Anda di halaman 1dari 11

Signifikasi Dialog antar Umat Beragama

Dosen Pengampu

DR. Roma Ulinnuha, M.Hum

Oleh

Ananda Bagus Wirahadi Kusuma

(18105020039)
Konsep

Problem paling mendasar era dewasa ini adalah kenyataan pluralisme yang tidak dapat
dilepaskan dalam kehidupan sosial-kultur masyarakat Indonesia. Keragaman dalam suatu
masyarakat dapat terkesan unik dan otentik, di samping sebagai identitas suatu kelompok,
pluralisme atau keragaman juga dapat menjadi nilai kakayaan budaya Indonesia. Oleh karena itu,
berkaitan dengan berkembangnya wacana pluralisme agama, berkembanglah suatu paham
teologia religionum, suatu paham yang menekankan pada pentingnya dewasa ini untuk
berteologi dalam konteks agama-agama. Berteologi dalam konteks agama-agama diperlukan
untuk menumbuhkan sikap luhur budi dan toleran terhadap teologi atau kepercayaan yang
berbeda, dalam upaya menumbuhkan sikap welas asih antar sesama diperluhkan juga
kedewasaan dalam hal beragama, agar dapat meminimalisir isu-isu konflik yang berkembang dan
juga menjamin stabilitas sosial ke arah yang damai dan toleran1.

Mukti Ali melihat wacana plural masyarakat Indonesia secara serius, ia berusaha menggagas
suatu cara untuk merekatkan hubungan baik antar golongan, kelompok dan umat beragama di
Indonesia. Cara yang digunakan oleh Mukti Ali dalam membangun kerukunan antar umat
beragama di Indonesia adalah dialog. Dialog ditinjau dari asal usul kata berasal dari bahasa
Yunani dia yang berarti antara, bersama, legian yang berarti bicara, bercakap-cakap, bertukar
pikiran dan gagasan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksud dialog adalah
berbicara, komunikasi dan bertukar gagasan, baik dilakukan secara komunal maupun dua
individu. Menurut Mukti Ali, yang dimaksud dialog adalah pertemuan hati dan pikiran antar
pemeluk dalam berbagai agama. Dialog adalah komunikasi antara orang-orang yang percaya
pada tingkat agama. Dialog merupakan jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerjasama
dalam proyek-proyek yang menyangkut kegiatan bersama2.

Dialog antar umat beragama adalah suatu perjumpaan yang sungguh bersahabat serta
berdasarkan rasa hormat dan cinta antar pemeluk agama. Adapun tujuan dialog antar umat
beragama adalah agar diperoleh titik temu berbagai perbedaan yang selalu muncul dalam
menghadapi kenyataan pluralitas agama. Pernyataan seputar dialog Mukti Ali di atas
menekankan pada pemahaman tentang dialog dewasa ini sangat diibutuhkan dalam membangun
1
Fatih, Moh Khoirul, Dialog dan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Pemikiran A. Mukti Ali, Religi, Vol.
13, No. 1, Tahun 2017: 38-60, hlm: 50
2
Ibid, hlm: 51
kerjasama dan kepercayaan antar pemeluk agama, sehingga dapat bersama-sama membangun
kehidupan sosial yang ideal, yakni kehidupan yang damai, gotong royong dan hormat-
menghormati. Dialog dalam pengertian Mukti Ali tidak ditekankan pada tujuan saling
menjatuhkan mengklaim siapa yang paling benar, melainkan bentuk perjumpaan teologi yang
bersahabat berdasarkan nilai-nilai perdamaian yang diajarkan dalam setiap agama3.

Mukti Ali mengemukakan bahwa terdapat bermacam-macam bentuk dialog antarumat beragama,
yaitu:

1) Dialog Kehidupan

Individu dari berbagai macam agama dan bekerjasama untuk saling memperkaya kepercayaan
dan keyakinannya masing-masing, dengan melakukan nilai-nilai dari agama masing-masing
tanpa diskusi formal. Hal ini terjadi pada keluarga, sekolah, angkatan bersenjata, rumah sakit,
industri, kantor dan negara. Juga dialog antar kebudayaan, karena kebudayaan itu dipengaruhi
oleh agama.

2) Dialog dalam Kegiatan Sosial

Yang dimaksud dialog antargama adalah bertujuan meningkatkan harkat umat manusia dan
pembebasan integral dari umat manusia. Pelbagai macam pemeluk agama dapat mengadakan
kerja sama dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan, dalam meningkatkan kehidupan
keluarga, dalam proyek bersama untuk membantu rakyat yang menderita dari kekeringan,
kemiskinan, kekurangan makan, dan terutama meningkatkan keadilan dan perdamaian.

