Anda di halaman 1dari 8

PRINSIP DIALOG DALAM KONTEKS AGAMA-AGAMA

Calvin Sholla Rupa’

Dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja

Abstrak
Dialog adalah hal yang penting untuk senantiasa dilaksanakan dalam konteks
agama-agama atau perbedaan kepercayaan. Perasaan menganggap agama sendiri
yang paling benar dan agama lain punya sedikit unsur kebenaran sebagai pemicu
munculnya konflik agama karena tidak bisa menerima orang lain dan agamanya apa
adanya.
Dialog seharusnya sering kali dilaksanakan untuk menghindari konflik.
Tetapi sangat disayangkan bahwa pelaksanaan dialog itu dilaksanakan setelah
munculnya konfil, dan hal tersebut tidak lagi efektif.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam pelaksanaan dialog dalam
konteks agama-agama yaitu: tema atau topik dialog berfokus pada
pemahaman/teologi sekunder dan harus menghindari pembahasan Pada teologi
primer; harus memahami prinsip dialog antar umat beragama yaitu: keterbukaan,
kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan, saling mempercayai, dialog meminta
keseimbangan sikap, dan dialog menghasilkan kekuatan dan keyakinan iman masing-
masing pihak.

Kata Kunci:
Dialog, agama-agama.

BAB I
PENDAHULUAN

Di negara beragama (mengakui lebih dari satu agama), maka potensi


munculnya konflik antar umat beragama sangat tinggi. Mengapa terjadi demikian?
Penyebabnya adalah karena keyakinan yang berbeda sehingga perbedaan ini
berpotensi untuk menimbulkan konflik.
Tujuan dari agama adalah supaya kehidupan penganutnya dapat lebih teratur
dan tidak menjadi kacau. Tidak ada agama yang menginginkan terjadinya kekacauan
atau konflik karena pada dasarnya agama adalah peraturan tentang keteraturan.
Agama dan kekerasan adalah dua hal yang sebenarnya bertolak belakang dan
pertentangan itu seperti tarang dan gelap. Keasadaran dan pemahaman ini harus
menjadi tulang punggung dan garis merah dalam setiap pembicaraan yang berkisar
pada masalah bagaimanakah hubungan antara agama dan kekerasan dapat diuraikan
(Olaf Herbert Schumann, 2011:487).
Sangat disayangkan bahwa apa yang menjadi esensi dari agama itu tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Agama sering dijadikan sebagai alasan atau
penyebab terjadinya konflik tetapi yang seharusnya bukanlah demikian adanya.
Konflik agama adalah latar belakang dari beberapa daerah yang mengalami konflik,
dan inilah akar masalahnya yaitu apa yang seharusnya terjadi yaitu keteraturan tetapi
kenyataannya berbeda yaitu kekacauan atau ketidakteraturan.
Pada saat suda terjadi konflik itu, maka muncul pemikiran atau gagasan untuk
melaksanakan dialog, tetapi yang seharusnya adalah sebelum terjadi konflik, dialog
sudah rutin dilakukan karena dialog adalah strategi, cara, jembatan untuk memelihara
silahturahmi atau kebersamaan antar umat beragama sehingga potensi konflik antar
umat beragama bisa diantisipasi.

BAB II
DIALOG DALAM KONTEKS AGAMA-AGAMA
DI INDONESIA

Dalam konteks agama-agama yang berbeda-beda, maka pelaksanaan dialog


perlu memperhatikan beberapa hal karena tujuan dari dialog adalah terwujudnya
ketentraman, kebersamaan dan saling memahami antara agama yang satu dengan
agama yang lain.

