Anda di halaman 1dari 12

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf. Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis. Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agama dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya. Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan, yang mempunyai seperangkat arti mencakup perilaku sebagai pegangan individu (way of life) dengan kepercayaan dan taat kepada agamanya. Agama sebagai suatu sistem mencakup individu dan masyarakat, seperti adanya emosi keagamaan, keyakinan terhadap sifat faham, ritus, dan upacara, serta umat atau kesatuan sosial yang terikat terhadap agamanya. Agama dan masyarakat dapat pula diwujudkan dalam sistem simbol yang memantapkan peranan dan motivasi manusianya, kemudian terstrukturnya mengenai hukum dan ketentuan yang berlaku umum, seperti banyaknya pendapat agama tentang kehidupan dunia seperti masalah keluarga, bernegara, konsumsi, produksi, hari libur, prinsip waris, dan sebagainya. Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normatif atau menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan. Karena latar belakang sosial yang berbeda dari masyarakat agama, maka masyarakat akan memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan kelompok terhadap prinsip keagamaan berbeda-beda, kadang kala kepentingannya dapat tercermin atau tidak sama sekali. Karena itu kebhinekaan kelompok dalam masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan keagamaan. Timbul hubungan dua arah, tidak hanya kondisi sosial solo yang menyebabkan lahir dan menyebarnya ide serta nilai-nilai, tetapi bila ide dan nilai
1

itu telah terlembaga, maka akan mempengaruhi tindakan manusia. Karena itu perlu mempelajari pengaruh struktur sosial terhadap agama, dan juga perlu mempelajari pengaruh agama terhadap struktur sosial. Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan. B. Rumusan Masalah

Untuk mengetaui Peran Agama dalam Bermasyarakat Untuk mengetahui Peran Umat Beragama dalam Meweujudkan Masyarakat Madani yang Sejahtera Untuk mengetahui Tanggung Jawab Umat Beragama dalam Menegakkan Hak Asasi Manusia Untuk mengetahui Tanggung Jawab Umat Beragama dalam Mewujudkan Demokrasi

C. Tujuan Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan untuk menambah wawasan para pembaca tentang Agam Dan Masyarakat serta permasalahan yang di hadapi.

BAB II PEMBAHASAN 1. AGAMA DALAM BERMASYARAKAT 1. A. Pengertian Agama Dan Masyarakat Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajibankewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya dan menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
1. B. Fungsi-Fungsi Agama

Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang buruk.

Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat. Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi. Fungsi agama di sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka. Fungsi agama sebagai sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya moralisasi anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu. Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang halhal yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal. 1. C. AGAMA SEBAGAI SUMBER AJARAN Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan Tuhan.

Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba terbatas. Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya. Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang bersifat universal, mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut.

2. Peran Umat Beragama dalam Mewujudkan Masyarakat Madani yang Sejahtera


2. A. Peran Umat Beragama dalam Mewujudkan Masyarakat Beradab dan Sejahtera Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural di mana bangsa ini terdiri dari pelbagai macam suku, bahasa, etnis, agama, dll. meskipun plural, bangsa ini terikat oleh kesatuan kebangsaan akibat pengalaman yang sama: penjajahan yang pahit dan getir. Kesatuan kebangsaan itu dideklarasikan melalui Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan ikrar: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Kesatuan kebangsaan momentum historisnya ada pada Pancasila ketika ia dijadikan sebagai falsafah dan ideologi negara. Jika dibandingkan, ia sama kedudukannya dengan Piagam Madinah. Keduanya, Pancasila dan Piagam Madinah merupakan platform bersama semua kelompok yang ada untuk mewujudkan cita-cita bersama, yakni masyarakat madani. Salah satu pluralitas bangsa Indonesia adalah agama. Karena itu peran umat beragama dalam mewujudkan masyarakat madani sangat penting. Peran itu
5

