Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, dalam arti
bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan polapola perilaku yang
memenuhi syarat untuk disebut „agama‟ (religious).1 Ellis, tokoh terapi kognitif
behavioral menulis dalam Journal of Counseling and Clinical Psychology terbitan 1980.
Agama yang dogmatis, ortodoks dan taat (yang mungkin kita sebut sebagai kesalehan)
bertoleransi sangat signifikan dengan gangguan emosional orang umumnya
menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai kemestian, keharusan dan kewajiban
yang absolut.
Orang sehat secara emosional bersifat lunak, terbuka, toleran dan bersedia
berubah, sedang orang yang sangat relegius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran dan
tidak mau berubah, karena itu kesalehan dalam berbagai hal sama dengan pemikiran
tidak rasional dan gangguan emosional.2 Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk
dalam superstruktur, agama terdiri atas tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai
spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka, akan
tetapi karena agama juga mengandung komponen ritual maka sebagian agama tergolong
juga dalam struktur sosial.3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hakikat Agama dan Beragama?
2. Bagaimana Kelompok-kelompok Masyarakat Beragama?
3. Bagaimana Agama sebagai Konsep dan Implikasinya terhadap Sikap?
4. Bagaimana Berbagai Friksi Masyarakat Beragama (Perbedaan dan Kesamaan)?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mendreskipsikan dan menjelaskan masalah tentang tugas makalah dari
Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam, sebagai hal-hal berikut:
1. Menjelaskan Bagaimana Hakikat Agama dan Beragama?
2. Menjelaskan Bagaimana Kelompok-kelompok Masyarakat Beragama?
3. Menjelaskan Bagaimana Agama sebagai Konsep dan Implikasinya terhadap Sikap?
4. Menjelaskan Bagaimana Berbagai Friksi Masyarakat Beragama (Perbedaan dan
Kesamaan)?

1
Endang Sarfuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya : Bina Ilmu, 1987) hlm. 122-123.
2
Jalaludin Rakhmad, Psikologi Agama (Jakarta : Rajawali, 1996) hlm. 154-155
3
Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta : Ghalia Indonesia & UMM Press, 2002) hlm. 29

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Agama dan Beragama
1. Hakikat Agama
Banyak ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “a”
yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti tidak kacau
(teratur). Dengan demikian agama itu adalah peraturan, yaitu peraturan yang
mengatur manusia, maupun mengenai sesuatu yang ghaib, mengenai budi pekerti dan
pergaulan hidup bersama.4
Menurut Dradjat (2005) agama adalah proses hubungan manusia yang
dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada
manusia.
Agama dapat diartikan, atau didifinisikan secara berbeda oleh orang-orang
dengan latar belakang keilmuan yang berbeda. Hal ini terjadi bukan hanya kesulitan
menjelaskan apa sebenarnya agama itu, melainkan juga karena upaya memuat tujuan
yang tersirat di dalam definisi agama yang dibuatnya. Seorang muballigh misalnya
bias, dan biasa membedakan antara agama samawi (agama langit, agama wahyu)
dengan ardli (agama bumi, agama alam). Sebaliknya, seseorang dengan latar
belakang kepercayaan kepada ketuhanan dan budi pekerti (moral baik), bias saja
mendifinisikan agama dengan mengedepankan kepada pengaruh kekuatan akal budi
terhadap tingkah laku manusia.5
2. Hakikat Beragama
Beragama berasal dari kata agama, mendapat awalan “ber” yang memiliki
arti segala sesuatu yang berhubungan dengan agama. 6 Beragama merupakan bentuk
atau ekspresi jiwa dalam berbuat, berbicara sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya. Suatu jenis sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos
pada kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai
keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.7
Sementara Shihab menyatakan agama adalah hubungan antara makhluk
dengan Tuhan yang berwujud ibadah dan dilakukan dalam sikap keseharian. 8 Agama
merupakan naungan sakral yang melindungi manusia dari keputusasaan, kekacauan,
dan situasi tanpa makna. Agama merupakan tumpuan dan harapan sosial yang dapat

4
Faisal Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam : Study Kritis Dan Refleksi Historis, (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press:1997) Hal. 28
5
Abdul Aziz, Sosiologi agama (Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara, 2018) hlm. 23
6
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Persero
Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, 2005), 12.
7
Hendro Puspita, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 34
8
Nur Ghufron, Rini Risnawati, Teori-teori Psikologi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 168.

