Anda di halaman 1dari 17

MANAJEMEN KONFLIK KEPALA RUANGAN DALAM MENGATASI RUANG

RAWAT INAP

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kepemimpinan


yang diampuh oleh Ns. Ibrahim Suleman, S.Kep

Disusun Oleh:
Kelompok 3:
1. Mohamad Amin Mosi (841418037) 5. Ilman Asman (841418035)
2. Fitriyanti Pohiyalu (841418029) 6. Rozianti H. Biya (841418034)
3. Rezgina Mahmud (841418030) 7. Nurlin Arsyad (841418031)
4. Rahmatia Kadir (841418036) 8. Hartin S. Apia (841418033)
5. Deal Magafira Huntoyung (841418032) 9. Safira R. Pagau (841418113)
6. Zatul Hikmah A. Katili (841418028) 10. Anggi Abdullah (841418048)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

i
2021
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas kehendak-Nyalah
makalah ini dapat terselesaikan. Adapun tujuan penulis dalam penulisan makalah
“MANAJEMEN KONFLIK KEPALA RUANGAN DALAM MENGATASI RUANG
RAWAT INAP”. Dalam penyelesaian makalah ini, penulisan banyak mengalami kesulitan,
terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan. Namun, berkat bimbingan dari berbagai
pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangannya.
Semoga dengan makalah ini kita dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan
tentang Pelayanan Perawatan Kritis. Akhirnya kepada Allah jualah saya mohon taufik hidayah,
semoga usaha saya ini mendapat manfaat yang baik. Serta mendapat ridho dari Allah SWT.
Amin ya rabbal alamin.

                                                                             
  Gorontalo, Maret 2021

Penulis

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar..................................................................................................................... ii

Daftar Isi.............................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................. 1


1.2 Rumusan masalah......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan........................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 3

2.1 Konsep Konflik.............................................................................................................. 3

2.2 Manajemen Konflik....................................................................................................... 5

2.3 Manajemen Konflik Kepala Ruangan Dalam Mengatasi Masalah Ruang Rawat Inap. 10

BAB III PENUTUP............................................................................................................ 13

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 13

3.2 Saran.............................................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan kesehatan yang berkualitas hanya dapat diwujudkan dengan pemberian
layanan kesehatan yang profesional, demikian juga dengan pemberian asuhan keperawatan
harus dilaksanakan dengan praktik keperawatan yang professional. Fungsi pengarahan
motivasi, komunikasi, supervisi, pendelegasian, dan manajemen konflik dapat meningkatkan
kinerja perawat dalam menerapakan asuhan keperawatan.
Perawat sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan harus mampu memberikan asuhan
terbaik kepada pasien. Namun dalam setiap pelaksaan tugas tersebut tidak dapat dipungkiri
akan dapat terjadi hal – hal yang tidak diinginkan terjadi. Semisal dalam hal kelelahan, beban
kerja yang berat, stress mampu menurunkan performa seorang perawat dalam bekerja dan
bisa menimbulkan konflik antara perawat maupun dengan tim kolaboratif lainnya.
Konflik yang terjadi bisa di pengaruhi oleh motivasi, lingkungan kerja, stress, dan
perbedaan karakter. Pengelolaan konflik tersebut sangat berhubungan penting dari peran
seorang kepala ruangan (Gulo, 2019). Pada posisi ini seorang pemimpin harus mampu
mengenali setiap karakter dan latarbelakang yang terjadi untuk menghindari adanya
pergesekkan antara anggota tim yang dapat mengakibatkan kelalaian dan menurunnya
perfoma perawat dalam melaksanakan tugas. Pernyataan ini didukung dengan hasil penelitian
Zulkarnain (2017) bahwa fungsi dari pengarahan manajemen konflik yang baik dari kepala
ruangan dengan kinerja perawat dalam melakukan asuhan keperawatan.

1.2 Rumusan Masalah


1 Bagaimana Konsep Konflik?
2 Bagaimana Manajemen Konflik?
3 Apa Saja Jenis Konflik Yang Bisa Terjadi Di Ruang Rawat Inap?
4 Bagaimana Manajemen Konflik Kepala Ruangan Dalam Mengatasi Masalah Ruang
Rawat Inap?

