Anda di halaman 1dari 47

TEORI

SOSIOLOGI AGAMA
Makanlah dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. Al-A’raf
(7): 52).

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,


bagi yang ingin menyusui secara sempurna…” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233).

Kunci shalat adalah bersuci,” (HR. Ibnu Majah, al-Turmudzi, Ahmad, dan al-
Darimi). Dari Abu Malik, Al Harits bin Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata telah bersabda Rasulullah SAW : ‘Suci itu sebagian dari
iman. (Muslim).

“Jauhilah kalian dari buruk sangka, karena buruk sangka itu sedusta-dusta
perkataan (hati). Janganlah kalian mencari-cari berita keburukan orang
lain, janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, janganlah kalian
bersaing yang tidak sehat, janganlah kalian saling mendengki, janganlah
kalian saling membenci, janganlah kalian saling membelakangi. Dan jadilah
kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”. (HR. Muslim)
Tetapi kamu harus beribadah kepada TUHAN, Allahmu; maka Ia akan
memberkati roti makananmu dan air minumanmu dan Aku akan menjauhkan
penyakit dari tengah-tengahmu” (Keluaran 23:25).

”Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala


penyakitmu” (Mazmur 103:3).

Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah
mengeringkan tulang” (Amsal 17:22).

Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan


manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan
berdosa terhadap dirinya sendiri” (1 Korintus 6:18).
A. PENGERTIAN SOSIOLOGI AGAMA

1. Teori Sosiologi : kumpulan paradigma mengenai


masyarakat dan fenomena masyarakat dengan merujuk pada
realitas masyarakat dan paradigma-paradigma yang digunakan
untuk menerangkan struktur sosial masyarakat dan proses-
proses sosialnya (Kinloch, 2005:276).
2. Sosiologi agama adalah proses interaktif antar-kelompok sosial yang mempengaruhi
keyakinan dan pemahaman keagamaan individu. Dalam hal ini, orang-orang
berinteraksi dengan berbagai kelompok sosial yang berbeda, dengan orang per orang,
organisasi, dan preferensi (pilihan) agama.
3. Individu mempunyai pengaruh terhadap pengalaman dan pemahaman
keagamaan untuk meningkatkan iman dan religiositas (keberagamaan)
masyarakat. Sebaliknya, individu juga memiliki hak untuk menolak
preferensi agama.
4. Preferensi agama (pilihan orang atas suatu agama) dipandang penting,
terutama dalam interaksi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain, serta interaksi antara individu dengan organisasi.
B. OBJEK FORMAL
SOSIOLOGI AGAMA
1. Fungsi agama dalam mengembangkan atau menghambat
kelangsungan hidup, dan fungsi agama dalam memelihara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
• Bagaimana peranan agama dalam memahami dan menyikapi
masyarakat yang berbeda-beda tipe.
2. Menganalisis fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku
keagamaan. Banyak akibat sosial yang timbul karena
tingkah laku keagamaan para pemeluk agama. Sekurang-
kurangnya ada dua fungsi sosial :
• Fungsi latent (tersembunyi), yaitu fungsi yang tidak disengaja,
yang dilaksanakan oleh tingkah laku institusional.
• Fungsi manifest (nyata), yaitu fungsi yang disengaja, yang
memiliki tujuan-tujuan formal dari lembaga tersebut (lihat
Merton dalam Nottingham, 1993:33).
3. Unsur-unsur pokok apakah yang diperlukan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup masyarakat, dan sumbangan apakah yang diberikan oleh
agama kepada masyarakat tersebut.

4. Bagaimana peranan agama dalam masyarakat sebagai kekuatan yang


mempersatukan, mengikat, dan melestarikan (Nottingham, 1993).
C. OBJEK MATERIAL
SOSIOLOGI AGAMA
1. Individu-individu dalam masyarakat
2. Kelompok-kelompok masyarakat

a. Masyarakat terbelakang;
b. Masyarakat pra-industrial yang sedang berkembang.
c. Masyarakat industri-sekuler.
3. Lembaga-lembaga keagamaan.
a. Ormas keagamaan (NU, Muhammadiyah, Persis, dll)
b. Lembaga pendidikan keagamaan (pesantren, madrasah, dll)
c. Lembaga kajian keagamaan (LKiS, pusat-pusat studi agama di perguruan tinggi, Islam

Liberal, dll).
D. AGAMA DAN DINAMIKA SOSIAL

1. John McCarthy dan Mayer Zald (1977)


mengatakan bahwa gerakan sosial yang mudah
diintegrasikan dalam mempelajari agama adalah
dengan mengetahui struktur gerakan perubahan.

