I
AGAMA DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan pengertian Agama secara umum dan kerukunan umat
beragama
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menanggapi, berdiskusi serta memberikan contoh penerapan
kerukunan umat beragama di sekitarnya.
Penutup (20 menit) Memberikan rangkuman pembelajaran.
A. Pendahuluan
Di Indonesia terdapat lima agama besar yang diakui oleh negara yaitu Agama Islam,
Kristen, Hindu, Budha dan Konghuchu. Namun sebagian besar masyarakat Indonesia memeluk
agama Islam. Agama merupakan sekumpulan aturan yang dianut oleh pemeluknya agar
kehidupannya bisa berjalan dengan tertib. Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu
berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat aturan-aturan tertentu. Secara umum norma-
norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan
keyakinan atau agama yang dianutnya. Agama secara mendasar dapat didefinisikan sebagai
seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur
hubungan manusia dengan sesama manusia, serta mengatur hubungan manusia dengan
lingkungannya.
Agama merupakan suatu sistem sosial yang oleh penganutnya digunakan atau dipercaya
mempunyai tujuan untuk melindungi para penganutnya. Penganutnya menggunakan agama
sebagai sandaran ketika terjadi hal-hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannaya,
karena sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang
non-empiris. Masalah non-empiris yaitu masalah yang biasanya berkaitan dengan hal-hal supra-
natural atau yang tidak bisa dinalar dan dideskripsikan oleh akal manusia, oleh karena itu peran
agama di sini adalah sebagai petunjuk ketika seorang manusia tidak mampu lagi menyelesaikan
masalah dengan akal mereka. Manusia akan kembali bersandar pada Yang Esa.
Agama merupakan suatu lembaga yang terbentuk akibat adanya interaksi terpola secara
kultural dengan wujud di atas manusia yang di asumsikan juga secara kultural dalam kehidupan
manusia; dengan kata lain bahwa agama merupakan hasil dari budaya. Melalui budaya, muncul
ide “Homo Religius” yang artinya manusia yang memiliki kecerdasan dan pikiran untuk
menanggapi bahwa ada kekuatan lain yang maha besar diatas kekuatan dirinya (Spiro, 1969
dalam Jalaludin, 2002). Berangkat dari ketakutan manusia akan kekuatan tersebut, manusia
akhirnya memilih untuk menyembahnya sehingga lahirlah dari macam-macam kepercayaan
menjadi agama (Kluckhohn, 1953 dan Toynbee dalam Brouwer, 1986). Manusia keterkaitannya
dengan agama sangat lazim ditemukan. Terdapat banyak agama yang tersebar dan dianut oleh
masyarakat dunia.
1
B. Pengertian Agama
Fenomena agama merupakan fenomena yang tak bisa dijelaskan secara tuntas dengan
kategori ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun begitu, Arnold Toynbee, seorang ahli
sejarah ternama, mengatakan bahwa:
“in religion the whole of human being personality is involved: the emotional and moral
facets of the human psyche above all, but the intellectual facet as well. And the concern
extends to the whole of Man’s World; it is not limited to that part of which is accessible to
the human senses and which can therefore be studied scientifically and can be manipulated
by technology (John Goley, 1968).
Jadi menurut Toynbee, dalam agama, keseluruhan kepribadian manusia terlibat antara lain: segi-
segi emosional, segimoral dan kejiwaan, dan segi intelektual juga. Keprihatinan agama
mencakup keseluruhan “dunia manusia”; tidak hanya dibatasi pada bagian yang bisa diakses
oleh indra manusia yang pada gilirannya dapat dipelajari secara ilmiah tetapi juga yang dapat
dimanipulasi oleh teknologi.
Jika ditelusuri, ada begitu banyak definisi/pengertian agama dari yang sifatnya sangat
positif sampai ke yang sifatnya sangat negatif. Begitu bervariasinya definisi agama karena,
antara lain, ada yang memasukkan agama-agama yang sangat sederhana atau primitif, seperti
dalam bentuk animisme/dinamisme, sampai ke agama-agama yang lebih rumit dan kompleks,
seperti dalam agama-agama yang monoteisme ke dalam definisi mereka. Berikut beberapa
definisi yang diberikan oleh berbagai kamus antara lain seperti berikut;
Penguin Dictionary of Religion (1970) mendefinisikan agama sebagai suatu istilah umum yang
dipakai untuk menggambarkan semua konsep tentang kepercayaan kepada ilah (ilah-ilah)
dan keberadaan spiritual yang lain atau keprihatinan ultima yang transendental.
Britanica Concise Encyclopedia (online, 2006) mendefinisikan agama sebagai hubungan
manusia kepada Allah atau ilah-ilah, atau apa saja yang dianggap sakral, atau dalam
beberapa kasus hal-hal yang supernatural.
Encyclopedia Britanica (online, 2006) mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia dengan
apa yang dianggap sebagai suci, sakral, spiritual atau ilahi.
Pemahaman mengenai agama secara umum, dapat dilakukam dengan pendekatan definisi
agama secara substantif dan fungsional. Kedua pendekatan tersebut seagai berikut :
Pendekatan definisi substantif adalah definisi yang melihat apa substansi agama.
Tyler mendefinisikan agama sebagai “kepercayaan kepada keberadaan spiritual.” Ini
menunjukkan substansi agama sebagai kepercayaan kepada yang hal spiritual/rohaniah. Ia
mengatakan bahwa agama sebagai suatu kepercayaan kepada yang tak terlihat, dengan
perasaan takut, kagum, hormat, rasa syukur, dan kasih, demikian pun institusinya seperti doa,
ibadah, dan pengorbanan.
Pendekaan definisi fungsional, menekankan pada fungsi agama, atau apa yang dilakukan
agama. Sebagaimana dikemukakan Ward dan Cooley berikut. Ward (1898) berpendapat
bahwa agama adalah suatu substitusi dalam dunia yang rasional terhadap insting pada dunia
yang subrasional. Cooley (1909:372) juga mendefinisikan agama sebagai suatu kebutuhan
bagi hakikat manusia, untuk menjadikan hidup kelihatan lebih rasional dan baik.
Keluhuran masing-masing ajaran agama yang menjadi panutan dari setiap orang. Lebih
dari itu, setiap agama adalah pedoman hidup umat manusia yang bersumber dari ajaran Tuhan.
Dalam terminologi yang digunakan oleh pemerintah secara resmi, konsep kerukunan hidup antar
umat beragama ada tiga kerukunan, yang disebut dengan istilah “Trilogi Kerukunan” yaitu:
1. Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama.
Yaitu kerukunan di antara aliran-aliran/paham mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat
atau komunitas agama.
2. Kerukunan diantara umat/ komunitas agama berbeda-beda.
Yaitu kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang berbeda yaitu di antara
pemeluk Islam dengan pemeluk Kristen Protestan, katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu.
3. Kerukunan antar umat/ komunitas agama dengan pemerintah.
Yaitu supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk atau pejabat
agama dengan para pejabat pemerintah dengan saling memahami dan menghargai tugas
masing-masing dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang
beragama.
Dengan demikian kerukunan merupakan jalan hidup manusia yang memiliki bagian-bagian dan
tujuan tertentu yang harus dijaga bersama-sama, saling tolong menolong, toleransi, tidak saling
bermusuhan, saling menjaga satu sama lain.
Namun ketika kontak-kontak antar-agama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka
muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap
negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas
kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa
lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain
agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama
lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu
sama lain.
2. Kepentingan Politik
Faktor Politik terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mencapai tujuan
sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling
penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun
5
dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan
dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan
politik yang ikut memengaruhi hubungan antar-agama dan bahkan memporak-porandakannya
seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang
kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis
melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air
mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang menjadi korban kekacauan tersebut. Tanpa
politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah
negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan
memanfaatkannya.
3. Sikap Fanatisme
Di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat
dikategorikan sebagai agama radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang
menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya
diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa
agama tertentu adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan
menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk agama tertentu. Segala perbuatan orang-
orang diluar ajaran agama tersebut, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diakui dan tidak
diterima oleh Allah sendiri.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte
atau aliran dalam agama tertentu memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri.
Setiap agama tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin saja, tetapi ada banyak
aliran dan ada banyak pemimpin agama sesuai sekte/aliran masing-masing agama yang antara
satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang
bertentangan.
Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok
Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang
percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan
bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan
dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-
pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang
berlebihan.
6
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara
tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena
itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah
yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional”
dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya,
sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah
model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai
bandingan dari “sejarah politik” (political history). Penerapan sejarah sosial dalam
perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat
mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang
politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang
pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co- existence) di
antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama
lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi,
revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang
perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup
eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh
kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika
Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,”
telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Indonesia, dalam
batas tertentu, mungkin juga dapat mengalami kecenderungan yang sama. Sebagian besar
perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik,
bersifat damai.
Dalam waktu-waktu tertentu ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial
yang cepat, yang memunculkan krisis pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat
intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa
kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat
saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau
bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi
juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui
dialog-dialog antar-agama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia
maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai
tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian
dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
2) Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka,
saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap
pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam
menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Paling tidak ada tiga hal yang dapat
membuat kita bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga
dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di
dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan
Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah
didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung,
hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham
keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan
7
lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang
memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan
kerukunan antar penganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya
perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan
pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih
erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita
dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin
agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak
terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali
prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan
bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih
mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut,
tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka
dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu
atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa
masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik.
Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah
tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk
mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai
instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut
agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi
selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk
dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih
sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
4) Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala
dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para pemuka agama,
tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian
solusi yang baik dan tidak merugikan pihak – pihak manapun, atau mungkin malah
menguntungkan semua pihak. Hal ini diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya
sangat beraneka ragam.
Referensi:
A. A. Yewangoe. (2015). Agama dan Kerukunan. Gunung Mulia.
Depag RI. (1997), Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta:
Badan Penelitian dan pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat
Beragama di Indonesia.
Saidurrahman, dan Airifinsyah, (2018), Nalar Kerukunan Merawat Keragaman Bangsa
Mengawal NKRI, Jakarta: Kencana.
Sairin Weinata, (2006), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Bangsa, Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
9
Modul. II
WAHYU ALLAH DAN ALKITAB
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan pengertian Wahyu Allah dan terjadinya Alkitab
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menelusuri proses terjadinya Alkitab dan pelaku-pelaku
utamanya, serta menguraikan sifat dan nilai kewibawaan Alkitab
Penutup (20 menit) Menyimpulkan tentang bahasan tokoh-tokoh dalam proses Alkitab dan
sistem pengkanonan
A. Pendahuluan
Sekarang ini, banyak orang-orang Kristen yang menjalankan ibadahnya dengan hanya
datang ke gereja saja. Bahkan ada beberapa orang yang menganggap agama Kristen itu hanya
sebagai “pelengkap” dalam hal lain dia tidak mau disebut orang-orang disekitarnya tidak
beragama, atau yang sering disebut atheis. Padahal hal seperti itu (datang ke gereja saja) tidak
cukup untuk mengerti kehendak-Nya.
Sebagai seorang Kristen sejati (bukan Kristen palsuan dan hanya datang ke gereja saja)
yang paling utama adalah harus percaya dan mengenal diri Tuhan kita, Tuhan Yesus Kristus
dengan memahami firman-Nya yang tercantum dalam Alkitab. Firman-Nya “Akulah jalan dan
kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui
Aku” inilah yang seharusnya menjadikan kita mengenal Dia lebih dekat lagi.
Alkitab adalah wahyu Allah yang berisikan Firman Allah yang memiliki kekuasaan
tertinggi dalam kehidupan orang-orang Kristen di dunia. Selain itu, ada pula “sesuatu” yang
membantu kita memahami isi dari Alkitab. “Sesuatu” itu adalah Roh Kudus yang merupakan
Roh dari Allah yang bekerja dalam kehidupan orang Kristen, sehingga orang Kristen dapat
membaca dan mendengar serta memahami isi Alkitab selaku Firman Allah. Seperti kata
Pemazmur “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” itulah yang menjadi
dasar dan pedoman bagi perbuatan dan kehidupan orang beriman. Oleh karena itu, orang Kristen
(secara pribadi maupun bersama) harus membaca, mendengar dan merenungkan Alkitab siang
dan malam agar mengerti maksud dari Tuhan Yesus Kristus.
Sebagai orang Kristen untuk menghadapi situasi yang sulit harus mendekatkan diri
kepada Tuhan agar iman kita lebih kokoh. Selain itu, kita juga harus rajin membaca firman-Nya
karena Firman Tuhan sama dengan perkataan yang memiliki kuasa untuk menyelesaikan segala
persoalan. Dalam kitab hukum Taurat tertulis ” Sebab perkataan ini bukanlah perkataan hampa
10
bagimu, tetapi itulah hidupmu, dan dengan perkataan ini akan lanjut umurmu di tanah, ke mana
kamu pergi, menyeberangi sungai Yordan untuk mendudukinya.” Inilah yang seharusnya
menjadi pondasi bagi kita untuk lebih bertekun dalam Firman-Nya.
D. Peng-Kanon-an Alkitab
Kata “kanon” yang sebenarnya berarti : penggaris, tali pengukur; arti kiasan : ukuran,
norma. Kemudiannya kata itu dipakai juga untuk daftar Kitab-kitab yang bersama-sama
merupakan Alkitab : isi Kitab-kitab itulah yang diakui oleh Gereja sebagai ukuran dan norma
bagi iman serta kehidupan Kristen.
Mengapa kumpulan 66 kitab itu yang boleh disebut “kanon” Alkitab? Bagi kanon perjanjian
baru acap sekali dikemukakan dua kriteria. Suatu kitab dianggap kanonis: 1. Kalau
“menyaksikan” Kristus (Luthter: “was christum treibet”) dan 2. Kalau merupakan kesaksian
“asli”, yaitu yang berasal dari para rasul atau pada zaman mereka. Tetapi kedua kriteria itu
belum menjawab semua permasalahan. Belum jelas mengapa kitab-kitab seperti I Clemens,
surat-surat Igantus dan buku Didakhe tidak dimuat juga.
Oleh karena itu pembentukan kanon harus kita anggap sebagai keputusan iman gereja.
Dengan mengambil keputusan tentang kanon, gereja menangani apa yang Ortodoksi disebut
testimonium spiritus sancti internum, yaitu: Alkitab sendiri yang menyahkan dirinya sebagai
firman Allah didalam hati orang-orang percaya.
Pembentukan kanon dalam tahap pertama adalah keputusan iman gereja abad ke-2. Tetapi
juga gereja pada masa kini percaya akan kanon sebagai firman Allah dengan tanggung jawabnya
sendiri dan buka dengan tanggung jawab Gereja purba. Sebab gereja pada masa kini sama seperti
gereja purba percaya kepada keputusan kanon oleh Allah Roh Kudus, sehingga dia tetap
menghadapi masalah tentang luasnya kanon itu . Dia tidak luput dari pertanyaan, apakah dia mau
percaya akan kanon yang sudah ada atau mau menentukan batas kanon secara baru.
Referensi:
Alkitab (2013) Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Erickson, J Millard. (1999).Teologi Kristen Vol 1. Malang: Gandum Mas.
Harun (2007), Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Indra (2010), Teologi Sistematis, Bandung: LLB
Doson, James C. (2005). Ketika TUHAN Tidak Dapat Dimengerti. Jakarta
17
Modul. III
DOGMATIKA: ALLAH TRI TUNGGAL
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan dan menguraikan tentang Konsep Tritunggal dalam
pengakuan iman Kristen
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menjabarkan contoh keberadaan Trintunggal sebagai pribadi
Kristus dalam hidupnya
Penutup (20 menit) Menyimpulkan pemahaman tentang Tritunggal
A. Pendahuluan
Untuk memahami dan mengenali pribadi Allah sendiri tidaklah mudah bagi kita semua.
Allah itu Agung dan Maha Besar, kita tak dapat memahaminya secara langsung. Dan juga kita
mengenal akan konsep Allah Tritunggal di kekristenan. Konsep ini terkesan kompleks dan sukar
untuk dipahami. Namun mungkin ada cara mudah untuk memahami konsep ini sendiri.
Konsep dan Istilah Tritunggal itu sendiri, memang tidak disebutkan di dalam Alkitab.
Namun kita janganlah berkecil hati, karena para Bapa Gereja pastilah telah memikirkan secara
matang akan konsep ini. Maka kita akan mebahas juga konsep Tritunggal dari pandangan
Alkitabiah, walaupun konsep tersebut tidaklah ada di dalam Alkitab.
Konsep Allah Tritunggal sendiri telah menjadi fondasi utama dalam ajaran kekristenan.
Konsep ini sendiri muncul dan diakui di Konsili Nicea I dan tetap bertahan ajarannya hingga
sekarang. Konsep ini telah melalui perjalanan panjang dan banyak kesalah pahaman dan
pertentangan akan konsep ini. Maka kami akan membahas topik ini untuk memberikan
penjelasan akan apa konsep Tritunggal itu, walaupun kita tahu bahwasanya konsep ini sulit
untuk dipahami secara langsung.
B. Pengertian Dogmatika
Istilah “dogma” berasal dari kata Yunani dan Latin, yang berarti “hal yang dipegang
18
sebagai suatu opini” atau bisa juga menunjuk pada “suatu doktrin atau badan dari doktrin-doktrin
teologi dan agama yang secara formal dinyatakan dan diproklamasikan sebagai suatu yang
berotoritas oleh gereja.”
Dogmatika berasal dari dasar kata ‘dogma’. Menurut Hendrikus Berkhof dalam bukunya
“introduction to the study of dogmatics” menguraikan bahwa setiap kata yang diakhiri dengan
‘ics’ (dogmatics) mengarah kepada penjelasan kata sebelumnya yaitu dogma. Lanjutnya ‘ics’
menunjuk kepada sebuah kegiatan ilmiah. Karenanya dengan sederhana ia menyimpulkan
dogmatika sebagai studi ilmiah tentang dogma.
Dalam kamus Yunani-Belanda sebagaimana yang dikutip Jongeneel, kata dogma berarti
pendapat, asaz, keputusan, perintah, atau hukuman. Bahkan kata ini juga dipakai dalam artian
sebagai peraturan. Dengan mengacu pada kata dogma yang sering dipakai dalam Perjanjian
Baru, dogma mempunyai arti sebagai berikut: ketetapan, perintah dari Kaisar atau raja (Lukas
2:1; Kis.17:7; Ibrani 11:23); perintah hukum, ketentuan hukum, yang berasal dari Musa (Efesus
2:15; Kolose 2:14) dan keputusan Kristen (Kisah 16:4). Sedangkan menurut Herman Bavinck
sebagaimana yang dikutip Yewangoe menguraikan bahwa dogma berasal dari kata Yunani, yaitu
dokein, yang mengacu pada apa yang ditetapkan, yang diputuskan, dan karena itu pasti.