1
4.1 Tujuan

1. Mahasiswa Dapat Mengetahui Bagaimana Konsep Konflik


2. Mahasiswa Dapat Mengetahui Bagaimana Manajemen Konflik
3. Mahasiswa Dapat Mengetahui Konflik Apa Saja Yang Bisa Terjadi Di Ruang Rawat
Inap
4. Mahasiswa Dapat Mengetahui Manajemen Konflik Kepala Ruangan Dalam
Mengatasi Masalah Ruang Rawat Inap

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Konflik
A. Definisi Konflik
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-nilai,
dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston, 1996 dalam Hendel dkk,
2010).
Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang terjadi ketika
tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu atau kelompok.
B. Sumber Konflik
Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena:
1. Perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras, pandangan,
perasaan, pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat, budaya, kebangsaan,
keyakinan, dll.
2. Perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena perbedaan budaya,
posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.
Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai
sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi, struktur, dan
variabel pribadi.
a. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik.
Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran
informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan
penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk
terciptanya konflik.
b. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok,

3
kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan
tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat
ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran
kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong
terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya,
maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
c. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi:
sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang
menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan
individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,
misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang
lain, merupakan sumber konflik yang potensial.
C. Jenis-jenis Konflik
Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik intrapersonal, konflik
interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik antar kelompok.
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan ini
merupakan masalah internal untuk mengklasifikasinilai dan keinginan dari konflik yang
terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi peran. Misalnya
seorang manajer mungkin merasa konflik intrapersonal dengan loyalitas terhadap profesi
keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai, tujuan, dan
keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara konstan berinteraksi
dengan orang lain sehingga ditemukan perbedaan-perbedaan. Sebagai contoh seorang
manajer sering mengalami konflik dengan teman sesame manajer, atasan, dan bawahannya.
c. Konflik Intra kelompok
Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan kerja berbeda dari
tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak mendokumentasikan rencana tindakan
perawatan pasien sehingga akan mempengaruhi kinerja perawat lainnya dalam satu tim
untuk mencapai tujuan perawatan di ruangan tersebut. d. Konflik Antar Kelompok Konflik
ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja untuk mencapai tujuan

4
kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah hambatan dalam mencapai kekuasaan dan
otoritas (kualitas jasa layanan), keterbatasan prasarana.
2.2 Manajemen Konflik
Konflik dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian situasi yang terjadi ketika ada perbedaan
pendapat atau perbedaan cara pandang diantara beberapa orang didalam suatu kelompok.
Konflik dapat dibagi dalam 4 jenis konflik, yaitu jenis konflik intrapersonal yaitu konflik
yang terjadi pada individu itu sendiri, kemudian ada konflik interpersonalyakni konflik yang
terjadi anatara dua orang lebih yang diakibatkan oleh perbedaan keyakinan, selanjutnya ada
konflik intraorganisasi dan yang terakhir adalah konflik antar kelompok yang terjadi antara
dua kelompok atau lebih.
Manajemen konflik adalah bagian dari tanggungjawab seorang kepada tim yang sudah
mempercayakan kemampuannya. Menurut Simamora (2019) sebuah manajamen diperlukan
sebagai upaya untuk meningkatkan kegiatan dalam keperawatan lebih efektif dan efisien.
Sebagai seorang pemimpin keperawatan harus mampu memberikan contoh dan arahan
kepada setiap tim yang adalah pelayanan kesehatan.
A. Definisi Manajemen Kelompok
Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak
ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah penyelesaian yang konstruktif atau
destruktif (Ross, 1993).
B. Gaya Penyelesaian Konflik
Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan penyelesaian
konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya penanganan konflik (Rahim, 2002).
Yang dimaksud dengan besarnya konflik terkait dengan jumlah individu yang terlibat,
apakah konflik mengarah pada intrapersonal, interpersonal, intra kelompok, atau antar
kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya penanganan konflik
(Five Conflict Handling Styles). Model ini ditujukan untuk menangani konflik
disfungsional dalam organisasi. Menggambarkan sisi pemecahan masalah yang
berorientasi pada orang lain (concern for others) dan pemecahan masalah yang berorientasi
pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima
gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding,
dan compromising.

5
1) Integrating (Problem Solving) Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme
pemecahan masalah (problem solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan
intervensi yang tepat dalam suatu masalah. Dalam gaya ini pihakpihak yang
berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi,
bertukar informasi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi
alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks
yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk
memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan
utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah
(Rahim, 2002). Langkah-langkah untuk mencapai solusi ini antara lain adalah mulai
dengan berdiskusi, dengan waktu dan tempat yang kondusif, menghargai perbedaan
individu, bersikap empati dengan semua pihak, menggunakan komunikasi asertif
dengan mamaparkan isu dan fakta dengan jelas, membedakan sudut pandang,
meyakinkan bahwa tiap individu dapat menyampaikan idenya masing-masing,
membuat kerangka isu utama berdasarkan prinsip yang umum, menjadi pendengar
yang baik. Setuju terhadap solusi yang menyeimbangkan kekuatan dan memuaskan
semua pihak sehingga dicapai “win-win solution”.
2) Obliging (Smoothing) Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan
perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini
sering pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-
perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-
pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong
terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak
menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
3) Dominating (Forcing) Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya
kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk
menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa
(forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah.
Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan
dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan
harus mengambil keputusan dalam waktu yang cepat. Namun, teknik ini tidak tepat

