Anda di halaman 1dari 6

UJIAN TENGAH SEMESTER FILSAFAT AGAMA

Peran Agama Sebagai Pengerat dalam


Solidaritas Sosial

Hedrian Purdianto
1806138812
Abstrak
Dunia internasional sendiri dalam sejarahnya memiliki hubungan yang naik turun dengan
institusi agama secara keseluruhan, banyak kritikan terhadap peran agama itu sendiri ataupun
proses untuk memisahkan agama dari negara itu sendiri. Agama pun juga sering dijadikan dalang
berbagai kejahatan di dunia ini, seperti perang ataupun terorisme. Agama pun juga sering
dijadikan alat politik untuk memperdaya masa dan memperoleh kekuasaan. Namun tidak bisa
dipungkiri bahwa agama sendiri tetap tidak dapat dijauhkan dari masyarakat dunia itu sendiri,
agama tetap dianggap menjadi bagian yang sangat penting dalam dinamika sosial yang ada.
Dalam ilmu sosial, agama lebih dikaitkan terhadap integrase dan harmoni. Seperti di beberapa
negara, agama menjadi dasar pemersatu rakyatnya untuk beradaptasi. Agama tidak selalu
menjadi sarana kehancuran seperti yang beberapa kaum berusaha menggambarkan, namun
agama terkadang berfungsi sebagai hal yang menyemangatkan solidaritas rakyatnya.
Tulisan ini berusaha membuktikan bahwa dibalik sisi gelap yang sering digambarkan media
internasional mengenai agama, terutama Islam yang dimana sering dijadikan dalang oleh media
barat, agama tetap menjadi pengerat antar masyarakat yang efektif. Di Indonesia misalnya,
agama menjadi sumber pelestarian kultur dalam sesama yang berlandaskan perbedaan.
Kebersamaan serta solidaritas sosial tersebut tetap dapat terjadi dan justru terpicu dengan
peranan agama yang ketat.
Kata kunci: agama, sosial, solidaritas, kebersamaan, nilai

Pendahuluan
Sebenarnya apa itu agama? Mayoritas pemikirdan filsuf mendefinisikan agama dengan
mengikuti definisi yang diberikan para pemikir barat. Para pemikir barat percaya bahwa
pendekatan agama sangatlah teistik dalam alamiahnya, jadi mayoritas para pemikir pun
mempertahankan konsensus bahwa agama adalah bagian darie eteisme.
Selain itu terdapat pula pandangan bahwa agama mengikuti tubuh pembelajaran yang dapat di
tramisikan dan komunal yang dimana ajarannya mengenai realitas yang tidak dapat diganggu
gugat atau being yang memanggil untuk penghormatan, yang dimana dirinya membimbing para
penganutnya kedalam apa yang dideskripsikan sebagai hubungan yang mengiluminasi atau
mengemansipasi kedalam realitas dari kehidupan doa, ritual ataupun meditasi ataupun praktis
moral seperti ketaubatan atau regenerasi pribadi.
Namun kedua definisi tersebut juga memiliki kelamaan karena hanya menganggap suatu tradisi
