Anda di halaman 1dari 12

ISLAM DALAM MENJAMIN KEBAHAGIAAN DUNIA DAN

AKHIRAT DALAM KONTEKS KEHIDUPAN MODERN

Disusun oleh :

RENANDA SAPITRI (200101046)

Unit : 03

Semester : 1

Prodi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS SAMUDRA

T/A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah
pendidikan agama islam dengan judul "Islam dalam menjamin kebahagiaan dunia dan
akhirat, dalam konteks kehidupan modern”.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung


bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk
itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini


dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.

Langsa, 14 April 2021


Penulis

Renanda Sapitri

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................2
C. Tujuan Makalah...................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3

A. Makna Kebahgiaan..............................................................................3
B. Kebahagiaan Dalam Perspektif Islam Menurut Al-Qur’an.................3
C. Kebahagiaan Dunia Dan Akhirat Dalam Konteks Kehidupan
Modern.................................................................................................5

BAB III PENUTUP................................................................................................8

A. Kesimpulan..........................................................................................8
B. Saran....................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam menjamin kebahagiaan bagi setiap penganutnya di dunia maupun di


akhirat kelak. Ia mempunyai sendi yang sangat esensial yaitu al-Quran. Al-Qur’an
adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, sebagai penutup
para nabi, diawali dengan surat alFatihah dan diakhiri dengan surat An Nas. Ia
merupakan wahyu yang berfungsi untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai
petunjuk dan rahmat, serta memberi kabar gembira bai orang-orang Islam.
Sebagaimana dikatakan dalam firman-Nya :

Artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan


segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan khabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.1”

Ia merupakan wahyu yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada


Rasulullah dengan bahasa Arab sebagai peringatan dan kabar gembira, sebagaimana
dikatakan dalam al-Qur’an :

Artinya : “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb


semesta alam,(192) dia dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril), (193) ke dalam

1
Al Qur’an 16 : 89

1
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan,(194) dengan bahasa Arab yang jelas. (95)”2

Rasulullah mendapat mandat langsung dari Allah SWT, untuk menyampaikan


kepada umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT :

Artinya : “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu”3

Intinya, al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi


Muhammad SAW, yang mengandung kisah-kisah terdahulu, kejadian yang akan
datang, perintah, larangan ataupun intisari dari kitabkitab suci terdahulu,
membacanya dianggap sebagai ibadah, bernilai mukjizat, penulisan dan
pengumpulannya dimulai sejak masa Nabi SAW, kemudian diteruskan para sahabat,
berlanjut ke tabiin hingga akhirnya sampai kepada kita secara mutawatir 4 yang
selanjutnya berfungsi untuk memberi petunjuk kepada jalan yang sebaik-baiknya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana makna kebahagian secara harfiah ?

2. Bagaimana kebahagiaan dalam perspektif islam menurut Al-Qur’an

3. Bagaimana kebahagiaan dunia dan akhirat dalam konteks kehidupan modern

C. Tujuan Makalah

1. Mengetahui definisi kebahagiaan menurut kamus besar bahasa Indonesia

2. Mengetahui makna kebahagiaan dalam perspektif islam

3. Mengetahui cara memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat dalam kehidupan


modern

2
Al-Qur’an., 26: 192-195.
3
Al-Qur’an., 5: 67.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Kebahagian

Kata bahagia merupakan terjemahan dari kata Happy dalam bahasa Inggris
dan dari kata Sa’id/sa’adah dalam bahasa Arab.1 Dalam kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI) kata bahagia diartikan dengan keadaan atau perasaan senang
tentram (bebas dari segala macam yang menyusahkan. Sehingga kata kebahagiaan
yang mendapat awalan ke dan akhiran an diartikan dengan kesenangan dan
ketentraman hidup (lahir bathin), keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir
batin.4 Lebih rinci lagi, dalam kamus Tesaurus bahagia diartikan dengan aman, baik,
beruntung, cerah, ceria, enak, gembira, lega, makmur, mujur, puas, riang, sejahtera,
selamat, senang, sentosa, suka cita, dan tentram.5

