Anda di halaman 1dari 23

SOLUSI ISLAM DALAM

PENCEGAHAN KEKERASAN
SEKSUAL
Oleh: Denny Kodrat
Persentasenya pun cukup besar, yakni 31
persen dari seluruh laporan masuk, atau
sebanyak 2.979 kasus.
Yang memprihatinkan, bentuk kekerasan
seksual di ranah pribadi paling banyak
dilakukan oleh orang terdekat yang masih
memiliki hubungan darah (inces) dengan
1.210 laporan.
Pelaku kekerasan seksual di ranah personal pun
beragam, antara lain: pacar (1.528 kasus), ayah
kandung (425), paman (322), ayah tiri (205),
suami (192), dan pelaku lain yang masih
memiliki hubungan keluarga. Di ranah publik,
kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh
teman (1.106 kasus), tetangga (863), orang lain
(257), orang tidak dikenal (147), guru (125),
atasan kerja (54), tokoh agama (12), dan tokoh
masyarakat (2).
kita juga harus waspada upaya kaum
liberalis dan feminis untuk menunggangi
RUU P-KS ini agar bisa sah menjadi UU,
yang justru membuat masyarakat kita
kian liberal dalam berinteraksi, dan yang
lebih dikhawatirkan RUU ini malah akan
melegalkan liberalisme seks itu sendiri.
Bab V pasal 11, RUU P-KS.

“Kekerasan Seksual” meliputi:


pelecehan seksual, eksploitasi
seksual, pemaksaan kontrasepsi,
pemaksaan aborsi, perkosaan,
pemaksaan perkawinan, pemaksaan
pelacuran, perbudakan seksual, dan
penyiksaan seksual.
Masalah Pertama, tentang definisi “Kekerasan
seksual”

RUU tersebut menggunakan frasa dan narasi


“kekerasan seksual”. Jika ditilik dari sisi terminologi,
maka penggunaan istilah tersebut akan sangat
jelas mereduksi makna “zina” yang sesungguhnya.
Sebab, mafhum mukhalafah jika perbuatan seksual
dari sembilan rumusan tadi, misalnya penggunaan
kontrasepsi atau perilaku aborsi, tidak bisa disebut
kekerasan perkosaan jika asasnya suka sama suka,
alias tidak ada paksaan ataupun kekerasan.
Masalah Kedua, tentang “bias gender”
 Pengusung ide untuk disegerakannya RUU P-KS sah ini
adalah kaum feminis, yang sudah pasti membawa ide
liberalisme. Padahal, selama ini diskursus tentang
feminisme dalam pandangan Islam sudah bertebaran,
karena memang ada kesalahan fundamental dan
paradigmatik dari gerakan feminisme (apapun
alirannya), yakni penyetaraan gender.
 Sehingga, ketika ada upaya mengegolkan RUU P-KS ini
dari kaum feminisme, maka sejatinya tidak akan jauh-
jauh arahnya pada kesetaraan gender yang berujung
liberalisme seksual wa bil khusus kaum hawa.
Masalah Ketiga, tentang “mendukung kekerasan
seksual”

Karena pengusung ide RUU P-KS adalah kaum


feminisme, maka jika ada yang menolak RUU
tersebut tentu akan dibangun sebuah narasi
opini bahwa seakan-akan lawannya sebagai
pendukung kekerasan seksual. Apalagi jika
diketahui lawannya beropini adalah kaum laki-
laki.
Pasal-Pasal “Bermasalah”

Pasal 6 tentang Bab Pencegahan,


ayat 1 huruf a, yang isinya
memasukkan materi penghapusan
Kekerasan Seksual sebagai bahan
ajar dalam kurikulum, nonkurikulum,
dan/atau ekstrakurikuler pendidikan
usia dini sampai perguruan tinggi.
 Pasal 11 sampai pasal 19, di mana yang
disebut kekerasan seksual jika meliputi
sembilan cakupan. Yang menjadi catatan kritis
adalah jika hal tersebut dilakukan dengan
terpaksa dan mengandung unsur kekerasan.
Jadi, jika ada seorang wanita dengan maksud
memamerkan tubuhnya di muka umum
maupun di media sosial dengan suka rela,
tidak bisa masuk kategori kekerasan seksual.
 Dengan pasal ini juga, maka hukum orang
berpacaran, atau punya selingkuhan, bahkan
suka dengan sesama jenis (gay, lesbi), atau
berhasrat seksual dengan binatang, jika
pelakunya suka sama suka, salah satu
maupun salah duanya sama-sama merasa
nyaman, maka tidak bisa masuk pasal
kekerasan seksual.
 Pasal 17, (huruf a) dalam bagian
penjelasan dari pasal ini, disebut
“pemaksaan perkawinan” jika ada orang
tua atau anggota keluarga melakukan
perkawinan anak atau kerabatnya yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
Solusi Islam

