif teologi Kristen selalu dikaitkan dengan
suatu bentuk pemerintahan di dunia yang memiliki kuasa (atau kuasa-kuasa: exousiae). Kuasa
apapun, dalam pandangan iman Alkitab, termasuk kuasa yang dimiliki oleh pemerintahan
duniawi adalah berasal dari Allah, yang adalah Pencipta dan Penguasa atas bangsa-bangsa serta
Tuhan atas sejarah dunia. Dengan demikian suatu negara atau pemerintah terbentuk, pertama-
tama, oleh karena ada kuasa yang diberikan dari atas, sebagaimana dikatakan oleh Yesus Kristus
kepada Pilatus, “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak
diberikan kepadamu dari atas” (Yoh. 19:11). Negara ada tidak semata-mata karena keinginan
manusia tetapi karena Allah menghendakinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul
Paulus:“... sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah
yang ada ditetapkan oleh Allah” (Rm. 13:1). Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa
setiap bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini selalu sesuai dengan kehendak Allah. Yang
ditekankan di sini adalah kuasa yang dimiliki oleh setiap bentuk apapun pemerintahan yang ada
di dunia ini semuanya berasal atau bersumber dari Allah.

Lebih lanjut, dasar pemahaman tentang hubungan Gereja dan Negara juga dilandasi atas
dasar pernyataan Yesus: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar
dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat. 22:21). Yesus
menganjurkan agar setiap orang taat kepada pemerintah sebagaimana ia taat kepada Allah.
Bahkan Yesus sendiri memberi teladan berdasarkan kehendakNya ketika ia turut serta membayar
pajak. Dalam hal ini, kepatuhan kepada pemerintah juga dianjurkan Paulus dalam Roma 13:1-7,
namun kepatuhan itu dipahami harus ditempatkan secara bersamaan dan berada di bawah
kepatuhan kepada Allah.
Secara teologis dapat dilihat bahwa Allah mengikutsertakan manusia untuk
mempertahankan keadilan-Nya, dimana negara diberi kuasa untuk melindungi hidup manusia
dan mencegah perbuatan jahat (Kej. 9:5-6). Dalam Mazmur 75 juga terlihat bahwa kekuasaan
dan kewibawaan pemerintah itu tidak diperoleh dengan sendirinya, tetapi diberikan dari atas
(oleh Allah).
Dengan demikian pemerintah harus bertanggungjawab kepada Allah yang memberikan
kekuasaan kepadanya. Sebagaimana Rasul Paulus mengatakan bahwa tidak ada pemerintah yang
tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah (bnd. Yoh.
19:11). Dengan demikian nampak jelas bahwa kekuasaan yang ada pada pemerintah pada
dasarnya adalah berasal dari Allah.
Kristus sebagai Kepala Gereja yang adalah tubuhNya sendiri, dipanggil untuk hidup,
melayani dan bersaksi di tengah-tengah masyarakat dunia ini (Yoh. 15:16). Gereja diberi mandat
oleh Kristus untuk menjadi terang dan garam (Mat. 5:13-14). Di dalam dunia Gereja hidup
menyatu dengan masyarakat dunia yang bersifat pluralistis. Gereja sebagai persekutuan orang
percaya, berada di tengah-tengah masyarakat, kebudayaan, politik, ekonomi dan sosial. Dalam
konteks ini Gereja berfungsi sebagai terang di tengah-tengah kegelapan (1 Ptr. 2:9).
Gereja dan negara adalah merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Allah. Dengan
demikian keduanya harus tunduk kepada Allah. Gereja dan negara menerima tugas dan
91
panggilan dari Allah, dan berfungsi di tengah-tengah pergaulan hidup manusia di dunia ini.
Menurut Karl Barth, Gereja dan negara sama-sama berlandaskan “Kerajaan Kristus”, dimana
negarapun diartikan sebagai bagian dari “tata anugerah”. Negara dan Gereja dilukiskan sebagai
dua lingkungan yang konsentris, dengan Injil adalah sebagai pusat satu-satunya.
Dari pengertian di atas nyatalah bahwa Gereja dan Negara diciptakan Allah untuk
memenuhi keinginanNya, dan keduanya harus tunduk kepada Allah dalam melaksanakan tugas
dan panggilannya masing-masing. Dalam rangka pemerintahan Allah akan dunia ini, maka
Gereja dan negara harus mempunyai rancangan demi kemuliaan Allah, dimana Gereja harus
mengatur kegiatan ritus keagamaan dan negara mengurus masalah politis. Gereja membawa
orang-orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan merubah manusia menjadi manusia
baru. Negara adalah merupakan lembaga yang acap kali dilanda problema untuk
mempertahankan identitas yang tidak pernah kekal.
Menurut Marthin Luther, negara tidak boleh mengurusi atau mencampuri wewenang
Gereja dalam hal spiritual dan juga struktur pengorganisasian. Oleh karena itu Gereja dan negara
merupakan dua identitas yang otonom yang masing-masing memiliki wilayan kewanangan
sendiri-sendiri. Demikian Marthin Luther memahami adanya dua Kerajaan, yaitu Kerajaan Allah
dan kerajaan dunia : Gereja dan Negara. Keduanya terpisah namun saling berhubungan.

