Anda di halaman 1dari 4

ISLAM DALAM MENJAMIN KEBAHAGIAAN DUNIA DAN

AKHIRAT DALAM KONTEKS KEHIDUPAN MODERN


Dr. H. Ade Nandang, M.Ag.

1. Agama dan Modernisme


Perubahan sosial (social change) secara teoretis merupakan realitas kehidupan
jika masyarakat menghendaki kemajuan. Namun, dalam tataran praksis, perubahan
sosial dapat menimbulkan berbagai konsekuensi, bahkan pengaruhnya sangat luas
dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti demografi, sistem stratifikasi,
pemerintah-an, pendidikan, sistem keluarga, nilai, sikap, kepribadian, dan
sebagainya. Modernisasi, selain berdampak positif menuju ke arah kemajuan, juga
berdampak negatif, seperti muncul alienasi dalam masyarakat. Agama sebagai ajaran
yang datang dari Tuhan diyakini kebenarannya oleh setiap pemeluknya (Baharun,
2011), sehingga setiap pemeluk agama berusaha memahami dan mengamalkan isi
ajaran agama yang dianutnya. Pengamalan ajaran agama merupakan
pengejawantahan dari pemahaman/pemaknaan orang terhadap ajaran/nilai-nilai
ajaran agama yang diyakininya. Menurut Blumer (1969: 15), pada dasarnya tindakan
manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan
melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal
tersebut. Menurut Weber (dalam Johnson, 1990: 237), Ide-ide agama dapat
berpengaruh yang bersifat independen terhadap perilaku manusia. Durkheim dalam
Maliki (2004: 94) juga menyatakan, agama sebagai sistem keyakinan yang utuh dan
praktik-praktik kehidupan mampu mempersatukan ke dalam kesatuan moralitas
masyarakat. Parsons dalam Ali (2003:39) menegaskan, agama sebagai penyedia
norma-norma dan nilai-nilai masyarakat, dan menurut Huntington dalam Thoha
(2005:130), agama merupakan konstituen atau pembentuk asazi jati diri dan identititas
peradaban.
Berdasarkan penjelasan tersebut, agama merupakan ajaran atau sistem
keyakinan yang menyediakan norma-norma dan nilai-nilai yang memberikan
pengaruh terhadap perilaku manusia dalam bentuk praktik-praktik kehidupan nyata.
Praktik-praktik kehidupan yang mewujud berupa pengamalan ajaran/sistem
keyakinan, norma-norma dan nilai-nilai tersebut tentu sejalan dengan pengetahuan,
pemahaman, penafsiran atau pemaknaan orang tersebut terhadap ajaran/norma-
norma, nilai-nilai agama yang diyakininya.

2. Modenisme dan Dampaknya


Giddens dalam Ritzer dan Goodman (2004:561) menyatakan, modernitas
sebagai kultur berisiko. Modernitas mengurangi resiko menyeluruh bidang dan gaya
hidup tertentu. Namun, di waktu bersamaan memperkenalkan parameter resiko baru
yang sebagian besar atau seluruhnya tidak dikenal di area sebelumnya. Di antara
resiko/ akibat modernisasi dapat berupa alienasi (keterasingan). Ritzer dan Goodman
(2004: 559). Kecenderungan perkembangan masyarakat modern yang banyak
mendorong kehidupan sosial lain tersegmentasi, dan mencerai-beraikan ikatan-
ikatan sosial dalam keagamaan yang sebelumnya kokoh. Dehumanisasi kehidupan
sosial tersebut, dalam banyak hal telah menyebabkan manusia kehilangan makna
kehidupan (denomisasi). Kondisi keterasingan yang terjadi dalam masyarakat modern