Pemakaian istilah dogma mengajarkan kepada kita bahwa terdapat berbagai perintah,
keputusan, kebenaran, dalil, aturan kehidupan yang bisa diacu. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Lukas (dalam Kis.16:4) dimana para rasul (Paulus dan Silas) selalu menyampaikan dogma
yang berupa keputusan-keputusan yang diambil oleh para Rasul dan para Penatua di Jerusalem
dengan pesan supaya jemaat menurutinya. Keputusan itu menyangkut baik “ajaran Kristen”
maupun “kehidupan Kristen”. Menurut Yawangoe istilah dogma mengandung empat makna,
diantaranya;
Pertama, secara umum terkandung di dalamnya pengertian bahwa ada sesuatu yang pasti
dan yang berada di atas;
Kedua, dogma mengandung di dalamnya unsur sosial. Dogma berwatak menentukan maka
dengan sendirinya ia akan diakui dalam suatu lingkungan tertentu. Pengertian dogma
mengasumsikan bahwa kekuasaan (baca: kewibawaan) yang menghasilkan mesti juga
mampu untuk mengakui dan mempertahankannya;
Ketiga, istilah ini mengajarkan kita bahwa senantiasa ada dua unsur yang terkait satu sama
lain, yaitu kewibawaan Allah dan pengakuan iman gereja. Olehnya tugas ahli dogmatika
adalah menjamin bagaimana kedua unsur ini dikaitkan satu sama lain; dan
Keempat, dogma juga berarti luas sekali. Ia kadang-kadang mengacu pada seluruh ajaran
dan akta agama Kristen, termasuk di dalamnya upacara-upacara dan ritus-ritus. Dogma juga
tidak saja mengacu pada ajaran-ajaran tetapi juga pada kebenaran etis.
Bagaimana dengan dogmatika? Dogmatika pada mulanya adalah sebuah ajektif guna
melukiskan pengertian utama teologi. R. Soedarmo dalam bukunya “Ikhtisar Dogmatika”
mengartikan dogmatika sebagai ilmu teologi yang menyelidiki dan merumuskan hal-hal yang
dinyatakan dalam Kitab Suci dan yang mencari kesatuan dari hal-hal tersebut. Bahkan lebih jauh
Gerald O’collins mengartikan dogmatika sebagai pengujian dan penampilan secara koheren dan
sistematis semua ajaran Kristen yang meliputi Trinitas, Inkarnasi, Penebusan, dosa, anugerah,
gereja, sakramen, eskatologis dan seterusnya. Semuanya harus dilakukan dalam terang iman.
Olehnya dogmatika harus dikerjakan oleh orang percaya.
Aspek lain yang penting juga adalah dogmatika dilihat sebagai bersifat gerejawi. Hal ini
terlihat jelas dalam karya Karl Barth “Kirchliche dogmatik” (dogmatika gerejawi). Dengan
demikian dogmatika haruslah merefleksikan iman jemaat. Namun tidak berarti dogmatika
menolak upaya-upaya penyelidikan, penelitian, pertanyaan-pertanyaan dan pemikiran kritis,
maupun konstruktif. Dogmatika justru mendorong ke arah itu.
19
C. Allah Tritunggal
Istilah ini pertama kali digunakan dalam istilah bahasa Latin, Trinitas oleh
Tertulianus dan dalam istilah bahasa Yunani, Trias oleh Teofilus dari Antiokhia.
Istilah Tritunggal ini bukanlah istilah yang berasal dari Alkitab tetapi konsep
tentang Allah yang Esa dengan kejamakannya terungkap dengan jelas di
dalamnya. Istilah ini merupakan istilah yang diadopsi dari apa yang telah
disediakan oleh lingkungan keilmuan Filsafat. Penggunaan istilah Tritunggal
merupakan suatu bentuk ringkas untuk menjelaskan tentang fakta Alkitab bahwa Allah yang
disembah adalah Allah Tritunggal dan hanyalah sebagai usaha untuk menjelaskan kepenuhan
Allah, baik dalam hal keesaan-Nya maupun dalam hal kejamakan-Nya.
20
D. Konsep Allah Tritunggal dalam Alkitab
1. Konsep Allah Tritunggal dalam Perjanjian Lama (PL)
Dalam perjanjian lama, muncul istilah Elohim ( Kejadian 1:26; 3:22; 11:7 ). Kata Elohim
diambil dari bahasa Ibrani. Elohim menunjukkan sebuah bentuk jamak dari El. Menurut
Stephen Tong dalam bukunya berjudul Allah Tritunggal, menyebutkan bahwa sebutan
yang dipakai untuk Allah (Elohim) tidak memakai bentuk tunggal (singular) ataupun
bentuk ganda (dual), melainkan dalam bentuk jamak (plural) dan kata kerja yang
mengikutinya selalu memakai kata kerja untuk bentuk tunggal. Lalu dalam Ulangan 6 : 4
“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!’ menunjukkan
bahwa Allah adalah satu yang memiliki tiga pribadi.
21
2. Anak adalah Allah.
Iman kepada keilahian Kristus merupakan hal yang sangat penting dan
mendasar bagi kekristenan. Meskipun doktrin keilahian Kristus sangat krusial
tetapi dari abad ke abad gereja terus diperhadapkan pada orang-orang yang mengaku dirinya
Kristen tetapi menyangkali dan menyelewengkan ajaran ini. Alkitab memberikan kesaksian
yang jelas bahwa Yesus Kristus adalah Allah sebagaimana dinyatakan dengan jelas dalam
Filipi 2:5-11. Kenapa ayat ini penting ? karena Paulus seorang Yahudi ortodoks penganut
monoteisme yang ketat menuliskan frasa, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan”
merupakan hal yang sungguh-sungguh mengherankan. Dalam ayat 6 menunjukkan dengan
jelas sekali bahwa kesetaraan dengan Allah itu sudah dimiliki Yesus sebelumnya. Dan oknum
yang setara dengan Allah pastilah Allah. Penelusuran yang cermat untuk menemukan bukti-
bukti Alkitab tentang Kristus maka akan terlihat bahwa Paulus kerap menyebut Allah (Theos)
sebagai Bapa Yesus Kristus, dan menyebut Kristus sebagai Anak Allah (Huios Theou) tetapi
dalam Titus 2:13 ia mememakai sebuah sebutan yang susah dimengerti karena ia menyebut
Yesus sebagai Theos: Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita, Kristus Yesus.
Selanjutnya “dalam dua belas dari tiga belas surat Paulus (kecuali Titus),” tulis J. Konx
Chamblin, “Yesus Kristus disebut sebagai Tuhan (Kyrios)”dan konsep ini mendominasi ide
teologi Paulus. Perlu dipahami juga bahwa sesekali Paulus mengunakan sebuatan Kyrios
(Tuhan) bagi Allah Bapa.
Ketika istilah Theos dan Kyrios digunakan, maka istilah Theos merujuk perbedaan
pribadi antara Yesus dan Bapa, sedangkan Kyrios merujuk keserupaan keduanya dalam
keberadaan dan karakter. Bagian penting selanjutnya yang membuktikan ke-Allahan Krsitus
adalah Ibrani 1. Dalam pasal ini menggunakan istilah bahwa Allah yang disebut sebagai Bapa
dari Dia yang disebut sang Anak (ay 5), dan khususnya ayat 8 (yang dikutip dari Mazmur
45:7) dimana Allah menyapa sang Anak sebagai “Allah” dan dalam ayat 10 sebagai “Tuhan”
(dikutip dari mazmur 102:26). Hal ini menunjukkan bahwa penulis Ibrani yang berbicara
kepada orang Kristen Ibrani yang memegang monoteisme, menjelaskan dengan memakai cara
yang meneguhkan keilahan Yesus dan kesetaraan-Nya dengan Bapa.
Pertimbangan terakhir tentang keilahian Kristus adalah kesadaran diri Yesus sendiri.
Yesus memang tidak pernah secara blak-blakan mengatakan, “Akulah Tuhan” tetapi Ia benar-
benar menyadari bahya diri-Nya adalah Allah. Contohnya, Ia mengampuni dosa yang hanya
bisa dilakukan Allah (Markus 2:8-10); ia berkuasa untuk menghakimi dunia (Matius 25:31)
dan memerintah dunia (Matius 24:30; Markus 14:62). Yesus juga berbicara tentang diri-Nya
sebagai raja dalam kerajaan Allah yang sesekali disebut kerajaan-Nya (Matius 13:41; 16:28;
20:21; Lukas 23:42; Yohanes 18:33-38) dan jika para pemimpin agama lain meniadakan diri,
Ia menunjukkan diri-Nya. Mereka berbicara tentang pendapat mereka tentang suatu jalan
kebenaran tetapi Yesus menyatakan, “Akulah kebenaran: Ikutlah Aku”. Dan Pengakuan diri-
Nya sebagai anak Allah bukan saja dalam arti Juruselamat, tetapi juga untuk menyatakan
bahwa antara Ia dan Allah terdapat hubungan kekal dan unik sebagimana terbukti dalam
Lukas 2:49; Yohanes 5:17, 23, 8:19; 14:7, 23; 15:23; 19:7; Markus 9:37.
22
b) Pernyataan bahwa Roh Kudus juga menerima kehormatan dan kemuliaan
yang diperuntukkan bagi Allah (1 Korintus 3:16-17). Dan
c) Pernyataan bahwa Roh Kudus adalah setara dengan Allah (Mat 28:19), rumusan baptisan
(2 Kor 13;13), Doa Berkat Paulus (1 Petrus 1:2). Alkitab juga menunjukkan kepada kita
berbagai bukti yang menjelaskan bahwa ke-Allahan Roh Kudus dengan fakta-fakta yang
jelas. Ia disebut Allah (Kis 5:3-4) dan memiliki sifat - sifat Allah: Mahatahu (1 Kor
2:10), Mahahadir (Mazmur 139:7-10; 1 Korintus 6:19), Mahakuasa (Luk 1:35), Pemberi
hidup (Roma 8:2), Kekal (Ibrani 9:14).
23
4) Pribadi-Pribadi dalam Tritunggal dibedakan dari satu dengan yang lainnya dalam berbagai
ayat. Dalam Perjanjian Lama, “TUHAN” berbeda dari “Tuhan” (Kejadian 19:24; Hosea
1:4). TUHAN memiliki “Anak” (Mazmur 2:7; 12; Amsal 30:2-4). Roh Kudus
dibedakandari “TUHAN” (Bilangan 27:18) dan dari “Allah” (Mazmur 51:12-14). Allah
Anak dibedakan dari Allah Bapa (Mazmur 45:7-8; Ibrani 1:8-9). Dalam Perjanjian Baru,
Yohanes 14:16-17, Yesus berbicara kepada Bapa tentang mengutus Sang Penolong, yaitu
Roh Kudus. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus tidak memandang diriNya sebagai Bapa
atau Roh Kudus. Perhatikan pula saat-saat lain dalam kitab-kitab Injil ketika Yesus
berbicara kepada Bapa. Apakah Dia berbicara kepada diri sendiri? Tidak. Dia berbicara
kepada Pribadi lainnya
dalam Tritunggal, - Sang Bapa.
5) Setiap Pribadi dalam Tritunggal adalah Allah. Bapa adalah Allah: Yohanes 6:27; Roma 1:7;
1 Petrus 1:2. Anak adalah Allah: Yohanes 1:1, 14; Roma 9:5; Kolose 2:9; Ibrani 1:8;
Yohanes 5:20. Roh Kudus adalah Allah: Kisah Rasul 5:3-4; 1 Korintus 3:16 (Yang
mendiami adalah Roh Kudus – Roma 8:9; Yohanes 14:16-17; Kisah ParaRasul 2:1-4).
6) Subordinasi dalam Tritunggal: Alkitab memperlihatkan bahwa Roh Kudus tunduk
(subordinasi) kepada Bapa dan Anak, dan Anak tunduk (subordinasi) kepada Bapa. Ini
adalah relasi internal dan tidak mengurangi atau membatalkan keillahian dari setiap Pribadi
dalam Tritunggal. Ini mungkin adalah bagian dari Allah yang tidak terbatas yang tidak
dapat dimengerti oleh pikiran kita yang terbatas. Mengenai Anak, lihat Lukas 22:42;
Yohanes 5:36; Yohanes 20:21;1 Yohanes 4:14. Mengenai Roh Kudus lihat Yohanes 14:16;
14:26; 15:26; 16:7, dan khususnya Yoha 16:13-14.
7) Pekerjaan dari setiap Pribadi dalam Tritunggal: Bapa adalah Sumber utama atau Penyebab
utama dari a) alam semesta (1 Korintus 8:6; Yohanes 1:3; Kolose 1:16-17); b) pewahyuan
illahi (Yohanes 1:1; Matius 11:27; Yohanes 16:12-15; Wahyu 1:1); c) keselamatan
(Yohanes 3:16-17); dan d) pekerjaan Yesus sebagai manusia (Yohanes 5:17; 14:10). Bapa
MEMULAI semua ini.
8) Anak adalah agen yang melaluiNya Bapa melakukan karya-karya sbb:
1) penciptaan dan memelihara alam semesta (1 Korintus 8:6; Yohanes 1:3; Kolose 1:16-17);
2) pewahyuan illahi (Yohanes 1:1; Matius 11:27; Yohanes 16:12-15; Wahyu 1:1); 3)
keselamatan (2 Korintus 5:19; Matius 1:21; Yohanes 4:42). Bapa melakukan semua ini
melalui Anak yang berfungsi sebagai Agen Allah.
9) Roh Kudus adalah alat yang dipakai Bapa untuk melakukan karya-karya berikut ini: 1)
penciptaan dan memelihara alam semesta (Kejadian 1:2; Ayub 26:13; Mazmur 104:30); 2)
pewahyuan illahi (Yohanes 16:12-15; Efesus 3:5; 2 Petrus 1:21); dan 3) keselamatan
(Yohanes 3:6; Titus 3:5; 1 Petrus 1:2); dan pekerjaan-pekerjaan Yesus (Yesaya 61:1; Kisah
Rasul 10:38). Bapa melakukan semua ini dengan kuasa Roh Kudus.
Referensi:
Robert Letham, (2011). Allah Trinitas, Surabaya: Momentum.
H. Hadi wijono, (1995). Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
End, Van Den, (1997). Harta dalam Bejana. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
G. C. Van Niftrik, dan Boland, B. J. (1994) Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Ezra Alfred Soru, (2002). Tritunggal Yang Kudus, Bandung: Lembaga Literatur Baptis.
24
Modul. IV
MANUSIA DAN DOSA
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan tujuan penciptaan sekaligus keberdosaan manusia
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali tentang penciptaan manusia, kejatuhan dalam dosa,
serta bagaimana penebusan Allah akan ciptaanNya
Penutup (20 menit) Mengajukan tanya jawab sebagai evaluasi tentang manusia dan
keberdosaannya
A. Pendahuluan
Pemahaman tentang manusia, sejak dari dahulu kala telah ada pandangan
dengan jawaban yang bermacam-macam, tetapi sebagai orang Kristen kita mempunyai jawaban
yang pasti tentang manusia dengan pandangan Alkitab dimana manusia yang diciptakan dalam
gambar dan rupa Allah, semakin mendorong kita untuk mensyukuri kejadian kita sebagai
manusia, yang diciptakan sungguh amat baik. Kita adalah ciptaan-Nya yang teristimewa dan
termulia karena serupa dengan gambar Allah, yang memiliki banyak kelebihan yang tidak
dimiliki oleh ciptaan lain, bahkan kita di berikan mandat oleh Tuhan untuk mengelola,
mengembangkan semua ciptaan Tuhan yang ada di dunia ini, yang harus kita lakukan sebagai
manusia ciptaan Tuhan.
Menurut gambar dan rupa Allah (imago dei) adalah hakikat penciptaan yang
25
sesunggunya. Dari awal penciptaan dirancang oleh Allah, dijadikan sesuai dengan apa yang
Allah inginkan. Hanya dengan berfirman maka apa yang ingin Allah ciptakan jadi sesuai dengan
apa yang sudah Allah firmankan. Dan saat menciptakan manusia adalah satu proses yang sangat
unik dan berbeda dari ciptaan lainnya. Dimana manusia diciptakan tidak hanya dengan firman
akan tetapi Allah sendiri yang berkarya, membentuk ciptaan itu sesuai dengan apa yang Allah
inginkan ( Kej 1:26 ). Manusia berusaha untuk memahami sudut pandang Allah dalam segala
aspek dari maksud dan tujuan Allah dalam kehidupan manusia. Dan semua hal yang dilakukan
oleh manusia memiliki sumber yaitu Allah. Apapun yang sedang dilakukan manusia semuanya
merupakan pertanggungjawaban kepada Allah.
Dari proses penciptaan manusia sangat jelas bahwa Allah memiliki rencana yang besar
bagi manusia sebagai pengeolola dan penguasa atas semua ciptaan yang ada. Allah memberi
kepercayaan yang penuh kepada manusia untuk menjadi penguasa atas seluruh ciptaan yang ada.
Gambar dan rupa Allah di dalam diri manusia membedakan manusia dari ciptaan yang lain.
Namun dosa telah merusak semua kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Allah kepada
manusia. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan manusia sehingga manusia menjadi
berdosa. Manusia melanggar apa yang Allah perintahkan dengan kehendak bebas yang diberikan
Allah kepada manusia. Manusia kehilangan kemuliaan Allah dengan satu pelanggaran yang
menjadikan hubungan Allah dengan manusia menjadi renggang.
B. Hakikat Manusia
Manusia adalah ciptaan Allah yang ditempatkan dalam di tengah ciptaan lain sebagai
pelayan pekerjaan Allah. Manusia diciptakan dalam gambar Allah dengan pengetahuan,
kebenaran dan kekudusan. Sebagai gambar Allah manusia memiliki kehendak bebas yang
memiliki kemampuan bebas untuk taat atau tidak pada hukum Allah. Manusia terdiri dari jiwa
dan raga. Jiwa adalah suatu wujud yang abadi, tetapi yang diciptakan juga sebagai bagian
manusia paling luhur. Meskipun manusia dalam rupa lahiriah mencerminkan kemuliaan Allah,
tetapi gambar Allah sebenarnya terdapat dalam jiwa.
Allah membuat hubungan Perjanjian dengan manusia. Allah menjanjikan berkat dan
rahmat-Nya sedangkan manusia harus menguasai alam dengan menyadari statusnya sebagai
ciptaan di bawah kuasa kedaulatan Allah. Namun manusia melanggar perjanjian ini dengan
memberontak terhadap kekuasaan Allah. Dalam cobaan Iblis manusia menempatkan dirinya di
luar kekuasaan Allah dan menyembah ciptaan daripada sang Pencipta. Oleh karena itu manusia
jatuh dalam penghakiman Allah. Dalam kejatuhan dalam dosa gambar Allah dalam hati manusia
tidak sama sekali rusak dan binasa, tetapi rusak sedemikian rupa hingga yang masih tersisa
merupakan sesuatu yang cacatnya mengerikan.
