Anda di halaman 1dari 4

KONSEP BERTUHAN SEBAGAI DETERMINAN DALAM

PEMBANGUNAN MANUSIA BERIMAN DAN BERTAQWA


KEPADA ALLAH SWT YANG BERSUMBER DARI AL-QURAN

Dr. Hafiz Muslih, M.Ag

1. Pertanyaan tentang Tuhan


Ungkapan yang diterjemahkan ―Tuhan, dalam Al-Qur`an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, Misalnya
dalam QS al-Jatsiiyah/45:23: “Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Dia telah
me-ngunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?
Siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat), maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? Ungkapan ilah dalam Qs. al-Qashash/28:38,
digunakan oleh Fir`aun untuk dirinya: “Dan Fir‟aun berkata: wahai para pembesar aku
tidak menyangka bahwa kalian masih memiliki ilah selain diriku”.
Contoh ayat di atas tersebut menunjukkan bahwa perkataan ilah
mengandung berbagai arti benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi)
maupun benda nyata (fira`un, penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Bertuhan nol
(tidak bertuhan, ateisme) tidak mungkin. Untuk dapat mengerti defenisi Tuhan (ilah)
yang tepat berdasarkan Al- Qur‘an sebagai berikut. Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang
dianggap penting oleh manusia, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-
Nya. Istilah ―yang dianggap penting diartikan secara luas, tercakup di dalamnya
yang dipuja, dicintai, diagungkan, didambakan dapat memberi kemaslahataan,
termasuk sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan kerugian. Menurut Ibnu
Taimiyah, iIah adalah yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-
Nya merendahkan diri dihadapannya, takut dan mengharapkannya, kepadanya
umat tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal
kepada-Nya dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta
kepada-Nya (Hasbi, 2016).

2. Spiritualitas sebagai Landasan Kebertuhanan


Manusia, ketika telah mencapai titik fitrah (god spot) dan terbebas dari segala
belenggu dapat merasakan ketenangan jiwa yang mendasari segala tingkah lakunya.
Manusia juga dapat menggunakan suara hatinya sebagai penuntun hidup menuju
kebenaran yang semuanya bersumber dari Tuhan. Firman Allah dalam Qs. As
Sajdah/32:9 menjelaskan, “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya
roh (cipta-an)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan (perasaan)
hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. Ketika manusia mengakui Allah sebagai
Tuhan-nya, suara hati manusia akan terus berjalan dan dapat dirasakan sepanjang
hidup, kecuali hati yang tertutup. Manusia memiliki rasa ketuhanan dan memiliki
kebaikan hati nurani merupakan fitrah (naluriah) sebagai wujud manusia beriman
dan bersyukur. Manusia, terutama di era modern, dituntut memiliki dimensi batin
(esoteric dimension) atau jiwa agama (Litbang Kemenag, 2010), meliputi kualitas
iman, kualitas jiwa, kualitas mental, kualitas kecerdasan emosi, dan kualitas

1
kecerdasan spiritual yang bersumber dari keyakinan agamanya sebagai seorang
muslim.
Seseorang yang ingin mudah merasakan kehadiran Tuhan, hendaknya
memulai melakukan penyucian hati. Penyucian hati berdampak bagi penguatan
potensi dan mengalahkan semua dorongan instingtif materialistis yang berlebihan
(mengikuti hawā an-nafs). Ketika hati manusia telah suci, roh dan jiwa manusia akan
menerima pancaran rahmat Tuhan sehingga memancarkan energi positif yang
kemudian mempengaruhi penilaian dan sikapnya. Pertanyaan, mengapa manusia
memerlukan spiritualitas?
Manusia sebagai makhluk memiliki kebebasan untuk memilih sehingga
diperlukan menjaga integritas diri di tengah realitas kehidupan. Integritas tanpa
spiritualitas ibarat membangun rumah di atas tumpukan pasir di tepi pantai, dapat
roboh kapan saja akibat terpaan ombak laut. Manusia membutuhkan spiritualitas
untuk mampu mempertahan-kan integritas di tengah dunia yang penuh godaan.
Manusia tidak saja membutuhkan bakat, kapasitas intelektual, dan kompetensi
untuk memenuhi panggilan hidup, melain-kan spiritualitas yang dapat menjaganya
untuk tetap memilih cara-cara bermoral dan patut di tengah aneka dinamika
kehidupan.
Iman, keyakinan yang melandasi nilai-nilai spiritualitas, memberi kekuatan
bagi manusia memenuhi panggilan hidup sambil tetap menjaga keseimbangan
antara kehidupan dunia dan akhirat, sehingga tidak terhanyut mengejar kebendaan
berlebihan (materialisme). Ketika hati nurani merasa takut kepada Tuhan mulai
merasuki kesadaran, manusia memiliki kemampuan untuk menempuh hidup
dengan integritas. Hidup dengan integritas berarti hidup dengan berkomitmen pada
prinsip yang telah diyakini. Integritas dalam konteks ini diukur dari apa yang
dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan, termasuk ketika seseorang dalam kesendirian.

