Anda di halaman 1dari 22

“KONSTRUKSI SOSIAL WARGA SEKOLAH TERHADAP SISWA

DISABILITAS DI SMP NEGERI 32 SURABAYA”

Disusun Oleh:

Nurul Hidayah (17040564077)


Neny Sujianti (17040564080)
Jauhari F. M. (17040564082)

PROGRAM STUDI S1 SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Oktober 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menjalani kehidupan, manusia tidak dapat terhindar dari kehendak
Yang Maha Kuasa.Hal itupun berlaku terhadap semua kondisi manusia baik
kondisi fisik maupun kondisi mental. Semuanya merupakan suatu ketetapan
yang tidak dapat diubah terkecuali melalui rekayasa kecanggihan teknologi.
Seluruh kondisi alamiah tersebut dapat menjadi sebuah anugerah yang dinilai
sangat menguntungkan bahkan dapat menjadi sebuah musibah yang dinilai
sangat merugikan bagi manusia tersebut. Hal ini tergantung bagaimana
manusia tersebut menyikapinya. Namun di sisi lain, manusia tidak dapat
menafikan bahwa ia hidup dalam suatu lingkungan sosial di sekitarnya. Bahwa
dalam menjalani kehidupannya, mau tidak mau ia harus menyesuaikan dirinya
dengan kultur kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ukuran baik/buruk pun
sangat tergantung dengan pandangan dan penilaian lingkungan sosialnya.

Berkaitan dengan ketetapan Tuhan terhadap kondisi fisik/mental


manusia, masih banyak fenomena di sekitar kita yang sering kita jumpai, salah
satunya adalah kondisi “cacat”. “Cacat” dalam pengertian sederhana
merupakan suatu kondisi fisik/mental yang secara alamiah dimiliki oleh
manusia. Kondisi ini diwujudkan dalam suatu bentuk kondisi tubuh baik fisik
atau mental yang berbeda - atau memiliki perbedaan (kelainan) dengan kondisi
manusia pada umumnya. Namun dalam kehidupan sosial, kondisi cacat
ditafsirkan sebagai suatu bentuk kekurangan manusia karena memiliki
perbedaan atau kelainan dengan orang disekitarnya. Sampai detik ini pun hal
tersebut dianggap sebagai suatu aib dan dinilai buruk oleh masyarakat,
khususnya di Indonesia.

Masyarakat Indonesia masih memandang sebelah mata para penyandang


cacat. Bahkan memperlakukan mereka (para penyandang cacat) sebagai
penyandang disabilitas atau orang yang memiliki ketidakmampuan dalam hal
tertentu. Masyarakat seringkali menilai mereka sebagai suatu keburukan
terbesar yang berimbas pada nama baik dan martabat keluarga para
penyandang cacat. Selain itu masyarakat kerap kali mengejek, menghina,
mencemooh, mencaci maki, membuli, menyiksa, bahkan mengucilkan serta
mangasingkan mereka, seakan akan mereka tidak pantas untuk hidup dan
menjalani kehidupan serta berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Pemerintah dalam hal ini dinilai masih belum tuntas dalam menangani
masalah tersebut. Hal ini dapat dilihat dari seluruh kebijakan pemerintah yang
tertuang dalam peraturan perundang-undangan tentang penyandang disabilitas.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah gagal mewujudkan
terciptanya perlindungan warga negara dan hak asasi manusia. Kegagalan
tersebut meliputi segala bidang, mulai keamanan, pendidikan, hingga akses
pelayanan kesehatan. Lebih jauh lagi, pemerintah gagal menciptakan suasana
lingkungan yang aman dan tenteram bagi para penyandang disabilitas, serta
pemerintah gagal menghilangkan stereotip atau stigma negatif masyarakat
terhadap penyandang disabilitas bahwa cacat bukanlah suatu aib/keburukan.