Allah yang berdaulat tidak berhenti dalam mewujudkan rencana dan tujuan-Nya. Dalam
kekekalan Allah memilih sejumlah besar manusia di antara ciptaan-Nya yang jatuh untuk
diperdamaikan-Nya dengan diri-Nya. Untuk mewujudkan rencana-Nya maka Dia mengirim
AnakNya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus untuk membayar upah dosa. Yesus Kristus
menebus manusia hingga dapat memenuhi standard kebenaran Allah. Roh Kudus dikirim bagi
orang pilihan untuk membimbing mereka mengenal kebenaran Alkitab dan memampukan
mereka menerima janji pengampunan Allah. Hanya dengan iman manusia dapat diselamatkan
melalui kuasa Roh Kudus yang melahirbarukan. Sebagai orang-orang pilihan Allah mereka
harus menunjukkan kehidupan yang sesuai yakni selalu memuliakan Allah dalam pikiran,
perkataan dan perbuatan.
26
C. Manusia dalam Perspektif Iman Kristen
Dalam perspektif iman Kristen manusia adalah ciptaan Allah, yang diciptakan menurut
rupa dan gambar Allah. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan teori evolusi yang sangat
terkenal itu. Manusia adalah karya Allah yang diciptakan secara sadar sistematis serta punya
tujuan. Gambaran dan sifat Allah itu menjadi bagian dasar dari manusia. Secara khusus perlu
diperhatikan bahwa meskipun Allah mengomunikasikan atribut-Nya kepada manusia, Allah
tetap berbeda dengan manusia secara kualitatif. Semua atribut yang dimiliki Allah bersifat tidak
terbatas atau dikenal dengan istilah “maha” sementara atribut Allah yang dimiliki manusia
berada didalam keterbatasan. Sama seperti soerang yang berdiri di depan cermin. Walaupun
gambaran yang terdapat di dalam cermin mempunyai keakuratan sempurna dengan diri orang
tersebut, tetap ada perbedaan kualitas diantara keduanya.
Dalam bukunya Millard J Erickson berkata bahwa: “Manusia juga memiliki dimensi
abadi. Manusia memiliki sebuah awal keberadaan yang tertentu. Namun dia diciptakan oleh
Allah yang abadi, sehingga dengan demikian manusia memiliki masa depan yang abadi pula.
Jadi, apabila ditanyakan apa yang terbaik untuk manusia, kita jangan menjawabnya hanya
berkenaan dengan kesejahteraan sementara serta kesenangan hidup jasmaniah. Di dalam manusia
terdapat dimensi lain (yang jauh lebih penting) dan yang harus dipuaskan. Oleh karena itu, tidak
ada untungnya bagi manusia untuk mengelak kenyataan akan tujuan hidupnya yang terletak
dalam keabadian itu”
Apakah yang dikatakan Alkitab mengenai manusia? Kita akan memahami definisi
manusia dengan memperhatikan apa yang pertama kali Alkitab katakan mengenai manusia, yaitu
penciptaannya. Ayat yang paling jelas menyatakan hal tersebut adalah Kejadian 1:26, baik dalam
Alkitab bahasa Indonesia, dan Alkitab versi New King James Version, sebagai berikut:
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,
supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak
dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."
Then God said, "Let Us make man in Our image, according to Our likeness; let them have
dominion over the fish of the sea, over the birds of the air, and over the cattle, over all the
earth and over every creeping thing that creeps on the earth."
Kejadian 1:26 merupakan ayat yang pertama kali membicarakan manusia. Ayat tersebut
berbicara dalam konteks penciptaan manusia. Hal tersebut membawa kita kepada suatu definisi
utama sekaligus pertama mengenai manusia dalam Alkitab, yaitu satu-satunya makhluk yang
diciptakan Allah menurut gambar dan rupa Allah. Karena setelah ayat ini pun, tidak ada ayat lain
di dalam Alkitab yang menyatakan bahwa ada ciptaan lain yang diciptakan segambar dan serupa
dengan Allah. Tetapi, apakah sebenarnya arti dari diciptakan menurut gambar Allah?
Prof. Sung Wook Chung mengartikan diciptakan menurut gambar Allah dalam ketiga
pandangan yang menyeluruh, yaitu substantif, relasional, dan fungsional.
Pandangan Substantif dalam arti manusia memiliki akal budi dan kehendak bebas sebagai
gambar Allah di dalam manusia yang membedakan manusia dengan binatang (pandangan
Agustinus). Luther dan Calvin mengadaptasi posisi Agustinus dan menambahkan bahwa
karakteristik-karakteristik moral juga merupakan karakter dari gambar Allah.
Pandangan relasional menyatakan bahwa gambar Allah, bukanlah suatu unsur yang
dilimpahkan ke dalam seorang manusia, melainkan merupakan kemampuan manusia untuk
menjaga relasi dengan Allah dan orang-orang lain. Pandangan ini dianut oleh teolog-teolog
Neo-ortodoks, seperti Emil Brunner dan Karl Barth. Karl Barth secara khusus terkenal
karena pendapatnya bahwa manusia-manusia mampu untuk bereksistensi di dalam relasi
dengan Allah dan orang-orang lain, khususnya karena mereka diciptakan di dalam gambar
Allah Tritunggal yang bersifat relasional.
27
Pandangan fungsional yang mulai meraih perhatian pada abad ke-20. Menurut pandangan
ini, gambar Allah bukanlah karakteristik dasar atau pun kemampuan umat manusia untuk
membangun relasi-relasi, melainkan gambar Allah diwujud nyatakan dalam tujuan atau
fungsi manusia untuk menampilkan karya-karya natur Ilahi. Allah memanggil manusia
untuk menjadi wakil pengawas atas ciptaan. Dengan demikian, Allah memerintahkan
manusia untuk merefleksikan gambar-Nya dengan berfungsi sebagai raja atas ciptaan.
Ketiga pandangan tersebut secara menyeluruh yaitu substansi, relasional, dan fungsional,
merupakan jawaban yang terbaik saat ini untuk menjelaskan arti dari “diciptakan menurut
gambar Allah.” Secara substansi manusia mewarisi sifat-sifat Allah yang communicable (dapat
dikomunikasikan) seperti kekudusan, kebijaksanaan, kebenaran, kasih, dan keadilan.
Secara relasional, manusia diciptakan dalam gambar Allah Tritunggal yang memiliki
persekutuan dalam ketiga oknum Tritunggal dalam kesatuan-Nya. Gambar Allah secara
relasional ini, terpancar dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, yang tidak mampu
hidup sendiri, tanpa melakukan hubungan sosial. Manusia sebagai makhluk sosial juga berarti
bahwa manusia memiliki ketergantungan secara sosial terhadap manusia lainnya.
Secara fungsional, manusia memiliki peran manajerial atas dunia ini. Manusia dapat
dikatakan memiliki jabatan sebagai raja atas dunia ini. Tetapi hal tersebut tidaklah berarti bahwa
manusia dapat menggunakan alam semesta secara semena-mena, melainkan hal tersebut berarti
manusia harus merefleksikan gambar Allah dalam diri-Nya dengan mengelola alam semesta
secara bertanggung jawab bagi kemuliaan Allah pencipta-Nya.
E. Keberdosaan Manusia
1. Pengertian dosa
Dalam Perjanjian Lama ada beberapa kata untuk dosa “Khatta” yang pokok artinya
adalah “menyimpang, tidak kena”. Dalam Perjanjian Baru dosa adalah “a nomia” (1 Yoh. 3:4).
Jadi dosa adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Kata dosa sudah lazim
dipergunakan dikalangan Kristen. Dosa tidaklah sama dengan kejahatan, dosa itu tidak boleh
dijadikan istilah etika manusia yang berbicara tentang pelanggaran pelbagai aturan atau
kebiasaan. Tetapi kata dosa adalah istilah teologia yang langsung ada sangkut pautnya dengan
hubungan anatara Allah dan manusia.
Menurut Becker pengertian dosa yaitu, dalam Perjanjian Lama, arti dosa dimengerti
sebagai “ketidaktaatan” yaitu yang diungkapkan melalui istilah Pesya (pemberontakan),
khatta (pelanggaran), dan awon (perbuatan yang tidak senonoh). Sedangkan dalam Perjanjian
Baru, Dosa juga diartikan sebagai “ketidaktaan” (Rom. 5:19). Ketidaktaan yang dimaksud
tidak hanya melanggar hak dan hukum taurat Allah ( 1 Yoh. 3:4), tetapi juga melawan Allah
sendiri. Dosa ialah kegagalan, kekeliruan atau kesalahan, kejahatan, pelanggaran, tidak
menaati hukum, kelaliman, atau ketidakadilan. Dosa adalah kejahatan dalam segala bentuknya.
Padahal dosa menurut Kej. 4:7, adalah musuh yang setiap saat telah mengintip di depan pintu
hati manusia untuk memasukinya. Dosa senantiasa menyembunyikan diri dibelakang
perbuatan-perbuatan yang tampaknya baik.
Sebenarnya segala tabiat dosa, baik dipandang sebagai ketidak percayaan atau
pelanggaran atau ketidaktaatan, semuanya itu telah diungkapakan dalam Kej. 3. Menurut
Alkitab, segala dosa pada hakikatnya sama dengan dosa yang diungkapkan di Kej. 3. Dosa
merusak hubungan, baik hubungan antara manusia dengan Allah maupun hubungan antara
manusia dengan manusia. Oleh karena dosa manusia membenci Allah (Yoh. 15: 23), tidak
layak disebut anak-anak Allah (Luk 15: 21), tetapi manusia lalu juga membenci sesamanya
(Kej. 3:12). Hakikat dosa berarti tidak mengindahkan hukum Tuhan. Dalam pengertian anomia
berarti kehilangan hukum Tuhan sama dengan tidak adanya kepercayaan terhadap pribadi yang
29
memberikan hukum itu, dan ingin merebut hak wewenang Allah.
3. Akibat dosa
Dosa Adam dan Hawa bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri tanpa kaitan. Dosa akibat
pelanggaran manusia mengakibatkan banyak hal yang dampaknya merembes keberbagai
aspek, baik terhadap mereka, keturunannya dan terhadap dunia segera kelihatan.
a) Sikap manusia terhadap Allah
Perubahan sikap Adam dan Hawa terhadap Allah menunjukan pemberontakan yang
terjadi dalam hati mereka. Bersembunyilah manusia dan istrinya itu terhadap Allah
Yahweh diantara pohon-pohonan dalam taman (Kej. 3:8), dan ditutupilah dirinya dengan
cawat (Kej. 3:7). Padahal manusia diciptakan untuk hidup dihadapan Allah dan dalam
persekutuan dengan Dia. Tapi sekarang setelah mereka jatuh ke dalam dosa mereka
gemetar berjumpa dengan Allah. Rasa malu dan ketakutan yang sekarang marajai hati
mereka, (Bnd. Kej. 2:25;3:7,10) menunjukan bahwa perpecahan sudah terjadi.
b. Sikap Allah terhadap manusia
Perubahan tidak hanya terjadi pada sikap manusia terhadap Allah , tapi juga pada sikap
Allah terhadap manusia. Hajaran hukuman , kutukan dan pengusiran dari Taman Eden,
semuanya ini menandakan perubahan itu. Dosa timbul pada satu pihak , tapi akibat-
30
akibatnya melibatkan kedua pihak. Dosa menimbulkan amarah dan kegusaran Allah, dan
memang harus demikian sebab dosa bertentangan mutlak dengan hakikat Allah. Mustahil
Allah masa bodoh terhadap dosa, karena mustahil pula Allah menyangkali diriNya
sendiri.
c. Akibat-akibatnya terhadap umat manusia
Sejarah umat manusia berikutnya melengkapai daftar kejahatan ( Kej. 4:8,19,23,
24;6:2,3,5). Dan timbunan kejahatan yang merajalela itu mencapai kesudahannya dlam
pemusnahan umat manusia, kecuali 8 orang ( Kej. 6:7, 13; 7:21-24). Kejatuhan ke dalam
dosa berakibat tetap dan menyeluruh, tidak hanya menimpa Adam dan Hawa, tapi juga
menimpa segenap keturunan mereka ; dalam ihwal dosa dan kejahatan terkandung
solidaritas insani, yakni sama-sama langsung terhisap dalam perbuatan dosa itu dan
menanggung segala akibatnya.
d. Dampaknya terhadap alam semua
Akibat dari kejatuhan ke dalam dosa meluas sampai alam semesta. ‘terkutuklah tanah ini
kerena engkau’ (Kej. 3: 17; bnd Rm 8:20). Manusia adalah mahkota seluruh ciptaan,
jadilah menurut gambar Allah dan karena itu merupakan wakil Allah (Kej. 1:26).
Bencana kejatuhan manusia ke dsalam dosa mendatangkan bencana laknat atas alam
semesta yang terjadinya manusia telah dikaruniai kuasa. Dosa adalah peristiwa dalam
kawasan rohani manusia, tapi akibatnya menimpa seluruh alam semesta.
e. Munculnya maut
Maut adalah rangkuman dari hukuman atas dosa. Inilah peringatan yang bertalian dengan
larangan di Taman Eden (Kej. 2:17), Maut sebagai gejala alamiah, porak porandanya
unsur-unusur kedirian manusia yang pada aslinya adalah utuh dan pandu sejali.
Keporandaan ini melukiskan hakikat maut, yaitu keterpisahan manusia dari Allah , yang
nyata pada pengusiran manusia dari Taman Eden. Oleh karena dosa, manusia gentar
mengahadapi kematian (Luk. 12:5; Ibr. 2:15).[17]
4. Kuasa Dosa
Roma 5:12 memberi keterangan: “sebab itu, sama seperti dosa telah masuk kedalam
dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, dengan demikian maut itu telah menjalar
pada semua orang”. Di sini dosa digambarkan seperti suatu kuasa yang berpribadi, yang
kemudian masuk ke dalam dunia. Oleh karena Adam sekalian manusia dikuasai oleh dosa,
sebaliknya oleh karena Kristus, para manusia dikuasai oleh kasih karunia. Hidup yang dikuasai
oleh dosa dapat disebut hidup yang berakar, bersandar serta berada di dalam suasana dosa.
Dengan gambaran yang ada pada zaman sekarang, hidup yang dikuasai dosa tadi dapat
digambarkan sebagai hidup yang dikuasai oleh suatu doktrin tertentu. Doktrin-doktrin ini
menjiwai hidup orang sedemikian rupa sehingga keadaan hidupnya dikuasai oleh dosa.
Referensi:
A. R. Millard, (1992). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid 1 ( A-L), Jakarta: YKBK.
Louis Berkhof, (1994). Teologi Sistematika 2 (Doktrin Manusia), Surabaya: LRII.
Sung Wook Chung, (2011). Belajar Teologi Sistematika Dengan Mudah. Bandung: Visi Press.
Theol Becker, (2009). Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Werner Gitt, (2009). Keajaiban Manusia. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
31
Modul. V
KESELAMATAN
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan janji-janji serta syarat-syarat keselamatan serta prosesnya
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali janji-janji, syarat-syarat keselamatan yang Allah
tawarkan kepada dunia melalui Pribadi Kristus Yesus
Penutup (20 menit) Tanya jawab sebagai evaluasi perihal keselamatan
A. Pendahuluan
Di dalam ajaran tentang keselamatan, ini adalah merupakan pokok bahasan yang paling
luas dalam Alkitab. Masalah itu mencangkup seluruh waktu, baik kekekalan dimasa lalu maupun
kelak. Maka dari itu keselamatan berhubung erat kepada seluruh umat manusia tanpa kecuali.
Keselamatan adalah suatu doktrin yang sedehana, tetapi juga kompleks namun inilah suatu
doktrin yang perlu dimengerti secara, disatu pihak, orang memang dapat dengan mudah
menjelaskan konsep keselamatan dengan mengutip injil Yohanes 3:16, Karena begitu besar
32
kasih Allah akan dunia ini, sehingga ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal setiap orang
percaya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Meskipun manusia telah jatuh
kedalam dosa tetapi karena Tuhan Allah mengasihi manusia sehingga Anak-Nya Yang bernama
Yesus ia rela mati diatas kayu salib, hanya untuk menyelamatkan umat-umat-Nya karena ia tidak
mau kalau ada yang tidak masuk kedalam kerajaan sorga. Makanya ia datang kedunia.
Dari sudut Pandangan Allah, keselamatan meliputi segenap karya Allah dalam membawa
manusia dari hukuman menuju pembenaran, Dari kematian menuju kehidupan yang kekal, dari
musuh menjadi Anak. Dari sudut pandang manusia keselamatan mencangkup segala berkat yang
berada didalam kristus, yang bisa diperoleh dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan yang
akan datang.
B. Hakikat Keselamatan
Kata umum dari keselamatan merupakan keadaan seseorang atau perihal mengenai
kesejahteraan baik itu keluarga, sahabat bahkan keselamatan secara pribadi. Keselamatan
mencakup kesehatan dan kemakmuran atau bebas dari bahaya penyakit. Dalam persekutuan
umat pilihan Allah, yang tertawan merupakan pengalaman yang nyata yang daripadanya
kelepasan mutlak diperlukan, dan gagasan-gagasan tentang keselamatan terutama yang bersifat
kesukaan dan duniawi.
Keselamatan merupakan anugerah yang disediakan oleh Allah yang adil. Penerima tidak
boleh membanggakan diri kepada Allah karena telah menerima keselamatan, seseorang yang
telah diselamatkan berbalik dari dosa kepada Allah dan menjadi milik-Nya, dasarnya adalah
meletakkan kepercayaan didalam pengorbanan Yesus Kristus yang telah mati di kayu salib
(Roma 10:9-10). Berbalik dari dosa kepada Allah adalah memberikan hidup kepada Yesus dan
menjadi anak-anak Allah. Keselamatan merupakan jamin kehidupan yang kekal bersama Yesus
Kristus di surga, karya Allah melalui Roh Kuduslah yang memeteraikan keselamatan bagi orang-
orang percaya kepada Kristus sehingga memiliki jaminan akan semua yang sediakan untuknya,
tentunya untuk keselamatan kekal (2 Kor 1:20-21, Ef 1:13-14).
