Anda di halaman 1dari 31

Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

POLTEK KELAUTAN DAN PERIKANAN JEMBRANA


Oleh H. Husin Thohir, S.Ag.

9. PERAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK


9.1. PERAN AGAMA DALAM SOSIAL
A. Agama dan Masyarakat
Harun Nasution yang mengatakan, bahwa agama mengandung ikatan yang
harus dipegang dan harus dipatuhi oleh manusia. Ikatan itu berasal dari suatu
kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Satu kekuatan gaib yang tidak dapat

ditangkap oleh panca indera. Selain itu, Taib Thahir Abdul Mu‟in juga

mengemukakan pendapatnya tentang agama, bahwa agama sebagai suatu


peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk
mengikuti peraturan tersebut dengan kehendak dan pilihannya sendiri untuk
mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat. Jadi Agama yang dimaksud
disini adalah suatu ajaran Tuhan yang berisi peraturan yang mengikat dan harus
dipatuhi oleh penganutnya agar bisa bahagia di dunia dan di akhirat.
Dengan begitu akan dijumpai empat unsur yang menjadi karakteristik agama:
Pertama, adanya unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Kedua, unsur
kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat nanti
tergantung kepada adanya hubungan dengan kekuatan gaib yang dimaksud
tersebut. Ketiga, unsur respon yang bersifat emosional dari manusia, seperti
perasaan takut ketika tidak bisa melakukan kewajibannya, dan rasa aman dan lain
sebagainya. Keempat, adanya kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama,
tempat-tempat tertentu dan sebagainya.
Lain halnya dengan ahli sosiologi yang mendefinisikan agama secara empiris,
mereka tidak dapat mendefinisikan agama secara evaluatif, karena agama menurut
mereka adalah suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan
secara individu maupun kelompok. Keduanya memiliki hubungan yang saling
mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk
struktur sosial di masyarakat manapun. Bagi para penganutnya, agama berisikan
ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia
dan petunjuk- petunjuk untuk hidup selamat di dunia maupun di akhirat (setelah
mati) yaitu sebagai manusia yang taqwa kepada tuhannya, beradap dan manusiawi,
yang berbeda dari cara-cara hidup hewan atau makhluk-makhluk ghaib yang jahat
dan berdosa (jin, setan, dan sebagainya). Agama sebagai sistem keyakinan dapat
menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta
pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap
berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.
Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup:
1. Hubungan manusia dengan Tuhannya.
Hubungan dengan Tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk
mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya.
2. Hubungan manusia dengan manusia.
Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan
kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang
ajaran-ajaran agama mengenai hubungan manusia dengan manusia atau
disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan. Sebagai contoh setiap ajaran
agama mengajarkan tolong-menolong terhadap sesama manusia.
3. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.
Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga
keharmonisan antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya
manusia dapat melanjutkan kehidupannya.

Dalam hal fungsi, Agama di masyarakat dapat berperan sebagai solusi


alternatif ketika masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat tidak dapat
diselesaikan secara empiris oleh individu-individu dimasyarakat karena
keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian. Dengan begitu agama dapat
berperan di masyarakat secara proporsional agar masyarakat menjadi aman,
tentram dan damai.
Peran agama menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia dan
masyarakat, karena agama menyuguhkan sebuah sistem nilai yang derivatif dengan
norma-norma yang berkembang di masyarakat yang bisa dijadikan pedoman
kapanpun, dan dimanapun manusia berada. Dalam memandang nilai misalnya, nilai
agama dilihat dari sudut intelektual akan menjadikan nilai agama sebagai norma
atau prinsip. Selain itu juga, nilai agama dirasakan dalam sudut pandang emosional
yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri manusia untuk
melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan Tuhan, hal itu biasanya disebut
mistisme.
Dewasa ini ilmu sosial tengah mengalami kemandekan dalam memecahkan
masalahnya. Manusia memerlukan ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan
fenomena sosial saja, akan tetapi dapat memecahkan dan memuaskan hasilnya.
Menurut Kuntowijoyo kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk
ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Ilmu sosial yang
dimaksud adalah ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan pada
tiga hal, yaitu: cita-cita kemanusiaan, liberasi dan transendensi.
Cita-cita profetik tersebut dapat diderivikasikan dari misi historis Islam
sebagaimana terkandung QS. Ali „Imran ayat 10:

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (Q.S Al-
Imran:110)

Dalam masyarakat tidak akan lepas dari interaksi sosial, interaksi sosial
masyarakat yang berkesinambungan mengikuti dan menjalankan norma-norma
tertentu termasuk norma-norma agama, pergaulan sosial atau interaksi sosial, yang
terjadi antara individu dengan individu lainnya, juga dengan kelompok sosial adalah
dengan mempedomani norma-norma yang ada, selain norma agama juga ada
norma-norma sosial. Secara sosiologis salah satu tugas individu dalam masyarakat
adalah bagaimana ia bisa mentaati norma-norma dan bagaimana ia menyesuaikan
diri dengan lingkungan masyarakatnya.
Proses Interaksi sosial masyarakat antar individu dengan kelompok ataupun
sebaliknya, dalam kenyataannya memang tidak semua dapat mentaati norma sosial
masyarakat, bagi mereka yang tidak bisa mentaati norma dikatakan sebagai
pelanggar norma atau orang yang menyimpang.

