Abstrak
Dialog adalah hal yang penting untuk senantiasa dilaksanakan dalam konteks
agama-agama atau perbedaan kepercayaan. Perasaan menganggap agama sendiri
yang paling benar dan agama lain punya sedikit unsur kebenaran sebagai pemicu
munculnya konflik agama karena tidak bisa menerima orang lain dan agamanya apa
adanya.
Dialog seharusnya sering kali dilaksanakan untuk menghindari konflik.
Tetapi sangat disayangkan bahwa pelaksanaan dialog itu dilaksanakan setelah
munculnya konfil, dan hal tersebut tidak lagi efektif.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam pelaksanaan dialog dalam
konteks agama-agama yaitu: tema atau topik dialog berfokus pada
pemahaman/teologi sekunder dan harus menghindari pembahasan Pada teologi
primer; harus memahami prinsip dialog antar umat beragama yaitu: keterbukaan,
kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan, saling mempercayai, dialog meminta
keseimbangan sikap, dan dialog menghasilkan kekuatan dan keyakinan iman masing-
masing pihak.
Kata Kunci:
Dialog, agama-agama.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
DIALOG DALAM KONTEKS AGAMA-AGAMA
DI INDONESIA
1. Keterbukaan
Sikap saling terbuka harus melandasi dialog itu. Jika masing-masing pihak
memberikan informasi apa adanya tanpa didasari oleh berbagai kepentingan maka
akan tercapai tujuan dari dialog yaitu pertukaran nilai dari masing-masing pihak.
Informasi yang akurat sangat dibutuhkan dalam dialog karena dengan informasi
tersebut maka moderator bisa mengambil sebuah kesimpulan yang akan berguna bagi
kedua belah pihak. Semua pihak harus rela menerima kritikan atau tanggapan dari
pihak lain dengan keyakinan bahwa pihak yang memberikan pertanyaan atau
sanggahan betul-betul ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang telah
disampaikan sebelumnya. Perlu dihindari prasangka-prasangka yang tidak baik,
misalnya jangan-jangan pihak A bertanya atau memberikan sanggahan hanya karena
keinginan untuk menjatuhkan dan melemahkan argumen pihak B dan selanjutnya.
Hans Kung mengusulkan bahwa model baru bagi pemahaman kristen
terhadap agama-agama lain bukan hanya pluralistik atau korelasional tetapi juga
bertanggung jawab secara global atau liberatif. Selama dekade atau dua dekade yang
lalu, keduanya merupakan masalah sentral dari diskusi beberapa teolog yang sedang
mencari model-model dialog baru. Masalah ini tidak mewakili suatu pergeseran arah
teologi pluralistik agama-agama, tetapi merupakan jalan pendekatan baru dan tujuan
yang lebih jelas. Dialog agama-agama yang bertanggung jawab secara global
berusaha menggambarkan kesempatan yang melekat dalam kebutuhan dari suatu
pengalaman. Kebutuhan yang dimaksudkan berakar dalam kewajiban yang dirasakan
banyak umat kristen sekarang untuk menanggapi penderitaan yang terus bertambah
dan menakutkan serta menyakitkan. Teologi liberatif dan dialog antar agama muncul
dari adanya kebutuhan atau dari kewajiban moral untuk menanggapi, sebagai umat
kristen maupun sebagai manusia (Paul F. Knitter, 2004:51-52).
Orang yang beragama harus menerima kenyataan bahwa dunia ini adalah
dunia yang berwajah pluralitas soal agama. Di tengah-tengah dunia yang seperti
itulah saya dan anda diutus untuk menjadi saksi. Pertanyaannya adalah bagaimana
menentukan sikap dan bagaimana cara yang paling tepat atau benar agar identitas
tetap jelas tetapi juga misi yang sedang dijalankan tidak dianggap arogan? Orang
kristen yakin bahwa ajarannya benar, tetapi ketika mereka cara pengungkapannya
tidak sopan, arogan, atau terkesan merendahkan kepercayaan lain, kebenaran Injil itu
sendiri akhirnya redup atau hilang bersamaan dengan kelakuan atau cara yang tidak
memahami sopan santun. Bukankah Rasul Paulus mengungkapkan, justru oleh
karena kehidupan orang-orang Yahudi (bangsa Israel) yang “arogan,” nama Tuhan
dihujat oleh bangsa-bangsa lain? (A. Naftallino, 2009:196).
3. Saling Mempercayai
Saling percaya bahwa semua pihak memberikan informasi yang benar dengan
cara masing-masing. Dalam hal ini sangat dibutuhkan kedewasaan emosi, karena
tanpa kedewasaan emosi/perasaan, maka masing-masing pihak bisa tersinggung
sehingga dialog agama bisa berakhir dengan konflik agama. Dalam menghadirkan
orang-orang dalam dialog antar umat beragama, maka pelaksana harus betul-betul
mempersiapkan dialog tersebut sebaik mungkin dan harus betul-betul ada kemauan
untuk menjalin hubungan yang baik antar umat beragama. Pihak-pihak yang
dihadirkan harus orang-orang yang sudah mengerti tentang tujuan dialog, bisa
menguasai diri dan terlebih lagi harus memiliki iman yang kuat berdasarkan
keyakinan masing-masing. Pihak pelaksana dan moderator harus bersikap netral dan
mempunyai kemampuan khusus untuk menetralisir suasana dialog jika sudah ada
indikasi mengarah kepada konflik. Pelaksana dan orang-orang yang terlibat dalam
dialog tidak boleh ditunggangi oleh keinginan-keinginan yang negatif, misalnya
argumen atau pandangan dari pihak A lebih kuat dari pihak B karena sekali lagi
bahwa Tujuan dialog antar umat beragam adalah menjalin kebersamaan sehingga
setiap orang merasa aman dan tentram.
Belajar hidup bersama adalah sikap yang harus dibangun oleh semua orang
pada masa kini. Setiap budaya membawa nilai-nilai yang mengatur perilaku. Dalam
keadaan demikian, untuk hidup bersama dengan selaras, manusia perlu membina
sikap tenggang rasa agar perbedaan nilai di antara mereka yang hidup dalam satu
ranah itu dikenal, diakui, dapat diterima dan dihormati (Gunawan Tjahjono,
2015:xvii)
BAB III
KESIMPULAN
Tujuan dari dialog antar umat beragama adalah membina kebersamaan
sehingga setiap orang merasa aman dan tentram. Dialog harus senantiasa
dilaksanakan dan bukan hanya pada saat terjadi konflik baru ada ide untuk
melaksanakan dialog.
Dialog antar umat beragama harus mengangkat tema atau topik seputar
konsep atau teologi sekunder dan harus menghindari pembahasan pada
pemahaman/teologi primer karena hal tersebut tidak bisa dipersatukan. Jika dialog
berkisar di teologi primer maka tujuan dialog tidak akan tercapai dan justru bisa
berpotensi konflik.
Peserta dialog antar umat meragama harus memahami prinsip dialog yaitu:
keterbukaan, kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan, saling percaya,
kesimbangan sikap, dialog menghasilkan keyakinan dan kekuatan iman masing-
masing pihak.
KEPUSTAKAAN:
Knitter, Paul F. Satu Bumi Banyak Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.