Anda di halaman 1dari 5

BAB II

AGAMA ISLAM DAN JAMINAN MERAIH KEBAHAGIAAN

A. Pengertian Agama Islam dan Ruang Lingkup Ajarannya


Kata Islam berasal dari Bahasa Arab yang mempunyai bermacam-macam arti,
diantaranya sebagai berikut (M. Yatimin Abdullah, 2006, 5):
a. Salam yang artinya selamat, aman sentosa dan sejahtera, yaitu aturan hidup yang dapat
menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Kata salam terdapat dalam al-Qur’an
Surah al-An’am ayat 54; Surah al-A’raf ayat 46; dan surah an-Nahl ayat 32.
b. Aslama yang artinya menyerah atau masuk Islam, yaitu agama yang mengajarkan
penyerahan diri kepada Allah, tunduk dan taat kepada hukum Allah tanpa tawar-
menawar. Kata aslama terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 112; surah ali
Imran ayat 20 dan 83; surah an-Nisa ayat 125; dan surah al-A’am ayat 14.
c. Silmun yang artinya keselamatan atau perdamaian, yakni agama yang mengajarkan
hidup yang damai dan selamat.
d. Sulamun yang artinya tangga, kendaraan, yakni peraturan yang dapat mengangkat
derajat kemanusiaan yang dapat mengantarkan orang kepada kehidupan yang bahagia.
Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang
yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-
Nya. Selanjutnya arti agama Islam secara istilah (terminologi) adalah nama bagi agama
dimana yang ajaranajarannya merupakan wahyu Tuhan melalui Rasul kepada manusia.
Lebih tegasnya lagi Islam merupakan ajaran-ajaran yang diwahyukan oleh Tuhan kepada
seorang manusia melalui Nabi Muhammad Saw, seorang Rasul. Pada hakikatnya Islam
mengajak kepada ajaran-ajaran yang tidak hanya dari satu segi, akan tetapi tentang segala
segi dari kehidupan manusia (Muhammad Alim, 2006, 92).
Selanjutnya, secara garis besarnya agama Islam mencakup:
1. Hubungan manusia dengan Pencipta-Nya, yakni Allah SWT. Sebagaimana ditegaskan
dalam surat Adz-Dzariyat (51) ayat ke-56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
2. Hubungan manusia dengan manusia. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Maidah (5) ayat
2, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Juga dalam surat Al-Hujurat

6
(49) ayat ke-13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
3. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya. Sebagaimana dijelaskan Allah SWT
dsalam surat Luqman (31) ayat ke-20, “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah
telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi
dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia
ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk
dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
Adapun pokok-pokok ajaran Islam melingkupi:
a) Aqidah yakni mengenai ketuhanan atau ketauhidan. Ilmu yang mempelajarinya disebut
ilmu kalam.
b) Hukum, yakni memngenai tata aturan dalam kehidupan. Ilmu yang mempelajarinya
disebut ilmu fikih.
c) Akhlak, yakni mengenai kesopanan atau etika dalam kehidupan. Ilmu yang
mempelajarinya disebut ilmu tasawuf.
Sementara itu, Zulkarnain mengutarakan bahwa agama Islam terdiri dari empat
aspek pokok yaitu nilai Tauhid, Ibadah, Akhlak dan Kemasyarakatan. (Zulkarnain, 2008,
45).

B. Islam dan Jaminan Kebahagiaannya


Bahagia sering dihubungkan dengan sukses duniawi yaitu ketika seseorang telah
meraih pekerjaan dan kekayaan, kedudukan tinggi, kesehatan dan kekuatan fisik,
kecantikan dan ketampanan dan popularitas tinggi. Demikian juga sebaliknya ketika orang
awam (biasa-biasa saja) yaitu tidak memiliki harta yang banyak, kedudukan rendah atau
tidak memiliki jabatan penting, raut wajah yang sederhana dan tidak terkenal akan disebut
sebagai orang yang kurang bahagia. Banyak orang yang bahagianya semu, yaitu mereka
yang sukses duniawinya tapi hidupnya menderita dan tidak tenang bahkan ada yang
prustasi dan bunuh diri. Kondisi ini menunjukkan bahwa sukses duniawi sebagaimana
penjelasan di atas tidak menjamin terwujudnya kebahagiaan yang diharapkan seperti
ketenangan bathin. Artinya bahwa ternyata berbeda antara hidup enak dengan enak hidup,
antara makan enak dengan enak makan. Hidup enak dengan makan enak masih berkisar

