Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

AL-QUR'AN, HADIST, DAN IJTIHAD


SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

DOSEN PEMBIMBING
Dr. H. FIRDAUS ZUHRI, S.Sos.I., M.A

DISUSUN OLEH
NAMA : AHMAD AFIF AKRAM
NIM : E.MKS.I.2020.003

NAMA : ELVA DAWALANI


NIM : E.MKS.I.2020.027

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


SYEKH MAULANA QORI BANGKO
MANAJEMEN KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur pemakalah panjatkan keharibaan Illahi Robbi, berkat yang


limpahan rahmat dan hidayahNya, pemakalah dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Al-qur'an, Hadist, dan Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam.

Perkenankan pemakalah menyampaikan rasa hormat dan terima kasih


sebesar-besarnya terutama kepada dosen pembimbing yang telah memberikan
penjelasan tentang pembuatan makalah ini. Ucapan terima kasih juga kepada
semua pihak yang tidak dapat pemakalah sebutkan satu persatu yang telah
membantu kelancaran terselesainya makalah ini.

Pemakalah menyadari bahwa terselesainya makalah ini bukanlah semata-


mata karena kepiawaian pemakalah, melainkan banyak mendapatkan bimbingan,
arahan, motivasi, dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pemakalah berharap agar makalah ini dapat digunakan
sebagaimana mestinya.

Bangko, Desember 2020


DAFTAR ISI

COVER ……………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………... ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………. 4
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………… 4
C. Tujuan Pembuatan ………………………………………………………… 4

BAB II PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an ………………………………………………………………….. 5
B. Hadist ……………………………………………………………………… 7
C. Ijtihad ……………………………………………………………………… 8

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ……………………………………………………………………. 12

DAFTAR RUJUKAN ………………………………………………………... 13


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para
mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber
pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang memberi sinar pembentukan
hukum Islam sampai akhir zaman. Di samping itu Al-Qur’an adalah panutan
untuk semua muslimin dan muslimah. Dan Al-Qur’an mengandung banyak
sekali penyelesaian dalam masalah di kehidupan kita.

Disamping itu terdapat Hadist/as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an


terhadap hal-hal yang masih bersifat umum. Hadist merupakan yang ke-2
setelah Al-Qur’an untuk menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran
islam.

Selain itu para mujtahid pun menggunakan Ijtihad. Sebagai salah satu
acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum. Untuk itu, perlu
adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-
Qur’an, Hadist, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta
kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.

B. Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang pemakalah bahas dalam makalah ini, meliputi :
1. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran Islam melalui Al-Qur’an ?
2. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran Islam melalui Hadist ?
3. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran Islam melalui Ijtihad ?

C. Tujuan Pembuatan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Agar mahasiswa mengerti sumber-sumber ajaran Islam.
2. Agar mahasiswa mengerti tentang sumber ajaran Islam melalui Al-Qur’an.
3. Agar mahasiswa mengerti tentang sumber ajaran Islam melalui Hadist.
4. Agar mahasiswa mengerti tentang sumber ajaran Islam melalui Ijtihad.
5. Agar mahasiswa lebih taat beragama setelah mengetaui tentang sumber-
sumber ajaran Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. AL-QUR’AN

1. Pengertian
Al-qur’an dalam segi bahasa (etimologi), yaitu al-qur’an yang dibaca. Al-
Qur’an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, untuk disampaikan kepada seluruh umat
manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam
juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'. Al-Qur’an merupakan
kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah
diturunkan ke dunia.

Dalam upaya memahami isi Al-Qur’an dari waktu ke waktu, telah


berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur’an. Namun, tidak ada yang saling
bertentangan. Surat yang pertama kali turun adalah surat al-Alaq ayat 1-5.

2. Fungsi Al-Qur’an
Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur’an memiliki tiga fungsi
utama, yakni sebagai Hudá (petunjuk), Bayyinát (penjelasan), Furqán
(pembeda), dan Syifa (obat, resep).

1. Sebagai hudá, artinya Al-Qur’an merupakan aturan yang harus


diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang
dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi
sikapnya justru mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka
sudah pasti ia akan tersesat (QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-
Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah bukan cerita yang dibuat-buat
(QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam
mengelola bumi.

Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan, yakni


hukum alam dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain
untuk menampakkan kejayaan Islam dan mengalahkan segenap tata aturan
ciptaan manusia (liyudlhirah ‘aláddini kullih) sebagaimana ditunjukkan
oleh kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh
Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an)
harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl
dalam mengelola bumi.

2. Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan


tentang apa-apa yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya
sebagai bayyinát, Al-Qur'an harus dijadikan rujukan semua peraturan
yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan
sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat trial
and error.
3. Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara yang
haq dan yang báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang
diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang
kufurr.

4. Selanjutnya, fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep
dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya.
Akan tetapi walaupun begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu benar
mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah
kebenaran otoritas. Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia adalah resep dari
Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena Allah adalah Maha
Benar. Dengan demikian, walaupun ada beberapa ayat Al-Qur’an yang
untuk sementara waktu belum dapat dipahami oleh ratio, tak apa tetapi
tetap harus dilaksanakan, sebab kalau menunggu dapat memahaminya
secara penuh bisa keburu mati.

Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter
berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis.
Sebab kalau tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak
akan sembuh. Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu
harus sejalan dengan perasaan (feeling), kemauan (willing), dan ratio
(thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin mengamalkan
seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan ayat-
ayat tertentu untuk diamalkan, sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan
adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).

B. HADIST

1. Pengertian
Perkataan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama,
ucapan, jalan, pembicaraan, dan cerita. Menurut istilah ahli hadis yang
dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takkir (persetujuan Nabi
SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW. (Syamsuri, 2006: 60)

Hadis Nabi atau dalam istilah lain As-Sunah, secara istilah adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan,
perbuatan atau ketetapan-nya. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah:
kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan
menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syar’i.

Alasan mengapa Hadist di jadikan sumber hukum islam (menurut


Hidayatullah), As-Sunah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-
Quran, tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih Islam,
terutama pada masa para imam mujtahid dengan berdirinya mazhab-mazhab
Ijtihad. Sebagai masa kejayaan kajian ilmu hukum Islam di dalam dunia
sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada umat agama lain, baik di
zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab
fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-Sunah di dalam
penetapan hukum-hukum fiqih.

2. Macam-Macam Hadist (Sunnah)


Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu :
a. Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah.
b. Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah.
c. Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap
pernyataan ataupun perbuatan orang lain.
d. Sunnah Mammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan
dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan.

Berdasarkan pada kuat lemahnya, hadist tersebut dapat dibagi menjadi 2,


yaitu hadist Maqbul (diterima) dan Mardud (tertolak). Hadist yang diterima
terbagi menjadi 2, yaitu hadist yang Shahih dan Hasan. Sedangkan yang
tertolak disebut juga dengan Dhaif.

Hadist yang Diterima (Maqbul)

a. Hadist Shahih
Definisi :
Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud
dengan hadist shahih adalah hadist yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi
yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak
ber’illat dan tidak janggal. Di lain sumber, dalam kitab Muqaddimah at-
Thariqah al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadist shahih itu
adalah hadist yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan
maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.

Syarat-Syarat Hadist Shahih :


Untuk bisa dikatakan sebagai hadist shahih, maka sebuah hadist haruslah
memenuhi kriteria berikut ini !
 Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan
dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak
melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak
mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar
syara’.
 Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih
banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak
daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami
maksudnya dan maknanya.
 Sanadnya tidak putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang
selamat dari keguguran atau dengan kata lain, tiap-tiap rawi dapat
saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadist.
 Hadist itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai keshahihan suatu hadist).
 Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadist yang
diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadist yang diriwayatkan
oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.

b. Hadist Hasan
Definisi :
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkan secara
istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan
berikut ini !
Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang
definisi hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh orang yang adil,
yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung
sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan
yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.
At-Tirmizy, dalam al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadist hasan
adalah hadist yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh
dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan.
Al-Khattabi, menyebutkan tentang pengertian hadist hasan adalah hadist
yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para
perawinya. Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di
mana dia meriwayatkan hadist itu.

Klasifikasi Hadist Hasan :


 Hasan Lidzatih, Yaitu hadist hasan yang telah memenuhi syarat-
syaratnya. Atau hadist yang bersambung-sambung sanadnya dengan
orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat
padanya sydzudz dan illat.
Di antara contoh hadist ini adalah:
‫ص الة ك ل ع ند ب ال سىاك ألم رت هم أم تي ع لى أ شق أن ل ى ال‬
Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku
perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat

 Hadist Hasan Lighairih, Yaitu hadist hasan yang sanadnya tidak sepi
dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang
banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik
dan matan hadistnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang
semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadist hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadist dhaif
(lemah), namun karena ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit
menjadi hasan lighairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka
kedudukannya dhaif.
Di antara contoh hadist ini adalah hadist tentang Nabi SAW
membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
‫ ب ن ع ل ين؟ ومال ك ن ف سك من أر ض يت‬:‫ ق ال ت‬،‫" ف أجاز ن عم‬Apakah kamu
rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal
ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun
membolehkannya.
Hadist ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy
dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti
mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya.
Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadist ini
menjadi hasan li ghairihi.