Tema atau Topik dialog Berfokus pada Pemahaman/Teologi


Sekunder dan Harus Menghindari Pembahasan
Pada Teologi Primer
Masing-masing agama mempunyai dogma yang tidak bisa digabungkan
dengan dogma agama lain sehingga yang dibutuhkan dari setiap pemeluk agama
adalah memahami mereka yang mempunyai dogma yang berbeda dengan
pemahamannya sendiri. Jika tidak mampu memahami orang-orang yang mempunyai
keyakinan yang berbeda, maka ada potensi munculnya konflik antar agama.
Hendropuspito dengan penjelasannya bahwa perbedaan iman dan doktrin
menimbulkan bentrokan tidak perlu dipersoalkan, tetapi menerimanya sebagai fakta
dan mencoba untuk memahami, dan mengambil hikmahnya. Semua pihak umat
beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa
justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab utama dari benturan itu.
Entah sadar atau tidak setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya,
membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama
sendiri dan agama lawannya. Dalam sakala penilaian yang dibuat secara subjektif
nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu
dijadikan patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu. Gambarannya
sebagai berikut: Agama A (agama yang saya anut) adalah paling benar dan paling
lengkap; Agama B (agama lawan) mempunyai unsur-unsur kebenaran (tidak
lengkap); Agama C (agama lain) mempunyai sedikit kebenaran (amat tak lengkap);
Agama D adalah agama kafir (tidak punya kebenaran) (Hendropuspito, 2011:152)
Baik di masa lampau maupun sekarang, banyak teolog dan anggota gereja
berependapat bahwa orang percaya tidak perlu memahami agama-agama atau
kepercayaan kepercayaan lain yang tidak mereka anut. Alasannya adalah keyakinan
bahwa kepercayaan yang mereka yakini mengandung kebenaran mutlak serta
dinyatakan oleh Allah yang Mahakuasa dan Yang Mahamengetahui, sehingga bahwa
merenungkan keyakinan-keyakinan lain dianggap melawan kebenaran itu. Yang lain
itu hanya mengandung kebenaran yang tidak lengkap atau tidak sempurna, sehingga
tidak bermanfaat untuk dipelajari. Di samping itu, menurut pendapat mereka, bahaya
bagi seorang percaya bahkan seorang teolog untuk berhubungan dengan orang-orang
dari agama lain, karena mungkin akan membuat mereka bersikap kompromistis
terhadap keyakinan agama lain. Kebenaran mutlak dari kepercayaan sendiri dapat
menjadi perkara yang dipertanyakan atau pangkal perselisihan, serta akhirnya
menghasilkan sinkretisme atau relativisme dan ketidakpastian agama maupun iman
(Olaf Herbert Schumann, 2015:149).
Kenyataan bahwa doktrin setiap agama berbeda dan ada beberapa penekanan
khusus yang tidak bisa dipersatukan, maka tema-tema menyangkut doktrin primer
harus dihindari. Misalnya “Yesus Menurut Pandangan Islam dan Kristen”. Jika tema
tersebut yang diangkat dalam dialog, maka bisa saja terjadi konflik. Orang Kristen
mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan, yang pasti ditolak oleh orang Muslim karena
menurut kitab suci mereka bahwa Yesus (Isa) adalah manusia biasa. Jika sudah
terjadi perbedaan yang tidak dapat dipersatukan ditambah lagi dengan tidak adanya
saling memahami maka tujuan dialog untuk membina kebersamaan bisa berakhir
dengan konflik yang berkepanjangan.
Tema-tema yang relevan untuk dialog antar umat beragama di Indonesia
misalnya: “mengasihi orang lain”, “Allah menginginkan kesejahteraan dan bukan
kekecauan”, dll karena tema-tema tersebut dibahas dan diajarkan oleh setiap agama
tanpa ada perbedaan yang mendasar. Alkitab mengajarkan kasih kepada sesama
manusia dan Alquran mengajarkannya sebagai amal ibadah. Dengan demikian maka
akan tercipta kerukunan, silahturahmi dan kebersamaan karena ternyata bahwa
agama-agama yang ada mengajarkan dan menganjurkan kepada setiap penganutnya
untuk menlaksanakan perintah tersebut.
Dialog kontemporer antar agama di tengah masyarakat dewasa ini memang
berangkat dari asumsi mendasar tentang kenyataan pluralisme kehidupan beragama.
Pluralisme menjadi konkteks baru bagi kehidupan agama-agama, yang pada
gilirannya akan membrikan corak yang sama sekali berbeda dengan pertemuan antar
agama di masa lalu. Corak pertemuan antar agama yang baru akan dipengaruhi oleh
tantangan-tantangan baru yang muncul dari konteks pluralisme agama dan sekaligus
oleh kesadaran yang baru dari pluralisme tersebut. Berdasarkan kesadaran tersebut
dibutuhkan pula basis pemahaman teologis, institusional, aktivitas, serta seluruh kipra
agama-agama di masyarakat. Wacana dialog antar agama yang berkembang
merupakan wacana yang lebih menyentuh tema kemasyarakatan umum (non-
teologis), dan tidak secara khusus menyangkut soal-soal teologis. Namun, hal itu
tidak berarti bahwa persoalan teologis secara implisit tidak terkandung dalam setiap
perumusan sikap serta masalah yang digeluti bersama (Sumartana, 2003:111).
Harus Memahami Prinsip Dialog Antar Umat Beragama
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dan kemajemukan
tersebut kadang sangat sulit untuk mempersatukannya karena perbedaan prinsip dari
masing-masing kelompok. Misalnya saja dalam kemajemukan agama. Menurut
saya, perbedaan prinsip atau keyakinan dasar dari masing-masing agama sangat sulit
untuk disatukan dan juga tidak mungkin dijadikan satu. Orang Kristen menganut
kepercayaan kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat, dan hal ini tidak
mungkin untuk diterima oleh agama Islam sehingga yang dibutuhkan dalam
pembangunan bangsa adalah saling memahami, mengerti, dan menghargai sehingga
tidak muncul saling menghina, mengejek, melecehkan dan sebagainya. Hal ini hanya
bisa terwujud melalui “dialog”.
Agar tujuan dari dialog itu dapat tercapai maka peserta dialog harus mengerti
apa yang dimaksud dengan dialog itu. Dialog adalah percakapan antara dua orang
atau lebih dimana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak.
Dalam hal ini, pihak-pihak yang berdialog saling membuka diri terhadap pihak lain,
kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada pihak lain, dan saling percaya
bahwa kedua belah pihak memberikan informasi yang benar dengan caranya sendiri
(D. Hendropuspito, 2011:172-173)