 Kejahatan seksual dalam Islam didefinisikan


sebagai segala bentuk pelampiasan hasrat
seksual yang dilakukan secara tidak makruf
dan ilegal. Segala kejahatan itu zarimah
(kriminal), termasuk di dalamnya berupa
kejahatan yang bentuknya seksual, dan segala
zarimah menurut Islam pasti mengandung
dosa.
 Upaya pencegahan atau preventif agar
tidak terjadi pelecehan seksual,
kejahatan, maupun kekerasan seksual,
maka Islam memiliki aturan tentang
busana (pakaian) wanita ketika keluar
rumah berupa hijab syar’i (Q.S. An-Nur:
30-31 dan Q.S. Al Ahzab: 59).
 Interaksi antara kaum pria-wanita dilarang mengandung
unsur khalwat.
 “Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri)
dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang
menyertai wanita tersebut.” (HR. Bukhari, Muslim)
 “Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu
berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang
ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan
Al-Hakim)
 “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu
jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa’: 32)
 (2) Interaksi yang berpotensi terjadinya
pelecehan, kekerasan, hingga kejahatan
seksual adalah campur baurnya kaum laki-laki
dengan wanita, maka Islam mencegahnya
dengan larangan ikhtilat (campur baur antara
laki-laki dan perempuan).
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah yang
pertama, dan sejelek-jeleknya adalah yang
terakhir. Sedangkan sebaik-baiknya shaf
perempuan adalah yang terakhir dan yang
paling jeleknya adalah yang pertama.” (HR.
Muslim)
 (3) Meskipun sudah menikah, berstatus suami-istri,
Islam juga mewanti-wanti, bahwa hubungan seksual
itu sebagai bentuk sedekah. Akan tetapi, jika sudah
menikah pun Islam tidak membolehkan seorang laki-
laki (suami) sembarangan dalam melakukan
hubungan seksual terhadap istrinya. Seperti larangan
untuk mendatangi istri dari duburnya, atau
mendatanginya di saat haid.
 “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi
syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian
pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang
halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim)
 Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
"Terkutuklah orang yang mendatangi perempuan
(istrinya) di duburnya (sodomi)." (HR. Ahmad, Abu
Daud, an-Nasa`i)
 “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada
keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik
perlakuannya kepada keluargaku.” (HR. Ibnu Majah)
 “Barang siapa yang menyetubuhi wanita haid atau
menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur
terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –
shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi, Ibnu
Majah)
 4) Hukuman sanksi bagi pelaku zina maupun
aktivitas seksual yang menyimpang seperti
LBGT, inses, maupun berhubungan seks
dengan hewan pun Islam sudah memiliki
hukum untuk menyelesaikannya.
 Larangan menikah dengan hubungan sedarah
(mahram). (QS. an-Nisa: 23)
 “Barang siapa yang mengetahui ada yang melakukan
perbuatan liwath (sodomi) sebagaimana yang
dilakukan oleh Kaum Luth, maka bunuhlah kedua
pasangan liwath tersebut.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi
dan Ibnu Majah)

 "Siapa saja yang menyetubuhi binatang, maka


bunuhlah ia, dan bunuh pula binatang tersebut.” (HR
at-Tirmidzi, Abi Dawud, Ibni Majah).
 Dari Zaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata, “Aku mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar pezina yang belum
menikah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun.”
(HR. Bukhari).
 Dari al-Barra’ Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertemu
pamanku yang sedang membawa bendera. Aku pun bertanya
kepadanya, ‘Hendak ke mana engkau?’ Ia menjawab, ‘Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk mendatangi
seorang laki-laki yang menikahi istri ayahnya setelah
kematiannya, agar aku memenggal lehernya dan mengambil
hartanya.’” (Ibnu Majah, Abi Dawud, an-Nasa-i).

Anda mungkin juga menyukai