Anda di halaman 1dari 7

SAMI: Jurnal Sosial-Keagamaan dan Teologi di Indonesia

p-ISSN: xxxx-xxxx
e-ISSN: xxxx-xxxx

==============================================================================

PERAN AGAMA DALAM PEMBENTUKAN SOLIDARITAS


SOSIAL
Alya Hafidzah
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera
Utara

ABSTRAK

Dunia internasional sendiri dalam sejarahnya memiliki hubungan yang naik turun
dengan institusi agama secara keseluruhan, banyak kritikan terhadap peran agama
itu sendiri ataupun proses untuk memisahkan agama dari negara itu sendiri. Agama
pun juga sering dijadikan dalang berbagai kejahatan di dunia ini, seperti perang
ataupun terorisme. Agama pun juga sering dijadikan alat politik untuk memperdaya
masa dan memperoleh kekuasaan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa agama
sendiri tetap tidak dapat dijauhkan dari masyarakat dunia itu sendiri, agama tetap
dianggap menjadi bagian yang sangat penting dalam dinamika sosial yang ada.
Dalam ilmu sosial, agama lebih dikaitkan terhadap integrase dan harmoni. Seperti
di beberapa negara, agama menjadi dasar pemersatu rakyatnya untuk beradaptasi.
Agama tidak selalu menjadi sarana kehancuran seperti yang beberapa kaum
berusaha menggambarkan, namun agama terkadang berfungsi sebagai hal yang
menyemangatkan solidaritas rakyatnya.

Tulisan ini berusaha membuktikan bahwa dibalik sisi gelap yang sering
digambarkan media internasional mengenai agama, terutama Islam yang dimana
sering dijadikan dalang oleh media barat, agama tetap menjadi pengerat antar
masyarakat yang efektif. Di Indonesia misalnya, agama menjadi sumber pelestarian
kultur dalam sesama yang berlandaskan perbedaan. Kebersamaan serta solidaritas
sosial tersebut tetap dapat terjadi dan justru terpicu dengan peranan agama yang
ketat.

Kata kunci: agama, sosial, solidaritas, kebersamaan


PENDAHULUAN

Sebenarnya apa itu agama? Mayoritas pemikirdan filsuf


mendefinisikan agama dengan mengikuti definisi yang diberikan para
pemikir barat. Para pemikir barat percaya bahwa pendekatan agama
sangatlah teistik dalam alamiahnya, jadi mayoritas para pemikir pun
mempertahankan konsensus bahwa agama adalah bagian darie eteisme.

Selain itu terdapat pula pandangan bahwa agama mengikuti tubuh


pembelajaran yang dapat di tramisikan dan komunal yang dimana ajarannya
mengenai realitas yang tidak dapat diganggu gugat atau being yang
memanggil untuk penghormatan, yang dimana dirinya membimbing para
penganutnya kedalam apa yang dideskripsikan sebagai hubungan yang
mengiluminasi atau mengemansipasi kedalam realitas dari kehidupan doa,
ritual ataupun meditasi ataupun praktis moral seperti ketaubatan atau
regenerasi pribadi.

Namun kedua definisi tersebut juga memiliki kelamaan karena hanya


menganggap suatu tradisi sebagai religius jikaia mengikut sertakan
kepercayaan akan Tuhan, karena bebrapa agama saja seperti Buddha tidak
memiliki kepercayaan akan Tuhan itu sendiri. Seorang pemikir bernama
Galowday memberikan definisi mengenai agama yaitu “Sesuatu
kepercayaan akan kekuatan diluar dirinya yang dapat dicari untuk
memuaskan kebutuhan emsional dan mendapatkan stabilitas kehidupan, dan
mereka mengekspresikannya dalam tindakan pemujaan, penyembahan atau
suatu ritual.

Dalam aspek agama sendiri dan kesadarannya, terdapat tiga aspek


yaitu intelek, perasaan dan tindakan. Para pemikir cenderung
mendefinisikan agama berberdasarkan emphasis terhadap ketiga aspek
tersebut. Menurut Spencer, agama ialah hipotesis yang dimana orang
berusaha mengertikan ala mini.Definisnya menempatkan emphasis terhadap
aspek intelektual dalam agama. Hampir semua definisi tersebut, Tuhan
menjadi elemn sentral walaupun seperti Buddha, Tuhan tidak selalu menjadi
aspek yang harus ada didalam agama. Tetapi tidak ada definisi mengenai
aspek agama tersebut yang secara definitif menggambarkan aspek secara
keseluruhan. Agama sangatlah susah untuk didefinisikan, bukan karena
sangat sedikit aspek didalamnya, namun justru karena terlalu banyak aspek
didalamnya.