1. Keterbukaan
Sikap saling terbuka harus melandasi dialog itu. Jika masing-masing pihak
memberikan informasi apa adanya tanpa didasari oleh berbagai kepentingan maka
akan tercapai tujuan dari dialog yaitu pertukaran nilai dari masing-masing pihak.
Informasi yang akurat sangat dibutuhkan dalam dialog karena dengan informasi
tersebut maka moderator bisa mengambil sebuah kesimpulan yang akan berguna bagi
kedua belah pihak. Semua pihak harus rela menerima kritikan atau tanggapan dari
pihak lain dengan keyakinan bahwa pihak yang memberikan pertanyaan atau
sanggahan betul-betul ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang telah
disampaikan sebelumnya. Perlu dihindari prasangka-prasangka yang tidak baik,
misalnya jangan-jangan pihak A bertanya atau memberikan sanggahan hanya karena
keinginan untuk menjatuhkan dan melemahkan argumen pihak B dan selanjutnya.
Hans Kung mengusulkan bahwa model baru bagi pemahaman kristen
terhadap agama-agama lain bukan hanya pluralistik atau korelasional tetapi juga
bertanggung jawab secara global atau liberatif. Selama dekade atau dua dekade yang
lalu, keduanya merupakan masalah sentral dari diskusi beberapa teolog yang sedang
mencari model-model dialog baru. Masalah ini tidak mewakili suatu pergeseran arah
teologi pluralistik agama-agama, tetapi merupakan jalan pendekatan baru dan tujuan
yang lebih jelas. Dialog agama-agama yang bertanggung jawab secara global
berusaha menggambarkan kesempatan yang melekat dalam kebutuhan dari suatu
pengalaman. Kebutuhan yang dimaksudkan berakar dalam kewajiban yang dirasakan
banyak umat kristen sekarang untuk menanggapi penderitaan yang terus bertambah
dan menakutkan serta menyakitkan. Teologi liberatif dan dialog antar agama muncul
dari adanya kebutuhan atau dari kewajiban moral untuk menanggapi, sebagai umat
kristen maupun sebagai manusia (Paul F. Knitter, 2004:51-52).
Orang yang beragama harus menerima kenyataan bahwa dunia ini adalah
dunia yang berwajah pluralitas soal agama. Di tengah-tengah dunia yang seperti
itulah saya dan anda diutus untuk menjadi saksi. Pertanyaannya adalah bagaimana
menentukan sikap dan bagaimana cara yang paling tepat atau benar agar identitas
tetap jelas tetapi juga misi yang sedang dijalankan tidak dianggap arogan? Orang
kristen yakin bahwa ajarannya benar, tetapi ketika mereka cara pengungkapannya
tidak sopan, arogan, atau terkesan merendahkan kepercayaan lain, kebenaran Injil itu
sendiri akhirnya redup atau hilang bersamaan dengan kelakuan atau cara yang tidak
memahami sopan santun. Bukankah Rasul Paulus mengungkapkan, justru oleh
karena kehidupan orang-orang Yahudi (bangsa Israel) yang “arogan,” nama Tuhan
dihujat oleh bangsa-bangsa lain? (A. Naftallino, 2009:196).