7
duniawi yang semu saja namun enak hidup dan enak makan sudah memasuki wilayah
bathiniah yang hakiki dan sesungguhnya.
Menurut Al-Alusi bahagia adalah perasaan senang dan gembira karena bisa
mencapai keinginan/cita-cita yang dituju dan diimpikan. Pendapat lain menyatakan bahwa
bahagia atau kebahagiaan adalah tetap dalam kebaikan atau masuk dalam kesenangan dan
kesuksesan. Berdasarkan pendapat ini maka kita akan mendengar dan menemukan ada
orang yang menyatakan sedang berbahagia karena memperoleh nilai yang tinggi, atau
bahagia karena telah meraih bea siswa dan mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan
yang lebih tinggi. Adapula yang sedang berbahagia karena telah lulus seleksi dalam meraih
pekerjaan tertentu yang tentunya penting dan menjanjikan keuntungan atau gaji yang
tinggi. Jika semua bentuk kesuksesan ini diraih dengan usaha yang sportif dan gigih, juga
dibarengi dengan ketekunan dalam beribadah serta doa maka hal ini dibenarkan dalam
Islam. Tetapi jika kebahagiaan tersebut hanya berdasarkan kesuksesan yang ditargetkan
saja tanpa merasakan dan menyadari adanya Allah Swt yang telah mengaturnya maka
kesuksesan tersebut tidakah mendatangkan keberkahan (manfaat yang banyak). Bahkan
mungkin akan sebaliknya malah bisa mendatangkan masalah masalah baru jika kesuksesan
tersebut mulai berkurang hingga habis atau mungkin disalah gunakan.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah berpendapat kebahagiaan itu adalah perasaan senang
dan teteram karena hati yang sehat dan berfungsi dengan baik. Hati yang sehat dan
berfungsi dengan baik bisa berhubungan dengan Allah Swt pemilik kebahagiaan. Artinya
bahwa sesungguhnya pemilik kebahagiaan, kesuksesan, kekayaan, kemuliaan, ilmu
pengetahuan, kesehatan dan kekuatan adalah Allah Swt. Kebahagiaan itu dapat diraih
kalau kita dekat dengan pemilik kebahagiaan itu sendiri yaitu Allah Swt. Kedekatan
seorang yang mengaku beriman kepada Allah hendaknya diwujudkan dengan sikap
ketaqwaan, yaitu selalu melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi semua
laranganNya. Sikap ini jika dilakukan dengan ikhlas dan terus menerus baik di situasi
sunyi sendiri maupun di tengah keramaian, maka akan mengundang kasih sayang Allah
(rahmatNya) yang terwujud dalam bentuk kemudahan urusan dan rezeki yang tidak
terduga (QS. Ath Thalaq : 2-3). Demikian juga ketika pada urusan duniawi yaitu sebagai
pekerja atau staf karyawan perusahaan tertentu. Jika kita loyal dengan atasan dan
bertanggungjawab terhadap amanah pekerjaan insya Allah akan mendatangkan penilaian
lebih istimewa dan simpati dari atasan dan tentu akan mendatangkan hadiah atau
peningkatan karier serta penghargaan yang tinggi pula.

8
Dalam kita Mizanul Amal, Imam Al-Ghazali menyebut bahwa assa’adah
(bahagia) terbagi dua, pertama bahagia hakiki dan kedua bahagia majasi. Bahagia hakiki
adalah kebahagiaan ukhrawi yang akan diraih dengan modal iman, ilmu dan amal.
Kebahagiaan ukhrawi ini tersemai dalam hati seperti rasa selalu bersyukur akan nikmat
yang terus diterima tak terhitung jumlahnya seperti nikmat masih bisa menghirup oksigen
gratis. Selain itu juga rasa bersyukur telah mendapat ilmu pengetahuan dan bisa pula
mengamalkan ilmu tersebut dalam bingkai amak sholeh. Bahagia majasi adalah
kebahagiaan duniawi akan diraih dengan banyaknya uang dan terpenuhinya harta benda,
kedudukan penting dan popularitas tinggi dan lainnya. Kebahagiaan duniawi ini bisa
didapat oleh orang yang beriman dan bisa juga diperoleh oleh orang yang tidak beriman.
Ibn Atha’illah dalam kita Al-Hikam mengatakan bahwa Allah Swt memberikan harta
kepada orang dicintainya dan juga kepada orang yang tidak dicintainya, namun Allah Swt
tidak akan memberikan hidayah iman kecuali hanya kepada orang yang dicintainya.
Sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan duniawi (majasi) dalam
wujud kepemilikan uang, harta benda dan lainnya serta kebahagiaan ukhrawi (hakiki)
sebaiknya juga harus diusahakan untuk dimiliki. Sebagaimana doa yang sehari-hari kita
amalkan yaitu bermohon kepada Allah untuk mendapat kebahagiaan dunia dan juga
kebahagiaan di akhirat kelak. Kebahagiaan duniawi yang diatur dalam Islam bukanlah
hanya melekat pada material dan jumlah uang atau harta benda saja, namun lebih dari itu
diatur harus benar cara mendapatkannya dan setelah itu diukur pada manfaatnya. Islam
sebagaimana maknanya yaitu selamat dan menyelamatkan telah mengatur cara-cara
bekerja dan berusaha bahkan menganjurkan umatnya untuk mendapat kebahagiaan
duniawi dan ukhrawi. Artinya bahwa sesungguhnya umat Islam akan semakin disukai
Allah dan RasulNya jika menjadi muslim yang kuat baik kuat kedudukan maupun kuat
ekonomi. Selanjutnya Allah dan RasulNya akan lebih menyukai hambanya yang selalu
menggunakan rezeki dunianya untuk kepentingan ibadah kepada Allah dan berbagi kepada
sesama manusia. Kedua kekuatan ini akan sangat mendukung upaya dakwah dan
pendidikan islam yang dilaksanakan. Sebagaimana suksesnya dakwah Nabi karena
didukung oleh empat sahabat yang memiliki keuatan ekonomi yaitu Usman bin Affan,
kekuatan fisik dan semangat yaitu Umar Bin Khattab, kekuatan pengarus kedudukan yaitu
Abu Bakar dan kekuatan kecerdasan yaitu Ali bin Abi Thalib.
Menurut Ibnul Qayyim untuk menggapai kebahagiaan itu mengharuskan kondisi
hati yang sehat (qalbun salim). Hati yang sehat adalah hati yang selalu bersih dan
terbimbing oleh hidayah iman sebagai fitrahnya. Artinya bahwa kunci terwujudnya