2. Sherkat Darren mengatakan bahwa dalam studi


kontemporer sosiologi agama dipelajari struktur
gerakan perubahan yang dapat memobilisasi
organisasi-organisasi gerakan sosial.
3. Gerakan agama memiliki karakter khas, seperti tentang
supranatural (salah satu ajaran agama) yang bermanfaat
setidaknya untuk mereka yang percaya terhadap agama.
4. Manusia menemukan penjelasan tentang arti kehidupan -
dan bahkan lebih banyak hal kecil sangat berharga bagi
kehidupan antarmanusia. Dalam hal ini, manusia bersedia
untuk saling membantu dengan manusia lain, misalnya
membantu dengan waktu, uang, atau sumber daya lain.
5. Makna hidup bagi manusia sangat berharga jika antara
manusia satu dengan manusia yang lain terbangun sikap
saling percaya.
6. Sosialisasi agama adalah proses individu-individu untuk
memeluk agama yang dipilihnya. Untuk memahami
perkembangan agama pada tingkat individu-individu, kita
harus mengetahui bagaimana masyarakat memilih agama,
dan bagaimana mereka berubah. Terutama, pandangan
mereka tentang agama tidak sama dengan pilihan afiliasi
keagamaan.
7. Orang memilih agama adalah untuk mengetahui tujuan,
arti, dan asal-usul kehidupan. Pilihan ini akan membantu
memotivasi manusia untuk menaati agamanya, untuk
berpartisipasi dalam ranah publik, dan berafiliasi dengan
organisasi keagamaan.
8. Perkembangan dan dinamika pilihan agama seseorang
dipengaruhi oleh faktor sosial. Dalam membuat pilihan
agama, agama tidak satu-satunya faktor yang
diperhitungkan.
9. Pilihan agama berbicara tentang tanggapan terhadap
pengalaman individu atau pengaruh sosial. Misalnya,
mengetahui perjalanan hidup seseorang dalam
menyebarluaskan keyakinan agama dan hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan keagamaan.

10. Orang tua, teman, pasangan, dan para sahabat dinilai


sumber informasi tentang kehidupan kolektif. Jaringan
ikatan sosial penting dibangun untuk menghasilkan
perubahan dalam persahabatan sosial.

11. Masyarakat yang religius umumnya diperkuat melalui


pengalaman religius yang sifatnya rutin. Pilihan agama
sering mendorong seseorang untuk beradaptasi dalam
menjalankan keberagamaannya.
12. Orang-orang merasa senang dan dekat dengan ajaran
agama. Mereka menemukan nilai, penghargaan, dan
perlindungan dari agama. Orang yang beragama
mengalami perkembangan fluktuatif dalam merespons
pengaruh sosial.

13. Dari perspektif sumber daya manusia, pengalaman religius


membangun manusia menjadi religius. Modal manusia
beragama adalah memproduksi nilai agama dalam sistem
sosial. Oleh karena itu, manusia memiliki modal dan
kemampuan untuk mengubah dan menghasilkan nilai-nilai
agama.

14. Teori modal kepemimpinan manusia mampu membangun


keyakinan agama dan perilaku sosial. Teori ini secara
eksklusif mengembangkan dinamika keagamaan.
15. Orang beragama yang beradaptasi mampu
mempromosikan perubahan, bukan memproduksi
sentimen. Adapun orang beragama yang tidak bisa
beradaptasi cenderung memisahkan dirinya dari
masyarakat umum. Oleh karena itu, orang kadang-
kadang condong ke ekspresi keagamaan yang
bervariasi.

16. Orang mungkin akan dipaksa atau dibujuk untuk


mencoba hal baru dalam beragama. Ajaran agama
jelas terlihat dalam proses pendidikan di sekolah
keagamaan, misalnya, para siswa lebih cenderung
memilih ajaran ortodoks dengan setia, walaupun
secara bersamaan mereka dipaksa untuk menganut
ideologi sekuler.
E. PENGARUH SOSIAL PADA
PERILAKU BERAGAMA
1. Perilaku beragama tidak hanya memotivasi orang untuk
mengonsumsi budaya, tetapi perilaku beragama juga
memiliki konsekuensi sosial. Oleh karena itu,
pengamalan ajaran agama mungkin didominasi oleh
pengaruh sosial.
2. Amartya Sen (1973,1993) mengidentifikasi tiga
jenis pengaruh sosial pada perilaku beragama
seseorang: (a) simpati/antipati, (b) memberikan
contoh, dan (c) sanksi.