B. Perubahan Sosial Masyarakat


Pengertian perubahan sosial Menurut Samuel Hoening adalah modifikasi-
modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, baik itu terjadi karena
faktor intern dan factor ekstern. Sedangkan menurut Selo Soemarjan perubahan
sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam
suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya. Termasuk di dalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat tersebut. Senada dengan hal itu Robert Mac Iver dalam bukunya “A
Textbook of society” mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan-
perubahan dalam hubungan-hubungan sosial (social relationship) atau perubahan
terhadap keseimbangan hubungan sosial. Dengan begitu dapat dipahami bahwa
perubahan sosial itu segala perubahan yang terjadi di masyarakat yang
berhubungan dengan social relationship yang mempengaruhi sistem sosial dalam
masyarakat tersebut.
Dalam pergaulan sosial masyarakat, ada perubahan sosial yang sengaja
dikehendaki untuk terjadi dengan tujuan tertentu dan merupakan perubahan yang
diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang
ingin mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki
perubahan dinamakan agent of cange yaitu orang yang mendapatkan kepercayaan
masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyakrakatan. Perubahan
sosial yang seperti ini pada umumnya adalah untuk kepentingan dan kebutuhan
masyarakat.
Selain itu ada pula perubahan sosial yang tidak dikehendaki, yaitu perubahan
yang berlangsung diluar jangkauan pengawasan masyarakat dan membawa
dampak negatif kepada masyarakat, perubahan seperti inilah yang berbahaya.
Misalnya dalam sektor ekonomi, masyarakat diupayakan dapat memiliki
kompetensi di berbagai bidang yang membuat masyarakat lebih dinamis, dan
memiliki etos kerja yang tinggi bahkan pragmatis dan kapitalis. Namun disisi lain
juga menjadikan masyarakat terkotak-kotak dan adanya kesenjangan sosial di
masyarakat, bahkan adanya diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok-
kelompok tertentu juga dapat terjadi.
Adanya diskriminasi dan marginalisasi itulah yang menjadi dampak
perubahan sosial dimasyarakat yang dapat melahirkan penyakit-penyakit sosila
(patologis). Perubahan sosial sepeti itulah yang tidak dikehendaki dalam
masyarakat, karena akibat dari adanya sistem pelapisan masyarakat misalnya, tidak
hanya terjadi persaingan sehat bahkan juga terjadi persaingan tidak sehat. Setiap
individu dalam masyarakat tentunya mempunyai target dan tujuan hidup yakni
untuk mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang seperti di bidang materi,
setiap yang mendapatkan banyak materi akan memiliki kedudukan yang lebih
terhormat dalam masyarakat. tapi nampaknya, untuk mencapai tujuan hidup
tersebut tidak semua orang yang berhasil mencapainya. Ada beberapa kelompok
yang tidak berhasil mencapai tujuannya menempuh cara-cara yang tidak wajar atau
mencari jalan pintas seperti mencuri, merampok dan lain sebagainya. Cara-cara
seperti ini adalah merupakan perilaku yang bertentangan dengan norma-norma
sosial yang terdapat dalam masyarakat dan para pelakunya tidak akan disukai oleh
masyarakat dan mereka cenderung akan mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Dalam istilah lain cara-cara yang tidak baik yang dilakukan untuk pencapaian tujuan
hidup seperti memperoleh materi sebanyak-banyaknya adalah merupakan perilaku
patologis yakni penyakit sosial yang dianggap sakit, yang disebabkan oleh faktor-
faktor sosial. Segala tindakan yang tidak cocok, melanggar norma adat istiadat, atau
tidak wajar dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya dan dianggap sebagai
masalah sosial. Akibat yang ditimbulkan dari adanya pelapisan sosial dalam
masyarakat inilah yang dikhawatirkan dapat menyebabkan ketidak stabilan dan
disorganisasi sosial yang akan menyuburkan prilaku-prilaku patologis di
masyarakat.
Adapun perubahan sosial di masyarakat disebabkan karena beberapa faktor
yaitu, faktor intern dan faktor ekstern.
1. Sebab intern, merupakan sebab yang berasal dari dalam, antara lain:
a. Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah
penduduk di suatu desa. Pertambahan penduduk akan
menyebabkan perubahan pada tempat tinggal. Tempat tinggal yang
semula terpusat pada lingkungan kerabat akan berubah atau
terpancar karena faktor pekerjaan. Berkurangnya penduduk
pedesan juga akan menyebabkan perubahan sosial budaya Contoh
perubahan penduduk adalah program urbanisasi dan TKI.
b. Adanya penemuan-penemuan baru yang berkembang di
masyarakat, baik penemuan yang bersifat baru (discovery) ataupun
penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk
penemuan lama (invention).
c. Munculnya berbagai bentuk pertentangan (conflict) dalam
masyarakat.
Pertentangan (conflict) masyarakat juga menyebabkan terjadinya
perubahan sosial masyarakat. Dalam masyarakat pertentangan pasti
terjadi bisa saja terjadi antara individu dengan kelompok atau
kelompok dengan kelompok masyarakat. Umumnya masyarakat
tradisional Indonesia bersifat kolektif segala kegiatan didasarkan
pada kepentingan masyarakat, kepentingan individu walaupun
diakui tetapi mempunyai fungsi sosial, tidak jarang timbul
pertentangan antara kepentingan individu dengan kepentingan
kelompoknya.
2. Sebab ekstern, merupakan sebab yang berasal dari luar, antara lain:
a. Adanya pengaruh bencana alam.
Kondisi ini terkadang memaksa masyarakat suatu daerah untuk
mengungsi meninggalkan tanah kelahirannya. Apabila masyarakat
tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka harus
menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan lingkungan yang baru
tersebut.Hal ini kemungkinan besar juga dapat memengaruhi
perubahan pada struktur dan pola kelembagaannya.
b. Adanya peperangan.
Peristiwa peperangan, baik perang saudara maupun perang antar
negara dapat menyebabkan perubahan, karena pihak yang menang
biasanya akan dapat memaksakan ideologi dan kebudayaannya
kepada pihak yang kalah.
c. Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan
perubahan. Jika pengaruh suatu kebudayaan dapat diterima tanpa
paksaan, maka disebut demonstration effect. Jika pengaruh suatu
kebudayaan saling menolak, maka disebut cultural animosity. Jika
suatu kebudayaan mempunyai taraf yang lebih tinggi dari
kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang lambat laun
unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh
unsur-unsur kebudayaan baru tersebut.

C. Peran Agama Islam dalam Perubahan Sosial Masyarakat


Salah satu syarat kehidupan manusia yang teramat penting adalah keyakinan,
yang oleh sebagian orang dianggap menjelma sebagai agama. Agama ini bertujuan
untuk mencapai kedamaian rohani dan kesejahteraan jasmani. Untuk mencapai
kedua ini harus diikuti dengan syarat yaitu percaya dengan adanya Tuhan Yang
Maha Esa.
Agama Islam memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan,
kemasyarakatan, kenegaraan, perekonomian dan lain-lain. Konsep dasar tersebut
memberikan gambaran tentang ajaran yang berkenaan dengan: hubungan manusia
dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan. Seluruh konsep
kemasyaraktan yang ada bertumpu pada satu nilai, yaitu saling menolong antara
sesama manusia.
Sebagaimana yang termaktub dalam Surat al-Maidah ayat 2:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-


syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,
jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-
binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan
dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
Maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka).
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Amat berat siksa-Nya (Q.S al-Maidah:2).

