Anda di halaman 1dari 24

PERTEMUAN 4

Soal

1. Menjelaskan arti agama ditinjau dari sudut Etimologi, Fungsional dan


Substansial.
2. Mengemukakan pengertian agama ditinjau dari sudut Sosiologi, Antropologi,
Psikologi dan Teologi.
3. Mengemukakan ciri-ciri umum dan khusus dari agama.
4. Mengemukakan aspek-aspek positif dan negative dari pengaruh agama.
5. Menjelaskan fungsi agama pada umumnya.

Jwb

1. Pengertian Agama Secara Etimologi

Pengertian agama secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa sangsekerta, yang berasal dari akar kata gam
artinya pergi, kemudian dari kata gam tersebutmendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama
artinya jalan. Maksudnya, jalan mencapai kebahagiaan.

Di samping itu terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa sangsekerta yang akar
katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, arti kata agama adalah tidak kacau atau
teratur.

Kata religi - religion dan religio, secara etimologi menurut winker paris dalam algemene encyclopaedie mungkin
sekali dari bahasa latin, yaitu dari kata religere atau religare yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa
setiap orang yang bereligi adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci.
Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati hati, maka dimaksudkanbahwa orang yang bereligi
itu adalah orang yang senantiasa bersikap hati hati dengan sesuatu yang dianggap suci.

Dari etimologis ketiga kata di atas maka dapat diambil pengertian bahwa agama (religi, din): (1)
merupakan jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram
dan sejahtera; (2) bahwa jalan hidup tersebut berupa aturan, nilai atau norma yang mengatur kehidupan manusia
yang dianggap sebagai kekuatan mutlak, gaib dan suci yang harus diikuti dan ditaati. (3) aturan tersebut ada,
tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya kehidupan manusia, masyarakat dan
budaya

Pengertian Agama Secara Fungsional

Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif
dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
A. Fungsi integratif Agama

Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan
suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban
sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem
kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya
konsensus dalam masyarakat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep sakral yang melingkupi nilai-
nilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat.

Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. ODea mengungkapkan bahwa agama memiliki
fungsi dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak
terjangkau oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal
diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia. Lebih jauh, dengan
mendasarkan pada dua hal diatas, ia mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut:

a. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia yang melibatkan
takdir dan kesejahteraan, agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu manusia dalam
menghadapi ketidakpastian.

b. Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara peribadatan, karenanya
agama memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat ditengah kondisi
ketidakpastian dan ketidakmungkinan yang dihadapi manusia

c. Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi
tujuan kelompok diatas kepentingan individu dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Denagn
demikian agama berfungsi untuk membantu pengendalian sosial, melegitimasi alokasi pola-pola masyarakat
sehingga membantu ketertiban dan stabilitas.

d. Agama juga melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya, yaitu memberikan standar nilai
dalam arti dimana norma-norma yang sudah terlembaga bisa dikaji kembali secara kritis sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, terutama agama yang menitikberatkan pada transendensi Tuhan dan pada masyarakat
yang mapan.

e. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peranserta manusia dalam ritual agama dan
doa, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya. Dalam periode perubahan dan
mobilitas sosial yang berlangsung cepat, sumbangan agama terhadap identitas menjadi semakin tinggi. Salah
satu contoh tentang hal ini dikemukakan oleh Will Herberg melalui studinya tentang sosiologi agama Amerika di
tahun 1950-an, dimana salah satu cara penting dimana orang Amerika membentuk identitasnya adalah dengan
menjadi salah satu anggota dari tiga agama demokrasi, yaitu: Protestan, katholik, dan Yahudi.
f. Agama juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan individu, serta perjalanan hidup melalui
tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.

Dari keenam fungsi yang dijalankan oleh agama diatas, nampak bahwa agama memiliki peran yang urgen
tidak hanya bagi individu tetapi sekaligus bagi masyarakat. Bagi individu, agamaberperan dalam
mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menghibur ketika dilanda kecewa, memperkuat moral, dan
menyediakan unsur-unsur identitas. Sedangkan bagi kehidupan bermasyarakat, agama berfungsi menguatkan
kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan
yang mapan, dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan.

B. Fungsi Disintegratif Agama

Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara
eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang
mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan
konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali
mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Pada bagian ini, pembicaraan tentang fungsi
disintegratif agama akan lebih memfokuskan perhatian pada beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber dari
agama.

Hendropuspito setidaknya mencatat empat bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu:

a. Perbedaan doktrin dan sikap mental

Dalam konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok agama yang berbeda,
bukan hanya sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta sejarah yang seringkali masih
terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih banyak disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang
kemudian diikuti oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah yang memiliki
kebenaran (claim of truth) sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna.

Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial yang berlatarbelakang agama,
terlebih pada umumnya klaim kebenaran diikuti oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka,
fanatisme, dan intoleransi. Sikap-sikap tersebut sedikit banyak telah menutup sisi rasional yang sebenarnya bisa
dikembangkan untuk membangun saling pengertian antar pemeluk agama. Seringkali sisi non-rasional dan
supra-rasional, yang memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk menolak
argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi akan eksistensi sikap-sikap
tersebut.

b. Perbedaan suku dan ras pemeluk agama

Meskipun tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam mempersatukan
orang-orang yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak bisa membantah bahwa seringkali
perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk
memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan semakin mempertegas
konflik tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari fakta sejarah bahwa bangsa kulit putih yang notabene beragama
Kristen merasa menjadi bangsa pilihan yang ditugaskan untuk mempersatukan kerajaan Allah di dunia dengan
menaklukkan bangsa lain yang non-Kristen.

c. Perbedaan tingkat kebudayaan

Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi pembudayaan manusia khususnya,
dan alam semesta pada umumnya. Peter Berger menjelaskan fenomena ini dengan menegaskan bahwa agama
merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu jagad raya ditegakkan. Dengan kata lain, agama adalah upaya
menciptakan alam semesta dengan cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan peran
dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam semesta maka munculnya ketegangan
yang disebabkan karena perbedaan tingkat kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari peran agama dalam
menyediakan nilai-nilai yang disatu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran bagi perkembangan budaya dan
disisi lain justru menghambat dan mengekang pemikiran tersebut.

Dengan demikian, bagaimana pemeluk suatu agama dalam memahami serta menafsirkan ajaran-ajaran
agamanya akan sangat menentukan kemajuan atau kemunduran masyarakat pemeluknya dalam menghadapi
fenomena kehidupan sosial yang berubah dengan sangat cepat. Salah satu kajian fenomenal terhadap fenomena
ini adalah apa yang diungkapkan secara panjang lebar oleh Max Weber tentang pengaruh protestantisme dalam
mendorong munculnya kapitalisme.

d. Masalah mayoritas dan minoritas kelompok agama

Dalam suatu masyarakat yang plural, masalah mayoritas dan minoritas seringkali menjadi faktor penyebab
munculnya konflik sosial. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat fenomena konflik
mayoritas-minoritas, yaitu: (1) agama diubah menjadi suatu ideologi; (2) prasangka mayoritas terhadap minoritas
atau sebaliknya; (3) mitos dari mayoritas.

Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok agama yang mayoritas seringkali mengembangkan
suatu bentuk ideologi yang bercampur dengan mitos yang penuh emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana
kepentingan politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan suatu keyakinan bahwa kelompok
mayoritas inilah yang memiliki wewenang untuk menjalankan segala aspek kehidupan di masyarakat. Kondisi
seperti inilah yang pada akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan sewenang-wenang terhadap
kelompok minoritas yang akan bermuara pada timbulnya konflik sosial.

Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada permasalahan keagamaan diatas, kita bisa melihat
bahwa betapa besar potensi konflik yang terkandung pada masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, sudah
selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama memperoleh perhatian serius, termasuk dari kalangan
peneliti sosial keagamaan dalam memberikan gambaran yang lebih detail dan komprehensif tentang fenomena
keagamaan dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai dengan permasalahan keagamaan yang
dihadapi. Ketepatan memilih perspektif tentu saja akan mampu menghadirkan gambaran riil dari permasalahan
yang ada sehingga harapan untuk memunculkan berbagai soslusi alternative bagi pemecahan masalah tersebut
bisa lebih optimal.

Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas setidaknya telah menunjukkan kepada kita bahwa
fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya
mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Oleh karena itu, disiplin ilmu sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif
utama dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu pentingnya posisi disiplin ilmu
sosiologi untuk mengungkapkan berbagai fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman yang
komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak
hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada.

Pengertian Agama Secara Substansial

Dari sudut pandang ini agama diartikan sebagai ketersangkutan/keterikatan kepada suatu kuasa yang lain.

2. > Sudut pandang Agama dalam Antropologi : dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini
agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berupaya menjelaskan dan memberikan jawabanya. Dengan kata lain bahwacara-cara yang
digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula
untuk memahami agama.

> Sudut pandang Agama dalam Sosiologi : Jika berbicara mengenai definisi sosiologi agama, maka ada
beberapa hal lain yang tidak lupa kami singgung dalam pembahasan ini, di antaranya adalah mengenai pengertian
sosiologi, agama,. Sosiologi secara umum adalah ilmu pengetauan yang mempelajari masyarakat secara empiris
untuk mencapai hokum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.

Sosiologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku social ditinjau dari kecenderungan individu dengan
individu lain, dengan memperhatikan symbol-simbol interaksi. Agama dalam arti sempit ialah seperangkat
kepercayaan, dogma, pereturan etika, praktek penyembahan, amal ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu.
Dalam arti luas, agama adalah suatu kepercayaan atau seperangkat nilai yang minmbulkan ketaatan pada seseorang
atau kelompok tertentu kepada sesuatu yang mereka kagumi, cita-citakan dan hargai.

Adapun kalau kedua istilah sosiologi dan agama digabungkan maka memiliki beberapa definisi berikut:

- Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat atau
perbedaan masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan
agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan yang berbeda.
- Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi
agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.

- Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna
mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat
luas pada umumnya.

Sosiologi agama menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak munculnya karya Weber dan Durkheim. Jika tugas dari
sosiologi umum adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi
agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya. Masyarakat
agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsure konstitutif
utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.

Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari segi supra-natural, maka sosiologi agama
mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena agama itu adalah
dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas
eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi
pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan;
mewarnai dasar-dasar haluan Negara; memainkan peranan dalam munculnya strata (lapisan) sosial; seberapa jauh
agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, fanatisme dan lain sebagainya.

Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian pada:

1). Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan
hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya.

2). Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan
dan perilaku ritual.

3). Konflik antar kelompok, misalnya Katolik lawan Protestan, Kristen dengan Islam dan sebagainya.

Bagi sosiologi, kepercayaan hanyalah salah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiannya. Bila
dikatakan bahwa yang menjadi sasaran sosiologi agama adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang dimaksud
bukanlah agama sebagai suatu sistem (dogma dan moral), tetapi agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial
yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh banyak orang.

Menurut pandangan sosiologi, agama yang terwujud dalam kehidupan masyarakat adalah fakta social. Sebagaimana
suatu fakta social, agama dipelajari oleh sosiolog dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin ilmu yang
dipergunakan oleh sosiolog dalam mempelajari masyarakat beragama itu disebut sosiologi agama. Sosiologi agama
adalah suatu cabang ilmu yang otonomi muncul setelah akhir abad ke-19. Pada prinsipnya, ilmu ini sama dengan
sosiologi umum, yang membedakannya adalah objek materinya.

Seorang ahli sosiologi agama Indonesia Hendropuspito mengatakan bahwa sosiologi agama ialah suatu cabang dari
sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan
ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya. Dari definisi
sosiologi agama diatas dapat disimpulkan bahwa sosiologi agama sama dengan sosiologi pada umumnya yaitu
sama-sama mempelajari masyarakat agama dengan pendekatan ilmu social bukan teologis. Tetapi tidak semua
pernyataan dalam definisi tersebut dapat kita setujui, terutama dalam pernyataan bahwa sosiologi agama untuk
kepentingan masyarakat agama atau masyarakat umumnya.

Dalam berbagai literatur defisi diatas atau definisi sosiologi agama hamper tidak ada perbedaan yang sangat berarti.
Namun demikian dikemukakan berbagai pengertian sosiologi agama menurut beberapa ahli sosiologi.J.Wach
merumuskan sosiologi agama secara luas sebagai suatu study tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta
bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Sedangkan menurut H.Goddijn-W.Goddijn, sosiologi agama ialah
bagian dari sosiologi umum yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profane, dan positif yang menuju kepada
pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur , fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok
keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan.

Dari definisi-definisi tersebut diatas kiranya sudah cukup jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa sosiologi
agama pada hakikatnya adalah cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama (religious society)
secara sosiologis untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi untuk masyarakat agama itu sendiri
dan umat atau masyarakat pada umumnya.

Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan oleh suatu masyarakat
kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan
berbagai aspek budaya yang bukan agama. Para ahli memandang bahwa agama adalah suatu pengertian yang luas
dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut pandang individu.

>Sudut pandang Agama dalam Psikologi : merupakan salah satu kajian empiris umat beragama.Artinya, dasar-
dasar keyakinan dan pemahaman seseorang dapat diteliti secara empiris melalui tingkah laku seseorang dari
pemahamannya terhadap agama yang diyakininya. Dalam konsep psikodiagnostik, perilaku beragama seseorang
dipahami melalui penafsiran terhadap tanda-tanda tingkah laku, cara berjalan, langkah, gerak isyarat, sikap,
penampilan wajah, suara dan seterusnya (lihat Hamdani, 2002: 129).
Kalaupun agama secara khusus tidak dapat dikaji secara empiris, akan tetapi pemahaman keagamaan seseorang yang
berwujud dalam bentuk tingkah laku dapat diteliti. Yakni sejauh mana kapasitas seseorang dalam menyakini suatu
agama.Sebab adakalanya seseorang yang mengaku dirinya beriman, namun dalam tingkahlakunya tidak
mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya.Demikian pula sebaliknya, seseorang yang dianggap tidak
beriman (dalam artian normatif) namun segala tingkah lakunya mencerminkan suatu nilai keagamaan tertentu.
Untuk itu dengan kajian empiris yang dilakukan oleh psikologi agama akan dapat diketahui kadar kualitas keimanan
seseorang.
Sebab tanpa disadari oleh berbagai kalangan bahwa munculnya kesadaran beragama, pengalaman keagamaan dan
gejolak hati seseorang sangat berkaitan dengan psikologi.Sehingga tidak memiliki dasar yang kuat jika seseorang
menolak adanya kajian empiris yang dilakukan ahli psikologi agama.Karena penelitian yang dilakukan ahli
psikologi agama hanya sebatas pada pengalaman dan kesadaran seseorang dalam memahami keyakinan agamanya,
dan tidak mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau norma-norma terbaik dari agama tertentu.
Berdasarkan pendapat di atas, maka penelitian psikologi merujuk pada suatu sistem dari berbagai metode penelitian
yang diarahkan pada pemahaman terhadap apa yang telah diperbuat, yang telah dipikirkan dan dirasakan oleh
manusia. Sebab pijakan kepribadian manusia berdasarkan pada apa yang telah dipikirkan, dirasakan dan yang telah
diperbuat olehnya. Sehingga Robert H. Thouless mengatakan, bahwa seorang peneliti psikologi tertentu dapat
mempergunakan salah satu bentuk behaviorisme teoritik di mana ia menganggap bahwa perolehan mengenai tingkah
laku manusia sebagai proses mekanik yang ditentukan oleh suatu prinsip yang menyatakan bahwa tingkah laku
terpuji cenderung untuk diulangi.
Pada dasarnya psikologi agama tidak membahas tentang iman dan kufur, surga dan neraka, serta hari kiamat dan
sebagainya, juga tidak membahas mengenai definisi dan makna agama secara umum. Namun psikologi agama
secara khusus mengkaji tentang proses kejiwaan seseorang terhadap tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari.
Untuk itu dalam psikologi agama dikenal adanya istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman
agama (religious experience).
Menurut Zakiah Darajat kesadaran agama itu adalah bagian atau hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui
introspeksi atau disebut juga dengan aspek mental dan aktivitas agama.Sedangkan yang dimaksud pengalaman
agama adalah unsur perasaan dan kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang
dihasilkan oleh tindakannya.
Dengan demikian psikologi agama tidak terlibat dalam memberikan penilaian benar atau salahnya suatu agama,
yakni tidak mencampuri dan membahas keyakinan agama-agama tertentu. Untuk itu psikologi agama mengkaji dan
meneliti proses keberagamaan seseorang, perasaan atau kesadaran beragamanya dalam pola tingkah laku kehidupan
sehari-hari. Sehingga dapat ditemukan sejauh mana pengaruh agama dan keyakinan tertentu pada dirinya.Dan yang
terpenting adalah bagaimana kelakuan atau tindakan keagamaan yang telah diyakininya. Dengan kata lain
bagaimana pengaruh keberagamaan seseorang terhadap proses dan kehidupan yang berkaitan dengan keadaan
jiwanya, sehingga terlihat dalam sikap dan tingkah laku secara fisik dan sikap atau tingkah laku secara bathini yang
mana dapat diketahui cara berpikir, merasa atau emosinya.
Aristoteles, menggambarkan jiwa sebagai potret badan. Menurut al Farabi, makna jiwa merupakan kesempurnaan
awal bagi fisik adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Sebab
jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah dan bukan bagi fisik buatan. Al-Kindi berpendapat, jiwa
akan tetap kekal setelah kematian. Ia pindah ke alam kebenaran yang di dalamnya terdapat nur Sang Pencipta.
Pentingnya kajian jiwa tersebut, sehingga Ibnu Miskawaih mengatakan, penyebab senang tidak hidup seseorang
dipengaruhi oleh jiwa. Jika jiwa seseorang baik, mulia dan senang maka ia harus bergaul dengan orang-orang yang
baik (M Utsman Najati, 2002).
Dari penjelasan diatas, ruang lingkup obyek kajian psikologi agama menurut Zakiah Darajat (dalam Hamdani, 2007:
27-28) meliputi kajian :
1. Bermacam-macam emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa
(umum), seperti rasa lega dan tentram setelah selesai sholat, rasa lepas dari ketegangan batin sesuadah berdoa atau
membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berdzikir dan ingat kepada Allah ketika
mengalami kesedihan dan kekecewaan yang dialaminya.
2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual kepada Tuhannya, misalnya merasa tentram dan
kelegaan batin.
3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup setelah mati (akherat) pada
tiap-tiap orang.
4. Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga
dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam
kehidupan.
5. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci dan kelegaan
batinnya.
Dengan demikian psikologi agama adalah ilmu yang mempelajari dan meneliti tentang pengaruh dan peran
pengalaman agama terhadap eksistensi diri seseorang berupa sikap, perilaku, tindakan, penampilan yang muncul di
permukaan aktifitas kehidupan secara nyata.

Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki obyek kajian tersendiri dari disiplin ilmu yang
mempelajari masalah agama lainnya.Sebagai contoh, dalam tujuannya, psikologi agama seperti diungkapkan Robert
H. Thouless, memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat.Kajian
berpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan menggunakan pendekatan psikologi

>Sudut Pandang Agama dalam Teologi : Dalam perspektif teologi agama dipandang sebagai sesuatu yang dimulai
dari atas (dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Manusia beragama karena Tuhan yang menanamkan kesadaran
ini. Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia melalui berbagai penyataan, baik yang dikenal sebagai
penyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk dsb. maupun
penyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui firman-Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi-nabi,
bahkan melalui inkarnasi menjadi manusia dalam dogma Kristen.

Penyataan-penyataan Tuhan ini menjadi dasar untuk kehidupan beriman dan beragama umat manusia. Melalui
wahyu yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia tahu cara beribadah; memuji dan
mengagungkan Tuhan. Misalnya, bangsa Israel sebagai bangsa beragama dan menyembah hanya satu Tuhan
(monoteisme) adalah suatu bangsa yang mengimani bahwa Tuhan menyatakan diri terlebih dulu dalam kehidupan
mereka. Dalam Perjanjian Lama Tuhan memanggil nabi Nuh kemudian Abraham dan keturunan-keturunannya.
Sehingga mereka dapat membentuk suatu bangsa yang beriman dan beribadah kepada-Nya. Tuhan juga memberi
petunjuk mengenai bagaimana harus menyembah dan beribadah kepada Tuhan. Kita dapat melihat dalam kitab
Imamat misalnya. Semua hal ini dapat terjadi karena Tuhan yang memulainya. Dan tanpa inisiatif dari atas (dari
Tuhan) manusia tidak dapat beriman, beribadah dan beragama.

Contoh lain, terjadi juga dalam agama Islam. Tuhan menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad. Melalui wahyu
yang diterimanya, Muhammad mengajarkan dan menekankan monoteisme di tengah politeisme yang terjadi di Arab.
Umat dituntun menyembah hanya kepada Dia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Melalui wahyu yang diterimanya,
Muhammad memiliki keyakinan untuk menobatkan orang-orang Arab yang menyembah banyak tuhan/dewa. Dan
melalui wahyu yang diturunkan Tuhan juga, Muhammad mampu membentuk suatu umat yang beragama, beribadah
dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dapat disimpulkan bahwa agama dalam perspektif teologi tidak terjadi atas prakarsa manusia, tetapi atas dasar
wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi makhluk religius yang
beriman dan beribadah kepada Tuhan. Jadi berbicara soal agama dalam perspektif teologi harus dimulai dengan
wahyu Allah atau penyataan yang Allah berikan kepada manusia.

3. CIRI-CIRI UMUM AGAMA Berdasarkan semuanya itu, hal-hal yang patut diperhatikan untuk
memahami agama,antara lain

1. Pada setiap agama mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau Sesuatu Yang Ilahi dan disembah. Ia
bisa disebut TUHAN, Allah, God, Dewa, El, Ilah, El-ilah, Lamatuak, Debata, Gusti Pangeran, Deo, Theos
atau penyebutan lain sesuai dengan konteks dan bahasa masyarakat [bahasa-bahasa rakyat] yang
menyembah-Nya. Penyebutan tersebut dilakukan karena manusia percaya bahwa Ia yang
disembah adalah Pribadi yang benar-benar ada; kemudian diikuti memberi hormat dan setia kepada-Nya.
Jadi, jika ada ratusan komunitas bangsa, suku, dan sub-suku di dunia dengan bahasanya masing-masing,
maka nama Ilahi yang mereka sembah pun berbeda satu sama lain. Nama yang berbeda itu pun, biasanya
diikuti dengan pencitraan atau penggambaran Yang Ilahi sesuai sikon berpikir manusia yang
menyembahnya. Dalam keterbatasan berpikirnya, manusia melakukan pencitraan dan penggambaran Ilahi
berupa patung, gambar, bahkan wilayah atau lokasi tertentu yang dipercayai sebagai tempat tinggalJadi,
kaum agama tidak bisa mengklaim bahwa mereka paling benar menyebut Ilahi yang disembah. Sehingga
nama-nama lain di luarnya adalah bukan Ilahi yang patut disembah dan dipercayai atau diimani.

2. Pada setiap agama ada keterikatan kuat antara yang menyembah [manusia] danyang disembah atau Ilahi.
Ikatan itu menjadikan yang menyembah (manusia, umat) mempunyai keyakinan tentang keberadaan Ilahi.
Keyakinan itu dibuktikan dengan berbagai tindakan nyata [misalnya, doa, ibadah, amal, perbuatan baik,
moral, dan lain-lain] bahwa ia adalah umat sang Ilahi. Hal itu berlanjut, umat membuktikan bahwa ia atau
mereka beragama dengan cara menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Ia harus melakukan doa-doa; mampu
menaikkan puji-pujian kepada TUHAN yang ia sembah; bersedia melakukan tindakan-tindakan yang
menunjukkan perhatian kepada orang lain dengan cara berbuat baik, sedekah, dan lain sebagainya.

3. Pada umumnya, setiap agama ada sumber ajaran utama (yang tertulis maupun tidak tidak tertulis). Ajaran-
ajaran tersebut antara lain: siapa Sang Ilahi yang disembah umat beragama; dunia; manusia; hidup setelah
kematian; hubungan antar manusia; kutuk dan berkat; hidup dan kehidupan moral serta hal-hal [dan
peraturan-peraturan] etis untuk para penganutnya. Melalui ajaran-ajaran tersebut manusia atau umat
beragama mengenal Ilahi sesuai dengan sikonnya sehari-hari; sekaligus mempunyai hubungan yang baik
dengan sesama serta lingkungan hidup dan kehidupannya.

4. Ajaran-ajaran agama dan keagamaan tersebut, pada awalnya hanya merupakan uraian atau kalimat-kalimat
singkat yang ada pada Kitab Suci. Dalam perkembangan kemudian, para pemimpin agama
mengembangkannya menjadi suatu sistem ajaran, yang bisa saja menjadi suatu kerumitan untuk umatnya;
dan bukan membawa kemudahan agar umat mudah menyembah Ilahi.

5. Secara tradisionil, umumnya, pada setiap agama mempunyai ciri-ciri spesifik ataupun berbeda dengan yang
lain. Misalnya,

pada setiap agama ada pendiri utama atau pembawa ajaran; Ia bisa saja disebut sebagai nabi atau rasul,
guru, ataupun juruselamat

agama harus mempunyai umat atau pemeluk, yaitu manusia; artinya harus ada manusia yang menganut,
mengembangkan, menyebarkan agama

agama juga mempunyai sumber ajaran, terutama yang tertulis, dan sering disebut Kitab Suci; bahasa Kitab
Suci biasanya sesuai bahasa asal sang pendiri atau pembawa utama agama

agama harus mempunyai waktu tertentu agar umatnya melaksanakan ibadah bersama, ternasuk hari-hari
raya keagamaan

agama perlu mempunyai lokasi atau tempat yang khusus untuk melakukan ibadah; lokasi ini bisa di puncak
gunung, lembah, gedung, dan seterusnya

4. Aspek Positif : Agama berguna bagi kehidupan pribadi, masyarakat,


bangsa dan Negara.

: Agama juga dapat menjadi alat yang mempersatukan


masyarakat dalam satu kesatuan social, politik, dan
budaya.

Aspek Negatif : Agama dapa menjadi penyebab penyakit social yang


menghancurkan kehidupan pribadi maupun social masyarakat.

: Agama dapat pula menjadi penyebab timbulnya perpecahan


dalam masyarakat, sikap apatis.

5. pada umumnya agama berfungsi sebagai : membawa umatnya mengenal


penciptanya.
: menyadarkan umat agar melaksanakan
kehendak ciptaan itu

: membimbing umat kejalan yg benar


dan lurus.

: menyadarkan umat agar


memperjuangkan persatuan masyarakat
dan mengupayakan harmonisasi seluruh
masyarakat yg beranekaragam suku,
bahasa, serta budayanya.

Halaman 41 no 13 dan 14

13.Positif > berguna bagi kehidupan pribadi, masyarakm, bangsa dan Negara.

> menjadi alat yg mempersatukan masyarakat.