dapat dilakukan, antara lain, melalui dialog untuk mengikis kecurigaan dan menumbuhkan saling pengertian, melakukan studi-studi agama, menumbuhkan kesadaran pluralisme, dan menumbuhkan kesadaran untuk bersama-sama mewujudkan masyarakat madani. 2. B. Masyarakat Beradab dan Sejahtera Asal usul pembentukan masyarakat bermula dari fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain. Dari fitrah ini kemudian mereka berinteraksi satu sama lain dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan hubungan sosial yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran akan kesatuan. Untuk menjaga ketertiban daripada hubungan sosial itu, maka dibuatlah sebuah peraturan. Dalam perkembangan berikutnya,seiring dengan berjumlahnya individu yang menjadi anggota tersebut dan perkembangan kebudayaan, masyarakat berkembang menjadi sesuatu yang kompleks. Maka muncullah lembaga sosial, kelompok sosial, kaidah-kaidah sosial sebagai struktur masyarakat dan proses sosial dan perubahan sosial sebagai dinamika masyarakat. Atas dasar itu, para ahli sosiologi menjelaskan masyarakat dari dua sudut: struktur dan dinamika. Masyarakat beradab dan sejahtera dapat dikonseptualisasikan sebagai civil society atau masyarakat madani. Meskipun memeliki makna dan sejarah sendiri, tetapi keduanya, civil society dan masyarakat madani merujuk pada semangat yang sama sebagai sebuah masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, sejahtera, dengan kesadaran ketuhanan yang tinggi yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial. 2. C. Pengertian Masyarakat Madani Gagasan masyarakat madani mulai populer di Indonesia seiring dengan era reformasi politik di Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan konseptual mengenai istilah masyarakat madani, tetapi secara umum, masyarakat madani atau civil society, paling tidak memiliki tiga ciri: kebebasan, persamaan, dan toleransi . Heffner (1998:26) menegaskan: We call some societies civil because, though precise arrangement vary, they show a familiy resemblance in their commitment to freedom, equality and tolerance. Mewujudkan masyarakat madani berarti melakukan proses pembentukan pandangan dunia (world view) yang kokoh guna menyempurnakan watak, sikap jiwa, dan karakter yang baik pada masyarakat. Pada yang demikian itu terdapat modal untuk menciptakan budaya dan menegakkan sistem dan ketentuanketentuan negara yang mengikat seluruh warga secara adil. Perdebatan istilah tentang masyarakat sipil, masyarakat madani atau civil society terkadang memunculkan berbagai interpretasi yang salig berbeda, baik

secara historis maupun dalam tataran konsepsi. Beberapa kalangan lebih suka menggunakan terminologi masyarakat sipil karena nuansanya netral. Sementara kalangan lain lebih suka menggunakan istilah masyarakat madani yang cenderung ideologis dan mengacu pada sistem negara Madinah pada masa kenabian Nabi Muhammad SAW. Dalam karya tulis ini penulis menghindari perdebatan semantik, dan mengambil substansi dari semua istilah tersebut. Artinya, secara substanstif semua istilah tersebut sama dan merupakan sebuah pendekatan untuk melihat citra masyarakat ideal yang diinginkan. Karena itu, ketiga istilah tersebut digunakan tergantung konteksnya. 2. D. Parameter Masyarakat Madani Merujuk pada Malik Fajar (1999), masyarakat madani yang ingin diwujudkan di Indonesia memiliki beberapa ciri. Pertama, masyarakat yang religius, yaitu masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Kedua, demokratispluralistik yang menghargai perbedaan pendapat, keanekaragaman suku, ras, agama dan kebudayaan. Ketiga, tertib dan menjunjung tinggi hukum sebagai aturan tertinggi yang mengikat kehidupan bermasyarakat. Keempat, mengakui dan menjunjung tinggi HAM, egalitarianisme, dan tidak diskriminatif. Kelima, profesional dan skillfull; memiliki keunggulan intelektual, ketrampilan dan profesionalisme dalam persaingan global. Keenam, masyarakat yang terbuka dan memiliki tradisi belajar. Sedangkan Zakiyuddin Baidawy dalam tulisannya, Strategi Kultural untuk Penguatan Masyarakat Madani memberikan pendapat berbeda. Dengan memadukan pemahaman klasik model Cicero dan masyarakat Madinah, dengan pemahaman kontemporer model Henningsen tentang masyarakat madani tersirat beberapa ciri masyarakat madani antara lain: 1) kemandirian, 2) kesukarelaan, 3) keswadayaan, 4) keswasembadaan, dan 5) keterikatan dengan norma dan nilai. Diantara nilai-nilai yang menjadi landasan utama bagi bekerjanya karakteristik itu adalah persamaan (equality), keterbukaan (fairness), partisipasi (partisipation), dan toleransi (tolerance). Secara institusional masyarakat madanio teridentifikasi baik dalam bentuk 1) organisasi sosial non pemerintan (ornop) seperto organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, maupun dalam bentuk 2) korporasi ekonomi seperti koperasi, persekutuan dagang, dan aliansi bisnis dan 3) bentuk-bentuk kelompok kepentingan (vested interest) lainnya. 2.0E. Masyarakat yang Disebut Masyarakat Madani Masyarakat madani artinya masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradaban sebagai ciri utama. Di dalam gambaran Al-Quran Allah memberikan ilustrasi masyarakat ideal, sebagai gambaran dari masyarakat madani dalam Al-Quran Surah Saba ayat 15