Perubahan sosial yang dikehendaki ajaran Islam adalah perubahan yang


memiliki dan mengutamakan nilai-nilai, yaitu perubahan dari suatu yang kurang
baik menjadi baik atau yang baik menjadi lebih baik dan segala bentuk perubahan
yang terjadi di berbagai bidang harus sesuai dengan norma-norma ajaran Islam.
Pada dasarnya perubahan sebagai suatu kemajuan merupakan perubahan
yang memberi dan membawa kemajuan pada masyarakat. Hal ini tentu sangat
diharapkan karena kemajuan itu bisa memberikan keuntungan dan berbagai
kemudahan pada manusia. Perubahan kondisi masyarakat tradisional, dengan
kehidupan teknologi yang masih sederhana, menjadi masyarakat maju dengan
berbagai kemajuan teknologi yang memberikan berbagai kemudahan merupakan
sebuah perkembangan dan pembangunan yang membawa kemajuan. Jadi,
pembangunan dalam masyarakat merupakan bentuk perubahan ke arah kemajuan
(progress).
Perubahan dalam arti progress misalnya listrik masuk desa, penemuan alat-
alat transportasi, dan penemuan alat-alat komunikasi. Masuknya jaringan listrik
membuat kebutuhan manusia akan penerangan terpenuhi; penggunaan alat-alat
elektronik meringankan pekerjaan dan memudahkan manusia memperoleh hiburan
dan informasi; penemuan alat-alat transportasi memudahkan dan mempercepat
mobilitas manusia proses pengangkutan; dan penemuan alat-alat komunikasi
modern seperti telepon dan internet, memperlancar komunikasi jarak jauh.
Akan tetapi, tidak semua perubahan yang tujuannya ke arah kemajuan selalu
berjalan sesuai rencana. Terkadang dampak negatif yang tidak direncanakan pun
muncul dan bisa menimbulkan masalah baru. Jika perubahan itu ternyata tidak
menguntungkan bagi masyarakat, maka perubahan itu dianggap sebagai sebuah
kemunduran.
Hubungan agama dan masyarakat menyajikan sebuah dilema fundamental
yang bisa di kedepankan dalam tiga aspek yaitu :
1. Agama melibatkan manusia pada situasi akhir di titik mana lahir kesadaran
akan hal tertinggi. Makna tertinggi dan kedudukan dalam segala rencana
tampil ke permukaan
2. Agama menyangkut hal suci, karena itu agama berkenaan dengan
pemahaman dan tanggapan khusus yang membutuhkan keluhuran
pandang atas obyeknya.
3. Agama dilandaskan pada keyakinan, karena itu obyeknya supra empiris
(luar biasa) dan ajarannya tidak mungkin diperagakan atau dibuktikan
secara empiris.

Masalah agama tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan


masyarakat, karena agama itu sendiri sangat diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:
1. Berfungsi Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut
memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis
berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur tersebut mempunyai latar
belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik
dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
2. Berfungsi Penyelamat
Keselamatan yang diajarkan oleh agama adalah keselamatan yang meliputi
bidang luas. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya
adalah keselamatan meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat. Dalam
mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya melalui
pengenalan kepada masalah sakral berupa keimanan kepada Tuhan.
3. Berfungsi Sebagai Pendamai
Melalui agama seseorang yang bersalah/berdosa dapat mencapai
kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah
akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah
menebus dosanya melalui tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.
4. Berfungsi Sebagai Kontrol Sosial
Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam
hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan social secara individu
maupun kelompok karena:
a. Agama secara instansi, merupakan norma bagi pengikutnya.
b. Agama secara ajaran mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis
(wahyu, kenabian).
c. Berfungsi Sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
d. Berfungsi Tranformatif
e. Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian
seseorang/kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya.
5. Fungsi memupuk Persaudaraan
Kesatuan persaudaraan atas dasar seiman, merupakan kesatuan tertinggi
karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari
dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas
yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama.
Firman Allah dalam surat Al Hujurat ayat 10,

Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu


damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
6. Fungsi transformatif
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan
baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru
yang lebih bermanfaat. Secara umum ada enam fungsi agama dan
masyarakat yaitu:
a. Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
b. Sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara
Ibadat.
c. Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
d. Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
e. Pemberi identitas diri.
f. Pendewasaan agama.
7. Berfungsi Sublimatif
Ajaran agama Islam mengfokuskan segala usaha manusia, bukan saja yang
bersifat ukhrawi melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha
manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila
dilakukan atas niat yang tulus karena dan untuk Allah merupakan ibadah.

Melihat fungsi agama yang begitu penting dalam kehidupan manusia, maka
seyogyanya manusia memahami dan mengamalkan keyakinan keberagamaannya
dengan sepenuh hati. Agar fungsi agama tersebut dapat kita rasakan dalam hidup
bermasyarakat di era modern seperti saat ini.
Agama Islam berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk
melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang
keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini
akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan agama
sebagai nilai etik dan sebagi petunjuk bagi manusia karena dalam melakukan
sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh
dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya. Ajaran agama

Islam mendorong penganutnya untuk berbuat kebaikan, Al-Qur’an sebagi kitab suci

dan sumber ajaran Islam berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk bagi kehidupan
manusia, sebagaimana firman Allah dalam Surah al- Baqarah, ayat 2:

Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 2).

Dari ayat diatas diketahui bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang

yang bertaqwa yakni orang yang memelihara diri dengan mengikuti segala
perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Begitu juga
sebaliknya, agama juga sebagai pemberi harapan bagi pelakunya, dimana
seseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya karena adanya suatu
harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari sesuatu yang ghaib
(supernatural) yaitu Allah SWT.
9.2. PERAN AGAMA DALAM POLITIK
Politik merupakan hal yang tidak terlepas dari kekuasaan sehingga dalam
berpolitik dibutuhkan penguasa yang dipercaya oleh rakyat dan untuk rakyat. Politik
memiliki sistem politik yang di dalamnya yang memiliki unsur-unsur yang saling
berkaitan (interrelated) dan saling bergantung (interdependent). Sedangkan politik
berarti berbagai macam kegiatan yang terjadi di dalam suatu Negara yang berkaitan
dengan proses menetapkan tujuan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut.
Setiap politik terdiri dari dua unsur, yaitu penguasa dan masyarakat beserta
organisasi yang dibentuknya. Proses menuju panggung politik bisa ditempuh atau
dilakukan oleh siapa saja selama memiliki kapasitas. Politik tidak hanya dijalankan
atau dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan tetapi bias juga dilakukan
oleh para ulama. Ulama memiliki sumber daya yang sangat luar biasa untuk
mempengaruhi massa.
Politik merupakam pembahasan yang tidak terlepas dari pembentukan
Negara. Negara membutuhkan seorang pemimpin untuk menyelamatkan umat.
Memanglah dalam Alquran maupun hadis tidak ditemukan secara gamblang konsep
tentang Negara. Hal ini tentu bisa dimaklumi karena konsep Negara atau nation-state
seperti sekarang ini baru muncul pada abad ke-16 yang dikemukakan oleh Nicolo
Machiavelli. Namun demikian, bukan berarti bahwa konsep Negara itu tidak ada
sama sekali dalam Islam. Secara substantif, terdapat sejumlah ayat Al-Qur’an dan
hadis yang menunjukkan adanya pemerintahan pada umat Islam.
Politik Islam memiliki corak yang berbeda dari politik barat. Ciri umum politik
ketatanegaraan Islam pada masa klasik ditandai oleh pandangan mereka yang
bersifat khalifah sentris. Kepala Negara atau khalifah memegang peranan penting dan
memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat dituntut untuk mematuhi kepala
Negara, bahkan di kalangan sebagian pemikir sunni terkadang sangat berlebihan.
Perintah mematuhi para pemimpin dilegitimasi dalam Al-Qur’an surat An-
Nisa’ ayat 58-59 yang memerintahkan umat Islam untuk mentaati Allah, Rasul dan
para pemimpin mereka.