Dengan kompleksitas nya permasalahan mengenai agama, sejarah


mengenai agama pun juga dipenuhi oleh misteri dan banyak hal yang masih
tidak diketahui. Satu hal yang pasti ialah agama awal mirip dengan
shamanisme. Shamanisme sendiri dulunya hanya dipakai untuk
mendeskripsikan tradisi tradisional Siberia, namun sekarang dipakai untuk
mendeskripsikan berbagai macam kepercayaan di belahan dunia. Misalnya
suku aborigin, orang Indian, suku-suku Oceania serta populasi pedalaman
Siberia. Di Afrika sendiri terdapat sistem yang serupa bernama animism
yang masih dipakai banyak orang pedalaman Afrika. Setelah agama tersebut
pun mulai bermunculan, akhirnya agama monoteis dan kemudian
Abrahamik muncul, yang sekrang menjadi tiga agama terbesar di dunia.
Agama tersebut pun mendalami sejarahnya dengan penuh campur aduk
antara keharmonisan dan peperangan satu sama lain sepanjang sejarah
(misal Perang Salib), namun juga terdapat kebersamaan antara satu sama
lain. Motivasi religi masih menjadi motivasi religi yang pentinng dalam
konflik interna dan internasional pada saat ini. Entah mungkin Islam
ataupun kejadian pada masa lalu dalam Perang Salib yang dilakukan Islam
dan Kristen, namun apakah kebersamaan dapat terjalin intra ataupun sesama
agama? Solidaritas agama tidak hanya dilakukan untuk kekerasan antara
satu sama lain ataupun sesama kaum, namun dapat dijadikan alat pemersatu
yang kuat dan harmonis. 1

Peran Agama dalam Sosio-Budaya

Agama sendiri lahir dari ruang budaya yang tidak dapat dilepaskan
pengaruhnya. Masyarakat mungkin dapat ada tanpa sains, seni dan filsafat,
namun tidak ada masyarakat yang tanpa agama. Agama menjadi salah satu
aspek sosioo-budaya yang penting dan interaksi dengan perilaku, pandangan
hidup, moral, ekonomi, hukum, politik, seni dan ainya. Agama menjadi
representasikolektif manusia, sehingga gejala sosial sering ditafsirkan
dengan perspektif religius, masyarakat sering berpaing terhadap agama
dalam pencarian jawaban dalam kerumitan sosial.

Contoh kerumitan sosial yang dimana agama dan institusi bermain,


antara lain domestic,ekonomi dan politik. Aspek sosial dalam agama ialah
“prayer” atau berdoa dan sembayang. Dengan aktivitas ini terdapat perasaan
yang bersamaan yang juga dapat memacu sentiment yang sama dan rasa
solidaritas antara para penganut suatu agama tersebut. Dari situ lah anggota
dari suatu agama tersebut dapat bersatu dan mempnyai ketertarian yang
lebih besaruntuk berbuat amal (misal zakat dan sebagainya). Terlihat dari
beberapa kejadian sosial yang umum terjadi, para institusi agama juga
sering bersamaan atau bersolidaritas melakukan sumbangan.

Banyak aktivitas manusia dan pengaruh sisal dan budaya yang


berasal dari agama itu sendiri. Manusia cenderung mengekspresikan
perasaan religusnya berdasarkan ritual dan seremoni (acara). Bahkan jika
ditelaah dari sejarahnya, kehidupan orang primitif sendiri telah dikelilingi
praktek religi. Beberapa aktivitas sosial yang kita lakukan seperti perikahan,
perburuan, dan upacara kematian sudah dilakukan dari masa primitif.
Dengan melakukan aktivitas ini maka terdapat rasa yang sama dan aksi yang
dimana lebih dari fungsi religi saja. Berbagai komunitas religi, upacara
menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sosial misal dalam rangka
selamatan pembuatan bangunan baru. Peran agama sangat terlihat dalam
hubungan bermasyakrat dan juga dipakai untuk mengontrol masyarakat itu
menjadi lebih solid.

Agama membantu membangun karakter suaut individu dan


mrmbentuk kehidupan sosial nya. Ia membangun dan membawa value atau
nilai sosial dalam pikiran manusia. Dalam mengikuti peraturan yang
dibangn agama misal seperti menghormati orang yang lebih tua atau
memberikan rasa simpati terhadap perasaan orang lain ataupun
menghormati dan mengikuti obligasi sosial lainnya, peraan agama dalam
sosial sendiri sangat lah besar. Agama bertindak sebagai guru, dan ia
mengajarkan bahwa “service” terhadap tuhan sendiri akan menjadi
kenyataan jika para pengikut agama tersebut melayani manusia itu sendiri.
Agama mengajarkan kesadaran moral diantara manusia, dan agama
bergerak sebagai faktor yang menginspirasi.