3 Orang sering berpartisipasi dalam kelompok-


kelompok agama yang menimbulkan simpati
terhadap perasaan orang lain, meskipun orang lain
itu tidak mendapat keuntungan dari kegiatan
kolektifnya.

4. Orang kadang-kadang berpartisipasi dalam


kelompok-kelompok agama bukan karena
keinginan kolektif, tetapi sebaliknya, untuk
memusuhi orang lain sehingga menimbulkan
antipati.
5. Mengamalkan ajaran agama dapat mencegah orang dari hukuman seperti
isolasi sosial, kesulitan ekonomi, dan tindak kekerasan. Pentingnya
penghargaan sosial dan sanksi menunjukkan bahwa perilaku beragama tidak
menentukan tindakan religius.

6. Hubungan sosial yang baik akan mempe-ngaruhi perkembangan dan dinamika


kehidupan beragama.
F. PENGARUH SOSIAL

1. Orang tua dan keluarga, dalam perspektif budaya dan


sejarah, adalah sumber utama informasi tentang kekuatan
“supranatural” (ghaib).

2. Orang tua dan kerabat mengajarkan pemahaman anak


tentang hal-hal supranatural, dan ini merupakan sumber
informasi yang memiliki keunggulan temporal dan afektif
- yang keduanya penting untuk mempengaruhi perilaku
beragama. Akan tetapi, banyak studi sosiologi agama
menyimpulkan bahwa orang tua memiliki komitmen
agama yang terbatas pada anak-anak.
3. Studi sosiologis ini telah tumbuh sebuah generasi yang menghargai
perbedaan dalam nilai dan komitmen. Akan tetapi, di sisi lain telah
terjadi kesenjangan generasi yang berubah secara radikal dalam
pemahaman keagamaan mereka.
G. ORANG TUA DAN ANAK

1. Penelitian tentang peran orang tua terhadap anak-


anak telah menunjukkan bahwa pengaruh orang
tua mendominasi keyakinan agama dan perjalanan
hidup anak-anaknya.
2. Studi sistematis tentang pengaruh orang tua pada
perilaku beragama dalam diri anak-anak dimulai
pada 1937 oleh Newcomb dan Svehla. Hasil
penelitian mereka membuktikan bahwa ibu
memiliki andil 34 persen dalam menjelaskan
agama terhadap anak laki-lakinya, sedangkan
pemahaman agama Ibu terhadap anak
perempuannya mencapai 48 persen.
3. Banyak penelitian telah menyimpulkan bahwa orang tua memiliki
pengaruh besar pada keyakinan agama dan perilaku anak-anak.
Secara umum, penelitian ini mengasumsikan bahwa pengaruh orang
tua cukup kuat dalam siklus hidup awal anak-anaknya.

4. Orang tua yang baik adalah yang mampu mem-berikan


pengaruh terus-menerus terhadap anak-anaknya selama
hidup.Peran orang tua adalah membantu membentuk
hubungan sosial anak-anaknya. Tindakan ini dinamakan
sosialisasi seumur hidup.

5. Peristiwa yang terjadi dalam kehidupan membuat orang


tua lebih berpengaruh dalam mencari hikmah tentang
bagaimana membesarkan anak-anak mereka, dan
bagaimana menghadapi kehidupan yang keras.
6. Dalam tindakan sosialisasi itu, orang tua cenderung berfokus pada afiliasi
keagamaan dan partisipasi anak-anak dalam kehidupan sosialnya.