D. Keberadaan Gereja dalam Negara


Keberadaan Gereja dalam sebuah Negara tentu harus punya misi. Misi merupakan suatu
tugas yang gereja tanggapi sebagai Amanat Agung atau perintah langsung dari Tuhan Yesus
sebelum Ia terangkat ke Surga (Mat 28:19-20) dalam rangka peranannya di dunia ini. Misi
adalah inisiatif dari Allah. Ia mengutus umatNya untuk memproklamasikan Injil secara jelas.
Misi bukanlah pilihan yang dapat dipertimbangkan tetapi misi adalah suatu perintah yang
harusdilaksanakan.
Tujuan dari misi yaitu memulihkan hubungan manusia dengan Allah, membawa orang
mengenal satu-satunya Allah yang benar, dan memuliakan Allah. Misi juga merupakan
rancangan damai sejahtera dari Allah untuk menyelamatkan dan menyatakan kerajaanNya di
dunia, yang harus dikerjakan oleh setiap orang percaya lewat pelayanan kepada sesama.
Hadirnya gereja di dalam dunia karena adanya tugas yang harus disampaikan kepada dunia.
Salah satu tugas gereja adalah untuk memberitakan kabar sukacita kepada dunia tentang karya
penyelamatan Allah kepada manusia.
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukaan segala sesuatu yang telah
kuperintahkan kepadamu…. (Matius28:19-20). Amanat Agung Yesus ini bukan merupakan
sebuah tantangan, melainkan suatu tanggungjawab yang harus dipikul, dan diperuntukkan bagi
semua orang percaya untuk pergi ke seluruh dunia dalam memberitakan Injil kepada segala
makhluk. Setiap orang percaya mengemban amanat untuk membaktikan diri dalam membuat
Injil menjadi perhatian seluruh umat manusia, ini merupakan tanggung jawab yang tidak dapat
diabaikan. Gereja adalah suatu komunitas dalam respon terhadap Missio Dei yang memberikan
kesaksian tentang kegiatan Allah di dunia melalui pemberitaan kabar baik mengenai Yesus
Kristus dalam ucapan dan tindakan.
Gereja barulah menjadi Gereja yang sesungguhnya apabila terlibat dalam pelaksanaan
misi Allah di tengah-tengah dunia. Gereja yang melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai
gereja Allah adalah salah satu bentuk gereja yang misioner. Keterlibatan Gereja dalam
kehidupan masyarakat yakni Negara, dalam rangka misi Allah sebagaimana dicita-citakan itu
ternyata tidak mudah. Misi gereja tidak hanya pada pelayanan pemberitaan Injil semata tetapi
lebih kepada bagaimana gereja menjawab tantangan dan kebutuhan manusia secara umum.
Sebagaimana program mesianis Yesus: "Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi
Aku, untuk menyampaikan kabar baik pada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku
92
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-
orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan
telah datang. " (Lukas 4:18). Misi tersebut menunjukkan bahwa tugas gereja memang luas,
bukan hanya pada pemberitaan Injil tetapi juga pelayanan terhadap kebutuhan manusia secara
umum. Tugas gereja bukan hanya seputar liturgy gereja atau lingkup orang Kristen saja, tetapi
jauh lebih luas, yaitu untuk masyarakat luas, dalam hal ini Negara gereja berada.

E. Hubungan Gereja dengan Negara


Dalam sejarah, gereja dan negara memiliki beberapa bentuk hubungan. Pada bagian ini
akan dibahas mengenai hubungan yang terjadi antara gereja dan negara. Banyak orang berpikir
bahwa gereja dan negara merupakan dua hal yang sangat berbeda. Sehingga mereka menyatakan
bahwa negara dan gereja tidak boleh memiliki keterikatan antara satu dengan yang lainnya. Di
samping itu ada orang yang memiliki pemahaman bahwa gereja dan negara harus saling
berhubungan.
Artinya gereja sebagai pembina rohani harus memiliki tanggung jawab penuh terhadap
negara. Negara harus berada di bawah pengawasan dan kontrol gereja. Pandangan lain
menyatakan bahwa negara harus berperan penuh dalam perkembangan yang terjadi di dalam
gereja. Artinya negara harus mengontrol gereja. Berbagai pandangan tersebut akan dibahas lebih
lanjut dalam bagian berikut.
1. Gereja terpisah dari Negara
Pada awal terbentuknya gereja (persekutuan orang percaya), gereja benar-benar
terpisah dari negara. Keterpisahan yang dimaksud adalah gereja tidak mengambil bagian
apa-apa di dalam struktur pemerintahan atau negara. Demikian juga dengan negara,
pemerintah tidak ikut andil dalam terbentuknya sebuah organisasi gereja, baik itu dalam
lembaga maupun secara kerohanian. Keduanya berjalan menurut aturan masing-masing.
Pluralisme merupakan salah satu penyebab negara tidak terlibat dalam gereja. Plural
dalam hal tersebut adalah keanekaragaman kepercayaan masyarakat yang ada dalam negara
tersebut. Beranekaragamnya kepercayaan tentu membuat negara tidak dapat memberikan
perhatian khusus kepada gereja, karena tindakan seperti itu akan dianggap sebuah
ketidakadilan yang dilakukan oleh negara.
Gereja terbentuk dalam kebudayaan helenis (Romawi). Terbentuknya gereja dalam
kebudayaan tersebut memberikan keterangan bahwa gereja terpisah dari negara.
Keterpisahan itu disebabkan oleh negara yang tidak menganut paham seperti gereja. Romawi
adalah negara yang masyarakatnya menyembah kepada banyak dewa (politheisme).
Sedangkan gereja mengajarkan untuk monotheis, yaitu menyembah hanya pada satu Tuhan
saja.
Sistem kekaisaran dalam negara Romawi membentuk sebuah kepercayaan bahwa
seorang kaisar adalah titisan dewa yang harus disembah. Kepercayaan seperti itu sangat
bertentangan dengan ajaran gereja. Berkhof dan Enklaar menyatakan, “Ibadat kepada kaisar
adalah salah satu pernyataan yang sangat penting dari hidup keagamaan pada permulaan
tarikh Masehi. Sebuah pandangan yang muncul dari dunia Timur, yakni bahwa kaisar
mempunyai kuasa mengatasi dunia kodrati (alamiah), bahkan ia berasal dari dunia ilahi”.
Selain kepercayaan dan keyakinan yang berbeda antara negara dan gereja pada masa
itu, hal lain yang menyebabkan keterpisahan gereja dan negara adalah “penganiayaan”.
Penindasan yang muncul dari ketakutan pemerintah akan kekristenan menarik banyak
masyarakat Roma. Kekristenan menyebabkan banyak warga Roma tidak lagi melakukan
penyembahan kepada salah satu dewa atau dewi Romawi. Hal tersebut tentu merusak sistem
negara yang telah terbentuk.
Berkhof dan Enklaar memberikan beberapa data mengenai penyebab “pertikaian”
atau penganiayaan terhadap gereja pada abad pertama. Mula-mula negara Romawi
93
menganggap kaum Kristen sebagai mazhab Yahudi, sehingga merekapun bebas melakukan
agamanya. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa agama itu terbentuk dari seorang yang
tersalib oleh pengadilan Romawi sendiri. Kemudian orang Kristen dianggap sangat
berbahaya bagi negara. Kebanyakan pengikutnya adalah orang Romawi dan Yunani. Mereka
tidak lagi ikut beribadat pada dewa-dewi. Semua dewa-dewi disangkal, mereka hanya
menyembah kepada satu Allah saja. Sehingga mereka disindir dengan julukan “orang-orang
yang tak berdewa”. Dengan berkembangnya kekristenan, maka persembahan di rumah
dewa/berhala menjadi berkurang…Pendeknya, kaum Kristen dibenci karena berlainan
dengan masyarakat umum. Adanya bencana alam diasosiasikan sebagai murka dewa-dewa
karena banyak orang yang tidak mempersembahkan korban.