Negative > dapat menjadi penyebab penyakit social

>dapat menjadi penyebab timbulnya perpecahan dalam masyarakat, sikap


apatis.

14. Peranan dan perilaku dalam mencipatkan keharmonisan, Umat Beragama dan Lembaga Kerukunan yang
meliputi pemeliharaan kedamaian, rukun dalam masyarakat, taat hukum dan perundang-undangan, serta pelayanan
kepada umat dilakukan oleh Lembaga keumatan selaku partner negara bersama seluruh masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Kedamaian, Keharmonisan, Kenyamanan hidup merupakan prasyarat umum karena dibutuhkan oleh masyarakat,
bangsa dan negara demi ketentraman dan kesejahteraannya. Bangsa Indonesia menghendaki dengan
kemerdekaannya itu menuju :

Membentuk Negara Indonesia yang melindungi bangsa dan tanah air

Menyelenggarakan masyarakat yang Adil dan Makmur (pendekatan kesejahteraan)

Ikut dalam ketertiban dan perdamaian dunia (pendekatan ketertiban dunia).

Untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi bangsa dan tanah air, maka negara di
dalam UUD 1945 pasal 29 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Dalam hal ini Dharma Negara dan Dharma Agama
untuk membangun kerukunan umat beragama melalui legalitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Nation and
Character Building).

Sedangkan peranan dan perilaku yang merusak, Persamaan Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama. Tidak
tidak Jult dibantah bahwa, pada akhir-akhir ini, ketidakerukunan antar dan antara umat beragama [yang terpicu
karena bangkitnya fanatisme keagamaan] menghasilkan berbagai ketidakharmonisan di tengah-tengah hidup dan
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh sebab itu, perlu orang-orang yang menunjukkan diri
sebagai manusia beriman [dan beragama] dengan taat, namun berwawasan terbuka, toleran, rukun dengan mereka
yang berbeda agama. Disinilah letak salah satu peran umat beragama dalam rangka hubungan antar umat beragama,
yaitu mampu beriman dengan setia dan sungguh-sungguh, sekaligus tidak menunjukkan Jultura agama dan
fanatisme keagamaan. Di balik aspek perkembangan agama-agama, ada hal yang penting pada agama yang tak
berubah, yaitu credo atau pengakuan iman. Credo merupakan sesuatu khas, dan mungkin tidak Jult dijelaskan
secara logika, karena menyangkut iman atau percaya kepada sesuatu di luar jangkauan kemampuan nalar manusia.
Dan seringkali credo tersebut menjadikan umat agama-agama melakukan pembedaan satu sama lain. Dari
pembedaan, karena berbagai sebab, Jult berkembang menjadi pemisahan, salah pengertian, beda persepsi, dan lain
sebagainya, kemudian berujung pada konflik.

Di samping itu, hal-hal lain seperti pembangunan tempat ibadah, ikon-ikon atau Jultura keagamaan, cara dan
suasana penyembahan atau ibadah, termasuk di dalamnya perayaan keagamaan, seringkali menjadi Jultur
ketidaknyamanan pada hubungan antar umat beragama. Jika semua bentuk pembedaan serta ketidaknyamanan itu
dipelihara dan dibiarkan oleh masing-masing tokoh dan umat beragama, maka akan merusak hubungan antar
manusia, kemudian merasuk ke berbagai aspek hidup dan kehidupan. Misalnya, masyarakat mudah terjerumus ke
dalam pertikaian berdasarkan agama [di samping perbedaan suku, ras dan golongan]. Untuk mencegah semuanya
itu, salah satu langkah yang penting dan harus terjadi adalah kerukunan umat beragama. Suatu bentuk kegiatan yang
harus dilakukan oleh semua pemimpin dan umat beragama.

Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang Jultur
kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya] secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan
kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga
Jult bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan
kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai
kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai Jultur,
serta cinta-kasih.

Di samping itu, harus terjadi kerukunan intern umat beragama.Hubungan tak harmonis intern umat beragama pun
Jult merusak atau berdampak masyarakat luas yang berbeda agama. Biasanya perbedaan tafsiran terhadap teks kitab
suci dan pemahaman teologis dalam agama-agama memunculkan konflik serta perpecahan pada umat seagama.
Konflik dan perpecahan yang melebar, Jult mengakibatkan rusaknya tatanan hubungan baik antar manusia, bahkan
mengganggu hidup dan kehidupan masyarakat luas. Kerukunan dapat dilakukan dengan cara tidak mengganggu
ketertiban umum; tidak memaksa seseorang pindah agama; tidak menyinggung perasaan keagamaan atau ajaran
agama dan iman orang yang berbeda agama; dan lain-lain

Kerukunan antara umat beragama dan kerukunan intern umat seagama harus juga seiring dengan kerukunan umat
beragama dengan pemerintah. Pemerintah adalah lembaga yang berfungsi memberlakukan kebaikan TUHAN Allah
kepada manusia; pemelihara ketertiban, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam
kenyataan kesehariannya, seringkali terlihat bahwa, pemerintah dengan politik akomodasinya, bukan bertindak
sebagai fasilitator kerukunan umat beragama, tetapi membela salah satu agama.
Delapan FaktorMengapa timbul ketidakharmonisan umat beragama

Terdapat delapan Jultur utama penyebab timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama ditilik
dari dampak kegiatan keagamaan antara lain :

1. Pendirian Tempat Ibadah. Tempat ibadah yang didirikan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan
umat beragama setempat sering menciptakan ketidak-harmonisan umat beragama yang dapat menimbulkan konflik
antar umat beragama.

2. Penyiaran Agama. Penyiaran agama, baik secara lisan, melalui media cetak seperti brosur, Jultural, selebaran
dsb, maupun media elektronika, serta media yang lain dapat menimbulkan kerawanan di bidang kerukunan hidup
umat beragama, lebih-lebih yang ditujukan kepada orang yang telah memeluk agama lain.

3. Bantuan Luar Negeri. Bantuan dari Luar negeri untuk pengembangan dan penyebaran suatu agama, baik yang
berupa bantuan materiil / JulturalJ ataupun bantuan tenaga ahli keagamaan, bila tidak mengikuti peraturan yang
ada, dapat menimbulkan ketidak-harmonisan dalam kerukunan hidup umat beragama, baik intern umat beragama
yang dibantu, maupun antar umat beragama.

4. Perkawinan beda Agama. Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, walaupun pada
mulanya bersifat pribadi dan konflik antar keluarga, sering mengganggu keharmonisan dan mengganggu kerukunan
hidup umat beragama, lebih-lebih apabila sampai kepada akibat Jultu dari perkawinan tersebut, atau terhadap harta
benda perkawinan, warisan, dsb.

5. Perayaan Hari Besarkeagamaan. Penyelenggaraan perayaan Hari Besar Keagamaan yang kurang
mempertimbangkan kondisi dan situasi serta lokasi dimana perayaan tersebut diselenggarakan dapat menyebabkan
timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama.

6. Penodaan Agama. Perbuatan yang bersifat melecehkan atau menodai agama dan keyakinan suatu agama tertentu
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang
kerukunan hidup umat beragama.

7. Kegiatan Aliran Sempalan. Kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang
didasarkan pada keyakinan terhadap suatu agama tertentu secara menyimpang dari ajaran agama yang bersangkutan
dapat menimbulkan keresahan terhadap kehidupan beragama, sehingga dapat pula menyebabkan timbulnya
kerawanan di bidang kerukunan hidup beragama.

8. Aspek Non Agama yang mempengaruhi. Aspek-aspek non agama yang dapat mempengaruhi kerukunan hidup
umat beragama antara lain : kepadatan penduduk, kesenjangan Jultur ekonomi, pelaksanaan pendidikan,
penyusupan Jultural dan politik berhaluan keras yang berskala regional maupun internasional, yang masuk ke
Indonesia melalui kegiatan keagamaan.
Di tingkat budaya Jultu masih terdapat isu-isu yang cenderung provokatif yang terkadang berpengaruh pada
sebagian masyarakat sehingga dapat menimbulkan sikap saling curiga. Sementara itu, sikap memandang atau
menilai agama orang lain berdasarkan Jultural keyakinan agamanya sendiri, selain tidak menghargai keyakinan
orang lain, juga dapat memicu munculnya rasa kurang senang atau bahkan JulturalJ antar kelompok agama.

Pemberitaan pers kadang juga dipandang oleh sebagian masyarakat masih mengeksploitasi permasalahan antar
kelompok tanpa mempertimbangankan dampak yang ditimbulkannya pada segi-segi keamanan dan keharmonisan
hubungan antar kelompok masyarakat.
Kebijakan Pemerintah yang dirasakan oleh sebagian masyarakat kurang mencerminkan keadilan dan lemahnya
penegakan Jultu berpotensi terhadap timbulnya ketidak harmonisan hubungan antar kelompok Jultur dan umat
beragama, maupun hubungan antar umat beragama dengan pemerintah. Ketidak adilan dan kesenjangan Jultur,
ekonomi, Jultu dan politik sering menimbulkan dan mempermudah elemen luar masuk sehingga dapat memicu
terjadinya konflik antar kelompok dalam masyarakat. Perebutan lahan antar pendatang dan penduduk yang menetap
lebih dulu merupakan potensi yang dapat berkembang menjadi marjinalisasi kelompok-kelompok Jultur yang dan
kemudian dapat berpotensi menjadi konflik antar kelompok-kelompok Jultur yang mungkin saja kebetulan juga
mewakili kelompok-kelompok keagamaan. Otonomi daerah menimbulkan wajah ganda; di satu sisi sangat
bermanfaat bagi warga setempat dalam upaya mengembangkan diri, namun di sisi lain juga berpeluang bagi
tumbuhnya sikap primordialisme dan ketertutupan.