Artinya : Sungguh bagi kaum Saba ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri (kepada mereka dikatakan), makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya, (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan yang maha pengampun. (Q.S. Saba [34]: 15) 3. TANGGUNG JAWAB UMAT BERAGAMA DALAM MENEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA 3. A. HAK ASASI UMAT ISLAM DALAM PERGAULAN INTRNASIONAL Islam adalah bahwa agama ini selalu selaras dengan semua dimensi kehidupan manusia, di segala zaman dan segala tempat. Di antara dimensi sosial yang tak luput dari pandangan Islam adalah masalah hak asasi manusia. Meskipun isu tentang HAM baru dimunculkan dunia Barat sekitar 60 puluh tahun yang lalu dan Deklarasi HAM baru ditandatangani tahun 1948, namun sesungguhnya Islam sejak ribuan tahun lalu telah mengajarkan prinsip-prinsip HAM kepada umat manusia. Apakah yang dilakukan israel terhadap palestina dan juga libanon itulah yg Bila kita menginginkan terbentuknya suatu UU universal berkaitan dengan HAM, penyusunan UU ini harus memperhatikan kehendak-kehendak fitrah manusia. Deklarasi dan UU HAM internasional yang saat ini sudah disusun oleh pemerintah Barat tidak memenuhi syarat ini, meskipun ada juga beberapa sisi positifnya. Sementara itu, UU HAM produk Barat tidak memiliki landasan yang kokoh dan logis untuk bisa dijadikan sebagai hukum yang universal dan mengikat seluruh bangsa di dunia. Bahkan, pada kenyataannya, Deklarasi HAM yang disusun negara-negara Barat pada tahun 1948 merupakan hasil dari transformasi AS dan Eropa pada abad lalu dan mengacu pada paham liberalisme dan sekularisme. Ketidakselarasan Deklarasi HAM 1948 dengan budaya dan nilai-nilai yang dianut sebagian bangsa di dunia telah menyebabkan timbulnya keinginan untuk mengamandemen isi deklarasi tersebut. Dalam rangka inilah, pada tahun 1980, Dewan Islam telah mengadakan sidang di London dan menyusun draft Deklarasi HAM Islam Universal. Dalam deklarasi ini terlihat adanya perbedaan pandangan kaum muslimin terhadap sebagian isi Deklarasi HAM 1948. Dalam draft HAM Islam ini disebutkan bahwa hak asasi manusia dalam pandangan Islam berakar pada kepercayaan kepada Tuhan dan undang-undang apapun yang dibuat manusia harus selaras dengan hukum Tuhan. Sementara itu, bila diliat lebih jauh pada Deklarasi HAM versi Barat, kita akan melihat bahwa pola pikir Barat-lah yang menjadi acuan. Hal ini diakui pula oleh Edward Mortimor, wartawan terkemuka Inggris, yang mengatakan, Tidak bisa dipungkiri bahwa deklarasi ini lebih banyak mengambil pola Barat
8