Berkaitan dengan fokus penelitian, peneliti ingin mengetahui bagaimana


konstruksi sosial masyarakat lingkungan sekolah (dalam hal ini warga SMP
Negeri 32 Surabaya) terhadap siswa penyandang disabilitas di sekolah tersebut,
bagaimana pemahaman mereka mengenai disabilitas, lalu bagaimana
penerimaan mereka hingga bagaimana proses pembiasaan mereka (dalam
menjalankan tugas dan wewenang) dengan para siswa disabilitas dalam
kehidupan sehari-hari di lingkungan sekolah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konstruksi sosial warga sekolah terhadap siswa disabilitas di
SMPN 32 Surabaya?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah diatas antara
lain:
1. Untuk mengetahui pandangan warga sekolah terhadap siswa disabilitas.
2. Untuk mengetahui penerimaan warga sekolah terhadap siswa disabilitas.
3. Untuk mengetahui hubungan sosial yang terjadi antara warga sekolah
dengan siswa disabilitas, khususnya dalam kegiatan belajar mengajar.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi semua
orang, khususnya bagi warga SMPN 32 Surabaya agar semakin lebih baik
dalam menjalani kehidupan sosialnya, serta bagi seluruh civitas akademik
Universitas Negeri Surabaya pada umumnya. Selain itu dapat digunakan
sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi jajaran pimpinan SMPN 32
Surabaya, serta Pemerintah Kota Surabaya selaku pembuat kebijakan agar
menemukan solusi dalam mengatasi permasalahan disabilitas di Kota
Surabaya, khususnya di SMPN 32 Surabaya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan Novitasari Dwi Prastiwi yang berjudul
konstruksi sosial peserta didik pada lembaga bimbingan non-formal
menggunakan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui konstruksi sosial peserta didik pada Lembaga Bimbingan Belajar
dan mengetahui makna serta nilai lembaga bimbingan belajar SSC di Jombang.
Teori yang digunakan adalah Konstruksi Sosial oleh Peter L. Berger. Hasil
temuan data bahwa peserta didik untuk selalu rajin belajar baik disaat di
sekolah maupun diluar sekolah, membiasakan belajar antar siswa antar sekolah
agar terjadi jaringan antar pelajar antar sekolah, sebagai “tempat bermain”
yang positif, mengurangi rasa cemas menghadapi unas dan menambah rasa
“pede” percaya diri menghadapi momentum tes.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Rizki yang berjudul
Konstruksi sosial penyandang disabillitas terhadap penggunaan angkutan
umum di Kabupaten Sidoarjo memiliki tujuan penelitian yaitu untuk
mengetahui, memahami dan menjelaskan konstruksi sosial penyandang
disabilitas terhadap penggunaan angkutan kota di Sidoarjo. Teori yang
digunakan dalam peneitian ini adalah konstruksi sosial oleh peter l. Berger
dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Hasil temuan yang diperoleh
dari peneitian ini bahwa para penyandang disabilitas yang mulai meninggalkan
angkutan kota sebagai alat transportasi mereka untuk melakukan aktivitas dan
mobilitas.
Dengan keterbatasan fasilitas untuk penyandang disabilitas pada
angkutan umum, kini mereka mulai beralih menggunakan kendaraan pribadi.
Pelayanan yang buruk dan diskriminatif juga menjadi faktor penting bagi
penyandang disabilitas. Selain itu biaya akomodasi yang terlalu tinggi
membuat para disabilitas beralih ke kendaraan pribadi. Dengan sedikit
modifikasi yang dilakukan, para penyandang disabilitas merasa lebih nyaman
mengguanakan kendaraan pribadi dari pada menggunakan angkutan umum.
Dengan dukungan SIM D yang mereka terima, angkutan umum kini tidak lagi
mereka andalkan sebagai alat transportasi utama.