Kedudukan Hadist Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan


dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang
bersanad ahsanu’l-asanid. Hadist Shahih dan Hadist Hasan ini diterima oleh
para ulama untuk menetapkan hukum (Hadist Makbul).

Hadist Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih


Bila sebuah hadist hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain
yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat
shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang
kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih
kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.

Hadist Mardud (Tertolak)

Setelah kita bicara hadist maqbul yang di dalamnya ada hadist shahih dan
hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadist yang
tertolak.

Hadist yang tertolak adalah hadist yang dhaif dan juga hadist palsu.
Sebenarnya hadist palsu bukan termasuk hadist, hanya sebagian orang yang
bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadist. Sedangkan hadist
dhaif memang benar sebuah hadist, hanya saja karena satu sebab tertentu,
hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah.

Definisi :
Hadist Dhaif yaitu hadist yang kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadist Shahih atau hadist Hasan. Hadist Dhaif merupakan hadist
Mardud yaitu hadist yang tidak diterima oleh para ulama hadist untuk
dijadikan dasar hukum.

Penyebab Tertolak :
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya hadist Dhaif, yaitu :
 Adanya kekurangan pada Perawinya, baik tentang keadilan maupun
hafalannya, misalnya karena :
 Dusta (hadist maudlu)
 Tertuduh dusta (hadist matruk)
 Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
 Banyak waham (prasangka) disebut hadist mu’allal
 Menyalahi riwayat orang kepercayaan
 Tidak diketahui identitasnya (hadist Mubham)
 Penganut Bid’ah (hadist mardud)
 Tidak baik hafalannya (hadist syadz dan mukhtalith)
 Karena Sanadnya tidak bersambung
 Karena Matan (Isi Teks) yang bermasalah
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadist bisa juga terjadi
karena kelemahan pada matan. Hadist Dhaif yang disebabkan suatu sifat
pada matan ialah hadist Mauquf dan Maqthu‟. Oleh karenanya para ulama
melarang menyampaikan hadist dhaif tanpa menjelaskan sanadnya.
Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya

Hukum Mengamalkan Hadist Dhaif :


Segenap ulama sepakat bahwa hadist yang lemah sanadnya (dhaif) untuk
masalah aqidah dan hukum, halal dan haram, adalah terlarang. Demikian juga
dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain.

Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadist dha'if


untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan
dengan fadhailul a'mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat
menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya).

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadist dha'if
tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian
juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki.
Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada
Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah.

Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka
sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadist. Imam
Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu
riwayat hadist. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab
tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran al-
Kariem.

Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadist dari
Rasulullah SAW:
Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa
hadist itu bukan hadistku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR
Bukhari Muslim)

Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar


mengatakan bahwa para ulama hadist dan para fuqaha membolehkan kita
mempergunakan hadist yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib
dalam beramal, selama hadist itu belum sampai kepada
derajat maudhu' (palsu).

Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah.


Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu
membolehkan kita memakai hadist dhaif untuk menetapkan suatu amal yang
hukumnya sunnah. Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal
ibadah.
Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah
hanya dengan menggunakan hadist yang dhaif, melainkan kita boleh
menggunakan hadist dha'if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu
berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan
hadist yang kuat.

Lagi pula, kalau pun sebuah hadist itu boleh digunakan untuk memberi
semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus
terpenuhi, antara lain:
a. Derajat kelemahan hadist itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap
sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering
keliru, maka hadistnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat hadistnya sudah
sangat parah kelemahannya.
b. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum.
Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh
dilakukan hanya berdasarkan hadist yang lemah.
c. Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan
hadist lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi
SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah
SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu.

Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadist, dilihat


dari sudut apakah hadist itu bisa diterima ataukah hadist itu tertolak.