7. Myers (1996) mengatakan bahwa keyakinan agama dan partisipasi sosial


merupakan indikator untuk membangun religiositas suatu masyarakat.
Keyakinan ini menghasilkan kesimpulan umum yang menyebutkan bahwa ada
hubungan antara pemahaman agama dengan partisipasi kehidupan beragama.
8. Dalam studi Sandomirsky ditunjukkan bahwa solidaritas
antara orang tua dan anak-anaknya dapat memperkuat
proses sosialisasi.
9. Ketika orang tua memiliki afiliasi agama yang berbeda,
anak-anak tidak mengikuti afiliasi keagamaan orang
tuanya, dan mereka lebih cenderung untuk beralih afiliasi
keagamaannya yang berbeda dengan orang tuanya.
10. Menurut Nelsen (1981), perselisihan orang tua dalam
keluarga dapat meruntuhkan kebanggaan anak-anak dalam
beragama.
11. Ketika orang tua mengamalkan nilai-nilai agama yang
berbeda, maka terjadilah persaingan antara orang tua
dengan anak-anak dalam pengamalan ajaran agama.
12. Menurut Collins (1993), kedekatan anak terhadap orang tua akan
membangun rasa simpati di antara kedua belah pihak. Ikatan
emosional juga dapat melahirkan interaksi dan pemahaman yang
mendalam antara orang tua dan anak-anak. (asi, dialog)

13. Glass (1986) merumuskan teori tentang bagaimana faktor


dependensi (ketergantungan) antara orang tua dan anak yang
menyebabkan anak-anak dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai orang
tua, terutama dalam perjalanan kehidupan mereka. Sebaliknya,
orang tua juga tergantung pada anak-anaknya terutama tentang
informasi-informasi penting dalam kehidupan sosial mereka.

14. Besarnya pengaruh timbal balik antara orang tua dan anak-anak
melebihi tingkat pengaruh faktor-faktor lain seperti tingkat
pendidikan, dinamika keluarga prokreasi (misalnya, perkawinan,
perceraian, dan pengasuhan), dan pengaruh kelompok
keagamaan. (bagaimana pengaruh timbal balik orang tua anak yang berefek pada
firqahperceraian)
15. Orang tua memiliki pengaruh yang lebih pada keyakinan anak-
anak di awal perjalanan hidup (sebelum dewasa), sementara
anak-anak kemudian mempengaruhi orang tua mereka sebagai
orang dewasa. Namun, ketika anak-anak mencapai usia tiga
puluhan, orang tua sekali lagi menjadi lebih berpengaruh.

16. Kemudian dalam perjalanan hidup, orang tua menarik anak-anak


dewasa kembali ke arah keyakinan keagamaan yang lebih
konservatif. Pola yang sama mungkin dapat dilihat pada Revolusi
Iran, yaitu kehidupan keagamaan anak-anak muda dipimpin oleh
orang tua mereka dan kerabat lain dalam memilih keyakinan
Islam tertentu (aliran Syiah).

17. Revolusi Iran dalam perjalanan sejarahnya telah menemukan


kenyataan sosial bahwa masyarakat cenderung lebih memilih
moderatisme dalam kehidupan keagamaan dan sosial mereka
sehingga hal ini berpengaruh terhadap pendidikan keagamaan
anak-anak.
H. PENGARUH PASANGAN
1. Menurut Lazerwitz (1998), ikatan perkawinan
merupakan sumber penting terhadap pengaruh
perilaku beragama. Pasangan yang religius
memiliki pengaruh lebih besar terhadap
perubahan wawasan keagamaan.

2. Perkawinan juga terkait dengan dasar preferensi


agama, yaitu seseorang yang menganut aliran
keagamaan tertentu tidak akan menikah dengan
orang yang tidak dicintainya. Hal ini memberi
pengaruh terhadap pasangan dalam pilihan nilai-
nilai keagamaan
3. Menurut McCutcheon (1988), ketika orang memiliki preferensi agama yang
kuat, dia tidak mungkin memilih pasangan yang berbeda agama, tetapi bagi
mereka yang memiliki preferensi agama yang lemah, lebih mungkin untuk
menikahi pasangannya yang berbeda agama.

