Anda di halaman 1dari 3

RESUME BAB III

BAGAIMANA AGAMA MENJAMIN KEBAHAGIAAN

Rasa bahagia berhubungan dengan suasana hati, yakni hati yang sehat (qalbun salīm); sedangkan
suasana hati hanya bisa diciptakan melalui iman dan mengikuti petunjuk Al-Quran. Lalu apa itu
kebahagiaan? Menurut Al-Alusi bahagia adalah perasaan senang dan gembira karena bisa
mencapai keinginan/cita-cita yang dituju dan diimpikan. Pendapat lain menyatakan bahwa
bahagia atau kebahagiaan adalah tetap dalam kebaikan, atau masuk ke dalam kesenangan dan
kesuksesan. Dalam kitab Mizanul ‘Amal, Al-Ghazali menyebut bahwa as-sa’adah (bahagia)
terbagi dua, yakni kebahagiaan hakiki atau ukhrawi dan kebagaiaan majasi atau duniawi.
Kebahagiaan hakiki adalah yang berorientasi pada Allah, bersifat abadi dan rohani, dan dapat
diperoleh dengan modal iman, ilmu, dan amal. Sedangkan kebahagiaan majasi adalah
kebahagiaan yang fana dan tidak abadi. Adapun kebahagiaan duniawi bisa didapat oleh orang
yang beriman dan orang yang tidak beriman, dan oleh karenanya kebahagiaan duniawi ada yang
melekat pada dirinya dan ada yang melekat pada manfaatnya, yang diantaranya adalah harta,
kedudukan terhormat, dan keluarga yang mulia (termasuk anak-anak yang shaleh, istri yang
salihah).

Menurut pendapat Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, untuk menggapai kebahagiaan haruslah memiliki
kondisi hati yang sehat (qalbun salim), adapun karakteristik hati yang sehat adalah:
1. Hati menerima makanan yang berfungsi sebagai nutrisi dan obat. Makanan yang
dimaksudkan disini adalah iman, sedangkan obatnya adalah Al-Qur’an.
2. Selalu berorientasi ke masa depan dan akhirat, bukan hanya berfokus pada salah satunya
saja.
3. Selalu mendorong pemiliknya untuk kembali kepada Allah, karena semua hal yang ada di
dunia ini pada dasarnya milik Allah.
4. Tidak melupakan Allah dapat dilakukan dengan cara senantiasa berdzikir.
5. Jika sesaat lupa kepada Allah, maka bersegeralah sadar dan kembali mendekat, lalu
berdzikirlah kepada-Nya.
6. Jika sudah masuk waktu sholat, maka lupakanlah urusan duniawi agar senantiasa
khusyuk dan mendapatkan ketenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan.
7. Hargailah waktu agar tidak terbuang secara percuma, karena waktu tidak dapat diulang
kembali.
8. Hati yang sehat selalu berorientasi kepada kualitas amal, bukan hanya amal semata.
Dan dapat dikatakan karakteristik hati yang sakit adalah enggan atau menghindar dari makanan
yang sehat, hal ini akan membuat manusia merasa hampa saat menjalani hari-harinya, dan
merasa tersiksa atas kehidupan yang dijalaninya.

Menurut kitab Thibb al-Qulub, adapun faktor-faktor yang membuat hati menjadi sakit, yakni:
1. Banyak bergaul dengan orang-orang yang tidak baik, yang mana telah difirmankan
kepada Allah di Q.S Al-Furqan/25: 27-29 dan Q.S Al-‘Ankabut/29: 25
2. At-Tamanni atau berangan-angan. Berangan-angan identik dengan mengkhayal, yang
mana itu adalah sebuah impian tanpa usaha dan ikhtiar. Angan-angan adalah modal para
pencundang dan merugi. Sedangkan impian bagi orang-orang yang berusaha (iktiar)
dengan dasar iman dan ilmu adalah cita-cita.
3. Menggantungkan diri kepada selain Allah atau musrik, yang mana dalam hal ini telah
difirmankan pada Q.S Maryam/8: 82, Q.S Yasin/36: 81-82, dan Q.S Al-Isra/17: 22.
4. Asy-Syab’u atau terlalu kenyang, hal ini dibagi menjadi dua, yakni kenyang dengan
barang haram “li zatihi” dan kenyang dengan makan perkara yang haram “li ghairihi”.
Namun ada juga jenis kekenyangan yang disebabkan karena memakan sesuatu secara
berlebihan, walau bersifat halal.
5. Terlalu banyak tidur, karena banyak tidur dapat mematikan hati, memberatkan badan,
menyia-nyiakan waktu, dan dapat menimbulkan kelupaan serta kemalasan.
6. Berlebihan melihat hal-hal yang tidak berguna, karena akan mempengaruhi kesucian hati,
karena semua kemaksiatan berawal dari pandangan.
7. Berlebihan dalam berbicara, karena hal ini dapat membuka pintu-pintu kejelekan dan
tempat masuknya setan.