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa bahagia adalah suatu keadaan
dan bukan benda. Sedangkan kebahagiaan berarti kesenangan atau ketentraman itu
sendiri. Jadi secara harafiah bahagia atau kebahagiaan merupakan suatu keadaan.
Sebagai sesuatu yang menggambarkan suatu keadaan, maka kebahagiaan adalah
sesuatu yang menjadi tujuan, harapan yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Dan
ketika tujuan dan harapannya tercapai maka ia akan merasa puas, senang dan bahagia.

B. Kebahagiaan Dalam Perspektif Islam Menurut Al-Qur’an

Dalam bahasa Arab ada empat kata yang berhubungan dengan kebahagiaan,
yaitu sa’id13 (bahagia), falah (beruntung) najat (selamat) dan najah (berhasil). Dari
empat kata di atas, kata sa’id adalah kata yang paling dekat dengan makna kata
bahagia. Al-Asfahany mengartikan kata Sa’id dengan pertolongan kepada manusia
terhadap perkara ketuhanan untuk memperoleh kebaikan, dan kata sa’id (bahagia)
merupakan lawan dari kata syaqawah/syaqiyyun (sengsara) sebagaimana firman
Allah dalam surah Hud: 105 yang berbunyi :

4
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
5
Arif Mansur Makmur, Tesaurus Plus Indonesia-Inggris (Jakarta: Anggota IKAPI, 2009), 32.

3
Artinya : “Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan
dengan izin-Nya; maka diantara mereka ada yang celaka dan ada yang
berbahagia.”(al-Hud: 105)”

Namun demikian, meski kata sa’id ini merupakan terjemahan yang paling
dekat dengan bahagia, kata falah, najat, dan najah adalah katakata yang serumpun
dalam makna bahagia. Karena pada saat orang mendapatkan keberuntungan,
keselamatan dan kesuksesan maka perasaannya pasti bahagia.6

Kata sa’adah (bahagia) mengandung nuansa anugerah Allah SWT setelah


terlebih dahulu mengarungi kesulitan, sedangkan falah mengandung arti menemukan
apa yang dicari (idrak al-bughyah). Falah ada dua macam, duniawi dan ukhrawi.
Falah duniawi adalah memperoleh kebahagiaan yang membuat hidup di dunia terasa
nikmat, yakni menemukan (a) keabadian (terbatas); umur panjang, sehat terus,
kebutuhan tercukupi terus dsb, (b) kekayaan; segala yang dimiliki jauh melebihi dari
yang dibutuhkan, dan (c) kehormatan sosial. Sedangkan falah ukhrawi terdiri dari
empat macam, yaitu (a) keabadian tanpa batas, (b) kekayaan tanpa ada lagi yang
dibutuhkan, (c) kehormatan tanpa ada unsur kehinaan dan (d) pengetahuan hingga
tiada lagi yang tidak diketahui.

Sedangkan najat merupakan kebahagiaan yang dirasakan karena merasa


terbebas dari ancaman yang menakutkan, misalnya ketika menerima putusan bebas
dari pidana, ketika mendapat grasi besar dari presiden, ketika ternyata seluruh
keluarganya selamat dari gelombang tsunami dan sebagainya. Adapun najah adalah
perasaan bahagia karena yang diidam-idamkan ternyata terkabul, padahal ia sudah
merasa pesimis, misalnya keluarga miskin yang sepuluh anaknya berhasil menjadi
sarjana semua.

6
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan) (Jakarta: Widya Cahaya,
2011), 476.