4. Menurut Darnell dan Sherkat (1997), ada orang yang memilih pasangan hidup
sesuai dengan pilihan agamanya, sedangkan yang lain cenderung memilihnya
sesuai dengan keinginannya.
5. Preferensi individu dalam beragama mendorong
kelompok-kelompok sosial untuk
mengembangkan hubungan keluarga, pekerjaan,
lingkungan, atau gerakan sosial.
6. Menurut Lawler (1993), makrostrukturalisme
mendominasi kerangka kerja dalam teori
pertukaran sosial. Teori ini berbicara tentang
konsepsi minimalis dalam memahami motivasi
pelaku beragama dan membantu mengidentifikasi
struktur sosial untuk mengetahui pengaruh
jaringan pada individu, dan pengaruh individu
pada jaringan.
I. KELUARGA DAN
SOSIALISASI
1. Pada akhir abad ke-20 terlihat sebuah
kebingungan di bidang penelitian sosiologi, yaitu
berupa kendala data yang berkaitan dengan
hubungan pengaruh keluarga terhadap komitmen
pada keyakinan agama dan sebaliknya.
2. Secara teoretis, keluarga memberikan pengaruh
yang berkelanjutan pada perilaku beragama.
3. Salah satu tugas penting ke depan bagi sosiolog
agama adalah mulai menguji pengaruh keluarga
besar, dan pengaruh timbal balik dalam keluarga
selama hidup.
4. Keluarga tidak hanya menginformasikan
keyakinan agama dan pemahaman individu,
mereka juga menyediakan konteks sosial primer
tentang pilihan agama yang dianutnya.
5. Dalam konteks hubungan struktural, sering terjadi
tumpang tindih antara simpati dan sanksi; antara
motivasi dan partisipasi agama, serta antara
afiliasi agama dan keluarga.
6. Ikatan keluarga dan perilaku beragama
mendorong keluarga untuk mengamalkan ajaran
agama dengan sungguh-sungguh.
J. DENOMINASI (NETRALITAS)

1. Di bagian akhir abad ke-20, menjadi modis bagi


ulama untuk mengklaim bahwa perbedaan-perbedaan
keagamaan sedang menurun. Artinya, netralitas
seseorang dalam kehidupan sosial-keagamaan
menjadi penting.

2. Menurut Finke dan Stark (1992), di satu sisi, selalu


ada variasi dari kepercayaan dan komitmen
masyarakat untuk memilih netral dalam perilaku
beragama. Akan tetapi, di sisi lain, terjadi
pembentukan gerakan sektarian yang berusaha untuk
membangun ketegangan dengan masyarakat yang
lebih luas.
3. Meskipun bervarisi, netralitas tetap berjalan untuk
mentransmisikan (mengalirkan) skema agama. Netralitas
dipandang sebagai "nonkelompok keagamaan". Artinya,
netralitas itu berkaitan dengan anggota masyarakat yang tidak
memilih “aliran atau kelompok agama” tertentu.

4. Menurut Harrison dan Lazerwitz (1982), netralitas dapat


mempengaruhi orang melalui orientasi tertentu terhadap
kepercayaan orang lain dan tindakan keagamaannya.

5. Menurut Stark dan Bainbridge (1985), konflik dalam


penentuan sikap netral sering didorong oleh literatur
keagamaan yang bertentangan dengan pandangan masyarakat.
Netralitas dapat mempengaruhi kaum awam yang hal ini tidak
disukai oleh kaum elit dan kelompok-kelompok partisan.
6. Menurut Sherkat dan Ellison (1999), netralitas juga berperan dalam
kegiatan kolektif, sehingga memudahkan untuk membangun kohesi sosial
dalam kelompok-kelompok agama.
7. Dalam netralitas biasanya dipengaruhi oleh berbagai identitas (Dillon
1999a) dari kelompok-kelompok agama, tetapi masing-masing kelompok
itu memiliki pemahaman tentang tema-tema keagamaan yang khas.
8. Data survai umum sosial menunjukkan bahwa 45 persen orang
Amerika menikah dengan seseorang dari latar belakang iman
yang sama. Artinya, sisanya menikah dengan pasangan yang
berbeda iman (agama).
9. Menurut Hoffmann dan Miller (1998), dalam hal keyakinan
yang berbeda, sejumlah studi menunjukkan bahwa
kepercayaan dan praktik keagamaan pasangan itu berbeda
secara substansial di seluruh kelompok keagamaan.
Keyakinan keagamaan pasangan memiliki dampak
konsekuensi yang besar pada pilihan agama masa depan
tentang partisipasi dan afiliasi keagamaan.
10. Dalam studi keluarga, pengaruh kelompok keagamaan
cenderung mengabaikan perbedaan antara efek keyakinan dan
pemahaman agama dengan pengaruh sosial.
11. Kelompok agama menyediakan konteks sosial untuk
anggotanya, misalnya memberi hadiah untuk yang
berprestasi dan menjatuhkan hukuman bagi yang
melanggar. Hal ini secara signifikan dapat
memotivasi partisipasi agama di kalangan
kelompoknya.
12. Menurut Harrison dan Lazerwitz (1982), jaringan
persahabatan, hubungan kerja, jaringan lingkungan,
dan hubungan kekerabatan dapat mengonsolidasikan
kongregasi religius. Dalam konteks ini, afiliasi
kelompok keagamaan adalah sebuah pilihan.
K. PENGARUH PENDIDIKAN
1. Para sarjana telah lama percaya bahwa pendidikan akan
mengusir mitos dan takhayul yang berkembang dalam
masyarakat, tetapi yang lebih berbahaya adalah
pendidikan akan menghilangkan peran agama dalam
kehidupan sosial. Para sarjana sekuler berpendapat bahwa
penelitian ilmiah akan mengalahkan ajaran agama karena
ajaran agama sering dituduh tidak masuk akal.