9
kebahagiaan sesungguhnya tergantung sejauhmana manusia mengikuti fitrahnya. Fitrah
itu sesuatu yang telah melekat dalam diri manusia yang menjadi karakter. Kata fitrah
secara kebahasaan memang bermakna suci yaitu membawa iman yaitu tauhidullah dan
suci dari dosa. Dalam teologi Islam dijelaskan bahwa manusia lahir dalam keadaan suci
dari dosa telah membawa iman yaitu beragama Islam. Dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum :
30 dijelaskan bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama
Tauhid. Setiap manusia yang lahir telah dibekali agama dan agama yang dimaksud adalah
agama Islam.
Islam sebagaimana maknanya selamat dan menyelamatkan pemeluknya dan juga
umat lain bahkan makhluk lainnya, sehingga islam disebut sebagai agama rahmatan lil
‘alamin. Demikian juga pemeluknya yang disebut muslim jika mengamalkan ajaran Islam
secara kaffah maka dipastikan menjadi insan yang selamat dan menyelamatkan orang lain.
Untuk itu dalam Alqur’an dan Alhadits sebagai sumber hukum dan pedoman hidup juga
telah ditetapkan hukum-hukum sebagai pedoman hidup dan itu semua sesuai fitrahnya
manusia. Artinya semua bentuk hukum dan aturan aturan dalam Alqur’an sesungguhnya
akan menguntungkan dan menyelamatkan siapa saja yang mengamalkannya. Artinya
pengamalan ajaran Islam baik yang bersumber dari Alqur’an maupun dari pengamalan
Rasulullah Saw akan mendatangkan manfaat baik bagi setiap muslim maupun bagi non
muslim. Rasulullah sendiri juga telah mencontohkan dengan baik bagaimana
mengamalkan Alqur’an sehingga beliau layak menjadi tauladan bahkan menjadi Tokoh
Dunia peringkat 1 sebagaimana tulisan Michel Hurt. Apalagi setiap muslim yang lebih
benar imannya jika mematuhi hukum hukum dan ketetapan dalam Alqur’an serta
mengamalkan sunnah Rasulullah dipastikan menjadi manusia yang beruntung, bahagia
dunia dan bahagia di akhirat.
Kebahagiaan yang diinginkan berdasarkan Islam adalah kebahagiaan authentik,
lahir dan tumbuh dari nilai-nilai hakiki Islam dan terwujud dalam diri seorang hamba yang
mampu menunjukkan sikap taubat (melakukan introspeksi dan koreksi) untuk selalu
bepegang pada nilai-nilai kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat
iman, islam dan kehidupan serta menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran dan keadilan
dalam menjalani kehidupan pribadi dan sosial. Pada sisi lain kebahagiaan itu menjadi tidak
lengkap jika terwujud dalam kehidupan konkrit dengan jalan membahagiakan orang lain.
Intinya adalah kebahagiaan orang yang beriman bukanlah sekedar bahagia karena telah
menerima berbagai macam rezeki, namun lebih dari itu kebahagiaan akan dirasakan karena
telah mau dan berkesempatan berbagi rezeki kepada sesama. Wallahu a’lam.

10

Anda mungkin juga menyukai