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara
kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha
mendengar lagi maha melihat”. (QS. An-Nisa’ 58)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)
dan ulil amri di antara kamu Kemudian jika kamu berselisih tentang
sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)
jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa’
59)

Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok
yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab
terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah Swt., Hal ini menandakan bahwa semua
aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah Swt., melalui konstitusi yang ada di
dalam Al Qur’an, ini menandakan adanya Syumuliah Al-Islam.
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya
adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok,
golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh
makhluk.
Termasuk ke dalam Ulil Amri adalah pemerintah, para hakim dan para mufti
(ulama). Hal itu dikarenakan, urusan manusia baik agama maupun dunia tidak akan
baik kecuali dengan tunduk dan menaati mereka sebagai bentuk ketaatan kepada
Allah Swt., dan sambil berharap pahala dari sisi-Nya. Tentunya dengan syarat mereka
tidak memerintahkan maksiat. Jika memerintahkan maksiat, maka tidak boleh ditaati.
Dalam ayat tersebut, ketaatan kepada ul Al-amr tidak disebutkan ulang sebagaimana
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal itu, karena ketaatan kepada ul Al-amr
dengan syarat, yakni tidak memerintahkan maksiat.
Perintah untuk taat kepada pemimpin lainnya yang juga merupakan bagian
dari kajian politik terdapat dalam sebuah hadis riwayat Ahmad:
Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah SAW., beliau bersabda;
“Barangsiapa mentaatiku sungguh ia telah taat pada Allah dan
barangsiapa mentaati pemimpin Islam sungguh ia telah mentaatiku Dan
barangsiapa ma’shiyat padaku sungguh ia telah ma’shiyat pada Allah. Dan
barangsiapa membangkang pada pemimpin Islam sungguh ia telah
ma’shiyat pada Allah ‘Azza wa Jalla” (HR. Ahmad).

Serta dalam surat Al-An’am ayat 165 yang menyatakan bahwa Allah
menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi dan meninggikan derajat sebagian
manusia atas yang lainnya.

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia


meninggikan sebagian kamu atas bagian (yang lain) beberapa derajat
sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi
hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Al
An’am 165)

Arti khalifah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sebagai pengganti
atau penyambung. Tafsiran pertama, Allah telah menjadikan Adam sebagai khalifah
di muka bumi, maka manusia turunan Adam inipun mengikuti jejaknya menjadi
khalifah di muka bumi. Kedua, Ummat Muhammad menjadi khalifah dari pada umat-
umat yang telah lalu. Jadi, bukan khalifah Allah melainkan pengganti tugas nenek
moyang atau penyambung usaha orang-orang terdahulu.

A. Pengertian Politik
Politik secara umum dapat dipahami sebagai ilmu kemasyarakatan yang
mempelajari aktivitas manusia dalam kehidupan bernegara dari segala aspek
seperti kekuasaan, pengaruh, kekuatan, wewenang, kebijakan, pengaturan,
pengambilan keputusan, alokasi, pemerintahan dan kepentingan. Jadi ilmu politik
itu mencakup telaah atau studi yang luas.
Fokus telaah ilmu politik adalah negara, kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijakan dan pembagian atau alokasi.32 Pandangan yang berbeda
dikemukakan oleh ilmuwan politik yang menyebut kekuasaan sebagai fokus telaah
ilmu politik, yakni Delia Noor (dalam dasar-dasar ilmu politik) yang merumuskan
definisi, ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam
kehidupan bersama atau masyarakat.
Secara prinsip, politik mengacu pada masalah pengelolaan dan
kepemimpinan yang meniscayakan pengaturan dan implementasi kehendak dan
kekuasaan dalam penataan urusan-urusan masyarakat (umat). Pada konteks ini
kepemimpinan dalam setiap urusan tentu menjalani tiga tahap: pertama, tahap
penetapan prinsip-prinsip yang harus diberlakukan dan tidak boleh dilangggar;
kedua, tahap perencanaan berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan; dan
ketiga, tahap implementasi rencana-rencana yang sudah dicanangkan.
Pada tahap pertama, semua garis besar gerakan pemerintahan akan
tersketsa pada ideologi yang dianut dan terjelaskan oleh perwakilan dan para
eksponennya, dan tahap inilah yang menentukan hubungan mental dan
kecenderungan masyarakat, sedangkan tahap kedua dan ketiga membangun
kepemimpinan secara teori dan praktek.
Politik dalam pengertian yang spesifik adalah pengelolaan dan
kepemiminan secara konseptual dan aktual pada serangkaian urusan komunikasi
guna meraih tujuan-tujuan yang dapat mewujudkan kemajuan sosial.33 Politik
dalam pengertian ini umumnya digunakan ketika politik dipandang sebagai unsur
substansial dalam pengertiannya yang global serta diposisikan sejajar dengan dua
unsur substansial lainnya, yaitu kebudayaan dan ekonomi.
Imam Khomeini mendefinisikan politik adalah pembinaan dan penuntunan
masyarakat, kepedulian kepada semua kepentingan masyrakat, perhatian kepada
semua dimensi manusia dan masyarakat. Politik membimbing masyarakat kepada
arah yang mendatangkan mashlahat bagi mereka, kebaikan bagi bangsa mereka
dan kebaikan bagi individu-individu yang ada, dan ini adalah kewenangan khusus
para Nabi, orang lain tidak dapat menangganinya, ini hanya khusus para Nabi dan
wali. Definisi tersebut memiliki daya jangkau semua dimensi kepribadian manusia
yang meliputi ruh, pikiran dan perbuatan, serta semua aspek kemasyarakatan
yang meliputi kebudayaan, politik dan ekonomi. Politik yang diimplementasikan
oleh Khomeini adalah politik Islam dengan tidak melepaskan nilai-nilai Islam
dalam menjalankan pemerintahan. Menghidupkan kembali nilainilai Islam di
Negaranya.
Abu Nasr al-Farabi menyebutkan bahwa politik (siyasah) adalah hubungan
antara pemimpin dan yang dipimpin serta layanan pemerintahan dengan baik.
Menurut Farabi, pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mampu
menanamkan karakter yang dapat membuahkan kebahagiaan sejati bagi
rakyatnya. Dia menyebutkan pemerintahan yang demikian sebagai lawan dari
kekuasaan atau pemerintahan jahiliyah.
Imam Ghazali mendefinisikan politik sebagai tindakan untuk memperbaiki
masyarakat dan memberi pentujuk kepada mereka tentang jalan yang benar dan
dapat menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.
Max Weber berpendapat bahwa politik adalah upaya untuk terlibat dalam
kekuasaan atau upaya untuk mempengaruhi proses penjatahan kekuasaan antar
Negara.
Sedangkan Abdul Hamid, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Tehran,
menyebutkan politik adalah ilmu yang membahas semua bentuk hubungan
kekuasaan pada berbagai waktu dan tempat serta memperlihatkan arah dan cara
penerapan kekuasaan.
Dengan penjelasan yang berbeda, Ali Syari’ati menyebutkan politik adalah
kesadaran yang terjadi dengan sendirinya pada manusia terhadap lingkungan,
masyarakat, nasib dan kehidupan kolektifnya dan suatu masyarakat di mana ia
tinggal dan bergantung padanya.
B. Pengertian Politik Islam
Dalam Fiqh al-Siyasah (fiqih politik atau teori politik Islam), politik Islam
diartikan sebagai tindakan mengatur Negara sesuai dengan ajaran Islam, yang
berorientasi kepada kemaslahatan warga, meski tak ada dalil yang secara eksplisit
dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah tentang tindakan ini. Tentu saja hal ini bisa
dilakukan jika yang memegang kekuasaan itu adalah individu atau kelompok yang
committed kepada Islam, dan sistem kenegaraannya pun berdasarkan Islam.
Namun jika yang memegang kekuasaan ini bukan individu atau kelompok
yang committed kepada Islam, atau jika sistem kenegaraannya itu tidak
berdasarkan Islam, politik Islam berarti mengekspresikan dan memperjuangkan
aspirasi umat agar kebijakan publik (public policy) sesuai dengan ajaran Islam dan
kepentingan umat Islam. Upaya-upaya ini diangap sebagai kewajiban amar ma’ruf
nahi munkar, dan bahkan sebagai manifestasi dari jihad dalam arti luas. Politik
Islam sebenarnya tidak hanya diekspresikan melalui aktivitasaktivitas politik
(disebut Islam politik), tetapi bisa juga melalui aktivitas-aktivitas non-politik
(sering disebut Islam kultural), seperti perjuangan aspirasi Islam yang dilakukan
oleh ormas-ormas Agama, yang bisa diposisikan sebagai civil society yang
melakukan fungsi interest group atau pressure group.
Aspirasi umat bisa dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu yang bersifat
universal dan bisa pula yang bersifat partikular. Pertama merupakan aspirasi
umum, yang diperjuangkan oleh semua orang dengan latar belakang sosial
apapun. Sedangkan yang terakhir merupakan aspirasi khusus yang hanya
diperjuangkan oleh umat Islam, yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia.
Aspirasi khusus ini terutama berbentuk berlakunya ajaran-ajaran Islam dalam
kehidupan masyarakat dan Negara serta sesuainya kebijakan publik dengan ajaran
Islam. Termasuk dalam aspirasi ini adalah penghapusan hal-hal yang tidak sejalan
dengan ajaran-ajaran Islam. Di samping itu, aspirasi ini juga menuntut
terwujudnya sarana yang menunjang kehidupan beragama.