Pribadi Allah menuntut penyelamat manusia. Jadi titik awal penyelamat manusia dimulai
dari pribadi Allah. Dialah yag Mahasuci, Mahabesar, dan Mahaadil. Tidak memiliki ruang dalam
hadirat-Nya bagi orang tak suci. Mereka yang terlebih disucikan terlebih dahulu, baru dapat
menghampiri Allah dan hadirat-Nya. Allah sendiri yang mengambil inisiatif pengadaan jalan
keselamatan sebagaimana ia telah janjikan dalam Kejadian 3:5 saat manusia jatuh kedalam dosa,
janjinya itu disampaikan secara sepihak (unilateral) yang berbunyi: Aku akan mengadakan
permusuhan antara engkau dan permpuan ini, antara keturunan-Mu dan keturunan-Nya. Akan
meremukan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya. Tetapi walaupun Tuhan telah
mengatakan demikian, Alkitab mengatakan bahwa Allah sangat mengasihi manusia ciptaan-Nya
walaupun telah jatuh kedalam dosa.
Ada sifat yang sangat menonjol dari kepribadian Allah. Sifat itu adalah: sifat Anugrah
atau kasih karunia. Sifat ini mempunyai inti kepercayaan kekristenan. Bahkan tanpa Anugrah ini,
maka orang Kristen atau orang yang telah percaya kepada Tuhan Yesus, maka orang Kristen
tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah perbedaan kita orang percaya dengan Agama-agama lain.
Karena Yesus Kristus adalah wahyu yang tertinggi dari Anugrah Allah. Jadi keselamatan
sepenuhnya adalah Karya Allah dan manusia tidak memiliki andil dalamnya, termasuk perbuatan
baik pun bukan jaminan keselamatan.
Referensi:
Charles C. Ryrie, (1992). Teologi Dasar 2. Yogyakarta: ANDI.
Chris Marantika, (2002). Doktrin Keselamtan Dan Kehidupan Rohani. Yokyakarta: Iman Perss.
Henry C. Thiesesen, (2008). Theologi Sistematika, Malang: Gandum Mas.
J.D Douglas, (2002). The New Bible Dictionary (Edisi terjemahan oleh Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF. Jakarta.
Louis Berkhof Teologi Sistematika 4 (1993). Doktrin Keselamatan. Jakarta: LRII.
Louis Berkhof, (2006). Teologi Sitematika, Surabaya: Momentum.
Peter Wongso, (2000). Soteriologi, Malang: Literatur SAAT.
Modul. VI
HIDUP BARU DAN PERTUMBUHAN IMAN
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan apa yang dimaksud kelahiran kembali dan hidup baru.
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali dan mempersentasikan pengalaman pribadi sebagai
ciptaan baru dan bertumbuh dalam Kristus
Penutup (20 menit) Memberi kesimpulan terhadap materi bahasan
37
A. Pendahuluan
Konsep manusia baru menurut Rasul Paulus sangat istimewa. Manusia baru di
pandangan Rasul Paulus adalah benar-benar suatu kehidupan rohani yang berbeda secara
kualitas manusianya. Kehidupan orang Kristen sejati merupakan suatu kehidupan yang unik,
sebab kehidupan orang Kristen adalah kehidupan yang senantiasa bertumbuh dalam kasih
karunia dan pengenalan akan Allah di dalam Yesus Kristus.
Manusia bisa bertumbuh dalam kasih dan anugerah Allah hanya jikalau ia sudah
dilahirkan kembali. Tanpa kelahiran kembali manusia tidak bisa mengenal Allah dengan benar
serta bertumbuh dalam kasih karunia-Nya. Manusia perlu dilahirkan kembali sebab
kehidupannya yang lama adalah kehidupan yang senantiasa hidup di dalam lautan dosa.
Kehidupan orang yang sudah dilahirkan kembali ia akan hidup baru di dalam Yesus Kristus.
Di dalam Alkitab, bahwa manusia baru dan manusia lama selalu dikontraskan satu
dengan yang lain, dikaitkan dalam PL, Bahwa Adam dan Kristus yang menjadi acuan, bahwa
Adam gambaran manusia lama dan Kristus sebagai gambaran manusia baru. Dan orang Kristen
tidak bisa mengerti hal ini bahwa seringkali orang Kristen ingin sesuatu yang baru tetapi tidak
mau tanggalkan yang lama. Sehingga Allah adalah Mahakasih, oleh karena Ia begitu mengasihi
dunia ini sehingga Ia mengutus Anak-Nya yang Tunggal yaitu Yesus Kristus. Melalui
kedatangan Yesus Kristus ke dunia ini, Ia memulihkan ciptaan Allah di dalam Adam yaitu
manusia yang pertama yakni manusia yang lama, demikian Kristus menjadi Kepala dan wakil
dari manusia yang baru. Di dalam Dialah manusia menjadi baru dan dapat mengenal Allah
dengan benar.
George Eldon Ladd menyatakan bahwa: “Manusia biasa di dalam Adam; manusia yang
dibaharui di dalam Kristus. Sebagaimana Adam adalah kepala dan wakil dari kelompok
manusia lama, demikian Kristus menjadi kepala dan wakil dari kemanusiaan yang baru. Di
dalam Adam muncul dosa, ketidaktaatan, penghukuman, dan maut; di dalam Kristus muncul
kebenaran, ketaatan, pembenaran, dan kehidupan (Roma. 5:5, 12).
Keadaan baru selalu dikaitkan dengan keadaan setelah Kristus, sedangkan kata lama itu
sendiri merupakan kondisi bahwa manusia itu sebelum hidup dalam Kristus atau tanpa Kristus.
Perubahan yang terjadi dari keadaan yang lama ke dalam keadaan yang baru, bukan terjadi
hanya akibat iman, dan pertobatan dalam hidup Kristen tetapi terjadi seperti apa yang terdapat
dalam Kristus, atau boleh dikatakan perubahan oleh Allah di dalam Yesus Kristus. Hal ini
terlukiskan dengan di dalam Roma 6:6 “manusia lama kita telah disalibkan” manusia lama telah
dihukum dan dimatikan di dalam kematian Kristus dan di dalam kebangkitanNya.
39
Ibrani 11:1 dikatakan: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan
bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Dasar keyakinan ini adalah Firman Allah. Iman
mengandung unsur ilahi dan kemanusiaan. Iman adalah karunia Allah dan juga tindakan
manusia. Dasar iman adalah Firman Allah (Roma 4: 20-21). Tujuan iman adalah iman kepada
Yesus Kristus. Iman yang menyelamatkan adalah iman kepada Yesus Kristus sebagai
Juruselamat.
Thomas H. Groome, dalam Daniel Nuhamara mengklaim bahwa, iman Kristen sebagai suatu
pengalaman yang nyata mempunyai tiga dimensi yang esensial, yakni: 1). Suatu
keyakinan/kepercayaan; 2). Suatu hubungan memercayakan diri; 3).Suatu kehidupan yang
dijalani dalam kasih agape.
1. Iman sebagai kepercayaan (Believing)
Iman Kristen lebih dari sekedar kepercayaan, walaupun demikian harus dikatakan bahwa
iman Kristen mempunyai dimensi kepercayaan apabila ia mendapatkan perwujudannya
dalam kehidupan manusia. Aktivitas dari iman Kristen menghendaki agar didalamnya ada
suatu keyakinan dan percaya tentang kebenaran-kebenaran yang diakui sebagai esensi dalam
iman kristiani. Dimensi iman sebagai kepercayaan tertuju pada dimensi kognitif.
2. Iman sebagai keyakinan (Trusting)
Dimensi iman sebagai keyakinan tertuju pada dimensi afektif yaitu mengambil mengambil
bentuk dalam hubungan memercayakan diri, serta yakin akan Allah yang pribadi, yang
menyelamatkan melalui Yesus Kristus.
3. Iman sebagai tindakan (Doing)
Iman Kristen sebagai suatu respons terhadap kerajaan Allah dalam Yesus Kristus, harus
mencakup pelaksanaan kehendak Allah. Dimensi tindakan ini memperoleh perwujudan
dalam kehidupan yang dijalani dalam kasih agape, yakni mengasahi Allah dengan jalan
mengasihi sesama manusia.
Bagaimana iman dapat tumbuh, sebagai contohnya dapat dilihat pada kisah seorang
wanita yang sakit pendarahan selama 12 tahun (Mark. 5:25-29) Adalah di situ seorang
perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan. Ia telah berulang-ulang
diobati oleh berbagai tabib, sehingga telah dihabiskannya semua yang ada padanya, namun sama
sekali tidak ada faedahnya malah sebaliknya keadaannya makin memburuk. Dia sudah
mendengar berita-berita tentang Yesus, maka di tengah-tengah orang banyak itu ia mendekati
40
Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya. Sebab katanya: “Asal ku jamah saja jubah-Nya,
aku akan sembuh.” Seketika itu juga berhentilah pendarahannya dan ia merasa, bahwa badannya
sudah sembuh dari penyakitnya. Kalimat “Dia sudah mendengar berita-berita tentang Yesus,”
menjelaskan darimana iman perempuan itu mulai tumbuh. Kabar-kabar yang dia dengar dari
banyak orang bahwa Yesus menyembuhkan semua orang dan semua penyakit membuat
perempuan malang itu memiliki harapan baru dan keyakinan baru bahwa penyakitnya pasti dapat
sembuh asalkan dia ketemu Yesus Kristus, bahkan dia berkata dalam hati “Asal ku jamah saja
jubah-Nya, aku akan sembuh.” (ayat 28).
Dalam buku: ‘Hidup dalam Anugrah-Nya’ dirangkum beberapa cara untuk
menumbuhkan iman agar dapat terus hidup dalam Yesus Kristus dan bahkan berbuah sesuai
dengan yang diharapkan-Nya, yakni sebagai berikut:
1. Berdoa
Martin Luther menyebut doa adalah nafas hidup orang percaya. Dalam doa dapat
menyampaikan pengakuan akan kuasa dan kemuliaan serta kekudusan Tuhan, pergumulan
sebagai orang beriman, dan juga memohon pengampunan dosa kepadaNya.
2. Membaca Firman Tuhan.
Manusia mengenal Allah yang menyatakan diriNya dalam sejarah keselamatan melalui
Firman dan karyaNya. KaryaNya dinyatakan melalui para nabi dan utusannya, dan
dikumpulkan dalam Alkitab. Membaca Alkitab adalah upaya dalam mengenal Allah,
menggali yang kehendak Allah.
3. Beribadah.
Ibadah adalah pengabdian hidup dan pelayanan terhadap Tuhan dan sesama. Ibadah adalah
aktivitas hidup beriman. Ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan.
5. Membiarkan kekecewaan dan masalah atau tragedi membuat mereka pahit hati
Menjadi Kristen bukanlah akhir dari persoalan, bahkan menjadi Kristen adalah babak baru
dari kehidupan yang unik, ada sukacita, ada dukacita, ada tangis dan ada pula tawa.
Kehidupan Kristen adalah kehidupan yang seimbang antara kesukaan dan kesusahan. Allah
tidak menjanjikan taman bunga mawar duri. Kehidupan akan menjadi lebih mudah, juga
lebih sulit dengan masuknya Yesus dalam hati kita (Mat. 11:28-29). Tragedi kehidupan
dalam kehidupan orang percaya diijinkan Tuhan untuk membentuk kita menajdi serupa
dengan gambar Kristus (Roma 8:29-30). Masalah atau tragedi dalam hidup orang percaya
bisa terjadi karena beberapa hal: Itu bisa dikarenakan dosa-dosa yang kita sembunyikan
sehingga memaksa Allah mendisiplinkan/menghajar kita (Ibr. 12:5-6). Itu juga bisa terjadi
karena Tuhan ingin menguji iman kita seperti Ayub, Paulus, agar iman kita bertumbuh kuat
dan dewasa. Dan terakhir bisa jadi karena keputusan-keputusan kita yang salah tanpa
melibatkan Tuhan. Saat ketika tragedi hidup menimpa, segeralah memeriksa diri, apakah itu
karena dosa sengaja, atau karena Allah sedang membentuk agar semakin serupa dengan
karakter-Nya. Jika itu datangnya dari Tuhan maka kita patut mengucap syukur sebab
tangan-Nya yang berkuasa sedang menyempurnakan kita. Roma 8:28 dengan jelas
memberitahu kita bahwa dalam segala sesuatu Allah turut bekerja untuk mendatangkan
kebaikan bagi kita yang mengasihi Dia.
Referensi:
42
David Cupples, (1996). Beriman dan Berilmu, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Dorothe Mason. M, (1998), Demikianlah Firman Tuhan, Jakarta:Yayasan PI “IMMANUEL”.
Ichwei G. Indra, (1993). Dinamika Iman, Bandung: Yayasan Kalam Kudus,
Yohanes Herijanto, (2001). Menjadi Pemenang, Yokyakarta: ANDI.
Modul. VII
GEREJA DAN SAKRAMEN
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menguraikan asal mula lahirnya Gereja, panggilannya dan Sakramen dalam
Gereja
Penyajian (90 menit) Mahasiswa mempersentasikan panggilan Gereja ditengah dunia serta
pelaksanaan tujuan Sakramen dalam Gereja
Penutup (20 menit) Tanya jawab untuk menyetarakan pemahaman tentang Gereja dan
43
Sakramen
A. Pendahuluan
Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus. Ia lahir seiring
kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus di dunia. Karena itu, apa yang disebut gereja perdana
adalah persekutuan para murid Yesus dan ditambah dengan beberapa orang lain yang telah
mengaku Yesus sebagai Tuhan dan menjadi saksi atas kebangkitan-Nya. Gereja perdana ini
memiliki semangat persekutuan, pelayanan, dan kesaksian yang kuat, sehingga iman Kristen
mulai tersebar dari Yerusalem, seluruh daerah Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung dunia
(Kis. 1:8). Salah seorang murid Yesus yang giat dalam pekabaran Injil ini adalah rasul Paulus.
Ia mengabarkan Injil hampir di seluruh wilayah kekuasaan Romawi pada abad pertama, baik di
kalangan orang-orang Yahudi diaspora maupun orang-orang bukan Yahudi.
Selain rasul Paulus, para murid yang lain juga aktif mengabarkan Injil ke seluruh dunia.
Konon rasul Thomas mengabarkan Injil sampai ke India. Karena itu, pada akhir abad pertama
dan memasuki abad kedua, sejumlah jemaat-jemaat Kristen lahir dan bertumbuh di seluruh
wilayah kekuasaan Romawi, dengan latar belakang suku bangsa, bahasa, dan tradisi yang
berbeda. Namun demikian, jemaat-jemaat ini mengakui keesaan mereka di dalam iman kepada
Yesus Kristus dan di dalam tugas panggilan mereka untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani
sebagai jemaat-jemaat Kristen. Jadi, keesaan mereka pertama-tama terletak pada iman mereka
kepada Yesus Kristus dan panggilan mereka untuk bersaksi di dalam dunia.
Sakramen berasal dari bahasa Latin; Sacramentum yang memiliki arti perbuatan kudus.
Dalam bidang hukum dan pengadilan Sacramentum biasanya diartikan sebagai barang
kepunyaan (jaminan) yang ditaruhkan saat dua orang berselisih, jika salah satunya kalah maka
jaminan tadi akan menjadi milik pihak yang menang. Dalam sejarah teologi Kristen istilah
sacramentum menjadi bagian dari diskusi teologis Kristiani sehingga dalam perkembangannya
istilah sakramen digunakan dan diberi arti baru dalam kehidupan gereja.
Sakramen adalah tanda atau jaminan memperoleh keselamatan. Namun bukan hanya
tentang keselamatan tetapi juga secara fungsional, sakramen adalah sebuah alat karunia yang
menyatakan kasih Allah untuk memperteguh kepercayaan/iman. Di sisi yang lain
Pendampingan Pastoral sendiri juga memiliki fungsi yang sama yaitu menyokong/menopang
sekaligus untuk mengutuhkan mereka yang sedang bergumul dengan kehidupannya baik
sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan.
B. Hakikat Gereja
Kata gereja dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Portugis. Namun kata asal itu
juga diambil dari kata Yunani kuriake yang aslinya berarti milik Tuhan. Gedung dan
organisasinya dalam teori merupakan milik Tuhan, Allah Umat Kristen dan digunakan untuk
tujuan-tujuan-Nya.
Gedung pertama yang diketahui dikhususkan bagi peribadatan umat Kristen didirikan kira-
kira tahun 250 M, ditemukan di Dura Europos, di negeri yang kini disebut Irak. Pada masa itu
agama Kristen telah menyebar di seluruh wilayah Kerajaan Romawi, dan tidak lama kemudian
gedung-gedung khusus untuk gereja didirikan. Namun sebelum itu umat Kristen melakukan
ibadah mereka di rumah-rumah biasa.
Berikut akan dipaparkan tentang arti gereja, gambaran tentang gereja dan sifat-sifat gereja itu
sendiri
1. Apa itu Gereja
a. Gereja sebagai sebuah Persekutuan
Dalam bahasa Yunani, gereja disebut ekklesia
(έκ, ek=keluar, κάλεω, kaleo=memanggil). Secara harafiah berarti memanggil keluar.
Yang menjadi subyek dari kata memanggil keluar dalam pengertian ini adalah Allah.
44
Sehingga pengertian dari ekklesia adalah persekutuan dari orang-orang yang dipanggil
keluar dari kegelapan masuk ke dalam terang-Nya yang ajaib (I Petrus 2:9-10). Atau
secara singkat gereja adalah persekutuan orang-orang percaya.
b. Gereja sebagai tempat Bersekutu
Walaupun kekristenan memahami bahwa gereja bukanlah gedung atau tempat melainkan
orangnya, namun seringkali kita memahami dan merujuk gereja sebagai tempat umat
bersekutu. Yang pasti dimana ada umat bersekutu di dalam Kristus disitulah gereja
berada.
3. Sifat Gereja
a. Kudus
Kata “Kudus” berasal dari bahasa Ibrani קּאָﬢשׁ, qadosy yang berarti disendirikan,
diasingkan, dipisahkan dari yang lain, berbeda dari yang lain. Kekudusan Gereja bukan
karena ia kudus adanya, tetapi karena dikuduskan oleh Kristus. Rasul Paulus
menyebutkan bahwa Jemaat adalah mereka yang dikuduskan di dalam Kristus (Fil.1:1 ; 1
Kor. 1:2 ; Ef. 1:1).
Gereja adalah kudus, diasingkan tapi bukan “mengasingkan diri” karena Gereja disuruh ke
dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Adanya Gereja di dunia ini ialah
untuk dipakai dalam karya penyelamatan Allah.
b. Am
Gereja adalah Am, khatolik, universal, tersebar di seluruh dunia. Am berarti umum, oleh
sebab itu Gereja “menerobos” segala pembatas dan memiliki perpektif yang umum.
Gereja sebagai yang am harus bersifat universal sebab kasih Allah itu ditujukan kepada
dunia. Jadi Gereja bukan dan janganlah jadi suatu “golongan elite”. Gereja tidak terbatas
pada suatu daerah/ suku/ bangsa atau bahasa tertentu tapi meliputi seluruh dunia (2 Kor.