3. Kedudukan Hadist :
Hadist sebagai sumber hukum syariah, peran utama hadist dalam
revitalisasi syariah adalah menjadi sumber hukum syariah yang kedua setelah
al-Qur’an. Dalam konteks ini perlu ditegaskan dua hal:

Pertama, kehujjahan hadist sebagai sumber hukum syariah. Yang


dimaksud dengan kehujjahan al-hadist (hujjiyah al-hadist), adalah keadaan
hadist yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar‟i), sama
dengan al-Qur’an, dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang
menunjukkannya. Menurut wahbah Az-Zuhaili, dalam kitabnya ushul al-Fiqh
al-Islami, orang yang pertama kali berpegang dalil-dalil ini, diluar ijma‟,
adalah Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-umm. Dalil-dalil
tersebut ada yang menunjukkan bahwa hadist adalah wahyu sebagaimana al-
Qur’an, dan ada yang menunjukkan wajibnya mengikuti hadist atau As-
Sunnah.

Kedua, kedudukan (al-manzilah) dan fungsi hadist terhadap al-Qur’an.


Pada prinsipnya, fungsi hadist adalah sebagai penjelasan (al-bayyan) dari al-
Qur’an. Itulah yang dimaksud dengan ungkapan As-Sunnah qadhiyah „ala Al-
Kitab, yang terkenal di kalangan ulama seperti disebut Imam Asy-Syatibi
dalam kitabnya Al-Muwafaqat juz IV/4. ungkapan itu berarti As-
Sunnah/hadist itu menjadi pemutus atau penentu makna al-Qur’an. Sebab
suatu ayat al-Qur’an dapat mengandung dua kemungkinan makna atau lebih,
maka hadist-lah yang kemudian menentukan satu makna di antara sekian
makna yang ada. Fungsi hadist sebagai penjelasan al-Qur’an didasarkan pada
firman Allah swt didalam surat an-Nahl dijelaskan bahwa Rasulullah saw.
diberi otoritas oleh Allah subhanahuwata‟ala sebagai mubayyin ajaran-ajaran
yang terkandung dalam al-Qur’an yang artinya :
„Dan Kami turunkan kepadamu [Muhammad] al-Qur‟an agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl: 44).

Tiada syari’ah tanpa hadist sebagai sumber hukum syari’ah ini sangat
strategis bagi upaya revitalisasi syari’ah. Karena sebagian besar hukum-
hukum syariah bersumber pada hadist. Terlebih lagi, hadist banyak menjadi
dalil bagi berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara,
misalnya pengaturan hubungan penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam
dengan negara lain, struktur pemerintahan, pengangkatan para
gubernur (wali) dan hakim (qadhi), dan sebagainya. Dan juga berpegang pada
hadist atau sunnah rasul saw. terhadap hal-hal yang tidak dijelaskan al-Qur’an
sebagai landasan syari’ah.

Karena kedudukannya sebagai dasar Islam yang kedua sesudah kitab suci
al-Qur’an, maka tidaklah mengherankan kalau Hadist Nabi mendapat
perhatian yang paling besar dikalangan kaum muslimin. Sungguh pun ada
larangan Nabi supaya jangan menuliskan selain dari al-Qur’an, sebagian nanti
akan kita terangkan, untuk menjaga jangan sampai dicampur adukkan dengan
kitab suci al-Qur’an itu, tetapi ada saatnya beliau memberi izin kepada
beberapa sahabat yang cukup berhati-hati untuk mencatatkan hadist-hadist itu.

Dalam kasus al-Qur’an, kita tahu bahwa tidak ada tenggang waktu antara
turunnya wahyu dan penulisannya. Jadi, tidak ada keraguan akan otentisitas
al-Qur’an, lantaran Nabi sudah menunjuk para pencatatnya sejak turunnya
wahyu pertama yang ditugasi untuk menghimpun dan menuliskannya. Tetapi
praktek ini tidak diikuti dalam kasus hadist, yang mendapat perlakuan
berbeda.

Pentingnya hadist dan perananya dalam berbagai masalah politik dan


sosial telah menyebabkan berbagai kelompok memperlihatkan kepekaan
tertentu terhadapnya. Kepekaan ini mengakibatkan tertundanya usaha
penulisan hadist, meskipun ada perintah Nabi untuk melakukan penulisan dan
penyebarluasan hadist. Sayangnya, penundaan ini menciptakan kerumitan bagi
generasi berikutnya dalam melakukan penilaian hadist.

Sudah banyak komentar mengenai Hadist, baik dari kalangan umat Islam
maupun non Islam, baik yang membela maupun yang menyerang dan ingin
menghancurkannya. Semua itu ternyata semakin menambah semaraknya
kajian dan minat terhadap bidang hadist ini.