sebagai religius jikaia mengikut sertakan kepercayaan akan Tuhan, karena bebrapa agama saja
seperti Buddha tidak memiliki kepercayaan akan Tuhan itu sendiri. Seorang pemikir bernama
Galowday memberikan definisi mengenai agama yaitu “Sesuatu kepercayaan akan kekuatan
diluar dirinya yang dapat dicari untuk memuaskan kebutuhan emsional dan mendapatkan
stabilitas kehidupan, dan mereka mengekspresikannya dalam tindakan pemujaan, penyembahan
atau suatu ritual.
Dalam aspek agama sendiri dan kesadarannya, terdapat tiga aspek yaitu intelek, perasaan dan
tindakan. Para pemikir cenderung mendefinisikan agama berdasarkan emphasis terhadap ketiga
aspek tersebut. Menurut Spencer, agama ialah hipotesis yang dimana orang berusaha
mengertikan ala mini.Definisnya menempatkan emphasis terhadap aspek intelektual dalam
agama. Hampir semua definisi tersebut, Tuhan menjadi elemn sentral walaupun seperti Buddha,
Tuhan tidak selalu menjadi aspek yang harus ada didalam agama. Tetapi tidak ada definisi
mengenai aspek agama tersebut yang secara definitif menggambarkan aspek secara keseluruhan.
Agama sangatlah susah untuk didefinisikan, bukan karena sangat sedikit aspek didalamnya,
namun justru karena terlalu banyak aspek didalamnya.
Dengan kompleksitas nya permasalahan mengenai agama, sejarah mengenai agama pun juga
dipenuhi oleh misteri dan banyak hal yang masih tidak diketahui. Satu hal yang pasti ialah agama
awal mirip dengan shamanisme. Shamanisme sendiri dulunya hanya dipakai untuk
mendeskripsikan tradisi tradisional Siberia, namun sekarang dipakai untuk mendeskripsikan
berbagai macam kepercayaan di belahan dunia. Misalnya suku aborigin, orang Indian, suku-suku
Oceania serta populasi pedalaman Siberia. Di Afrika sendiri terdapat sistem yang serupa
bernama animism yang masih dipakai banyak orang pedalaman Afrika. Setelah agama tersebut
pun mulai bermunculan, akhirnya agama monoteis dan kemudian Abrahamik muncul, yang
sekrang menjadi tiga agama terbesar di dunia. Agama tersebut pun mendalami sejarahnya
dengan penuh campur aduk antara keharmonisan dan peperangan satu sama lain sepanjang
sejarah (misal Perang Salib), namun juga terdapat kebersamaan antara satu sama lain. Motivasi
religi masih menjadi motivasi religi yang pentinng dalam konflik interna dan internasional pada
saat ini. Entah mungkin Islam ataupun kejadian pada masa lalu dalam Perang Salib yang
dilakukan Islam dan Kristen, namun apakah kebersamaan dapat terjalin intra ataupun sesama
agama? Solidaritas agama tidak hanya dilakukan untuk kekerasan antara satu sama lain ataupun
sesama kaum, namun dapat dijadikan alat pemersatu yang kuat dan harmonis. 1