C. Peran Ulama’ dalam politik


Menurut ajaran Islam Ulama memiliki kedudukan yang tinggi dan peran
penting dalam kehidupan umat, karena mereka merupakan pewaris para Nabi
(Al-‘ulama’ warathah Al-anbiya‘). Secara garis besar peran ini berupa tugas
pencerahan bagi umat, sebagaimana firman Allah:
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayatayat-Nya kepada mereka,
menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan
hikmah (QS. Al-Jumu’ah; 2).

Dalam bahasa lain peran ini juga disebut amar ma’ruf nahi munkar, yang
rinciannya meliputi tugas untuk mendidik umat di bidang agama dan lainnya,
melakukan kontrol terhadap masyarakat (social control), memecahkan problem
yang terjadi di dalam masyarakat serta menjadi agen perubahan sosial (agent of
change).
Peran tersebut teraktualisasi sepanjang sejarah Islam, meski bentuk dan
kapasitasnya tidak selalu sama antara satu waktu dan lainnya dan antara satu
tempat dan lainnya. Hal ini tergantung pada struktur sosial dan politik serta
problem yang dihadapi masyarakat Islam tempat Ulama itu berada. Dan dalam
kenyataanya, peran ini pun meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat dan
bangsa, bak aspek, sosial, budaya, politik maupun ekonomi. Ulama bahkan
menjadi repesentatif masyarakat madani (civil society) yang relatif paling
independen dalam sejarah umat Islam.
Dalam konteks Indonesia peran Ulama tersebut telah diwujudkan, baik
pada masa sebelum datangnya penjajahan maupun pada masa kemerdekaan.
Hanya saja, peran ini mengalami pasang surut sesuai dengan struktur sosial dan
politik yang mengalami perubahan. Berbeda dengan masa sebelum penjajahan
yang memiliki struktur religio-politik, dan pada masa penjajahan saat Ulama
menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, sejak masa awal kemerdekaan
peran ini mengalami sedikit pengurangan, dan semakin berkurang pada masa
Orde Baru.
Penyusutan ini merupakan konsekuensi logis dari munculnya Negara
Nasional, serta adanya kebijakan “deideologisasi politik” dan “depolitisasi Islam”
yang dianut pemerintah Orde Baru, sehingga legitimasi Agama hanya diperlukan
untuk hal-hal yang mendasar saja. Di samping itu, perubahan sosial dengan
semakin tingginya tingkat pendidikan umat serta tingkat spesialisasi pada semua
aspek kehidupan menjadikan peran Ulama ini semakin menyempit. Hal ini
diperburuk dengan kenyataan, bahwa masih banyak Ulama yang memiliki
pendidikan formal rendah, sehingga mereka kurang bisa merespons
perkembangan sosial yang begitu cepat.
Di sisi lain, dengan semakin banyaknya kalangan santri yang berpendidikan
tinggi, kiprah Ulama dalam bidang-bidang politik mengalami penyusutan. Misalnya
di lingkungan masyaraat politik (political society) jumlah Ulama mengalami
pengurangan, karena kepengurusan politik (Islam) bisa diisi oleh tokoh-tokoh
santri non-Ulama. Sementara itu, pemerintah hanya melibatkan mereka dalam
pelaksanaan kebijakan atau dalam mengatasi persoalan-persoalan yang tak dapat
dipecahkannya. Bahkan banyak di antara mereka hanya dimanfaatkan untuk
mendukung politik pemerintah.
Kondisi di atas, menempatkan Ulama tidak dilibatkan dalam perencanaan
dan evaluasi kebijakan yang dibuat. Padahal di antara mereka juga
mengemukakan visi mereka tentang kondisi ideal bangsa dan Negara, misalnya
mengenai persatuan bangsa, pembangunan sumber daya manusia, sistem politik
yang demokratis dan keadilan sosial. Namun demikian, peran Ulama masih
tampak dalam memperkuat eksistensi masyarakat madani (civil society) di
Indonesia, di saat masyarakat politik (political society) kurang berdaya Negara
yang dijalankan oleh pemerintahan yang otoriter.
Lahirnya Nahdatul Ulama (NU) yang memainkan peranannya tidak hanya
dalam perjuangan dan gerakan politik sebelum dan sesudah kemerdekaan,
melainkan juga karena keikusertaannya dalam implementasi politik yang
berwujud pemerintahan, dalam penyelenggaraan roda pemerintahan Republik
Indonesia. Tokoh-tokoh Ulama NU berpartisipasi dalam mengambil keputusan
politik tertinggi bangsa dan Negara, dalam mewujudkan kedaulatan rakyat.
Terputusnya praktik politik Ulama dan spiritualitas keagamaannya
merupakan faktor penting buramnya praktek politik poses politik yang berawal
dari kampanye dan pemilihan penyelenggaraan pemerintahan, pengawasan,
legeslasi dan peradilan, banyak diwarnai dengan tindakan yang tidak amanah dan
tidak bertanggungjawab secara moral. Yang paling menjadi sorotan adalah tindak
koruptif di trias politica di samping dan birokrasi dan partai padahal bisa
dipastikan sebagian besar pemegang wewenang strategis di pemerintahan adalah
Muslim dan tidak jarang mereka menyatakan komitmen terhadap nilai-nilai
keIslaman secara terbuka kepada publik. Tetapi praktek politik mereka
berseberangan dengan nilai-nilai spiritualitas.
Dalam sistem dan budaya belum mapan memang masih terlihat
gejalagejala perilaku politik yang belum dewasa, baik dilakukan oleh para tokoh
politik maupun oleh publik. Perilaku politik yang tidak terpuji ini adakalanya