2. Gereja menguasai Negara


         Keadaan yang terjadi setelah gereja mengalami penganiayaan yang sangat panjang
adalah “gereja menguasai negara”. Situasi yang telah lama mencekam gereja (orang percaya)
akhirnya berbalik. Dari penganiayaan negara (pemerintah) terhadap gereja berbalik menjadi
pengakuan yang dialami oleh gereja terhadap negara. Sejarah mencatat dari penganiayaan
gereja lambat laun berubah menjadi pengakuan yang absolut terhadap gereja atau kekristenan.
Pengakuan yang absolut tersebut terjadi ketika Constantine (Konstantin) memegang tampuk
pemerintahan. Mengenai sejarah diakuinya kekeristenan oleh negara di bawah pemerintahan
Konstantin, Rick Joyner menguraikan dalam buku “Warisan Constanine, Penyatuan Gereja
dan Negara”  sebagai berikut:
Pada tahun 313M, penganiayaan kekaisaran Romawi terhadap umat Kristen tiba-tiba
secara resmi dihentikan. Kemudian, tersebar berita bahwa kaisar Constantine sendiri
menyatakan diri sebagai orang Kristen. Untuk memahami perubahan yang radikal ini, kita harus
kembali ke tahun 306, ketika Constantine menjadi kaisar Romawi. Masa itu merupakan masa
perang saudara yang berkepanjangan, karena banyak pihak yang berusaha memperebutkan
takhta kekaisaran Romawi. Constantine merasa bahwa kampanyenya melawan Maxentius, salah
satu pesaingnya, akan mementukan siapa yang menjadi penguasa tunggal kekaisaran. Pasukan
kedua musuh ini bertemu di Jembatan Mulvian di atas Sungai Tiber dekat Roma.
Constantine mengetahui bahwa ia memerlukan pertolongan ilahi untuk memenangkan
peperangan ini. Kabar burung menyebutkan bahwa ia bersimpati kepada orang-orang Kristen
oleh karena istrinya, Fauta, telah memeluk agama Kristen. Constantine berdoa meminta
pertolongan, dan Allah memberikan penglihatan kepadanya tentang sebuah salib terang, yang
bertuliskan “in hoc signo vinces” (dengan tanda ini, engkau akan memperoleh kemenangan).
Constantine mengungkapkan bahwa ia juga bermimpi yang sama pada waktu malam. Dalam
mimpi tersebut “Sang Kristus Allah” menampakkan diri kepadanya dengan tanda yang sama
yang telah dilihatnya di dalam penglihatannya dan memerintahkan dia untuk membuat tanda
serupa dan memakainya sebagai perlindungan dalam segala pertempuran dengan musuh-
musuhnya. Keesokkan paginya, Constantine bangun dan menceritakan mimpinya itu kepada
kawan-kawannya. Kemudian, ia mengumpulkan tukang pahat dan menggambarkan tanda
tersebut kepada mereka supaya mereka dapat membuatnya di atas emas dan batu-batu berharga.
Pada tanggal 28 Oktober 312, Constantine memenangkan perang Jembatan Mulvian.
Setelah itu, ia secara resmi menjadi Kristen dan memerintahkan agar symbol nama
Juruselamatnya (tanda silang yang terdiri dari huruf Yahudi chi dan rho) menjadi lambang
tentaranya. Sebuah pemahaman tentang pertobatan dan pengaruh kaisar Constantine atas gereja
sangat penting bagi kita, agar kita memiliki pengertian yang lebih baik mengenai dunia saat ini.
Pengaruh-pengaruh ini masih memiliki berbagai akibat yang cukup besar baik dalam agama,
filsafat dan pemerintahan. 
Perkembangan kekristenan sangat pesat pada masa diakuinya gereja (Kristen) sebagai
agama negara. Pengaruh tersebut tentunya dapat dikategorikan sebagai hal yang positif terhadap
94
kekristenan. Namun, pengaruh positif selalu dibarengi dengan pengaruh negatif. Lambat laun
pengakuan tersebut memberikan kesempatan kepada gereja (secara khusus GKR = Gereja
Katolik Roma) untuk memupuk kekuasaan hingga menjadi kediktatoran terhadap negara. 
            Banyak ahli sejarah yang menyatakan bahwa keadaan pada masa itu adalah sejarah gelap
yang dilakukan oleh gereja. Di kemudian hari Gereja Katolik Roma memegang peranan yang
sangat besar terhadap sejarah kekristenan. Terutama pada saat Konstantine menetapkan kota
Konstantinopel sebagai kota Kristen (pusat kekristenan). Kota ini kemudian berkembang secara
otoritas hingga abad pertengahan. Pada abad pertengahan, Gereja Katolik Roma memegang
peranan penting terhadap berbagai keputusan yang dilakukan oleh gereja.
            Selama Abad Pertengahan di Eropa, Gereja Katolik Roma terus memegang kekuasaan,
dengan Paus sebagai pemegang kekuasaan atas semua jenjang kehidupan dan hidup seperti raja.
Korupsi dan ketamakan dalam kepemimpinan gereja adalah hal yang umum. Dari tahun 1095
sampai 1204 para Paus mendukung serangkaian perang salib yang berdarah dan mahal dalam
usaha untuk mengusir kaum kaum Muslimin dan membebaskan Yerusalem.
           Kekuasaan Paus terhadap berbagai segi kehidupan, menyebabkan gereja sangat
menentang setiap pengajaran yang tidak sesuai dengan konsensus. Pada masa kekuasaan
tersebut gereja menerapkan beberapa hal untuk meredam berbagai dogma yang menentang atau
menyimpang dari dogma gereja secara umum. Tindakan tersebut dikenal dengan istilah
“pengucilan” atau “inkuisisi”.
            Secara umum inkuisisi ditujukan kepada orang-orang atau perkumpulan yang menurut
Gereja Katolik Roma mengajarkan ajaran yang tidak sejalan dengan ajaran gereja. Inkuisisi
dilaksanakan dengan menghukum seperti menyalibkan, membakar, bahkan hukuman gantung.
Ini adalah tindakan yang umum pada abad pertengahan. Sekalipun pada masa kini gereja
menyadari kekeliruan tersebut, akan tetapi tindakan yang terjadi pada abad pertengahan itu
dianggap benar dan dapat diterima secara umu oleh orang Kristen. Penerimaan itu memang
tidak sepenuhnya diakui oleh semua orang. Terbukti dari munculnya kaum reformator di dalam
tubuh gereja. Penulis tidak akan membahas lebih jauh mengenai munculnya reformasi dalam
gereja katolik Roma.
           