1
sudah mendekati totalitas. Manusia tidak lagi merasakan dirinya sebagai pembawa
aktif dari kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda yang di miskinkan
tergantung pada kekuatan luar dirinya (Narwoko dan Suyanto, 2004: 254).
Persoalan alienasi berupa perasaan todak berdaya, tidak bermakna, dan
terpencil, dapat dikaitkan dengan birokrasi dan kolonialisasi yang didesain oleh
manusia. Hubungan antara manusia menjadi serupa dengan hubungan antara dua
komponen dari mesin birokrasi, hubungan dua manusia yang sama-sama abstrak
antara dua mesin hidup, masing-masing orang merasakan dirinya sebagai komoditi
yang siap dilempar ke pasaran. Keterasingan ini berdampak pada keterasingan di
bidang intelektual, ketika kaum intelektual memeluk budaya Barat sebagai upaya
melepaskan diri dari identitas rasialnya (Narwoko & Suryono, 204: 225). Keterasingan
model ini menimbulkan stereotipisme terhadap bangsanya sendiri termasuk
melecehkan dan kurang peduli terhadap nasib ketidakberdayaan kaumnya. Mereka
secara terkagum-kagum menempatkan segala sesuatu yang dari ras,
mengidentifikasikan dirinya –bagian dari budaya Barat misalnya-- sebagai hal yang
lebih baik dan superior. Manusia dalam kondisi keterasingan (alienasi) akan berusaha
menemukan jati (identitas) dirinya kembali, keberadaan dan identitas kediriannya
sebagai manusia telah terhempaskan oleh institusi modern yang mekanis itu.

3. Agama dan Perannya dalam Menyikapi Modernitas


Agama, dalam upaya menemukan diri manusia kembali, menjadi
alternatifnya. Peran agama dan pendidikan Agama Islam menurut Arifin (2003: 165),
semakin dibutuhkan ketika manusia dihadapkan pada sejumlah persoalan. Apalagi
persoalan itu mengakibatkan manusia berada dalam krisis. Manusia, melalui
upacara-upacara/ritual keagamaan akan menemukan kesadaran, ketenangan, dan
semangat menghadapi kehidupan. Agama menurut Suseno, dapat menenangkan
masyarakat, dapat mempertajam kesadaran, dan dapat memberi semangat (Suseno,
2001: 84). Durkheim, berdasarkan hasil penelitiannya mengatakan, agama sebagai
sarana untuk meperkuat kesadaran kolektif yang diwujudkan melalui upacara-
upacara atau ritus-ritus (Maliki, 2004:94). Manusia perlu memiliki pegangan hidup
yang bersumber pada agama dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.
Yinger mengatakan, yang terpenting, semua orang memerlukan nilai-nilai
mutlak untuk pegangan hidup dan nilai-nilai ini merupakan jawaban terhadap
persoalan-persoalan. Beberapa agama memberikan jawaban terhadap kebutuhan ini
(Betty R. Scharf, 2004: 108). Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan agama sebagai alternatif, antara lain:
1. Agama termasuk dalam Islam, menawarkan suatu hubungan transendental
melalui pemujaan dan upacara ibadat, sehingga memberikan dasar emosional
bagi rasa ―aman baru dan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian
dan ketidakberdayaan kondisi manusia dari arus perubahan. Agama, melalui
ajaran-ajaran yang otoritatif tentang kepercayaan dan nilai memberikan
kerangka acuan di tengah pertikaian dan kekaburan pendapat serta sudut
pandangan manusia.
2. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang ada di luar jangkauan
manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan. Agama, terhadap dunia di
luar jangkauan manusia, selain memberikan tanggapan serta menghubungkan