2. Teori sekularisasi agama secara dominan menjelaskan


tentang perubahan agama. Menurut perspektif ini,
pencapaian pendidikan dan kualitas penalaran pendidikan
sangat penting untuk mengusir mitos dan takhayul, dan
mengganti agama dengan penjelasan ilmiah.
3. Teori sekularisasi agama menurut Stark dan Finke (2000) menyebutkan
bahwa agama tetap penting walaupun perannya cenderung menurun.
Salah satu alasan utama teori ini adalah bahwa dalam ilmu dan pendidikan
tidak ada penjelasan tentang supranatural (hal-hal yang ghaib), sedangkan
dalam agama ada kepercayaan tentang supranatural.
4. Menurut Darnell dan Sherkat (1997), organisasi
keagamaan bisa mengcounter sekularisasi agama yang
melanda tokoh-tokoh individu dan dapat pula
mengcounter pendidikan anti-agama yang
dikembangkan oleh sejumlah lembaga pendidikan.
Transposisi dari nilai-nilai agama ke dalam bidang
pendidikan dapat mencegah pendidikan sekuler.
5. Pendidikan sekuler di lembaga pendidikan dasar dan
lembaga pendidikan menengah pada umumnya tidak
bermusuhan terhadap agama, tetapi dalam pendidikan
tinggi, sentimen antiagama sudah bersifat umum, dan
ortodoksi agama dilihat secara negatif.
6. Di Amerika Serikat menurut Stark dan Finke (2000),
dalam preferensi agama dan pilihan pendidik terbukti
bahwa selama beberapa dekade, para dosen universitas,
para ilmuwan (fisikawan, matematikawan, ahli biologi,
insinyur, dan seterusnya) cenderung mengekspresikan
keyakinan agama ortodoks dan mempertahankan afiliasi
keagamaan tertentu.

7. Para profesor di perguruan tinggi dari bidang ilmu


humaniora dan ilmu sosial jauh lebih rentan terhadap
ateisme, dan mereka kurang memiliki komitmen
terhadap organisasi keagamaan. Menurut mereka,
penelitian dan penemuan ilmiah tidak mungkin
disandingkan dengan iman (agama) apalagi
menggantikannya.
8. Menurut Hunsberger (1985) dan Johnson (1997), tidak
mengherankan jika penelitian sistematis telah menemukan bahwa
pencapaian pendidikan mengurangi preferensi bagi agama
ortodoks, dan sekaligus mempromosikan ateisme. Menariknya,
Johnson (1997) menemukan bahwa pengaruh pendidikan pada
keyakinan agama cukup positif dan pendidikan juga memiliki
dampak positif pada kepercayaan dalam kehidupan setelah
kematian.

9. Cornwall (1989) menunjukkan bahwa pendidikan memiliki


dampak positif pada komitmen agama. Dalam setiap kasus, hal
ini menunjukkan bagaimana agama mengcounter pengaruh
pendidikan negatif dan pengaruh pendidikan sekuler. Secara
umum, Stolzenberg (1995) menunjukkan bahwa pendidikan
memiliki dampak positif terhadap ketaatan seseorang terhadap
ajaran agamanya.
10. Menurut Wilson dan Musick (1997), temuan ini mencerminkan
kenyataan bahwa lebih banyak responden berpendidikan lebih
mampu mempertahankan afiliasi dengan berbagai organisasi
keagamaan. Memang hubungan antara pencapaian pendidikan
dan pemahaman agama tidak searah.