Kurangnya komunikasi antar tokoh/ pemuka agama, dipandang dapat berpengaruh terhadap ketidak harmonisan
hubungan antar kelompok masyarakat dan kurang dapat berfungsinya peran antisipasi pencegahan kesalahpahaman
antar kelompok, terutama di tingkat kecamatan dan pedesaan. Persoalan pendirian rumah ibadah yang kurang
memenuhi prosedur, penyiaran agama, dan aliran-aliran sempalan di lingkungan internal kelompok agama masih
dirasakan sebagian masyarakat sebagai gangguan dalam membangun hubungan umat yang harmonis.

Budaya kekerasan dengan dalih agama kerap kali muncul karena implementasi doktrin agama secara tidak
proporsional. Sementara itu masih sering muncul isu-isu yang kurang berdasar, seperti isu Islamisasi atau isu
Kristenisasi. Isu-isu seperti ini terkadang berpengaruh pada sebagian masyarakat sehingga dapat menimbulkan sikap
saling curiga. Sikap memandang atau menilai agama orang lain berdasarkan Jultural keyakinan agamanya sendiri,
selain tidak menghargai keyakinan orang lain, juga dapat memicu munculnya rasa kurang senang atau bahkan
JulturalJ antar kelompok agama.
Secara Jultural masyarakat kadang masing belum menerima jika pendirian rumah ibadah memerlukan pengaturan
oleh pemerintah dalam rangka fungsi ketertiban. Banyak orang beranggapan bahwa pendirian rumah ibadah tidak
perlu diatur oleh pemerintah, karena sejak nenek moyang membuat rumah ibadah tidak perlu ijin dari siapapun.
Padahal, Peraturan Bersama 2006, khususnya tentang pendirian rumah ibadah tidak dimaksudkan membatasi ibadah.
Harus dibedakan antara mengatur pendirian rumah ibadah dan membatasi kebebasan beribadah. Semangat peraturan
tersebut adalah menertibkan pendirian rumah ibadah dan menghindari konflik horizontal antar pemeluk agama.

Pertemuan 5
Soal

1. Apa yang dimaksud agama Kristen sebagai agama sejarah.


2.Mengapa dalam agama Kristen dituntut adanya sikap penyerahan diri
3. Hakekat menjadi orang Kristen beserta maknanya.
4. Mengapa Alkitab sebagai sumber pemberitaan gerja.

Jwb

1. Artinya agama Kristen mempunyai keterikatan dengan peristiwa-peristiwa


yang sesungguhnya terjadi baik dalam sejarah Alkitab: perjanjian lama
sampai perjanjian baru dan juga perkembangan sejarah dunia sampai hari
ini. Agama Kristen dalam sejarah perjalanannya memiliki pengertian kepada
menuju jalamn kehidupan yang kekal. Jalan kehidupan yang kekal itu sendiri
adalah Yesus Kristus.

2. Iman dipahami sebagai sikap dan tindakan manusia yang percaya kepada
kehadiran Allah dalam diri Yesus Kristus. Percaya (to believe) dan mempercayakan
(to trust) adalah sikap dan tindakan manusia yang mau mengarahkan,
mengandalkan hidup kepada Allah dan di dalam Allah. Sikap manusia yang ingin
selalu bersekutu dengan Allah. Dalam iman terkandung ketaatan kepada Allah,
yaitu sikap percaya kepada Allah. Kemudian pengetahuan tentang Allah. Dasar
pengetahuan tentang Allah yang menyatakan diriNya dalam Yesus Kristus. Sebagai
orang Kristen, kita dituntut untuk terus berupaya mengetahui tentang Allah.
Harapan dan iman menempatkan kita dalam kerangka janji keselamatan yang akan
kita terima pada waktunya kelak. Keselamatan adalah anugerah Allah. Oleh sebab
itu, tidak ada sesuatu yang patut dibanggakan oleh manusia selain rasa syukur,
terima kasih kepada Allah yang telah membebaskan manusia dari dosa.

3. Hakekat menjadi org kristen ,"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi
tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan
diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak
mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya
di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di
dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang,
supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di
sorga." (Mat. 5:13-16).

Kita semua sudah kenal dan terbiasa dengan garam dan terang. Keduanya dapat
dilihat dan ditemukan dengan mudah di setiap rumah. Lalu bagaimana dengan
kehidupan kita sebagai orang Kristen. Apakah orang-orang sekeliling kita sudah
menemukan hidup kita sebagai orang Kristen yang menjadi garam dan terang?

Hakikat Kehidupan Kristen itu seperti apa?:


I. Kehidupan Kristen yang murni (Ayat 13)
Garam selalu dihubungan dengan kemurnian karena warnanya yang putih dan
mengkilap atau sebagai benda yang bersih dan jernih. Bagi bangsa Yunani kuno,
garam itu dianggap sebagai ilahi (theion) sementara bangsa Romawi beranggapan
tidak ada sesuatu yang lebih berguna di dunia ini ketimbang matahari dan garam
karena garam dibentuk oleh matahari dan laut. Dalam kondisi apapun sebenarnya
garam tidak pernah kehilangan rasa keasinanannya. Kehidupan Kristen juga sudah
seharusnya tetap menonjol dan tidak kehilangan kemurniannya ditengah dunia
yang semakin tak menentu.
Jadi bisa dibilang kehidupan Kristen yang murni itu adalah kehidupan yang tidak
terbawa arus kehidupan (Yak. 1:27; Am. 10:30), yakni kehidupan yang tetap
memiliki standar atau norma-norma yang tinggi. Ketika orang-orang Kristen tetap
memegang standar yang tinggi, maka niat untuk menyimpang dari jalan Tuhan
tidak ada lagi, kemurnian kita tetap terjaga.

Kehidupan Kristen yang murni merupakan kehidupan yang tidak merusak diri
sendiri dan orang lain. Disinilah orang Kristen bisa menjalankan perannya lebih
besar lagi seperti garam yang mengaweti dan memelihara daging agar tetap segar
sehingga rasanya tetap enak dimakan setelah dimasak. Artinya kehidupan orang
Kristen seharusnya memiliki pengaruh antiseptis dimana kita menjadi kelompok
orang yang dengan mudah mewujudkan kebaikan sehingga akselerasi kejahatan
semakin lambat. Kita harus menulari dunia ini dengan kasih dan perbuatan baik
yang diajarkan Tuhan, bukan dengan tindakan-tindakan yang justru merusak diri
sendiri apalagi menjadi sandungan bagi orang lain (Ams. 28:10).
Kehadiran orang Kristen menjadi pembalut luka bagi orang-orang sekelilingnya
seperti garam yang juga bisa melepaskan sel-sel kulit yang sudah mati karena
garam mengandung kalsium, potasium, magnesium, sulfat dan merkuri bisa
membuat kulit lebih sehat dan segar.

Mantan pemimpin besar India, Almarhum Mahatma Gandhi secara gamblang


mengakui bahwa Alkitab merupakan buku yang paling lengkap di dunia yang
mengajarkan kasih. Tapi ia tidak mau menjadi Kristen karena melihat begitu banyak
kehidupan orang Kristen yang justru penuh dengan kebencian dan menjadi perusak,
kehidupan yang tidak menjadi contoh.

Bahkan Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS), Olever Wendell Holmes,
pernah mengatakan, Saya mungkin telah menjadi pendeta, kalau saja beberapa
pendeta yang saya kenal tidak menampakkan diri dan bertindak sebagai tukang gali
kubur.

II. Kehidupan Kristen yang berbeda dan dibutuhkan


Masakan tanpa garam rasanya hambar, yang bermakna garam sangat dibutuhkan
untuk menciptakan citra rasa yang berbeda pada masakan. Hendaklah orang-orang
Kristen menjadi bagian dari anggota masyarakat yang ditunggu-tunggu dan
diharapkan kehadirannya karena kehadiran orang-orang Kristen membuat situasi
setempat menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Pertanyaannya, kehidupan orang Kristen yang bagaimana bisa kita tularkan ke
masyarakat?

Kehidupan yang berbagi Kasih (Mat. 22:39), Ketika hati dipenuhi kasih, secara
otomatis kehidupan orang Kristen akan menjadi pembawa damai, yang berarti
orang tersebut memperlihatkan mutu kehidupan yang tinggi kepada dunia. Kasih itu
seperti seperti magnet yang menarik benda-benda besi disekelilingnya dimana
benda-benda besi yang ditarik itu bisa terpengaruh dan pada akhirnya pula menjadi
magnet.