B. Konstruksi Sosial
Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam teori konstruksi
sosial membagi tiga pokok yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Eksternalisasi merupakan suatu usaha penyesuaian diri dalam ekspresi manusia
keadaan dunia baik melalui mental maupun fisik. Objektivasi merupakan suatu
hasil yang dicapai dari kemampuan mental maupun fisik dari kegiatan
eksternalisasi. Sementara itu, internalisasi merupakan proses yang lebih
menerapkan, penerapan kembali dari dunia obyektif ke dalam kesadaran
sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.
Konstruksi sosial dan realitas sosial berarti suatu proses sosial yang
dialami individu secara terus menerus melalui tindakan dan interaksi secara
subyektif. Berger menegaskan bahwa di dalam realitas kehidupan sehari-hari
mempunyai ruang dimensi obyektif dan subyektif. Manusia sebagai alat yang
mewujudkan terjadinya realitas sosial yang objektif melalui proses
eksternalisasi, dimana ia dapat memengaruhinya melalui proses internalisasi
(realitas subjektif). Berger melihat masyarakat sebagai realitas obyektif
terjadinya pelembagaan di dalamnya. Pelembagaan merupakan semua kegiatan
manusia dapat mengalami proses habitualisasi. Setiap tindakan yang sering
diulang secara terus menerus akan menjadikan sebuah pola. Kemudian pola
tersebut dijadikan sebuah panutan yang dipahami oleh pelakunya. Proses
pembiasaan ini terjadi apabila proses tersebut menimbulkan timbal balik dari
tindakan yang sudah terbiasa. Timbal balik terjadi apabila dua individu mulai
berinteraksi.
Ekternalisasi merupakan sebuah pernyataan dari subyek-individu yang
berasal dari pemahamannya terhadap sebuah konteks sosial. Ekternalisasi
berhubungan erat dengan bagaimana pengalaman dan persepsi sehingga
menjadikan sebuah pernyataan. Hal tersebut menimbulkan kesadaran yang
termanifestasikan ke dalam perilaku-perilaku masyarakat luas sehingga
menjadi kenyataan obyektif yakni pranata-pranata sosial. Pemahaman terhadap
realitas objektif yang terbentuk kemudian mengalami proses inetrnalisasi.
Proses internalisasi yaitu proses masuknya pengetahuan beserta kesadaran yang
melekat dalam batin individu.
Konstruksi sosial telah membuat individu memiliki sifat subyektif
dikarenakan struktur sosial sangat berpengaruh terhadap kesadaran individu.
Sehingga konstruksi sosial juga dapat memberikan dampak positif maupun
dampak negatif sesuai tujuan yang dicapai oleh masyarakat. Konstruksi sosial
dapat berdampak positif apabila masyarakat dapat menerima fenomena yang
terjadi dengan baik. Begitupun sebaliknya, jika masyarakat tidak dapat
menerima fenomena maka akan berdampak negatif. Kenyataan kehidupan
sehari-hari yang diterima sebagai kenyataan oleh masyarakat merupakan
sebuah pembatasan yang memaksa. Apalagi kenyataan ini akan berlangsung
terus-menerus. Kenyataan hidup ini berupa kegiatan rutin yang dilakukan
sehari-hari tanpa interupsi, maka kenyataan itu tidak menimbulakn suatu
masalah. Kenyataan yang dapat memunculkan masalah yaitu terjadinya
konstruksi sosial pada peserta didik yang disabilitas bersekolah di sekolah
inklusi, dimana peserta didik yang normal dan disabilitas dijadikan satu dalam
ruang kelas, tentu menimbulkan sebuah asumsi yang berbeda-beda.

C. Penyandang Disabilitas
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 pengertian penyandang
disabilitas adalah setiap orang yang mengallami keterbatasn fisik, intelektual,
mental, atau sensorik dalam jangka waktu lama dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesuitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnnya berdasarkan kesamaan
hak.
Menurut UndangUndang Nomor 4 Tahun 199, jenis-jenis penyandang
disabilitas terbagi menjadi tiga yaitu disabilitas fisik, disabilitas mental dan
dsabilitas ganda. Disabilitas fisik merupakan sebuah kecacatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh seperti cacat kaki, cacat tangan,
cacat punggung, cacat jari, cacat leher, cacat netra, cacat rungu, cacat wicara,
cacat raba dan cacat pembawaan. Kecacatan tubuh dapat disebabkan saat sejak
lahir yang disebabkan penyakit, kecelakaan dan perang. Selain itu juga
disebabkan karena memang putusnya sandi. Disabilitas mental merupakan
kelainan mental atau daat dikatakan seperti tingkah laku, baik kecacatan ini
dari sejak lahir maupun suatu penyakit seperti gangguan psikiatrik fungsional,
retardasi mental, alkoholisme dan gangguan mental organik serta epilepsi.
Disabilitas ganda atau cacat fisik dan mental merupakan sesorang yang
menyandang dua jenis kecacatan.
Hak-hak penyandang disabilitas dalam pasal 24 ayat 1 menyebutkan
bahwa negara-negara pihak mengakui hak penyandang disabilitas atas
pendidikan. Negara-negara pihak harus menjamin sistem pendidikan yang
bersifat inklusif yaitu a) pengembangan sutuhnya potensi diri dan rasa martabat
dan harga diri serta penguatan peghormatan terhadap hak asasi manusia,
kebebasan fundamnetal dan keragaman manusia, b) Pengembangan atas
kepribadian, bakat dan kretaifitas serta kemampuan mental dan fisik dari
penyandang disabilitas hingga mencapai potensinya, c) memungkinkan
penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara efektif di dalam masyarakat
yang bebas.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu bersifat
deskriptif dengan menggunakan analisis. Menurut Moleong (2007:6) penelitian
kualitatif yaitu untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Fokus penelitian ini ingin mengetahui
konstruksi sosial warga sekolah terhadap siswa disabilitas.
Perspektif teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
konstruski sosial oleh Peter L. Berger. Menurut Berger, dalam memahami teori
konstruksi realitas dibagi melalui tiga tahap yaitu eksternalisasi, objektivasi,
dan internalisasi.

