Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ISLAM DALAM MENJAMIN KEBAHAGIAAN DUNIA DAN AKHIRAT


DALAM KONTEKS KEHIDUPAN MODERN

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Novianty Djafri, S.Pd.I, M.Pd.I

Disusun oleh :
HIDAYATUL HAKIM A. KATILI
(413423014)

PROGRAM STUDI S1 STATISTIKA


JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas ke hadirat Allah SWT atas berkat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan makalah
“islam dalam menjamin kebahagian dunia dan akhirat dalam konteks
kehidupan modern” guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Islam.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk


junjungan nabi agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan
sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang
sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh
alam semesta.

Makalah ini saya buat dengan semaksimal mungkin dengan


bantuan dari berbagai pihak sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Untuk itu, saya mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan


dan saya telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun tugas
makalah ini. Oleh sebab itu, saya sangat mengharapkan kritik, saran dan
nasehat yang baik demi perbaikan tugas makalah ini kedepannya.

Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang “islam dalam


menjamin kebahagian dunia dan akhirat dalam konteks kehidupan
modern” dapat membantu atau memberikan manfaat ataupun inspirasi
terhadap pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I.......................................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................4

1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................5

1.3 Tujuan Penulis...........................................................................................5

BAB II.....................................................................................................................6

PEMBAHASAN.....................................................................................................6

2.1 Makna Kebahagian....................................................................................6

2.2 Kebahagiaan Dalam Perspektif Islam Menurut Al-Qur’an.......................6

2.3 Kebahagiaan Dunia Dan Akhirat Dalam Konteks Kehidupan Modern....8

BAB III..................................................................................................................11

PENUTUP.............................................................................................................11

3.1 Kesimpulan..............................................................................................11

3.2 Saran........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Islam menjamin kebahagiaan bagi setiap penganutnya di dunia dan
akhirat dengan memiliki landasan esensial, yaitu Al-Quran. Al-Quran,
sebagai Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasulullah SAW,
sebagai penutup para nabi, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat An Nas. Al-Quran merupakan wahyu yang
berfungsi sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan
memberikan kabar gembira bagi orang-orang Islam.

Dalam konteks agama, sumber kebahagiaan yang sejati berasal dari


Tuhan. Kebahagiaan dalam agama dapat dibagi menjadi kebahagiaan
dunia dan akhirat. Manusia memiliki berbagai cara dalam mencari
kebahagiaan di dunia, namun bagi yang meyakini adanya akhirat,
penting untuk berpegang teguh pada ketentuan agama.

Dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dalam


agama, manusia dijanjikan kebahagiaan di akhirat. Namun,
pertanyaannya adalah apakah pelaksanaan perintah dan menjauhi
larangan dalam agama juga membawa kebahagiaan di dunia? Dalam
Islam, Al-Quran dan hadis menjadi panduan hidup manusia di dunia.
Sebagai petunjuk, umat Islam diberi arahan tentang cara menjalani
kehidupan dan mempersiapkan kehidupan di akhirat. Kebahagiaan di
dunia dan akhirat merupakan bagian dari perjalanan hidup manusia,
karena pada dasarnya kehidupan dunia hanya bersifat sementara.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana makna kebahagian secara harfiah ?
2) Bagaimana kebahagiaan dalam perspektif islam menurut Al-
Qur’an
3) Bagaimana kebahagiaan dunia dan akhirat dalam konteks
kehidupan modern
1.3 Tujuan Penulis
1) Untuk mengetahui bagaimana makna kebahagian secara harfiah ?
2) Untuk mengetahui bagaimana kebahagiaan dalam perspektif islam
menurut Al-Qur’an
3) Untuk mengetahui bagaimana kebahagiaan dunia dan akhirat
dalam konteks kehidupan modern
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Makna Kebahagian


Kata bahagia merupakan terjemahan dari kata Happy dalam bahasa
Inggris dan dari kata Sa’id/sa’adah dalam bahasa Arab.1 Dalam kamus
besar bahasa Indonesia (KBBI) kata bahagia diartikan dengan keadaan
atau perasaan senang tentram (bebas dari segala macam yang
menyusahkan. Sehingga kata kebahagiaan yang mendapat awalan ke
dan akhiran an diartikan dengan kesenangan dan ketentraman hidup
(lahir bathin), keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir batin.
Lebih rinci lagi, dalam kamus Tesaurus bahagia diartikan dengan
aman, baik, beruntung, cerah, ceria, enak, gembira, lega, makmur,
mujur, puas, riang, sejahtera, selamat, senang, sentosa, suka cita, dan
tentram.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa bahagia adalah suatu


keadaan dan bukan benda. Sedangkan kebahagiaan berarti kesenangan
atau ketentraman itu sendiri. Jadi secara harafiah bahagia atau
kebahagiaan merupakan suatu keadaan. Sebagai sesuatu yang
menggambarkan suatu keadaan, maka kebahagiaan adalah sesuatu
yang menjadi tujuan, harapan yang ingin dicapai oleh setiap manusia.
Dan ketika tujuan dan harapannya tercapai maka ia akan merasa puas,
senang dan bahagia.

2.2 Kebahagiaan Dalam Perspektif Islam Menurut Al-Qur’an


Dalam bahasa Arab ada empat kata yang berhubungan dengan
kebahagiaan, yaitu sa’id (bahagia), falah (beruntung) najat (selamat)
dan najah (berhasil). Dari empat kata di atas, kata sa’id adalah kata
yang paling dekat dengan makna kata bahagia. Al-Asfahany
mengartikan kata Sa’id dengan pertolongan kepada manusia terhadap
perkara ketuhanan untuk memperoleh kebaikan, dan kata sa’id
(bahagia) merupakan lawan dari kata syaqawah/syaqiyyun (sengsara).

Namun demikian, meski kata sa’id ini merupakan terjemahan yang


paling dekat dengan bahagia, kata falah, najat, dan najah adalah
katakata yang serumpun dalam makna bahagia. Karena pada saat orang
mendapatkan keberuntungan, keselamatan dan kesuksesan maka
perasaannya pasti bahagia.

Kata sa’adah (bahagia) mengandung nuansa anugerah Allah SWT


setelah terlebih dahulu mengarungi kesulitan, sedangkan falah
mengandung arti menemukan apa yang dicari (idrak al-bughyah).
Falah ada dua macam, duniawi dan ukhrawi. Falah duniawi adalah
memperoleh kebahagiaan yang membuat hidup di dunia terasa nikmat,
yakni menemukan (a) keabadian (terbatas); umur panjang, sehat terus,
kebutuhan tercukupi terus dsb, (b) kekayaan; segala yang dimiliki jauh
melebihi dari yang dibutuhkan, dan (c) kehormatan sosial. Sedangkan
falah ukhrawi terdiri dari empat macam, yaitu (a) keabadian tanpa
batas, (b) kekayaan tanpa ada lagi yang dibutuhkan, (c) kehormatan
tanpa ada unsur kehinaan dan (d) pengetahuan hingga tiada lagi yang
tidak diketahui.

Sedangkan najat merupakan kebahagiaan yang dirasakan karena


merasa terbebas dari ancaman yang menakutkan, misalnya ketika
menerima putusan bebas dari pidana, ketika mendapat grasi besar dari
presiden, ketika ternyata seluruh keluarganya selamat dari gelombang
tsunami dan sebagainya. Adapun najah adalah perasaan bahagia karena
yang diidam-idamkan ternyata terkabul, padahal ia sudah merasa
pesimis, misalnya keluarga miskin yang sepuluh anaknya berhasil
menjadi sarjana semua.

Menurut Nurcholish Madjid, ketika kita membahas mengenai


kebahagiaan, maka kita tidak bisa lepas dari kata kesengsaraan yang
merupakan lawan kata dari kebahagiaan itu sendiri, sebagaimana
disebutkan dalam surah Hud: 105-108.16 Ayat tersebut menurut Cak
Nur (sapaan akrab Nurcholis Madjid) menjelaskan adanya keyakinan
yang pasti tentang pengalaman kebahagiaan atau kesengsaraan dalam
hidup manusia. Islam mengajarkan kebahagiaan dan kesengsaraan
jasmani dan ruhani atau duniawi dan ukhrawi namun tetap
membedakan keduanya. Dalam Islam, seseorang dianjurkan untuk
mengejar kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar jangan
melupakan nasibnya dalam hidup di dunia ini (lihat QS. Al-Qashash:
77). Itu berarti memperoleh kebahagiaan akhirat belum tentu dan tidak
dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan di dunia. Sebaliknya,
orang yang mengalami kebahagiaan di dunia belum tentu akan
mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Maka manusia didorong
mengejar kedua bentuk kebahagiaan itu, serta berusaha menghindar
dari penderitaan azab lahir dan batin.

Dalam upaya meraih kebahagiaan, sering kali kita keliru dalam


membedakan mana kesenangan dan mana kebahagiaan. Hal ini
mengakibatkan kita terjebak pada kesenangan yang tidak membawa
pada kebahagiaan. Untuk itu kita harus dapat membedakan dengan
baik antara kesenangan dan kebahagiaan

2.3 Kebahagiaan Dunia Dan Akhirat Dalam Konteks Kehidupan


Modern

Kebahagiaan (sa’adah) sebagaimana kebaikan, kesuksesan dan


keberkahan senantiasa dicari manusia. Tiada henti manusia mencari
arti hakikat bahagia dan memikirkan cara untuk dapat berbahagia.
Namun persepsi dan definisi kebahagiaan manusia itu tetap beragam.
Dalam kehidupaan praktis, kerap kita lihat dan dengarkan, bahwa
yang dinamakan kebahagiaan itu adalah ketika penghasilan bulanan
terkategori tinggi, bisnis lancar dan berlimpah materi, Guru Tidak
Tetap (GTT) berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), harta
benda berlimpah, anak memasuki sekolah dan perguruan tinggi
ternama, anak berhasil masuk kerja dengan gaji tinggi. Hemat kata,
kebahagiaan dan kesuksesan bagi kebanyakan manusia adalah
capaian ukuran- ukuran material. Konteks dunia global saat ini yang
diwarnai dan dikuasai faham kapitalisme yang menganggap bahwa
kapital atau modal kekayaan sebagai penguasa, membawa manusia
menjadi kapitalis-kapitalis kecil yang kering secara spiritual. Di
tengah-tengah aneka tuntutan materi itu manusia cenderung berkiblat
pada pemujaan materi atau disebut faham materialisme dan juga
faham yang memuja kesenangan atau hedonisme.

Kebahagiaan materi itu sejenak memang menghapuskan dahaga,


namun hakikatnya ia tidak lebih sekedar fatamorgana yang semakin
dikejar, tak dapat diraih. Korupsi, penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan, faktanya tidak membuat pelakunya bahagia. Fenomena
bunuh diri, stres dan gangguan kejiwaan yang melanda manusia
modern adalah bukti bahwa manusia semakin kehilangan orientasi
hidup, merasa dirinya hampa, walaupun berlimpah materi. Sebagian
manusia akhirnya menyadari kekeliruan itu, dan kemudian beralih
pada tawaran agama untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, dengan
menyeimbangkan kebahagiaan materi dan spiritual. Memang, Islam
tidaklah mengingkari bahwa salah satu bagian dari kebahagiaan
adalah capaian material. Pengakuan dan anjuran berdo’a agar
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat misalnya adalah salah
satu do’a yang populer di kalangan muslim. Do’a itu berbunyi,
rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirah hasanah wa qina adha
bannar. Artinya, Islam secara mendasar dan global telah mengenalkan
konsep kebahagiaan itu dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Fakhr al-Din
al- Razi misalnya ketika menafsirkan ayat dalam QS Al-Baqarah:
201, mengatakan bahwa hasanah itu terkait dengan sa’adah yang
mempunyai tiga martabat. Pertama, ruhani yang meliputi dua hal;
kesempurnaan potensi teoritis yang dicapai dengan ilmu,
kesempurnaan potensi praktis yang dicapai dengan akhlak utama.
Kedua, jasmani yang juga meliputi dua hal yaitu kesehatan dan
keindahan fisik. Ketiga, eksternal meliputi dua hal yaitu harta dan
derajat pangkat.

