Anda di halaman 1dari 3

ANANDA BAGUS WIRAHADI KUSUMA

18105020039

Relasi Agama Dalam Konteks Sosial

Menurut Notingham, agama memiliki dua peran penting,

1. Agama membantu untuk mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban-
kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap para
anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial masyarakat. Peran agama
telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.

2. Agama telah memainkan peran vital dalam memberikan yang mendukung dan memperkuat
adat istiadat. Kegiatan keagamaan yang berbentuk peribadatan merupakan salah satu bentuk
ungkapan pengalaman keagamaan1.

Menurut Durkheim kelompok sosial mengukuhkan dirinya kembali secara periodik. Manusia
yang merasa dirinya disatukan dengan suatu komunitas kepentingan dan tradisi, berkumpul dan
menyadari kesatuan moral mereka. Karena itu menurut Durkheim, fungsi sosial agama adalah
mendukung dan melestarikan masyarakat yang sudah ada. Agama bersifat fungsional terhadap
persatuan dan solidaritas sosial2.

Bagi Malinowski, meski agama dianggap bersumber dari pengalaman individu, namun ritual-
ritual publik memiliki fungsi sosial, karena ia merupakan dasar bagi struktur sosial dan tidak
dapat dielakkan bahwa agama memiliki fungsi untuk mempertahankan moral. Bahkan baginya
ritus pemakaman, berfungsi untuk menegaskan kembali kesatuan kelompok3.

Bagi Aguste Comte, peribadatan merupakan instrumen esensial untuk membentuk dan
memepertahankan konsensus. Sementara itu menurut pengamatan Brian Morris, ritual tidak
hanya berfungsi menguatkan ikatan yang menghubungkan orang beriman dengan Tuhan, tetapi
juga menguatkan ikatan yang melekatkan individu kepada kelompok sosial di mana ia menjadi
salah seorang anggotanya melalui ritual kelompok menjadi menyadari dirinya sendiri. Uraian di

1
Shonhaji, Agama Sebagai Perekat Social Pada Masyarakat Multikultural, Al-AdYaN/Vol.VII, N0.2/Juli-
Desember/2012, hlm: 15
2
Ibid, hlm: 15-16
3
Ibid, hlm: 16
atas menggambarkan betapa agama dalam aspek ritual peribadatannya memiliki peran dan fungsi
yang sigmifikan dalam mendorong terwujudnya solidaritas sosial4.

Dalam pandangan sosiolog dan antropolog agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
keyakinan yang dianut dan diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasi dan memberi responsterhadap apayang dirasakan dan diyakini sebagai suatu
yang gaib dan suci. Jadi agama merupakan sumber nilai moral dan kaidah sosial bagi
masyarakat. Agama menurut sosiolog bersifatempiris-deskriptif, bukan evaluatif. Sosiolog
beranjak dari pengalaman kongkrit sekitarapa yang dimengerti dan dialami oleh pemeluk-
pemeluknya. Hal ini dapat dilihat dari definisi agama yang diberikan oleh para sosiolog.
Misalnya Kalr Marx, ia mengartikan agama sebagai proyeksi yang khayali tentang keinginan-
keinginan manusiadan harapanhidup mereka. Menurutnya, keadaan masyarakat kapitalis yang
membuat banyak manusiatertindas dan kehilangan kebebasan untuk merealisasikan diri dipahami
sebagai inspirasi utama manusia menciptakan agama. Dalam agama manusia memimpikan suatu
situasi dimana eksistensinya sebagai manusia diakui dan dihargai5.

Ungkapan “realitas sosial” merupakan gabungan dari kata “realitas” dan “sosial”. Secara
etimologi kedua kata ini berasal dari bahasa Inggris; “reality” yang berarti realitas, kenyataan
atau dalam kenyataan, dan “social” memiliki arti pertemuan silaturrahmi, ramah tamah, senang
sekali bergaul. Menurut Soerjono Soekanto, ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang memilih
masyarakat atau kehidupan bersamasebagai objek yang dipelajari. Realitas sosial adalah
kenyataan kehidupan sosial masyarakat. Realitas sosial juga merupakan suatu peristiwa yang
memang benar terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dan manusia dikatakan sebagai makhluk
sosial dikarenakan pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang
lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk mencari kawan atau teman. Kebutuhan untuk berteman
dengan orang lain seringkali didasari atas kesamaan ciri atau kepentingan masing-masing.
Misalnya, orang kaya cenderung berteman dengan orang kaya. Orang yang berprofesi sebagai
artis, cenderung untuk mencari teman sesama artis. Dengan demikian akan terbentuk kelompok-
kelompok sosial dalam masyarakat yang didasari oleh kesamaan ciri atau kepentingan. Untuk
menjaga keharmonisan hubungan sosial, maka pada setiap masyarakat mempunyai nilai-nilai

4
Ibid, hlm: 16-17
5
Zaini, Muhammad, Kontribusi Agama Bagi Kemajuan Sosial, Substantia, Volume 18 Nomor 1, April
2016, hlm: 82-83
sosial yang mengatur tata nilai di dalam masyarakat tersebut. Termasuk di dalam nilai-nilai
sosial ini tata susila serta adat kebiasaan. Nilai-nilai sosial ini merupakan ukuran-ukuran didalam
menilai tindakan dalam hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, tujuan nilai-nilai sosial
ialah untuk mengadakan tata atau ketertiban. Tata ini hanya mungkin terwujud jika nilai-nilai
sosial ini mempunyai wadah untuk menegakkannya. Wadah dimaksud ialah struktur atau
susunan masyarakat. Meskipun sudah memiliki nilai-nilai sosial, namun pada kenyataannya
sering muncul masalah-masalah sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Masalah sosial
timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber
pada faktor ekonomis, biologis, psikologis, dan kebudayaan. Problem-problem yang berasal dari
faktor ekonomi antara lain kemiskinan, pengangguran, kejahatan dan sebagainya. Problem yang
berasal dari faktor biologis misalnya penyakit. Problem dari faktor psikologis timbul persoalan
seperti penyakit syaraf dan bunuh diri. Sementara persoalan yang menyangkut perceraian,
kejahatan, konflik sosial dan keagamaan bersumber pada faktor budaya. Sampai di sini dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan “agama sebagai realitas sosial” adalah bahwa agama
merupakan sesuatu yang harus ada dan dibutuhkan oleh manusia. Manusia membutuhkan agama,
karena agama memiliki fungsi untuk membantu manusia menghadapi berbagai macam persoalan
kehidupan di dunia ini6.

6
Zaini, Muhammad, Kontribusi Agama Bagi Kemajuan Sosial, Substantia, Volume 18 Nomor 1, April
2016, hlm: 83-84

Anda mungkin juga menyukai