3. Negara menguasai Gereja
         Negara menguasai gereja merupakan hubungan yang juga dialami oleh gereja. Keadaan
ini sebenarnya telah dimulai sejak pemerintahan Konstantin sekitar tahun 313 Masehi.
Konstantine telah memulai kekuasaan terhadap gereja. Memang pada masa Konstantine gereja
menerima keistimewaan untuk menjalankan berbagai macam ritual agamawinya. Akan tetapi
dengan kebebasan tersebut merupakan awal dari penetrasi penuh yang akan dilakukan oleh
Konstantine dan kaisar-kaisar lainnya kepada gereja.
        Kekuasaan negara terhadap gereja dapat dilihat dari berbagai peraturan dan hukum di
dalam negara yang sebenarnya memojokkan gereja. Gereja hanya bisa mengikuti semua yang
ditentukan oleh pemerintah. Ini adalah situasi sulit yang dihadapi oleh gereja. Pada masa ini
gereja memang tidak lagi mengalami penganiayaan seperti pada abad pertama, akan tetapi pada
dasarnya gereja tetapi dianiaya secara hukum. Gereja tidak mampu lagi menentukan kebijakan-
kebijakannya sendiri. Gereja harus patuh kepada peraturan pemerintah.
         Di beberapa negara seperti di Timur Tengah (negara Arab), Republik Rakyat China,
kekuasaan terhadap gereja sangat membabi buta. Tidak hanya penganiayaan yang dialami oleh
gereja (orang percaya), namun juga penolakan secara terang-terangan. Penolakan tersebut
memunculkan gereja bawah tanah. Orang-orang Kristen memilih untuk melakukan ibadah
secara underground.
         Dari berbagai hubungan yang terjadi antara gereja dan negara. Satu hal yang tidak pernah
dilepaskan oleh orang percaya adalah core believe yaitu “Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat, Ia adalah Allah yang menjadi manusia untuk menebus dosa manusia”.
95
Pemimpin gereja dan negara bisa menyimpang akan tetapi ada saja orang percaya yang tetap
berpegang teguh pada imannya.
Hubungan Gereja dan Negara yang dipaparkan diatas adalah sebuah historisnya
bagaimana terbentuk model hubungan tersebut. Menurut penelusuran, secara umum ada 4 model
hubungan Gereja dan Negara yang berlangsung, yaitu :
1. Terpisah dan bermusuhan
Artinya gereja diasingkan dengan negara, gereja tidak diakui keberadaannya oleh negara.
Contoh di negara-negara Eropa timur dan selatan.
2. Pemisahan Gereja dengan Negara.
Artinya negara tidak memihak, negara bersifat netral. Dalam hubungan seperti ini gereja
tidak menapat bantuan dari negara. Kendatipun demikian gereja dalam hubungan seperti ini
mendapat kebebasan penuh untuk mengembangkan diri, contoh di negara Prancis, dan AS.
3. Mapan
Dalam hubungan yang mapan gereja mendapat dukungan penuh dari negara. Contoh di
negara-negara Eropa Utara (Inggris, Swedia, Norwegia)
4. Semi Terpisah.
Yaitu Gereja menentukan dan mengurus dirinya sendiri secara terbatas. Para pemimpin
gereja berhak mendapat layanan publik contoh di Jerman.

F. Gereja dan Negara adalah Relasi


Dalam kehidupan berbangsa seperti di sebuah Negara demokrasi Indonesia ini, sikap
penerimaan dan ketaatan sebagaimana telah mendominasi sikap gereja di Perjanjian Baru oleh
karena pengaruh teologi Paulus dan Petrus perlu dimaknai dengan baru atau ditaruh dalam
konsep yang baru. Sikap penerimaan dan ketaatan yang cenderung menempatkan gereja dalam
posisi yang tidak kritis dalam relasinya dengan negara, semestinya diganti dengan sikap yang
partisipatif dan bertanggung jawab, sehingga gereja dapat menjalankan perannya dalam
memberikan suara kenabian. Dengan demikian gereja menjadi aktif dan kreatif untuk menjadi
garam dan terang bagi pemerintahan di mana ia berada. Sikap penerimaan dan ketaatan yang
tidak kritis menjadikan kehidupan gereja akan focus saja pada kegiatan internal yang dibatasi
oleh dinding-dinding gereja saja, dengan asumsi pemikiran bahwa gereja hanya tunduk dan
percaya saja bahwa negara sebagai hamba Allah.
Jika gereja mengaku percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan atas seluruh kosmos
maka tanda-tanda Kerajaan Surga seperti keadilan, kebenaran, dan kasih harus dinyatakan tidak
saja dalam lingkungan tembok gereja, tetapi juga harus dinyatakan di semua elemen kehidupan
yang ada. Maggay mengatakan, “The ecclesia visibilis is not just the church at worship but the
church in the market place, the church in the academe or the church in politics." Yesus Kristus
sebagai Kepala Gereja menjadi teladan utama bagi gereja dalam melakukan panggilannya dalam
berelasi dengan negara.
Dasar hubungan antara dua pihak adalah saling pengakuan sesuai kedudukan masing-
masing. Gereja mengakui otonomi setiap negara di bidang hidup kemasyarakatan demi
kesejahteraan rakyat seluruhnya. Otonomi itu pada hakikatnya bersumber pada rakyat, yang
berhak dan bertanggung jawab dan karena itu wajib menata dan mengatur peri hidupnya sendiri
sebagai perorangan maupun masyarakat. Otonomi itu berarti, bahwa negara – seperti nilai-nilai
dunia lainnya – mempunyai arti, diselenggarakan serta berkembang menurut hukum-hukumnya
sendiri, yang tidak dapat disamakan dengan kaidah-kaidah keagamaan.
Dalam negara Pancasila, agama-agama dan negara mempunyai fungsi serta menunaikan
peranannya masing-masing. Keduanya menjalankan fungsi itu dalam perspektif tujuan mereka
masing-masing dan dari sudut pandangan yang berbeda-beda. Perbedaan tugas dalam situasi
konkret akan semakin jelas, sementara Gereja dan negara hidup bersama dan bekerja sama
dengan erat. Karena negara maupun Gereja ada demi kepentingan masyarakat yang sama, maka
96
harus hidup dalam suasana kerja sama. Pembangunan manusia seutuhnya harus merupakan pusat
perhatian negara maupun Gereja. Namun pembangunan ini dikerjakan dalam perspektif dan
dimensi yang berbeda, yaitu: negara memperhatikannya terutama dari segi kesejahteraan di
dunia ini pada tingkat nasional, sedangkan Gereja terutama memperhatikan kebahagiaan
manusia yang bertemu dan bersatu dengan Tuhannya dalam umat-Nya di dunia ini dan akhirnya
secara langsung di akhirat.