4
Menurut Nurcholish Madjid, ketika kita membahas mengenai kebahagiaan,
maka kita tidak bisa lepas dari kata kesengsaraan yang merupakan lawan kata dari
kebahagiaan itu sendiri, sebagaimana disebutkan dalam surah Hud: 105-108.16 Ayat
tersebut menurut Cak Nur (sapaan akrab Nurcholis Madjid) menjelaskan adanya
keyakinan yang pasti tentang pengalaman kebahagiaan atau kesengsaraan dalam
hidup manusia. Islam mengajarkan kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani dan ruhani
atau duniawi dan ukhrawi namun tetap membedakan keduanya. Dalam Islam,
seseorang dianjurkan untuk mengejar kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar
jangan melupakan nasibnya dalam hidup di dunia ini (lihat QS. Al-Qashash: 77). Itu
berarti memperoleh kebahagiaan akhirat belum tentu dan tidak dengan sendirinya
memperoleh kebahagiaan di dunia. Sebaliknya, orang yang mengalami kebahagiaan
di dunia belum tentu akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Maka manusia
didorong mengejar kedua bentuk kebahagiaan itu, serta berusaha menghindar dari
penderitaan azab lahir dan batin.

Dalam upaya meraih kebahagiaan, sering kali kita keliru dalam membedakan
mana kesenangan dan mana kebahagiaan. Hal ini mengakibatkan kita terjebak pada
kesenangan yang tidak membawa pada kebahagiaan. Untuk itu kita harus dapat
membedakan dengan baik antara kesenangan dan kebahagiaan.7

C. Kebahagiaan Dunia Dan Akhirat Dalam Konteks Kehidupan Modern

Kebahagiaan (sa’adah) sebagaimana kebaikan, kesuksesan dan keberkahan


senantiasa dicari manusia. Tiada henti manusia mencari arti hakikat bahagia dan
memikirkan cara untuk dapat berbahagia. Namun persepsi dan definisi kebahagiaan
manusia itu tetap beragam. Dalam kehidupaan praktis, kerap kita lihat dan dengarkan,
bahwa yang dinamakan kebahagiaan itu adalah ketika penghasilan bulanan
terkategori tinggi, bisnis lancar dan berlimpah materi, Guru Tidak Tetap (GTT)
berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), harta benda berlimpah, anak memasuki
sekolah dan perguruan tinggi ternama, anak berhasil masuk kerja dengan gaji tinggi.
Hemat kata, kebahagiaan dan kesuksesan bagi kebanyakan manusia adalah capaian
7
Nurcholish Madjid, Islam Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 272.

5
ukuran- ukuran material. Konteks dunia global saat ini yang diwarnai dan dikuasai
faham kapitalisme yang menganggap bahwa kapital atau modal kekayaan sebagai
penguasa, membawa manusia menjadi kapitalis-kapitalis kecil yang kering secara
spiritual. Di tengah-tengah aneka tuntutan materi itu manusia cenderung berkiblat
pada pemujaan materi atau disebut faham materialisme dan juga faham yang memuja
kesenangan atau hedonisme.8

Kebahagiaan materi itu sejenak memang menghapuskan dahaga, namun


hakikatnya ia tidak lebih sekedar fatamorgana yang semakin dikejar, tak dapat diraih.
Korupsi, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, faktanya tidak membuat
pelakunya bahagia. Fenomena bunuh diri, stres dan gangguan kejiwaan yang melanda
manusia modern adalah bukti bahwa manusia semakin kehilangan orientasi hidup,
merasa dirinya hampa, walaupun berlimpah materi. Sebagian manusia akhirnya
menyadari kekeliruan itu, dan kemudian beralih pada tawaran agama untuk mencapai
kebahagiaan yang sejati, dengan menyeimbangkan kebahagiaan materi dan spiritual.
Memang, Islam tidaklah mengingkari bahwa salah satu bagian dari kebahagiaan
adalah capaian material. Pengakuan dan anjuran berdo’a agar mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat misalnya adalah salah satu do’a yang populer di
kalangan muslim. Do’a itu berbunyi, rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirah
hasanah wa qina adha bannar. Artinya, Islam secara mendasar dan global telah
mengenalkan konsep kebahagiaan itu dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Fakhr al-Din al-
Razi misalnya ketika menafsirkan ayat dalam QS Al-Baqarah: 201, mengatakan
bahwa hasanah itu terkait dengan sa’adah yang mempunyai tiga martabat. Pertama,
ruhani yang meliputi dua hal; kesempurnaan potensi teoritis yang dicapai dengan
ilmu, kesempurnaan potensi praktis yang dicapai dengan akhlak utama. Kedua,
jasmani yang juga meliputi dua hal yaitu kesehatan dan keindahan fisik. Ketiga,
eksternal meliputi dua hal yaitu harta dan derajat pangkat.9