5,19). Gereja tidak terbatas pada suatu zaman, tapi meliputi zaman yang lalu, masa
sekarang dan masa yang akan datang.
c. Persekutuan Orang Percaya/Kudus
Kata Persekutuan orang Kudus diterjemahkan dari Communio Sanctorum. Kata
sanctorum berasal dari kata sancta atau sanctus yang berarti barang-barang atau orang-
orang kudus. Sedangkan kata communion berarti persekutuan. Sehingga ungkapan gereja
sebagai persekutuan orang kudus harus dipandang sebagai persekutuan di dalam Kristus
oleh Roh Kudus. Jadi, gereja bukan terdiri dari orang-orang yang telah sempurna
melainkan terdiri dari orang-orang berdosa sekalipun telah dikuduskan. Maka ungkapan
45
“persekutuan orang Kudus” harus dipandang sebagi suatu tugas yang masih harus
diperjuangkan dan itu senantiasa mempunyai arti yang konkret dalam kenyatan hidup di
dunia ini. Gereja sebagai persekutuan orang kudus mengarah kepada persekutuan dengan
Kristus, persekutuan yang berdasarkan kasih, bahwa kita harus saling mengasihi karena
Allah telah mengasihi kita (I Yoh. 4:11; II Yoh. 5; I Kor 12:26)
d. Satu
Gereja adalah kesatuan umat Kristen, tempat bersekutu sesuai dengan kehendak Yesus
Kristus, kepala gereja. Satu dalam memberitakan Injil (Mat. 28,18-20), satu dalam
mengemban misi, mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan (Mat.22,37-40), satu dalam
iman dan pengharapan(Ef. 4:4-5). Oleh sebab itu dalam kepelbagaian kita, Tuhan
mempersatukan kita. Di dalam kepelbagaian itu kita dapat bersatu menampakkan
kepatuhan kita sebagai Gereja kepada Tuhan Yesus (Yoh. 17, 21).
Sakramen adalah upacara atau ritus dalam agama Kristen yang menjadi mediasi, dalam
arti menjadi simbol yang terlihat atau manifestasi dari Rahmat Tuhan yang tak tampak. Sebuah
sakramen biasanya dilakukan oleh seorang pastor atau pendeta kepada sang penerima, dan
umumnya dipercayai melibatkan hal-hal yang tampak maupun yang tak tampak. Komponen
yang tak tampak diyakini adalah rahmat Tuhan yang sedang bekerja di dalam para peserta
sakramen, sementara komponen yang tampak melibatkan penggunaan air, anggur atau minyak
yang sudah diberkati. Meskipun tidak semua orang dapat menerima semua sakramen,
sakramen- sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan
umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya
dipersatukan dengan Kristud dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, atau pun pengkhususan
(konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu.
3. Penguatan (Krisma)
Penguatan atau Krisma adalah sakramen ketiga dalam inisiasi Kristiani.
Sakramen ini diberikan dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak
yang telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa khusus
yang menunjukkan bahwa, baik dalam variasi Barat maupun Timurnya, karunia Roh
Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai. Melalui sakramen ini, rahmat yang
diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan diperdalam”. Seperti pembaptisan,
penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya
bebas dari dosa apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima
efek sakramen tersebut.
Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup yang ditahbiskan secara sah; jika
seorang imam (presbiter) melayankan sakramen ini hubungan dengan jenjang imamat di
atasnya ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan nama krisma atau myron) yang telah
diberkati oleh uskup dalam perayaan Kamis Putih atau pada hari yang dekat dengan hari
itu. Di Timur sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana
administrasi biasanya dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti
pentingnya, sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal kedewasaan;
biasanya setelah yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi. Kian
lama kian dipulihkan urut-urutan tradisional sakramen- sakramen inisiasi ini, yakni
48
diawali dengan pembaptisan, kemudian penguatan, barulah Ekaristi.
4. Pernikahan (Perkawinan)
Pernikahan atau Perkawinan, adalah suatu sakramen yang mengkonsekrasi
penerimanya guna suatu misi khusus dalam pembangunan Gereja, serta
menganugerahkan rahmat demi perampungan misi tersebut. Sakramen ini, yang
dipandang sebagai suatu tanda cinta-kasih yang menyatukan Kristus dengan Gereja,
menetapkan di antara kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat permanen dan eksklusif,
yang dimeteraikan oleh Allah.
Dengan demikian, suatu pernikahan antara seorang pria yang sudah dibaptis dan
seorang wanita yang sudah dibaptis, yang dimasuki secara sah dan telah disempurnakan
dengan persetubuhan, tidak dapat diceraikan sebab di dalam kitab suci tertulis: “Justru
karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab
pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki
akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Ketika
mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu.
Lalu kata-Nya kepada mereka: ”Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan
perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri
menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina." (Markus 10 :
1–12).
Sakramen ini menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang
mereka perlukan untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta
untuk menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab.
Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan imam (atau saksi lain yang ditunjuk
oleh Gereja) serta saksi-saksi lainnya, meskipun dalam tradisi teologis Gereja Latin yang
melayankan sakramen ini adalah kedua pasangan yang bersangkutan.
Demi kesahan suatu pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus
mengutarakan niat dan persetujuan-bebas (persetujuan tanpa paksaan) masing- masing
untuk saling memberi diri seutuhnya, tanpa memperkecualikan apapun dari hak-milik
esensial dan maksud-maksud perkawinan. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang
Kristen non-Katolik, maka pernikahan mereka hanya dinyatakan sah jika telah
memperoleh izin dari pihak berwenang terkait dalam Gereja Katolik. Jika salah satu dari
keduanya adalah seorang non-Kristen (dalam arti belum dibaptis), maka diperlukan izin
dari pihak berwenang terkait demi sahnya pernikahan.
5. Imamat (Pentahbisan)
Imamat atau Pentahbisan adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan
uskup, imam, atau diakon, sehingga penerima sakramen ini dibaktikan sebagai citra
Kristus. Hanya uskup yang boleh melayankan sakramen ini.
Pentahbisan seseorang menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen
Imamat baginya, menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan
memberi dia misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai kepedulian dari
semua Gereja.
Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku
Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten
uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan
49
liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi.
Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus
selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang
bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta- kasih Kristiani
terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah.
Orang-orang yang berkeinginan menjadi imam dituntut oleh Hukum Kanonik
(Kanon 1032 dalam Kitab Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari
yang selain berisi studi filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup suatu program
formasi yang meliputi pengarahan rohani, berbagai retreat, pengalaman apostolat
(semacam Kuliah Kerja Nyata), dst. Proses pendidikan sebagai persiapan untuk
pentahbisan sebagai diakon permanen diatur oleh Konferensi Wali Gereja terkait.
Referensi:
Urban, Linwood (2003), Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Martasudjita (2007). Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral.
Yogyakarta: Kanisius.
Alister E.McGrath, (2002). Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Modul. VIII
ETIKA KRISTEN
52
2. Mahasiswa mengidentifikasikan sebagai isu moral sosial dan memberi
pandangan dari sisi iman Kristiani.
3. Mahasiswa bersikap tanggung jawab dan menghargai pihak lain dalam
melakukan pekerjaan sesuai etika Kristen.
4. Mahasiswa bersikap profesional dalam bekerja serta dapat mewujudkan
solusi yang terbaik.
5. Mahasiswa menghormati dan mentaati norma-norma seksual (pranikah,
tunangan, pernikahan).
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan hakikat moralitas, etos kerja/profesi dan etika seksual yang
Alkitabiah
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali serta menguraikan moralitas, etos kerja, serta
pergaulan pemuda/i Kristen ditengah perkembangan zaman
Penutup (20 menit) Memberi kesimpulan terhadap materi bahasan
A. Pendahuluan
Makna moral dan etika Kristiani sangat penting bagi kehidupan orang Kristen.
Manusia sebagai ciptaan Allah berimplikasi pada eratnya hubungan antara Iman dan Perilaku
manusia dalam rangka tanggung jawab pada Pencipta. Etika Kristen sebagai ilmu mempunyai
fungsi dan misi yang khusus dalam hidup manusia yakni petunjuk dan penuntun tentang
bagaimana manusia sebagai pribadi dan kelompok harus mengambil keputusan tentang apa yang
seharusnya berdasarkan kehendak dan Firman Tuhan. Etika Kristen adalah Ilmu yang meneliti,
menilai dan mengatur tabiat dan tingkah laku manusia dengan memakai norma kehendak
dan perintah Allah sebagaimana dinyatakan dalam Yesus Kristus.
Etika bukanlah ilmu pengetahuan alam. Karena itu juga Etika bukanlah ilmu yang
pengetahuan yang bersifat deskriptif, yang hanya menerangkan dan menguraikan tindakan dan
kelakuan manusia, seperti halnya dengan ilmu bangsa-bangsa (antropologi kultural), yang
menguraikan dan membahas adat-istiadat dan keadaan bangsa-bangsa. Etika merupakan Ilmu
yang mempelajari norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia. Etika berbicara tentang
keharusan yang di lakukan oleh manusia tentang apa yang baik, benar dan tepat. Kata ethos yang
menjadi etika berarti kebiasaan, baik kebiasaaan individu maupun kebiasaan masyarakat. Etika
tidak hanya berurusan dengan dengan segi lahiriah seperti kelakuan dan tindakan, tetapi juga
berurusan dengan segi batiniah seperti sikap, motif, karakter atau tabiat.
B. Pengertian Etika
Istilah “etika” berasal dari kata ‘ethos (Yunani) yang artinya pemukiman, perilaku,
kebiasaan. Berikut beberapa pandangan dari beberapa ahli tentang istilah “etika” yaitu:
Dr J. Verkuyl. Ethos berarti kebiasaan, adat. Demikian juga Ethikos berarti kesusilaan,
perasaan batin, kecenderungan hati yang membuat seseorang melakukan perbuatan.
Robin W. Lovin. Ethos yang berarti adat (Inggris: Custom), sifat (Inggris: Character). Arti
tersebut menunjuk pada nilai sifat, keyakinan, praktik kelompok, ada hubungannya dengan
kultur atau kebudayaan.
C. H. Preisker. Ethos berarti kebiasaan (Inggris: habit), kegunaan (Inggris: used), adat
(Inggris: custom), peraturan, kultus dan hukum.
Dalam kaitannya dalam bahasa Latin, etika disebut ‘mores’ yang berarti ‘adat’ atau
‘custom’ (Ing). Istilah ini menunjuk pada kelakuan umum, sehingga perbuatan itu hanya secara
53
lahiriah dan dapat dilihat. Dalam bahasa Latin disebut ‘mos’ (tunggal) dan ‘mores’ (jamak) yang
menjelaskan kehendak, tingkah laku, adat istiadat, kebiasaan, cara hidup, berkelakuan, baik dan
buruk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan
akhlak atau moral.
Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Kesadaran tersebut termasuk apa yang
dilakukannya. Kesadaran inilah yang disebut dengan kesadaran etis. Kesadaran etis adalah
kesadaran tentang norma-norma yang ada di dalam diri manusia. Etika berhubungan erat dengan
kelakuan manusia dan cara manusia melakukan perbuatannya. Kelakuan yang dinyatakan
dengan perbuatan itu menunjuk pada dua hal, yakni positif dan negatif. Pengertian positif
menunjuk pada hal yang baik. Sedangkan pengertian negatif menunjuk kepada hal yang jahat
atau tidak baik. Etika hendak mencari ukuran baik, sebab yang tidak baik atau tidak sesuai
dengan ukuran baik itu adalah buruk atau jahat.
Oleh sebab itu, tugas etika adalah menyelidiki, mengontrol perbuatan-perbuatan,
mengoreksi dan membimbing serta mengarahkan tindakan yang seharusnya dilakukan agar dapat
memperbaiki tindakan atau perbuatannya. Pengertian perbuatan positif adalah “apa yang baik”
secara umum atau memakai ukuran yang merupakan pertimbangan dari tuntutan masyarakat dan
sesuai pula dengan hati nurani atau kata hati.
c. Etika Theonom
Dalam bahasa Yunani theonom berasal dari dua suku kata, yaitu Theos yang berarti Allah dan
nomos. Etika Theonom adalah etika yang aturannya bersumber pada firman Allah atau
penyataan Allah. Misal, dalam Perjanjian Lama ada norma hukum yang disebut Hukum
Sepuluh Perkara atau Dekalog atau Sepuluh Firman (Kel. 20:1-17) dan dalam Perjanjian Baru
disebut hukum kasih (Mat. 22:37-40; Mrk. 12:30-31).
Maka dari pendapat para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa Etika Kristen adalah Ilmu
yang meneliti, menilai dan mengatur tabiat dan tingkah laku manusia dengan memakai norma
54
kehendak dan perintah Allah sebagaimana dinyatakan dalam Yesus Kristus.
Referensi:
Christopher J. H. Wright, (2012). Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta:
BPK Gunung Mulia,
J. Verkuly, (1991). Etika Kristen Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
J.L.Ch. Abineno (1996), Sekitar Etika Dan Soal-Soal Etis, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Norman L. Geisler. Etika Kristen Pilihan dan Isu, Bandung: SAAT.
R. M. Drie S. Brotosudarmo, (2000), Etika Kristen Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: ANDI.
58
Robert P. Borrong, (2006). Etika Politik Kristen. Jakarta: UPI & PSE Sekolah Tinggi Teologi.
Modul. IX
IPTEK DAN SENI
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan landasan iman bagi pengembangan IPTEK dan Seni demi
keutuhan ciptaan Tuhan
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali serta mempersentasikan penemuan IPTEK yang
bertujuan menjaga keutuhan serta menjaga ciptaan Tuhan
Penutup (20 menit) Menyimpulkan materi bahasan
A. Pendahuluan
Perkembangan teknologi berlangsung secara evolutif. Sejak zaman Romawi Kuno
pemikiran dan hasil kebudayaan telah nampak berorientasi menuju bidang teknologi. Secara
etimologis, akar kata teknologi adalah "techne" yang berarti serangkaian prinsip atau metode
rasional yang berkaitan dengan pembuatan suatu objek, atau kecakapan tertentu, atau
pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau metode dan seni. Istilah teknologi sendiri untuk
pertama kali dipakai oleh Philips pada tahun 1706 dalam sebuah buku berjudul Teknologi:
Diskripsi Tentang Seni-Seni, Khususnya Mesin (Technology: A Description Of The Arts,
Especially The Mechanical).
Dalam memasuki Era Industrialisasi, pencapaiannya sangat ditentukan oleh penguasaan
teknologi karena teknologi adalah mesin penggerak pertumbuhan melalui industri. Oleh sebab
itu, tepat momentumnya jika kita merenungkan masalah teknologi, menginventarisasi yang kita
miliki, memperkirakan apa yang ingin kita capai dan bagaimana caranya memperoleh teknologi
yang kita perlukan itu, serta mengamati betapa besar dampaknya terhadap transformasi budaya
kita. Sebagian dari kita beranggapan teknologi adalah barang atau sesuatu yang baru. Padahal,
kalau kita membaca sejarah, teknologi itu telah berumur sangat panjang dan merupakan suatu
gejala kontemporer. Setiap zaman memiliki teknologinya sendiri.
Dampak Negatif
1. Terlalu mengagungkan IPTEK
Pemuda Kristen yang tidak bisa lepas dari IPTEK dapat saja menjadikan IPTEK sebagai
dewa di dalam kehidupannya dan secara tidak langsung menjauhkan diri dari hadapan
TUHAN. Bagi pemuda seperti ini, teknologi adalah segalanya.
2. Pornografi
65
Bagi sebagian remaja, bahkan anak-anak terkadang menyalahgunakan IPTEK untuk
memuaskan nafsu manusiawinya. Keinginan daging menjadi semakin tinggi karena
mudahnya mengakses tontonan yang tidak bermoral ditambah lagi peran dan pengawasan
gereja yang masih belum maksimal untuk membentengi iman setiap pemuda generasi
penerus gereja. Hal ini tentu saja dapat merusak citra diri gereja dihadapan manusia
bahkan dihadapan TUHAN.
3. Jauh dari dunia nyata
Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi selain dapat memperat hubungan dengan orang
yang jauh, juga dapat menjauhkan orang yang dekat. Dengan kata lain, IPTEK juga telah
memberikan dampak sosial yang buruk bagi kehidupan pemuda gereja. Terkadang kita
lebih akrab menjalin hubungan dengan orang yang jauhnya ratusan kilometer
dibandingkan dengan sesama kita yang berada disekitar kita.
4. Memaksakan diri untuk mengikuti trend
Sebagian besar pemuda tidak akan puas dengan apa yang dimilikinya. Hal ini bukanlah
masalah, selama pemuda tersebut menyadari apa yang ada padanya. Namun sebaliknya,
hal ini tentu saja akan menjadi masalah ketika pemuda tersebut terlalu memaksa sehingga
menghalalkan semua cara untuk meraih ambisinya tersebut.
G. SENI
1. Pengertian Seni
Seni merupakan ekspresi keindahan. Dalam bahasa Sansikerta, kata seni disebut cilpa.
Sebagai kata sifat, cilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan
bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan,
yang kemudian berkembang menjadi segala macam kreasi yang artistik. Cilpacastra adalah
buku atau pedoman bagi para cilpin, yaitu tukang, termasuk didalamnya apa yang sekarang
disebut seniman. Memang dahulu belum ada perbedaan antara seniman dan tukang.
Pemahaman seni adalah yang merupakan ekspresi pribadi belum ada dan seni adalah ekspresi
keindahan masyarakat yang bersifat kolektif. Yang demikian ini ternyata tidak hanya terdapat di
India dan Indonesia. Juga terdapat di Barat pada masa lampau.
Beberapa pengertian seni menurut beberapa ahli:
Ki Hajar Dewantara
Seni merupakan segala perbuatan mansia yang timbul dari perasaannya dan bersifat indah
hingga dapat menggerakan jiwa perasaan manusia.
Prof. Drs. Suwaji Bastomi
Seni adalah aktifitas batin dengan pengalaman estetik yang dinyatakan dalam brntuk agung
yng mempunyai daya membangkitkan rasa takjub dan haru.
Drs. Sudarmaji
Seni adalah segala manisvestasi batin dan pengalaman estetis dengan menggunakan media
bidang, garis, warna, tekstur, volume dan gelap terang.
Enslikopedia Indonesia
Seni adalah penciptaa segala sesuatu hal atau benda yang karena keindahannya orang
senang melihatnya atau mendengarkan
2. Fungsi Seni
a. Kebutuhan Fisik
Sejarah membuktikan bahwa perkembangan seni musik selalu seiring dengan peradaban
mausia. Sejhak dulu, benda-benda diciptakan dengan mempertimbangkan nilai seni.
Misalnya, model baju yang bernilai seni tinggi tentu harganya jauh lebih mahal dibanding
yang kurang berseni.
b. Kebutuhan Emosional
66
Manusia juga mempunya kebutuhan emosional yang harus dipenuhi. Saat sedang sedih,
gembira, dan sebagainya. Lewat seni inilah seseorang dapat mengungkapkan perasaan
dan daya imajinasinya atau menikmati seni tersebut untuk menghibur hatinya. Untuk
itulah orang seringkali melukis, bernyayi, membuat puisi, mendengarkan lagu atau
menonton drama.