3. Menggali Konsep Ketuhanan

Konsep ketuhanan dalam Islam dapat digali dari berbagai perspektif,


misalnya psikologis, sosiologis, filosofis, dan teologis.

a. Cara Tuhan dirasakaan kehadirannya dalam perspektif psikologis.


Hadis Nabi saw. menyatakan, orang yang sedang jatuh cinta cenderung
selalu me-ngingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai‟an katsura
dzikruhu), sehingga orang dapat diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai‟an fa
huwa `abduhu). Nabi saw, menegaskan, ciri cinta sejati ada tiga: (1) lebih suka
berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, (2) lebih suka
berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan (3) lebih suka
mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri. Bagi
orang yang telah jatuh cinta kepada Tuhan, lebih suka berbicara dengan Tuhan,
melalui pembacaan firman-Nya, lebih suka bercengkerama dengan-Nya dalam
i`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah-Nya dari-pada perintah yang lain. Ketika
itulah kehadiran Tuhan dapat dirasakan.

2
b. Cara Tuhan Disembah oleh masyarakat dalam perspektif sosiologis
Sosiologi memandang agama tidak berdasarkan teks keagamaan (kitab suci
dan sejenisnya), tetapi berdasarkan pengalaman konkret di masa kini dan di masa
lampau. Agama, hingga kini, menjadi sesuatu yang melekat dalam tiap sendi
kehidupan manusia. Manusia yang menganggap dirinya manusia paling modern
sekalipun tidak lepas dari agama (Bergson, 1966:38). Hal ini membuktikan agama
tidaklah sesempit pemahaman manusia mengenai kebenaranya. Agama tidak saja
membicarakan hal-hal yang bersifat eskatologis, tetapi hal-hal yang logis. Agama
tidak hanya membatasi diri terhadap hal-hal yang dianggap mustahil, karena di
waktu yang bersamaan agama juga menyuguhkan hal-hal yang riil. Agama itu
sangat kompleks sehingga betul-betul membutuhkan keseriusan untuk
memahaminya. Agama dalam sosiologi, dipandang sebagai sistem kepercayaan
yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu, naik berkaitan dengan pengalaman
manusia sebagai individu maupun kelompok. Setiap perilaku yang diperankan
terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianut. Perilaku individu
dan sosial digerak-kan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai
ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Manusia, masyarakat, dan
kebudayaan secara dialektik berhubungan; berdampingan dan berhimpit saling
menciptakan dan meniadakan.

c. Cara Tuhan dirasionalisasikan dalam perspektif filsafat


Ketuhanan merupakan pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal
budi, memakai pendekatan filosofis. Bagi orang yang menganut agama tertentu
(terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di
dalam usaha memikirkannya. Filsafat ketuhanan merupakan pemikiran manusia
dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan. Usaha yang dilakukan manusia ini
bukanlah untuk menemu-kan Tuhan secara absolut atau mutlak, melainkan mencari
pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada
kebenaran tentang Tuhan. Penelaahan tentang Tuhan dalam filsafat disebut teologi
filosofi. Hal ini bukan menyelidiki tentang Tuhan sebagai obyek, melainkan
eksistensi alam semesta, makhluk yang diciptakan. Tuhan dipandang semata-mata
sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri. Tuhan sebenarnya
bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise. Pemahaman Tuhan di dalam agama
harus dipisahkan Tuhan dalam filsafat. Namun pendapat ini ditolak oleh para
agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman,
sehingga ditempuh cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan
menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat
alam, dan lain-lain). Para filsuf mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan
untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas tertinggi yang
dinamakan Tuhan, ide dan gambaran Tuhan melalui sekitar diri manusia.