2. Kerelaan Berbicara dan Memberikan tanggapan


Saat kita membangun rumah, kita mendirikan dinding demi dinding sebagai
penyangga atap di atas kepala. Agar ruang yang satu dapat terhubung dengan yang
lain, kita pun memasang pintu. Lalu-lalangnya kita dimungkinkan berkat adanya
pintu. Rasa nyamanpun terjaga karena karena pintu. Pada saat ingin merasa aman,
pintu kita tutup dan kita pun terlindung. Ketika kita ingin orang lain masuk ke dalam
ruang aaman kita, kita pun membuka pintu dan mengundang orang tersebut. Dalam
pikiran kita, kita pun memasang pintu. Ketika berhadapan dengan yang kita kenal,
kita merasa aman dan menunjukkan perilaku yang selaras (kita membuka pintu
pikiran kita). Sebaliknya, kepada “yang lain”, kita cenderung melekatkan sifat-sifat
seperti “asing”, “tak biasa”, “aneh”, “ganjil”, dan lain sebagainya. Akibatnya, dalam
berhadapan dengan “yang lain”, kita sontak khawatir, serta merta menutup pintu lalu
menguncinya rapat-rapat (Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo, 2015:7-8)
Kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada pihak lain juga harus
ada dalam sebuah dialog. Kadang didapati bahwa dalam dialog, ada pihak yang
memilih untuk berdiam diri dan tidak memberikan komentar apa-apa terhadap topik
yang menjadi perbincangan dalam sebuah dialog. Ada banyak penyebab diantaranya
adalah perasaan takut bahwa apa yang ia hendak sampaikan menjadi sesuatu yang
sangat berlebihan sehingga bisa membuat peserta lain tersinggung dan sebagainya.
Dalam dialog hal semacam ini tidak boleh terjadi karena dalam dialog ada unsur yang
sangat penting lainnya yaitu “saling percaya bahwa kedua belah pihak memberikan
informasi yang benar dengan caranya sendiri.”

3. Saling Mempercayai
Saling percaya bahwa semua pihak memberikan informasi yang benar dengan
cara masing-masing. Dalam hal ini sangat dibutuhkan kedewasaan emosi, karena
tanpa kedewasaan emosi/perasaan, maka masing-masing pihak bisa tersinggung
sehingga dialog agama bisa berakhir dengan konflik agama. Dalam menghadirkan
orang-orang dalam dialog antar umat beragama, maka pelaksana harus betul-betul
mempersiapkan dialog tersebut sebaik mungkin dan harus betul-betul ada kemauan
untuk menjalin hubungan yang baik antar umat beragama. Pihak-pihak yang
dihadirkan harus orang-orang yang sudah mengerti tentang tujuan dialog, bisa
menguasai diri dan terlebih lagi harus memiliki iman yang kuat berdasarkan
keyakinan masing-masing. Pihak pelaksana dan moderator harus bersikap netral dan
mempunyai kemampuan khusus untuk menetralisir suasana dialog jika sudah ada
indikasi mengarah kepada konflik. Pelaksana dan orang-orang yang terlibat dalam
dialog tidak boleh ditunggangi oleh keinginan-keinginan yang negatif, misalnya
argumen atau pandangan dari pihak A lebih kuat dari pihak B karena sekali lagi
bahwa Tujuan dialog antar umat beragam adalah menjalin kebersamaan sehingga
setiap orang merasa aman dan tentram.
Belajar hidup bersama adalah sikap yang harus dibangun oleh semua orang
pada masa kini. Setiap budaya membawa nilai-nilai yang mengatur perilaku. Dalam
keadaan demikian, untuk hidup bersama dengan selaras, manusia perlu membina
sikap tenggang rasa agar perbedaan nilai di antara mereka yang hidup dalam satu
ranah itu dikenal, diakui, dapat diterima dan dihormati (Gunawan Tjahjono,
2015:xvii)