B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian merupakan pihak yang dianggap memiliki kompetensi
terkait dengan kajian yang akan diteliti. Dalam penelitian ini subjek penelitian
ini adalah seluruh warga sekolah di SMPN 32 Surabaya. Warga sekolah ini
meliputi kepala sekolah, guru, dan siswa.

C. Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian yang membahas mengenai konstruksi sosial warga sekolah
terhadap siswa disabilitas di SMPN 32 Surabaya sebagai lokasi penelitian
dikarenakan sekolah ini termasuk sekolah inklusi, dimana siswa yang normal
dan disabilitas dijadikan dalam satu ruang kelas.
Waktu penelitian ini dimulai sejak pembuatan proposal hingga berlanjut
terjun langsung ke tempat penelitian.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan dua sumber data
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama yang
didapatkan secara langsung dalam kegiatan penelitian. Data primer ini berupa
observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Observasi dilakukan untuk mengetahui dan memahami gambaran atau
kondisi lingkungan yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian serta
karakteristik informan yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian.
Observasi diperlukan agar peneliti mampu beradaptasi dengan kondisi, lokasi
dan informan. Wawancara dilakukan secara mendalam yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi secara utuh yang berisi tentang pendapat, sikap dan
pengalaman pribadi informan. Dokumentasi diperlukan saat observasi dan
wawancara sebagai pengambilan gambar dan rekaman audio. Data sekunder
merupakan data pelengkap atau pendukung data primer dalam penelitian. Data
sekunder berupa artikel ilmiah, serta surat kabar online maupun offline yang
membahas mengenai konstruksi sosial tehadap siswa disabilitas.