3) Dialog Komunikasi Pengalaman Agama

Bentuk ketiga dari dialog antaragama adalah mengambil bentuk komunikasi pengalaman agama,
doa, dan meditasi. Dialog semacam ini dapat disebut sebagai dialog intermonastik, misalnya, ada
pertapa-pertapa Katolik dan pertapa-pertapa Budha. Untuk beberapa minggu lamanya, mereka
menginap di pertapaan lainnya supaya memperoleh pengalaman keyakinan untuk mempelajari
kehidupan seharihari, seperti cara mereka berpuasa, berdoa, membaca kitab suci, meditasi, dan
kerja lainnya. Sudah tentu, dialog intermonastik ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Ia dapat dilakukan oleh para pemimpin agama saja atau oleh orang yang ingin mengetahui
kehidupan pemimpin-pemimpin agama lain.
3
Ibid, hlm: 51-52
4) Dialog untuk Doa Bersama

Bentuk dialog seperti ini sering dilakukan dalam pertemuan-pertemuan agama internasional,
yang didatangi oleh berbagai kelompok agama yang beragam. Setiap orang dapat berdoa dengan
cara dan keyakinannya masing-masing, misalnya tentang doa perdamaian dunia, yang dilakukan
secara bersama-sama4.

Berkaitan dengan pemikiran Mukti Ali seputar kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Ia
menguraikan lima konsep pemikiran yang dapat diajukan untuk mencapai kerukunan antarumat
beragama di Indonesia.

1) Sinkretisme

Yaitu bahwa semua agama sama, sama-sama dalam usahanya menuju rahmat Tuhan.

2) Reconception

Yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama
lain.

3. Sistesis

Yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama,
supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya
telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Dengan jalan ini orang menduga bahwa
kehidupan beragama menjadi rukun.

4. Pergantian

Yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah
salah dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya.

5) Agree in disagreement (setuju dalam perbedaan)

Yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan
orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik.

4
Ibid, hlm: 53-54
Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya,selain terdapat perbedaan, juga terdapat
persamaan5.

Prof. Mukti Ali berpendapat bahwa dialog umat Islam dengan umat Kristiani di Indonesia telah
dimulai intensif pada dekade 1970-an. Secara umum dialog antara umat Islam dan umat Kristiani
banyak ditekankan di Indonesia mengingat kelompok ini yang sering mengalami kesulitan satu
5
Ibid, hlm: 54-55
dengan yang lain dan juga menggulirkan usaha-usaha eksplisit untuk memperkembangkan
dialog. Dalam tataran epistimologis, perbandingan agama dipandang sebagai lingkup keilmuan
yang salah satunya berprisma pada komunikasi antar-umat beragama. Sedangkan dalam segmen
aksiologisnya, pengkajian itu dapat berwujud pada aspek fungsionalnya yang berupa aksi, misi
dan dialog.6

Dialog antarumat beragama atau dialog lintas agama (interreligious dialogue), dan dialog
antarumat beriman atau dialog lintasiman (interfaith) sering diartikan berbeda meskipun saling
berhubungan. Dataran dialog dapat digolongkan sebagai berikut (Banawiratma: 2010):

[1] Dialog kehidupan,

[2] Analisis sosial dan refleksi etis kontekstual,

[3] studi tradisi agama-agama –saya sendiri dalam komunitas agama saya sendiri,

[4] Dialog antarumat beragama: berbagai dalam level pengalaman,

[5] Dialog antarumat beragama: berteologi lintas-agama,

[6] Dialog aksi,

[7] Dialog Intra agama7

Dalam konteks Indonesia, konsep kerukunan ditekankan pada awalnya tentang masing-masing
pemeluk agama menahan diri dari membujuk penganut agama lain untuk masuk agamanya
sendiri. Menteri Agama (1971-1978), Mukti Ali menyebutnya sebagai istilah agree in
disagreement (setuju dalam perbedaan). Menteri berikutnya, Alamsyah mencanangkan konsep
trilogy kerukunan ( tri kondial), yaitu:

[1] kerukunan internal antara berbagai aliran dalam satu agama tertentu,

[2] kerukunan antaragama,

[3] kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah.8

6
Roma Ulinnuha, Handout Komunikasi Lintas Agama dan BudayaFakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran
Islam, hlm: 1
7
Ibid, hlm: 1
8
Ibid, hlm: 1-2
Dalam studi kasus, dalam hal ini bisa dilihat dalam fenomena sosial yang terjadi di masyarakat
Kampung Jaton, Manado, Sulawesi Utara. Pengamatan tersebut mengenai kondisi geografis
daerah, faktor sejarah yang membentuk budaya dan nilai di daerah tersebut, kemudian juga
mengenai angka pemeluk agama Kristen dan Islam. Di tengah keberagaman dan perbedaan
tersebut warga Kampung Jaton berhasil hidup rukun dengan warga pribumi etnis Minahasa yang
memeluk agama Kristen. Komunikasi dan interaksi ini berhasil membentuk kerukunan antarumat
beragama di Kampung Jaton.

Kampung Jaton menjadi menarik karena penduduk kampung tersebut mayoritas beragama Islam
(muslim). Perlu ketahui Sulawesi Utara merupakan provinsi yang penduduknya mayoritas
beragama Kristen. Secara historis Kampung Jaton muncul sebagai warisan sejarah bangsa
Indonesia. Jawa Tondano atau Jaton merupakan perkampungan muslim terbesar di Minahasa.
Hal yang unik terjadi dalam Kampung Jaton adalah marga atau nama belakang. Marga yang
dimiliki masyarakat Kampung Jaton adalah Modjo. Marga Modjo menunjukan bahwa
masyarakat di Kampung Jaton adalah keturunan dari Kyai Modjo. Sejarah mengatakan, seperti
dijelaskan secara ringkas dalam latar belakang bahwa dalam Perang Jawa (1825--1830)
Panglima Perang Diponegero ditangkap Belanda dan diasingkan ke Sulawesi Selatan, Makassar.
Sedangkan Kyai Modjo yang merupakan orang kepercayaan Pangeran Diponegero dibuang atau
diasingkan ke Minahasa. Di situlah Kyai Modjo dan para pengikutnya bertahan hidup. Di
pengasingan Kyai Modjo dan pengikutnya menikah dengan wanita di daerah sekitar, dan
akhirnya memiliki keturunan dengan marga Modjo. Kawasan Kampung Jaton menjadi daerah
muslim terbesar di Minahasa. Sampai saat ini kerutunan Kyai Modjo memasuki generasi
kesembilan, generasi ini sudah terasimilasi dengan kebudayaan etnis Minahasa.9

Kedatangan pasukan Kyai Modjo ke Minahasa membawa budaya sekaligus agama. Agama yang
dianut pasukan Kyai Modjo dan para pengikutnya adalah muslim. Perkawinan yang dilakukan
akhirnya mengubah Kampung Jaton menjadi Kampung Muslim. Sampai saat ini Kampung Jaton
adalah kampung yang penduduknya semua Muslim. Nilai-nilai kerukunan beragama di
Kampung Jaton, tidak hanya mencakup masyarakat beragama Muslim dan Kristen saja. Tetapi
merangkul semua agama, hal ini bisa ditunjukan dari adanya gereja Synagoguemilik Yahuni di
dekat Kampung Jaton. Gereja Synagogue jarang ditemui di daerah kota besar seperti di Jakarta.
9
Sinta Paramita, Wulan Purnama Sari, Komunikasi Lintas Budaya dalam Menjaga Kerukunan antara Umat
Beragama di Kampung Jaton Minahasa, Jurnal Pekommas, Vol. 1 No. 2, Oktober 2016: 153 – 166, hlm: 160
Keberagaman gereja tersebut bisa saja memicu konflik di masyarakat jika keberadaannya di kota
besar atau sekitarnya. Tetapi tidak di Kampung Jaton, semua berjalan secara berdampingan dan
rasa saling menghormati yang tinggi.10

Masyarakat Manado mengenal budaya terbuka dan toleransi dalam kehidupan kesehariannya.
Alasan yang menjadi bukti dari budaya terbuka dan toleransi ini dapat diamati dalam kehidupan
sosialitas masyarakat Manado dengan komposisi masyarakat yang berasal dari latar belakang
agama, budaya, dan suku yang berbeda-beda ini diikat dalam ikatan simbolik, yaitu: Bo- Hu- Sa
-Mi (Bolaang Monongondow- Hulontalo atau Gorontalo-Sangir-Minahasa). Ikatan simbolik ini,
dipahami oleh masyarakat Manado sebagai ikatan persaudaraan yang tidak memperdulikan
perbedaan bahasa, suku dan budaya bahkan agama.11