4. Dialog Meminta Keseimbangan Sikap


Doalog menuntut sikap yang seimbang dari orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Mereka tidak boleh bersikap tidak jujur. Juga hendaknya dihindarkan
kecenderungan yang mengkritik, walaupun itu didukung oleh kutipan-kutipan dari
kitab suci atau wahyu yang tertulis. Sikap-sikap terbuka, mau mendengarkan, tidak
egois, tidak berprasangka perihal perbedaan-perbedaan yang muncul, haruslah
dipupuk dan diusahakan dalam persahabatan yang baik. Kehendak dan cita-cita
bersama untuk terlibat dalam pencapaian kebenaran dan kesediaan untuk membiarkan
diri dibentuk dan dikembangkan dalam perjumpaan, merupakan sikap-sikap yang
menjadi syarat dalam dialog. Aneka kecenderungan untuk menganggap diri paling
benar karena alasan-alasan dangkal (misalnya sebagai mayoritas atau sebagai agama
yang paling banyak dianut di seluruh dunia) maupun alasan yang lebih mendalam
(misalnya karena kelogisan pandangan teologis atau keakuratan dalam mencerna
pengalaman imannya), harus dicegah dan ditinggalkan dengan penuh kerendahan hati
(E. Armada Riyanto, 2010:216-217)
Ada banyak ajaran atau keyakinan agama A yang berbeda dengan agama B
yang sepertinya tidak bisa diperbincangkan dalaam dialog karena hal tersebut
masing-masing dapat dipertahankan dari sudut pandang yang berbeda. Namun, bukan
berarti bahwa hal tersebut sulit untuk dipertemukan. Jika adanya keseimbangan sikap
dari masing-masing pihak maka hal tersebut menjadi hal yang menarik dalam sebuah
dialog demi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Misalnya topik
“Tritunggal” dalam ajaran kristen, yang sulit diterima oleh agama Islam. Catatan
kritis Guillaume bahwa ajaran ketritunggalan Ilahi dalam kekristenan ini menjadi
salah satu batu sandungan dalam dialog Kristen-Islam, telah melahirkan beberapa
pemikiran dari para teolog Kristen untuk minimal merekonstruksi. Bahkan ada yang
mengusulkan untuk mendekonstruksikan sama sekali ajaran itu. Namun patut dicatat
bahwa semua pemikiran para teolog tersebut dilatarbelakangi oleh pamahaman teolog
Barat dari kerangka bahwa Roh Kudus adalah dari Bapa dan Putra, tidak dibuat dan
diciptakan, tidak diperanakkan, tetapi keluar dari mereka. Dasar pemikiran inilah
yang sering tidak dipahami oleh orang-orang yang menolak ketritunggalan itu.
5. Dialog Menghasilkan Keyakinan dan Kekuatan Iman masing-masing
Pihak
Dialog antar umat beragama tidak bisa dijalankan dalam kerapuhan dan
keragu-raguan mengenai iman masing-masing pihak, melainkan iman orang-orang
yang berdialog harus kuat. “Bila orang-orang kristen memupuk keterbukaan dan
membiarkan diri mereka diuji, mereka akan dapat mengumpulkan buah-bua dari
dialog. Mereka akan menemukan, dengan penuh kekaguman, semua yang telah
dilaksanakan karya Alla melalui Yesus Kristus di dalam Roh-Nya dan terus
dilaksanakan di dunia dan di seluruh umat manusia. Dialog bukan akan melemahkan
mereka tetapi akan memperdalam iman mereka. Mereka akan semakin menyadari
identitas mereka sebagai orang Kristen. Indiferentisme harus dicegah, sebab
pandangan ini selain mengantar kepada sikap acuh tak acuh mengenai tuntutan-
tuntutuan imannya, juga menampilkan sikap menggampangkan sekaligus
menyederhanakan (simplifikasi) pandangan tentang agama-agama sebagai sama saja
semuanya. Memandang semua agama sama, justru sangat merugikan imannya (E.
Armada Riyanto, 2010:217-218)
Menurut Raimundo Panikkar, suatu dialog bukanlah hubungan asimilasi
(hubungan yang mencari penyelarasan-penyelarasan universal) atau hubungan
substitusi (hubungan yang bersifat mengganti) atau disebut pula dengan nama keliru
hubungan konversi (yang mempertobatkan), melainkan hubungan saling
menyuburkan atau saling mengantar kepada pendalaman pengalaman iman masing-
masing. Karena pengertian yang demikian, Panikkar mengajukan tesis bahwa
melalui dialog pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran (pengalaman
akan Kristus bagi orang Kristen atau veda bagi orang Hindu) dapat diperluas dan
diperdalam sehingga orang makin terbuka akan pengalaman-pengalaman baru
mengenai kebenaran.
Tujuan dari dialog adalah bukan untuk mempengaruhi orang-orang tertentu
sehingga berbalik dari keyakinannya dan berpindah ke keyakinan yang lain tetapi
tujuan dialog yang sebenarnya adalah agar semua orang yang terlibat dalam sebuah
dialog dapat memperkaya diri dengan keyakinannya dan bisa menerima orang lain
dengan kayakinannya. Perasaan “paling benar” dan orang lain “salah” bisa
diminimalisi dengan adanya dialog.
Jika hal ini sudah terjadi maka dialog akan berjalan dengan baik. Tetapi
kembali lagi bahwa ada saja orang-orang yang tidak menghargai prinsip dialog dan
memberikan informasi-informasi yang tidak akurat karena berbagai kepentingan, dan
jika terjadi hal semacam ini, maka ini adalah pekerjaan yang harus segera
diselesaikan.