E. Teknik Analisis Data


Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan satuan varia dasar sehingga dapat ditemukan
tema (Moelong, 2010:103). Analisis data menurut Miles dan Huberman
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus hingga data
jenuh. Analisis data yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data dan
kesimpulan. Reduksi data berarti proses pemulihan, pemfokusan,
penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian data mentah yang terjadi
dalam catatan-catatan lapangan yang tertulis. Setelah mendapatkan data yang
lengkap, peneliti memilih data yang relevan dengan penelitian. Penyajian data
merupakan suatu kegiatan ketika sekumpulan infformasi disusun, diorganisir
agar mudah dipahami. Setellah data terpilih, data selanjutnya dikategorisasi
sesuai tema menggunakan bahasa analisis. Dengan demikian data yang sudah
terorganisir dan terkategorisasi tersebut akan menghasilkan kesimpulan yang
baru.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Berdasarkan temuan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh 7 informan. Diantaranya tujuh informan tersebut yaitu empat
guru (guru penanggung jawab siswa ABK, guru ABK, guru umum dan kepala
sekolah) dan tiga siswa (siswa kelas 7, kelas 8 dan kelas 9). Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa terdapat berbagai kontruksi sosial pada siswa
disabilitas yang terjadi di SMPN 32 Surabaya adalah sebagai manusia yang
memiliki kebutuhan khusus, manusia yang perlu perhatian, manusia yang
memiliki kekurangan juga kelebihan, manusia yang harus dikasihani, manusia
yang perlu bantuan, manusia yang susah diajak berkomunikasi, manusia yang
aneh karena terkadang tiba marah-marah dan pendiam, manusia yang dijauhi
dan manusia yang diejek.
Penerimaan warga sekolah terhadap siswa yang berkebutuhan khusus
yaitu terdapat siswa yang heran karena pertama kali berinteraksi dengan siswa
ABK dan juga terdapat siswa yang biasa saja karena sudah mengetahui bahwa
sekoah inklusi. Respon guru mengenai penerimaan siswa yang memiliki
berkebutuhan khusus sangat baik karena berdasarkan temuan di lapangan
kebanyakan guru dalam menghadapi siswa ABK sangat sabar dan mereka
sangat mengayomi siswa ABK apabila terjadi tindak penindasan atau bullying.
Selain itu karyawan juga kagum karena siswa ABK memiliki semangat belajar
yang tinggi. Hubungan sosial yang terjalin antara warga sekolah terhadap siswa
disabilitas adalah beberapa karyawan mengakui bahwa sulit untuk
berkomunikasi dengan siswa ABK, siswa pun juga mengakui kesulitan dalam
berinteraksi dengan siswa ABK karena ada yang pendiam, pemarah dan usil.
Hubungan sosial yang terjalin dalam proses kegiatan beajar mengajar yaitu
guru-guru di SMPN 32 Surabaya sangat sabar dalam memberikan mata
peajaran dan tidak memaksa siswa ABK apabila sudah jenuh atau bosan.
Berikut adalah hasil dari wawancara: informan pertama adalah guru anak
berkebutuhan khusus (ABK), berusia 36 tahun. Informan pertama bernama
Bapak Fajar. Beliau merupakan guru yang dikhususkan untuk mengajar anak
yang berkebutuhan khusus di kelas sumber. Kelas sumber merupakan ruang
kelas yang dikhususkan untuk anak berkebutuhan khusus. Menurut informan
pertama mengenai pandangan mengenai siswa disabilitas atau siswa
berkebutuhan khusus, informan pertama menyatakan bahwa anak ABK sebagai
manusia yang diberikan kekurangan namun juga memiliki banyak kelebihan.
Berikut pernyataan dari informan sebagai berikut: “Kalau saya melihat anak
yang berkebutuhan khusus gitu saya merasa iba mbak, tapi kagum juga
melihat anak ABK itu ada yang memiliki kelebihan yang lebih dari
kekurangannya seperti tegar ini, walaupun dia tempramental tapi dia pintar
dalam menggambar karena dia punya imaginasi yang tinggi terus
digambarkan” [Wawancara pada tanggal 15 Oktober 2019]. Dalam
penerimaan terhadap siswa disabilitas atau ABK, Informan pertama
menyatakan bahwa senang hati dalam menerima siswa disabilitas. Berikut
pernyataannya: “menerima dengan senang hati mbak, wah apalagi tahun ini
penerimaan siswa akibat sistem zonasi semakin meningkat, satu sekolah dari
SD itu semua masuk disini” [Wawancara pada tanggal 15 Oktober 2019].
Dalam hubungan sosial yang terjadi antara guru dengan siswa disabilitas saat
kegiatan belajar mengajar, informan pertama menyatakan bahwa terjalin
dengan baik. Berikut pernyataan informan pertama: “Tenaga pendidik disini