Referensi:
D.C Mulder, (1993). Iman dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Soerjanto Poespowardojo, (1993). Pembangunan Nasional dalam Persatuan Budaya. Jakarta:
Gramedia.
W Stanley Hath, (1997). Sains, Iman, dan Teknologi, Yogyakarta: Andi.
67
Modul. X
PERAN GEREJA DALAM MASYARAKAT
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan peran seorang Kristen dalam kehidupan bermasyarakat
ditengah bangsa Indonesia yang demokrasi
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali dan memaparkan perannya sebagai Pemuda Kristen
dalam menciptakan kehidupan damai dan sejahtera dalam masyarakat
Penutup (20 menit) Tanya jawab sebagai evaluasi perannya sebagai generasi bangsa
A. Pendahuluan
Gereja dimulai 50 hari sesudah kebangkitan Yesus (sekitar tahun 30-34 Masehi). Gereja
(“kumpulan yang dipanggil keluar”) secara resmi dimulai. Gereja pada masa itu biasa
disebut sebagai Gereja abad pertama. Pentobat-pentobat pertama kepada kekristenan adalah
orang-orang Yahudi atau penganut-penganut Yudaisme, dan gereja, yaitu persekutuan orang-
orang yang mengaku Yesus sebagai Tuhan itu, berpusat di Yerusalem
Kekristenan pada mulanya dipandang sebagai sekte Yahudi, sama seperti orang-orang
Farisi, Saduki, atau Eseni. Namun, apa yang dikhotbahkan para rasul berbeda secara radikal dari
apa yang diajarkan oleh kelompok-kelompok Yahudi lainnya. Yesus diberitakan sebagai
"Mesias" atau Juruselamat orang Yahudi, yaitu Raja yang Diurapi, yang telah dinubuatkan
kedatangannya untuk menggenapi Hukum Taurat dan mendirikan Perjanjian Baru yang
berdasarkan pada kematianNya. Berita ini, dan tuduhan bahwa mereka telah membunuh Mesias
mereka sendiri, membuat banyak pemuka Yahudi menjadi marah, dan beberapa orang, seperti
Saulus, yang kemudian dikenal sebagai Paulus, dari Tarsus, mengambil tindakan untuk
memusnahkan “Jalan” itu sebelum ia sendiri akhirnya menjadi pengikut Kristus yang sangat
gigih dalam menyebarkan Injil Yesus.
Periode gereja mula-mula dimulai sejak dimulainya pelayanan rasul Petrus, Paulus dan
lain-lainnya dalam memberitakan kisah Yesus hingga bertobatnya Kaisar Konstantinus I,
kurang lebih tahun 33 hingga 325. Dan pada periode ini juga, gereja dan orang-orang Kristen
mengalami penganiayaan, terutama penganiayaan fisik, namun bapak-bapak gereja mulai
menulis tulisan-tulisan Kristen yang pertama dan ajaran-ajaran yang menyeleweng yang
bermunculan diatasi.
Tidak lama setelah Pentakosta, pintu gereja terbuka kepada orang-orang bukan Yahudi.
Penginjil Filipus berkhotbah kepada orang-orang Samaria, dan banyak dari mereka yang percaya
kepada Kristus. Rasul Petrus berkhotbah kepada rumah tangga Kornelius yang bukanlah
orangYahudi dan mereka juga menerima Roh Kudus. Rasul Paulus (mantan penganiaya gereja)
memberitakan Injil di seluruh dunia Greko-Romawi, sampai ke Roma sendiri dan bahkan
mungkin sampai ke Spanyol.
68
B. Tantangan Gereja Mula-Mula
Gereja/jemaat yang baru berdiri mengalami pertumbuhan yang luarbiasa tetapi dalam
pertumbuhan mereka terdapat juga berbagai tantangan dan kesulitan yang menghalangi
pertumbuhan mereka. Walaupun dalam kesulitan mereka, gereja Tuhan terus berkembang dan
hal itu tidak terlepas dari pemeliharaan Tuhan yang selalu menyertai mereka. Beberapa
tantangan gereja pada jemaat mula-mula, yaitu :
1. Perintah menyembah kepada Kaisar
Kaisar Agustus memiliki kekuasaan yang sangat besar. Salah satu peraturan yang
muncul pada masa pemerintahannya adalah menyembah kepada Kaisar sebagai dewa,
walaupun rakyat masih diperbolehkan menyembah dewa kepercayaan mereka sendiri.
Namun demikian terdapat pengecualian bagi orang Yahudi yang mempunyai agama
Yudaisme yang menjunjung tinggi monotheisme, mereka tidak diharuskan menyembah
kepada Kaisar. Hal ini karena Kaisar khawatir jika para orang Yahudi malah akan
memberontak.
Awalnya agama Kristen dianggap sebagai salah satu sekte dari agama Yudaisme,
sehingga mereka tidak diwajibkan menyembah kepada Kaisar. Tetapi setelah orang Yahudi
secara terbuka memusuhi orang Kristen, agama Kristen dianggap sebagai agama baru.
Oleh karena itu, mereka dikenai kewajiban menyembah Kaisar sebagai dewa. Bagi mereka
yang tidak patuh pada perintah ini, mendapat hukuman dan penganiayaan yang sangat berat.
2. Ajaran Montanus/Montanisme
Montanisme adalah sebuah gerakan sektarian Kristen perdana pada pertengahan
abad ke-2 Masehi, yang dinamai seturut pendirinya Montanus. Gerakan ini berkembang
umumnya di daerah Frigia dan sekitarnya; di sini sebelumnya pengikutnya disebut
Katafrigia. Namun gerakan ini merebak cepat ke wilayah-wilayah lain di Kekaisaran
Romawi, dan pada suatu masa sebelum agama Kristen ditolerir atau dianggap legal.
Meskipun Gereja Kristenarus utama menang atas Montanisme dalam beberapa generasi,
danmencapnya sebagai sebuah ajaran sesat, sekte ini bertahan dibeberapa tempat terisolir
hingga abad ke-8. Sebagian orang membuat paralel antara Montanisme dan
Pentakostalisme (yang disebut sebagian orang Neo-Montanisme). Montanis yang paling
terkenal jelas adalah Tertulianus, yang merupakan penulis gereja Latin paling terkemuka
sebelum ia beralih ke Montanisme. Penganut paham Montanisme disebut dengan Montanis
3. Ajaran Marsion/Marsionisme
Marsionisme adalah ajaran yang dianggap sesat oleh Gereja-gereja resmi di Abad
kedua, didirikan oleh seseorang yang bernama Marsion atau Marcion. Ajarannya yang
paling ditentang oleh banyak tokoh pada waktu itu adalah mengenai pemisahan Allah
Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru. Allah Perjanjian Lama, menurutnya Allah yang
adil, kurang sempurna, kejam dan tidak berpengasihan, gemar menghukum dengan Hukum
Taurat yang diturunkan kepada Musa. Ajarannya lebih mirip pada Teologi Kristen tentang
Gnostisisme.
Baginya, hukum-hukum yang terdapat dalam Perjanjian Lama terlalu berat untuk
dilaksanakan manusia. Dialah Allah yang berkata, "Kasihilah sesamamu manusia dan
bencilah musuhmu; gigi ganti gigi, mata ganti mata, darah ganti darah.". Sedangkan Allah
Perjanjian Baru adalah Allah yang baik, maha murah, penyayang yang tampak dalam diri
Yesus. Allah Perjanjian Baru ini diperkenalkan oleh Yesus Kristus, yang mengutus-Nya
untuk menyelamatkan manusia dan menebus dosa-dosanya dengan membawa Injil tentang
cinta kasih kepada manusia.
69
4. Ajaran Gnostik / Gnostisisme
Gnostisisme (bahasa Yunani: γνῶσις gnōsis, pengetahuan) merujuk pada bermacam-
macam gerakan keagamaan yang beraliran sinkretisme pada zaman dahulu kala. Gerakan ini
mencampurkan berbagai ajaran agama, yang biasanya pada intinya mengajarkan bahwa
manusia pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap di dalam alam semesta yang
diciptakan oleh tuhan yang tidak sempurna. Secara umum dapat dikatakan Gnostisisme
adalah agama dualistik, yang dipengaruhi dan memengaruhi filosofi Yunani, Yudaisme, dan
Kekristenan.
Istilah gnōsis merujuk pada suatu pengetahuan esoteris yang telah dipaparkan. Dari
sana manusia melalui unsur-unsur rohaninya diingatkan kembali akan asal-muasal mereka
dari Tuhan yang superior. Yesus Kristus dipandang oleh sebagian sekte Gnostis sebagai
perwujudan dari makhluk ilahi yang menjadi manusia untuk membawa gnōsis ke bumi.
Pada mulanya Gnostisisme dianggap sebagai cabang aliran sesat dari Kekristenan,
namun sekte Gnostis telah ada sejak sebelum kelahiran Yesus. Keberadaan kaum Gnostik
sejak Abad Pertengahan semakin berkurang dikarenakan akibat dari Perang Salib
Albigensian (1209–1229). Gagasan Gnostis kembali muncul seiring dengan bertumbuhnya
gerakan mistis esoteris pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20 di Eropa dan Amerika Utara.
Mungkin Anda merasa ilustrasi tentang kehidupan Gereja tadi terlalusinis dan pesimis.
Tetapi kalau Anda amati dengan tajam,ternyata memang begitulah sebagian besar penghayatan
warga gereja kita masa kini. Dari semua gambaran tadi,tak ada satu pun yang melihat Gereja
sebagai "aku" atau "kita". Semua melihat Gereja, entah sebagai tempat (tempat mendengarkan
firman, tempat beribadah, tempat beribadah, tempat dilayani) atau sebagai pihak yang melalui
siapa "kami" (para warga gereja) mendapatkan faedah rohani. Dengan kata lain, ada kekeliruan
konsep tentang arti Gereja dan ada kesenjangan yang lebar antara awam dan pejabat Gereja.
Kalau tadi kita melihat kehidupan gereja dari sudut penghayatan para-warga gereja, mari kita
tinjau keadaan gereja di Indonesia dari sudut penataan kehidupan gereja.
Pertama, kita melihat kecenderungan sifat tradisionalisme yang sangat kuat terutama di
kalangan gereja-gereja yang mapan. Yang saya maksudkan tradisionalisme di sini ialah
sikap puas akan tradisidan sikap kaku mempertahankan tradisi sampai-sampai
mengorbankan penghayatan segar yang harus ada dalam kehidupan gereja dan tradisi yang
sebetulnya baik dan perlu itu menjadi sesuatuyang mati dan menghambat kehidupan gereja.
Dalam sikap ini kita jumpai keengganan untuk menyesuaikan bentuk-bentuk ibadah, tata
ibadah dan pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan ciri manusia masa kini.
Kita jumpai pula sikap Farisi yaitu mati-matian mempertahankan bentuk-bentuk ibadah
walaupun tanpa isi dan semangat, ibadah yang hidup. Tradisi yang baik memang harus
dipertahankan tetapi di dalamnya harus hadir kuasa kehadiran Allah yang memperbarui dan
menyegarkan itu. Tradisi bagaimanapun baiknya, tetap dipengaruhi oleh bentuk-bentuk
pergumulan budaya disuatu konteks tempat dan kurun waktu tertentu. Karena kita
hidupdalam zaman yang sedang berubah cepat, kekakuan tradisi akan membuat kita menjadi
agama yang tidak relevan dan tidak kontekstual.
Kedua, kecenderungan mengartikan gereja sebagai institusi. Tidak salah dan tidak dapat
disangkal bahwa ada aspek kelembagaan dalam kehidupan gereja. Namun demikian segi
kelembagaan ini dilihat sebagai unsur sarana dan bukan unsur hakiki. Sedangkan pada
masa kini, sepertinya terdapat penyamarataan antara kegiatan dengan kehidupan gereja,
antara gedung dengan Gereja. Khususnya di kota-kota besar terdapat kecenderungan untuk
mengidentikkan gereja dengan gedung dan bahkan untuk berlomba-lomba membangun
gedung yang megah, mewah dan harga yang wah. Bila demikian gedung gereja justru
71
mengikat kita kepada beberapa kelemahan: immobilitas, karena semakin besar dan megah
semakin menyedot program ke dalam gereja sendiri, bukan ke luar; kekakuan,karena
penataan ruang mengharuskan bentuk komunikasi yang satu arah dan pasif; ketiadaan
persekutuan; kesombongan dan kesenjangan antar kelas ekonomi.
Ketiga, kecenderungan menata gereja secara birokratis. Dalam bukunya: "Teologia Kaum
Awam", Hendrik Kraemer menelanjangi bentuk keuskupan baru yang menjangkiti gereja-
gereja Reformasi, yaitu adanya dualisme antara kaum cleros atau para pejabat gereja,
pemimpin gereja, atau mereka yang expert dalam bidang teologia dan kepemimpinan
kerohanian dan kaum awam yang menganggap atau dianggap buta teologia, buta Alkitab
dan tidak mampu melayani. Secara fakta gereja-gereja reformasi masa kini sebenarnya
sudah mundur balik ke keadaan kepausan Roma Katolik yang tadinya ditentang para
pendahulu kita, hanya saja sekarang dalam bentuk dan warna lain. Disadari atau tidak,
kenyataan ini adalah salah satu penyebab utama kelumpuhan Gereja masa kini. Sebenarnya
Gereja adalah kita semua, yaitu semua umat tebusan Allah. Jika para warga gereja yang
justru merupakan ujung tombak Kekristenan di tengah dunia ini diperlakukan sebagai awam
yang bodoh dan tak mampu, maka praktis gereja tak mungkin lagi membawa dampak dalam
dunia ini.
Keempat, adanya kesenjangan yang cukup parah antar generasi dan kelas para warga
gereja. Misalnya, program-program gereja kebanyakan disusun menurut usia dan jenis
kelamin. Kelas-kelas Sekolah Minggu yang terbatas hanya pada usia anak sampai pemuda,
terpisah dari konteks keluarga yang sebenarnya justru lebih diutamakan Alkitab sebagai
iklim paling tepat untuk pendidikan rohani. Juga ada kelompok-kelompok kegiatan yang
memperkuat kesenjangan antar generasi. Misalnya: kegiatan komisi wanita, komisi pemuda,
dlsb. Memang pembagian kegiatan menurut kategori tadi membuat pelayanan mungkin
lebih efektif, namun harus dipikirkan wadah-wadah ibadah dan pelayanan yang aktif
menghayati sifatheterogen dari gereja. Bila tidak, sukar sekali gereja bersangkutan
menghayati hakekat keumatannya
Kelima, adanya kecenderungan mengutamakan para professional dalam kepemimpinan
gereja dan menjalankan semangat profesionalisme dalam pelayanan gereja. Memang kita
patut mensyukuri potensi yang ada di tengah warga gereja, juga memetik manfaat dari
keahlian mereka. Namun kriteria kepemimpinan Alkitabiah tetap mendahulukan dan
mensyaratkan kwalitas rohani mengatasi kwalitas pengetahuan, pendidikan,keterampilan
atau punkedudukan dalam masyarakat. Bahaya dari kepemimpinan paraprofesional yang
tidak rohani ialah menerapkan semua prinsip yang mereka pandang berhasil dari dunia
mereka ke dunia gerejawi. Padahal sifat gereja sebagai organisme rohani dan bukan
terutama organisasi menuntut adanya pendekatan kepemimpinan, penataan dan
pemrograman yang khas. Sementara itu menjalankan pelayanan semata-mata karena
keahlian akan menghasilkan suatu kegiatan yang mungkin berhasil secara manusiawi tetapi
tidak disertai dan diberkati Tuhan.
Hal-hal diatas bisa dianggap sebagai problem serius dan hambatan bagi perkembangan
Gereja. Oleh karena itu, mulai dari sekarang kita harus mengubah bagaimana pandangan dan
anggapan kita terhadap gereja, jangan menganggap pergi ke gereja hanya sebagai sebuah
rutinitas, tetapi anggaplah sebagai sebuah 'kebutuhan'.
2. Persekutuan (Koinonia)
Persekutuan berarti rela berbagi kepada sesama dalam suatu perkumpulan. Sebagai orang
beriman, kita senantiasa dipanggil untuk ikut dalam sebuah persekutuan untuk mempererat
tali persaudaraan. Di dalam persekutuan inilah kita bisa menampakkan kehadiran Yesus
Kristus. Tali persaudaraan antara kamu dengan umat yang lain bisa terjalin dengan
Pengantaraan Kristus dalam Kuasa Roh Kudus-Nya.
Contoh kegiatan yang mencerminkan persekutuan, antara lain:
Mengikuti kegiatan Pendalaman Iman (PA)
Bergabung dalam muda mudi Gereja
Bergabung pada perkumpulan lingkungan, ibu-ibu, bapak-bapak, dan orang lansia
1 Yohanes 1:3 “Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan
kepada kamu juga, supaya kamu beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami
adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus.”
3. Pewartaan (Kerygma)
Mewartakan berarti membawa kabar gembira bagi seluruh umat manusia. Lukas 22:27
“Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan atau yang melayani? Bukankah dia
yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.”
Contoh peran Gereja dalam pelayanannya sebagai perwataan dalam masyarakat :
Misalnya, Katekese calon baptis, penerimaan Sakramen Tobat, Sakramen Krisma,
Sakramen Perkawinan, dan kegiatan pendalam iman.
Dengan melakukan kegiatan pewartaan, kita sudah dapat dikatakan membantu umat
Allah untuk mendalami kebenaran Firman Allah.
Dengan demikian, umat Allah bisa hidup kekal, tidak mudah goyah, dan tetap setia
kepada pengajaran Tuhan Yesus.
Matius 10:7 “Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat.”
Sejarah Gereja adalah sebuah persekutuan yang hadir di tengah-tengah kehidupan
bermasyarakat secara universal. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Gereja
memiliki tugas pewartaan dan berperan aktif untuk selalu memberikan nilai-nilai positif bagi
umatnya. Nilai-nilai positifnya sudah pasti masih sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Tuhan Yesus. Disini, Gereja dituntut untuk memperlihatkan siapa dan bagaimana
73
karakteristik Tuhan Yesus itu sendiri.
4. Liturgia (Liturgi)
Dalam hidup menggereja, ibadah adalah sumber dan pusat untuk beroleh iman dalam Yesus
Kristus. Kegiatan Liturgi sering kita lakukan pada Hari Minggu, ketika kita beribadah di
gereja. Sebagai umat Kristiani, kita bisa mendalami iman melalui kegiatan liturgi di gereja.
Doa, simbol, lambang, dan perayaan di gereja merupakan bagian dari liturgi.