Yang jelas, terlepas dari semua itu, para ulama’ dari berbagai golongan
dan aliran, hampir tidak ada perbedaan dalam memandang Hadist-hadist Nabi
sebagai dasar dalam Syari’at Islam. Mereka menjadikan Hadist sebagai
pedoman dalam melaksanakan aktivitas di dunia ini, baik yang
berkenaan dengan aspek ibadah maupun mu‟amalah dan akhlak. Karena
Hadist yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Nabi saw itu, secara
rinci telah menggariskan suatu manhaj bagi kehidupan umat Islam, baik secara
individu, keluarga, masyarakat maupun negara.

Sebagai sumber hukum Islam, hadist memegang peranan penting sebagai


penjelas atas apa yang ada didalam al-Qur’an. Umat Islam tidak akan pernah
dapat menjalankan ketentuan hukum dan cara ibadah tanpa melihat keterangan
atau praktek yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. melalui hadist-hadist-nya.

Barang siapa yang memisahkan al-Qur’an dengan hadist berarti dia


memisahkan Allah dan Rasul-Nya. Karena Allah swt. dalam al-Qur’an telah
mewajibkan semua orang untuk beriman kepada Rasul-Nya, mengikuti
perilakunya, menaati semua perintahnya dan meniggalkan semua larangannya.
Hadist perintah Rasulullah untuk menyampaikan hadist-hadistnya kepada
orang lain.
“Ya Allah saksikanlah, maka hendaknya orang yang hadir menyapaikan
kepada orang yang tidak hadir, karena banyak orang yang tidak mendengar
langsung lebih pandai dari orang yang mendengar langsung”. (H.R. Muslim)

C. IJTIHAD

1. Pengertian
Pengertian Ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, Ijtihad
artinya bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan
dalam pengertian secara istilah, Ijtihad ialah menggunakan pikiran untuk
menetapkan hukum atas sesuatu perkara yang dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah belum dinyatakan hukumnya. Akan tetapi, pengertian tersebut
sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al-Qur’an dan Sunnah terdapat
kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah tidak ditetapkan
hukumnya.

Menurut pengertian kebahasaan, kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab.


Yang kata kerjanya “Jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-
sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, Ijtihad berarti mengerahkan tenaga
dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan
hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan
syarat-syarat tertentu. (Syamsuri, 2006: 62)

Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-


Qur’an dan Hadist. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas
kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah
kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-
sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari
Baitullah, apabila hendak mengerjakan sholat ia dapat mencari dan
menentukan arah kiblat saat itu melalui Ijtihad dengan mencurahkan
pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.

2. Macam-Macam Ijtidah

a. Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat.


Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli Ijtihad umat
Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang
hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah
fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang
berwenang untuk diikuti seluruh umat.

b. Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan


menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai
suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain
yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya
adalah pada surat al-Isra’ ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’,
atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama
menyakiti hati orang tua.

c. Istihsan, yaitu berarti suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada
Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang
dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula
menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli
yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan,
syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli
diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya
dikirim kemudian.

d. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum.


Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi
kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al-Qur’an maupun Hadist tidak
terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al-
Qur’an. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan
umat.

e. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan


menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi
makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya
larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal
minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga
agar jangan sampai orang tersebut kebablasan minum banyak hingga
mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
f. Istishab, yaitu berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan
telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan
hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah
berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin
kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali
karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.

g. Urf, yaitu berarti perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik


berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual
beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang
telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah
dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

3. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad


Kedudukan Ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-
Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan
hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadist
dengan tegas. Ditinjau dari fungsi Ijtihad, Ijtihad itu perlu dilaksanakan, jika :

a. Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’


yang mengenai peristiwa tersebut sangat segera diperlukan. Dan juga jika
tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan
menentukan hukum itu akan hilang.

b. Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang


terdapat banyak para ahli Ijtihad, sedangkan waktu peristiwa itu tidak
mendesak, maka hal yang semacam itu perlu adanya Ijtihad, karena
dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan.

c. Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan


nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk
ini diperlukan Ijtihad.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Al-Qur’an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid


dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum
agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global,
maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana berfungsi menjelaskan
apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum yang lain adalah Ijtihad. Ijtihad
merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan
dengan nash syari’at yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA

T.M Ash-Shiddiq, Hasbi. 1970. Koleksi hadist-hadist hokum. Bandung. P.T AL-
MA’ARIF.

www.google.com/www.wikapedia.com.

Anda mungkin juga menyukai