2
dijadikan problem solving terhadap berbagai situasi yang disebabkan oleh manusia
sendiri.9
Dalam definisi diatas dapat disimpulkan bahwa beragama merupakan
keyakinan-keyakinan terhadap doktrin-doktrin agama, etika hidup, kehadiran dalam
upacara peribadatan yang kesemuanya itu menunjukkan kepada ketaatan dan
komitmen terhadap agama.
Adapun perilaku beragama merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri
manusia dan mendorong orang tersebut untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan
agama. Zakiyah Darajat mengatakan bahwa perilaku beragama merupakan perolehan
bukan pembawaan. Terbentuknya melalui pengalaman langsung yang terjadi dalam
hubungannya dengan unsur-unsur lingkungan material dan sosial. Walaupun sikap
terbentuknya melalui pengaruh lingkungan, namun faktor individu ikut juga
menentukan.10
Menurut Abdul Aziz Ahyadi yang dimaksud dengan perilaku beragama
atau tingkah laku keagamaan merupakan pernyataan atau ekspresi kehidupan
kejiwaan manusia yang dapat diukur, dihitung dan dipelajari yang diwujudkan dalam
bentuk kata-kata, perbuatan atau tindakan jasmaniah yang berkaitan dengan
pengalaman ajaran agama Islam.11
Jadi bisa disimpulkan bahwa, perilaku beragama adalah bentuk atau
ekspresi jiwa dalam berbuat, berbicara sesuai dengan ajaran agama. Definisi tersebut
menunjukkan bahwa pada dasarnya perilaku beragama adalah suatu perbuatan
seseorang baik dalam tingkah laku maupun dalam berbicara yang didasarkan pada
petunjuk agama.
Dalam kehidupan manusia tidaklah hanya memperhatikan kebutuhan fisik
atau jasmaniah saja akan tetapi lebih daripada itu manusia juga harus memperhatikan
dan memenuhi kebutuhan psikis rohaniah. Sebab pada diri manusia ada rasa
ketergantungan kepada Sang Pencipta. Dimana hal tersebut merupakan suatu fitrah
beragama dan akhirnya manusia akan sampai pada suatu titik kesadaran diri,
mengabdi serta penghambaan kepada Tuhan yang diyakininya dalam Islam yaitu
Allah SWT.12

B. Kelompok-kelompok Masyarakat Beragama


Masyarakat agama merupakan bentuk kehidupan individu yang saling
berinteraksi, bergaul cukup lama dan menganut kepercayaan atau agama sebagai dasar
hidup dan kehidupannya serta membentuk suatu kebudayaan Aspek masyarakat agama

9
Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama, (Bandung: Refika Aditama, 2007), 3.
10
Rohmalina Wahab, Psikologi agama, (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), 161.
11
Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Jakarta: Sinar Baru, 1988), 28.
12
Rohmalin Wahab, Psikologi agama, (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), 162.