11. Kelompok agama dengan sistem kepercayaan yang kuat


mengakui kekuatan korosif pendidikan sekuler dan berusaha
untuk melindungi anggotanya dari kekuatan-kekuatan sosial. Di
Barat, umat Katolik telah berhasil memenuhi tantangan hegemoni
Protestan dengan membentuk lembaga pendidikan mereka
sendiri. Memang, di Amerika Serikat, pendidikan Katolik
dikembangkan dalam upaya terbuka untuk melawan pengaruh
masyarakat yang didominasi oleh Protestan.
12. Menurut Sherkat dan Darnell (1999), pendidikan publik menjadi
lebih sekuler dan lebih terbuka untuk menunjukkan anti-agama.
Aktivis agama telah memperingatkan orang tua terhadap
perangkap pendidikan di perguruan tinggi. Orang muda yang
memiliki keyakinan agama konservatif menghindari pendidikan
di perguruan tinggi karena cenderung mengajarkan teori-teori
anti-agama.

13. Hubungan antara pendidikan dan preferensi agama adalah


penting untuk para sosiolog agama. Pertumbuhan dramatis
sekolah swasta Protestan dan meningkatnya popularitas home
schooling di Amerika Serikat dapat berdampak besar pada
preferensi agama konservatif dan organisasi keagamaan yang
sektarian.

14 Lembaga-lembaga agama dapat menangkal dampak dari


pendidikan sekuler pada generasi umat masa depan.
L. RETROSPEKSI
DAN PROSPEK
1. Karya yang paling berpengaruh dalam sosiologi agama
adalah fokus pada tema besar transformasi makrokultural,
yaitu mekanisme untuk mengelola dinamika agama secara
inheren pada tingkat individu. Perubahan agama hanya
akan terjadi jika proporsi besar individu mengubah
preferensi mereka untuk ajaran-ajaran agama dan
mengubah pilihan agama mereka.

2. Tindakan ideologis terstruktur harus dipertahankan


melalui proses sosialisasi dan pengaruh (Zald, 2000).
Untuk memahami hal ini, kita harus fokus pada keluarga,
ikatan keagamaan, jaringan persahabatan, kekerabatan,
dan pengaruh lembaga lainnya seperti pendidikan. Ini
adalah ranah bahasan sosialisasi agama.
3. Sementara pendidikan sekuler melemahkan iman agama
tradisional. Individu agama dan lembaga pendidikan
agama memberi pengaruh terhadap iklim akademis dan
pendidikan sekuler yang bermusuhan terhadap agama.

4. Kita mengetahui sedikit-banyak tentang bagaimana


dampak perceraian dan pilihan agama bagi seseorang,
tetapi kita sangat sedikit mengetahui tentang bagaimana
peristiwa perceraian dapat mengubah selera agama.
Mungkin yang lebih penting, tidak ada studi serius tentang
bagaimana memahami kematian dan penyakit serius
berdampak terhadap keinginan memilih agama. Studi
menangani isu-isu ini hubungan antara penuaan, transisi
kehidupan, pemahaman, dan komitmen terhadap agama.
5. Ada proposisi menarik yang menyebutkan bahwa
model sosialisasi agama dapat menjelaskan
perbedaan individu dalam religiositas
(keberagamaan). Perspektif semacam ini mungkin
menjadi alat yang berharga untuk menjelaskan
masalah seksualitas dan perbedaan gender dalam
komitmen keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA

• Fenn, Richard K. 2003. The Blackwell Companion to Sociology of


Religion. Blackwell Publishing, Malden and Oxford.
• Hamilton, Malcolm. 2001. The Socilogy of Religion, Theoretical
and Comparative Perspective. Routledge, London and New York.
• Kinloch, Graham C. 2005. Perkembangan dan Paradigma Utama
Teori Sosiologi. Pustaka Setia, Bandung.
• Nottingham, Elizabeth K. 1993. Agama dan Masyarakat, Suatu
Pengantar Sosiologi Agama. P.T. RajaGrafindo Persada.
• Qardhawy, Yusuf. 1999. Fi Fiqhi al-Aulawiyyât, Dirâsatun
Jadîdah fi Dha`il-Qur`ân was-Sunnah. Maktabah Wahbah, Kairo.
• Weber, Max. The Sociology of Religion
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai