Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KELOMPOK PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM
KELOMPOK 13
NAMA ANGGOTA KELOMPOK

1. MUHAMMAD RAIHAN HARAHAP (181114168)


2. MUHAMMAD FAHRUL AZMI HUSNI (181113006)
3. BUDI SETIAWAN (181110875)
4. ANDRA FAHREZA RM (181113057)

ُ‫سالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمةُ هللاِ َوبَ َركَاتُه‬


َّ ‫ال‬
Dari kelompok kami ingin menjelaskan makna kebahagiaan didalam islam , sebelumnya apakah kita
sudah merasa Bahagia ??? , dalam bentuk apakah kebahagiaan tersebut ??? ,dan bagaimana kita
menjamin kebahagiaan tersebut ???

Kebahagiaan ada 2 bentuk , Bahagia di dunia dan Bahagia di akhirat , saat ini kita berada di dunia apakah
kebahagiaan dunia berasal dari kepuasan diri yang didapat dari nafsu dan keiinginan yang terpenuhi
tentu saja tidak di dunia ada juga kebahagiaan batin yang berasal kebahagiaan ber agamadan berbuat
kebaikan , apa saja kebahagiaan tersebut mari kita bahas di materi ini

KONSEP – KONSEP KEBAHAGIAAN DI DALAM

Ciri-ciri kebahagiaan yang dijelaskan oleh Al-Ghazali adalah terletak kepada semua ilmu yang
bermanfaat kepada manusia mencakupi ilmu teori dan ilmu amali.

 Ilmu teori adalah tergolong daripada ilmu mengenal Allah, Malaikat, Kitab, Rasul dan ilmu
akidah karena seluruhnya mempunyai tempat yang tertinggi yakni mengenal Allah. Al-Ghazali
menyatakan ilmu mengenal Allah SWT (ma„rifat Allah) adalah kunci kebahagiaan.

 Ilmu amali ialah ilmu yang diterapkan dalam perbuatan dan amalan dalam keseharian seperti
sosial, undang-undang, politik, syariah, ekonomi dan sebagainya. Dengan adanya hal tersebut
kebahagiaan akan tercapai jika kesemua ilmu-ilmu teori dan amali digabungkan karena kedua-
dua ilmu tersebut memberi kebaikan serta kenikmatan kepada hidup manusia.

Menurut Syamsi, kebahagiaan tidak terletak pada apa yang kita miliki, akan tetapi kebahagiaan terletak
pada bagaimana kemampuan kita memanfaatkannya dengan baik dan tepat. Kebahagiaan juga tidak
terletak pada apa yang kita inginkan, tetapi terletak pada manfaat yang bisa kita dapatkan dari
kebahagiaan tersebut.

Menurut Usman Kusumana, dalam tulisannya yang berjudul “Menemukan Makna Kebahagiaan
Sesungguhnya” terdapat empat golongan orang yang dikatakan berbahagia, yakni :

 Pertama, Manusia yang termasuk “Sa’iidun fiddunyaa wa sa’iidun fil akhirat” orang yang
bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Itulah karakter orang yang menemukan 'hasanah
fiddunya, hasanah fil akhirat". jabatan tinggi, harta berlimpah, keluarga sehat, dia taat
beribadah kepada Allah dan banyak memberi kemanfaatan terhadap sesama.
 Kedua, Manusia yang termasuk “Sa’iidun fiddunya, saqiyyun fi aakhirat” orang yang “bahagia”
hidup di dunianya tapi tidak bahagia (celaka) kehidupan akhiratnya. Terdapat tanda petik dalam
kalimat bahagia, karena kebahagiaaan yang dimaksud sebatas pengertian lahiriah manusia, dia
bahagia dalam segala keberlimpahan materi, tapi dia jauh dari Allah, tidak pernah mau berbagi
dan memberi manfaat pada sesama manusia.

 Ketiga, Manusia yang termasuk “Saqiyyun fiddunya, Wa Sa’iidun fil aakhirat” orang yang tidak
bahagia atau sengsara hidup di dunianya, tetapi dia bahagia hidup di akhiratnya. Boleh jadi dia
hidup dalam serba kekurangan, tidak bahagia dalam pandangan manusia kebanyakan, miskin
harta, tapi dia rajin beribadah kepada Allah, memiliki sikap yang baik dalam menjalani
kehidupan, menikmati kemiskinannya dan baik pergaulannya dengan sesama manusia, banyak
memberi manfaat dengan apapun yang dimilikinya.

 Keempat, manusia yang tergolong “Saqiyyun Fiddunya wa Saqiyyun fil akhirat” orang yang
tidak bahagia di dunia dan tidak bahagia juga hidupnya di akherat pada golongan inilah yang
paling sengsara dan celakanya manusia. Dia hidup miskin, serba kurang, sombong, malas
beribadah, sama orang bermusuhan, dan ketika meninggal dalam kehidupan akhirat kelak lebih
celaka. Rasulullah SAW berkata

Makna dan Hakikat Kebahagiaan dalam al-Qur’an

1. Kehidupan yang baik

Makna ini dapat dilihat dalam dua ayat berikut ini:

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan (QS. an-Nahl: 97).

“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkat mereka di daratan dan lautan,
dan Kami telah memberikan rezeki yang baik kepada mereka, dan Kami telah lebihkan mereka dari
makhluk- makhluk lain yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (QS. Al-Isra: 70).

“Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang
baik” (QS. ar-Ra’du, 13: 29).

Dalam Tafsir al-Mishbah Quraish Shihab menjelaskan bahwa ungkapan “kehidupan yang baik” di atas
mengisyaratkan bahwa seseorang dapat memperoleh kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang
berbeda dengan kebanyakan orang. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kehidupan yang baik
itu bukan berarti kehidupan mewah yang luput dari ujian, tetapi ia adalah kehidupan yang diliputi rasa
lega, kerelaan, serta kesabaran dalam menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah.

Dengan demikian, orang yang memiliki kehidupan yang baik tidak merasakan takut yang mencekam atau
kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu menyadari bahwa pilihan Allah adalah yang terbaik,
dan di balik segala sesuatu ada ganjaran yang menanti. Seorang yang durhaka, meskipun kaya, dia tidak
akan pernah merasa puas, selalu ingin menambah kekayaannya, sehingga selalu merasa miskin dan
diliputi kegelisahan, rasa takut tentang masa depan dan lingkungannya. Dia tidak menikmati kehidupan
yang baik.

Kehidupan yang baik juga dapat dipahami sebagai kehidupan di surga kelak, alam barzakh, atau
kehidupan yang diwarnai oleh qona’ah, yaitu rasa puas atas sesuatu (rizki) yang halal.

Berikut adalah pendapat ahli terkait dengan kehidupan yang baik :

 Dalam Tafsir al-Azhar, HAMKA menyatakan bahwa kehidupan yang baik adalah anugerah Allah
yang dijanjikan kepada orang yang beriman dan beramal shalih di dunia ini.
 Ibnu Katsir mengartikan kehidupan yang baik dengan ketenteraman jiwa, meskipun banyak
menghadapi gangguan.
 Bagi Ibnu Abbas, kehidupan yang baik adalah mendapatkan rizki yang halal lagi baik dalam hidup
di dunia ini.
 Menurut Ali bin Abi Thalib, kehidupan yang baik adalah rasa tenang dan sabar menimpa
berapapun dan apapun yang diberikan Allah, dan tidak merasa gelisah.
 Sementara, Ali bin Abi Thalhah dan Ibnu Abbas memaknai kehidupan yang baik dengan as-
sa’adah atau rasa bahagia. Satu riwayat dari ad-Dahhaak menyatakan bahwa kehidupan yang
baik ialah rizki yang halal, kelezatan dan kepuasan beribadah kepada Allah dalam hidup, dan
lapang dada.
 Menurut Ja’far as-Shadiq, kehidupan yang baik adalah tumbuhnya ma’rifah atau pengenalan
terhadap Allah di dalam Jiwa.
 Menurut al- Mahayami, kehidupan yang baik adalah ketika seorang mukmin merasa berbahagia
dengan amalnya di dunia ini, lebih daripada kesenangan orang yang berharta dan berpangkat
dengan harta dan pangkatnya, dan kebahagiaan perasaannya itu tidak ditumbangkan oleh
kesulitan hidupnya. Hal itu terjadi karena yang bersangkutan merasa ridho menerima
pembagian yang diberikan Allah kepadanya, sehingga harta benda tidak terlalu dipentingkannya.
Sebaliknya, orang kafir, meskipun banyak harta, dia tidak pernah merasa bahagia, malah tambah
rakus dan takut bila hartanya akan habis. Sementara itu, orang yang diberikan kehidupan yang
baik di dunia ini akan juga diberi ganjaran yang lebih baik di akhirat.
 Menurut al-Qasimi, kehidupan yang baik adalah rasa sejuk (tenteram) dalam dada karena puas
dan yakin, merasakan manisnya iman, ingin menemui apa yang telah dijanjikan Allah dan ridha
menerima ketentuan (qadha) dari Tuhan. Selanjutnya, jiwanya dapat melepaskan diri dari apa
yang telah memperbudaknya selama ini, merasa tenteram dengan satu Tuhan yang disembah,
serta mengambil cahaya (nur) dari rahasia wujud yang berdiri padanya, dan lain-lain kelebihan
yang telah ditentukan pada tempatnya masing-masing. Itulah kehidupan yang baik di dunia,
adapun kehidupan keakhirat akan lebih baik dan sempurna ganjarannya.

Kata HAMKA, semua penafsiran di atas tidak berlawanan, tetapi saling melengkapi, sebagaimana
diriwayatkan dalam sebuah hadits:

“Sungguh bahagia orang yang telah ditunjukkan kepada Islam (menjdai muslim), mendapat rezeki
sekedar cukup, dan menerima dengan senang apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Imam Ahmad
dari Ibnu Umar).

Intinya, kata Hamka, sesunggnya segala amal saleh yang dikerjakan oleh manusia yang bersumber dari
rasa iman tidaklah sepadan dengan pahala dan ganjaran yang akan kita terima di akhirat kelak.
Sesungguhnya, amal yang dikerjakan manusia sangatlah sedikit, tetapi ganjaran yang ia terima berlipat
ganda. Umur manusia terbatas, sementara balasan terhadap amal manusia tidak pernah habis dan
selalu kekal.

Itulah makna kebahagiaan dalam arti kehidupan yang baik yang merupakan naluri spiritual yang khas
manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-Isra: 70. Artinya, pada dasarnya bahagia adalah fitrah
bagi manusia. Bahagia sudah seharusnya dimiliki oleh setiap manusia, karena menurut fitrahnya,
manusia diciptakan dengan berbagai kelebihan dan kesempurnaan. Manusia adalah makhluk yang
paling baik dan sempurna dibanding dengan makhluk lainnya.

Kabir Helminski, seorang sufi penerus tradisi Jalaluddin Rumi, menulis tentang manusia sempurna dalam
bukunya, The Knowing Heart: A Sufi Path of Transformation. Menurut tokoh ini, sifat manusia sempurna
adalah refleksi dari sifat-sifat Tuhan yang sebagian tercermin dalam 99 nama Allah (al-Asma’ul Husna).
Kesempurnaan manusia adalah takdir bawaan manusia, yang memerlukan hubungan yang harmonis
antara kesadaran diri dan rahmat Ilahi. Itulah capaian kebahagiaan yang sesungguhnya.

2. Kebaikan

Kebahagiaan dalam arti kebaikan atau yang baik dapat dipahami dari QS. at-Taubah: 50; ar-Ra’du: 6,22;
an-Nahl: 30,41,122; an-Naml: 46,89; al-
Qashash: 54, 84; al-Ahzab: 21; az-Zumar: 10; Fushshilat: 34; as-Syuura: 23; dan al-Mumtahanah: 4,6.

“Dan kami beri dia di dunia ini kebaikan, dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang- orang yang
shaleh” (QS an-Nahl: 122).

HAMKA menjelaskan tentang kandungan ayat ini dengan melihat anugerah (kebahagiaan) yang
diperoleh oleh Nabi Ibrahim AS. Maksudnya adalah bahwa kebaikan dunia yang telah nyata diterima
oleh beliau adalah ketika beliau nyaris tidak mengharapkan lagi akan mendapatkan keturunan (putera),
karena usianya yang telah menua, maka kemudian beliau memiliki putera (Ismail) pada usia 86 tahun.
Kemudian pada usia 100 tahun beliau memiliki anak kedua (Ishaq) dari isteri beliau yang diduga mandul,
yaitu Sarah. Kedua putera inilah yang kemudian menurunkan bangsa-bangsa besar. Selain itu, HAMKA
melihat dari rizki yang diperoleh Ibrahim yang berlipat ganda di hari tuanya. Sudah menjadi hal yang
lumrah (umum) bahwa keturunan dan harta benda adalah lambang kebaikan dunia dan kemegahannya.
Sungguh sebuah keniscayaan, jika orang yang telah berjuang demi Allah, sebagaimana Ibrahim yang
telah mendapat gelar “Khalilullah”, akan mendapatkan tempat yang layak pula di akhirat, bersama
orang-orang shalih lain, yaitu para Nabi, Rasul, dan para pengikutnya yang setia.

Kata hasanah, yang berarti kebaikan dapat ditemukan pula dalam QS. ar- Ra’du: 6 sebagai berikut:

“Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa sebelum (mereka meminta)
kebaikan, padahal telah terjadi bermacam- macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan (yang luas) bagi manusia sealipun mereka dzalim, dan
sesunggunya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksa-Nya.

Al-Maraghi menjelaskan makna hasanah dalam ayat di atas sebagai balasan bagi orang yang beriman,
yaitu berupa kemenangan dan keberuntungan di dunia serta pahala di akhirat. Dalam konteks ayat di
atas, kata hasanah merupakan lawan dari kata sayyiah yang berarti azab yang diancamkan kepada
orang-orang kafir. Janji ini sesungguhnya telah disampaikan oleh Nabi Saw. kepada kaum kafir agar
mereka mau beriman, tetapi yang terjadi adalah justru mereka minta (menantang) kepada Nabi untuk
disegerakan azab buat mereka.

Sementara, dalam menjelaskan makna hasanah (kebaikan) dalam QS. at- Taubah ayat 50, al-Maraghi
mengartikannya sebagai sesuatu yang apabila tercapai akan menyenangkan jiwa, seperti harta
rampasan perang, kemenangan, dan sebagainya. Intinya, kata al-Maraghi, kebaikan adalah segala hal
yang membuat manusia gembira, seperti kemenangan dan rampasan perang yang didapatkan oleh umat
Islam waktu Perang Badar.

Hasanah dalam ayat ini dapat dipahami secara berpasangan dengan mushibah yang dapat diartikan
sebagai kesusahan, kekalahan, atau tercerai-berainya tentara umat Islam waktu Perang Uhud.

Berangkat dari berbagai penafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa makna hasanah adalah
segala kebaikan yang menimbulkan rasa bahagia, yang didapatkan manusia di dunia; berupa
kemenangan, rizki, kejayaan, kesuksesan, anak, harta benda, dan sebagainya, dan di akhirat sebagai
balasan yang lebih kekal yang sifatnya lebih ruhani. Kebaikan dunia dan akhirat inilah yang akan
didapatkan bagi orang-orang yang beriman dan berjuang di jalan Allah.

3. Bahagia atau beruntung

Makna bahagia atau beruntung dapat disimpulkan dari redaksi kalimat yang terdapat dalam dua ayat
berikut ini:

“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara melainkan dengan seijin-Nya, maka di
antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia” (QS. Huud: 105)

“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga mereka kekal di dalamnya
selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhan- Mu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang
tiada putus-putusnya” (QS. Huud: 108)

Istilah kebahagiaan dalam dua ayat di atas dapat dipahami dalam konteks dualitas, yaitu merupakan
lawan dari kata celaka (sengsara). Kesadaran manusia pada dasarnya selalu bersifat dualistis. Artinya,
kehidupannya di setiap tempat dan waktu merupakan polarisasi yang tajam antara sakit dan lezat,
bahagia dan derita. Ia akan selalu berhadapan dengan kesusahan atau kesenangan, bahagia atau
sengsara. Manusia akan selalu berhadapan dengan dua realitas ini, yaitu kesenangan atau kesusahan,
termasuk ekspresinya, yaitu tertawa atau menangis.

Tangisan adalah tanda kesedihan atau sesuatu yang menyakitkan, sedangkan tertawa adalah bukti
kebahagiaan, kegembiraan, atau kesenangan. Orang yang bahagia biasanya menampakkan wajah yang
penuh senyuman atau berseri-seri. Sebaliknya, orang yang sedih biasanya menunjukkan wajah yang
muram atau penuh tangisan. Orang yang sengsara adalah orang yang sesat, tidak tahu jalan hidup yang
harus ditempuh, tidak sadar apakah ia berbuat benar atau salah, atau tidak dapat membedakan mana
yang hak dan yang batil.
Orang yang bahagia adalah kebalikan dari itu. Jiwanya tenang, hati tenteram, tenang menghadapi
persoalan, hatinya disinari cahaya iman kepada Allah, di dalam jiwanya tertanam akidah yang kuat, dan
sadar bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Allah Swt.

Orang bahagia adalah orang yang merasa aman, tenang, dan punya kekuatan untuk menjalani
kehidupan, sebagaimana firman Allah di bawah ini: 54
“Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka.” (QS. Thaha:
123)

Sementara itu, makna kebahagiaan dalam arti lainnya, yaitu kata aflaha terambil dari kata falah yang
diartikan sebagai ”memperoleh yang dikehendaki”. Kata ini sering diterjemahkan dengan “beruntung”,
“berbahagia”, memperoleh kemenangan, dan sejenisnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, kata
aflaha ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak empat kali, salah satunya adalah QS.Thaha: 64, yang
merupakan ucapan Fir’aun ketika akan terjadi pertandingan sihir antara Nabi Musa dan ahli-ahli
sihirnya:

“Pasti memperoleh keberuntungan (kebahagiaan) siapa yg hari ini lebih tinggi sihirnya” (QS. Thaha: 64).

Menurut Quraish Shihab, kata aflaha merupakan penegasan Allah Swt. yang ditemukan pada surat al-
a’la ayat 14, as-Syams ayat 9, dan al- mu’minun ayat 1. Dalam al-Mu’minun ayat 1-9, dikemukakan sifat-
sifat orang-orang mukmin yang akan meraih al-falah (kemenangan). Sifat-sifat tersebut mencerminkan
pula usaha-usaha mereka (orang-orang yang beriman) yang pada akhirnya dapat dinilai sebagai upaya
penyucian diri (tazakka), sebagaimana ada di QS. Al-A’la.

Upaya-upaya itu meliputi khusyu dalam shalat, menunaikan zakat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-
sia, menjaga kemaluan kecuali pada pasangan yang sah, memelihara amanat dan janji, dan memelihara
waktu shalat.

Dalam QS. Al-a’raf 157 ditegaskan pula bahwa orang-orang yang beriman kepada Nabi Saw.,
memuliakan, dan membela beliau, termasuk orang-orang yang beruntung. Selain itu ditegaskan pula
dalam QS. Al-Qashahsh 67:

“Adapun orang-orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal saleh, maka semoga dia
termasuk yang beruntung”.

Jadi, mengamalkan sifat (pekerjaan) di atas akan mengantarkan seseorang memperoleh keberuntungan
sekaligus menjadikan jiwanya suci dan bersih.

Di sisi lain, ditemukan pula lima sifat atau perbuatan yang secara tegas dinyatakan Qur’an sebagai faktor
yang tidak akan membawa keberuntungan (kebahagiaan), yaitu: penganiayaan (QS. 6: 21), kriminalitas
(QS. 10: 17), sihir (QS. 10: 77), kekufuran (QS. 23: 117), dan kebohongan dengan mengatasnamakan
Allah (QS. 10: 69).

Penegasan al-Qur’an yang berbicara tentang orang yang memperoleh keberuntungan cenderung
dituntut untuk melakukan sifat (pekerjaan) yang tidak ringan. Maka, sangat tidak tepat jika tazakka
dalam QS. Al-A’la 14-15 ditasirkan dengan sekedar zakat fitrah dan Shalat ‘Id sebagaimana dipahami
oleh sebagian mufassir.
Dengan melihat berbagai penafsiran di atas, maka makna kebahagiaan dalam arti falah, sa’adah, dan
fauz lebih bersifat umum, meliputi kesenangan, kegembiraan, dan keberuntungan yang didapatkan oleh
orang- orang yang beriman, bertaqwa, beramal saleh, serta mengikuti petunjuk Allah dengan cara
mengikuti para rasul-Nya. Kebahagiaan ini berdimensi fisik, psikis, dan spiritual, baik di dunia maupun di
akhirat.

4. Ketenangan dan ketenteraman

Kebahagiaan dalam arti ketenteraman dan ketenangan dapat digali dari dua lafadz di atas sebagaimana
tersebar dalam ayat-ayat al-Qur’an.

Dua istilah di atas, yaitu ketenangan (sakinah) dan ketenteraman (thuma’ninah), sering dipertukarkan
penggunaannya. Akan tetapi, menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dua istilah ini memiliki beberapa
perbedaan, yaitu:

 Sakinah merupakan keadaan secara tiba-tiba yang terkadang disertai dengan hilangnya rasa
takut, sedangkan thuma’ninah merupakan pengaruh yang timbul dari adanya sakinah.
Ringkasnya, thuma’ninah merupakan puncak dari sakinah.

Keberuntungan yang diperoleh karena sakinah seperti seseorang yang berhadapan musuh.
Artinya, ketika musuhnya sudah lari, maka hati yang bersangkutan menjadi tenang. Sedangkan
thuma’ninah seperti orang yang masuk ke dalam benteng yang pintunya terbuka, sehingga dia
merasa aman dari musuh.

 Thuma’ninah sifatnya lebih umum, karena ditunjang oleh ilmu, pemberitaannya, keyakinan, dan
dan keberuntungan. Sebagai contoh misalnya, hati menjadi thuma’ninah karena bacaan al-
Qur’an. Hal ini terjadi karena ada rasa iman kepada al-Qur’an, mengetahuinya, dan mendapat
petunjuknya. Sementara, sakinah merupaka keteguhan hati yang dapat mengusir rasa takut dan
hilangnya kecemasan, seperti keadaan pasukan Allah yang dapat membunuh musuh.

Secara sufistik, sakinah (ketenangan) termasuk tempat persinggahan pemberian dan bukan pencarian
atau usaha. Artinya, sakinah adalah ketenangan yang diturunkan Allah ke dalam hati hamba-Nya ketika
mengalami keguncangan dan kegelisahan karena ketakutan yang mencekam. Setelah itu, dia tidak lagi
merasakannya, karena ketakutan itu sudah disingkirkan, sehingga menambah keyakinan, keimanan, dan
keteguhan hatinya.

Menurut Sayyid Quthb, ketika menafsirkan QS al-Fath: 5, sakinah merupakan istilah yang
mengungkapkan, menggambarkan, dan menaungi. Apabila sakinah diturunkan Allah ke dalam hati
manusia, terjadilah ketenteraman, ketenangan, keyakinan, kepercayaan, kekokohan, keteguhan,
kepasrahan, dan keridhoan. Dalam pembukaan surat ini Allah menurunkan berita kebahagiaan untuk
Rasulullah, yaitu berupa kemenangan yang nyata, ampunan yang menyeluruh kenkmatan yang
sempurna, hidayah yang kokoh, dan pertolongan yang kuat. Akan tetapi, dalam ayat kelima ini Allah
selanjutnya juga menjelaskan nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kaum mukminin berupa
kemenangan, sentuhan ketenteraman dalam hati mereka, dan nikmat lainnya yang tersimpan untuk
mereka di akhirat.

Menurut Ibnu Taimiyyah, sakinah dapat dibedakan dalam tiga derajat, yaitu :
 Derajat pertama, yaitu sakinah kekhusyu’an saat melaksanakan pengabdian, berupa
memenuhi hak, mengagungkan, dan menghadirkan hati di hadapan Allah. 62 Sakinah model ini
berarti ketenangan, kewibawaan, dan kekhusyu’an yang diperoleh pelakunya karena berbuat
kebajikan. Allah berfirman:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?” (QS. al-
Hadid: 16)

Karena iman mengharuskan munculnya kekhusyu’an atau mengajak kepada kekhusyu’an, maka
Allah menyeru orang-orang yang beriman dari kedudukan iman kepada kebajikan. Dengan kata
lain, Allah berfirman: “Belumkah tiba saatnya bagi mereka untuk mencapai kebajikan dengan
iman?” Untuk mewujudkannya hal ini orang yang beriman memerlukan kekhusu’an saat mereka
mengingat apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Yang dimaksud memenuhi hak dalam
derajat ini adalah memenuhi hak pengabdian kepada Allah Swt., yaitu saat seseorang memiliki
rasa pengagungan dan hadirnya hati saat menyaksikan Allah yang disembah, seakan-akan ia
dapat melihat-Nya.

 Derajat yang kedua, yaitu sakinah saat bermuamalah, dengan menghisab diri, lemah lembut
terhadap makhluk, dan memperhatikan hak Allah. Derajat inilah yang biasa dimiliki oleh para
sufi dan yang menjadi ciri mereka dalam bermuamalah dengan Allah dan makhluk, yang
diperoleh dengan tiga hal, yaitu menghisab diri, lemah lembut terhadap makhluk, dan
memperhatikan hak Allah.

Menghisab diri adalah senantiasa menghitung diri dan bertanya terhadap diri sendiri tentang
kekurangan setiap amal yang dilakukannya di hadapan Allah, sebagai bahan perbaikan. Lemah
lembut terhadap makhluk adalah tidak memperlakukan mereka, khususnya manusia, dengan
kaku dan keras, karena hal ini akan membuat mereka lari menghindar, merusak hati dan
hubungan dengan Allah, dan membuang waktu. Sebaliknya, seorang mukmin yang memiliki
sakinah akan dapat berinteraksi dengan manusia secara lemah lembut.

 Derajat sakinah yang ketiga adalah sakinah yang menguatkan keridhaan terhadap bagian
dirinya, mencegah dari omong kosong dan menempatkan orang yang memilikinya pada batasan
ubudiyah. Sakinah ini tidak turun kecuali ke dalam hati para nabi, wali, dan orang yang terpilih
dari hamba-hamba Allah. Orang yang memiliki sakinah jenis ini merasa ridha kepada bagian
dirinya dan tidak menoleh ke bagian orang lain. Orang yang memiliki sakinah tidak akan berkata
bohong, karena dusta hanya muncul dari hati yang tidak memiliki sakinah. Ini adalah anugerah
yang paling agung yang dikaruniakan Allah hanya kepada para Rasul dan orang-orang mukmin
sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.

Tentang thuma’ninah, dengan merujuk pada QS. al-Fajr: 27-30, Ibnu Qayyim mengartikannya sebagai
ketenteraman hati terhadap sesuatu, tidak cemas dan gelisah. Di dalam atsar disebutkan bahwa
“Kejujuran merupakan ketenteraman dan kebohongan merupakan kebimbangan”.

Allah menjadikan thuma’ninah di dalam hati orang-orang beriman dan di dalam jiwa mereka, kemudian
memberikan kabar gembira, bahwa yang masuk sorga adalah orang-orang yang memiliki jiwa yang
tenteram (thuma’ninah). Ayat yang berbunyi:
“Hai jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Tuhanmu”, merupakan dalil bahwa jiwa itu tidak kembali
kepada Allah kecuali jika dalam keadaan thuma’ninah. Orang yang beriman dianjurkan untuk membaca
do’a ulama salaf, sebagai berikut: “Ya Allah anugerahkanlah kepadaku jiwa yang thuma’ninah kepada-
Mu”.

Sebagaimana sakinah, thuma’ninah oleh Ibnu Qayyim dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:

 Thuma’ninah hati karena menyebut asma Allah Swt. Ini merupakan thuma’ninah-nya orang
yang takut yang beralih ke harapan, dari kegelisahan ke hokum, dan dari cobaan ke pahala. Sifat
thuma’ninah jenis ini bisa dipahami dari rasa tenang yang muncul karena menyebut nama Allah
dan membaca kitab-Nya dan rasa tenteram yang dimiliki oleh hati seorang hamba yang merasa
takut akan siksa-Nya, kemudian beralih ke rasa harap akan kasih sayang-Nya. Demikian halnya
dengan rasa tenteram seseorang karena mengikuti hukum-hukum agama yaitu dengan
mengikuti jalan yang lurus serta huku takdir, di mana Allah telah berkehendak akan seperti apa
dan bagaimana nasib seorang hamba dengan takdir dan kekuasaan-Nya, atau rasa tenteram
seorang hamba yang awalnya gelisah karena mendapat berbagai cobaan dari Allah, tetapi
kemudian menjadi tenang karena yakin akan pahala atau pengganti yang dijanjikan oleh Allah
Swt.
 Thuma’ninah ruh saat mencapai tujuan pengungkapan hakikat, saat merindukan janji, dan saat
berpisah untuk berkumpul kembali. Ruh menjadi thuma’ninah jika melihat tujuannya dan tidak
ingin menengok ke belakang. Ruh akan merindukan apa yang dijanjikan kepadanya. Ia menjadi
tenang dan tenteram karena yakin akan mendapatkan apa yang dijanjikan kepadanya. Ruh juga
menjadi thuma’ninah jika ia berpisah denga hal-hal yang menjadi kebiasaannya, seperti orang
yang lapar lalu mendapatkan makanan, yang membuatnya menjadi tenteram.
 Thuma’ninah karena menyaksikan kasih sayang Allah, kebersamaan menuju kekekalan, dan
kedudukan menuju cahaya azali. Derajat ini terkait dengan kefanaan dan kekekalan yang akan
dialami oleh Ruh. Orang yang sampai kepada kesaksian kebersamaan dengan Allah akan merasa
tenteram karena kasih sayang Allah. Ia juga tenteram karena yakin akan segala ketetapan Allah
yang bersifat azali.

Berangkat dari berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan dalam arti
sakinah (tenang) dan thuma’ninah (tenteram) adalah segala balasan, anugerah, dan nikmat dari Allah
yang lebih bernuansa psikologis (emosi/perasaan), ruhaniyah (spiritual), dan ukhrowi, dari pada sekedar
kebahagiaan yang bersifat material, jasadiyah, dan duniawi. Setiap muslim akan berusaha menggapai
kebahagian jenis ini, karena merupakan puncak kebahagiaan atau kebahagiaan yang sesungguhnya.

5. Kelapangan dan kegembiraan

Makna kebahagiaan dalam kata lapang atau melapangkan dapat digali dari QS. al-Insyirah: 1. Menurut
Quraish Shihab, kata ini berarti memperluas atau melapangkan, baik secara material maupun
immaterial. Apabila kata ini dikaitkan dengan sesuatu yang material, maka ia berarti ‘memotong’ atau
‘membedah’, sedangkan jika dikaitkan dengan sesuatu yang non material, maka ia berarti ‘membuka’,
‘memberi pemahaman’, atau ‘menganugerahkan ketenangan’.

Dengan memperhatikan konteks QS. al-Insyirah dan ayat-ayat lainnya, misanya QS. az-Zumar: 22, al-
An’am: 125, al-Hajj: 46, dan sebagainya, maka kata lapang lebih tepat dipahami kaitannya dengan
sesuatu yang immaterial. Makna kelapangan dalam dalam ayat-ayat di atas lebih tepat dipahami sebagai
kelapangan dada yang dapat menghasilkan kemampuan menerima dan menemukan kebenaran, hikmah
dan kebijaksanaan, dan kesanggupan menampung bahkan memaafkan kesalahan orang lain.

Makna kebahagiaan dalam bentuk kata kegembiraan dapat ditemukan dalam beberapa tempat,
yaitu: QS. Ali Imran: 120, 170, 188; al-An’am: 44; at-Taubah: 50, 81; Yunus: 22, 58; Huud: 10;
ar-Ra’du: 26,36; al-Mu’minun: 53; an-Naml: 36; al-Qashash: 76; ar-Ruum; 4, 32, 36; al-Ghafir:
75,83; asy-Syuuraa: 48; dan al- Hadiid: 23.

Kata ini, terutama dalam konteks QS Ghafir: 75 , menurut ar- Raghib al-Ashfahani, digunakan dalam arti
keceriaan dan kegembiraan hati akibat adanya kelezatan duniawi yang pada umumnya berupa kelezatan
yang bersifat jasmaniah.

Pada dasarnya, menurut Quraish Shihab, kegembiraan dan keceriaan tidaklah dilarang agama, sehingga
dalam ayat ini ada kata “tanpa hak”, karena bisa saja ada kegembiraan yang dibenarkan agama.

Berangkat dari penafsiran di atas, dengan melihat isyarat dari ayat-ayat yang lain yang menggunakan
kata fariha, maka dapat disimpulkan bahwa makna kebahagiaan dalam kata ini bukanlah kebahagiaan
yang obyektif dan pasti, tetapi merupakan kebahagiaan bersifat yang relatif, subyektif, dan dan belum
tentu dibenarkan oleh agama. Artinya, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. at-Taubah: 81, bisa saja ada
orang (di jaman Nabi) yang merasa gembira tidak ikut berjuang (berjihad) di bawah pimpinan Rasulullah
atau melalaikan kewajiban agama. Gembira model ini oleh HAMKA di katakan sebagai kegembiraan
orang munafik yang tidak sesuai dengan agama.

Dalam konteks sekarang, apabila banyak dijumpai orang yang tidak beriman, tidak menjalankan ajara
agama, atau melanggar aturan-aturan, atau bermaksiat kepada Allah, tetapi mereka merasa bahagia,
gembira, senang, dan tertawa. Mereka tidak menyadari bahwa perilakunya akan membawa
kesengsaraan di kemuadian hari. Maka, kebahagiaan yang semacam ini bukanlah kebahagiaan yang
diperintahkan (dimaksud) oleh al-Qur’an untuk digapai oleh manusia. Sebaliknya, kebahagiaan yang
seperti ini pada dasarnya adalah kesengsaraan.

6. Keberkahan, kesejahteraan, keselamatan, dan kedamaian

Kebahagiaan dalam arti keberkahan dapat dipahami dari QS. al-A’raf: 96; Huud: 48, 73; an-Nahl: 127;
dan adz-Dzariyaat: 39. Kata barakah, sebagaimana yang terkandung dalam QS. al-A’raf: 96, oleh Quraish
Shihab diartikan sebagai aneka kebajikan ruhani dan jasmani, sesuatu yang mantap, kebajikan yang
melimpah beraneka ragam dan bersinambung.

Kolam dalam Bahasa Arab dinamai birkah, karena air yang ditampung dalam kolam itu menetap mantap
di dalamnya dan tidak tercecer ke mana-mana. Ayat ini mengandung makna bahwa keberkahan Ilahi
datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dibatasi atau
bahkan diukur. Teks ayat ini dan ayat-ayat lain yang berbicara keberkahan Ilahi di atas memberi kesan
bahwa keberkahan tersebut merupakan curahan dari berbagai sumber, dari langit dan bumi melalui
segala penjurunya. Dari sini bisa dipahami bahwa segala penambahan yang tidak terukur oleh indera
disebut dengan berkah. Secara rinci makna barakah dapat dipahami pula dari makna yang terkandung
dalam QS. al-An’am: 92.68
Adanya keberkahan pada sesuatu berarti terdapat kebaikan yang menyertai sesuatu tersebut. Misalnya,
jika ada berkah dalam waktu yang diberikan Allah kepada seseorang, maka akan banyak kebaikan yang
terlaksana dalam waktu itu, meskipun dalam waktu tersebut umumnya tidak banyak aktivitas yang
dilakukan olehnya. Keberkahan makanan adalah cukupnya makanan yang sedikit untuk mengenyangkan
orang banyak, meskipun pada umumnya makanan yang sedikit itu tidak dapat dimakan oleh orang yang
banyak.

Dari kedua contoh ini, terlihat bahwa keberkahan berbeda sesuai dengan fungsi sesuatu yang diberkahi.
Keberkahan pada makanan misalnya adalah dalam fungsinya mengenyangkan, menimbulkan kesehatan,
menolak penyakit, mendorong aktivitas positif, dan sebagainya. Hal ini dapat terjadi bukan dengan
sendirinya secara otomatis, tetapi karena ada karena karunia Allah Swt. Karunia di sini bukan
menafikkan adanya hukum sebab akibat yang telah ditetapkan Allah, tetapi maksudnya bahwa Allah
menganugerahkan kepada siapa yang akan diberi keberkahan kemampuan untuk menggunakan dan
memanfaatkan huku-hukum tersebut seefisien dan semaksimal mungkin sehingga keberkahan tersebut
hadir. Dalam hal keberkahan makanan misalnya, Allah Swt. menganugerahkan kemampuan kepada
manusia yang akan diberi keberkahan makanan berupa aneka sebab yang ada sehingga kondisi
badannya sesuai dengan makanan yang tersedia, misalnya kondisi makanan itu pun sesuai, sehingga
tidak kadaluarsa, hilang, atau dicuri orang.

Intinya, keberkahan di sini bukan berarti campur tangan Allah dalam bentuk membatalkan sebab-sebab
yang dibutuhkan untu lahirnya sesuatu.

Terkait dengan tema kebahagiaan, dengan memperhatikan beberapa penafsiran di atas, maka dapat
dipahami bahwa salah satu indikator kebahagiaan seorang manusia adalah bahwa apabila ia mampu
mengisi hidupnya dengan berbagai aktifitas kebaikan baik yang bermanfaat bagi diri, keluarga,
masyarakat, maupun umat manusia secara umum. Aktivitas kebaikan di sini adalah segala sifat dan amal
perbuatan yang dapat dinikmati manfaatnya oleh banyak orang, bermakna, dan membahagiakan
dirinya. Itulah makna hidup yang berkah. Orang yang bahagia adalah orang yang hidupnya berkah.

Kebahagiaan dalam arti salam (selamat, damai, atau sejahtera) dapat dipahami sebagai kebebasan dari
segala macam kekurangan, apapun bentuknya, lahir maupun batin. Sehingga, seseorang yang hidup
dalam salam akan terbebas dari penyakit, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Kata ini terulang di
dalam al-Qur’an sebanyak 42 kali dengan beberapa maksud di bawah ini:

 Sebagai ucapan salam yang bertujuan untuk mendo’akan sebagaimana tercantum dalam QS.
adz-Dzariyat: 25 yang menceritakan kedatangan malaikat kepada Nabi Ibrahim As.
 Keadaan atau sifat sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam QS. al- Maidah: 16 yang
menggambarkan keadaan atau sifat jalan yang ditelusuri oleh orang-orang yang beriman.
 Menggambarkan sikap mencari selamat dan damai, seperti firman Allah dalam QS. al-Furqan: 63
yang memuji hamba-hamba-Nya yang selalu berusaha untuk mencari kedamaian saat
menghadapi orang-orang “jahil” di sekitarnya.
 Sebagai sifat Allah Swt., sebagaimana tersurat dalam QS. al-Hasyr: 23.

Menurut Quraish Shihab, dalam konteks QS al-Qadr: 4, jika kata salam dipahami sebagai do’a, maka ayat
ini menginformasikan bahwa para malaikat itu mendo’akan setiap orang yang menemuinya pada malam
lailat al-qadr supaya terbebas dari segala kekurangan lahir batin. Jika kata salam dipahami sebagai
keadaan, sifat, atau sikap, maka malam lailat al-qadr dipahami sebagai malam yang penuh kedamaian
yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang menjumpainya, atau dapat pula dimaknai bahwa sikap
para malaikat yang turun pada malam ini adalah sikap yang penuh damai terhadap mereka yang merasa
berbahagia mencari dan mendapatkannya.

Dalam ayat yang lain yang berbicara tentang makna salam, terdapat beberapa ayat yang
menggambarkan ucapan salam yang ditujukan kepada para penghuni sorga kelak, yaitu di antaranya QS.
Yunus: 10 dan ar-Ra’d: 24, atau istilah dar as-salam (negeri yang penuh kedamaian) yang
menggambarkan kondisi kehidupan sorga, yaitu antara lain dalam QS. al-An’am: 125-127 dan Yunus: 25.

Kata salam, jika disifatkan kepada sesuatu maka berubah menjadi salim. Kata ini sesungghnya memiliki
akar yang sama dengan kata Islam, yang berasal dari kata kerja salima, yang sama-sama bermakna
selamat. Dalam al-Qur’an, yaitu surat asy-Syu’ara: 89 dan surat al-Shaffat: 84, kata salim digandengkan
dengan kata qalb (hati). Secara bahasa, qalb salim bermakna hati yang selamat dari penyakit atau
kerusakan apapun. Adapun pengertian khususnya adalah hati yang tidak mengenal selain Islam. Untuk
memiliki hati yang selamat, manusia harus menerapkan seluruh akhlak mu’min yang terkandung dalam
al-Qur’an.

Pada hari akhir nanti tidak ada yang bermanfaat kecuali manusia yang datang denga membawa hati
yang selamat. Artinya, hati orang yang kafir tidak mungkin sampai ke pantai kedamaian dan keselamatan
di hari itu. Oleh karena itu, hati yang selamat harus bersih dari kekafiran, kesyirikan, keraguan, dan
kebimbangan. Hati yang penuh kekakfiran, betapapun pemiliknya berbuat baik dan humanis, tetap tidak
dapat menjadi hati yang selamat.

Jika dikatakan oleh seseotang yang kafir bahwa: “ Hatiku bersih karena aku sangat mencintai manusia
dan selalu berusaha menolong mereka”, maka ini adalah pernyataan yang kosong, karena hatinya berisi
kekafiran dan pengingkaran. Hatinya bukanlah hati yang selamat dan bersih, sebab ia mengingkari
Pemilik dan Penguasa alam. Mencintai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan adalah sesuatu yang penting
dan baik. Akan tetapi, nilai-nilai kemanusiaan tesebut harus terlebih dahulu dipahami secara benar,
kemudian pemahaman ini harus berkesinambungan dan tidak terputus. Pemahaman semacam ini
terkait dengan dengan iman. Tanpa iman, segala bentuk kebaikan, keindahan, dan kemuliaan hanyalah
dusta, sementara, dan tidak bernilai.

Ringkas kata, hati yang selamat adalah tema yang sangat penting, karena al- Qur’an memposisikan hal
ini sebagai ganti dari harta dan anak-anak, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. asy-Syu’ara: 88-89.
Nasib seorang manusia di akhirat tergantung pada jawabannya atas pertanyaan berikut: Apakah ia hidup
dalam keadaan diridhai ?, Apakah ia mati dalam keadaan diridhai ?, Mampukah ia dibangkitkan dalam
keadaan yang diridhai ?, Mampukah ia menuju jalan Muhammad ?, Dapatkah ia sampai ke Telaga
Kautsar? Apakah Rasulullah Saw. dapat melihatmu dari kejauhan dan mengenalimu? Rasulullah
menegaskan bahwa pada Hari Kiamat beliau akan mengenali umatnya dan dapat membedakan mereka
di antara seluruh umat. Ketika ditanya bagaimana hal itu terjadi, beliau menjawab, “Kalian memiliki
tanda yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kalian mendatangiku dengan wajah yang bersinar terang
karena bekas wudlu” (HR. Bukhori dan Muslim). Itulah salah salah satu manifestasi dan gambaran hati
yang selamat.

Terlepas dari perbedaan makna ini, Ibnu Qayyim menyatakan pendapatnya seputar kedamaian dan
ketenteraman hati. Ia berkata bahwa Hati yang damai dan tenteram akan mengantarkan pemiliknya dari
ragu kepada yakin, dari kebodohan kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, dari khianat menuju amanat,
riya’ kepada ikhlas, lemah menjadi teguh, dan dari sombong menjadi tahu diri. 74 Inilah tanda jiwa yang
telah mencapai derajat kedamaian, sebuah puncak kebahagiaan manusia.

7. Limpahan Karunia

Selain makna kebahagiaan di atas, makna kebahagiaan dapat dipahami pula dari kata “limpahan atau
curahan karunia”. Kata ini terdapat dalam beerapa ayat al-Qur’an, misalnya QS. al-Baqarah: 199, 245, al-
Maidah: 83, al- A’raf: 50, at-Taubah: 92, Yunus: 61, Ibrahim: 4, Shad: 26, al-Ahqaf: 8, dan al- Hadid: 11.
Salah satu di antara yang dapat dibahas di sini adalah:

“ Dan penghuni neraka menyeru penghuni surge: “limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan
yang telah direzekikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni sura) menjawab: “sesuangguhnya Allah
telah mengharamkan keduanya atas orang-orang kafir” (QS. al-A’raf: 50)

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa al-faidh hanya diperuntukkan untuk para penghuni surga. Menurut
Fethullah Gulen, istilah “limpahan karunia” dapat dimaknai dengan kebahagiaan atau kenikmatan. Al-
Faidh dalam kehidupan duniawi adalah limpahan karunia Ilahi yang berkaitan dengan kehidupan hati
dan spiritual manusia. Adapun di akhirat, ‫ اﻟﻔﯿﺾ‬adalah kedudukan dan kemuliaan yang diraih manusia,
seperti masuk sorga, meraih ridha Allah, dan kehormatan melihat keindahan-Nya. Kandungan makna
dari istilah ini begitu sangat luas dan mustahil bagi manusia untuk menjangkaunya secara tepat. Bisa saja
terjadi bahwa berbagai limpahan karunia mendatangi manusia dari semua sisi, sedangkan ia sendiri
tidak mengetahui dan merasakannya. Demikian pula, ketidakmampuan manusia mengetahui dan
merasakannya termasuk karunia Allah Swt. atasnya., karena karunia terbaik-Nya adalah karunia yang
tidak kita rasakan.

Dari sisi ini, lanjut Gulen, dapat dikatakan bahwa terdapat limpahan karunia Ilahi dan keberkatan pada
semua ibadah yang dikerjakan manusia untuk Allah Swt. Betapa tidak terbayang sama sekali bahwa ada
manusia yang menuju pintu-Nya lalu kembali dengan tangan kosong. Akan tetapi, manusia tidak boleh
mengaitkan ibadahnya dengan limpahan karunia Ilahi atau kenikmatan yang didapatnya. Terkadang,
shalat dilakukan saat seorang hamba sedang dalam kondisi spiritual yang sedang lemah, yaitu saat jiwa
dan hatinya sempit. Secara lahiriah, shalat seperti ini dapat dikatakan payah, namun bisa saja shalatnya
termasuk shalatnya yang paling baik atau paling diterima, karena ia melakukan shalat dalam kondisi
lepas dari semua perasaan seraya tetap tidak lupa untuk menunjukkan penghambaannya kepada Allah
Swt. Ia senantiasa tetap berdiri di pintu-Nya dan tidak pernah meninggalkannya, karena ia yakin bahwa
Allah akan mengabulkan segala doanya. Dengan kata lain, kondisi di mana seorang hamba tidak
menerima limpahan karunia Ilahi tidak membuat keikhlasannya lenyap. Inilah sebuah penghambaan
yang tulus dan murni.

Dari sisi yang berbeda, Gulen menulis bahwa pencapaian kedudukan spiritual tidak boleh menjadi tujuan
ibadah seorang hamba. Junaid al-Baghdadi berkomentar tentang orang-orang yang mengerjakan
kewajiban ibadah demi mendapatkan surga. Menurutnya, ibadah yang seperti ini adalah ibadah para
hamba surga, padahal surga tidak layak menjadi tujuan ibadah. Ibadah dikerjakan, karena Allah
memerintahkannya, atau dalam rangka meraih ridha-Nya. Artinya, sebab hakiki ibadah adaah perintah
Allah. Jadi, manusia mengerjakan berbagai kewajiban ibadah karena Allah memerintahkannya kepada
mereka. Jika ada di antara mereka melakukan shalat kepada Allah, karena takut kepada neraka, maka
orang itu adalah hamba neraka. Bagimana mungkin ia dapat menjdi hamba Allah Swt.? Manusia harus
tetap melaksanakan shalat meskipun dalam kondisi iman (spiritual) yang sedang menurun, yaitu ketika
tidak mendapatkan limpahan karunia Ilahi. Tangisan dan rintihan manusia, di samping menjadi sarana
untuk mendapatkan limpahan karunia Allah dan keberkahan, juga dapat menjadi sarana ujian dan
cobaan. Alhasil, manusia tidak dapat menetapkan penilaiannya secara pasti di hadapan Allah.

Metode Menuju Kebahagiaan

Seorang sufi, bernama Kabir Helminski, menggambarkan karakteristik kesempurnaan manusia sebagai
berikut:

1. Pengetahuan diri, meliputi tingkat pengetahuan manusia terhadap diri- sendiri, kelemahan,
keterbatasan, karakteristik, dan motivasi diri.
2. Pengendalian diri, yaitu kemampuan untuk membimbing dan mentran- sendensikan dorongan-
dorongan nafsu.
3. Pengetahuan yang objektif, yaitu pengetahuan yang berkesesuaian baik dengan kebutuhan
praktis maupun realitas objektif yang dapat diketahui melalui hati yang sadar dan suci.
4. Pengetahuan batin. Artinya kemampuan untuk mengakses bimbingan dan makna dari dalam
batin sendiri.
5. Hadir. Artinya kemampuan untuk tetap dalam kondisi khusyu’, yaitu secara sadar merasakan
pengalaman.
6. Cinta tanpa pamrih. Artinya mencintai Tuhan dan ciptaan-Nya tanpa motif kepentingan diri.
7. Meningkatkan perspektif Ilahiyah, yaitu kemampuan untuk selalu melihat kejadian-kejadian,
termasuk dirinya sendiri sebagai manusia, dari pers- pektif cinta tertinggi dan Tauhid, serta tidak
terperosok ke dalam penilaian dan pendapat yang egois.
8. Intim dengan Tuhan. Artinya menyadari adanya hubungan dengan sumber Ilahi.

Kembali kepada prinsip dasar pengembangan pribadi, Bastaman merangkum beberapa pandangan
sebagai berikut:

1. Citra diri Muslim ideal. Citra diri (self image) atau konsep diri (self concept) adalah gambaran
seseorang menegenai dirinya. Citra diri adalah salah satu hal penting dalam proses
pengembangan pribadi. Citra diri yang positif akan mewarnai pola sikap, cara berpikir, corak
penghayatan, dan ragam perbuatan yang positif pula. Citra Diri Muslim adalah gambaran
seseorang mengenai dirinya sendiri, dalam arti sejauh mana ia menilai sendiri kualitas
keislaman, keimanan, dan keihsanannya berdasarkan tolok ukur ajaran Islam. Penilaian ini
memang tidak mudah, karena mengandung kadar subjektivitas yang tinggi, tetapi hal ini sangat
dianjurkan dalam ajaran Islam, yaitu adanya kewajiban menghitung diri (muhasabah) sebelum
dihisab (dihitung) di hari Akhirat.
2. Manusia dapat berubah secara dinamis dari buruk menjadi baik, dan sebaliknya dari baik
menjadi buruk. Artinya manusia bertanggungjawab dalam menentukan kondisi dan kualitas
pribadinya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka
mengubah apa- apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. ar-Ra’du: 11)

3. Pengembangan diri yang positif merupakan upaya terus-menerus untuk meningkatkan diri lebih
baik daripada sebelumnya.
4. Pentingnya pemahaman dan pengembangan diri. Berkaitan dengan citra diri muslim, salah satu
masalah yang perlu diketahui adalah aspek “ the technical know-how –nya”, yaitu bagaimana
metode, proses, dan tindakan- tindakan yang terencana untuk mengembangkan kualitas pribadi
mendekati citra diri Muslim yang ideal. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan “pelatihan
pemahaman dan pengembangan pribadi”. Pelatihan ini pada dasarnya merupakan proses untuk
lebih menyadari berbagai keunggulan dan kelemahan pribadi, baik yang potensial maupun yang
telah teraktualisasi; yang mencakup kemampuan, keterampilan, sikap, sifat, cita-cita, lingkungan
sekitar, untuk kemudian mengembangkan hal-hal yang positif dan mengurangi atau
menghambat hal-hal yang negatif.