dilakukan dengan cara yang halus, misalnya dalam bentuk money politics dan
adakalanya dengan cara kasar misalnya memaksa seseorang untuk mengikuti
partai tertentu, menjelek-jelekkan partai lain dan sebagainya.
Kini sudah mulai ada gejala saling ejek dengan justifikasi dalil-dalil Agama
yang tidak proporsional, misalnya dengan mengatakan bahwa partai tertentu
adalah partai sekuler dan kafir, bahwa pendukung partai tertentu akan berdosa.
Memang benar bahwa Islam adalah Agama yang tidak memisahkan antara Agama
dan negara, bawa setiap Muslim berkewajiban untuk memperjuangkan
aspirasinya dan sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun
seseorang tidak bisa mengklaim bahwa hanya partainya dan tindakannya saja
yang benar.
Adalah suatu keharusan, bahwa semua elit politik maupun masyarakat
umum memegang teguh etika politik. Hanya para Ulama terutama yang terlibat
dalam politik praktis, memiliki tanggung jawab ganda untuk membudayakan etika
politik ini, karena kedudukan para Ulama yang sangat terkait dengan pembinaan
akhlak atau moralitas umat/bangsa. Karena itu para Ulama seharusnya melakukan
tugas antara lain yaitu tetap mendorong terciptanya persatuan dan persaudaraan
di antara warga negara, menghindari upaya mempolitisasi Agama untuk
menjustifikasi sikap mereka sendiri, tidak mengeluarkan pernyataan yang dapat
menimbulkan emosi dan agretivitas massa terutama yang berkaitan dengan
sentimen SARA dan mencegah massa, yang secara umum memang belum dewasa
dalam berdemokrasi, melakukan tindakan-tindakan yang anarkis. Tugas-tugas ini
akan sangat mendukung suksesnya pemilu yang demokratis, jujur dan adil.
Sementara itu, para Ulama yang tidak terlibat dalam politik praktis tetap
memiliki peran politisi dalam bentuk pendidikan politik rakyat, sebagai
perwujudan dari peran pencerahan mereka terhadap umat. Peran yang disebut
sebagai cultural broker yang sebenarnya sudah lama dijalankan oleh Ulama.
Mereka juga bisa melakukan tindakan politik meski dengan jalan non-politik
(political action in the non-political way), dilakukan dalam kerangka melakukan
amar ma’ruf nahi munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemunkaran).
Dengan komitmen pada penegakan etika moral, Ulama bisa menjadi pihak
independen dalam melakukan kontrol terhadap pemerintahan serta proses dan
aktivitas politik yang berlangsung.
Keterlibatan elit agama yaitu Ulama/Kiai dala politik sering disebut sebagai
mitra pemerintah jika mereka melakukan peran-peran legitimasi terhadap
kebijakan pemerintahan. Peran refence person adalah bilamana para elit Agama
dianggap sebagai rujukan dalam bersikap dan bertindak oleh masyarakat luas.
Sedangkan peran sebagai mediator ialah bilamana si elit Agama bertindak menjadi
penghubung antara berbagai kelompok kepentingan.
Sedangkan bentuk keterlibatan elit Agama dalam politik bisa bersifat
ekspresif atau instrumental. Artikulasi politik ekspresif artinya apabilan aktivitas
yang diambil elit Agama cenderung mengeksploitasi dan memanipulasi simbol-
simbol keagamaan maupun penggalangan massa. Sedangkan artikulasi politik
secara instrumental adalah artikulasi politik yang lebih menekankan efektivitas
untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik secara langsung.
Adapun yang dimaksud dengan high politic adalah politik yang luhur, berdimensi
moral etis. Sedangkan low politics adalah politik yang terlalu praktis dan seringkali
cenderung nista.
Fungsi dan peran ulama sebagai penyebar ilmu dan dakwah Islam
barangkali tidaklah sulit dijalankan, baik melalui lembaga-lembaga pendidikan
maupun lembaga berbagai media massa. Namun perannya sebagai pemantau
kekuasaan ataupun sebagai mitra kekuasaan dalam rangka menentramkan dan
memakmurkan kehidupan rakyat barangkali akan berhadapan dengan sejumlah
tantangan, seperti ulama harus membagikan konsentrasi kewajibannya sebagai
pemuka agama di samping mendapatkan rasa kurang percaya akan kecakapan
berpolitik dari sebagian masyarakat, apalagi jika kekuasaan itu sendiri berada di
tengah-tengah pertikaian atau konflik.
9.3. MEWUJUDKAN PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA
Persatuan dan kesatuan merupakan hal penting yang harus dimiliki setiap bangsa.
Persatuan dan Kesatuan menjadi satu di antara senjata paling ampuh agar tetap utuh.
Sejarah adanya persatuan dan kesatuan sudah ada sejak masa perjuangan bangsa
Indonesia melawan penjajah. Sejak saat itu, arah perjuangan bangsa Indonesia makin
tegas, yaitu mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional.
Indonesia, sebagai negara yang mempunyai banyak keberagaman dan perbedaan,
perlu mempunyai persatuan dan kesatuan. Keberagaman yang terdapat di Indonesia,
antara lain agama, suku, etnis, budaya bahasa, maupun adat istiadat.
Itulah mengapa, penting memiliki sikap persatuan dan kesatuan antar sesama
masyarakat demi menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Tanpa adanya rasa
persatuan dan kesatuan, bangsa Indonesia akan mudah terpecah terpecah belah.