Referensi:
Djohan Effendi, (2013). Pluralisme dan Kebebasan Beragama, Yogyakarta: Institute
Ekklesiologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
John A.Titaley, (2013). Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama. Salatiga:
Satya Wacana University Press,
Widi Artanto, (2010). Menjadi Gereja yang Misioner, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Modul. XIV
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB MAHASISWA
BAGI BANGSA DAN NEGARA

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen


Pertemuan Ke : 14
Standar Kompetensi Memahami peran dan tanggung jawabnya bagi bangsa dan negara
Kompetensi Dasar Mahasiswa mendefenisikan arti peran dan tanggung jawabnya bagi
bangsa dan negara yang pluralis

Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskanperan dan tanggung jawabnya bagi bangsa dan negara
Penyajian (90 menit) Mahasiswa mendefenisikan dan menjelaskan arti peran dan tanggung
jawabnya bagi bangsa dan negara yang pluralis
Penutup (20 menit) Memberikan kesimpulan materi bahasan

A. Pendahuluan
Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa yang diyakini mampu bersaing dan
mengharumkan nama bangsa, juga mampu menyatukan serta menyampaikan pikiran dan hati
nurani untuk memajukan bangsa. Mahasiswa juga dianggap sebagai kaum intelektual atau kaum
cendekiawan oleh masyarakat. Gabungan antara kesadaran akan amanah dari rakyat untuk
97
Indonesia yang lebih baik dan kesempatan menjadi kaum intelektual-lah yang bisa menjadi
kekuatan hebat untuk menjadikan Indonesia hebat. Selain itu mahasiswa adalah aset yang sangat
berharga. Harapan tinggi suatu bangsa terhadap mahasiswa adalah menjadi generasi penerus
yang memiliki loyalitas tinggi terhadap kemajuan bangsa, terutama dalam dunia pendidikan.
Bukan zamannya lagi mahasiswa untuk sekedar menjadi pelaku pasif atau menjadi
penonton dari perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi tetapi mahasiswa harus mewarnai
perubahan tersebut dengan warna masyarakat yang akan dituju dari perubahan tersebut yaitu
masyarakat yang adil dan makmur. Mahasiswa harus menjadi agen pemberdayaan setelah
perubahan yang berperan dalam pembangunan fisik dan non fisik sebuah bangsa yang kemudian
ditunjang dengan fungsi mahasiswa selanjutnya yaitu social control, kontrol budaya, kontrol
masyarakat, dan kontrol individu sehingga menutup celah-celah adanya ketimpangan.
Mahasiswa bukan sebagai pengamat dalam peran ini, namun mahasiswa juga dituntut sebagai
pelaku dalam masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa merupakan bagian
masyarakat. Idealnya, mahasiswa menjadi panutan dalam masyarakat, berlandaskan dengan
pengetahuannya, dengan tingkat pendidikannya, norma-norma yang berlaku disekitarnya, dan
pola berpikirnya.
Sebagai seorang terpelajar dan bagian masyarakat, maka mahasiswa memiliki peran yang
kompleks dan menyeluruh sehingga dikelompokkan dalam tiga fungsi yaitu agent of change,
social control and iron stock. Dengan fungsi tersebut, tentu saja tidak dapat dipungkiri
bagaimana peran besar yang diemban mahasiswa untuk mewujudkan perubahan bangsa. Ide dan
pemikiran cerdas seorang mahasiswa mampu merubah paradigma yang berkembang dalam suatu
kelompok dan menjadikannya terarah sesuai kepentingan bersama. Dan satu hal yang menjadi
kebanggaan mahasiswa adalah semangat membara untuk melakukan sebuah perubahan.
Mahasiswa sebagai calon pemimpin dan pembina pada masa depan ditantang untuk
memperlihatkan kemampuan untuk memerankan peran itu. Mahasiswa sebagai iron stock berarti
mahasiswa seorang calon pemimpin bangsa masa depan, menggantikan generasi yang telah ada
dan melanjutkan tongkat estafet pembangunan dan perubahan. Untuk menjadi iron stock tidak
cukup mahasiswa hanya memupuk diri dengan ilmu spesifik saja, perlu adanya soft skill lain
yang harus dimiliki mahasiswa seperti kepemimpinan, kemampuan memposisiskan diri, interaksi
lintas generasi dan sensitivitas yang tinggi. Maka komplekslah peran mahasiswa itu sebagai
pembelajar sekaligus pemberdaya yang ditopang dalam tiga peran: agent of change, social
control, dan iron stock. Hingga suatu saat nanti, mahasiswa memang benar-benar mampu
memberikan kontribusi yang jelas kepada masyarakat serta mampu membangun kemajuan dan
kemakmuran bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Kontribusi mahasiswa kepada bangsa pun banyak sekali bentuknya. Prestasi akademik
dan non-akademik akan lebih bermakna bagi masyarakat Indonesia. Seperti prestasi di ajang
internasional yang membanggakan bangsa, atau juga peran-peran lain yang langsung berefek
pada perbaikan masyarakat. Hanya perlu mengarahkan mahasiswa saja untuk menyalurkan
kepedulian mereka dalam jalur yang benar. Maka kemudian kita akan menyaksikan bahwa
bangsa ini melangkah nyata menuju puncak kejayaannya, dengan mahasiswa sebagai
penggeraknya.