3
sangat erat hubungannya dengan aspek simbol-simbol keagamaan, karena simbol-simbol
keagamaan itu membangkitkan perasaan keterikatan dan kesatuan para anggota-anggota
pemeluk agama yang sama. memiliki simbol-simbol yang sama sebagai cara yang efektif
untuk semakin memperkuat rasa persatuan di dalam kelompok pemeluk agama
bersangkutan.
Kepercyaan-kepecayaan dan pengalaman keagamaan berfungsi sebagai
pemersatu masyarakat agama bersangkutan, mengakibatkan timbulnya komunitas-
komunitas agama dalam masyarakat, menurut Elizabeth bahwa hal ini terjadi apabila
keanggotaan kelompok-kelompok semacam itu sebagian besar berasal dari kelas atau
suku minoritas dalam masyarakat yang lebih luas. Dalam kondisi ini kenyakinan-
kenyakinan dan pengalaman-pengalaman keagamaan tersebut melaksanakan tugas
rangkap; pertama sebagai pusat ”kebersamaan” bagi kelompok-kelompok yang
tersingkirkan atau diterlantarkan dalam tatanan sosial yang semakin menghilangkan
kepribadian, dan kedua, sebagai batas-batas orientasi yang mungkin bagi kecenderungan
yang memecah belah13 disamping itu, agama tidak hanya menjamin stabilitas sosial,
tetapi kadang-kadang juga mendukung konservasime dalam masyarakat.
Masyarakat atau komunitas suatu agama bisa terorganisasi atau terlembaga secara
formal dan informal. Organisasi keagamaan yang berbentuk formal bisa ditemukan di
dalam masyarakat dengan membentuk organisasi keagamaan, misalnya organisasi
keagamaan Islam, Keristen, Katolik, Budha, dan organiasi keagamaan Hindu. Dengan
adanya kelompok atau penganut agama terbentuklah masyarakat agama dan melalui
masyarakat itu aspek kepercayaan, aspek ritus-ritus keagamaan, simbol-simbol
keagamaan, pengalaman keagamaan dan masyarakat keagamaan dapat dilestarikan
dalam masyarakat.14

C. Agama sebagai Konsep dan Implikasinya terhadap Sikap


Agama dipeluk dan dihayati oleh manusia, praktek dan penghayatan agama
tersebut diistilahkan sebagai keberagamaan (religiusitas). Keberagamaannya, manusia
menemukan dimensi terdalam dirinya yang menyentuh emosi dan jiwa. Oleh karena itu,
keberagamaan yang baik akan membawa tiap individu memiliki jiwa yang sehat dan
membentuk Agama bersumber pada wahyu Tuhan. Oleh karena itu, keberagamaan pun
merupakan perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada wahyu Tuhan
juga. Keberagamaan memiliki beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain
dimensi pertama adalah aspek kognitif keberagamaan, dua dari yang terakhir adalah
aspek behavioral keberagamaan dan yang terakhir adalah aspek afektif keberagamaan.15

13
Elizabeth K. Nottingham, Loc.Cit
14
Syaiful Hamali, Agama Dalam Perspektif Sosiologis (Al-AdYaN/Vol.XII, N0.2/Juli-Desember/2017)
hlm. 102 103
15
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, (ed., 1989: 83).

4
Dalam bukunya American Piety: The Nature of Religion Commitmen, C.Y. Glock
dan R. Stark menyebut ada lima dimensi agama dalam diri manusia, yakni dimensi
keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan atau praktek keagamaan (ritualistic), dimensi
penghayatan (eksperensial), dimensi pengamalan (konsekuensial) dan dimensi
pengetahuan agama (intelektual).16
Sikap keberagamaan dalam perspektif Islam dijelaskan dalam Al-Qur’an (2:208)
di bawah ini:
         
 
    
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkahlangkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu”. (Q.S. Al Baqarah: 208).

Allah menuntut orang beriman (Islam) untuk beragama secara menyeluruh tidak
hanya satu aspek atau dimensi tertentu saja, melainkan terjalin secara harmonis dan
berkesinambungan. Oleh karena itu, setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun
bertindak haruslah didasarkan pada nilai dan norma ajaran Islam. Bagi seorang muslim,
keberagamaan dapat dilihat dari seberapa dalam keyakinan, seberapa jauh pengetahuan,
seberapa konsisten pelaksanaan ibadah ritual keagamaan, seberapa dalam penghayatan
atas agama Islam serta seberapa jauh implikasi agama tercermin dalam perilakunya.
Dalam Islam, keberagamaan akan lebih luas dan mendalam jika dapat dirasakan seberapa
dalam penghayatan keagamaan seseorang.