Contoh kegiatan liturgi di gereja, antara lain:
Mengikuti tata ibadat pada Hari Minggu
Ikut kegiatan paduan suara atau koor di gereja
Menjadi putra dan putri altar
Dengan adanya persekutuan, kita sebagai umat manusia diharapkan bisa menyatu dengan
umat yang lainnya. Tidak melihat ras, suku, bangsa, dan latar belakangnya. Karena pada
intinya, kita ingin bersatu dengan mereka untuk mewujudnyatakan Kristus Yesus dalam
kehidupan.
5. Marturia (Penginjilan)
Sebelum Tuhan meninggalkan dunia, Ia berpesan kepada murid-murid-Nya untuk menjadi
saksi-Nya dalam memberitakan Injil. Tugas inipun dilakukan oleh para murid. Kita selaku
Anak Allah juga dituntut untuk melakukan hal yang sama, yaitu menjadi Saksi Kristus di
tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dengan menghayati karya keselamatan
Tuhan dalam hidup kita. Cara pelayanan Gereja sebagai peran didalam masyarakat majemuk:
Beritakanlah injil kepada seluruh bangsa dan jadilah garam dan terang dunia di tengah-
tengah masyarakat. Berbuat baiklah agar kamu disenangi oleh orang-orang di sekitarmu.
Mazmur 19:7 “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu
teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman.”
Yesaya 8:20 “Carilah pengajaran dan kesaksian! Siapa yang tidak berbicara sesuai
perkataan itu, maka baginya tidak terbit fajar.”
Selaku Anak Allah, kita selelu dituntut untuk berbuat baik kepada sesama, sama dengan apa
yang dilakukan Gereja, dan yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus kepada kita. Ulangan
7:9 “Sebab itu haruslah kau ketahui, bahwa Tuhan, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang
setia, yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-
Nya dan berpegang pada perintah-Nya, sampai kepada beribu-ribu keturunan.”
6. Perwujudan Iman
Iman adalah hubungan cinta kasih yang terjalin antara manusia dengan Tuhan. Untuk
mengungkapkan iman dan kepercayaan akan Yesus Kristus, kita bisa mewujudkan hal
tersebut dalam bentuk menyelenggarakan kegiatan sosial di Gereja. Disini, Gereja harus bisa
menunjukkan dan mempraktikkan bentuk pelayanan yang dilakukan Yesus selama Ia berada
di dunia. Berikut bentuk perwujudan iman dalam bentuk kesertaannya dalam peran Gereja:
Tak hanya Gereja saja, kamu sebagai umat Tuhan juga dituntut untuk mewujudkan
imanmu sebagai bukti kalau kamu seorang Kristiani. Perwujudan iman ini bisa berupa
penyerahan total kepada Yesus Sang Juru S’lamat.
Kamu harus selalu menyerahkan seluruh hidupmu kepada Tuhan, biarlah Ia yang selalu
berkuasa atas dirimu.
Perwujudan iman juga haruslah disertai dengan hati yang tulus dan penghayatan akan
iman kepada Tuhan. Tanpa kedua hal tersebut, perwujudan iman sama saja kosong.
Perwujudan iman harus dibuktikan dalam tindakan nyata. Karena iman tanpa perbuatan
hasilnya nihil.
Galatia 2:16 “Kamu tahu, bahawa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena
74
melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Yesus Kristus. Sebab
itu, kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena
iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan Hukum Taurat. Sebab tidak ada
seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan Hukum Taurat.”
7. Pengungkapan Iman
Komunikasi adalah salah satu cara untuk mengungkapkan iman akan Kristus Yesus.
Pengungkapan iman bisa dinyatakan dalam bentuk yang khusus dan eksplisit, contohnya
dalam pewartaan, pelayanan, dan perayaan Ekaristi yang setiap kali diadakan di Gereja.
Berikut cara peran Gereja dalam mengungkapkan iman didalam masyarakat:
Pengungkapan iman adalah bentuk dari penghayatan iman yang bisa kita dapatkan saat
kita berada di lingkungan masyarakat. Iman diungkapkan secara nyata, namun tidak
secara kentara alias memperlihatkan sikap dari iman.
Rasa kepercayaan Gereja dalam memberitakan kesaksian dan kepastian tentang iman
Kristus kepada semua umat Kristiani dan seluruh masyarakat majemuk lainnya.
Gereja akan serta aktif kepada masyarakat agar setiap masing-masing masyarakat bisa
saling memberikan rasa pengungkapan iman yang saling percaya dari hatinya untuk
Tuhan
Selain itu untuk dari itu Gereja akan membentuk suatu Gereja yang luar biasa dan nyata
dalam pelayanan kasihnya terhadap masyarakat. Selain itu kita sebagai masyarakat juga
harus saling tahu apa peran kita sebagai masyarakat dalam menjalin hubungan dengan Gereja
3. Nasihat
Kalau kita sendirian, maka kita mudah berjalan menyimpang. Di dalam kelompok yang
lebih besar, kita dapat saling bertanggung jawab dan saling membagi hikmat kita. Amsal
27:17 menyebutkan, "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya."
Kita hanya seperti bongkahan arang yang kehilangan tenaga bila dikeluarkan dari api.
Untuk terus menyala, kita membutuhkan orang Kristen lainnya. Kebutuhan kita ini tidak
akan terpenuhi dengan sendirinya; kebudayaan kita memupuk sifat individualisme yang
tidak sehat. Tetapi tinggal di dalam Kristus berarti tetap berhubungan dengan anggota-
anggota lain dari tubuhnya. Bila kita bersekutu dengan sesama orang Kristen, kita
memperoleh kekuatan dari mereka, dan hidup kita diperkaya oleh karunia-karunia rohani
mereka.
4. Pelayanan
Di dalam jemaat, kita dapat menyatukan dana dan kemampuan kita untuk menjangkau
orang lain agar datang kepada Kristus. Kita dapat berhubungan dengan orang Kristen lain
yang sama melayani, entah itu kepada mahasiswa internasional, kepada anak-anak belasan
tahun, kepada para tunawisma, atau dalam misi dunia. Misalnya, melayani dua puluh orang
mahasiswa internasional sangat sulit untuk dikerjakan oleh seorang saja, tetapi sekelompok
orang dari satu gereja dapat bekerjasama dengan mudah merencanakan dan melaksanakan
berbagai kegiatan-kegiatan.
Referensi:
Widi Artanto, (2016). Gereja dan Misi-NYA: Mewujudkan Kehadiran Gereja dan Misi-Nya di
Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia.
Peter Wongso, (1999). Tugas Gereja dan Misi Masa Kini. Malang: SAAT.
Jonge, (2009). Apa dan Bagaimana Gereja? Pengantar Sejarah Eklesiologi. Jakarta: BPK
Gunung Mulia,.
76
Modul. XI
KEBUDAYAAN DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjabarkan konsep budaya berpikir dan bertindak kritis, bekerja keras dan
bijaksana sesuai nilai-nilai luhur budaya Indonesia
Penyajian (90 menit) Mahasiswa mengeksplorasi ide-ide kreatif dalam mengembangkan
kemampuannya serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
Penutup (20 menit) Tanya jawab sebagai evaluasi bahasan materi
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya
memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras dalam menciptakan ataupun
kemudian saling mendelegasikan. Agama sebagai pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh
Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebudayaan sebagai kebiasaan tata cara hidup
manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang
diberikan oleh Tuhan. Agama dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama
mempengaruhi kebudayaan, kelompok / masyarakat / suku / bangsa. Kebudayaan cenderung
mengubah-ubah keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan.
Hidup bermasyarakat dan hidup bergereja secara umum di Indonesia adalah dua hal yang
sulit dipisahkan. Kebudayaan mempengaruhi hidup Kekristenan. Perlu disadari bahwa manusia
tidak hidup sendiri di dunia dimana ia terbebas dari segala nilai dan adat-istiadat dan bisa berbuat
apapun sesukanya, sebab sebagai mahluk yang tinggal di dunia ini, manusia selalu berinteraksi
dengan keluarga, orang-orang di lingkungan hidup sekelilingnya, lingkungan pekerjaan, suku dan
bangsa dengan kebiasaan dan tradisinya dimana ia dilahirkan, dan budaya religi turun-temurun
dimana suku dan bangsa itu memiliki tradisi nenek-moyang yang kuat. Agama dan adat istiadat
yang ketat, kedua identitas ini diwariskan dari orang tua secara turun-temurun dan dilaksanakan
dalam kehidupan bermasyarakat.
77
B. Hakikat Kebudayaan
Defenisi kebudayaan secara etimologi (asal kata): berasal dari bahasa Sansekerta
“buddhayah”. Kata ini adalah kata jamak dari “buddhi” yang berarti “budi” atau akal dan
“dayah” berarti kemampuan. Dengan demikian kata kebudayaan dapat diartikan menjadi “hal-
hal yang bersangkutan dengan hasil berakal”. Ada ahli juga mengatakan kata budaya itu berasal
dari kata budi - daya, yang berarti daya dari budi atau kemampuan dari akal. Kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat, yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat, hal 180).
Dari pemaparan diatas dapat dikatakan, menurut para ahli Antropologi kebudayaan itu
ternyata sangat luas, dalam dan tinggi, karena mencakup semua yang ada di dalam fikiran,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupannya di dalam kehidupan sosial, budaya
dan alamnya. Dengan demikian bisa juga dikatakan, bahwa kebudayaan itu adalah strategi hidup
manusia di dalam masyarakatnya, sehingga dia dapat bertahan untuk hidup dilingkungan sosial,
budaya dan alamnya serta strategi itu harus dipelajari, sehingga manusia dapat menguasainya. Di
mana semuanya itu, dapat dijadikan milik oleh manusia secara terus menerus atau turun temurun
melalui proses belajar.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut
membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan
dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah
yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan
memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
79
Mandat budaya Sebagai panggilan suara kenabian yang mewartakan kebenaran Alkitab
didalam memandang seluruh problematika kehidupan disegala bidang baik pendidikan ekonomi,
sosial, hukum, kemasyarakat dll. Bila Alkitab berbicara begitu positif mengenai kebudayaan,
mengapa kebudayaan menjadi suatu yang dipersoalkan? Apa yang
menyebabkannya? Penyimpangan kebudayaan terjadi misalnya dalam peristiwa ‘Menara Babel’
dimana tujuan kebudayaan menyimpang diarahkan untuk penyembahan berhala dan kebanggaan
diri/kelompok (Kej.11). Tema dosa yang merusak tujuan kebudayaan adalah ‘ingin menjadi
seperti Allah’ (Kej.3:5) dan ‘mencari nama’ (Kej.11:4). Jadi dosa telah menyimpangkan
kebudayaan sehingga berpotensi bukan saja untuk tidak memuliakan penciptanya, sebaliknya
malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan menantang Allah.
Kebudayaan merupakan suatu hal yang sudah sangat melekat dalam tiap diri masyarakat
terutama Indonesia, di sekeliling tempat tinggal kita terdapat banyak dan beragam suku dan
bangsa yang memiliki ciri khasnya sendiri. Perwujudan nyata yang nampak dari suatu
kebudayaan adalah benda-benda yang di ciptakan oleh manusia sebagai pelaku dari kebudayaan
itu sendiri. Suatu kebudayaan dapat terlihat dalam pola-pola perilaku kelompok masyarakats,
bahasa, peralatan sehari-hari yang digunakan hingga seni yang mana semuanya itu terus
dikembangkan dan disempurnakan guna membantu kehidupan sehari-hari dari manusia itu
sendiri serta membantu untuk membentuk karakter pemimpin Kristen.
Lalu sebagai kaum beriman yang mengikuti keteladanan Yesus Kristus bagaimana kita
menanggapi sebuah kebudayaan dengan pandangan kita sebagai orang percaya kepada Tuhan
Yesus? Jika kita melihat dari dasarnya kebudayaan tentu kita sebagai kaum beriman akan sebisa
mungkin menolak kebudayaan yang ada karena kebanyakan kebudayaan yang ada saat ini tidak
sesuai dengan firman Tuhan. Meski demikian kita juga harus menjadi orang yang bijaksana
dalam berfikir dan mengambil suatu keputusan terkait kebudayaan ini, oleh karena itu kita perlu
mengetahui apa sebenarnya tujuan kebudayaan menurut pandangan Kristen dalam hidup kita
serta mengetahui apa pengaruh IPTEK terhadap iman Kristen.
Beberapa tujuan kebudayaan menurut pandangan iman Kristen yang akan akan
dijelaskan sebagai berikut :
1. Kebudayaan ada untuk memuliakan Allah
Tujuan kebudayaan menurut pandangan Kristen yang pertama adalah guna memuliakan
Allah atas kuasa dan kasihnya kepada kita manusia yang berdosa. Allah ketika menciptakan
manusia untuk pertama kalinya tidak hanya memberikan suatu hal yang sangat spesial yang
membedakan manusia dengan mahluk ciptaannya yang lain yakni gambar dan rupa yang
sama dengan Allah, namun Ia juga memberikan hayat dan akal budi kepadanya.
Tuhan ingin agar manusia dapat seturut bertindak untuk menyenangkan Allah. Ketika
manusia jatuh ke dalam dosa pun Allah tidak langsung meninggalkan mereka di dunia untuk
tersiksa, diberikannya kemampuan bercocok tanam agar mereka dapat mempertahankan
hidup dan beranak cucu. Segala pengetahuan diberikan guna membantu mempermudah
pekerjaan-pekerjaan dunia yang dilakukannya serta membuat manusia memiliki ciri orang
bijak menurut Alkibat dalam mengambil langkahnya.
Dari sini kita dapat melihat awalnya Allah ingin agar kebudayaan yang tercipta oleh
pengetahuan manusia untuk memuliakan Tuhan yakni terjadi secara vertikal serta secara
horizontal yaitu terjadi sesama manusia untuk saling mengasihi. Namun seiring berjalannya
waktu tujuan awal ini berubah menjadi suatu sarana untuk saling menunjukan kelebihan tiap
diri manusia secara indivisu atau kelompok, secara tidak sadar sifat asli manusia yang mana
diharuskan untuk memuliakan penciptanya malah berubah menjadi ke hal duniawi.
81
ada. Agama kristen dikorbankan demi kepentingan kebudayaan yang ada. Akomodasi
demikian sering kita lihat dalam hubungan dengan agama-agama animis dan adat istiadat
sehingga terjadi sinkretisme yang berbahaya. Sikap demikian terlihat misalnya dalam usaha
untuk menganggap bahwa ‘semua agama itu sama saja’ atau yang belakangan ini lebih
dikenal sebagai ‘semua agama menuju yang SATU’ (inklusivisme);
3. Dominasi
Biasa dilakukan dalam gereja Roma Katolik dimana sesuai teologia Thomas Aquinas yang
menganggap bahwa ‘sekalipun manusia dalam dosa telah merosot citra ilahinya karena
kejatuhan dalam dosa’ pada dasarnya manusia tidak jatuh total, melainkan masih memiliki
kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya dalam menghadapi kebudayaan kafir
sekalipun, umat bisa melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir
itu menjadi bagian iman, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh
sakramen.
4. Dualisme
Sikap ini mendua yang memisahkan agama dan budaya secara dikotomis. Pada satu pihak
terdapatlah dalam kehidupan manusia beriman kepercayaan kepada pekerjaan Allah dalam
Tuhan Yesus Kristus, namun manusia yang sama tetap berdiri di dalam kebudayaan kafir dan
hidup di dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia yang
berdosa dan mengubahnya menjadi kehidupan dalam iman tidak ada artinya dalam
menghadapi kebudayaan. Manusia beriman hidup dalam kedua suasana atau lapangan baik
agama maupun kebudayaan secara bersama-sama;
5. Pengudusan
Yang tidak menolak secara total (antagonistis) namun juga tidak menerima secara total
(akomodasi), tetapi dengan sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia dalam
dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia melainkan menawarkan pengampunan
dan kesembuhan bagi manusia untuk memulai suatu kehidupan yang lebih baik dengan
mengalami transformasi kehidupan etika dan moral. Manusia melakukan dan menerima hasil
kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, dan
mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu
atau malah ketiga sikap budaya yang salah itu, umat beriman harus menggunakan firman
Tuhan untuk mengkuduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya ke arah
‘memuliakan Allah’, ‘tidak menyembah berhala’, dan ‘mengasihi manusia dan
kemanusiaan.’
Kelihatannya Alkitab lebih condong untuk mengajarkan umat Kristen agar melakukan
sikap ‘Pengudusan’ sebagai kesaksian iman Kristiani dalam kehidupan berbudaya. Rasul Paulus
memberikan peringatan agar: “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan
filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak
menurut Kristus.” (Kol.2:8).
Referensi:
Basuki Yusuf, (2014). Pertumbuhan Iman Yang Sempurna. Yogyakarta.
Daniel J Adams, (1992). Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia. Jakarta: BPK Gunung
82
Mulia.
Harun Hadiwijono, (2018). Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Koentjaraningrat, (2011). Kebudayaan, Mentalitas Dan Pembagunan. Jakarta: Balai Pustaka.
Stephen Tong, (2007). Dosa Dan Kebudayaan. Surabaya: Momentum.
Modul. XII
KONTRIBUSI GEREJA DALAM POLITIK
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan kontribusi gereja dalam kehidupan politik berbangsa dan
bernegara.
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali serta memaparkan visi misi gereja, serta kontribusinya
bagi bangsa dan negara
Penutup (20 menit) Menyimpulkan materi bahasan
A. Pendahuluan
Agama dan Politik sering dipandang sebagai dua kutub yang berbeda sepanjang
kehidupan manusia, khususnya dalam kehidupan politik. Oleh karena itu muncul dua pandangan
ekstrim tentang hubungan agama dan politik. Pertama, pandangan yang mengatakan agama dan
politik merupakan satu kesatuan yang integral, dan yang kedua, pandangan yang mengatakan
agama dan politik harus dipisahkan secara total.
Pemerintah harus netral terhadap agama-agama. Pemisahan agama dengan politik
diharapkan dapat menghindarkan konflik, tetapi kenyataannya tidak berhasil, bahkan
sekularisme pada akhirnya menghasilkan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.
Kegagalan memisahkan secara total tersebut tentu saja karena manusia agama dan manusia
politik itu adalah orang yang sama, yang tidak mudah membagi diri pada ranah berbeda.
Sebenarnya bila kita tinjau hasil akhir atau tujuan dari agama dan politik, memang tidak ada
alasan untuk memisahkan agama dan politik. Karena sebenarnya aktifitas politik itu harus
83
didasarkan pada nilai-nilai agama.
Sebagai warga negara, kehidupan orang Kristen tidak terlepas dari kehidupan berbangsa
dan bernegara. Ketika orang Kristen memiliki hak dan tanggungjawab di dalam bergereja, orang
Kristen pasti memiliki hak dan tanggungjawab sebagai warga negara. Yang menjadi persoalan
adalah bagaimana orang Kristen menempatkan posisinya di dalam situasi yang demikian. Di
mana hubungan gereja dan negara tidak terlepas dari masalah bahkan sudah ada sejak lama.