B. Mahasiswa adalah Generasi Muda


Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami perkembangan
dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga pemuda merupakan
sumber daya manusia pembangunan baik saat ini maupun masa datang. Sebagai calon generasi
penerus yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Secara internasional, WHO menyebut
sebagai” young people” dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut
”adolescenea” atau remaja. International Youth Year yang diselenggarakan tahun 1985,
mendefinisikan penduduk berusia 15-24 tahun sebagai kelompok pemuda. Pemuda adalah
98
individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki
pengendalian emosi yang stabil. Pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural.
Dalam kosakata bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan sebutan generasi muda
dan kaum muda. Seringkali terminologi pemuda, generasi muda, atau kaum muda memiliki
definisi beragam. Definisi tentang pemuda di atas lebih pada definisi teknis berdasarkan kategori
usia sedangkan definisi lainnya lebih fleksibel. Dimana pemuda/generasi muda/kaum muda
adalah mereka yang memiliki semangat pembaharu dan progresif.
Kata Mahasiswa diambil dari suku kata pembentuknya. Mahasiswa atau pelajar yang
paling tinggi levelnya. Sebagai seorang pelajar tertinggi, tentu mahasiswa sudah terpelajar, sebab
mereka tinggal menyempurnakan pembelajarannya hingga menjadi manusia terpelajar yang
paripurna. Seorang mahasiswa diharapkan mampu memahami suatu konsep, dapat memetakan
permasalahan dan memilih solusi terbaik untuk permasalahan tersebut sesuai pemahaman
mendalam konsep yang telah dipelajari. Mahasiswa diharapkan mampu merumuskan sesuatu
yang berguna atau bernilai lebih untuk bidangnya, serta mampu menyumbang ilmu baru bagi
bidangnya.
Seorang Mahasiswa secara konsisten diperlihatkan oleh mahasiswa itu sendiri, yaitu
dalam menghadapi permasalahan, seorang mahasiswa harus melakukan analisa terhadap masalah
itu. Mencari bahan pendukung untuk lebih memahami permasalahan tersebut. Kemudian
memunculkan alternatif solusi dan memilih satu solusi dengan pertimbangan yang matang. Dan
pada akhirnya harus mampu mempresentasikan solusi yang dipilih ke orang lain untuk
mempertanggung jawabkan pemilihan solusi tersbut.
Dalam mengembangkan perannya, kaum muda Indonesia perlu mengasah kemampuan
reflektif dan kebiasaan bertindak efektif. Perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya
agenda refleksi (reflection) dan aksi (action) secara sekaligus. Daya refleksi kita bangun
berdasarkan bacaan baik dalam arti fisik melalui buku, bacaan virtual melalui dukungan
teknologi informasi maupun bacaan kehidupan melalui pergaulan dan pengalaman di tengah
masyarakat. Makin luas dan mendalam sumber-sumber bacaan dan daya serap informasi yang
kita terima, makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang berhasil kita asah. Karena itu,
faktor pendidikan dan pembelajaran menjadi sangat penting untuk ditekuni oleh setiap anak
bangsa, terutama anak-anak muda masa kini.
Di samping kemampuan reflektif, kaum muda Indonesia juga perlu melatih diri dengan
kebiasaan untuk bertindak, mempunyai agenda aksi, dan benar-benar bekerja dalam arti yang
nyata. Kemajuan bangsa kita tidak hanya tergantung kepada wacana, ‘public discourse’, tetapi
juga agenda aksi yang nyata. Jangan hanya bersikap “NATO”, “Never Action, Talking Only”
seperti kebiasaan banyak kaum intelektual dan politikus amatir negara miskin. Kaum muda masa
kini perlu membiasakan diri untuk lebih banyak bekerja dan bertindak secara efektif daripada
hanya berwacana tanpa implementasi yang nyata.
Hal lain yang juga perlu dikembangkan menjadi kebiasaan di kalangan kaum muda kita
ialah kemampuan untuk bekerja teknis, detil atau rinci. “The devil is in the detail”, bukan
semata-mata dalam tataran konseptual yang bersifat umum dan sangat abstrak. Dalam suasana
sistim demokrasi yang membuka luas ruang kebebasan dewasa ini, gairah politik di kalangan
kaum muda sangat bergejolak. Namun, dalam wacana perpolitikan, biasanya berkembang luas
kebiasaan untuk berpikir dalam konsep-konsep yang sangat umum dan abstrak. Pidato-pidato,
ceramah-ceramah, perdebatan-perdebatan di ruang-ruang publik biasanya diisi oleh berbagai
wacana yang sangat umum, abtrask dan serba enak didengar dan indah dipandang. Akan tetapi,
semua konsep-konsep yang bersifat umum dan abstrak itu baru bermakna dalam arti yang
sebenarnya, jika ia dioperasionalkan dalam bentuk-bentuk kegiatan yang rinci.
Kaum muda Indonesia, untuk berperan produktif di masa depan, hendaklah melengkapi
diri dengan kemampuan yang bersifat teknis dan mendeteil agar dapat menjamin benar-benar
terjadinya perbaikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita ke depan. Bayangkan, jika semua
99
anak muda kita terjebak dalam politik dan hanya pandai berwacana, tetapi tidak mampu
merealisasikan ide-ide yang baik karena ketiadaan kemampuan teknis, keterampilan manajerial
untuk merealisasikannya, sungguh tidak akan ada perbaikan dalam kehidupan kebangsaan kita
ke depan.

C. Mahasiswa: “Agent Of Change”


Pemuda dan mahasiswa sama-sama diindentikkan dengan “agent of change”. Kata-kata
perubahan selalunya menempel dengan erat sekali sebagai identitas para mahasiswa yang juga
dikenal sebagai kaum intelektualitas muda. Dari mahasiswalah ditumpukan besarnya harapan,
harapan untuk perubahan dan pembaharuan dalam berbagai bidang yang ada di negeri ini.
Tugasnyalah melaksanakan dan merealisasikan perubahan positif, sehingga kemajuan di dalam
sebuah negeri bisa tercapai dengan membanggakan.
Peran sentral perjuanganya sebagai kaum intelektualitas muda memberi secercah sinar
harapan untuk bisa memperbaiki dan memberi perubahan-perubahan positif di negeri ini. Tidak
dipungkiri, bahwa perubahan memang tidak bisa dipisahkan dan telah menjadi sinkronisasi yang
mendarah daging dari tubuh dan jiwa para mahasiswa. Dari mahasiswa dan pemudalah selaku
pewaris peradaban munculnya berbagai gerakan-gerakan perubahan positif yang luar biasa
dalam lembar sejarah kemajuan sebuah bangsa dan negara. Sejarah telah menorehkan dengan
tinta emas, bahwa pemuda khususnya mahasiswa selalu berperan dalam perubahan di negeri
kita, berbagai peristiwa besar di dunia selalu identik dengan peran mahasiswa didalamnya.
Berawal dari gerakan organisasi mahasiswa Indonesia di tahun 1908, Boedi Oetomo.
Gerakan yang telah menetapkan tujuannya yaitu “kemajuan yang selaras buat negeri dan
bangsa” ini telah lahir dan mampu memberikan warna perubahan yang luar biasa positif terhadap
perkembangan gerakan kemahasiswaan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Gerakan
kemahasiswaan lainnya pun terbentuk, Mohammad Hatta mempelopori terbentuknya organisasi
kemahasiwaan yang beranggotakan mahasiswa-mahasiswa yang sedang belajar di Belanda yaitu
Indische Vereeninging (yang selanjutnya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia). Kelahiran
organisasi tersebut membuka lembaran sejarah baru kaum terpelajar dan mahasiswa di garda
depan sebuah bangsa dengan misi utamanya “menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak
kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan”.
Gerakan mahasiswa tidak berhenti sampai disitu, gerakannya berkembang semakin
subur, angkatan 1928 yang dimotori oleh beberapa tokoh mahasiswa diantaranya Soetomo
(Indonesische Studie-club), Soekarno (Algemeene Studie-club), hingga terbentuknya juga
Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang merupakan prototipe organisasi telah
menghimpun seluruh gerakan mahasiswa ditahun 1928, gerakan mahasiswa angkatan 1928
memunculkan sebuah idieologi dan semangat persatuan dan kesatuan diseluruh pelosok
Indonesia untuk meneriakkan dengan lantang dan menyimpannya didalam jiwa seluruh
komponen bangsa, kami putra putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu yaitu tumpah
darah Indonesia, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa satu yaitu
bahasa Indonesia dan hingga kini kita kenal sebagai sumpah pemuda.
Sejarah panjang gerakan mahasiswa merupakan salah satu bukti, kontribusinya,
eksistensinya, dan peran serta tanggungjawabnya mahasiswa dalam memberikan perubahan dan
memperjuangkan kepentingan rakyat. Peran mahasiswa terhadap bangsa dan negeri ini bukan
hanya duduk di depan meja dan dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga
mempunyai berbagai perannya dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa Indonesia, peran
tersebut adalah sebagai generasi penerus yang melanjutkan dan menyampaikan nilai-nilai
kebaikan pada suatu kaum, sebagai generasi pengganti yang menggantikan kaum yang sudah
rusak moral dan perilakunya, dan juga sebagai generasi pembaharu yang memperbaiki dan
memperbaharui kerusakan dan penyimpangan negatif yang ada pada suatu kaum.
Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri didalam dada mahasiswa Indonesia
100
baik yang ada didalam negeri maupun mahasiswa yang sedang belajar diluar negeri. Apabila
peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah pegangan bagi seluruh mahasiswa Indonesia, “roh
perubahan” itu tetap akan bisa terus bersemayam dalam diri seluruh mahasiswa Indonesia.
Gerakan perjuangan Mahasiswa Indonesia tidak boleh berhenti sampai kapan pun,
gerakan perjuangan mahasiswa saat ini tidak hanya dengan bergerak bersama-sama untuk
berdemonstrasi dan berorasi dijalan-jalan saja, akan tetapi wahai para “agent of change”,
cobalah untuk bertindak bijak dengan intelektualisme, idealisme, dan keberanian mu untuk bisa
senantiasa menanamkan ruh perubahan yang ada dalam dirimu untuk bisa memberi kebaikan dan
berperan besar serta bertanggung jawab untuk memberikan kemajuan bangsa dan Negara
Indonesia, sehingga seperti Hasan al Banna katakan “goreskanlah catatan membanggakan bagi
umat manusia”.