Agama memacu uniformitas perilaku dan memperkuat solidaritas


sosial, dan slidaritas tersebut pun menjadi instrument dalam menstabilisasi
tatanan sosial. Pada masa primitif, pengaruh agama sangat besar dalam
mengontrol masyarakat itu sendiiri. Kehidupan sosial pada masa lalu
dikontrol dengan ketakutan akan tuhan didalam pikiran mereka, namun pada
masa searang manusia terinspirasi bukan dengan rasa takut itu sendiri,
namun untuk mendapatkan kehdupan yang tentram dan mendapatkan
“pahala” itu sendiri.3

Peran agama juga berlaku dalam value. Agama tidak hanya


memberikan suatu nilai terhadap kehidupan, namun memberikan arti
tersendiri. Peran agama dapat dikatakan sebagai uatu disipli yang
menyentuh alam bawah sadar dan membantu kita untuk melawann hal yang
buruk dan menjauhi dari aspek tersebut serta menyelamatkan kita dari rasa
kikir, kebencian dan sifat negatif lain. Agama mengeluarkan kekuatan moral
dan memberikan semagat besar untuk kehidupan manusia.

Terutama negara-negara yang masih menjunjung tnggi agama,


seperti Indonesia, India, Brazil dan negara-negara dunia ketiga lainnya.
Mereka mengambil “sense of life” daria gama itu sendiir dan agama
menjadi aspek yang penting dalam hidup mereka. Mereka kebanyakan
belum mendapatkan sains sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan seperti
“Apa makna hidup” atau “Apa hidup dan apa mati” dan juga “Apakah ada
kehidupan setelah mati”. Mereka mendapatkan jawab tersebut dari agama
yang mereka anut.

Emile Durkheim dan Agama

Dalam bukunya yang berjudul ‘The Elementary Forms of Religious


Life” yang dirilis pada tahun1912, ia berbicara mengenai agama secara
ekstensif. Durkheim berusaha melakukan dua hal yaitu, membangun fakta
bahwa agama tidak secara ajaib atau terinspirasi secara superanatural dan
lebih mengarah ke dalam produk masyarakat sosial itu sendiri. Durkheim
berusaha mengindentifikasi hal yang biasa ada dalam agama yang sering
ditempatkan emphasis, misal mengenai efek apa yang kepercayaan agama
tersebut ciptakan didalam kehidupan sosial itu sendiri.
Menurut Durkehim, agama ialah sesuatu yang secara eminen
menjadi aspek sosial. Rperesentasi religius ialah representasi kolektif yang
mengekspresikan realitas kolektif. Menngigat asal mula sosial dalam agama,
Durkehim berargumen bahwa agama bertindak sebagai suber dari solidaritas
tersebut. Agama menciptakan arti dalam kehidupan. Durkheim melihat
agama itu sendiri sebagai bagian yang kritis dalam sistem sosial tersebu.
Agama juga menciptakan kontrol sosial, kohesi dan makna bagi orang-orang
serta cara berkomunikasi dan berkumpulnya individu untuk berinteraksi dan
me reafirmasi norma sosial.

Pandangan terhadap agama berpandang terhadap fakta bahwa agama


menjadi salah satu agen utama solidaritas dan moralitas dalam masyrakat
dan menjadi bagian masalah utama dalam solidaritas sosial yang dapat di
eksplorasi. Agama juga dapat dibagi menjadi dua divisi fenomena yang
berbeda yaitu Sacred dan Profane. “Sacred” merujuk ke istilah yang para
kaum manusia terpisah-pisah misal kepercayaan agama atau apapn yang
dapat didefinisikan sosial sebagai memerlukan perlakuan special dalam
aspek religius. Sedangkan Profane kebalikan dari definisi Sacred tersebut,
selain aspek agama dapat dikatakan “profane”.

Objek dan perlikau yang dianggap “sacred” dapat dianggap sebagai


bagian dari dunia spiritual atau religus. Merke amenjadi bagian dari objek
atau tingkah laku yang dianggap special oleh kepercayaan religus. Hal-hal
yang dianggap”profane” menjadi ha selain ity yang tidak mempunayi fungsi
religus ataupun mempunyai arti tersendiri dalam keagamaan. Keduanya
membutuhkan satu sama lain untuk kelangsungan sosial itu sendiri.