Usman bin Hasan al-Khaubawi mengurakan apabila kebahagiaan pun memiliki indikator, yakni
sebagai berikut:
1. Sumber rezekinya ada di negaranya.
2. Mempunyai keluarga yang saleh, yakni istri dan anak-anak yang membanggakan dan
membahagiakan.
3. Berada di bawah penguasa yang adil yakni tidak zalim.
4. Rezekinya dapat membantu seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah.
5. Semangat dalam beribadah.
6. Berorientasi pada masa depan dan akhirat.
7. Tidak banyak berbicara dalam hal-hal yang tidak berguna.
8. Menjaga kewajiban shalat.
9. Bersikap warak atau hati-hati dalam memanfaatkan sumber kehidupan agar tidak
terjerumus kepada yang syubhat apalagi yang haram.
10. Bergaul dengan orang-orang yang saleh.
11. Bersikap tawaduk dan tidak sombong.
12. Bersikap dermawan, tidak pelit.
13. Bermanfaat untuk umat manusia yang lain.
14. Tidak pernah lupa dengan kematian.

Lalu mengapa manusia harus bergama? Dan bagaimana cara agama membahagiakan umat
manusia? Kunci beragama berada pada fitrah manusia. Fitrah adalah sesuatu yanng melekat
dalam diri manusia dan telah menjadi karakter atau tabiat manusia. Kata “fitrah” secara
kebahasaan bermakna “suci”. Hal ini telah difirmankan oleh Allah SWT di Q.S Ar-Rum/30: 30
yang memiliki makna bahwa manusia diciptakan Allah dengan naluri beragama, yaitu agama
tauhid. Disamping itu, ayat tersebut juga mengandung makna bahwa setiap manusia yang lahir
telah dibekali agama, yakni agama islam. Inti dari agama islam sendiri adalah Tauhidullah. Jadi,
kalau ketika orang lahir telah dibekali tauḫīdullāh, maka ketika ia hidup di alam ini dan ketika ia
kembali kepada Sang Pencipta harus tetap dalam fitrah yakni dalam tauḫīdullāh. Mengganti
kefitrahan yang ada dalam diri manusia sama artinya dengan menghilangkan jati diri manusia itu
sendiri. Hal itu sangat tidak mungkin dan tidak boleh. Jika manusia hidup tidak sesuai dengan
fitrahnya, maka manusia tidak akan mendapatkan kesenangan, ketentraman, kenyamanan dan
keamanan, ujungnya tidak ada kebahagiaan. Jadi, hidup beragama itu adalah fitrah, dan karena
itu, manusia merasakan nikmat, nyaman, aman, dan tenang. Sedangkan apabila hidup tanpa
agama, manusia akan mengalami ketidaktenangan, ketidaknyamanan, dan ketidaktentraman yang
pada ujungnya ia hidup dalam ketidakbahagiaan. Oleh karena itu, bahagia adalah menjalani
hidup sesuai dengan fitrah yang telah diberikan Allah kepada manusia.

Menurut Said Hawa, setiap orang harus berhati-hati bahwa tauhidullah yang merupakan setu-
satunya jalan menuju kebahagiaan itu dapat rusak dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Sifat Al-Kibr (sombong)
Q.S Al-Araf/7: 146
2. Sifat Azh-Zhulm (kezaliman) dan Sifat Al-Kizb (kebohongan)
Q.S Az-Zumar/39: 3
3. Sifat Al-Ifsad (melakukan perusakan)
Q.S Al Baqarah/2: 26-27
Contoh:
Sikap merusak di muka bumi, membatalka perjanjian, dan memutuskan perintah-perintah
yang mestinya disampaikan.
4. Sikap Al-Ghaflah (lupa)
Q.S Ar-Ra’d/13: 2 dan 4; Q.S Ali-Imran/3: 190-191
Contoh:
Melupakan Allah.
5. Al-Ijram (berbuat dosa)
Q.S Al-Muthaffifin/83: 14; Q.S Al-Hijr/15: 12-13
6. Sikap ragu menerima kebenaran
Q.S Al-An’am/6: 110

Maka dari itu, nilai-nilai universal yang perlu ditanamkan dan dikembangkan pada diri manusia
adalah ash-shidq (kejujuran), alamānah (terpercaya), al-adālah (keadilan), al-ḫurriyyah
(kemerdekaan), al-musāwah (persamaan), tanggung jawab sosial, at-tasāmuḫ (toleransi), kasih
sayang, tanggung jawab lingkungan, tabādul-ijtima‟ (saling memberi manfaat), at-tarāḫum
(kasing sayang) dan lain-lainnya.

TANGGAPAN VIDEO DI AULA:

Kebahagiaan yang autentik dalam islam adalah disaat kita dapat bersyukur atas segala hal yang
telah kita dapatkan, atas segala nikmat yang kita rasakan. Kebahagiaan bukan hanya seputar
materi ataupun pangkat. Kebahagiaan juga meliputi kondisi hati yang selalu yakin atas keimanan
yang dipegang teguh di kondisi apapun, karena hidup beragama itu adalah fitrah, dan karena itu,
manusia merasakan nikmat, nyaman, aman, dan tenang. Sedangkan apabila hidup tanpa agama,
manusia akan mengalami ketidaktenangan, ketidaknyamanan, dan ketidaktentraman yang pada
ujungnya ia hidup dalam ketidakbahagiaan. Oleh karena itu, bahagia adalah menjalani hidup
sesuai dengan fitrah yang telah diberikan Allah kepada manusia.

Anda mungkin juga menyukai