d. Konsep tentang Tuhan dalam Perspektif Teologis


Masalah ketuhanan, kebenaran, dan keberagamaan dalam perspektif teologis,
harus dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan
karena dimulai dari Tuhan melalui wahyu (Nasution 1985). Kesadaran tentang
Tuhan, baik-buruk, cara beragama hanya bisa diterima jika berasal dari Tuhan.

3
Tuhan mem-perkenalkan diri-Nya, konsep baik-buruk, dan cara beragama kepada
manusia melalui pelbagai pernyataan, baik yang dikenal sebagai pernyataan umum,
seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk,
maupun pernyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui firman-Nya dalam kitab
suci, penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi manusia
dalam dogma Kristen. Pernyataan-pernyataan Tuhan ini menjadi dasar keimanan
dan keyakinan umat beragama.
Manusia, melalui wahyu yang diberikan Tuhan, dapat mengenal Tuhan;
manusia mengetahui cara beribadah; dan cara memuji dan mengagungkan Tuhan.
Singkat kata, pengetahuan tentang Tuhan, baik-buruk, dan cara beragama dalam
perspektif teologis tidak terjadi atas prakarsa manusia, tetapi terjadi atas dasar
wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu
menjadi makhluk yang ber-tuhan dan beribadah kepada-Nya.

4. Membangun Argumen Cara Manusia Meyakini dan Mengimani Tuhan


Iman kepada Tuhan merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung
dalam rukun iman, sehingga keimanan kepada Tuhan harus tertanam dengan benar
kepada diri seseorang. Iman kepada Tuhan dengan benar, berlanjut kepada
keimanan yang lain, iman kepada para malaikat, kitab-kitab, para rasul, Hari
Kiamat, dan qadha dan qadar. Jika iman rusak, misalnya, rusaklah seluruh ibadah
seseorang. Ada dua cara beriman kepada Tuhan. Pertama, beriman kepada Tuhan
secara umum (ijmali). Al-Qur‘an sebagai sumber ajaran pokok Islam telah
memberikan pedoman kepada manusia dalam mengenal Tuhan, bahwa Dia Zat
Yang Maha Esa, Maha Suci, Maha Pencipta, Maha Mendengar, Maha Kuasa, dan
Maha Sempurna.
Sementara itu, beriman kepada Tuhan dengan rinci (tafsili) meyakini bahwa
Tuhan memiliki sifat yang berbeda dengan sifat makhluk-Nya, seperti yang dapat
dilihat dalam ―al-Asma al-Husna dengan menghayati makna yang terkandung di
dalamnya dan mengimitasi sifat-sifat tersebut dalam kehidupan melalui amal saleh.

5. Mendeskripsikan Esensi Visi Ilahi Membangun Dunia Damai


Manusia, agar dapat menjaga konsistensi dalam kebaikan dan kebenaran
kepada Tuhan, dituntut membangun relasi yang baik dengan Tuhan. Manusia tidak
dapat membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan jika hidupnya lebih
didominasi oleh kepentingan material. Sisi spiritualitas harus memainkan peran
utama dalam kehidupan manusia sehingga manusia mampu merasakan kehadiran
Tuhan dalam setiap gerak dan sikapnya. Jika manusia telah mampu mengasah
spiritualitasnya sehingga dapat merasa-kan kehadiran Tuhan, dapat melihat segala
sesuatu dengan visi Tuhan. Visi Tuhan saat ini dibutuhkan oleh manusia sehingga
setiap tindakannya selalu dalam koridor dan cinta Tuhan. Hal ini menunjukkan
manifestasi kebenaran universal dan pengabdian serta pelayanan kepada sesama
ciptaan Tuhan, sehingga tercipta dunia damai.

Anda mungkin juga menyukai