Peran Agama dalam Sosio-Budaya


Agama sendiri lahir dari ruang budaya yang tidak dapat dilepaskan pengaruhnya. Masyarakat
mungkin dapat ada tanpa sains, seni dan filsafat, namun tidak ada masyarakat yang tanpa agama.
Agama menjadi salah satu aspek sosioo-budaya yang penting dan interaksi dengan perilaku,
pandangan hidup, moral, ekonomi, hukum, politik, seni dan ainya. Agama menjadi representasi

1
Barlament, JW. A Brief History of Religion. 2019.
kolektif manusia, sehingga gejala sosial sering ditafsirkan dengan perspektif religius, masyarakat
sering berpaing terhadap agama dalam pencarian jawaban dalam kerumitan sosial. 2
Contoh kerumitan sosial yang dimana agama dan institusi bermain, antara lain domestic,
ekonomi dan politik. Aspek sosial dalam agama ialah “prayer” atau berdoa dan sembayang.
Dengan aktivitas ini terdapat perasaan yang bersamaan yang juga dapat memacu sentiment yang
sama dan rasa solidaritas antara para penganut suatu agama tersebut. Dari situ lah anggota dari
suatu agama tersebut dapat bersatu dan mempnyai ketertarian yang lebih besaruntuk berbuat
amal (misal zakat dan sebagainya). Terlihat dari beberapa kejadian sosial yang umum terjadi,
para institusi agama juga sering bersamaan atau bersolidaritas melakukan sumbangan.
Banyak aktivitas manusia dan pengaruh sisal dan budaya yang berasal dari agama itu sendiri.
Manusia cenderung mengekspresikan perasaan religusnya berdasarkan ritual dan seremoni
(acara). Bahkan jika ditelaah dari sejarahnya, kehidupan orang primitif sendiri telah dikelilingi
praktek religi. Beberapa aktivitas sosial yang kita lakukan seperti perikahan, perburuan, dan
upacara kematian sudah dilakukan dari masa primitif. Dengan melakukan aktivitas ini maka
terdapat rasa yang sama dan aksi yang dimana lebih dari fungsi religi saja. Berbagai komunitas
religi, upacara menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sosial misal dalam rangka selamatan
pembuatan bangunan baru. Peran agama sangat terlihat dalam hubungan bermasyakrat dan juga
dipakai untuk mengontrol masyarakat itu menjadi lebih solid.
Agama membantu membangun karakter suaut individu dan mrmbentuk kehidupan sosial nya. Ia
membangun dan membawa value atau nilai sosial dalam pikiran manusia. Dalam mengikuti
peraturan yang dibangn agama misal seperti menghormati orang yang lebih tua atau memberikan
rasa simpati terhadap perasaan orang lain ataupun menghormati dan mengikuti obligasi sosial
lainnya, peraan agama dalam sosial sendiri sangat lah besar. Agama bertindak sebagai guru, dan
ia mengajarkan bahwa “service” terhadap tuhan sendiri akan menjadi kenyataan jika para
pengikut agama tersebut melayani manusia itu sendiri. Agama mengajarkan kesadaran moral
diantara manusia, dan agama bergerak sebagai faktor yang menginspirasi.
Agama memacu uniformitas perilaku dan memperkuat solidaritas sosial, dan slidaritas tersebut
pun menjadi instrument dalam menstabilisasi tatanan sosial. Pada masa primitif, pengaruh agama
sangat besar dalam mengontrol masyarakat itu sendiiri. Kehidupan sosial pada masa lalu
dikontrol dengan ketakutan akan tuhan didalam pikiran mereka, namun pada masa searang
manusia terinspirasi bukan dengan rasa takut itu sendiri, namun untuk mendapatkan kehdupan
yang tentram dan mendapatkan “pahala” itu sendiri.3
Peran agama juga berlaku dalam value. Agama tidak hanya memberikan suatu nilai terhadap
kehidupan, namun memberikan arti tersendiri. Peran agama dapat dikatakan sebagai uatu disipli
yang menyentuh alam bawah sadar dan membantu kita untuk melawann hal yang buruk dan
menjauhi dari aspek tersebut serta menyelamatkan kita dari rasa kikir, kebencian dan sifat negatif
lain. Agama mengeluarkan kekuatan moral dan memberikan semagat besar untuk kehidupan
manusia. 4

2
Naupal, Naupal. Agama dan Kebhinekaan di Indonesia. Jakarta
Nath, Shanjendu. Religion and It’s Role in Society. Assam, India: IOSR, 2015.
3
4
Radhakrishanan. S. Religion and Society; George Allen and Unwin, London. 1947, hal. 47.
Terutama negara-negara yang masih menjunjung tnggi agama, seperti Indonesia, India, Brazil
dan negara-negara dunia ketiga lainnya. Mereka mengambil “sense of life” daria gama itu sendiir
dan agama menjadi aspek yang penting dalam hidup mereka. Mereka kebanyakan belum
mendapatkan sains sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan seperti “Apa makna hidup” atau
“Apa hidup dan apa mati” dan juga “Apakah ada kehidupan setelah mati”. Mereka mendapatkan
jawab tersebut dari agama yang mereka anut.