8
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 345, 444, dan 637
9
Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih} al-Ghayb (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1990), juz 5), 160.

6
Tetapi mereduksi kebahagiaan dengan semata bersifat material fisik adalah
sebentuk kesengsaraan tersendiri. Karena telah jamak diketahui bahwa orang yang
berkelimpahan materi tidak meniscayakan dirinya bahagia. Stres misalnya, adalah
gangguan kejiwaan yang melanda siapa saja yang mengalami keresahan, mempunyai
problem kehidupan, baik ia seorang kaya atau miskin. Dengan demikian, Islam
mengingatkan manusia agar unsur kelengkapan untuk menuju bahagia itu diidealkan
berjalan beriringan, kebahagiaan dunia yang meliputi terpenuhinya kebutuhan selama
di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana diungkapkan secara global


dalam Al-Qur’an dan al-Hadits itu tentu saja perlu penjabaran yang lebih praktis dan
pula teoritis. Ayat termaksud di atas perlu dikomparasikan dengan ayat yang lain
sehingga dapat dikenali hakikat kebahagiaan dalam perspektif al-Qur’an, demikian
pula al-hadits. Konsepsi kebahagiaan yang berasal dari pemahaman Al-Qur’an dan
Hadits itu kemudian dituliskan dan dijelaskan para mufassirin, mutakallimin
fuqaha’dan mutasawwifin. Demikianlah, bahwa dalam Islam tugas dan kepercayaan
untuk menafsirkan pesan agama itu diletakkan pada para ulama.

7
BAB III
Penutup

A. Kesimpulan

1. bahagia adalah suatu keadaan dan bukan benda. Sedangkan kebahagiaan


berarti kesenangan atau ketentraman itu sendiri. Jadi secara harafiah bahagia
atau kebahagiaan merupakan suatu keadaan.
2. Dalam Islam, seseorang dianjurkan untuk mengejar kebahagiaan di akhirat,
namun diingatkan agar jangan melupakan nasibnya dalam hidup di dunia ini
(lihat QS. Al-Qashash: 77). Itu berarti memperoleh kebahagiaan akhirat
belum tentu dan tidak dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan di dunia.
3. Kebahagiaan materi itu sejenak memang menghapuskan dahaga, namun
hakikatnya ia tidak lebih sekedar fatamorgana yang semakin dikejar, tak
dapat diraih. Korupsi, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, faktanya
tidak membuat pelakunya bahagia. Fenomena bunuh diri, stres dan gangguan
kejiwaan yang melanda manusia modern adalah bukti bahwa manusia
semakin kehilangan orientasi hidup, merasa dirinya hampa, walaupun
berlimpah materi.

B. Saran

Kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana diungkapkan secara global


dalam Al-Qur’an dan al-Hadits itu tentu saja perlu penjabaran yang lebih praktis dan
pula teoritis. Ayat termaksud di atas perlu dikomparasikan dengan ayat yang lain
sehingga dapat dikenali hakikat kebahagiaan dalam perspektif al-Qur’an, demikian
pula al-hadits.

8
DAFTAR PUSTAKA

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

[2] Arif Mansur Makmur, Tesaurus Plus Indonesia-Inggris (Jakarta: Anggota


IKAPI, 2009), 32

[3] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan)
(Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 476

[4] Nurcholish Madjid, Islam Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 272.

[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 345, 444, dan
637

[6] Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih} al-Ghayb (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah,1990), juz 5), 160.

Anda mungkin juga menyukai