Hubungan itu sesuatu yang dinamik dari waktu ke waktu. Dalam hal inilah bagi orang
Kristen perlu pemahaman yang Alkitabiah tentang hubungan Gereja atau orang Kristen dengan
negara atau pemerintah.
B. Hakikat Politik
Dilihat dari sisi etimologisnya, kata ‘politik’ berasal dari kata Yunani, yaitu Po’lis yang
diartikan sebagai kota (city). Dalam perkembangan berikutnya, kota-kota memperluas diri atau
menyatukan diri dan kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang
pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-lembaga dan
tujuannya (William Ebenstein; Political Science, 1972. p.309).
Dalam bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang
dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-
kebijakan publik (Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969) Banyak
pendapat masyarakat mengenai definisi politik. Di antaranya yaitu menyatakan politik adalah
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat bagi masyarakat/proses alokasi dan
distribusi inti proses politik adalah : Keputusan yang mengikat masyarakat, melibatkan sejumlah
ketentuan-ketentuan politik (partai politik, kelompok, kepentingan, dan sebagainya) untuk
kepentingan dan kebaikan bersama.
2. Memiliki visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah
Visi dan misi para politikus Kristen hendaknya tidak hanya dibatasi oleh lingkup dan
waktu. Maksudnya kiprah dalam dunia politik tidak hanya dibatasi oleh konstitusinnya saja
(kelompok pemilihnya) atau pun jangka waktu memiliki jabatan itu. Bahkan lebih jauh lagi
para politikus Kristen juga sekaligus adalah agen-agen eskatologis dan seharusnya ikut serta
dalam menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah (keadilan, kebenaran, perdamaian dan
88
keutuhan ciptaan).
Referensi:
Eddy Kristianto, (2001). Etika Politik dalam konteks Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Franz Magnis Suseno, (2014). Iman dan Hati Nurani. Jakarta: Obor.
Saut Hamonagan Sirait, (2001). Politik Kristen di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Zakaria J. Ngelow, dkk. (2013). Teologi Politik: Panggilan Gereja di bidang Politik Pasca Orde
Baru. Makassar: Oase Intim.
Modul. XIII
GEREJA DALAM KEHIDUPAN NEGARA HUKUM
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskan kontribusi gereja dalam kehidupan Negara hukum yang
demokratis dan menghormati HAM
Penyajian (90 menit) Mahasiswa menggali tentang pandangan ajaran Kristen mengenai hukum,
ideologi dan HAM di Indonesia
Penutup (20 menit) Tanya jawab untuk menyimpulkan materi bahasan
A. Pendahuluan
Secara sosiologis, relasi antara Gereja dan Negara lebih dikontekstualisasikan ke dalam
relasi antara Gereja sebagai bagian dari Masyarakat dengan Negara sebagai entitas yang secara
institusional mempunyai wewenang dan legitimasi hukum untuk menerapkan berbagai kebijakan
yang secara kolektif mengikat seluruh anggota masyarakat demi kepentingan bersama.
Gereja sebagai bagian dari masyarakat secara sosiologis dapat ditinjau secara umum dari
89
dua aspek; pertama, sebagai komunitas kaum beriman, atau kedua, sebagai institusi keagamaan
yang terorganisasikan dengan baik dan memiliki legitimasi di kalangan para pengikut agama
yang bersangkutan .
Dalam melihat identitas sebagai umat Allah, dan juga bagian dari sebuah negara, gereja
cenderung dualistik. Ini memengaruhi seberapa besar kontribusi yang bisa diberikan gereja
kepada negara. Pemisahan antara apa yang disebut “rohani”, dan “sekuler” cukup menghambat
warga gereja untuk menemukan perannya dalam mengaktualkan kepedulian terhadap negara.
Gereja cenderung menjadi wilayah privat, dan menjauhkan diri dari dimensi sosial yang lebih
luas. Isu-isu kemasyarakatan tidak dilihat sebagai ranah kerja gereja karena dianggap tidak
berkaitan dengan kebutuhan spiritual manusia.
Gereja dan negara memiliki hubungan yang berbeda di sepanjang perjalanan sejarah
umat manusia. Hubungan tersebut terbina dengan adanya relasi antara pemerintah dalam negara
dengan pemerintahan dalam gereja. Hubungan yang bervariasi tersebut diwarnai oleh berbagai
peristiwa yang terjadi di dalam sejarah manusia. Ada kalanya ketika gereja dan negara benar-
benar terpisah. Akan tetapi dalam suatu masa sejarah tertentu, negara dan gereja menyatu.
Demikian juga ada masanya ketika gereja dikuasai sepenuhnya oleh negara dan sebaliknya ada
masa dalam sejarah perkembangan gereja ketika negara dikuasai oleh gereja.
B. Pengertian Negara
Dalam bahasa Ibrani negara dapat diartikan “am” yang berarti suatu kumpulan bangsa
atau ras dan jumlah penduduk yang tahkluk pada suatu pemerintah. Dalam Perjanjian Baru
bangsa disebut dengan “laos” atau “demos” yang artinya orang banyak.
Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia
bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dan mengakui adanya suatu pemerintahan
mengurus tata tertib serta keselamatan kelompok. Negara adalah suatu perserikatan yang
melaksanakan satu pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan
untuk memaksa ketertiban sosial. Masyarakat ini berada dalam suatu wilayah tertentu yang
membedakannya dari kondisi masyarakat lain dari luarnya.
Sedangan pengertian Negara Hukum menurut Aristoteles, adalah negara yang berdiri di
atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Peraturan
yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi
pergaulan antar warga negaranya. Maka menurutnya yang memerintah negara bukanlah manusia
melainkan "pikiran yang adil". Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Indonesia adalah Negara Hukum; dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum tertuang pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa "Negara Indonesia
adalah Negara Hukum" Dimasukkannya ketentuan ini ke dalam bagian Pasal UUD 1945
menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara
Indonesia adalah dan harus merupakan negara hukum. Sebelumnya, landasan negara hukum
Indonesia ditemukan dalam bagian
Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara sebagai Negara
Hukum, yaitu:
1. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat) tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (Machsstaat).
2. Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak
bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Sedangkan ciri-ciri suatu negara hukum dapat disebut Negara Hukum adalah sebagai
90
berikut:
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang
politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
3. Jaminan kepastian hukum, yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat
dilaksanakan, dan aman dalam melaksanakannya.
Lebih lanjut, dasar pemahaman tentang hubungan Gereja dan Negara juga dilandasi atas
dasar pernyataan Yesus: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar
dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat. 22:21). Yesus
menganjurkan agar setiap orang taat kepada pemerintah sebagaimana ia taat kepada Allah.
Bahkan Yesus sendiri memberi teladan berdasarkan kehendakNya ketika ia turut serta membayar
pajak. Dalam hal ini, kepatuhan kepada pemerintah juga dianjurkan Paulus dalam Roma 13:1-7,
namun kepatuhan itu dipahami harus ditempatkan secara bersamaan dan berada di bawah
kepatuhan kepada Allah.
Secara teologis dapat dilihat bahwa Allah mengikutsertakan manusia untuk
mempertahankan keadilan-Nya, dimana negara diberi kuasa untuk melindungi hidup manusia
dan mencegah perbuatan jahat (Kej. 9:5-6). Dalam Mazmur 75 juga terlihat bahwa kekuasaan
dan kewibawaan pemerintah itu tidak diperoleh dengan sendirinya, tetapi diberikan dari atas
(oleh Allah).
Dengan demikian pemerintah harus bertanggungjawab kepada Allah yang memberikan
kekuasaan kepadanya. Sebagaimana Rasul Paulus mengatakan bahwa tidak ada pemerintah yang
tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah (bnd. Yoh.
19:11). Dengan demikian nampak jelas bahwa kekuasaan yang ada pada pemerintah pada
dasarnya adalah berasal dari Allah.
Kristus sebagai Kepala Gereja yang adalah tubuhNya sendiri, dipanggil untuk hidup,
melayani dan bersaksi di tengah-tengah masyarakat dunia ini (Yoh. 15:16). Gereja diberi mandat
oleh Kristus untuk menjadi terang dan garam (Mat. 5:13-14). Di dalam dunia Gereja hidup
menyatu dengan masyarakat dunia yang bersifat pluralistis. Gereja sebagai persekutuan orang
percaya, berada di tengah-tengah masyarakat, kebudayaan, politik, ekonomi dan sosial. Dalam
konteks ini Gereja berfungsi sebagai terang di tengah-tengah kegelapan (1 Ptr. 2:9).
Gereja dan negara adalah merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Allah. Dengan
demikian keduanya harus tunduk kepada Allah. Gereja dan negara menerima tugas dan
91
panggilan dari Allah, dan berfungsi di tengah-tengah pergaulan hidup manusia di dunia ini.
Menurut Karl Barth, Gereja dan negara sama-sama berlandaskan “Kerajaan Kristus”, dimana
negarapun diartikan sebagai bagian dari “tata anugerah”. Negara dan Gereja dilukiskan sebagai
dua lingkungan yang konsentris, dengan Injil adalah sebagai pusat satu-satunya.
Dari pengertian di atas nyatalah bahwa Gereja dan Negara diciptakan Allah untuk
memenuhi keinginanNya, dan keduanya harus tunduk kepada Allah dalam melaksanakan tugas
dan panggilannya masing-masing. Dalam rangka pemerintahan Allah akan dunia ini, maka
Gereja dan negara harus mempunyai rancangan demi kemuliaan Allah, dimana Gereja harus
mengatur kegiatan ritus keagamaan dan negara mengurus masalah politis. Gereja membawa
orang-orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan merubah manusia menjadi manusia
baru. Negara adalah merupakan lembaga yang acap kali dilanda problema untuk
mempertahankan identitas yang tidak pernah kekal.
Menurut Marthin Luther, negara tidak boleh mengurusi atau mencampuri wewenang
Gereja dalam hal spiritual dan juga struktur pengorganisasian. Oleh karena itu Gereja dan negara
merupakan dua identitas yang otonom yang masing-masing memiliki wilayan kewanangan
sendiri-sendiri. Demikian Marthin Luther memahami adanya dua Kerajaan, yaitu Kerajaan Allah
dan kerajaan dunia : Gereja dan Negara. Keduanya terpisah namun saling berhubungan.
Referensi:
Djohan Effendi, (2013). Pluralisme dan Kebebasan Beragama, Yogyakarta: Institute
Ekklesiologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
John A.Titaley, (2013). Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama. Salatiga:
Satya Wacana University Press,
Widi Artanto, (2010). Menjadi Gereja yang Misioner, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Modul. XIV
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB MAHASISWA
BAGI BANGSA DAN NEGARA
Petunjuk Pertemuan
Tahap Kegiatan
Pendahuluan (60 menit) Menjelaskanperan dan tanggung jawabnya bagi bangsa dan negara
Penyajian (90 menit) Mahasiswa mendefenisikan dan menjelaskan arti peran dan tanggung
jawabnya bagi bangsa dan negara yang pluralis
Penutup (20 menit) Memberikan kesimpulan materi bahasan
A. Pendahuluan
Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa yang diyakini mampu bersaing dan
mengharumkan nama bangsa, juga mampu menyatukan serta menyampaikan pikiran dan hati
nurani untuk memajukan bangsa. Mahasiswa juga dianggap sebagai kaum intelektual atau kaum
cendekiawan oleh masyarakat. Gabungan antara kesadaran akan amanah dari rakyat untuk
97
Indonesia yang lebih baik dan kesempatan menjadi kaum intelektual-lah yang bisa menjadi
kekuatan hebat untuk menjadikan Indonesia hebat. Selain itu mahasiswa adalah aset yang sangat
berharga. Harapan tinggi suatu bangsa terhadap mahasiswa adalah menjadi generasi penerus
yang memiliki loyalitas tinggi terhadap kemajuan bangsa, terutama dalam dunia pendidikan.
Bukan zamannya lagi mahasiswa untuk sekedar menjadi pelaku pasif atau menjadi
penonton dari perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi tetapi mahasiswa harus mewarnai
perubahan tersebut dengan warna masyarakat yang akan dituju dari perubahan tersebut yaitu
masyarakat yang adil dan makmur. Mahasiswa harus menjadi agen pemberdayaan setelah
perubahan yang berperan dalam pembangunan fisik dan non fisik sebuah bangsa yang kemudian
ditunjang dengan fungsi mahasiswa selanjutnya yaitu social control, kontrol budaya, kontrol
masyarakat, dan kontrol individu sehingga menutup celah-celah adanya ketimpangan.
Mahasiswa bukan sebagai pengamat dalam peran ini, namun mahasiswa juga dituntut sebagai
pelaku dalam masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa merupakan bagian
masyarakat. Idealnya, mahasiswa menjadi panutan dalam masyarakat, berlandaskan dengan
pengetahuannya, dengan tingkat pendidikannya, norma-norma yang berlaku disekitarnya, dan
pola berpikirnya.
Sebagai seorang terpelajar dan bagian masyarakat, maka mahasiswa memiliki peran yang
kompleks dan menyeluruh sehingga dikelompokkan dalam tiga fungsi yaitu agent of change,
social control and iron stock. Dengan fungsi tersebut, tentu saja tidak dapat dipungkiri
bagaimana peran besar yang diemban mahasiswa untuk mewujudkan perubahan bangsa. Ide dan
pemikiran cerdas seorang mahasiswa mampu merubah paradigma yang berkembang dalam suatu
kelompok dan menjadikannya terarah sesuai kepentingan bersama. Dan satu hal yang menjadi
kebanggaan mahasiswa adalah semangat membara untuk melakukan sebuah perubahan.
Mahasiswa sebagai calon pemimpin dan pembina pada masa depan ditantang untuk
memperlihatkan kemampuan untuk memerankan peran itu. Mahasiswa sebagai iron stock berarti
mahasiswa seorang calon pemimpin bangsa masa depan, menggantikan generasi yang telah ada
dan melanjutkan tongkat estafet pembangunan dan perubahan. Untuk menjadi iron stock tidak
cukup mahasiswa hanya memupuk diri dengan ilmu spesifik saja, perlu adanya soft skill lain
yang harus dimiliki mahasiswa seperti kepemimpinan, kemampuan memposisiskan diri, interaksi
lintas generasi dan sensitivitas yang tinggi. Maka komplekslah peran mahasiswa itu sebagai
pembelajar sekaligus pemberdaya yang ditopang dalam tiga peran: agent of change, social
control, dan iron stock. Hingga suatu saat nanti, mahasiswa memang benar-benar mampu
memberikan kontribusi yang jelas kepada masyarakat serta mampu membangun kemajuan dan
kemakmuran bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Kontribusi mahasiswa kepada bangsa pun banyak sekali bentuknya. Prestasi akademik
dan non-akademik akan lebih bermakna bagi masyarakat Indonesia. Seperti prestasi di ajang
internasional yang membanggakan bangsa, atau juga peran-peran lain yang langsung berefek
pada perbaikan masyarakat. Hanya perlu mengarahkan mahasiswa saja untuk menyalurkan
kepedulian mereka dalam jalur yang benar. Maka kemudian kita akan menyaksikan bahwa
bangsa ini melangkah nyata menuju puncak kejayaannya, dengan mahasiswa sebagai
penggeraknya.
Apabila mahasiswa berpolitik dalam artian yang pertama, maka mahasiswa dituntut
untuk benar-benar memahami cara berpikir ilmiah, yaitu teratur dan sistematik. Sedangkan
apabila mahasiswa berpolitik dalam arti kebijakan (Belied), maka mahasiswa harus betul-betul
101
mengetahui posisi individu dalam kehidupan ber-Negara, posisi konstitusi dalam kehidupan ber-
Negara, posisi Negara dalam menjalin relasi dengan warganya, konstelasi politik terkini dan
menguasai manajemen aksi. Pada tataran ideal, mahasiswa seharusnya berpolitik dalam arti
konsep (Concept) maupun dalam arti kebijakan (Belied) secara bersamaan. Ini berarti,
mahasiswa harus berpolitik sebagai politisi ekstra perlementer.
Mahasiswa dituntut untuk berperan lebih, tidak hanya bertanggung jawab sebagai kaum
akademis, tetapi diluar itu wajib memikirkan dan mengembang tujuan bangsa. Dalam hal ini
keterpaduan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas sangat diperlukan demi berjalannya peran
mahasiswa dalam dunia kampusnya untuk dapat menciptakan sebuah kondisi kehidupan kampus
yang harmonis serta juga kehidupan diluar kampus.
Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan :
1. Secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan.
2. Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap tertanam dalam jiwa
setiap mahasiswa.
3. Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah
berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan.
Dengan begitu, mahasiswa tetap menebarkan bau harum keadilan sosial dan solidaritas
kerakyatan. Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan
mahasiswa dalam kehidupan politik.
1. Sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa
mempunyai horison yang luas diantara masyarakat.
2. Sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di
universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara
angkatan muda.
3. Kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di
universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin
dalam kegiatan kampus sehari-hari.
4. Mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan,
struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di
dalam kalangan angkatan muda.
Pada saat generasi yang memmipin bangsa ini sudah mulai berguguran pada saat itulah
kita yang akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa ini. Namun apabila hari ini
ternyata kita tidak berusaha mambangun diri kita sendiri apakah mungkin kita kan membangun
bangsa ini suatu saat nanti?
Kemampuan yang harus dimiliki seorang mahasiswa
1. Soft skill (Kemampuan Kepribadian)
a. Soft Skill atau kemampuan kepribadian adalah salah satu faktor untuk sukses pada
pendidikan yang ditempuh dan juga penentu untuk masa depan seseorang dalam menjalani
hidupnya.
b. Karena soft skill hampir 80 % menentukan keberhasilan seseorang.
c. Kemampuan soft skill yang perlu dimiliki seorang mahasiswa
d. Manajemen waktu
e. Kepemimpinan (leadership)
103
f. Tingkat kepercayaan yang tinggi (self confidence)
g. Selera humor yang tinggi (sense of humor)
h. Memiliki keyakinan dalam agama (spiritual capital)
2. Hard Skill (Kemampuan Intelektual)
Kemampuan intelektual hanya mendukung 20 % dari pencapaian prestasi dan keberhasilan
seseorangJika kemampuan soft skill ini kita punyai, maka kita akan menjadi orang yang baik
di masa depan, sebab saat ini yang terjadi banyak orang yang penting tapi sedikit yang baik.
Referensi:
Lubis Chairudin (2004) Implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi Negeri. Sumatra Utara: e-
USU Respository.
Puariesthaufani (2011). Mahasiswa, Jakarta: Bina Aksara
Syaiful Arifin (2014) Mahasiswa dan Organisasi. Jakarta: Grafindo Persada.
Taufik Abdullah (1993) Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Press
104