Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

INTERRELEGIUS DIALOG

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Al-Qur’an dan Isu-isu Kontemporer
Dosen Pengampu: ZAHROTUR ROCHMAH, M. AG.

Disusun Oleh Kelompok 10:

1. Muhammad Fahrul Asyahudi (1930110128)


2. Malikhatus Salamah (1930110150)

PROGAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dialog antaragama telah menjadi wacana menarik dewasa ini. Menarik sebab muncul
kesadaran global bahwa kita sedang menuju suatu peradaban dunia di mana begitu banyak tradisi
religius akan saling mengenal satu sama lain. Kesadaran akan pluralitas iman memang bukan
merupakan hal yang baru dalam sejarah agama-agama. Namun demikian, belum pernah ada
kesadaran akan keberagaman iman yang begitu mengusik orang beriman seperti saat ini. Begitu
kita sadar bahwa pengalaman pribadi dan komunitas kita ternyata bukalah satu-satunya, mau
tidak mau kita harus bersikap. Maka tidak jarang orang menggunakan simbol agama untuk
melegitimasi diri ketika kekerasan psikis dan fisik dipakai untuk mencapai tujuannya. Hal ini
tentu akan semakin berbahaya ketika aksi itu berkorespondensi dengan agenda politik dan bisnis
tertentu. Di sinilah dialog antaragama harus dilakukan guna meredam berbagai konflik yang
muncul. Dialog tentu tidak cukup dilihat sekedar program kerja untuk diwujudkan pada
kesempatan tertentu saja. Dialog mesti dipahami sebagai hakikat dari agama itu sendiri. Sebab
sejatinya agama adalah sebuah dialog antara Sang Pencipta, sesama dan dunia.
Di Indonesia kesadaran akan pluralitas itu diakui, diterima dan dihormati. Penerimaan
terhadap keberagaman inilah yang kemudian membentuk bangsa Indonesia dalam lambang
negara Indonesia, Bhineka Tunggal Ika. Penghormatan terhadap pluralitas ini di samping adanya
kehendak untuk bersatu antara para pendiri negara dan rakyat kemudian melahirkan Pancasila.
Pancasila diterima sebagai landasan kesatuan, demokrasi, dan toleransi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai dasar negara bukan tanpa tantangan. Akhir-
akhir ini muncul beragam konflik dan ketegangan yang bernuansa agama. Masih segar dalam
ingatan kita aksi teror di Surabaya dan sekitarnya beberapa bulan lalu. Muncul rasa takut, cemas,
dan marah, juga beragam pertanyaan. Mampukah bangsa ini menghadapi aksi terorisme? Juga
banyak pertanyaan lainnya. Tentu tidak bijak mengaitkan begitu saja aksi terorisme dengan
agama tertentu. Akan tetapi, kita perlu kita sadar bahwa munculnya fanatisme agama merupakan
lahan yang subur bagi munculnya gerakan terorisme. Ketika orang dikuasai oleh frustrasi,
keinginan untuk membalas dendam, kebencian terhadap orang-orang yang tidak sepaham, orang
menjadi buta terhadap realitas sekitarnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Dialog Antaragama?
2. Apa saja Syarat-Syarat Dialog Antaragama?
3. Apa saja Bentuk-Bentuk Dialog Antaragama?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Dialog Antaragama


Dialog antaragama atau dialog interreligius dipahami sebagai suatu perjumpaan antara
orang yang menghidupi tradisi religius atau iman yang berbeda dalam satu atmosfir saling
percaya dan saling menerima satu sama lain. Dialog antaragama juga mengacu pada interaksi
yang sifatnya koorporatif, konstruktif, dan positif antara penganut tradisi religius yang berbeda,
baik di level individu, maupun di level komunitas atau institusi.
Tujuan dialog antaragama ialah pemahaman. Bukan maksudnya untuk mengalahkan yang
lain atau untuk mencapai kesepakatan penuh atau suatu agama universal. Cita-citanya ialah
komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalapahaman timbal balik antara
budaya yang berbeda-beda.
Dialog antaragama juga bukan bertujuan untuk mencapai keseragaman bentuk dan
reduksi dari bermacam-macam manusia ke dalam agama, sistem, ideologis, atau tradisi yang
satu-satunya.