6
untuk menangani masalah yang menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang
terlibat dan juga tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan utama
gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
konflik. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk
menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
4) Avoiding Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang sederhana, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi
jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok
untuk menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik ini kurang
tepat pada konflik yang menyangkut isu-isu penting, dan adanya tuntutan tanggung
jawab untuk menyelesaikan masalah secara tuntas (Rahim, 2002). Kekuatan dari
strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan
atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian
masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
5) Compromising Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara
seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini
merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give and take approach) dari
pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah
yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki
kekuatan yang sama. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang
demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian
konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendel (2005),
gaya ini merupakan gaya yang paling banyak dipilih oleh perawat dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi.

7
Gambar 1. Gaya Penyelesaian Konflik
C. Proses Manajemen Konflik
Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan evaluasi
(feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari keberhasilan suatu intervensi.
Berikut adalah skema proses manajemen konflik menurut Rahim (2002):

Gambar 2. Proses Penyelesaian Konflik

Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah pengumpulan data-data antara
lain identifikasi batasan konflik, besarnya konflik, sumber konflik, kemudian mengkaji
sumber daya yang ada apakah menjadi penghalang atau dapat dioptimalkan untuk
membantu penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses identifikasi (measurement),
selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap datadata yang telah dikumpulkan, hal ini
bertujuan untuk menentukan strategi resolusi konflik yang akan diambil disesuaikan
berdasarkan besarnya konflik dan gaya manajemen konflik yang akan dipakai (integrating,
obliging, dominating, avoiding, dan compromising).

8
Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-macam strategi intervensi
konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force.
Intervensi ditentukan berdasarkan dua hal, yaitu proses dan struktural. Proses yang
dimaksud adalah intervensi yang dilaksanakan harus mampu memperbaiki keadaan dalam
suatu organisasi, seperti misalnya intervensi mampu memfasilitasi keterlibatan aktif dari
individu yang berkonflik, dan juga penggunaan gaya penyelesaian konflik diharapkan
bersifat sealami mungkin dengan tujuan meningkatkan proses belajar dan pemahaman
individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang
(Shetach, 2012). Proses ini juga diharapkan dapat merubah pola kepemimpinan seseorang
dan budaya dalam menyelesaikan konflik. Dengan demikian organisasi atau individu akan
memperoleh keterampilan baru dalam penanganan konflik. Selain itu, intervensi juga
diharapkan dapat memperbaiki struktur organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi
dan diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Pendekatan ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan suatu organisasi untuk menyelesaikan konflik
berdasarkan berbagai sudut pandang individu yang terlibat di dalamnya menuju ke arah
konstruktif (Rahim, 2002).
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas
di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik
dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu atau
suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005). Setelah
intervensi, dilaksanakan suatu evaluasi terhadap setiap tindakan yang dilakukan, sekaligus
hal ini sebagai feedback proses diagnosing pada konflik yang sudah ada ataupun konflik
yang baru.
D. Outcome Resolusi Konflik
Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses manajemen konflik
antara lain:
a. Win-lose Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain terabaikan. Yang
menduduki porsi lebih besar mendapatkan kemenangan dan sebaliknya yang lebih
sedikit mengalami kekalahan.
b. Lose-lose Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian. Teknik penyuapan,
memperjualbelikan, menggunakan pihak ketiga untuk mengancam dapat

9
memuncullkan hasil resolusi ini. 3) Win-win Resolusi ini dicapai saat semua pihak
menyetujui dan mendapatkan manfaat dari penyelesaian konflik

2.3 Kepemimpinan kepala ruang dalam pelaksanaan strategi manajemen konflik


Kepemimpinan merupakan kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni
mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Dalam hal ini,
kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau tata krama birokrasi, tidak harus
diikat dalam suatu organisasi tertentu, melainkan bisa terjadi dimana saja, asalkan seseorang
menunjukkan kemampuannya dalam mempengaruhi peilaku orang lain ke arah tercapainya
suatu tujuan tertentu
Perawat sangat rentan menghadapi konflik selama menjalankan tugas, baik itu konflik
dengan pasien, teman sejawat maupun dengan atasan. Jika konflik tidak diatasi maka akan
mempengaruhi pemberian asuhan keperawatan kepada pasien. Kepala ruang berperan
penting dalam memfasilitasi penyelesaian konflik, agar tidak menjadi hambatan dalam
meningkatkan kinerja baik individu maupun tim.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan karateristik pada individu dalam suatu interaksi.
Perbedaan-perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan, skill, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya (Iresa, Utami & Prasetya, 2015).