2
dirinya juga memberikan atau menyediakan bagi pemeluknya suatu
dukungan pelipur lara dan rekonsiliasi, manusia membutuhkan dukungan
moral di saat menghadapi ketidakpastian dan membutuhkan rekonsiliasi
dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya. Karena
kegagalan mengejar aspirasi, dihadapkan dengan kekecewaan serta
kebimbangan, agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu
dalam menghadapi unsur kondisi-kondisi manusia. Agama, dalam konteks
memberi dukungan pada manusia, menopang nilai-nilai dan tujuan yang telah
terbentuk, memperkuat moral, dan mengurangi kebencian.
3. Agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak
tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di
dunia dan di akhirat. Agar membimbing manusia bertaqwa kepada Tuhannya,
beradab dan manusiawi yang berbeda dari cara-cara hidup hewan atau
makhluk lainnya. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan
inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan, dan menjadi pendorong (penggerak) serta pengontrol bagi
tindakan-tindakan anggota masyarakat untuk tetap berjalan sesuai dengan
nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya. Islam dalam pengertian ―generik
(tunduk dan patuh hanya kepada Tuhan) dan sebagai pranata sosial
mengajarkan manusia agar senantiasa menjaga pikiran, hati, ucapan, dan
perilaku agar senantiasa menampilkan yang terbaik di hadapan Tuhan karena
seluruh aktivitas manusia ada laporan pertanggungjawaban di akhirat (Qs. Ali
Imran/3:25; Al-Mujadilah/58:6). Jauh sebelum itu, Tuhan menjelskan di dalam
Al-Qur-‘an tentang cara memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan dalam
kehidupan dengan berkomitmen kepada ajaran Tuhan. Firman Allah dalam
Qs. Al-Baqarah/2:2, misalnya, menegaskan, Al-Qur‘an sebagai ―guidance
untuk memperoleh kesuksesan hidup bagi manusia bertakwa. Islam juga
menunjukkan resiko dari orang-orang yang beromitmen dengan ajaran Tuhan
dan yang membangkang ajaran-Nya.

Rangkuman

1. Perubahan sosial secara menghendaki kemajuan, tetapi dalam tataran praksis,


dapat menimbulkan berbagai konsekuensi, bahkan pengaruhnya sangat luas
dalam berbagai dimensi kehidupan. Ide-ide agama dapat berpengaruh yang
bersifat independen terhadap perilaku manusia. Agama sebagai sistem
keyakinan yang utuh dan praktik-praktik kehidupan mampu mempersatukan
ke dalam kesatuan moralitas masyarakat. Agama merupakan ajaran atau
sistem keyakinan yang menyediakan norma-norma dan nilai-nilai yang
berpengaruh terhadap perilaku manusia dalam bentuk praktik-praktik
kehidupan nyata. Praktik-praktik kehidupan yang mewujud berupa
pengamalan ajaran/sistem keyakinan, norma-norma dan nilai-nilai tersebut
tentu sejalan dengan pengetahuan, pemahaman, penafsiran atau pemaknaan
orang tersebut terhadap ajaran/norma-norma, nilai-nilai agama yang
diyakininya.

3
2. Modernitas sebagai kultur berisiko. Modernitas mengurangi resiko
menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu. Namun, di waktu bersamaan
memperkenalkan parameter resiko baru yang sebagian besar atau seluruhnya
tidak dikenal di area sebelumnya. Muncullah kehidupan sosial yang
tersegmentasi, dan mencerai-beraikan ikatan-ikatan sosial dalam keagamaan
(dehumanisasi). Kondisi in menyebabkan kehidupan sosial manusia
kehilangan makna kehidupan (denomisasi) dan keterasingan. Keterasingan, di
samping berdampak pada politik dan kebangsaan, juga berdampak pada
keterasingan di bidang intelektual, sehingga manusia merasa bangga dengan
budaya Barat. Budaya Barat dianggap lebih baik dan superior. Manusia dalam
kondisi keterasingan ini berusaha menemukan jati (identitas) dirinya kembali,
keberadaan dan identitas kediriannya, yaitu agama.
3. Ajaran agama berisi kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi
manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat.
Agama membimbing manusia bertaqwa kepada Tuhannya, beradab dan
manusiawi. Agama sebagai sistem keyakinan menjadi pendorong (penggerak)
serta pengontrol bagi tindakan-tindakan anggota masyarakat untuk tetap
berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya. Islam
mengajarkan manusia agar hidup sesuai dengan aturan Tuhan untuk
memperoleh kebahagiaan.

-------

Anda mungkin juga menyukai