kebanyakan memiliki sifat sabar mbak, siswa disabilitas dibimbing dengan
baik, penuh kesabaran dan tidak memaksa kehendak siswa disibalitas”
[Wawancara pada tanggal 15 Oktober 2019].
Informan kedua adalah penanggung jawab anak berkebutuhan khusus
(ABK), berusia 41 tahun. Informan pertama bernama Ibu Ashrumi. Beliau
merupakan guru yang mengajar di kelas reguler dan penanggung jawab dari
anak berkebutuhan khusus. Menurut informan kedua mengenai pandangan
mengenai siswa disabilitas atau siswa berkebutuhan khusus, informan kedua
menyatakan bahwa anak ABK sebagai anak yang istimewa atau anugerah dari
Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu juga perlu perhatian yang sangat lebih.
Berikut pernyataan dari informan sebagai berikut: “Anak ABK itu anak yang
istimewa dan perlu diberikan perhatian yang sangat lebih. Dan walaupun
mereka memiliki kekurangan tetapi mereka juga mempunyai kelebihan, di
depan kelas ini bisa dilihat banyak trofi kan itu trofi dari anak yang
berkebutuhan khusus” [Wawancara pada tanggal 15 Oktober 2019]. Dalam
penerimaan terhadap siswa disabilitas atau ABK, Informan kedua menyatakan
bahwa penerimaan siswa ini dilakukan oleh pusat jadi tentu kami menerima.
Berikut pernyatannya “Adanya sistem zonasi ini siswa ABK yang masuk di
SMPN 32 Surabaya meningkat. Jadi berapapun siswa ABK yang masuk di
SMPN 32 Surabaya kami terima dengan baik” [Wawancara pada tanggal 15
Oktober 2019]. Dalam hubungan sosial yang terjadi antara guru dengan siswa
disabilitas saat kegiatan belajar mengajar, informan kedua menjelaskan
hubungan yang terjadi berjalan dengan lancar. Berikut pernyataan informan
kedua: “Saat menerangkan mata pelajaran mereka mendengarkan dengan
baik, disini kami sangat sabar dalam memimbing anak disabilitas, kami
memberikan tugas sesuai dengan kemampuan masing-masing anak”
[Wawancara pada tanggal 15 Oktober 2019].
Informan ketiga adalah Bapak Basroni, berusia 45 tahun. Beliau
merupakan guru yang mengajar mata pelajaran penjaskes. Menurut informan
ketiga mengenai pandangan siswa disabilitas atau siswa berkebutuhan khusus
menyatakan bahwa anak ABK sebagai manusia yang memerlukan perhatian
yang khusus. Berikut pernyataan dari informan: “Menurut saya anak ABK itu
orang yang harus diberikan perhatian khusus, saat mata pelajaran saya, ada
siswa ABK yang diam dan melihat namun juga ada siswa yang ikut saat
olahraga, kalau dilihat gitu saya merasa kasihan mbak” [Wawancara pada
tanggal 15 Oktober 2019]. Dalam penerimaan terhadap siswa disabilitas atau
ABK, Informan ketiga menyatakan bahwa penerimaan siswa ABK yaitu
menerima dengan senang hati dan penerimaan siswa saat ini berdasarkan
sistem zonasi. Berikut pernyatannya: “Pengertian penerimaan siswa ABK
dalam perasaan itu senang hati mbak, kami senang adanya siswa ABK. Dan
penerimaan siswa abk ini disaring melalui sistem zonasi” [Wawancara pada
tanggal 15 Oktober 2019]. Dalam hubungan sosial yang terjadi antara guru
dengan siswa disabilitas saat kegiatan belajar mengajar, informan ketiga
menjelaskan hubungan berjalan dengan baik dan tidak adanya pemaksaan
terhadap siswa ABK untuk mengikuti olahraga. Berikut pernyataan informan
ketiga : “Hubungan terjalin dengan baik dan saya tidak memaksakan siswa
ABK untuk mengikuti olahraga, kalau ingin ikut ya saya senang kalau nggak
ikut ya tidak masalah” [Wawancara pada tanggal 15 Oktober 2019].
Informan keempat adalah Bapak Suwito, berusia 43 tahun. Beliau
merupakan Kepala Sekolah SMPN 32 Surabaya. Menurut informan keempat
mengenai pandangan siswa disabilitas atau siswa berkebutuhan khusus
menyatakan bahwa anak ABK sebagai manusia yang memiliki keterbelakangan
namun juga memiliki kemampuan yang lebih dari anak normal. Berikut
pernyataan dari informan: “Kalau saya melihat anak ABK itu anak yang luar
biasa walaupun memiliki keterbelakangan. Dan mereka juga mempunyai bakat
yang ebih seperti trofi yang ada di depan ruangan sumber itu” [Wawancara
pada tanggal 15 Oktober 2019]. Dalam penerimaan terhadap siswa disabilitas
atau ABK, Informan keempat menyatakan bahwa penerimaan siswa ABK yaitu
diterima dengan baik dan kami siap membimbing dengan baik. Berikut
pernyataannya: “Penerimaan siswa ABK tentu diterima dengan baik karena
sekolah kami yang merupakan sekolah inklusi. Penerimaan siswa ini melalui
sistem zonasi kebetulan tahun ini siswa ABK meningkat” [Wawancara pada
tanggal 15 Oktober 2019]. Dalam hubungan sosial yang terjadi antara guru