Konsekuensi konflik harus dapat dikelola secara baik sehingga keuntungan-keuntungan


dapat dipertahankan, dan akibat negatif dapat diminimalisir. Beberapa strategi manajemen
konflik yang bisa digunakan oleh pemimpin dalam menyelesaikan konflik menurut Marquis
& Huston (2015) adalah kompromi, kompetisi, akomodasi, smoothing (melembutkan),
menghindar dan kolaborasi.

1) Pelaksanaan Strategi Kompromi Kepala Ruang


Menurut penelitian Safitri, Burhan dan Zulkarnain (2013) di dapatkan bahwa strategi
kompromi merupakan strategi yang dilakukan dengna cara mencari “jalan tengah” dalam
menyelesaikan masalah. Strategi ini hanya berfokus pada hasil yang bersifat “setengah-
setengah” sehingga keuntungan maksimum tidak dapat dicapai. Menurut pendekatan ini,
setiap pihak yang terlibat konflik harus merelakan sebagian kepentingannya dan
mempertahankan sebagian kepentingan yang lain.

10
2) Pelaksanaan Strategi Kompetisi Kepala Ruang
Mangkunegara (2009) mengemukakan bahwa strategi kompetisi dapat digunakan jika pihak
yang terlibat konflik percaya bahwa ia memiliki lebih banyak informasi dan keahlian yang
lebih dibanding yang lainnya. Metode ini mungkin bisa memicu konflik tetapi bisa jadi
merupakan metode yang penting untuk alasan keamanan.

3) Pelaksanaan Strategi Akomodasi Kepala Ruang


Menurut Mangkunegara (2009), strategi mengakomodasi dapat memberi kesempatan pada
orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah, khususnya apabila isu tersebut
penting bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi
kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan. Perawat yang menjadi bagian dalam
konflik dapat mengakomodasikan pihak lain dengan menempatkan kebutuhan pihak lain di
tempat yang pertama.

Pada umumnya strategi akomodasi dilakukan jika konflik dianggap tidak terlalu bernilai
tinggi bagi pihak yang mengakomodasi. Sehingga dalam hal ini tidak ada pihak yang
dirugikan (Marquis & Huston, 2015).

4) Pelaksanaan Strategi Smoothing Kepala Ruang


Strategi ini sering digunakan oleh manajer agar seseorang bekerjasama dengan pihak lain.
Melembutkan terjadi ketika satu pihak dalam konflik berupaya untuk memuji pihak lain atau
berfokus pada hal yang disetujui bersama. Walaupun pendekatan ini tepat digunakan pada
perselisihan kecil, melembutkan jarang menghasilkan penyelesaian masalah konflik yang
sebenarnya (Marquis & Huston, 2015).

Pada strategi ini, individu yang terlibat dalam konflik berupaya mencapai kebersamaan dari
pada perbedaan dengan penuh kesadaran dan intropeksi diri. Strategi ini bisa diterapkan
pada konflik yang ringan, tetapi tidak dapat digunakan pada konflik yang besar, misalnya
persaingan pelayanan atau hasil produksi (Marquis & Huston, 2015).

5) Pelaksanaan Strategi Menghindar Kepala Ruang


Pada pendekatan menghindar, pihak yang terlibat menyadari adanya konflik, tetapi memilih
untuk tidak mengakuinya atau tidak berupaya menyelesaikannya. Penghindaran
diindikasikan untuk perselisihan trivial, ketika kerugian yang diakibatkan oleh konflik

11
melebihi menfaatnya, ketika maslaah sebaiknya diselesaikan oleh orang selain anada, ketika
satu pihak lebih berkuasa dari pada pihak lain dan ketika masalah akan selesai degan
sendirinya. Kelemahan dari pendekatan ini adalah konflik tetap ada dan sering kali muncul
kembali di lain waktu dengan cara yang bahkan lebih besar (Marquis & Huston, 2015).