Nilai-nilai yang diberikan warisan nenek moyang masih digunakan hingga saat ini. Hal tersebut
terlihat dari beberapa warga yang ditemui di daerah Jaton yang menggunakan pakaian muslim
dan ikat kepala (surban) seperti Pangeran Diponegoro. Pernikahan yang terjadi antara kelompok
Kyai Modjo dengan wanita-wanita Minahasa melahirkan kebudayaan baru yang mempunyai
karakteristik Jawa dan Minahasa. Misalnya saja istilah dahar dan jarik. Menurut warga Jaton
dahar merupakan kegiatan mempersilakan tamu atau seseorang untuk makan, dan menurut
narasumber utama dalam penelitian ini dahar adalah bahasa nenek moyang yang berasal dari
Minahasa. Jika melihat kebudayaan Jawa, bahasa dahar sama artinya dengan penjelasan warga
Minahasa. Selain itu kata jarik, menurut warga Jaton jarik adalah kain yang digunakan dalam
acara-acara resmi seperti penikahan. Hal ini sama dalam kebudayaan Jawa, jarik adalah kain
batik yang digunakan wanita Jawa, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun pada acara
tertentu. Ketika warga Jaton dikonfimasi kembali mengenai penggunaan kata jarik ini,
narasumber hanya mengatakan bahwa kata jarik dari dipakai sejak zaman nenek moyangnya
yang sudah menggunakan jarik sejak dahulu.12

Konsep kerukunan bagi warga Jaton terwujud melalui dua konsep utama. Konsep pertama adalah
filosofi Sitou Timou Tumou Tou dan yang kedua adalah filosofi Torang Samua Basudara.
Selanjutnya akan dibahas dengan mendetail mengenai filosofi Sitou Timou Tumou Tou Sulit
Disulut, Karena: Torang Samua Basudara dan Situ, Timou, Tumou, Tou (manusia hidup untuk
10
Ibid, hlm: 161
11
Ibid, hlm: 161
12
Ibid, hlm: 161
memanusiakan orang lain). Filosofi hidup warisan DR.Sam Ratulangi. Maksud filosofi di atas,
manusia hidup memanusiakan manusia lain. Anggapan umum menilai, falsafah ini dikemukakan
oleh Dr. Sam Ratulangi. Beliau menyimpulkannya dari realitas kehidupan bangsa Minahasa yang
toleran, saling membangun, akrab dengan sesama serta saling menghargai segala bentuk
perbedaan yang melewati sekat-sekat perbedaan kronis, dalam hal ini perbedaan agama sebagai
penghambat. Dahulu, falsafah ini sangat nampak muncul pada proses adaptasi antara
pengungsi )1825-1830) yang beragama Islam dan masyarakat Tondano, Minahasa yang
beragama Kristen. Orang Jawa yang ketika itu dipimpin Kyai Modjo, hingga kini telah hidup
dengan harmonis dengan masyarakat setempat, bahkan beberapa putranya pernah menjadi
Walikota Manado (H. Abdi Buchari) dan wakil propinsi di MPR-RI (Ishak Pulukadang). Rasa
saling terbuka dan menerima perbedaan membuat masyarakat Jawa yang tinggal dalam
pembuangan tersebut, sekalipun beragama Islam melabeli dirinya dengan sebutan Niyaku
Toudano artinya aku orang Tondano.13

Kesimpulan

Bagi umat beragama, kerukunan merupakan pondasi utama dalam kehidupa bersosial. Di dalam
kerukunan terdapat dialog dan filosofi dari terwujudnya kerukunan tersebut. Tertama dalam
konsteks Indonesia yang mempunyai berbgai macam budaya dan agama. Tentunya toleransi atau
pluralisme perlu ditingkatkan.

13
Ibid, hlm: 161-162
Sebagai contoh bagi warga Jaton terdapat dua fiosofi yang menjadi pondasi kerukunan umat
keberagamaan mereka, yaitu filosofi Sitou Timou Tumou Tou dan Torang Samua Basudara.

Referensi

Fatih, Moh Khoirul, Dialog dan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Pemikiran A.
Mukti Ali, Religi, Vol. 13, No. 1, Tahun 2017: 38-60
Roma Ulinnuha, Handout Komunikasi Lintas Agama dan BudayaFakultas Ushuluddin, Studi
Agama dan Pemikiran Islam

Sinta Paramita, Wulan Purnama Sari, Komunikasi Lintas Budaya dalam Menjaga Kerukunan
antara Umat Beragama di Kampung Jaton Minahasa, Jurnal Pekommas, Vol. 1 No. 2, Oktober
2016: 153 – 166

Anda mungkin juga menyukai