D. Mahasiswa Pelopor Sejarah Bangsa


Mahasiswa telah terbukti selalu menjadi pelopor dalam sejarah suatu Bangsa. Pada
konteks Indonesia, pengalaman empirik juga membenarkan sekaligus mempertegas realitas
tersebut. Catatan sejarah memperlihatkan bahwa dengan kemahirannya dalam menjalankan
fungsi sebagai Intellectual Organic, mahasiswa telah berhasil menumbangkan rezim Orde Baru
dan menghantarkan Indonesia kedalam suatu era yang saat ini sedang bergulir, yakni: “Orde
Reformasi“.
Namun pada sisi yang lain, fakta juga membuktikan bahwa sampai dengan saat ini,
mahasiswa Indonesia belum mampu untuk mendongkel antek-antek Orde Baru dari jajaran elite
kekuasaan. Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa kehadiran mereka di situ untuk
menutupi segala kebobrokan kolektif yang telah mereka lakukan di masa lalu.
Dengan kenyataan yang demikian, maka tidaklah mengherankan apabila proses reformasi
masih tersendat-sendat dan belum dapat berjalan secara linear. Menurut Sebastian de Grazia
(1966 : 72-74), kondisi seperti ini secara cepat atau lambat, otomatis akan menimbulkan suatu
situasi anomie yang kuat di dalam kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara, yang
pada akhirnya akan berdampak buruk bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Bertolak dari argumen di atas, maka mahasiswa dituntut/diharapkan dapat terjun ke arena
politik dalam rangka mengawal seluruh agenda reformasi, demi terwujudnya masyarakat
Indonesia yang adil di dalam kemakmuran dan makmur di dalam keadilan secara demokratis.
Akan tetapi, yang menjadi persoalannya adalah bagaimanakah seharusnya mahasiswa
berpolitik….??? dan aksi politik yang bagaimanakah yang harus dilakukan oleh mahasiswa….?
Sebelum menjawab kedua pertanyaan di atas, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa
istilah politik dalam tulisan ini dipahami sesuai dengan konsep berpikirnya Antonio Gramsci,
sehingga di sini politik didefinisikan sebagai aktivitas pokok manusia dimana manusia dapat
mengembangkan kapasitas dan potensi dirinya. (Roger Simon, 1999 : 136).
Jika definisi di atas diejawantahkan dalam bentuk aksi, maka mahasiswa dapat berpolitik dalam
dua pengertian, yakni :
Pertama, berpolitik dalam arti konsep (Concept). Disini mahasiswa secara individual maupun
kelompok, harus mengajukan gagasan, pikiran, solusi atau interpretasi mengenai apa yang
menjadi kehendak dari mayoritas rakyat.
Kedua, berpolitik dalam arti kebijakan (Belied). Di sini mahasiswa sebagai kelompok harus
menjadi Pressure Groups yang memperjuangkan aspirasi rakyat, dengan cara
mempengaruhi orang-orang yang memegang kebijakan ataupun yang menjalankan
kekuasaan, dari luar sistem kekuasaan.

Apabila mahasiswa berpolitik dalam artian yang pertama, maka mahasiswa dituntut
untuk benar-benar memahami cara berpikir ilmiah, yaitu teratur dan sistematik. Sedangkan
apabila mahasiswa berpolitik dalam arti kebijakan (Belied), maka mahasiswa harus betul-betul
101
mengetahui posisi individu dalam kehidupan ber-Negara, posisi konstitusi dalam kehidupan ber-
Negara, posisi Negara dalam menjalin relasi dengan warganya, konstelasi politik terkini dan
menguasai manajemen aksi. Pada tataran ideal, mahasiswa seharusnya berpolitik dalam arti
konsep (Concept) maupun dalam arti kebijakan (Belied) secara bersamaan. Ini berarti,
mahasiswa harus berpolitik sebagai politisi ekstra perlementer.