Latihan dan pengembangan pribadi dapat dilakukan secara mandiri dengan memfungsikan
perenungan diri tanpa melibatkan orang lain (solo training atau self guidance), dan dapat
dilakukan pula secara kelompok dengan memanfaatkan umpan balik dan dukungan orang lain
sesama anggota kelompok (group training/group guidance). Terdapat berbagai metode
pemahaman dan pengembangan pribadi yang dapat digunakan oleh konselor muslim, antara
lain :

o Pembiasaan. Artinya, melakukan suatu perbuatan yang positif atau keterampilan secara
terus-menerus secara konsisten dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga
perbuatan atau keterampilan tersebut benar-benar dikuasai dan akhirnya menjadi
sebuah kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Proses ini biasa disebut dengan conditioning.
Proses ini akan menjelma menjadi kebiasaan (habit), kebisaan (ability), dan akhirnya
menjadi sifat-sifat pribadi (personal traits) yang terwujud dalam perilaku sehari-hari.
o Peneladanan. Artinya mencontoh pemikiran, sikap, sifat-sifat, dan perilaku orang-orang
yang dikagumi untuk kemudian mengambil-alihnya menjadi sikap, sifat, dan perilaku
pribadi. Hal ini terjadi dalam dua ragam peneladanan, yaitu peniruan (imitation) dan
identifikasi diri (self identification). Peniruan adalah upaya untuk menampilkan diri dan
berlaku seperti penampilan dan perilaku orang yang menjadi idola (dikagumi),
sementara identifikasi diri adalah pengambil-alihan nilai-nilai (values) dari tokoh-tokoh
yang dikagumi untuk selanjutnya dijadikan nilai-nilai pribadi (personal values) yang
berfungsi sebagai pedoman dan arah pengembangan diri.
o Pemahaman, penghayatan, dan penerapan. Artinya secara sadar dan sungguh-sungguh
berusaha untuk mempelajari dan memahami nilai-nilai, prinsip, dan perilaku yang
dianggap baik dan bermakna, kemudian berusaha untuk mendalami dan menjiwainya,
dan akhirnya mencoba menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
o Ibadah, yaitu melakukan ibadah-ibadah mahd}ah (khusus) seperti shalat, puasa, dzikir,
dan ibadah dalam arti umum, yaitu berbuat kebajikan, dengan niat semata-mata karena
Allah. Secara sadar maupun tidak, jika hal ini dilakukan secara konsisten, maka akan
memunculkan kualitas-kualitas terpuji pada orang yang melakukannya. Berkaitan
dengan manfaat ibadah solat dan zikir, Allah berfirman:

“Sesungguhnya shalat itu mencegah (manusia) dari perbuatan keji dan


mungkar, dan sesungguhnya mengingat kepada Allah itu merupakan (kekuatan)
yang paling besar“ Q.S. Al-Ankabut: 45

Beberapa pandangan Bastaman di atas sesungguhnya menggambarkan sebuah model pengembangan


pribadi. Sebagaimana diketahui bahwa dalam dunia psikologi dan bimbingan konseling dikenal
bermacam-macam pelatihan dan metode pengembangan pribadi (personal growth). Pengembangan
pribadi adalah upaya terencana dalam meningkatkan wawasan, pengetahuan, kete- rampilan, dan sikap
yang mencerminkan kedewasaan pribadi untuk meraih kondisi yang lebih baik dalam mewujudkan citra
diri yang diidam-idamkan. Usaha ini dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia, sebagai the self
determining being, memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya dalam rangka
mengubah kondisi dirinya agar menjadi lebih baik.

Bastaman menegaskan bahwa salah satu kegiatan pengembangan pribadi adalah pelatihan
“Menemukan Makna Hidup” yang dapat dimodifikasi untuk merancang program pelatihan “Menuju
Kepribadian Muslim”. Menurut Bastaman, pelatihan penemuan makna hidup yang dirancangnya
didasari oleh prinsip “Panca Sadar”, yaitu:

1. Sadar akan citra diri yang diidam-idamkan


2. Sadar akan keunggulan dan kelemahan diri
3. Sadar akan unsur-unsur yang menunjang dan menghambat dari lingkungan sekitar
4. Sadar akan pendekatan dan metode pengembangan pribadi
5. Sadar akan tokoh idaman dan panutan sebagai suri tauladan

Selain lima prinsip di atas, Crumbaugh, yang kemudian dimodifikasi oleh Bastaman, mengemukakan
beberapa pendekatan, metode, dan teknik-teknik pengembangan pribadi yang disebut dengan Panca
Cara Pengembangan Pribadi, yaitu:

1. Pemahaman Diri. Artinya mengenali secara objektif berbagai kekuatan dan kelemahan diri, baik
yang potensial maupun yang telah teraktualisasi, mengembangkan atau meningkatkan hal-hal
yang positif serta mengurangi atau menghambat hal-hal yang negatif.
2. Bertindak Positif. Artinya berupaya menerapkan dan melaksanakan hal- hal yang baik dan
bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pengakraban Hubungan. Artinya meningkatkan hubungan baik dengan pribadi-pribadi tertentu,
misalnya anggota keluarga, teman, dan rekan kerja, sehingga tercipta suasana saling percaya,
saling membutuhkan, dan saling membantu.
4. Pendalaman Catur Nilai. Merujuk pada upaya untuk memahami dan memenuhi empat macam
nilai yang merupakan sumber makna hidup, yaitu :
o Nilai-nilai kreatif (berkaitan dengan kerja, karya, dan berprestasi)
o Nilai-nilai penghayatan (kebenaran, keindahan, kasih sayang, keimanan, dan
sebagainya)
o Nilai-nilai bersikap, artinya menerima dan mengambil sikap yang tepat terhadap derita
yang tidak dapat dihindari lagi (pandai mengambil hikmah di balik musibah).
o Nilai-nilai pengharapan, artinya selalu memiliki sikap optimis bahwa perubahan yang
diinginkan akan terjadi.
o Ibadah. Artinya berusaha melaksanakan apa yang diperrintahkan Tuhan dan mencegah
diri dari apa yang dilarang-Nya. Ibadah yang khusyuk sering mendatangkan perasaan
tenteram, mantap, dan tabah, dan bisa menimbulkan perasaan mendapatkan
bimbingan dan petunjuk-Nya dalam menghadapi musibah (divine guidance).

Kelima metode ini bertujuan untuk mengeksplorasi sumber-sumber makna hidup dari kehidupan sehari-
hari dan lingkungan sekitar. Jika makna hidup telah berhasil ditemukan oleh seseorang, maka ia akan
mendapatkan perasaan ber- makna dan bahagia, yang merupakan cermin dari kepribadian yang mantap
dan sehat. Pendekatan ini dapat digunakan dalam pelatihan atau bimbingan “Menuju Kepribadian
Muslim”.

Kesimpulan dari kebahagiaan dalam agama islam ialah memiliki ilmu , ilmu itu bukan yang hanya kita
dapat dari sekolah , kuliah , dll , akan tetapi dari bias didapat dari majelis dan kehidupan sehari-hari
yang dapat kita praktekan didalam kehidupan yang dapat bermanfaat bagi orang-orang sekitar dan
dapat beribadah dan patuh kepada allah dengan ilmu tersebut.

Anda mungkin juga menyukai