dengan siswa disabilitas saat kegiatan belajar mengajar, informan keempat
menjelaskan hubungan saat proses belajar mengajar terjalin dengan baik.
Berikut pernyataan informan keempat: “Kalau proses belajar mengajar seperti
transfer ilmu itu berjalan dengan baik, saat menerangkan mata pelajaran
mereka mendengarkan dengan baik. Lalu apabila terjadi pertengkaran dan
bullying, kami langsung menangani dengan cepat dan langsung memanggi
wali murid” [Wawancara pada tanggal 15 Oktober 2019].
Informan kelima adalah siswa kelas 7, berusia 13 tahun. Informan kelima
bernama Alexa, dia menjelaskan mengenai pandangan siswa disabilitas bahwa
mempunyai sifat aneh dan dijauhi karena memiliki keterbelakangan. Berikut
pernyataan informan: “Kasihan mbak karena mereka kan memiliki kekurangan
dan terkadang menjengkelkan karena suka jahil, tiba-tiba ganggu dan suka
marah-marah sendiri. Dan siswa yang reguler suka menjauhi karena takut”
[Wawancara pada tanggal 15 Oktober 2019]. Dalam penerimaan terhadap
siswa disabilitas atau ABK, Informan kelima menyatakan bahwa awalnya
merasa terganggu adanya siswa ABK. Berikut pernyataannya: “awalnya saya
merasa terganggu karena di kelas suka jahil mbak tapi lama kelamaan juga
biasa saja” [Wawancara pada tanggal 15 Oktober 2019]. Dalam hubungan
sosial yang terjadi antara guru dengan siswa disabilitas saat kegiatan belajar
mengajar, informan kelima menjelaskan bahwa hubungan terkadang tidak
berjalan dengan baik. Artinya terkadang siswa ABK tidak taat atas perintah
dari guru. Berikut pernyataan informan kelima: “Biasanya anak ABK itu
terkadang ada yang tiba-tiba marah dan tidak nurut sama guru kak tapi guru
disini sangat sabar menghadapi siswa ABK” [Wawancara pada tanggal 15
Oktober 2019].
Informan keenam adalah siswa kelas 8, berusia 14 tahun. Informan
keenam bernama Azizah, dia menjelaskan mengenai pandangan siswa
disabilitas bahwa siswa disabilitas perlu perhatian khusus dan susah diajak
berkomunikasi. Berikut pernyataan informan: “Menurut saya mereka itu perlu
perhatian yang khusus soalnya mereka cenderung tidak memiliki teman dan
siswa yang ABK sering berinterkasi sesama siswa ABK. Jadi siswa reguler
saat ingin berinterkasi dengan siswa ABK harus lebih dekat. Contoh di kelas
saya itu siswa ABK cenderung diam. Saat siswa reguler mengajak bicara,
namun siswa ABK tidak merespon, terkadang tidur” [Wawancara pada tanggal
15 Oktober 2019]. Dalam penerimaan terhadap siswa disabilitas atau ABK,
Informan keenam menyatakan bahwa menerima karena mengetahui bahwa
SMPN 32 Surabaya merupakan sekolah inklusi. Berikut pernyataannya:
“Biasa aja sih kak, mau menolak ya nggak bisa, apalagi kan ada sistem zonasi
ya udah diterima aja” [Wawancara pada tanggal 15 Oktober 2019]. Dalam
hubungan sosial yang terjadi antara guru dengan siswa disabilitas saat kegiatan
belajar mengajar, informan keenam menjelaskan bahwa siswa reguler lebih
didahulukan saat mengajar lalu juga mereka diam saat guru menjelaskan
pelajaran. Berikut pernyataannya: “Dalam proses pembelajaran, siswa reguler
lebih didahulukan saat mengajar karena pelajaran yang diberikan berbeda
dan soal ABK lebih dimudahkan” [Wawancara pada tanggal 15 Oktober
2019].
Informan ketujuh adalah siswa kelas 9, berusia 15 tahun. Informan
ketujuh bernama Moza, dia menjelaskan mengenai pandangan siswa disabilitas
bahwa sering mendapatkan diskriminasi, bullying dan sulit untuk
berkomunikasi. Berikut pernyataan informan: “Kasihan kalau lihatnya kak,
mereka itu berbeda jadi perlu perhatian yang lebih, dan suka dibully sama
teman-teman tapi mereka suka-suka tapi jengkel” [Wawancara pada tanggal 15
Oktober 2019]. Dalam penerimaan terhadap siswa disabilitas atau ABK,
Informan ketujuh menyatakan bahwa menerima untuk beteman baik namun
mereka susah diajak berkomunikasi. Berikut pernyataan: “Kalau saya pribadi
ya menerima, tapi kasihan sebenarnya kalau ngelihat mereka gitu, kita mau
berteman tapi mereka sulit berkomunikasi” [Wawancara pada tanggal 15
Oktober 2019]. Dalam hubungan sosial yang terjadi antara guru dengan siswa
disabilitas saat kegiatan belajar mengajar, informan ketujuh menjelaskan
bahwa ketika guru mengajar, siswa ABK mendengarkan dengan baik tetapi
terkadang saat kambuh mereka langsung dibawa ke ruang sumber. Berikut
pernyataannya: “Hubungan terjalin baik tapi kalau lagi kambuh, siswa ABK
itu dibawa kembali ke ruang sumber” [Wawancara pada tanggal 15 Oktober
2019].