D. Berbagai Friksi Masyarakat Beragama (Perbedaan dan Kesamaan)


Penemuan persamaan dan perbedaan di antara sistem-sistem masyarakat
beragama yang diperbandingkan dengan sendirinya mencuatkan pertanyaan
“Mengapa” ? salah satu tugas masyarakat beragama yang paling menarik dan paling
penting ialah berupaya menjelaskan persamaan dan perbedaan seperti itu. Saat mencari
penjelasan yang dapat dimengerti itulah akan diketahui faktor-faktor mana yang
memppengaruhi sturuktur, perkembangan, dan muatan-muatan substansif sistem hukum
tersebut.

Uraian berikut ini akan membahas beberapa faktor yang sering menjadi acuan
dalam literatur perbandingan perbedaan dan persamaan pendapat masyarakat beragama.
Faktor-faktor ini memang saling mempengaruhi tapi lebih baik dianggap saling terkait.

16
Djamluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroro,(1995: 77).

5
1. Sistem Ekonomi
Sistem perekonomian adalah sistem yang digunakan oleh suatu negara untuk
mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu maupun
organisasi di negara tersebut. Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi
dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu mengatur faktor
produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semua faktor
produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di pegang
oleh pemerintah. Kebanyakan sistem ekonomi di dunia berada di antara dua sistem
ekstrem tersebut.
2. Ideologi dan Sistem Poilitik
Sistem hukum sangat dipengaruhi oleh sistem politik negara, khususnya dalam
persoalan hukum tata negara, pidana, dan hukum tata usaha negara. Akan nampak
perbedaan di bidang hukum jika negara menerapkan suatu pemerintahan diktator
dibandingkan dengan pemerintahan demokrasi. Dalam sistem poltik pada akhirnya
dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain, seperti sturuktur ekonomi negara.
3. Agama
Sikap dan keyakinan agama populasi dapat berperan penting bagi sistem
hukum, khususnya dalam hukum keluarga, tetapi juga dalam hukum pidana.,
misalnya aturan-aturan agama (Misalnya Al-Quran di negara Muslim dan Perjanjian
Lama di Israel) sering secara langsung memperoleh status sebagai hukum atau
digabungkan dengan cara lain ke dalam sistem hukum.
Sebuah negara yang didominasi umat Kristen akan kesulitan menerima
poligami, sementara di negara Muslim, bisa diharapkan sikap sebaliknya. Di
beberapa negara Muslim masih ada hukum yang memerintahkan memanggal tangan
seorang pencuri. Bisa dibayangkan larangan agama untuk mengkonsumi alkohol akan
mengakibatkan larangan alkohol oleh negara.
4. Sejarah dan Georgrafi
Sistem hukum terbentuk I bawah pengaruh kuat perkembangan sejarah
negaranya. Aspek-aspek fundamental sturkutur ketatanegaraan sebuah negara, bentuk
negara itu apakah republik atau kerajaan misalnya bisa dijelaskan mengacu pada
faktor-faktor sejarah.
Latar belakang sejarah penjajahan sebagian besar negara dunia ketiga,
meninggalkan jejak yang mendalam pada sistem hukumnya. Di negara-negara
sesungguhnya warisan sejarah dari masa penjajahlah yang menentukan “keluarga
hukum” sistem hukum, walaupun seringkali aturan-aturan hukum yang diterima dari
negara penjajah sudah berubah dan diadaptasikan dengan kebutuhan lokal.
Sistem hukum sebuah negara jelas kelihatan dipengaruhi oleh kondisi fisik
yang ada di negara-negara tersebut, terutama geografi, iklim dan sumber dayanya.