Tetapi mereduksi kebahagiaan dengan semata bersifat material


fisik adalah sebentuk kesengsaraan tersendiri. Karena telah jamak
diketahui bahwa orang yang berkelimpahan materi tidak
meniscayakan dirinya bahagia. Stres misalnya, adalah gangguan
kejiwaan yang melanda siapa saja yang mengalami keresahan,
mempunyai problem kehidupan, baik ia seorang kaya atau miskin.
Dengan demikian, Islam mengingatkan manusia agar unsur
kelengkapan untuk menuju bahagia itu diidealkan berjalan beriringan,
kebahagiaan dunia yang meliputi terpenuhinya kebutuhan selama di
dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana diungkapkan


secara global dalam Al-Qur’an dan al-Hadits itu tentu saja perlu
penjabaran yang lebih praktis dan pula teoritis. Ayat termaksud di
atas perlu dikomparasikan dengan ayat yang lain sehingga dapat
dikenali hakikat kebahagiaan dalam perspektif al-Qur’an, demikian
pula al-hadits. Konsepsi kebahagiaan yang berasal dari pemahaman
Al-Qur’an dan Hadits itu kemudian dituliskan dan dijelaskan para
mufassirin, mutakallimin fuqaha’dan mutasawwifin. Demikianlah,
bahwa dalam Islam tugas dan kepercayaan untuk menafsirkan pesan
agama itu diletakkan pada para ulama.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahagia merupakan suatu kondisi, bukan objek. Sementara itu,
kebahagiaan merujuk pada kegembiraan atau ketenangan itu sendiri.
Jadi, secara literal, bahagia atau kebahagiaan diartikan sebagai suatu
keadaan.
Dalam konteks Islam, disarankan bagi seseorang untuk mengejar
kebahagiaan di akhirat, namun perlu diingat bahwa tidak boleh
mengabaikan nasibnya dalam kehidupan dunia (lihat QS. Al-
Qashash: 77). Hal ini menunjukkan bahwa memperoleh kebahagiaan
di akhirat tidak selalu diikuti oleh kebahagiaan di dunia ini, dan tidak
dapat terjadi dengan sendirinya.
Meskipun kebahagiaan materi mampu memberikan kenikmatan
sesaat, sebenarnya ia hanyalah ilusi yang semakin dikejar namun tak
dapat dicapai. Praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan
kekuasaan, faktanya tidak memberikan kebahagiaan kepada
pelakunya. Fenomena bunuh diri, stres, dan gangguan kejiwaan yang
melibatkan manusia modern menjadi bukti bahwa manusia semakin
kehilangan arah hidup, merasa kosong meskipun kekayaan
materialnya berlimpah.
3.2 Saran
Kebahagiaan dalam dunia dan akhirat, sebagaimana dijelaskan
secara umum dalam Al-Qur'an dan hadis, memerlukan penjelasan
yang lebih konkret dan juga konseptual. Ayat tersebut perlu
dibandingkan dengan ayat-ayat lain agar dapat memahami esensi
kebahagiaan dalam perspektif Al-Qur'an, begitu juga dalam hadis.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Junaidi. The Miracle Of Shalawat : Rahasia Keajaiban Shalawat


Untuk Keselamatan, Kesuksesan, dan Kebahagiaan Dunia Akhirat,
Yogyakarta : Araska, Januari 2020.

Hamim, Khairul, 2016 Kebahagiaan Dalam Perspektif Al-Quran dan


Filsafat, “Jurnal” Mataram: Institut Agama Islam Negeri Mataram.

Huda Nailul , M. Habibi,2020, Resep Hidup Bahagia terjemah kitab Ihya’


Ulumiddin Bab Sabar dan Syukur , Kediri, Santri Salaf Press.hal
138- 139

Priyatno Haris, 2 Syarat Utama Bahagia Dunia Akhirat: Sabar & Syukur
(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2016), 92-95.

Sholihah, Imroatus 2016 Konsep Kebahagiaan dalam Al-Quran, perspektif


tafsir Mutawalli Asy-Sya’rawi dan Psikologi Posisitf, “Tesis”
Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Anda mungkin juga menyukai