Kehidupan yang berbagi sukacita (Rm. 12:15), berbagi sukacita membawa banyak
berkat bagi yang menerima dan lebih banyak berkat bagi yang memberi (Mat.
5:12). Satu hal yang harus diingat bahwa berbagi sukacita hanya mungkin terjadi
pada orang-orang yang hidup di dalam Kristus dan dipenuhi oleh Roh Kudus. Berapa
banyak diantara orang orang Kristen yang justru menjadi iri hati ketika mendengar
orang sekelilingnya berhasil. Padahal sukacita justru menggantikan rasa iri hati
yang bisa muncul kapan saja (Flp. 1:18).

III. Kehidupan Kristen untuk dilihat (Ayat 14-15)


Kehidupan Kristen itu seperti terang yang harus dilihat banyak orang, anywhere and
anytime. Tak ada yang perlu disembunyikan karena semuanya pasti terungkap dan
terlihat jelas. Ketika terang datang, maka kegelapan segera menyingkir. Ketika
orang Kristen hadir, maka semua mata akan tertuju kepadanya dan kita akan
menjadi tolak ukur bagi orang lain dalam melakukan segala aktivitas kehidupan.

Kehidupan Kristen di gereja sama dengan di luar gereja


Kehidupan Kristiani tidak boleh terlihat hanya digereja saja. Jangan saat di gereja
sikap orang Kristen menjadi malaikat tapi ketika keluar dari gereja kehidupannya
berbalik 180 derajat. Jikalau di dalam gereja kita memiliki rasa takut akan Tuhan,
sudah seharusnya di luar gereja kehidupan Kristen memiliki rasa takut dan rasa
hormat kepada Allah. Jangan hanya menjadi domba manis saat digereja, tapi juga
diluar gereja. Jadi kekristenan kita harus tampak dari cara kita memperlakukan diri
kita sendiri, cara kita memperlakukan anggota keluarga, cara bergaul, cara
berbicara, bertindak, bacaan yang kita baca atau tontonan yang kita tonton.

Kehidupan Kristen untuk menjadi pembimbing


Banyak sudah kapal yang karam karena menabrak pulau karang. Ini disebabkan
tidak adanya suar yang berfungsi sebagai pembimbing bagi kapal-kapal agar tidak
melalui daerah tersebut dan segera mencari jalan memutar. Kehidupan orang
Kristen yang harus menjadi jalan dan terang bagi orang lain yang membutuhkan.
Tugas orang Kristen untuk berdiri tegak dan mengambil sikap untuk diikuti saudara-
saudaranya yang lemah.

IV. Kehidupan Kristen Yang Mengikuti Jejak Kristus (Ayat 16)


Sebagai anak-anak Allah, kita bukan berasal dari dunia tapi dari Allah sehingga
kehidupan kekristenan kita sudah seharusnya memberi dampak positif di tengah
dunia yang semakin buram dan gelap. Seperti Yesus yang datang memberi dampak
yang luar biasa dimana umat manusia mendapat anugerah keselamatan dan
pengampunan dosa.
Sedangkan maknanya, 1. Allah Bapa telah memilih kita untuk mengenal Kristus sejak sebelum dunia dijadikan.
Allah menentukan dalam kekekalan bahwa kita dipilih untuk diselamatkan dalam Kristus Yesus. Keputusan Allah ini
bersifat mutlak, tidak dapat diganggu gugat. Namun Allah memilih kita bukan karena kita baik atau pandai atau
cantik/ganteng (atau jahat atau bodoh atau jelek). Pemilihan Allah tidak didasarkan atas diri kita, tapi atas kerelaan
kehendakNya yang sempurna

2. Allah Bapa menentukan agar dalam Kristus Yesus kita beroleh pengampunan atas dosa-dosa kita oleh penebusan
darah Kristus yang tercurah di atas kayu salib, sekali untuk selamanya.

3. Allah Anak mengutus Roh Kudus yang memungkinkan kita untuk percaya kepada Kristus. Karena Roh Kudus,
kita menjadi hak milik Allah, bukan lagi Setan, sehingga kita tidak harus hidup dibawah kuasa belenggu dosa.
Memang orang Kristen tetap bisa berdosa selama masih hidup di dunia, namun karena Roh Kudus kita sekarang
dimampukan untuk hidup berjuang melawan Setan dan untuk menang terhadap dosa, yaitu bila hidup kita dipimpin
Roh Kudus.

4. Allah Bapa memberi Roh Kudus kepada setiap orang yang percaya sebagai jaminan (down payment) supaya kita
dapat mengecap warisan anugerah rohani yang kita akan terima seluruhnya saat kita bertemu dengan Allah nanti.
Jadi beriman dalam Kristus memberi makna baru tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan kita karena apa yang
Allah kerjakan.

5. Allah Bapa memilih, Allah Anak menebus, dan Allah Roh Kudus memeteraikan. Ketiga pribadi Allah tritunggal
bekerja dalam diri orang percaya untuk satu tujuan: Agar kemuliaan Allah dinyatakan dengan jelas dan terang
melalui keselamatan kita dan buah-buah keselamatan yang kita hasilkan secara natural dalam hidup kita. Jadi iman
dalam Kristus berasal dari kehendak Allah dan berakhir untuk kemuliaan Allah

6.Setelah percaya Kristus, kita memulai sebuah perjalanan iman untuk semakin mengerti segala kekayaan berkat
rohani yang kita terima dalam Kristus. Perjalanan ini perjalanan seumur hidup. Namun semakin kita mengerti betapa
mulia panggilan kita dalam Kristus, semakin hidup kita diubahkan, dibentuk, ditransformasi sehingga kita semakin
pantas disebut sebagai anak Allah.

Mengapa banyak orang Kristen yang hidupnya masih tidak beres? Karena mereka belum mengerti kasih Allah yang
merelakan Anak-Nya mati di atas kayu salib yang didalamnya terkandung segala kekayaan kemuliaan Allah dan
berkat rohani yang dibutuhkan manusia baik untuk hidup di dunia dan di surga kelak.

7. Beriman kepada Kristus berarti bahwa kita yang tadinya secara natur (a) mati rohani bagaikan sebuah mayat
sekarang dihidupkan bersama Kristus, (b) diperbudak oleh Setan, dunia, dan hawa nafsu daging sekarang
dimerdekakan untuk hidup penuh dengan sukacita dalam Allah, dan (c) menderita hukuman kekal dibawah murka
Allah sekarang menikmati kekayaan karunia Allah yang berlimpah, yang akan dinyatakan dengan menyeluruh di
surga nanti.

Itulah iman Kristen. Luar biasa memang. Tidak heran setiap orang Kristen berkumpul, kita tidak henti-henti
bernyanyi memuji Allah Tritunggal.

4. Alkitab sebagai sumber peberitaan gereja karena :


1. Alkitab yang terdiri dari kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah sungguh-sungguh
firman Allah. Di dalam Alkitab tertuang seluruh kesaksian mengenai Allah yang menyatakan
diri, kehendak dan karya penciptaan, pemeliharaan dan penyelamatanNya atas manusia, dan
juga mengenai jawaban manusia kepada Allah. Kesaksian itu berpusat dalam Yesus Kristus,
firman yang menjadi manusia (Yoh 1:14). Dengan demikian pemahaman mengenai isi
Alkitab termasuk pemahaman atas bagian-bagiannya, harus selalu dilihat sebagai satu
kesatuan yang utuh.

2. Kesaksian mengenai Allah yang tertuang di dalam Alkitab itu terjadi dengan kuasa dan
bimbingan Allah sendiri melalui Roh Kudus yang menyertai dan mengilhami para penulis
Alkitab (2 Pet 1:21; 2 Tim 3:16). Kesaksian itu telah menggunakan bentuk-bentuk serta
unsur-unsur kemanusiaan dan kebudayaan pada lingkup sejarah tertentu, sehingga
menampakkan adanya keterbatasan-keterbatasan tertentu. Namun demikian, kebenaran dari
kesaksian Alkitab itu melampaui batas-batas dan waktu.

3. Sebagai Firman Allah, Alkitab mempunyai kewibawaan tertinggi serta menjadi sumber dan
norma bagi pemberitaan Firman maupun bagi ajaran Gereja, dan bagi perilaku orang
beriman, sebagaimana di katakan Paulus, segala tulisan yang diilhamkan Allah memang
bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan
untuk mendidik orang dalam kebenaran (2 Tim 3:16), dan juga sebagaimana disaksikan
pemazmur Firmanmu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (Mzm 119:105). Karena
Alkitab adalah firman Allah, maka pemahaman, penghayatan dan pengamalan yang benar
atasnya baru terjadi bila Roh kudus menyertai dan membimbing para pembaca dan
pendengarnya (Yoh 16:4b-15; 1 Kor 12:3; 2 Ptr 1:20-21)

4. Alkitab menyaksikan bahwa Tuhan Allah memberikan taurat kepada manusia, baik orang
percaya maupun tidak percaya, yang mengajarkan apa yang benar dan berkenan kepada
Allah, serta yang menghakimi dan mengutuk apa yang salah dan bertentangan dengan
kehendak Allah. Taurat itu berlaku sebagai norma dan peringatan untuk membatasi dosa dan
kejahatan manusia. Segala pemberitaan Alkitab, yang bersifat menuntut, mengancam,
menghakimi dan mengutuk, serta yang mendakwa dan menakut-nakuti, boleh digolongkan
sebagai Taurat. Pada hakikatnya Taurat itu baik dan sempurna, dan karenanya harus
dilaksanakan. Namun oleh karena manusia pada dasarnya tidak mampu memenuhi taurat
(bnd Rm 7:15,18,19) maka semakin manusia mengandalkan taurat, semakin nyatalah
dosanya dan semakin besarlah keputusasaannya, dan semakin mengerikanlah ancaman maut
atasnya. Bagi orang percaya, taurat itu memperkenalkan kepada manusia murka Allah yang
dahsyat (Rm 7:7,13), ancaman hukuman Allah dan kutuk yang menimpa manusia (Gal 3:10),
serta melahirkan kesadaran dan pengenalan akan dosa dan menuntun kita sampai Kristus
datang supaya kita dibenarkan karena iman (Gal 3:24).