6) Pelaksanaan Strategi Kolaborasi Kepala Ruang


Kolaborasi adalah cara penyelesaian konflik yang asertif dan kooperatif yang menghasilkan
penyelesaian menang-menang. Dalam pendekatan ini semua pihak mengesampingkan tujuan
awal dan bekerjasama untuk menentukan tujuan umum prioritas (Marquis & Huston, 2015).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nisa (2015) didapatkan bahwa strategi kolaborasi
merupakan strategi pemecahan masalah dengan hasil kedua belah pihak menang, dimana
individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama. Perlu adanya satu komitmen dari
semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling memperhatikan satu sama
lainnya.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Konflik yang terjadi tidak melulu dianggap sebagai hal yang negatif dalam sebuah
organisasi. Konflik dapat dimanfaatkan sebagai evaluasi terhadap kinerja tim. Seorang
pemimpin dibutuhkan kreativitasnya untuk memodifikasi setiap konflik dapat jadi
pemberi motivasi untuk menjadi lebih baik kepada tim pelayanan kesehatan. Dalam hal
ini dibutuhkan pengarahan pemimpin untuk mengubah mindset setiap anggota untuk
dapat merubah pemikiran mereka. Sehingga perubahan – perubahan yang sudah di
lakukan dan selalu dievaluasi dapat berkembang dan dapat menjadi kekuatan antara
anggota tim.
Seorang pemimpin sangat berperan penting dalam membangun kerjasama dalam
timnya. Kerjasama tim yang baik akan berdampak baik terhadap kualitas layanan yang
baik. Pasien sebagai pengguna layanan akan merasa puas dengan apa yang diberikan.
Sebaik mungkin konflik dihindari namun apabila sudah terjadi maka konflik dapat
dimanfaatkan sebagai evaluasi yang dapat meningkatkan solidaritas tim yang
dipimpinnya.

3.2 Saran

Sebaiknya sebagai seorang pemimpin harus mampu memodifikasi setiap masalah


atau konflik untuk dapat menjadi pembangun kekuatan timnya. Saling dengar pendapat
dan mengenali kemampuan setiap anggota tim sangat perlu. Jika hal ini dapat diterapkan
tim professional keperawatan sebagai garda terdepan pelayanan rumah sakit dapat tetap
menjaga kualitas pelayanan mereka.

Daftar Isi

Fakhruddin, S., Darmawansyah., & Razak, A. (2014). Hubungan Manajemen Konflik Dengan
Kinerja Tenaga Kesehatan Di Puskesmas Pesisir Kabupaten Pangkep. Jurnal Bagian AKK
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

13
Gulo, A.R.B. (2019). Pengaruh Pelaksanaan Manajemen Konflik oleh Kepala Ruangan Pada
Motivasi Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit MarthaFriska Medan, Vol.2, No.1.
Diakses dari http://jurnal.stikesmurniteguh.ac.id/index.php/ithj/article/view/22/37
Hendel, T., Fish, M..,Galon, V. (2005). Leadership style and choice of strategy in conflict
management among Israeli nurse managers in general hospitals. Journal of Nursing
Management, 13, 137-146.
Huber, D. L. (2010). Leaderhip and Nursing Care Management ed. 4. Maryland Heights:
Saunders/Elsevier.
Kreitner & Angelo Kinicki. (2005). Organizational Behaviour. Chicago: Irwin. Konorti. (2008).
The 3D Transformational leadership model. The Journal of American Academy of Business,
14, 10-20.
Mangkunegara, P, A. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Rosda Karya: Bandung.
Marquis, B. L. & Huston, C. J. (2010). Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan: Teori dan
Aplikasi. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Marquis, B, L., & Huston, C, J. (2015). Leadership roles and management functions in nursing:
theory and application. (Ed 8th.). USA: Lippincott Wlliams & Wilkins.
Rahim, M. Afzalur. (2002). Toward a theory of managing organizational conflict. The
International Journal of Conflict Management, 13 (3), 206-235.
Riggio, R.E. (2003). Introduction to Industrial/ Organizational Psychology. (4th Ed.). Upper
Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Robbins, S. P. (2008). Perilaku Organisasi. Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.
Shetach, A. (2012). Conflict leadership: Navigating toward effective and efficient team
outcomes. The Journal for Quality and Participation, 35(2), 25-30.
Simamora, R.H. (2019). Menjadi Perawat yang: CIH’HUY. Surakarta: Kekata Publisher.
Zulkarnain. (2017). Analisis Pelaksanaan Fungsi Manajemen Pengarahan Kepala Ruangan
Dengan Kinerja Perawat Dalam Menerapkan Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap
RSUD Bima. Vol 1, No.2. Diakses Dari
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JISIP/article/view/356/345

14

Anda mungkin juga menyukai