Dunia menciptakan agama dengan mendefinisikan beberapa


fenomena sebagai “sacred” dan sebaliknya sebagai “profane”. “Sacred”
membawa tingkah laku kehormatan, misteri serta honor. Kehormatan
mengenai fenomena tersebut merubah mereka dari “profane” menjadi suatu
yang “scared”. Differensiasi antara keduanya sangatlah diperlukan namun
bukan menjadi kondisi utama dalam penciptaan dan perkembangan agama
itu sendiri.

Kondisi agama dalam aspek sosial sendiri dibutuhkan tiga aspek


yaitu: kepercayaan agama, ritus agama dan tempat ibadah. Kepercayaan
agama menjadi representasi ranah alamiah tempat yang suci dan dimana
relasi tersebut dapat berkelangsungan, dapat antar satu sama lain atau hal
yang “profane”. Ritus agama ialah peraturan yang mendeskrpsikan
bagaimana seorang harus menenangkan dirinya didepan kehadran objek
yang dianggap ‘sacred’.
PENUTUP

Walaupun dalam kenyatan empiris, agama dapat menjadi sumber


konfik, namun hakita gama itu sendiri tidak berpihak terhadap konflik
tersebut, tetapi cenderung menjaga harmoni untuk mempererat tali serta
ikatan persaudaraan itu sendiri. Terdapat beberapa poin konklusi dari paper
ini sendiri yaitu:

1) Orang mendapatkan ketenangan mental dari agama. Dengan adanya


agama, mereka mendapatkan jawaban dari berbagai misteri dalam
kehidupan

2) Agama menjadi cara dalam me-remedi kegelisahan seseorang. Agama


selalu berusaha untuk membimbing serta menenangkan manusia yang
sedang terpuruk.

3) Agama mempunyai fungsi penting dalam nilai sosial. Dengan adanya


agama, manusia terbiasa dengan nilai-nilai sosial seperti kejujuran,
kebenearan, cinta, disiplin dan lain-lain

4) Agama membangun nilai diantara orang-orang dan menjadi sumber


utama dalam kohesi sosial.

5) Agama menjadi cara yang efektif dalam memperkuat rasa kepercayaan


diri dari manusia itu sendiri.

Dapat terlihat bahwa agama menjadi salah satu pembangun sistem


sosial yang membentuk masyarakat itu sendiri. Agama menjadi struktur
yang esensial dalam masyarakat dibalik berbagai konflik yang terjadi dari
awal terdapatnya agama hingga era sekarang. Diluar negara maju yang
sudah mulai menjauh dari agama itu sendiri, agama tetap menjadi pemersatu
yang penting dalam solidaritas di negara-negara ‘third world’ di dunia ini.

DAFTAR PUSTAKA

Barlament, JW. A Brief History of Religion. 2019.

Naupal, Naupal. Agama dan Kebhinekaan di Indonesia. Ja

Bruinessen, van Martin, ed. Conservative Turn: Islam Indonesia Dalam

Ancaman Fundamentalisme. Bandung: Mizan, 2014.


Gill, Scherto, and Ulrico Niens. Education as Humanisation: A Theoretical

Review on the Role of Dialogic Pedagogy in Peacebuilding Education. New

York: Routledge, 2014.

Hogg, M. A., and G. M Vaughan. Social Psychology. London: Prentice Hall, 2002.

Hoon, Chang-Yau. “Putting Religion into Multiculturalism: Conceptualising


ReligiousBMulticulturalism in Indonesia.” Asian Studies Review 41, no. 3 (2017).

Kana, Nico L., and N Daldjoeni. Ikrar & Ikhtiar Dalam Hidup Pdt. Basoeki Probowinoto.

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.

Kasara, Kimuli. “Does Local Ethnic Segregation Lead to Violence?: Evidence

from Kenya.” Quarterly Journal of Political Science 11, no. 4 (2017): 441–

470.

Kristiyanto, Eddy, and William Chang. Multikulturalisme: Kekayaan Dan

Tantangannya Di Indonesia. Jakarta: Komisi Teologi, Konferensi Waligereja

Indonesia (KWI), 2014.

Mudzhar, H.M. Atho. “Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia Dan

Tantangan Ke Depan : Tinjauan Dari Aspek Keagamaan.” Puslitbang

Kehidupan Keagamaan (2005).

Notohamidjojo, O. Kreativitas Yang Bertanggung Jawab. Salatiga: Satya Wacana

perss., 2011.

Nye, Malory. “The Challenges of Multiculturalism.” An Interdisciplinary Journal 8, no.

2 (2007): 109–123.

Anda mungkin juga menyukai