Emile Durkheim dan Agama


Dalam bukunya yang berjudul ‘The Elementary Forms of Religious Life” yang dirilis pada tahun
1912, ia berbicara mengenai agama secara ekstensif. Durkheim berusaha melakukan dua hal
yaitu, membangun fakta bahwa agama tidak secara ajaib atau terinspirasi secara superanatural
dan lebih mengarah ke dalam produk masyarakat sosial itu sendiri. Durkheim berusaha
mengindentifikasi hal yang biasa ada dalam agama yang sering ditempatkan emphasis, misal
mengenai efek apa yang kepercayaan agama tersebut ciptakan didalam kehidupan sosial itu
sendiri.
Menurut Durkehim, agama ialah sesuatu yang secara eminen menjadi aspek sosial. Rperesentasi
religius ialah representasi kolektif yang mengekspresikan realitas kolektif. Menngigat asal mula
sosial dalam agama, Durkehim berargumen bahwa agama bertindak sebagai suber dari solidaritas
tersebut. Agama menciptakan arti dalam kehidupan. Durkheim melihat agama itu sendiri sebagai
bagian yang kritis dalam sistem sosial tersebu. Agama juga menciptakan kontrol sosial, kohesi
dan makna bagi orang-orang serta cara berkomunikasi dan berkumpulnya individu untuk
berinteraksi dan me reafirmasi norma sosial. 5
Pandangan terhadap agama berpandang terhadap fakta bahwa agama menjadi salah satu agen
utama solidaritas dan moralitas dalam masyrakat dan menjadi bagian masalah utama dalam
solidaritas sosial yang dapat di eksplorasi. Agama juga dapat dibagi menjadi dua divisi fenomena
yang berbeda yaitu Sacred dan Profane. “Sacred” merujuk ke istilah yang para kaum manusia
terpisah-pisah misal kepercayaan agama atau apapn yang dapat didefinisikan sosial sebagai
memerlukan perlakuan special dalam aspek religius. Sedangkan Profane kebalikan dari definisi
Sacred tersebut, selain aspek agama dapat dikatakan “profane”.
Objek dan perlikau yang dianggap “sacred” dapat dianggap sebagai bagian dari dunia spiritual
atau religus. Merke amenjadi bagian dari objek atau tingkah laku yang dianggap special oleh
kepercayaan religus. Hal-hal yang dianggap”profane” menjadi ha selain ity yang tidak
mempunayi fungsi religus ataupun mempunyai arti tersendiri dalam keagamaan. Keduanya
membutuhkan satu sama lain untuk kelangsungan sosial itu sendiri.
Dunia menciptakan agama dengan mendefinisikan beberapa fenomena sebagai “sacred” dan
sebaliknya sebagai “profane”. “Sacred” membawa tingkah laku kehormatan, misteri serta honor.
Kehormatan mengenai fenomena tersebut merubah mereka dari “profane” menjadi suatu yang
“scared”. Differensiasi antara keduanya sangatlah diperlukan namun bukan menjadi kondisi
utama dalam penciptaan dan perkembangan agama itu sendiri.
Kondisi agama dalam aspek sosial sendiri dibutuhkan tiga aspek yaitu: kepercayaan agama, ritus
agama dan tempat ibadah. Kepercayaan agama menjadi representasi ranah alamiah tempat yang

Priya, Rashim. The Durkheim’s Sociology of Religion and It’s Function.


5
suci dan dimana relasi tersebut dapat berkelangsungan, dapat antar satu sama lain atau halyang
“profane”. Ritus agama ialah peraturan yang mendeskrpsikan bagaimana seorang harus
menenangkan dirinya didepan kehadran objek yang dianggap ‘sacred’.

Penutup
Walaupun dalam kenyatan empiris, agama dapat menjadi sumber konfik, namun hakita gama itu
sendiri tidak berpihak terhadap konflik tersebut, tetapi cenderung menjaga harmoni untuk
mempererat tali serta ikatan persaudaraan itu sendiri. Terdapat beberapa poin konklusi dari paper
ini sendiri yaitu:
1) Orang mendapatkan ketenangan mental dari agama. Dengan adanya agama, mereka
mendapatkan jawaban dari berbagai misteri dalam kehidupan
2) Agama menjadi cara dalam me-remedi kegelisahan seseorang. Agama selalu berusaha untuk
membimbing serta menenangkan manusia yang sedang terpuruk.
3) Agama mempunyai fungsi penting dalam nilai sosial. Dengan adanya agama, manusia terbiasa
dengan nilai-nilai sosial seperti kejujuran, kebenearan, cinta, disiplin dan lain-lain
4) Agama membangun nilai diantara orang-orang dan menjadi sumber utama dalam kohesi
sosial.
5) Agama menjadi cara yang efektif dalam memperkuat rasa kepercayaan diri dari manusia itu
sendiri.
Dapat terlihat bahwa agama menjadi salah satu pembangun sistem sosial yang membentuk
masyarakat itu sendiri. Agama menjadi struktur yang esensial dalam masyarakat dibalik berbagai
konflik yang terjadi dari awal terdapatnya agama hingga era sekarang. Diluar negara maju yang
sudah mulai menjauh dari agama itu sendiri, agama tetap menjadi pemersatu yang penting dalam
solidaritas di negara-negara ‘third world’ di dunia ini.

DAFTAR PUSTAKA
Barlament, JW. A Brief History of Religion. 2019.
Naupal, Naupal. Agama dan Kebhinekaan di Indonesia. Jakarta
Nath, Shanjendu. Religion and It’s Role in Society. Assam, India: IOSR, 2015.
Radhakrishanan. S. Religion and Society; George Allen and Unwin, London. 1947, hal. 47.
Priya, Rashim. The Durkheim’s Sociology of Religion and It’s Function.

Anda mungkin juga menyukai