dibandingkan dengan pandangan negara-negara lainnya. Memang di dalam deklarasi ini disebutkan adanya pengakuan terhadap hak asasi individu, seperti kebebasan berpendapat, bekerja, memiliki tempat tinggal, hak untuk mendapatkan keamanan, dll, dan semua hak-hak itu diakui oleh semua agama samawi. Namun, dalam Deklarasi HAM Internasional 1948 sama sekali tidak disebutkan, apakah pendudukan atau penjajahan terhadap sebuah bangsa merupakan pelanggaran HAM atau tidak? Apakah perampokan sumber daya alam suatu bangsa atau pelecehan terhadap hak-hak asasi suatu masyarakat, dihitung sebagai pelanggaran HAM atau tidak? Jika saja Deklarasi HAM Internasional menyebutkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini, dengan segera akan terambil kesimpulan bahwa negara-negara Barat penyusun deklarasi ini adalah pelaku pelanggaran HAM terbesar di dunia, akibat segala penjajahan yang dilakukannya di berbagai penjuru dunia. Bahkan lebih ironisnya, paham kebebasan dalam kaca mata Barat diterapkan sebagai kebebasan bagi pemerintah Barat untuk melakukan berbagai perilaku hegemoni, infiltrasi, invasi, dan penjajahan. Pemerintah negara-negara adidaya Barat tidak saja melanggar HAM yang selama ini mereka gembargemborkan, bahkan juga memanfaatkan HAM sebagai alat untuk mencapai kepentingan mereka. Dengan standar yang mereka buat sendiri, pemerintah Barat memberi penilaian tentang pelaksanaan HAM di negara-negara lain dan kemudian memberikan sanksi, seperti embargo ekonomi atau tekanan politik. Tentu saja, negara-negara yang menerima tekanan dan bahkan embargo dari Barat dengan dalih pelanggaran HAM, adalah negara-negara yang tidak mau mematuhi keinginan-keinginan Barat. Salah satu contoh dalam hal ini adalah Republik Islam Iran. Selama ini, Republik Islam Iran selalu menolak campur tangan dan infiltrasi AS dan selama itu pula, Iran menerima berbagai tekanan, embargo, dan propaganda buruk yang dilancarkan AS. Padahal, bila dilihat secara objektif, kasus-kasus pelanggaran HAM yang dituduhkan AS terhadap Iran tidak ada bukti kebenarannya. Sebaliknya, betapa banyak kita lihat hari ini, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara-negara Barat, terutama AS, namun tidak mendapatkan tanggapan yang semestinya. Misalnya, pelanggaran HAM yang sangat nyata dilakukan oleh AS di Penjara Abu Ghraib dan Guantanamo, dibiarkan saja oleh negara-negara Barat lainnya. Meskipun ada kecaman dari berbagai pihak, namun pada prakteknya, tidak ada tindakan nyata apapun yang mereka lakukan dalam menghentikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS itu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa HAM dalam pandangan Barat adalah semu belaka. Sebaliknya, HAM dalam pandangan Islam adalah HAM yang hakiki dan seharusnya diterapkan oleh umat manusia sedunia.

3. B. HAM Dalam Tinjauan Islam Adanya ajaran tentang HAM dalam Islam menunjukan bahwa Islam sebagai agama telah menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan ajaran itu sendiri yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia tanpa terkecuali. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanent, kekal dan abadi, tidak boleh dirubah atau dimodifikasi (Abu Ala Almaududi, 1998). Dalam Islam terdapat dua konsep tentang hak, yakni hak manusia (hak al insan) dan hak Allah. Setiap hak itu saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi manusia dan juga sebaliknya. Dalam aplikasinya, tidak ada satupun hak yang terlepas dari kedua hak tersebut, misalnya sholat. Sementara dalam hal al insan seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya. Konsep islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan teosentris (theocentries) atau yang menempatkan Allah melalui ketentuan syariatnya sebagai tolak ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakjat atau warga bangsa. Dengan demikian konsep Islam tentang HAM berpijak pada ajaran tauhid. Konsep tauhid mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk yang oleh Harun Nasution dan Bahtiar Effendi disebut dengan ide perikemakhlukan. Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM, ajaran islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran islam yaitu al-Quran dan al-Hadits yang merupakan sumber ajaran normative, juga terdapat praktek kehidupan umat islam. Dilihat dari tingkatannya, ada 3 bentuk HAM dalam Islam, pertama, Hak Darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga eksistensinya bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Sebagai misal, bila hak hidup dilanggar maka berarti orang itu mati. Kedua, hak sekunder (hajy) yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat hilangnya hak-hak elementer misalnya, hak seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak maka akan mengakibatkan hilangnya hak hidup. Ketiga hak tersier (tahsiny) yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder (Masdar F. Masudi, 2002) Mengenai HAM yang berkaitan dengan hak-hak warga Negara, Al Maududi menjelaskan bahwa dalam Islam hak asasi pertama dan utama warga negara adalah: 1. Melindungi nyawa, harta dan martabat mereka bersama-sama dengan jaminan bahwa hak ini tidak kami dicampuri, kecuali dengan alasan-alasan yang sah dan ilegal.