BAB III
KESIMPULAN
Tujuan dari dialog antar umat beragama adalah membina kebersamaan
sehingga setiap orang merasa aman dan tentram. Dialog harus senantiasa
dilaksanakan dan bukan hanya pada saat terjadi konflik baru ada ide untuk
melaksanakan dialog.
Dialog antar umat beragama harus mengangkat tema atau topik seputar
konsep atau teologi sekunder dan harus menghindari pembahasan pada
pemahaman/teologi primer karena hal tersebut tidak bisa dipersatukan. Jika dialog
berkisar di teologi primer maka tujuan dialog tidak akan tercapai dan justru bisa
berpotensi konflik.
Peserta dialog antar umat meragama harus memahami prinsip dialog yaitu:
keterbukaan, kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan, saling percaya,
kesimbangan sikap, dialog menghasilkan keyakinan dan kekuatan iman masing-
masing pihak.

KEPUSTAKAAN:

Hendropuspito, D. Sosiologi Agama . Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta:


BPK Gunung Mulia, 2011.

Knitter, Paul F. Satu Bumi Banyak Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Naftallinoa, A. Teologi Kristen Terpadu dalam Lautan Konsepsitas Pluralisme


Agama. Bekasi: Logos Heaven Light, 2009.

Riyanto, E. Armada. Dialog Interreligius . Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Schumann, Olaf Herbert. Pendekatan pada Ilmu Agama-Agama. Jakarta: BPK


Gunung Mulia, 2015.

Soerjoatmodjo, Gita Widya Laksmini. Perjalanan Menjumpai Tuhan. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama, 2015.

Sumartana. Beberapa Tema Dialog Antar-Agama Kontemporer dalam Buku Agama


dalam Dialog. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Anda mungkin juga menyukai