B. Pembahasan
Teori Konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckman membagi tiga tahapan yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi. Pada penelitian ini tahap yang pertama yaitu eksternalisasi,
sebuah pernyataan yang bersifat subjektif. Artinya pada tahap ini manusia telah
melalui proses pengalaman dan wujudnya sebuah persepsi. Tahap
eksternalisasi ini berawal dari lingkungan sosial, keluarga, pengetahuan,
maupun sejarah. Lingkungan sosial menilai bahwa penyandang disabilitas
merupakan manusia yang berbeda dari manusia yang normal. Hal tersebut
terlihat pada penyandang disabilitas yang memiliki kekurangan dari segi
mental maupun fisik.
Selanjutnya pada tahap yang kedua yaitu objektivasi, proses konstruksi
pada tahap ini mulai masuk dengan adanya pemaknaan-pemaknaan. Proses
objektivikasi ini membentuk sebuah kenyataan subjektif di lingkungan
subjektif. Pada penelitian ini, saat seseorang dihadapkan dengan seseorang
penyandang disabilitas (mental) akan beranggapan bahwa mereka manusia
yang perlu dikasihani, mereka berbeda dari manusia yang normal. Selain itu
juga saat diajak berkomunikasi mereka tidak merespon dan memiliki sifat yang
aneh. Dalam penelitian ini proses objektivasi yang terjadi yaitu terdapat sebuah
pemaknaan positif dan negatif. Pandangan positifnya yaitu meski penyandang
disabilitas memiliki keterbatasan atau kekurangan namun mereka juga mampu
meraih beberapa penghargaan. Pandangan negatifnya yaitu keterbatasannya
seperti susah diajak berkomunikasi, tiba-tiba mengganggu dan marah-marah
sehingga membuat anggapan untuk menjauhi.
Tahap yang ketiga yaitu internalisasi, masuknya kesadaran sehingga
menjadi suatu hal yang wajar dan sudah diterima karena menjadi kebiasaan
dalam masyarakat. Disinilah muncul suatu nilai-niai baru dimana terjadi
sebuah konstruksi sosial oleh warga sekolah SMPN 32 Surabaya pada siswa
disabilitas yaitu sebagai manusia yang memiliki kebutuhan khusus, manusia
yang perlu perhatian lebih, manusia yang mempunyai kekurangan namun disisi
lain juga mempunyai kelebihan, manusia yang dikasihani, manusia yang susah
diajak untuk berkomunikasi, manusia yang aneh, manusia yang pendiam dan
tiba-tiba marah, dan manusia yang memiliki prestasi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Penggunaan istilah peyandang cacat yang cenderung terkesan negatif,
maka lahirlah istilah baru dalam ilmu sosial berarti difable. Pada SMPN 32
Surabaya ini penyebutan bagi siswa disabilitas meggunakan siswa ABK,
artinya anak berkebutuhan khusus. Pada penelitian ini, konstruksi sosial
melalui tiga tahap yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi,
menghasilkan sebuah kontruski pada siswa ABK. Kontruski sosial yang
terbentuk adalah konstruksi sosial yang negatif dan positif. Konstruksi sosial
negatif yang dibangun di dalam masyarakat yaitu pemaknaan siswa disabilitas
memiliki sifat aneh karena tiba-tiba marah, harus dijauhi, memiliki
keterbatasan, manusia yang sering dibully dan susah diajak berkomunikasi.
Dan kontruksi sosial positif diantaranya siswa ABK walaupun memiliki
keterbatasan namun memiliki kelebihan masing-masing dan manusia yang
perlu perhatian khusus.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, masih terjadi adanya bullying di SMP
Negeri 32 Surabaya pada siswa disabiitas atau ABK. Maka untuk pihak
sekolah agar lebih menindaklanjuti siswa-siswa reguler yang masih melakukan
bullying terhadap siswa ABK.
DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter. Luckman, Thomas. 1990. Tafsir Sosial Atas


Kenyataan :Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan.
Jakata : LP3ES.

Moelong, Lexi J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosda Karya.

Samuel, Hanneman. 2012. Peter L Berger: Sebuah Pengantar


Ringkas. Depok: Penerbit Kepik.

Pasal 24 ayat 1 mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas

Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2003. Teori sosiologi Modern. Jakarta
Kencana.

Rizky, Muhammad. Utami, Dyah. 2014. Konstruksi Sosial


Penyandang Disabilitas Terhadap Penggunaan Angkutan
Umum Di Kabupaten Sidoharjo. Jurnal Paradigma 02(01): 1-
7.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandag Disabilitas

UndangUndang Nomor 4 Tahun 199, Jenis-jenis Penyandang Disabilitas

Wahyudi, Ari. 2018. Sosiologi Disabilitas. Surabaya: Unesa University Press


LAMPIRAN

Dokumentasi - Kegiatan Belajar Mengajar

Dokumentasi – Penunjang Belajar Siswa ABK

Anda mungkin juga menyukai