5. Keagungan Alkitab terletak pada pemberitaanya mengenai injil tentang kasih karunia Tuhan
Allah kepada manusia di dalam Yesus Kristus yang telah menebus dosa manusia (2 Kor 5:21)
dan memikul kutuk Taurat di kayu salib, agar manusia diselamatkan untuk selama-lamanya
( Yes 53:3-4; Mat 8:17; Yoh 1:29; Kol 1:20; Ibr 12:2; 1 Ptr 2:24). Injil Yesus Kristus adalah
berita tentang pertobatan, pengampunan dosa dan keselamatan oleh Allah Bapa (Luk 24:47;
Yoh 3:16), serta kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan bagi segala bangsa dan
segenap makhluk (Mrk 16:15), sebagai kesaksian (Luk 24:14) sampai ke ujung bumi (Kis
1:8), mencakup seluruh alam (Kol 1:23), hingga akhir zaman (Mat 28:20) dalam penyertaan
Roh kudus. Berita itu menegaskan bahwa kasih dan anugerah Tuhan Allah diterima manusia
dengan iman, bukan karena melakukan Taurat atau karena perbuatan baik. Sebab Injil adalah
kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya... sebab di dalamnya nyata
kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis,
orang benar akan hidup oleh iman (Rm 1:16-17). Dengan menerima injil, orang percaya tidak
dapat lagi ditakut-takuti oleh Taurat, melainkan menjalankannya sebagai pernyataan sukacita
dan syukur karena keselamatan di dalam Kristus. Dalam penerimaan Injil, manusia
dilahirkan kembali sebagai ciptaan baru (2 Kor 5:17). Dengan demikian penerimaan atas injil
itu menghasilkan pengampunan dosa, dan serentak dengan itu pertobatan pun berlangsung
(Mrk 1:15; Kis 20:24).

Oleh karena itu GKPI mempercayai, mengakui dan mengajarkan kepada setiap warga jemaat
bahwa:

1. Alkitab adalah satu-satunya tolok ukur dalam kehidupan sehari-hari orang percaya, yang
dipahami dan diberlakukan dibawah bimbingan Roh Kudus, seperti dikatakan Injil, yang
berbahagia ialah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan yang memeliharanya (Luk
11:28)

2. Taurat yang diberitakan Alkitab adalah petunjuk bagi orang-orang yang sudah ditebus dan
diperbarui Kristus; di dalam kesadaran bahwa kesempurnaan dan kemurniaanya sebagai
orang yang ditebus bukan karena perbuatannya memenuhi Taurat.

3. Injil adalah kekuatan dan karya Allah yang melahirkan kabar sukacita karena Kristus
mengenai pengampunan dosa, pertobatan dan pembaruan hidup, yang tersedia bagi semua
orang (Mrk 1:15) serta pembebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki
Roh Tuhan untuk dunia.

Pertemuan 7

Soal

6. Menilai kenyataan permasalahan keesaan gereja di lapangan.


7. Menembpatkan diri dalam upaya bersama gereja2 di Indonesia utk
membangun kehidupan berjemaat, bergereja dan bermasyarakat di Negara
Indonesia.
Jwb

6. Ketika bangsa indonesia memperjuangkan suatu masa depan baru Indonesia di lapangan sosial politik dalam
pergerakan nasional, gereja-gereja di Indonesia sibuk pula dalam gerakan ganda kemandirian dan keesaan gereja.

Kemandirian gereja berlangsung dalam dua bentuk, yakni pelembagaan jemaat-jemaat hasil pekerjaan Zending
menjadi gereja yang berdiri sendiri, dan perobakan organisasi Gereja Protestan (Indische Kerk) dalam rangka
mengurai ikatan dengan pemerintahan dan membentuk beberapa gereja otonom.Proses kemandirian dan keesaan
gereja-gereja di Indonesia berlangsung bersamaan dengan memuncaknya pergerakan nasional pada tahun 1920-an
dan 1930-an. Gereja-gereja yang terbentuk sampai tahun 1950 meliputi: Methodist (1922), HChB (1927, HKI 1934),
HKBP (1930), GKJ, GKJW (1931), KGPM (1933), GMIM, GKP, GKI-JATIM (1934), GPM, GKE (1935), GKI-
JATENG, BNKP (1936), GKI-JABAR (1938), GKMI (1939), GKS, GMIST, GTR, GKST, GMIST (1947), GPIB,
GTM, GKPB (1949), GMIH (1950).1 Dalam bab ini proses kemandirian beberapa dari gereja tersebut dibicarakan
sebagai contoh-contoh untuk memperoleh gambaran mengenai gerakan kemandirian gereja di Indonesia.

Lingkungan Zending

Gereja-gereja Batak: HKB

Sejarah pengkristenan Tnah Batak dapat dibagi atas enam periode: peletakan dasar-dasar pertama di lembah
Silindung (1861-1881); pengkristenan wilayah sekitar danau Toba (1881-1901); perluasan lebih lanjut (1901-1918);
menuju kemandirian ( 1918-1940); dinamika kemandirian dan kemitraan (1940-1954); dan periode kedewasaan
(1954 kini).2 Usaha-usah kemandirian jemaat telah lama dijalankan, khususnya melalui pendidikan, pengangkatan
dan pembiayaan pelayan-pelayan pribumi. HKBP menjadi suatu organisasi gereja yang berdiri sendiri pada tahun
1930. Tetapi pada kenyataannya pimpinan dan pengambilan keputusan masih berada di tangan para pekabar Injil
(RMG) sampai tahun 1940, sehingga penetapan Tata Gereja baru tahun 1930 itu lebih merupakan reorganisasi
pekerjaan Zending daripada pembentukan gereja Batak.

Tetapi pembentukan HKBP pada tahun 1930 bukan pula semata-mata prakarsa pihak Zending (RMG). Salah satu
faktor yang cukup berpengaruh adalah gerakan-gerakan di kalangan orang Kristen Batak sendiri untuk mencapai
kemandirian. Dalam hubungan ini peranan Hatopan Kristen Batak (HKP) sangat penting.3 HKB dibentuk pada
tanggal 28 September 1917 dari suatu kumpulan mpaduan suara Zangvereenigng Hadomuan di Balige. Tujuannya
adalah untuk memperkuat agama, kasih persaudaraan, tolong menolong dalam segala pekerjaan baik, khusus dalam
lingkungan anggota-anggota serikat dan mengusahakan perdamaian dan pembangunan sosial suku Batak.4 Para
pendirinya antara lalin guru Polin Siahaan, wartawan M.H. Manullang dan guru Ambrosius Simatupang. Dalam
HKP terdapat beberapa aliran. Yang pertama adalah yang mengarahkan kegiatan HKB pada bidang agama Kristen
(gereja-sentris) dan yang dalam rangka itu menghendaki keterlibatan para Zending di dalam HKB (kelompok 13,
kemudian menjadi kelompok 17) dengan Siahaa dan Simatupang sebagai penganjurnya. Aliran yang lain, di bawah
penganjuran Manullang, bersifat sosial politis. Pada beberapa tahun pertama terbentuknya HKB, Manullang
memelopori penolakan terhadap penguasaan tanah rakyat oleh pengusaha-pengusaha perkebunan. Segi politik HKB
melemah ketika pemerintah menghapus kontrak tanah di Tapanuli Utara dan Manullang sendiridipenjarakan karena
delik pers pada tahun 1922-1023.5

Menyangkut kemandirian Gereja, HKB dapat dicatatat dalam hubungan dengan pembentukan suatu gereja Batak
yang berdiri sendiri, Huria Christen Batak (HChB), di Pematang Siantar pada tanggal 1 April 1927. Hubungan itu
tidak langsung, tetapi pengaruh-pengaruh penolakan dominasi RMG dalam sayap nasionalistisHKB bergema di
kalangan para pemuka HChB.6 Demikian pula pengaruhny dalam pembentukan Mission Batak, yang mula-mula
diprakarsai bersama denga orang Ambon dan Menado, pada tanggal 17 Juli 1927 dan Huria Christen Batak Medan
Parjolo pada tanggal 5 Agustus 1928.7 Gemanya sampai pula ke Jakarta, di mana pada tanggal 10 Juli 1927
didirikan Punguan Kristen Batak (PKB).8