A. Pengertian persatuan dan kesatuan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat, persatuan
adalah gabungan (ikatan, kumpulan dan sebagainya) beberapa bagian yang sudah
bersatu, perserikatan, serikat. Sementara pengertian kesatuan berarti perihal satu,
keesaan, sifat tunggal, satuan.
Persatuan berasal dari kata 'satu' yang berarti utuh dan tidak terpecah-belah.
Arti lebih luasnya, yaitu berkumpulnya macam-macam corak dari berbagai kalangan,
ras, budaya, dan adat istiadat dalam masyarakat yang bersatu dengan serasi.
Sedangkan Kesatuan merupakan hasil dari persatuan yang telah menjadi utuh. Hal ini
dilakukan untuk terhindar dari disintegrasi, maka sangat dibutuhkan persatuan di
Indonesia.
Walau istilah persatuan dan kesatuan saling bersinggungan, keduanya
memiliki suatu perbedaan. Persatuan merupakan suatu proses dalam keadaan
membentuk masyarakat untuk bersatu, sementara kesatuan merupakan wujud
bersatunya masyarakat yang sudah terbentuk.
Terdapat tiga makna penting yang terkandung dalam persatuan dan kesatuan
bagi bangsa Indonesia. Adapun arti dari ketiga makna persatuan dan kesatuan yang
harus diketahui, antara lain:
1. Selalu menjalin rasa kepercayaan, kebersamaan, dan saling melengkapi
antarbangsa demi menjaga rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Selalu berupaya untuk dapat saling menghargai satu sama lain antarsesama
bangsa yang berlandaskan rasa kemanusiaan sehingga dapat tercapai
kehidupan yang serasi dan harmonis.
3. Selalu menjalin rasa kekeluargaan, persahabatan, saling tolong menolong,
serta nasionalisme antarbangsa yang dapat menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa.

Di dalam persatuan dan kesatuan bangsa mengandung nilai-nilai positif.


Adapun nilai - manfaat yang ada dalam persatuan dan kesatuan, antara lain:
1. Persatuan dan kesatuan dapat mengatasi semua perbedaan dengan penuh
kesabaran dan kesadaran.
2. Persatuan antarwarga negara dapat membuat pembangunan nasional
berjalan lancar, aman, baik, dan sesuai harapan.
3. Bangsa Indonesia akan lebih mudah maju dan berkembang dengan menerima
perbedaan yang muncul.
4. Akan lebih mudah untuk mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
5. Dengan adanya persatuan dan kesatuan, akan tercipta suasana yang aman,
damai, dan tenteram dalam negara. Terutama karena adanya sikap toleransi,
solidaritas, dan setia kawan di antara warganya.
6. Persatuan dan kesatuan dapat mewujudkan kehidupan yang seimbang,
harmonis, serta serasi antarmanusia.
7. Pelaksanaan gotong royong dalam lingkungan sekitar akan berjalan lancar
tanpa adanya kendala.
8. Saling menjaga kerukunan dan menjalin silaturahmi antarbangsa.
9. Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) supaya tidak
mudah terpecah belah oleh orang lain.
10. Akan lebih mudah mengatasi berbagai gangguan baik yang muncul dari dalam
maupun dari luar.

Adapun beberapa contoh persatuan dan kesatuan antarbangsa, antara lain.


1. Saling menghargai dan menyayangi antarsesama anggota keluarga di rumah.
2. Selalu berusaha untuk bertutur kata sopan sesuai norma yang berlaku.
3. Berusaha untuk menjaga kerukunan baik antara anggota keluarga maupun
dengan lingkungan sekitar.
4. Menghargai pendapat orang lain dengan tidak memaksakan kehendak kita
kepada mereka karena dapat menimbulkan permusuhan dan perpecahan.
5. Selalu berusaha untuk membantu anggota keluarga apabila sedang
mengalami kesulitan.

Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, persatuan Indonesia adalah


sebagai faktor kunci, yaitu sebagai sumber semangat, motivasi dan penggerak
perjuangan Indonesia. Hal tersebut, tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi: "Dan perjuangan pergerakan Indonesia telah sampailah pada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur".
Tahap-tahap pembinaan persatuan bangsa Indonesia yang paling menonjol
adalah:
 Perasaan senasib
Perasaan senasib sebagai bangsa akan meningkatkan rasa persatuan seluruh
rakyat Indonesia. Perasaan senasib karena faktor keterikatan terhadap
tempat kelahiran atau menghadapi masalah tertentu. Dalam kurun sejarah,
bangsa Indonesia pernah menjadi bangsa terjajah. Kondisi ini mendorong
perasaan senasib bagi bangsa Indonesia.
 Kebangkitan nasional
Kebangkitan nasional adalah sesi pergerakan perjuangan bangsa Indonesia
yang mulai menyadari kondisi dan potensi sebagai suatu bangsa. Kebangkitan
nasional Indonesia dipelopori kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada 1908.
Ciri kebangkitan nasional adalah perjuangan bangsa Indonesia lebih diwarnai
perjuangan untuk kepentingan nasional bukan hanya kepentingan daerah.
 Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda merupakan penegas bagi bangsa Indonesia untuk
mewujudkan sebuah negara yang memiliki identitas dan dicintai rakyatnya.
 Proklamasi Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 merupakan titik puncak
perjuangan rakyat Indonesia. Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan dan
pengesahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
konsensus atau kesepakatan bangsa Indonesia. Bahwa pengaturan kehidupan
berbangsa dan bernegara dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945. Disepakati
mengenai bentuk negara, yaitu negara kesatuan Republik Indonesia dan
masyarakatnya berada dalam satu bangsa. Terdiri atas berbagai suku, ras,
etnis, budaya, agama dan norma-norma kehidupan yang mencerminkan
Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila dan UUD 1945 merupakan konsensus
nasional menjadi panduan penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarah sampai saat ini.

Semangat Pemuda merupakan faktor yang sangat penting bagi persatuan dan
kesataun Bangsa serta sangat vital dalam perjuangan kebangkitan dan kejayaan
Indonesia sampai saat ini. Tetapi disisi lain, lemahnya semangat pemuda dalam
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 juga terlihat.
Menurut Kementerian Pemuda dan Olahraga, RI kemunduran jiwa dan
semangat kebangsaan pada generasi pemuda karena:
1. Masih maraknya tingkat kekerasan di kalangan pemuda.
2. Adanya kecenderungan sikap ketidakjujuran yang makin membudaya.
3. Berkembangnya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan pemimpin.
4. Sikap rasa curiga dan kebencian satu sama lain.
5. Penggunaan bahasa Indonesia makin memburuk.
6. Berkembangnya perilaku menyimpang di kalangan pemuda (narkoba,
pornografi, pornoaksi dan lain-lain).
7. Kecenderungan mengadopsi nilai-nilai budaya asing.
8. Melemahnya idealisme, patriotisme serta mengendapnya semangat
kebangsaan.
9. Meningkatnya sikap pragmatisme dan hedonisme.
10. Makin kabur pedoman yang berlaku dan sikap acuh tak acuh terhadap
pedoman ajaran agama.
B. Peran Agama Islam dalam mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Agama memberikan penerangan kepada manusia dalam hidup bersama
termasuk dalam bidang politik atau bernegara. Penerangan itu antara lain :dalam
bidang politik atau bernegara:
1. Perintah untuk Bersatu
Islam melalui Al-Qur’an menganjurkan agar antar kelompok, antar
golongan maupun antar partai mau melakukan ta’aruf (perkenalan). Allah
berfirman:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat:13)

