DOSEN PEMBIMBING
Dr. H. FIRDAUS ZUHRI, S.Sos.I., M.A
DISUSUN OLEH
NAMA : AHMAD AFIF AKRAM
NIM : E.MKS.I.2020.003
COVER ……………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………... ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………. 4
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………… 4
C. Tujuan Pembuatan ………………………………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an ………………………………………………………………….. 5
B. Hadist ……………………………………………………………………… 7
C. Ijtihad ……………………………………………………………………… 8
Selain itu para mujtahid pun menggunakan Ijtihad. Sebagai salah satu
acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum. Untuk itu, perlu
adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-
Qur’an, Hadist, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta
kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.
B. Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang pemakalah bahas dalam makalah ini, meliputi :
1. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran Islam melalui Al-Qur’an ?
2. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran Islam melalui Hadist ?
3. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran Islam melalui Ijtihad ?
C. Tujuan Pembuatan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Agar mahasiswa mengerti sumber-sumber ajaran Islam.
2. Agar mahasiswa mengerti tentang sumber ajaran Islam melalui Al-Qur’an.
3. Agar mahasiswa mengerti tentang sumber ajaran Islam melalui Hadist.
4. Agar mahasiswa mengerti tentang sumber ajaran Islam melalui Ijtihad.
5. Agar mahasiswa lebih taat beragama setelah mengetaui tentang sumber-
sumber ajaran Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-QUR’AN
1. Pengertian
Al-qur’an dalam segi bahasa (etimologi), yaitu al-qur’an yang dibaca. Al-
Qur’an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, untuk disampaikan kepada seluruh umat
manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam
juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'. Al-Qur’an merupakan
kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah
diturunkan ke dunia.
2. Fungsi Al-Qur’an
Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur’an memiliki tiga fungsi
utama, yakni sebagai Hudá (petunjuk), Bayyinát (penjelasan), Furqán
(pembeda), dan Syifa (obat, resep).
4. Selanjutnya, fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep
dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya.
Akan tetapi walaupun begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu benar
mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah
kebenaran otoritas. Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia adalah resep dari
Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena Allah adalah Maha
Benar. Dengan demikian, walaupun ada beberapa ayat Al-Qur’an yang
untuk sementara waktu belum dapat dipahami oleh ratio, tak apa tetapi
tetap harus dilaksanakan, sebab kalau menunggu dapat memahaminya
secara penuh bisa keburu mati.
Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter
berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis.
Sebab kalau tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak
akan sembuh. Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu
harus sejalan dengan perasaan (feeling), kemauan (willing), dan ratio
(thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin mengamalkan
seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan ayat-
ayat tertentu untuk diamalkan, sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan
adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
B. HADIST
1. Pengertian
Perkataan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama,
ucapan, jalan, pembicaraan, dan cerita. Menurut istilah ahli hadis yang
dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takkir (persetujuan Nabi
SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW. (Syamsuri, 2006: 60)
Hadis Nabi atau dalam istilah lain As-Sunah, secara istilah adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan,
perbuatan atau ketetapan-nya. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah:
kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan
menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syar’i.
a. Hadist Shahih
Definisi :
Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud
dengan hadist shahih adalah hadist yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi
yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak
ber’illat dan tidak janggal. Di lain sumber, dalam kitab Muqaddimah at-
Thariqah al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadist shahih itu
adalah hadist yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan
maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.
b. Hadist Hasan
Definisi :
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkan secara
istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan
berikut ini !
Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang
definisi hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh orang yang adil,
yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung
sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan
yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.
At-Tirmizy, dalam al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadist hasan
adalah hadist yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh
dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan.
Al-Khattabi, menyebutkan tentang pengertian hadist hasan adalah hadist
yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para
perawinya. Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di
mana dia meriwayatkan hadist itu.
Hadist Hasan Lighairih, Yaitu hadist hasan yang sanadnya tidak sepi
dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang
banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik
dan matan hadistnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang
semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadist hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadist dhaif
(lemah), namun karena ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit
menjadi hasan lighairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka
kedudukannya dhaif.
Di antara contoh hadist ini adalah hadist tentang Nabi SAW
membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
ب ن ع ل ين؟ ومال ك ن ف سك من أر ض يت: ق ال ت،" ف أجاز ن عمApakah kamu
rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal
ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun
membolehkannya.
Hadist ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy
dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti
mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya.
Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadist ini
menjadi hasan li ghairihi.
Setelah kita bicara hadist maqbul yang di dalamnya ada hadist shahih dan
hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadist yang
tertolak.
Hadist yang tertolak adalah hadist yang dhaif dan juga hadist palsu.
Sebenarnya hadist palsu bukan termasuk hadist, hanya sebagian orang yang
bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadist. Sedangkan hadist
dhaif memang benar sebuah hadist, hanya saja karena satu sebab tertentu,
hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah.
Definisi :
Hadist Dhaif yaitu hadist yang kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadist Shahih atau hadist Hasan. Hadist Dhaif merupakan hadist
Mardud yaitu hadist yang tidak diterima oleh para ulama hadist untuk
dijadikan dasar hukum.