E. Peranan Mahasiswa dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


Apa yang terlintas dibenak kita ketika kita mendengar kata ”mahasiswa”, mungkin tidak
hanya satu jawaban yang akan terucap dari banyak orang dengan beranekaragam latar belakang
pendidikan. Mahasiswa merupakan sebuah status yang disandang seseorang ketika ia menjalani
pendidikan formal pada sebuah perguruan tinggi. Seseorang dapat dikatakan sebagai seorang
mahasiswa apabila ia tercatat sebagai mahasiswa secara administrasi sebuah perguruan tinggi
yang tentunya mengikuti kegiatan belajar dan mengajar serta kegiatan lainnya. Status ini menjadi
mutlak apabila kita berbicara dalam konteks pendidikan formal. Ternyata dibalik statusnya itu,
masih banyak sekali peranan seorang yang menyandang status mahasiswa untuk menunjukkan
peranannya pada kehidupan masyarakat terlebih lagi pada tingkat kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sejarah membuktikan bagaimana kekuatan mahasiswa dalam pergantian rezim yang
diktator menuju perubahan kearah lebih baik, sebagai contoh gerakan mahasiswa bersama
komponen bangsa lainnya yang ketika itu masyarakat, parpol dan ABRI dalam menyuarakan
TriTura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang berhasil menggantikan rezim kekuasaan saat itu yang
dinilai cenderung terlalu berpihak pada haluan kiri. Kemudian bagaimana peristiwa Malari
(Petaka Lima Belas Januari) yang dimotori oleh Hariman Siregar yang notabene sebagai
mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, dan masih membekas diingatkan kita ketika
kekuatan mahasiswa untuk menggulingkan rezim orde baru yang otoriter yang telah berkuasa
selama 32 tahun. Itu merupakan bukti nyata dimana mahasiswa menunjukkan peranannya
dikancah perpolitikan nasional yang tentunya untuk menciptakan keselarasan menuju
masyarakat yang makmur sentosa, meskipun sampai sekarang buah tangan dari perjuangan
mahasiswa tersebut masih jauh panggang dari api. Sehinnga dapat disimpulkan bahwa kekuatan
mahasiswa dalam kancah perpolitikan nasional menjadi patut diperhitungkan sebagai gerakan
yang murni membela kepentingan rakyat semata.
Sekarang mari kita perhatikan aktivitas mahasiswa zaman sekarang, seorang tokoh politik
pernah mengutarakan intensitas dan kualitas dari gerakan kemahasiswaan cenderung mengalami
penurunan seiring datangnya era globalisasi ke negeri kita tercinta ini, kebanyakan dari
mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang kurang jelas
manfaatnya, forum-forum diskusi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kenegaraan tidak
pernah dijejali oleh mahasiswa sebaliknya tempat-tempat hiburan malah disesaki para
mahasiswa. Mencari hiburan tidak melarang tentunya sebatas itu tidak melanggar nilai-nilai
keimanan, karena sebagai manusia tentunya kita juga butuh yang namanya hiburan. Tetapi hal
itu juga harus disaring dengan kekuatan iman kita.
Kembali kepada kualitas gerakan kemahsiswaan masa sekarang yang cenderung
menurun, maka sadar atupun tidak itu merupakan efek dari masuknya era globalisasi ke
Indonesia tanpa diharmonisasi dengan manajemen waktu dan diri yang baik. Untuk membangun
citra mahasiswa sebagai agen pembaharu ataupun kaum intelektual yang mana dipundaknya ada
masa depan bangsa ini yang akan dilabuhkan dimana, maka kita harus memupuk rasa
persaudaraan dan senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita. Selain itu tentunya
kita perlu membangun konsep intelektual dalam gerakan yang sinergi dan terarah menuju
masyarakat yang adil dan makmur. Sehingga kedepan mahasiswa tidak hanya dikenal lewat
aktivitasnya ketika menjalani perkuliahan saja, tetapi sebagai elemen bangsa yang peka terhadap
kondisi permasalahan disekitarnya.
102
F. Peranan dan Fungsi Mahasiswa dalam Era Reformasi
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa.
Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi
di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi
pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis, yaitu :
 Sebagai penyampai kebenaran (agent of social control)
 Sebagai agen perubahan (agent of change)
 Sebagai generasi penerus masa depan (iron stock)

Mahasiswa dituntut untuk berperan lebih, tidak hanya bertanggung jawab sebagai kaum
akademis, tetapi diluar itu wajib memikirkan dan mengembang tujuan bangsa. Dalam hal ini
keterpaduan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas sangat diperlukan demi berjalannya peran
mahasiswa dalam dunia kampusnya untuk dapat menciptakan sebuah kondisi kehidupan kampus
yang harmonis serta juga kehidupan diluar kampus.
Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan :
1. Secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan.
2. Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap tertanam dalam jiwa
setiap mahasiswa.
3. Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah
berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan.
Dengan begitu, mahasiswa tetap menebarkan bau harum keadilan sosial dan solidaritas
kerakyatan. Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan
mahasiswa dalam kehidupan politik.
1. Sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa
mempunyai horison yang luas diantara masyarakat.
2. Sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di
universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara
angkatan muda.
3. Kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di
universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin
dalam kegiatan kampus sehari-hari.
4. Mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan,
struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di
dalam kalangan angkatan muda.

Pada saat generasi yang memmipin bangsa ini sudah mulai berguguran pada saat itulah
kita yang akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa ini. Namun apabila hari ini
ternyata kita tidak berusaha mambangun diri kita sendiri apakah mungkin kita kan membangun
bangsa ini suatu saat nanti?
Kemampuan yang harus dimiliki seorang mahasiswa
1. Soft skill (Kemampuan Kepribadian)
a. Soft Skill atau kemampuan kepribadian adalah salah satu faktor untuk sukses pada
pendidikan yang ditempuh dan juga penentu untuk masa depan seseorang dalam menjalani
hidupnya.
b. Karena soft skill hampir 80 % menentukan keberhasilan seseorang.
c. Kemampuan soft skill yang perlu dimiliki seorang mahasiswa
d. Manajemen waktu
e. Kepemimpinan (leadership)
103
f. Tingkat kepercayaan yang tinggi (self confidence)
g. Selera humor yang tinggi (sense of humor)
h. Memiliki keyakinan dalam agama (spiritual capital)
2. Hard Skill (Kemampuan Intelektual)
Kemampuan intelektual hanya mendukung 20 % dari pencapaian prestasi dan keberhasilan
seseorangJika kemampuan soft skill ini kita punyai, maka kita akan menjadi orang yang baik
di masa depan, sebab saat ini yang terjadi banyak orang yang penting tapi sedikit yang baik.

Referensi:
Lubis Chairudin (2004) Implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi Negeri. Sumatra Utara: e-
USU Respository.
Puariesthaufani (2011). Mahasiswa, Jakarta: Bina Aksara
Syaiful Arifin (2014) Mahasiswa dan Organisasi. Jakarta: Grafindo Persada.
Taufik Abdullah (1993) Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Press

104

Anda mungkin juga menyukai