Peran HKB yang lebih langsung dalam kemandirian gereja berhubungan dengan proses pembentukan HKBP.
Walaupun sejak semula aliran gerejawi dalam HKB tidak menentang RMG, tetapi cita-cita mereka adalah
mewujudkan suatu gereja Kristen Batak. Sebab itu HKB mengikuti dengan saksama penyusunan tata gereja
rancangan tata gereja baru pada tahun 1928. Di bawah pimpinan ketuanya masa itu, Sutan Sumurung, HKB
membentuk suatu mpanitia untuk menyusun konsep tandingan, tetapi hasil pekerjan mereka, yang disetujui rapat
umum semua orang Kristen Batak di Tarutung, ditolak Ephorus J. Warneck. Konsep tandingan tersebut
menekankan penolakan dominasi Zending di bidang pimpinan dan penataan gereja, dan menghendaki adnaya serah-
terima semua lembaga di bidang pendidikan, kesehatan, dsb dari pihak RMG kepada gereja Batak. Juga dinyatakan
bahwa kewargaan gereja tidak berdasarkan bangsa dan kedudukan pihak zending adalah bagian dari gereja:

Dengan demikian yang menjadi titik tolak bukan lagi pandangan bahwa badan perkabaran Injl merupakan badan
asing yang memimpin dan mengurus gereja, melainkan pandangan yang bersifat ekklesiologis. Hal itu berarti
bahwa orang mencita-citakan suatu gereja Batak yang sanggup memimpin dan menata diri sendiri.9

Walaupun konsep tandingan itu ditolak, perjuangan tetap dilanjutkan untuk menyuarakan aspirasi HKB menyambut
Sinode Godang tanggal 8-9 Oktober 1929. di dalam surat kabar dimuat tulisan-tulisan yang menyoroti konsep tata
gereja yang otokratik itu dengan tekanan yang lebih demokratis dan juga ada pembagian wewenang RMG dengan
orang-orang Batak. Upaya-upaya itu juga gagal, karena dalam HKBP yang berdiri sendiri dominasi Zending tetap
berjalan.10

Dominasi tersebut bukannya tidak mendapat reaksi dari kalangan orang Batak. Diskusi-diskusi dalam konferensi
tahunan memperlihatkan tuntutan kemandirian dari pihak orang Batak, yang ditanggapi negatif oleh pihak zending.
Pihak RMG memandang reaksi itu sebagai nasionalistis dan untuk itu mereka mengembangkan suatu ekklesiologi
yang bersifat politis. Hutahuruk menilai:

Para utusan RMG menganggap dirinya sebagai anggota gereja yang universal (am), suatu gereja yang tidak terikat
kepada waktu atau kebangsaan yang tertentu, dan mereka tidak memperhatikan persoalan-persoalan yang
menyangkut hal kolonialisme dan tuntutan orang-orang RMG akan kekuasaan di dalam HKBP. Dengan demikian,
ekklesiooogi mereka memiliki sifat dasar yang politi, yang tak bisa tidak harus menentang setiap usaha orang
pribumi untuk memperoleh kemerdekaan dalam lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan gereja.11

Pada tahun 1938, H. Marbun, seorang pandita Batak, mengemukakan suatu pandangan yang mengungkapkan reaksi
terhadap dominasi Zending. Marbun menekankan identitas HKBP sebagai gereja bangsa (Batak). Hutahuruk
mengutip pandangannya:

Kristus menilai tinggi sukubangsa Batak. Ia tidak mau menolak sifat bangsa Batak. Ia setuju, bahwa gereja Batak
adalah persekutuan dari semua orang Kristen Batak yang telah diselamatkan dan dikumpulkan-Nya. [] Kristus
berada di dalam gereja Batak seakan-akan Dia sendiri seorang Batak. [] Bahkan seperti halnya garam Ia telah
meresap ke dalamnya. Kristus bukan berada di bawah bangasa dan juga bukan di atasnya, Ia meresap ke dalam
suku bangsa Batak untuk menjadi satu dengannya.12

Pada bahagian lalin, Marbun berpendapat bahwa gereja internasional, sebagai gereja yang am, justru terdiri atas
gereja-gereja (suku) bangsa. Gereja Batak adalah cabang dari gereja Yesus Kristus yang am. Bertolak dari
pandangan itu Marbun menentang pengaruh gereja Katolik-Roma, yang dianggapnya membahayakan adat dan
kebudayaan Batak. Dalam hubungan itu pula dia memperjuangkan pengalihan sekolah-sekolah dari RMG kepada
HKBP.

Kalangan Zending menganggap pandangan Marbun yang berpusat pada suku bangsa dan kebudayaan Batak lebih
sebagai sifat anti-Eropa. Diskusi-diskusi antara tahun 1937-1939 dan Sinode Godang tahun 1940 memperlihatkan
penolakan pihak RMG terhadap reaksi yang bersifat nasionalistis seperti itu. Ephorus Verwiebe menjelaskan
mengenai kebangsaan kita tidak boleh menggeser Kristus (kesimpulan konferensi tahun 1939); bahwa yang Tuhan
inginkan melaui orang Kristen adalah utnuk memberlakukan kehendak Allah di bumi; bahwa Tuhan Yesus tidak
mendirikan kebangsaan murni, melainkan supaya dia menjadi raja semua bangsa; dan bahwwa dosa, yang merajai
kaum nasionalis yang berjwa kelewat nasionalis, menghalangi bangsa masuk ke bawah pemeritahan Kristus.13

Dominasi pihak Zending atas HKBP diakhiri secara paksa oleh suatu kenyataan sejarah dari luar gereja dan zending,
yakni perang dunia II denagn pendudukan Jepang di Indonesia. Sinode luar biasa pada tanggal 11-12 Juli 1940,
setelah para pekabar Injil RMG ditahan oleh pemerintah Belanda, menunjuk seorang pendeta Batak sebagai
Voorzitter HKBP, yaiut Pdt. K. Sirait; dan kemudian pada tahun 1942 Sinode Agung menetapkan Ephorus bar, juga
seorang pendeta Batak, Pdt. J. Sihombing.14

7. Menempatkan diri dalam upayamembangun kehidupan berjemaat,

YESUS KRISTUS ADALAH TUHAN DAN KEPALA GEREJA/JEMAAT.

Jemaat Gereja Kristen Kemah Daud Felavouw Sentani adalah Jemaat Tuhan yang dibangun oleh tubuh dan
darah Kristus melalui pengorbanan Kristus Yesus pada kayu salib dan akan selalu menjadi milik kepunyaan Tuhan
sendiri.

2. ALKITAB ADALAH FIRMAN ALLAH.

Segala kehidupan berjemaat harus dilandasi dengan nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan dan Firman Tuhan akan
menjadi pedoman utama dalam mengatur keadaan rumah Tuhan di lingkungan Gereja Kristen Kemah Daud
Felavouw Sentani.

3. JIWA-JIWA.

Adalah jiwa-jiwa baru maupun mereka yang tidak tergembalakan dengan baik.

Seluruh program, kegiatan dan aksi jemaat difokuskan semuanya untuk memenangkan

jiwa-jiwa dan menggembalakan mereka sampai tertanam dalam jemaat lokal.

Jemaat memiliki hati missi yang kuat.

4. HIDUP DALAM KOMUNITAS (OIKOS).

- Setiap anggota jemaat harus dan wajib tertanam dalam setiap komunitas sel yang sudah ada

dalam jemaat.

- Komunitas sel (komsel) merupakan ujung tombak kebangunan rohani jemaat.


- Komunitas sel (komsel) adalah wadah untuk membentuk dan membangun karakter Kristus dalam hidup berjemaat.

5. MEMILIKI BUAH-BUAH PERTOBATAN.

- Memiliki karekter Kristus (buah-buah roh).

- Memiliki anak rohani atau murid Kristus dan wajib untuk dimuridkan dan memuridkan.

- Menghasilkan buah-buah pelayanan baru.

6. MEMILIKI KEHIDUPAN DOA DAN FIRMAN

- Memiliki tim pendoa syafaat atau komsel pendoa syafaat.

- Kehidupan doa jemaat yang berjalan konstan dan berkesinambungan

7. KOMITMEN DAN TERLIBAT AKTIF DALAM PEMURIDAN DAN STRUKTUR

PENGGEMBALAAN YANG TERATUR DAN BERKELANJUTAN.

Setiap anggota jemaat harus memiliki komitmen kuat untuk terlibat dalam setiap kegiatan jemaat dalam rangka
membangun jemaat ke arah kepenuhan Kristus.

8. MENINGKATKAN STANDAR ILAHI KEHIDUPAN BERJEMAAT DALAM KEKUDUSAN,


KARAKTER DAN DISIPLIN.

Anggota Jemaat harus memiliki standar kehidupan rohani yang baik agar mempercepat proses kemulihan Tuhan di
tengah-tengah kehidupan berjemaat.

Demikian sedikit tentang nilai-nilai kehidupan berjemaat yang perlu diterapkan dalam hidup kita supaya
mempersiapkan kita untuk menyambut kedatangan Kristus tanpa cacat dan cela. Hiduplah sesuai standar yang
Tuhan tetapkan, supaya hidupmu dipenuhi dengan kemuliaan-Nya.

Anda mungkin juga menyukai