B. Syarat-Syarat Dialog Antaragama


Hakikat dialog antaragama pertama-tama menuntut ketebukaan para pesertanya. Hanya
apabila saling membuka diri, membiarkan dirinya dicerap dalam intinya yang paling dalam,
maka dialog antaragama menghantar kepada pengalaman yang internsif akan kedalaman dan
keluasan Tuhan dan kekayaan dunia. Keterbukaan yang intensif tidak mengandaikan bahwa
agama-agama itu akan melebur menjadi satu. Keterbukaan tanpa peleburan itu menuntut dua
syarat. Pertama agama-agama itu setia pada institusi awal dan pengungkapannya. Hanya apabila
ia menyadari nilai mana yang hendak dimaklumkan dan menjadi penting untuknya, maka agama
itu pantas menjadi peserta dialog.
Dialog antaragama dengan demikian tidak bertujuan pada terciptanya sebuah agama sebagai
perwujudan kesatuan semua agama yang ada, di mana akan cuma ada satu institusi yang
diwujudkan dan diwartakan di dalam faktor-faktor yang seragam. Kedua, keberanian agama-
agama untuk mewartakan dan mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah dikenal secara
universal. Kesadaran akan nilai universalitas itu kemudian yang mendorong adanya dialog.
Perhatian dan keprihatinan umum akan manusia dan universum menuntut kita untuk mengolah
dunia  sebagai tempat perwujudan yang maksimal bagi semua kesatuan aktual.
Hanya apabila agama-agama berdialog satu sama lain, mereka akan menjadi rekan dan
penentang kritis bagi semua ideologi yang memenjarakan, memusnahkan, dan melenyapkan
orang-orang yang tidak sepaham dengannya.

C. Bentuk-Bentuk Dialog Antaragama


Setelah kita mengenal dua syarat utama bagi terciptanya dialog antaragama, kita perlu
melihat bentuk-bentuknya. Menurut dokumen Dialogue and Mission, bentuk-bentuk dialog itu
ialah sebagai berikut,
Pertama, dialog kehidupan. Di sini dialog terutama ialah suatu cara bertindak, suatu
sikap, semangat yang membimbing perilaku seseorang terhadap orang lain. Dialog dengan
demikian terwujud dalam cara kita bersikap dan bertindak terhadap semua orang.
Misalanya tidak memilih-milih dalam pergaulan di tengah masyarakat, mau terbuka pada
tetangga di sekitar rumah kita, memberikan salam, senyuman, dan menghayati nilai-nilai
keagamaan kita di tengah umat beragama lain.
Kedua, dialog karya. Kita juga berdialog lewat kehadiran kita di tempat kita berkarya.
Misalnya di kantor, di sekolah, di toko, dan sebagainya. Di sana kita bersedia untuk bekerja sama
dengan semua orang. Lewat karya-karya baik kita, kita menunjukan diri sebagai orang yang
terlibat dalam kehidupan bersama.
Ketiga, dialog pakar. Pada tahap ini, dialog dilakukan oleh para pakar. Mereka adalah
tokoh-tokoh agama yang berkumpul untuk berdialog. Biasanya mereka adalah para akademisi
yang membahasa masalah yang lebih kompleks.
Keempat, dialog pengalaman religius. Pada taraf ini dialog dilakukan dengan sharing
pengalaman pribadi untuk saling memperkaya, mendukung, dan memelihara nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal.
Mengapa kita perlu berdialog? Alfred North Whitehead mengatakan bahwa dialog antara agama
ialah cara agama itu menjadi dirinya sendiri. Agama akan semakin menjadi dirinya sendiri sejauh
ia menjalankan dialog dengan semua unsur di dalam semesta, termasuk di dalamnya agama-
agama lain. Dialog antara agama adalah sebuah proses memberi dan menerima di antara agama-
agama, dimana di dalamnya agama-agama saling membentuk.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dialog antaragama atau dialog interreligius dipahami sebagai suatu perjumpaan antara
orang yang menghidupi tradisi religius atau iman yang berbeda dalam satu atmosfir saling
percaya dan saling menerima satu sama lain.
Tujuan dialog antaragama ialah pemahaman. Bukan maksudnya untuk mengalahkan yang
lain atau untuk mencapai kesepakatan penuh atau suatu agama universal. Cita-citanya ialah
komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalah pahaman timbal balikantar
budaya yang berbeda-beda.
Kesadaran akan pluralitas iman memang bukan merupakan hal yang baru dalam sejarah
agama-agama. Namun demikian, belum pernah ada kesadaran akan keberagaman iman yang
begitu mengusik orang beriman seperti saat ini. Begitu kita sadar bahwa pengalaman pribadi dan
komunitas kita ternyata bukalah satu-satunya, mau tidak mau kita harus bersikap. Maka tidak
jarang orang menggunakan simbol agama untuk melegitimasi diri ketika kekerasan psikis dan
fisik dipakai untuk mencapai tujuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Banawiratma, J. B (2010) Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia.
CRCS.
Moyaert, M. (2005). Interreligius Dialogue and the Debate between Universalism and
Particularism. Studies in Interreligious Dialogue, 15(1).
Panikkar, R, (1999).The Intrareligious Dialogue. Paulist Press.
Paul Budi Kleden, Dialog Antar agama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Withead,
Maumere: Ledalero, 2002.
Silvester Kanisius L, Allah dan Pluralisme Religius, Jakarta: Obor, 2006.

Anda mungkin juga menyukai