Penyebab Tertolak :
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya hadist Dhaif, yaitu :
Adanya kekurangan pada Perawinya, baik tentang keadilan maupun
hafalannya, misalnya karena :
Dusta (hadist maudlu)
Tertuduh dusta (hadist matruk)
Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
Banyak waham (prasangka) disebut hadist mu’allal
Menyalahi riwayat orang kepercayaan
Tidak diketahui identitasnya (hadist Mubham)
Penganut Bid’ah (hadist mardud)
Tidak baik hafalannya (hadist syadz dan mukhtalith)
Karena Sanadnya tidak bersambung
Karena Matan (Isi Teks) yang bermasalah
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadist bisa juga terjadi
karena kelemahan pada matan. Hadist Dhaif yang disebabkan suatu sifat
pada matan ialah hadist Mauquf dan Maqthu‟. Oleh karenanya para ulama
melarang menyampaikan hadist dhaif tanpa menjelaskan sanadnya.
Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadist dha'if
tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian
juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki.
Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada
Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah.
Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka
sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadist. Imam
Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu
riwayat hadist. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab
tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran al-
Kariem.
Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadist dari
Rasulullah SAW:
Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa
hadist itu bukan hadistku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR
Bukhari Muslim)
Lagi pula, kalau pun sebuah hadist itu boleh digunakan untuk memberi
semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus
terpenuhi, antara lain:
a. Derajat kelemahan hadist itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap
sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering
keliru, maka hadistnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat hadistnya sudah
sangat parah kelemahannya.
b. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum.
Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh
dilakukan hanya berdasarkan hadist yang lemah.
c. Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan
hadist lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi
SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah
SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu.
3. Kedudukan Hadist :
Hadist sebagai sumber hukum syariah, peran utama hadist dalam
revitalisasi syariah adalah menjadi sumber hukum syariah yang kedua setelah
al-Qur’an. Dalam konteks ini perlu ditegaskan dua hal:
Tiada syari’ah tanpa hadist sebagai sumber hukum syari’ah ini sangat
strategis bagi upaya revitalisasi syari’ah. Karena sebagian besar hukum-
hukum syariah bersumber pada hadist. Terlebih lagi, hadist banyak menjadi
dalil bagi berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara,
misalnya pengaturan hubungan penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam
dengan negara lain, struktur pemerintahan, pengangkatan para
gubernur (wali) dan hakim (qadhi), dan sebagainya. Dan juga berpegang pada
hadist atau sunnah rasul saw. terhadap hal-hal yang tidak dijelaskan al-Qur’an
sebagai landasan syari’ah.
Karena kedudukannya sebagai dasar Islam yang kedua sesudah kitab suci
al-Qur’an, maka tidaklah mengherankan kalau Hadist Nabi mendapat
perhatian yang paling besar dikalangan kaum muslimin. Sungguh pun ada
larangan Nabi supaya jangan menuliskan selain dari al-Qur’an, sebagian nanti
akan kita terangkan, untuk menjaga jangan sampai dicampur adukkan dengan
kitab suci al-Qur’an itu, tetapi ada saatnya beliau memberi izin kepada
beberapa sahabat yang cukup berhati-hati untuk mencatatkan hadist-hadist itu.
Dalam kasus al-Qur’an, kita tahu bahwa tidak ada tenggang waktu antara
turunnya wahyu dan penulisannya. Jadi, tidak ada keraguan akan otentisitas
al-Qur’an, lantaran Nabi sudah menunjuk para pencatatnya sejak turunnya
wahyu pertama yang ditugasi untuk menghimpun dan menuliskannya. Tetapi
praktek ini tidak diikuti dalam kasus hadist, yang mendapat perlakuan
berbeda.
Sudah banyak komentar mengenai Hadist, baik dari kalangan umat Islam
maupun non Islam, baik yang membela maupun yang menyerang dan ingin
menghancurkannya. Semua itu ternyata semakin menambah semaraknya
kajian dan minat terhadap bidang hadist ini.
Yang jelas, terlepas dari semua itu, para ulama’ dari berbagai golongan
dan aliran, hampir tidak ada perbedaan dalam memandang Hadist-hadist Nabi
sebagai dasar dalam Syari’at Islam. Mereka menjadikan Hadist sebagai
pedoman dalam melaksanakan aktivitas di dunia ini, baik yang
berkenaan dengan aspek ibadah maupun mu‟amalah dan akhlak. Karena
Hadist yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Nabi saw itu, secara
rinci telah menggariskan suatu manhaj bagi kehidupan umat Islam, baik secara
individu, keluarga, masyarakat maupun negara.
C. IJTIHAD
1. Pengertian
Pengertian Ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, Ijtihad
artinya bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan
dalam pengertian secara istilah, Ijtihad ialah menggunakan pikiran untuk
menetapkan hukum atas sesuatu perkara yang dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah belum dinyatakan hukumnya. Akan tetapi, pengertian tersebut
sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al-Qur’an dan Sunnah terdapat
kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah tidak ditetapkan
hukumnya.
2. Macam-Macam Ijtidah
c. Istihsan, yaitu berarti suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada
Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang
dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula
menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli
yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan,
syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli
diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya
dikirim kemudian.
KESIMPULAN
T.M Ash-Shiddiq, Hasbi. 1970. Koleksi hadist-hadist hokum. Bandung. P.T AL-
MA’ARIF.
www.google.com/www.wikapedia.com.