Ayat ini sekaligus menjelaskan paham persamaan (egalitarianisme) untuk


semua manusia atau lintas batas: ras, agama, bahasa, dan adat istiadat. Allah
menegaskan tinggi rendahnya derajat seseorang hanya ditentukan oleh
taqwa. Allah pun tidak menentukan tinggi atau rendahnya ketaqwaan
seseorang. Hanya Allah saja yang mengetahui karena Dia-lah yang menentukan
batas-batas itu. Pemahaman tentang Surah Al-Hujurat ayat 13 ini menunjukkan
bahwa manusia diciptakan bersuku-suku. Ini berarti berbagai suku, berbagai
golongan, berbagai kelompok, termasuk di dalamnya kelompok politik atau
yang lainnya supaya tetap bersatu. Pengikat persatuan adalah taqwa.
Karakter taqwa antara lain menjalankan perintah Allah sejauh yang
diketahuinya dan menjauhi larangannya. Jika umat tersebut taqwa maka ia akan
menjaga persatuan dan kesatuan pula dengan orang lain.
2. Larangan untuk Saling Curiga
Islam melarang kepada semua orang baik dalam kapasitasnya
sebagai individu, sebagai kelompok sosial, maupun kelompok yang lain termasuk
kelompok politik untuk saling curiga, saling melecehkan atau sejenisnya. Allah
berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka


(kecurigaan) karena sebagian dari purba sangka itu dosa. Dan
janganlah mencari keburukan seseorang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.” (Q.S Al-
Hujurat:12)

Dengan demikian terhadap orang lain haruslah saling mengembangkan


husnuzhan. Jika semua orang menanamkan husnuzhan di dalam dirinya maka
akan mempererat hubungan mereka. Kecurigaan dan pelecehan terhadap
kelompok lainnya hanya akan menghasilkan ketegangan antar individu maupun
antar kelompok karena kelompokyang dicurigai akan tersinggung sebagai
dirinya individu atau atas nama kelompok. Akan timbul perasaan saling
mencurigai diantara mereka. Sebagai bangsa akan menjadi lemah jika elemen-
elemen di dalamnya saling bercerai dan bertikai. Itulah mengapa Allah
melarang umat yang saling bercerai berai. Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk.(Q.S. Ali-Imran: 103)

Perintah untuk bersatu dan larangan untuk bercerai berai disertai juga
dengan Al-wadu’ wa Al-wa’id (janji dan ancaman). Sudah pasti janji dan
ancaman Allah akan terjadi. Rasulullah dibebaskan dari tanggung jawab
terhadap umatnya yang bercerai berai. Demikian firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah Agama-Nya dan


mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu
kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada
Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang
telah kamu perbuat.” (Q.S Al- An’am : 159)

Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah yang mengurus orang-orang yang
memecah-mecah dari keutuhan sebagai suatu umat, dan Allah pula yang
akan membalas kelakuan mereka yaitu siksaan yang pedih.
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai
danberselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.
Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksaan yang amat berat.”
(Q.S Ali-Imran : 105)
Sebaliknya, orang-orang yang tetap istiqamah dalam kesatuan umat,
mereka itulah sebagai orang yang mempererat petunjuk ilahi dan dapat
merasakan kenikmatan bersaudara.

Selain itu, peranan agama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan


dapat dilakukan dengan cara:
a. Memantapkan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan
moral,spiritual dan etika dalam penyelenggaraan negara serta
mengupayakan agarsegala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan
dengan moral agama.
b. Meningkatkan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem
pendidikan agama sehingga lebih terpadu dan integral sehingga sistem
pendidikan nasional dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang
memadai.
c. Meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama
sehingga tercipta suasana yang harmonis dan saling menghormati dalam
semangat kemajemukan melalui dialog antar umat beragama dan pelaksanaan
pendidikan beragam secara deskriptif yang tidak dogmatis untuk tingkat
Perguruan Tinggi.
d. Meningkatkan kemudahan umat beragama dalam menjalankan ibadahnya,
termasuk penyempurnaan kualitas pelaksanaan ibadah haji dan pengelolaan
zakat dengan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan.
e. Meningkatkan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan dalam ikut
mengatasi dampak perubahan yang terjadi dalam semua aspek kehidupan untuk
memperkokoh jati diri dan kepribadian bangsa serta memperkuat
kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Secara naluriah manusia tidak dapat hidup secara individual. Sifat sosial
pada hakikatnya adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT. agar manusia
dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Dalam faktanya manusia memiliki
banyak perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya. Di samping tentunya
sejumlah perasaan. Perbedaan tersebut kalau tidak dikelola dengan baik tentu
akan menimbulkan konflik dan perpecahan dalam kehidupan masyarakat. Dari
kenyataan tersebut perlu dicari sebuah cara untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan. Pendekatan terbaik untuk melakukan hal tersebut adalah melalui
agama. Secara normatif Agama Islam lebih khusus Al-Quran banyak memberi
tuntutan dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan
bermasyarakan dan berbangsa.
Beberapa prinsip yang diajarkan Al-Quran untuk tujuan tersebut antara lain:
 Prinsip Persatuan dan Persaudaraan
 Prinsip Persamaan
 Prinsip Kebebasan
 Prinsip Tolong Menolong
 Prinsip Perdamaian
 Prinsip Musyawarah

Agama dapat membantu persatuan bangsa jika:


1. Umat berbagai agama mempunyai komitmen bersama pada persatuan
bangsa dengan pemahaman yang sama (common) tentang konsep dan
wawasan kebangsaan Indonesia dengan segala implikasinya.
2. Jika umat berbagai agama mempunyai komitmen bersama pada cita-
cita keadilan dan kesejahteraan. Kita bersama-sama berjuang menegakkan
keadilan dan menciptakan kesejahteraan umum sebagai perwujudan
cinta kasih dan pengabdian kepada sesama. Pada gilirannya, hal itu
merupakan penjabaran iman, cinta kasih, dan pengabdian kepada Tuhan,
sekalipun melalui agama yang berbeda-beda.
3. Jika umat berbagai agama dapat mengembangkan pemahaman
bersama tentang kedudukan agama dalam negara Pancasila. Ini
meliputi pengertian tentang UUD 1945, terutama ideologi Pancasila,
sebagai sumber hukum, dan tentang kebebasan beragama serta
implementasinya secara konsisten.
4. Mengembangkan kebersamaan dalam pengertian-pengertian itu dengan
segala implikasinya yang luas merupakan masalah yang kompleks. Hal
itu akan memerlukan proses dialog terus-menerus, dengan kejujuran,
keterbukaan, ketekunan, kesabaran, dan kehendak baik semua golongan
agama.

Anda mungkin juga menyukai