6
Resiko gempa bumi mempengaruhi aturan-aturan hukum mengenai konstruksi,
pengendalian bahan pangan, ladang dan minyak bumi tentunya semua ini diperlukan
legislasi tentang eksplorasi minyak dll.
5. Faktor Demografi
Umat manusia bisa dibagi menjadi beberapa ras, yang masing-masing terdiri
dari sejumlah besar kelompok etnis berbeda. Karena perbedaan ini seringkali
menimbulkan ketidak cocokan hukum dengan ras tertentu dalam satu wilayah (sistem
hukum). Hal ini terbukti pada masa berlakunya Apartheid di Afrika Selatan, dimana
ada pemisahan ras yang berpengaruh terhadap hak sipil ras kulit hitam di Afrika
Selatan.17

BAB III
17
http://zriefmaronie.blogspot.com/2013/04/persamaan-perbedaan-dalam-sistem-hukum.html (Jakarta,
jum’at 12-april2019-23:51)

7
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Agama berasal dari bahasa sansekerta, yaitu tidak kacau (teratur), agama adalah proses
hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu
lebih tinggi dari pada manusia dan agama mengedepankan kepada pengaruh kekuatan
akal budi terhadap tingkah laku manusia.
Beragama berasal dari kata agama, mendapat awalan “ber” yang memiliki arti segala
sesuatu yang berhubungan dengan agama. Beragama merupakan bentuk atau ekspresi
jiwa dalam berbuat,
 Masyarakat atau komunitas suatu agama bisa terorganisasi atau terlembaga secara formal
dan informal. Organisasi keagamaan yang berbentuk formal bisa ditemukan di dalam
masyarakat dengan membentuk organisasi keagamaan, misalnya organisasi keagamaan
Islam, Keristen, Katolik, Budha, dan organiasi keagamaan Hindu.
 Dalam bukunya American Piety: The Nature of Religion Commitmen, C.Y. Glock dan R.
Stark menyebut ada lima dimensi agama dalam diri manusia, yakni dimensi keyakinan
(ideologis), dimensi peribadatan atau praktek keagamaan (ritualistic), dimensi
penghayatan (eksperensial), dimensi pengamalan (konsekuensial) dan dimensi
pengetahuan agama (intelektual) (Djamluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroro, 1995:
77).
 Beberapa faktor yang sering menjadi acuan dalam literatur perbandingan perbedaan dan
persamaan pendapat masyarakat beragama, yaitu: sistem ekonomi, ideologi, sistem
poilitik, agama, sejarah dan georgrafi, dan faktor demografi.

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah kami ini masih jauh dari kata kesempurnaan,
Oleh karena itu kami berharap kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan
kritikan atau saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

8
Endang Sarfuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya : Bina Ilmu, 1987) hlm. 122123.

Jalaludin Rakhmad, Psikologi Agama (Jakarta : Rajawali, 1996) hlm. 154-155

Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta : Ghalia Indonesia & UMM Press, 2002)
hlm.29

Faisal Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam : Study Kritis Dan Refleksi Historis, (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press:1997) Hal. 28

Abdul Aziz, Sosiologi agama (Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara, 2018) hlm. 23

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Persero Penerbitan dan

Percetakan Balai Pustaka, 2005), 12.

Hendro Puspita, SosiologiAgama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 34

Nur Ghufron, Rini Risnawati, Teori-teori Psikologi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 168.

Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama, (Bandung: Refika Aditama, 2007), 3.

Rohmalina Wahab, Psikologi agama, (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), 161.

Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Jakarta: Sinar Baru,
1988), 28.

Rohmalin Wahab, Psikologi agama, (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), 162.

Elizabeth K. Nottingham, Loc.Cit

Syaiful Hamali, Agama Dalam Perspektif Sosiologis (Al-AdYaN/Vol.XII, N0.2/Juli-


Desember/2017) hlm. 102-103

Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, (ed., 1989: 83).

Djamluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroro,(1995: 77).

http://zriefmaronie.blogspot.com/2013/04/persamaan-perbedaan-dalam-sistem-hukum.html
(Jakarta, jum’at. 12-april2019-23:51)

Anda mungkin juga menyukai