10

2. Perlindungan atas kebebasan pribadi. Kebebasan pribadi tidak bisa dilanggar kecuali setelah melalui proses pembuktian yang meyakinkan secara hukum dan memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk mengajukan pembelaan 3. Kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan masing-masing 4. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan. Salah satu kewajiban zakat kepada umat Islam, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan pokok warga negara. 4. TANGGUNG JAWAB UMAT BERAGAMA DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI 4. A. Demokrasi dan Kerukunan Umat Beragama Terlalu banyak ujian dalam upaya mewujudkan kerukunan umat beragama di Indonesia. Eksekusi mati terhadap terpidana Tibo cs di Palu, Jumat pagi telah memicu reaksi keras dari sekelompok massa di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Reaksi masyarakat NTT tersebut menunjukkan bahwa tingkat kedewasaan umat beragama di Indonesia masih rendah. Kenyataan tersebut sekaligus mewartakan paradoks politik transisi Indonesia pasca-Orde Baru. Betapa tidak, pemerintahan di era reformasi selalu berikhtiar memperbaiki keadaan bangsa dibandingkan masa sebelumnya. Pemikiran tersebut berangkat dari kenyataan bahwa kondisi sosial politik negara di masa rezim Soeharto tidak ekuivalen bagi proses demokrasi, pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena itu, gagasan reformasi diarahkan untuk memperbaiki semua kondisi yang tidak kondusif tadi ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, alih-alih memperbaiki keadaan, perkembangan kondisi pascaOrde Baru justru membuat pelbagai perikehidupan sosial rakyat makin buruk, ditandai dengan menurunnya tingkat daya beli masyarakat, meningkatnya angka pengangguran, maraknya kriminalitas, serta masih rendahnya tingkat partisipasi pendidikan dibandingkan dengan negara tetangga. Titik balik reformasi bukanlah isapan jempol. Harapan-harapan atas perubahan akhirnya berbuah kekecewaan. Di mana-mana muncul frustrasi sosial, eskapisme, pesimisme, atau keputusasaan menghadapi masa depan kehidupan bangsa yang tidak menentu. Kerusuhan bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) menunjukkan masih rentannya kohesi sosial bangsa. Cita-cita membangun Indonesia yang satu, sebagaimana diformulasikan oleh pendiri negara (The Founding Father and Mothers) seakan sirna ketika desing peluru, hujaman meriam, dan sabetan pedang menyimbahkan darah saudara-saudaranya sendiri. Doktrin perdamaian dan persaudaraan yang dibangun dan dijaga sejak zaman

11

nenek moyang, seperti tradisi pela gandong di Maluku, akhirnya diruntuhkan dan diinjak-injak oleh anak cucunya sendiri dengan wajah angkara murka. Emosi dendam pun mengalahkan rasionalitas perdamaian. Tragedi Ambon, Halmahera, Poso, Palu, Sampit, Palangkaraya dan beberapa daerah lain tak cuma mewartakan disharmoni masa kini tetapi juga masa depan bangsa. Kerukunan sosial seolah menjadi mimpi ketika sesama anak bangsa sulit mewujudkan titik akur. Celakanya, konflik paling laten di di negeri ini selalu berwarna SARA, terutama konflik berlatar belakang suku dan agama. Masalahnya, konflik antar-suku mungkin bisa diatasi dengan kerangka resep nasionalisme, akan tetapi konflik antar-agama sulit di-therapy dengan hanya mengandalkan jargon kebangsaan. Pasalnya, agama selalu dipandang sebagai entitas supra-nasional. Padahal, secara teoretis, apa susahnya membangun harmoni sosial, toleransi, dan konsensus. Indonesia bisa belajar dari banyak negara majemuk lainnya. Amerika Serikat, sebagai contoh, adalah negara yang mampu membangun harmoni sosial secara matang. Negeri Paman Sam ini dikenal sebagai bangsa plural. Penduduknya berasal (bermigrasi) dari berbagai bangsa di lima benua plus penduduk asli (Indian). Beragam warna kulit, agama, bahasa ibu, tradisi, dan kebiasaan lama akhirnya bercampur menjadi satu dalam semangat Keamerikaan. Walaupun dari dalam terdiri dari banyak entitas, akan tetapi ke luar mereka tampil sebagai bangsa Amerika.

12

Anda mungkin juga menyukai